Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Infektifitas Fage Litik dari
Limbah Cair Rumah Tangga terhadap Enteropathogenic Escherichia coli Resisten
Antibiotik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Diarrhea is one of the food and water borne diseases. The pediatric
diarrhea cases in developing countries were mostly caused by Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) virotypes. Some strains of EPEC isolated from patients
in Indonesia were resistant to antibiotics tetracycline and ampicilline. In order to
reduce potential infection of EPEC from water, application of specific phages is
an alternative solution to reduce potential infection of EPEC from water. The
objective of the research was to isolate and characterize potential phages that can
lyse EPEC K1.1 cells. The phages were isolated from sample of domestic waste
water. All isolated phages were tested their ability to form plaques and determined
the characteristics and morphology of their capsid protein. Effectiveness of phage
infection and lysis impact of EPEC K1.1 cells were also observed. Four isolated
phages were specific to EPEC K1.1 strain and a non pathogenic E. coli was not
lysed by the phages. The phages destroyed rapidly the cells of EPEC K1.1 at 25
minutes after infection. Cell surface of EPEC K1.1 was attached by many virion
(phage particles) and some of the cells was lysed. At 30 minutes after phage
infection, most cells of EPEC K1.1 were lysed and cell population of EPEC K1.1
was reduced significantly after five hours of phage infection. Sodium dodecyl
sulphate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) analysis showed two
types of phage proteins. The proteins of FB3 and FB4 phages had molecular
weights of 30-51 kDa and 35-40 kDa respectively. Electron microscope
observation showed that the phages have a hexagonal head with size of 81.56 nm
in width and 103.11 nm in length.
RINA HIDAYATI PRATIWI. Infektifitas Fage Litik dari Limbah Cair Rumah
Tangga terhadap Enteropathogenic Escherichia coli Resisten Antibiotik.
Dibimbing oleh SRI BUDIARTI dan IMAN RUSMANA.
Penyakit diare merupakan salah satu food borne disease dan water borne
disease yang banyak menimbulkan masalah di Indonesia dan bisa menyebabkan
kematian apabila tidak ditangani dengan baik. Salah satu bakteri penyebab diare
yang umum ditemukan dalam tanah dan air dan dapat mencemari makanan ialah
bakteri Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC). Telah ditemukan bakteri
EPEC K1.1 yang diisolasi dari anak-anak penderita diare di Depok diketahui
resisten terhadap tetrasiklin dan ampisilin. Bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bila mencemari sumber air minum dan makanan dan menyebabkan
diare akan menyulitkan pengobatan, sehingga diperlukan bakteriofage (fage) yang
dapat melisisnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui adanya fage litik yang
mampu melisis bakteri EPEC K1.1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
diaplikasikan sebagai biokontrol pencemaran air dan makanan.
Fage diisolasi dari limbah cair rumah tangga daerah Babakan Raya, di
Darmaga Bogor. Isolat fage yang diperoleh dimurnikan dan diproduksi,
ditentukan kisaran inang, dilakukan kuantifikasi, karakterisasi protein serta
pengamatan morfologi pada TEM. Isolat fage yang telah dikarakterisasi diuji
efektifitas dalam melisiskan sel EPEC K1.1 setiap selang waktu 5 jam selama 24
jam dan diamati morfologi lisis EPEC K1.1 oleh fage dengan SEM.
Dalam penelitian ini didapatkan 4 isolat fage yaitu FB1, FB2, FB3, dan
FB4, dengan morfologi yang berbeda. Keempat fage tersebut menginfeksi EPEC
K1.1 tetapi tidak menginfeksi E.coli non patogen. Berdasarkan pengamatan
secara visual, ukuran dan bentuk plak yang terbentuk dari satu isolat fage tampak
berbeda dengan isolat fage yang lain. Plak yang terbentuk dari suatu kultur bakteri
yang ditumbuhkan di cawan petri merupakan satu parameter penting dari adanya
fage pada siklus litik. Plak tersebut terlihat bening yang menandakan adanya zona
kerusakan sel. Fage FB4 memiliki ukuran zona bening lebih besar dari pada
ketiga isolat fage lainnya. Hal ini menandakan FB 4 memiliki kemungkinan
sebagai fage infektif kuat. Kemampuan infeksi dari keempat fage menunjukkan
hasil yang berbeda, FB1, 2, 3, 4 secara berurutan adalah 80; 4100; 250;16000
PFU. Dari hasil ini menunjukkan bahwa FB4 memiliki kemampuan infeksi
terkuat terhadap EPEC K1.1. Penambahan FB 4 pada kultur EPEC K1.1 yang
diinkubasi pada suhu 370 C selama 5 jam dapat menurunkan jumlah populasi
EPEC K1.1 sebanyak 22% dan 84 % setelah inkubasi selama 24 jam. Penurunan
awal terhadap jumlah sel bakteri diperkirakan merupakan akibat dari kombinasi
aksi enzim polysaccharide depolymerase atau lisozim dari fage dalam
mendegradasi polimer lipopolisakarida (LPS) sel EPEC K1.1 dengan proses
penginfeksian terhadap suatu proporsi populasi bakteri EPEC K1.1.
Pengamatan pada SEM menunjukkan bahwa FB4 dapat
memecahkan/melisiskan sel EPEC K1.1 dalam waktu 25 menit. Dalam waktu
lebih lama lagi yaitu 30 menit, sel EPEC terlihat hancur. Hal ini menunjukkan
bahwa FB4 secara pasti dapat melisiskan bakteri sasaran EPEC K1.1 resisten
tetrasiklin dan ampisilin. Penemuan ini merupakan titik cerah untuk pengendalian
bakteri patogen pencemar makanan dan air yang ramah lingkungan. Perlu dicari
konsentrasi fage yang efektif dan efisien untuk mengendalikan bakteri karena
dalam proses infeksi hingga melisiskan seluruh sel bakteri perlu perbandingan
yang tepat antara fage dengan bakteri. Fage yang diinfeksikan ke bakteri
dikondisikan dalam siklus litik karena pada siklus litik, tahap adsorpsi, penetrasi,
sintesis, dan pematangan berlangsung cepat. Pada siklus ini pula partikel fage
keluar dari sel yang diserangnya dengan memecahkan sel tersebut sehingga sel
inang mati (lisis).
Fage melekat ke sel yang peka rangsangan pada lokasi spesifik di dinding
sel bakteri. Pada bakteri gram negatif, komponen sel yang peka rangsangan ialah
protein dan lipopolisakarida yang melapisi lapisan selaput sebelah luar termasuk
peptidoglikan. Fage tertentu atau sekelompok fage akan melekat ke reseptor
spesifik, dan fage berbeda akan melekat ke reseptor yang berbeda. Beberapa
bagian struktural bakteri seperti flagela, pilus, kapsul, teichoicacid, dan LPS dapat
menyediakan reseptor spesifik pada bakteri tertentu. Spesifisitas isolat fage yang
diperoleh terhadap EPEC K1.1 menunjukkan dugaan bahwa di permukaan sel
EPEC K1.1 memiliki reseptor-reseptor yang spesifik terhadap fage.
Protein yang dimiliki oleh keempat isolat fage ini cenderung kecil. Dalam
tiap mililiternya, FB1 hanya memiliki 97,5 µg; FB2 82,5 µg; FB3 170 µg; dan
FB4 222,5 µg. Setelah dilihat pada SDS-PAGE, terdapat 2 isolat fage (FB3 dan
FB4) yang menunjukkan adanya pita protein. Kisaran protein yang diperoleh
antara 30-51 kDa. Konsentrasi protein yang cenderung lebih kecil diduga
disebabkan oleh mudahnya protein fage terdegradasi oleh protease ekstraselular
yang dimiliki sel EPEC K1.1.
Berdasarkan karakteristik isolat FB4 seperti dari ukuran lisisan yang lebih
besar; kemampuan dalam menginfeksi sel EPEC K1.1 yang lebih baik; serta lebih
tingginya konsentrasi protein FB4 diantara ketiga isolat fage yang lain, maka
selanjutnya FB4 diidentifikasi dengan analisis morfologi fage dan pengaruh serta
efektifitas fage FB4 dalam melisis sel EPEC K1.1. Analisis morfologi dengan
menggunakan TEM pada FB4 menunjukkan morfologi kepala fage yang besar
dan berbentuk heksagonal ikosahedral. Lebar kepala fage sebesar 81.56 nm dan
panjangnya sebesar 103.11 nm.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada empat isolat
fage dari sampel limbah cair rumah tangga yang spesifik terhadap EPEC K1.1.
Fage FB4 merupakan fage yang paling kuat menginfeksi EPEC K1.1, memiliki
berat molekul protein sebesar 40.2 kDa dan 35.8 kDa, morfologi kepala berbentuk
heksagonal ikosahedral, dapat melisis sel EPEC K1.1 pada 25 menit pertama,
serta dapat menurunkan populasi EPEC K1.1 setelah 1 jam dan semakin tampak
menurun setelah 5 jam berikutnya.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INFEKTIFITAS FAGE LITIK DARI
LIMBAH CAIR RUMAH TANGGA TERHADAP
Enteropathogenic Escherichia coli RESISTEN ANTIBIOTIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Infektifitas Fage Litik dari Limbah Cair Rumah Tangga
terhadap Enteropathogenic Escherichia coli Resisten
Antibiotik
Nama : Rina Hidayati Pratiwi
NIM : P051070041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Muhammad Jusuf Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 hingga Juni 2009 ini ialah
Infektifitas Fage Litik dari Limbah Cair Rumah Tangga terhadap
Enteropathogenic Escherichia coli Resisten Antibiotik. Judul ini dipilih karena
EPEC K1.1 merupakan bakteri yang resisten terhadap antibiotic, penyebab diare,
yang mekanisme penyebarannya secara water borne dan food borne, sehingga
diperlukan alternatif pencarian fage yang infektif dan ramah lingkungan untuk
digunakan sebagai biokontrol pencemaran air dan makanan.
Halaman
Halaman
Halaman
Halaman
Latar Belakang
Penyakit diare merupakan salah satu food borne disease dan water borne
disease (Salyers & Whitt 1994) yang banyak menimbulkan masalah kesehatan di
Indonesia dan bisa menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan baik.
Mekanisme penyebaran food borne disease dan water borne disease terjadi akibat
patogen penyebab penyakit berada dalam makanan dan air yang telah tercemar
sehingga dapat menyebabkan penyakit infeksi bila terminum atau termakan oleh
manusia atau hewan. Salah satu bakteri penyebab diare yang umum ditemukan
dalam tanah dan air dan dapat mencemari makanan ialah bakteri Escherichia coli
Enteropatogenik (EPEC) (Jay 1978; Jay et al. 2005).
Di Indonesia, bakteri EPEC terdapat 55% pada sampel feses bayi dan
anak-anak penderita diare yang tercuplik di daerah Purwodadi Jawa Tengah,
Depok, Ciamis, dan Ciawi Jawa Barat serta Sambas Kalimantan Barat (Budiarti
1997). Diantara galur EPEC yang diisolasi, terdapat EPEC K1.1 yang memiliki
serotipe O142, melekat pada sel HEp-2. Studi selanjutnya dilaporkan bahwa
EPEC K1.1 menghasilkan protease ekstraseluler dan mampu mendegradasi musin
(Budiarti dan Mubarik 2006). Bakteri EPEC K1.1 bersifat resisten terhadap
tetrasiklin dan ampisilin (Budiarti 1998). Beberapa bakteri EPEC yang resisten
terhadap antibiotik dapat mencemari sumber air minum dan makanan sehingga
diperlukan pencarian biokontrol yang ramah lingkungan untuk mengatasi
pencemaran air dan makanan.
Fage litik memberikan suatu metode alami dan non toksik untuk
mereduksi dan mengontrol pertumbuhan bakteri patogen manusia karena fage
adalah bagian dari gastrointestinal dan ekosistem lingkungan (Ackermann &
Dubow 1987). Fage dapat diambil dari limbah, tinja, tanah, air, jaringan tubuh
yang terserang penyakit, atau produk dari pabrik susu. Berdasarkan penelitian
Ogunseitan et al. (1992), fage yang sangat umum di lingkungan dengan
konsentrasi besar telah terdeteksi berada di sampel limbah cairan, yaitu sebesar
3.16 x 106 fage dalam 1 ml air. Menurut Travis (2008) dalam Curious Cat Science
and Engineering Blog, rata-rata terdapat 50 juta virus dalam tiap milliliter air
limbah. Penemuan yang telah dilakukan puluhan tahun yang lalu menunjukkan
bahwa jumlah virus sangat berlimpah di dalam lingkungan alami perairan
sehingga pengisolasian fage dalam penelitian ini dilakukan pada lingkungan
perairan terutama pada limbah. Sumber fage yang paling baik dan paling umum
ialah habitat inang (Pelczar & Chan 1988). Limbah merupakan habitat bakteri
fekal (coliform) dan diduga di dalam limbah juga banyak mengandung kolifage
atau galur fage bakteri koliform yang berbeda.
Aplikasi fage terhadap biokontrol pencemaran makanan diantaranya fage
spesifik E. coli O157 yang diberikan pada daging (Kudva et al. 1999; Flynn et al.
2004), fage spesifik Salmonella dan Campylobacter yang diberikan pada ayam
(Goode et al. 2003), fage spesifik Yersinia enterocolitica yang diberikan pada
babi (Skurnik 1984; Strauch et al. 2001a), fage spesifik Lactococcus garviae dan
Pseudomonas plecoglossicida yang diberikan pada ikan (Park & Nakai 2003; Park
et al. 2000). Sedangkan terhadap sanitasi air, secara in vivo di Bangladesh telah
diaplikasikan fage spesifik E . coli patogen dalam bentuk tablet pada air minum
(Ochman & Selander 1984).
Penggunaan fage litik sebagai agen biokontrol bakteri Listeria
monocytogenes penyebab penyakit Listeriosis telah diaplikasikan di sejumlah
negara seperti di Netherland, Eropa, dan di Amerika Serikat. Fage di negara
tersebut digunakan pada produk makanan keju dan daging kemudian berlanjut
produk daging unggas, ikan dan mentega (Carlton et al. 2005). Fage spesifik
Listeria monocytogenes sudah ditemukan sejak tahun 2004 dan mulai digunakan
serta dikeluarkan produknya oleh Exponential Biotherapies Incorporated (EBI)
Food Safety pada bulan Juli 2006 dengan nama LISTEXTM P100 (Hagens &
Offerhaus 2008). Selanjutnya pada tahun 2006, FDA dan USDA telah
mengizinkan penggunaan produk fage LISTEXTM P100 terhadap produk makanan
daging dan unggas yang terkontaminasi Listeria monocytogenes dan penggunaan
fage pada kulit ternak yang terkontaminasi Salmonella (Fortuna et al. 2008).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui adanya fage litik dari limbah
cair rumah tangga yang mampu melisis bakteri EPEC K1.1.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai biokontrol
pencemaran air dan makanan sehingga dapat mencegah penyakit diare (water
borne dan food borne disease).
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Diare
Diare atau gastroenteritis adalah suatu masalah kesehatan di masyarakat
dari keadaan tidak sehat dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani
dengan serius. Dari hasil analisis penelitian Irianto (2000), dapat diketahui bahwa
rentang frekuensi diare adalah tiga hingga delapan kali dengan rata-rata 4.33 kali
selama sehari semalam. Kematian akibat diare umumnya disebabkan oleh mencret
yang terjadi tak berkesudahan sehingga penderita kehilangan cairan dan elektrolit
dalam tubuh yang menyebabkan dehidrasi. Tingkat keparahan diare diantaranya
ditunjukkan dari tingginya frekuensi mencret dalam satu hari. Ketepatan perkiraan
tingkat keparahan yang akan terjadi pada penderita sangat menolong dalam upaya
program pencegahan yang akan dilakukan.
Diare dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pendidikan para ibu, jabatan/
kedudukan, kesehatan pribadi, sanitasi lingkungan, dan status gizi anak-anak di
bawah usia lima tahun atau lebih (Amhira 2004). Berdasarkan hasil analisis
multivariat penelitian Waraouw (2002), faktor resiko keluhan diare seperti
penghuni rumah yang berlokasi di daerah rawan banjir sebesar 1:43 kali (95%
CI:1.15-1.79), kondisi fisik rumah tidak baik sebesar 1.23 kali (95% CI:1.03-1.46)
dan jumlah balita lebih dari 1 sebesar 0.83 kali (95% CI:0.071-0.98).
Definisi resmi dari medis tentang diare adalah defekasi yang melebihi 200
gram per hari. Hal ini terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh
usus besar. Sebagai akibat dari proses digesti atau karena masukan cairan yang
berlebihan sehingga membuat makanan yang dicerna terdiri atas banyak cairan
sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air lalu meninggalkan
material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak atau
"inflame", penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair atau
diare (http://id.wikipedia.org/wiki/Diare). Gangguan bakteri dan parasit kadang-
kadang menyebabkan tinja mengandung darah dan penderita merasakan demam
tinggi.
Karakteristik EPEC
Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) termasuk dalam kelompok
enterobacteriaceae, bersifat gram-negatif, anaerobik-fakultatif, bentuk sel batang,
menghasilkan protease ekstraselular, tidak membentuk spora, metabolisme
fermentatif, dan motil dengan flagella peritrikus (Pelczar & Chan 1988).
Escherichia coli tersebar luas di alam sebagai parasit intestinal dan flora normal
dalam mamalia dan burung. Galur-galur tertentu yang patogen jika menginfeksi
manusia dan hewan maka dapat menimbulkan infeksi septikimia dan diare
(Greenwood et al. 1995).
Bakteri EPEC termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dengan habitat
alami di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas (Nataro &
Kaper 1998). Bakteri ini merupakan salah satu dari enam virotipe E. coli yang
dapat menyebabkan diare. Istilah Escherichia coli Enteropatogenik dikemukakan
oleh Neter pada tahun 1950-an berdasarkan pada uji serotipe. Serotipe penting E.
coli yang termasuk ke dalam EPEC ialah O26, O55, O86, O111, O119, O125,
O126, O127, O128ab, dan O142 (Levine 1987). Bakteri gram negatif ini
berbentuk batang, bersifat anaerob fakultatif dengan ukuran lebar 1.1 - 1.5 µm dan
panjang 2.0 - 6.0 µm, motil dengan flagela peritrikus. Berdasarkan Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology (1974) ciri biokimia dari bakteri ini ialah:
memiliki kemampuan memfermentasi laktosa; dapat menghidrolisis asam amino
triptofan menjadi indol dan asam piruvat melalui kerja enzim triptofanase; dapat
memfermentasi glukosa dan menghasilkan banyak sekali asam laktat, asetat,
suksinat, dan format disamping CO2, H2, dan etanol; tidak dapat membentuk 2,3-
butanadiol dari reaksi VP (Voges-Proskauer), dan tidak dapat menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon satu-satunya. Pada media EMB (Eosin Methylene Blue)
bakteri ini menunjukkan warna hijau metalik (kilap logam).
Kemampuan suatu bakteri patogen untuk menyebabkan infeksi
dipengaruhi oleh faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi merupakan
kemampuan yang dimiliki oleh bakteri untuk dapat bertindak sebagai bakteri
patogen (Inglis 1996). Faktor virulensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor
virulensi yang memungkinkan bakteri untuk berkolonisasi, seperti pili; flagela;
motilitas dan kemotaksis; protease ekstraseluler; serta faktor virulensi yang
mengakibatkan kerusakan pada inang diantaranya eksotoksin dan endotoksin
(Levine et al. 1985). Faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas EPEC
meliputi adhesin (Hicks et al. 1998), intimin (Kenny et al. 1997), protein-protein
sekresi (Esp) (Jarvis et al. 1995), dan bundle-forming pili (bfp) (Giron et al.
1991). Bakteri EPEC membutuhkan plasmid-borne bundle forming pili (bfp) tipe
IV untuk pelekatan dan autoagglutinasi (Jay et al. 2005).
Patogenesis EPEC terdiri atas tiga tahap, tahap pertama yaitu non intimate
binding yang diperantarai pili (bfp); tahap kedua, adhesi bakteri pada sel inang
mencetuskan tranduksi sinyal, yang berhubungan dengan aktivasi kinase tirosin
sel inang dan menyebabkan kenaikan level Ca2+ intraseluler sel inang; tahap
ketiga, yaitu intimate binding dan actin rearrangement yang ekstensif di sekitar
bakteri. Pada banyak penderita, apabila dilihat dengan mikroskop elektron, EPEC
melekat erat dengan permukaan mukosa dan sebagian dikelilingi oleh pedestals
(attaching and effacing) pada permukaan enterosit. Pada area perlekatan EPEC
tersebut brush border mikrovili sel-sel mukosa menjadi hilang. Fungsi absorbsi
pada sel-sel mukosa menjadi rusak sehingga akan terjadi diare (Knutton et al.
1987).
Galur EPEC bersifat patogenik (yang berarti mereka dapat menyebabkan
penyakit dalam usus kecil dan usus besar). EPEC menyerang dan membuat radang
lapisan dari usus kecil dan usus besar, selanjutnya membentuk luka dan
menghancurkan mikrofili saluran pencernaan (Donnenberg & Whittam 2001).
Penyakit ini dicirikan oleh diare tanpa darah atau lendir, muntah yang berlanjut
dengan dehidrasi yang akibatnya menimbulkan kematian (Farmer III et al. 1987).
EPEC menyebabkan diare berair atau berdarah. Diare berair umumnya disebabkan
oleh perlekatan bakteri dan perubahan integritas usus secara fisik. Diare berdarah
disebabkan oleh perlekatan bakteri dan proses perusakan jaringan yang akut,
mungkin disebabkan oleh racun yang mirip dengan racun Shigella dysenteriae,
yang disebut juga verotoxin.
Banyak faktor risiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare
pada bayi dan balita di Indonesia. Salah satu faktor risiko yang sering diteliti
adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi, jamban,
saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakteriologis air, dan kondisi
rumah. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab banyaknya kontaminasi bakteri
E. coli patogenik dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E. coli
mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E. coli
terjadi pada air tanah yang biasanya banyak disedot oleh penduduk di perkotaan
(Adisasmito 2007).
Air merupakan suatu vektor transmisi bagi mikroorganisme dalam
melakukan penyebaran penyakit. Berdasarkan hasil uji mikrobiologis, air yang
digunakan untuk minum banyak menunjukkan terkontaminasi bakteri fekal.
Kualitas air minum dapat dijadikan suatu standar minimal untuk air yang
digunakan dalam makanan sehingga air yang telah tercemar bakteri patogen dapat
mempengaruhi kualitas suatu makanan (Pawsey 2002).
Bakteri EPEC biasanya diperoleh dengan meminum air yang tercemar atau
memakan makanan-makanan yang tercemar seperti sayur-sayuran, unggas, dan
produk-produk susu. Air adalah media yang mempunyai resiko cukup besar
terjadinya penyakit bawaan air (water borne disease) dan penyakit bawaan
makanan (food borne disease). Pengolahan air harus dilakukan sebagai upaya
pemutus rantai penularan penyakit khususnya yang dibawa oleh air. Makanan
yang sering menjadi penyebab kasus EPEC yaitu daging sapi dan ayam mentah,
namun semua makanan yang terpapar pada kontaminasi kotoran dapat sangat
dicurigai terkontaminasi EPEC (http://www.cfsan.fda.gov/~mow/intro.html).
Karakteristik Fage
Bakteriofage disebut juga dengan fage, ditemukan secara terpisah oleh
Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan Felix d’Herelle dari Pasteur
Institute pada tahun 1917. Twort melihat bahwa koloni bakteri kadangkala
mengalami lisis; sifat ini dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya.
Filtrat koloni yang diencerkan dan difiltrasi dengan membran filter tetap saja
melisiskan koloni. Namun, bila filtrat ini dipanaskan kemampuan melisiskan ini
hilang. Dari berbagai ciri ini Twort berkesimpulan bahwa agen penyebab lisis
ialah virus. D’Herelle menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga
diberi nama fenomena Twort-d’ Herelle (Pelczar & Chan 1988).
Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan
diri di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik
sel inang. Fage juga secara metabolisme tak berdaya dan hanya dapat
bereproduksi setelah menginfeksi sel inang bakteri yang cocok. Bakteriofage
bersifat sangat spesifik dan tidak bersifat toksik terhadap binatang dan tumbuhan.
Seperti pada virus umumnya, bakteriofage mengandung asam nukleat DNA
berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai tunggal yang diliputi selubung
protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit kapsomer, sedangkan kapsomer
terdiri atas subunit protomer. Fage T-genap terdiri atas kepala dan ekor. Kepala
mengandung DNA disertai poliamina, protein internal, dan peptida yang
sederhana. Bagian ekor terdiri atas tabung heliks yang dilalui DNA fage sewaktu
proses infeksi. Tabung ini dilapisi selaput yang dapat berkontraksi. Bagian dasar
tabung dihubungkan dengan lempeng dasar berbentuk heksagonal. Sudut lempeng
dasar ini memiliki struktur paku ekor pada sudutnya yang dihubungkan dengan
serabut ekor. Struktur ini merupakan alat untuk melekatkan diri pada dinding sel
inang.
Fage khususnya kolifage dianggap merupakan indikator polusi karena sifat
daya tahan virus di dalam air dan air limbah. Suatu indikator E. coli yang
membawa plasmid faktor F digunakan sebagai inang. Hasilnya menunjukkan
sejumlah kolifage pada makanan dapat ditentukan dalam 16 jam pengujian dan
bahwa kolifage memberikan metode yang cepat dalam menandakan adanya
kontaminasi fekal pada makanan (Melnick 1984 dalam Pierson & Stern 1986).
Fage mempunyai 2 bentuk yaitu kubus atau heliks. Bentuk kubus ini
terlihat sebagai polihedra, sedangkan bentuk heliks terlihat sebagai batang. Fage
polihedral berbentuk ikosahedral yang berarti bahwa kapsid memiliki 20 bidang
permukaan berbentuk segitiga. Bila unit kapsomer pada kapsid dikelilingi oleh 5
kapsid lainnya, maka bentuk ini disebut penton. Pada fage berbentuk batang,
kapsomer ditata sebagai heliks dan bukan sebagai tumpukan cincin.
Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on
Taxonomy of Viruses (ICTVdB Index of Viruses 2000), dimasukkan dalam
kelompok/ ordo I, yaitu Caudovirales dengan ciri fage yang memiliki DNA
double-strand dan berekor. Jika fage tersebut berekor kontraktil maka dimasukkan
ke dalam famili Myoviridae, jika fage tersebut berekor pendek maka dimasukkan
ke dalam famili Podoviridae, dan jika fage tersebut berekor seperti tabung yang
meruncing maka dimasukkan ke dalam famili Siphoviridae.
Fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik
dan lisogenik. Cara reproduksi bakteriofage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap
adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila
fage litik menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang
membentuk sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah dan
akan menginfeksi sel inang lainnya (Tortora et al. 2006).
Pada tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus
pada permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik yang berarti bahwa
reseptor dan fage bersifat sebagai pasangan. Reseptor dapat berupa
lipopolisakarida, flagela, pili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel.
Proses infeksi hanya dapat terjadi bila ada adsorpsi. Bila bakteri kehilangan
kemampuannya untuk mensintesis reseptor, maka fage tidak dapat melekatkan
dirinya, sehingga bakteri menjadi resisten terhadap infeksi fage. Adsorpsi pada
tahap awal bersifat ’dapat balik’ yang berarti bahwa fage dapat terlepas bila ujung
serabut ekornya saja yang melekat pada permukaan sel dan bersifat ’tidak dapat
balik’ bila cengkraman ekornya yang melekatkan diri pada sel inang.
Penetrasi fage ke sel inang bersifat mekanikal. Proses ini dipermudah
dengan adanya digesti struktur permukaan oleh lisozim yang terdapat dalam ekor
fage atau aktivasi enzim inang oleh fage.
Pada fage T-genap penetrasi berjalan sebagai berikut:
a. Serabut ekor melekatkan dirinya pada sel dan mencengkramkan dirinya
pada dinding sel.
b. Selaput pada ekor berkontraksi dan mendorong isi ekor menembus dinding
sel dan membran sel.
c. Fage melepaskan DNA-nya. Proses ini dapat disamakan dengan
pengeluaran vaksin melalui suntikan.
Selubung protein yang membungkus kepala dan ekor tetap berada di luar
sel. Fage T1 dan T5 yang tidak memiliki selaput kontraktil juga
melepaskan asam nukleat dengan cara melekatkan diri diantara lapisan
membran dalam dan lapisan membran luar.
Pada fage tahap transkripsi terjadi dalam beberapa tahap melalui gen fage
yang disebut sebagai:
a. gen awal pertama (immediate early genes)
b. gen awal kedua (delayed early genes)
c. gen akhir (late genes)
Penamaan ini didasarkan pada kurun waktu gen berfungsi (Lay & Hastowo 1992).
Pada tahap sintesis, sintesis mRNA bakteri dan protein terhenti seketika
setelah DNA fage masuk. DNA bakteri didegradasikan menjadi penggalan
pendek. Sintesis mRNA fage segera dimulai setelah infeksi. DNA fage meningkat
setelah suatu tenggang waktu, diikuti oleh protein fage, kapsid awal dan kapsid
dewasa yang infeksius. Transkripsi terjadi seketika dengan menggunakan RNA
polimerase bakteri. Proses ini menggunakan gen awal pertama yang berfungsi
untuk menyandi nuklease yang menguraikan DNA inang. Nukleotida hasil
penguraian ini digunakan oleh fage untuk mengubah enzim polimerase RNA
bakteri sehingga terjadi transkripsi gen dari fage. Perubahan RNA polimerase
bakteri menghasilkan DNA fage seperti 5-hidroksilmetilsitosin (menggantikan
sitosin pada DNA bakteri). Proses ini terjadi melalui gen awal kedua. Enzim
yang menguraikan sitosin bakteri menyebabkan fage dapat hidup dan bertahan,
karena enzim penghambat (restriction enzymes) tidak lagi dapat menguraikan
DNA fage disebabkan penggantian nukleotida menjadi 5-hidroksilmetilsitosin.
Pada tahap berikut nuklease fage akan menghancurkan semua DNA yang tidak
mengganti sitosin DNA-nya. Gen awal kedua juga menyandi polimerase dan
ligase yang berperanan dalam replikasi fage. Gen akhir berfungsi dalam
pembentukan ekor, kepala, dan serabut. Selain itu gen ini menyandi pembentukan
lisozim fage yang melisiskan sel bakteri sehingga fage baru dapat dilepaskan dari
sel. Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang
dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan.
Tahap pematangan atau perakitan merupakan tahap penyusunan asam
nukleat dan protein virus menjadi partikel virus yang utuh. Tahap perakitan
terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat yang diikuti oleh lisis sel bakteri
dan pelepasan fage. Fage baru akan menginfeksi sel bakteri lainnya dan siklus
litik akan diulangi kembali (Tortora et al. 2006).
Metode Penelitian
Alur penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdapat
pada gambar 1. Metode tersebut terdiri atas 7 tahapan.
1. Filtrasi
2. Pencawanan
3. Pemurnian Fage
4. Produksi atau Perbanyakan Fage
C. Kuantifikasi Fage
Peremajaan Isolat
Isolat EPEC K1.1 dan bakteri E. coli non patogen, masing-masing
ditumbuhkan dengan metode kuadran pada media agar cawan Luria Bertani (LB)
dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Koloni tunggal yang terbentuk
diambil dan ditumbuhkan pada media agar miring Luria Bertani (LB) lalu
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 12 jam. Hasil biakan disimpan pada suhu 4 0C
untuk digunakan sebagai stok bakteri uji.
Filtrasi
Sebanyak 4.5 mL limbah dicampurkan dengan 0.5 mL dari kultur EPEC
OD600=1 atau E. coli non patogen dalam media kaldu Luria Bertani (LB) dan 0.5
mL dari 10x LB. Campuran diinkubasi 24-48 jam pada suhu 37 0C. Kultur
kemudian disentrifugasi dengan sentrifuse ukuran besar pada kecepatan 2500 rpm,
suhu 4 0C selama 20 menit. Sebanyak 3 ml supernatan diambil dengan 5 ml
syringe dan difiltrasi dengan membran millipore 0.22 mikro. Supernatan yang
telah difiltrasi dimasukkan ke dalam tabung yang steril (Pitt & Gaston 1995).
Pencawanan
Koloni tunggal EPEC K1.1 dan E. coli non patogen, masing-masing
ditumbuhkan ke dalam media kaldu LB supplement lalu diinkubasi pada shaker
bath dengan kecepatan 150-200 rpm pada suhu 37 0C selama 5-7 jam sampai
OD600=1. Sebanyak 100 mikroliter dari pertumbuhan bakteri dicampurkan dengan
100 mikroliter supernatan yang telah difiltrasi dalam tabung yang steril diinkubasi
pada suhu 37 0C selama 30 menit. Campuran ditambahkan 3 ml agarose cair
(molten top agar) yang bersuhu 47 0C, dicawankan pada media agar-agar tanpa
yeast extract, diputar perlahan untuk meratakan sebaran dan dibiarkan memadat.
Inkubasi dilakukan pada 37 0C selama 12 jam (Chibani-Chennoufi et al. 2004).
Pemurnian Fage
Beberapa fage yang menunjukkan penampakan plak berbeda, masing-
masing dimurnikan dengan memindahkan plak yang terisolasi dengan baik
menggunakan pipet Pasteur kemudian plak tersebut dicampurkan dengan 2-3 ml
25% pelarut Ringers. Suspensi fage divortex dan dibiarkan selama 5-10 menit
pada suhu ruang. Suspensi tersebut kemudian difiltrasi menggunakan membran
filter 0.45 µ. Tahap selanjutnya dilakukan penambahan 3-5 tetes kloroform yang
mengandung 1% etanol dengan tujuan untuk membunuh beberapa bakteri yang
masih ada. Sentrifugasi dilakukan dengan sentrifuse ukuran besar pada kecepatan
2800 rpm, suhu 4 0C, selama 20 menit. Supernatan disentrifugasi sebanyak 2 kali
ulangan untuk meminimalkan adanya bakteri dan debris lainnya, kemudian
supernatan hasil sentrifugasi yang mengandung fage diambil dan disimpan untuk
bahan produksi.
Produksi atau Perbanyakan Fage
Kultur inang disiapkan dengan cara menumbuhkan bakteri EPEC pada 1%
(v/v) media kaldu LB suhu 37 0C, 150 rpm pada shaker bath selama 3-5 jam,
Sebanyak 100 µl kultur EPEC diinfeksikan dengan fage dalam jumlah yang sama
pada suhu 37 0C, 50 rpm pada shaker bath, selama 1 jam. Lima tetes kloroform
yang mengandung 1% etanol ditambahkan, kemudian disentrifugasi dengan
sentrifuse ukuran besar pada kecepatan 2900 rpm, suhu 4 0C, selama 30 menit.
Supernatan dipisahkan dan ditambahkan PEG-8000/ 2.5 M NaCl sebanyak
seperempat dari volume supernatan yang diperoleh. Selanjutnya didinginkan pada
suhu 0 0C selama kurang lebih 1 jam dan disentrifugasi dengan sentrifuse ukuran
besar pada kecepatan 2500 rpm, suhu ruang selama 30 menit. Supernatan dibuang,
pellet fage yang berada di dasar tabung diresuspensi 500-1000 µl STE buffer (1 M
Tris pH 8, 0.5 M EDTA pH 8, 5 M NaCl) lalu disentrifugasi dengan sentrifuse
ukuran kecil pada kecepatan 13000 rpm, suhu ruang, selama 20 menit. Supernatan
yang diperoleh dipindahkan ke eppendorf baru dan ditambahkan 100 µl EDTA 5
mM, kemudian disimpan sebagai stok.
Hasil
A. HASIL ISOLASI DAN POLA KERAGAMAN PLAK FAGE EPEC K1.1
Hasil isolasi fage yang diambil dari sampel limbah cair rumah tangga di
sepanjang Babakan Raya Darmaga Bogor pada mulanya diperoleh 9-18 plak serta
adanya beberapa zona bening atau zona hambat lainnya di pinggir agar cawan
yang ditumbuhi kultur EPEC K1.1. Plak yang terbentuk dari suatu kultur bakteri
yang ditumbuhkan di cawan petri merupakan satu parameter penting dari adanya
fage pada siklus litik. Plak tersebut terlihat bening yang menandakan adanya zona
kerusakan sel.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2 Pola keragaman plak fage. Isolat FB1 (a), FB2 (b), FB3 (c),
FB4 (d) (masing-masing plak diberi tanda lingkaran).
Fage hasil isolasi dipilih menjadi 4 isolat fage secara random. Masing-
masing isolat fage diberi nama FB1, FB2, FB3, dan FB4. Masing-masing isolat
fage tersebut satu sama lain memiliki pola keragaman plak yang berbeda, seperti
terlihat pada Gambar 2. Pola keragaman plak terlihat dari ukuran dan bentuk zona
bening dari masing-masing fage. Fage FB4 cenderung memiliki ukuran lebih
besar dan lebih beragam daripada ketiga isolat fage lainnya (Gambar 2d).
(a) (b)
Gambar 3 Kisaran inang fage. Plak muncul pada fage yang diinfeksikan dengan
EPEC K1.1 (a) (diberi tanda lingkaran); sedangkan pada E. coli non
patogen tidak muncul adanya plak (b).
FB3 25 250
1 2 3
116.0 kDa
66.2 kDa
c
45.0 kDa
d
a
b e
35.0 kDa f
(a) (b)
Gambar 5 Morfologi fage FB 4, perbesaran 80000x (a), kepala fage yang
diperbesar menunjukkan bentuk heksagonal ikosahedral (b).
Tanda ( ) menunjukkan kepala.
F. EFEKTIFITAS FAGE MELISIS EPEC K1.1
Infeksi fage terhadap jumlah pertumbuhan EPEC K1.1 selama 24 jam
dengan selang waktu rata-rata 5 jam, terlihat pada Gambar 6. Kurva ini
menunjukkan penurunan jumlah populasi sel EPEC K1.1 pada 1 jam pertama dan
semakin tampak penurunannya setelah 5 jam berikutnya. Hal ini tampak berbeda
dengan perlakuan kontrol yang baru menunjukkan penurunan jumlah populasi sel
EPEC K1.1 setelah 10 jam. Penambahan FB4 pada kultur EPEC K1.1 yang
diinkubasi pada suhu 370 C selama 5 jam dapat menurunkan jumlah populasi
EPEC K1.1 sebanyak 22% dan 84 % setelah inkubasi selama 24 jam.
EPEC K1.1 yang Diinfeksikan oleh Fage EPEC K1.1 yang tidak Diinfeksikan oleh Fage
600 600
500 500
400 400
300 300
200 200
100 100
0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30
Waktu (jam) Waktu (jam)
(a) (b)
Gambar 6 Kurva efektifitas lisis sel EPEC K1.1 oleh FB4. EPEC K1.1 yang
diinfeksi oleh FB4 (a) dan yang tanpa fage (sebagai kontrol) (b)
selama 24 jam.
(b)
(c)
Gambar 7 Morfologi kerusakan EPEC K1.1 karena infeksi FB4 selama
25 menit. Sel EPEC K1.1 tanpa fage (a); sel EPEC K1.1 yang
diinfeksi oleh fage dengan inkubasi 25 menit (b), (c). Tanda panah
menunjukkan fage yang menginfeksi EPEC K1.1, tanda lingkaran
menunjukkan kerusakan dan lisisnya sel EPEC K1.1.
Hasil pengamatan di SEM, terlihat bahwa FB4 dapat memecahkan/
melisiskan sel EPEC K1.1 dalam waktu 25 menit inkubasi (Gambar 7b). Dalam
waktu lebih lama lagi yaitu 30 menit, morfologi sel EPEC K1.1 tampak banyak
yang sudah hancur atau lisis melepaskan fage-fage baru kemudian menginfeksi
bakteri-bakteri lain. Pada permukaan dinding sel terlihat sudah tidak utuh lagi atau
rusak. Hancuran dari sel EPEC K1.1 tampak bergabung dengan partikel fage yang
semakin banyak keluar dari sel inang (Gambar 8b).
(a)
(b)
Fage tidak mampu bereplikasi sendiri tanpa adanya sel inang sehingga
dalam melakukan pengisolasian fage perlu dicampurkan dengan bakteri sebagai
inangnya virus. Metode isolasi fage yang dilakukan ialah dengan metode
enrichment yaitu memperkaya nutrisi pada media pertumbuhan bakteri agar virus
dapat bereplikasi di dalam tubuh bakteri dan dapat dengan mudah diperoleh dalam
jumlah yang banyak. Fage dapat diisolasi dan dikultivasi pada biakan bakteri yang
muda (pada fase logaritma) dan sedang tumbuh aktif dalam kaldu atau cawan
agar. Penggunaan media padat memungkinkan timbulnya plak sehingga dapat
dilakukan pendeteksian atau penghitungan virus bakteri (fage). Persyaratan utama
bagi isolasi dan kultivasi fage ialah harus adanya kondisi optimum untuk
pertumbuhan organisme inangnya (Pelczar & Chan 1988) sehingga pada
penginfeksian fage dengan EPEC K1.1 dilakukan pada suhu 37 0C. Pada proses
pemurnian fage dilakukan dengan penambahan kloroform yang mengandung 1%
etanol. Hal ini bertujuan untuk membunuh sisa-sisa bakteri agar diperoleh fage
murni tanpa adanya inang. Kennedy et al. (1984) dalam Pierson dan Stern (1986)
menyebutkan bahwa penggunaan kloroform itu merugikan bagi beberapa kolifage
sehingga penggunaannya bisa diminimalisir dengan memproduksi fage pada
suatu media selektif. Penginfeksian terhadap inang yang selanjutnya digunakan,
penting dilakukan untuk mendeteksi viabilitas fage setelah penyimpanan.
Penentuan jumlah sel ekstraseluler dilakukan dengan sentrifugasi campuran
bakteri dengan fage. Jika berdasarkan ukuran fage yang lebih kecil daripada
bakteri maka sejumlah fage diharapkan banyak berada pada bagian supernatan.
Hasil isolasi fage dari sampel limbah cair rumah tangga daerah Babakan
Raya menghasilkan 9-18 plak dan dari plak tersebut terpilih 4 isolat fage (FB1,
FB2, FB3, dan FB4) secara random. Fage yang diinfeksikan ke bakteri EPEC
K1.1 (bakteri uji) dikondisikan dalam siklus litik karena pada siklus litik, tahap
adsorpsi, penetrasi, sintesis, dan pematangan berlangsung dengan cepat. Pada
siklus ini pula partikel virus keluar dari sel yang diserangnya dengan memecahkan
sel tersebut sehingga sel inang mati (lisis). Plak yang terbentuk dari suatu kultur
bakteri yang ditumbuhkan di cawan petri merupakan satu parameter penting dari
adanya fage pada siklus litik. Plak tersebut terlihat bening yang menandakan
adanya zona kerusakan sel. Setiap plak berasal dari satu partikel fage sama
seperti setiap koloni berasal dari satu sel bakteri. Satu plak berasal dari satu
partikel virus sehingga seluruh partikel virus yang terdapat pada plak tersebut
seharusnya juga memiliki sifat genetik yang sama. Pada saat terbentuknya plak,
bakteri yang tidak terkena infeksi tersebar di tempat lain di dalam agar cawan dan
menghasilkan suatu background yang keruh.
Proses isolasi fage dilakukan dengan berbagai perlakuan sampai dengan
pemurnian untuk memastikan suatu populasi fage yang murni tanpa adanya
beberapa bakteri termasuk inang bakteri yang tahan fage. Hal ini juga dianggap
penting karena populasi fage terdiri atas beberapa strain fage dengan satu
karakteristik umum. Masing-masing fage menginfeksi pada inang tertentu
sehingga sangat diperlukan tahapan untuk memperoleh strain murni (Goodridge
et al. 2003).
Fage (FB1, FB2, FB3, dan FB4) yang terisolasi, spesifik terhadap EPEC
K1.1 karena fage-fage tersebut mampu mereduksi jumlah EPEC K1.1. Keempat
isolat fage yang spesifik terhadap bakteri EPEC K1.1 diduga merupakan isolat
yang tidak serupa atau tidak identik. Berdasarkan pengamatan secara visual,
ukuran plak yang terbentuk dari satu isolat fage tampak berbeda dengan isolat
fage yang lain (Gambar 2). Hal ini menandakan fage-fage tersebut berbeda dalam
cara melisiskan sel inang. Hasil penelitian Yoon et al. (2007) yang menggunakan
fage Pediococcus juga menunjukkan perbedaan ukuran plak antara beberapa fage
Pediococcus. Ukuran lisisan tersebut signifikan dengan jumlah partikel fage yang
dibebaskan dari sel. Rata-rata dari setiap lisisan melepaskan lebih kurang 60
partikel fage tiap sel bakteri (Ellis & Delbruck 1938). Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, ukuran pembentukan plak masing-masing fage dari hasil menginfeksi sel
inang yang sama berkaitan dengan perbedaan cara merespon sel bakteri EPEC
terhadap asam nukleat fage yang disisipkan atau kemampuan fage dalam
bereplikasi di dalam sel inang. Pola lisis suatu galur bakteri yang diakibatkan oleh
tipe fage yang berbeda-beda memberikan petunjuk mengenai bakteri tersebut dan
untuk penentuan tipe fage (phage typing) (Pelczar & Chan 1988). Fage FB4
memiliki ukuran zona bening lebih besar dan lebih beragam daripada ketiga isolat
fage lainnya. Hal ini menandakan FB4 memiliki kemungkinan sebagai fage
infektif kuat.
Kepekaan galur bakteri terhadap fage yang menyerangnya berbeda-beda
yang diakibatkan variasi molekul reseptor (penghalangan adsorpsi), sistem
modifikasi restriksi dalam sel inang, atau sistem ketahanan fage lainnya seperti
infeksi abortif (Flynn et al. 2004). Fage melekat ke sel yang peka rangsangan pada
lokasi spesifik di dinding sel bakteri (Kudva et al. 1999). Di dalam bakteri gram
negatif, sel yang peka rangsangan ialah komponen protein dan lipopolisakarida
yang melapisi lapisan selaput sebelah luar termasuk peptidoglikan. Fage tertentu
atau sekelompok fage akan melekat ke reseptor spesifik, dan fage berbeda akan
melekat ke reseptor yang berbeda. Beberapa bagian struktural bakteri seperti
flagella, pilus, kapsul, teichoicacid, LPS, dan OMP dapat menyediakan reseptor
spesifik dalam bakteri tertentu (Gurnev et al. 2006). Penentuan kisaran inang
dilakukan untuk melihat kespesifisitas inang dan derajat lisis dari fage yang
diperoleh. Masing-masing isolat fage memperlihatkan spesifisitas terhadap EPEC
K1.1 karena ketika fage yang diperoleh diuji dengan masing-masing isolat EPEC
K1.1 dan E. coli non patogen, ternyata kisaran inangnya hanyalah pada isolat
EPEC K1.1. Sel EPEC K1.1 tampak dilisiskan oleh fage (Gambar 3a) sedangkan
E. coli non patogen tidak (Gambar 3b). Kespesifikan isolat fage yang diperoleh
terhadap EPEC K1.1 menunjukkan dugaan bahwa di permukaan sel EPEC K1.1
memiliki reseptor-reseptor yang spesifik terhadap fage yang tidak dimiliki oleh E.
coli non patogen.
Adsorpsi partikel-partikel fage terhadap sel-sel bakteri (tahap awal infeksi
fage) bergantung pada kehadiran reseptor-reseptor spesifik di dinding sel bakteri
(Topley & Wilson 1990). Banyak reseptor-reseptor dinding sel dimiliki oleh galur
dan serotipe bakteri yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Kudva et al.
(1999), infeksi fage bergantung pada sifat alami LPS O157. Bakteri Escherichia
coli O157 dapat menghasilkan LPS O157. Jika komplemen E. coli mutan O157-
deficient yang ujung gen penyandi LPS 0157 untuk bakteri tersebut dipotong
maka akan membuat bakteri resisten terhadap infeksi fage.
Cara penghitungan yang paling mudah ialah esei bercak/ plak (plaque
assay), yang dapat disamakan dengan penghitungan bakteri hidup. Plak yang
terbentuk adalah unik di dalam kemampuan mereka untuk mengidentifikasi dan
membeda-bedakan galur inang bakteri. Masing-Masing plak secara teoritis
sesuai dengan virus tunggal yang berada pada suspensi awal. Oleh karena itu,
konsentrasi suspensi virus diukur oleh banyaknya plak yang biasanya disebut
plaque forming unit (PFU) (Tortora et al. 2006). Penelitian tentang fage seringkali
memerlukan penghitungan fage secara cermat dan teliti. Hasil kuantifikasi atau
penghitungan plak yang terbentuk (PFU) (Tabel 1) setelah dilakukan satu kali
perbanyakan dalam proporsi yang sama (100 µl kultur EPEC diinfeksikan dengan
100 µl fage) menunjukkan bahwa FB4 memiliki kemampuan infeksi terkuat
terhadap EPEC K1.1 dibandingkan ketiga isolat fage yang lain. Kecepatan
pembentukan plak ini diduga berkaitan pula dengan kecepatan multiplikasi dari
FB4 sehingga lebih efektif dalam menginfeksi sel EPEC K1.1 dibandingkan
ketiga isolat lainnya. Hal ini memungkinkan peluang FB4 untuk dapat
diaplikasikan dalam biokontrol pencemaran air dan makanan.
Protein yang dimiliki oleh keempat isolat fage cenderung kecil. Dalam tiap
mililiternya, FB1 hanya memiliki 97.5 µg; FB2 82.5 µg; FB3 170 µg; dan FB4
222.5 µg (Tabel 2). Setelah dijalankan dengan SDS-PAGE, terdapat 2 isolat fage
(FB3 dan FB4) yang menunjukkan adanya pita protein. Kisaran protein yang
diperoleh antara 30-51 kDa (Gambar 4). Protein fage yang diukur kadar
proteinnya tersebut merupakan hasil produksi yang dilakukan berkali-kali.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa ukuran kadar protein
fage tidak memberikan adanya signifikansi dengan jumlah partikel fage.
Konsentrasi protein yang cenderung lebih kecil diduga disebabkan oleh mudahnya
protein fage terdegradasi oleh protease ekstraselular yang dimiliki sel EPEC K1.1.
Selain itu, ukuran protein yang kecil mungkin saja disebabkan oleh konsentrasi
protein fage EPEC itu sendiri yang memang lebih kecil sehingga walaupun dalam
penelitian ini sudah digunakan EDTA 5 mM sebagai tambahan pada media
penyimpanan fage yang berfungsi sebagai antiprotease (Waturangi 1999) namun
tetap saja kurang berpengaruh. Hal ini hampir serupa dengan penelitian Yoon et
al. (2007), dimana setelah dianalisis dengan SDS-PAGE menunjukkan kisaran
ukuran protein 33-34.5 kDa untuk fage yang menginfeksi Leuconostoc oenos dan
34-37 kDa untuk fage yang menginfeksi P. acidilactici.
Berdasarkan karakteristik isolat FB4 seperti dari ukuran lisisan yang lebih
besar; kemampuan dalam menginfeksi sel EPEC K1.1 yang lebih baik; serta lebih
tingginya konsentrasi protein FB4 diantara ketiga isolat fage yang lain, maka
isolat FB4 yang selanjutnya diamati penampakan morfologinya.
Penampakan morfologi dari fage yang terpurifikasi diperiksa dengan
menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM). Pemeriksaan dengan
menggunakan TEM dapat memperlihatkan bentuk morfologi fage secara 2
dimensi dengan perbesaran 50000x dan 80000x. Analisis morfologi dengan
menggunakan TEM pada FB4 (Gambar 5) menunjukkan morfologi kepala fage
yang besar dan berbentuk heksagonal ikosahedral. Lebar kepala fage berukuran
sebesar 81.56 nm dan panjang kepala fage sebesar 103.11 nm. Jika hanya
berdasarkan ciri-ciri morfologi yang dimiliki isolat fage FB4, maka morfologi
fage tersebut hampir serupa dengan banyak fage dari famili Siphoviridae ordo
Caudovirales. Berdasarkan klasifikasi dari the International Committee on
Taxonomy of Viruses (ICTVdB Index of Viruses 2000), morfologi fage yang
termasuk famili Siphoviridae memiliki ekor fleksibel, tidak memiliki selaput
kontraktil, panjang, heliks dan kepala heksagonal ikosahedral seperti fage λ
enterobacteria pada umumnya. Menurut hasil penelitian Girons et al. (1990),
berdasarkan hasil pengamatan di mikroskop elektron dengan pewarnaan negatif,
fage untuk Leptospira terlihat identik secara morfologi dengan kepala polihedral
dan ekor kontraktil. Rata-rata diameter kepalanya ialah 85 nm, dengan panjang
ekor 100 nm, lebar 25 nm. Morfologi ini serupa dengan banyak fage eubacteria
yang masuk dalam kelompok A1 famili Myoviridae (Ackermann & DuBow
1987).
Pengujian efektifitas infeksi bakteriofage terhadap sel EPEC K1.1
bertujuan agar dapat diketahui dengan tepat waktu yang dibutuhkan bakteriofage
dalam mengontrol berkembangbiaknya EPEC pada tubuh inang. Sebanyak 1000
plak dalam 100 µl fage yang setara dengan 10000 PFU telah memberikan
pengaruh terhadap pertumbuhan EPEC K1.1. Pengaruh pemberian fage terhadap
pertumbuhan EPEC K1.1 memberikan penurunan populasi sel bakteri EPEC K1.1
pada 1 jam pertama dan semakin tampak menurun setelah 5 jam berikutnya
(Gambar 6a). Hal ini berbeda dengan pertumbuhan EPEC K1.1 yang normal
(tanpa diinfeksikan oleh fage) karena populasi sel bakteri EPEC K1.1 baru terjadi
penurunan setelah 10 jam (Gambar 6b). Berdasarkan penelitian Hughes et al.
(1998), fage dapat mendegradasi exopolysaccharide (EPS) yang dihasilkan oleh
biofilm dari spesies bakteri Enterobacter agglomerans dan menginfeksi selnya.
Proses perusakan biofilm pada bakteri Enterobacter agglomerans oleh fage
merupakan suatu kombinasi penurunan EPS oleh depolymerase dan glycanase
yang dihasilkan oleh fage dengan proses penginfeksian fage yang selanjutnya
melisiskan sel tersebut. Depolimerase ini tampak berlanjut ke permukaan fage dan
mendegradasi polisakarida kapsular bakteri untuk diteruskan ke permukaan sel
bakteri. Penambahan FB4 pada kultur EPEC K1.1 yang diinkubasi pada suhu 370
C selama 5 jam dapat menurunkan jumlah populasi EPEC K1.1 sebanyak 22%
dan 84 % setelah inkubasi selama 24 jam. Penurunan awal terhadap jumlah sel
bakteri diperkirakan merupakan akibat dari kombinasi aksi enzim polysaccharide
depolymerase atau lisozim dari bakteriofage dalam mendegradasi polimer
lipopolisakarida (LPS) sel EPEC K1.1 dengan proses penginfeksian terhadap
suatu proporsi populasi bakteri EPEC K1.1.
Diantara sel-sel bakteri yang telah diinfeksi oleh fage selama lebih dari 3
hari, ditemukan adanya sel-sel bakteri EPEC K1.1 yang masih resisten terhadap
pembentukan plak oleh infeksi fage-fage ini. Faktor yang mungkin
mengkontribusi ketahanan fage diantaranya perubahan atau kehilangan reseptor
(Alisky et al. 1998; Barrow & Soothill 1997).
Seperti pada kolifage lainnya, fage yang spesifik terhadap EPEC K1.1
bersifat litik. Multiplicity of Infection (MOI) yang tinggi akan membantu
mempercepat lisisnya sel-sel inang. Multiplicity of Infection yang tinggi
diperlukan untuk mengukur bahwa setiap bakteri diinfeksikan sedikitnya oleh satu
fage. Berdasarkan hasil penelitian Ma & Lu (2008), pada fage yang menginfeksi
Streptococcus suis diperoleh MOI yang optimal dari fage sebesar 0.1 sehingga
MOI yang optimal dari fage EPEC juga ditentukan sebesar 0.1. Selain MOI, aerasi
kultur berperan penting dalam mempercepat induksi fage dan memperbanyak
hasil pelisisan bakteri. Proses aerasi dapat memberikan kondisi yang
memungkinkan bagi fage untuk berinteraksi dengan bakteri. Perlakuan fage pada
suhu 37 0C tanpa aerasi hanya menghasilkan kematian atau lisis bakteri setelah 2
hari (Ellis & Delbruck 1938).
Pertumbuhan fage dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu absorbsi fage
terhadap bakteri; pertumbuhan ketika atau di dalam bakteri (periode laten); dan
pelepasan fage (terjadi proses lisis) (Ellis & Delbruck 1938). Pada penelitian
Yoon et al. 2007, yang meneliti bakteriofage litik yang menginfeksi Pediococcus
diperoleh periode eclipse dan latent terjadi pada 29 menit dan 34 menit secara
berturut-turut. Ukuran lisisan terhitung rata-rata 12 partikel fage per pusat infeksi.
Hasil ini menunjukkan bahwa perkembangan intraselular dimulai tidak lama
setelah proses infeksi terjadi. Pada fage yang menginfeksi Streptococcus suis
diperoleh satu tahap kurva pertumbuhan fage yang memperlihatkan periode latent
pada 20 menit dan periode rise pada 120 menit , serta ukuran lisisan terhitung
rata-rata 77 PFU/ sel (Ma & Lu 2008). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
tersebut, pertumbuhan fage EPEC juga diperkirakan memiliki suatu periode latent
pada kisaran waktu antara 20 sampai 30 menit.
Pengamatan keadaan morfologi sel EPEC K1.1 akibat pengaruh
penginfeksian fage pada masa inkubasi 25 menit dan 30 menit dilakukan dengan
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Scanning electron
microscope yang digunakan adalah JEOL LTD, yaitu mikroskop elektron yang
dapat merekam gambar obyek menjadi elemen terang dan gelap tipe hampa udara
rendah. Modelnya ialah model-JSM 5310 LV. Cara kerja dari mikroskop ini
adalah pancaran cahaya elektron dengan fokus yang sangat tajam disapukan pada
obyek sehingga menghasilkan elektron sekunder. Sinyal-sinyal ini dideteksi terus-
menerus selama pancaran cahaya elektron bergerak menyapu permukaan obyek.
Sinyal elektron sekunder menghasilkan gambar permukaan morfologi elektron
yang terpental kembali lalu menyebar menghasilkan distribusi komposisi dan
karakteristik sinar X menghasilkan distribusi elemen yang terdapat pada obyek.
Jadi, tujuan pengamatan dengan SEM ialah mengamati seberapa besarnya
kerusakan sel EPEC dengan keadaan membran yang rusak dan dinding sel yang
terpecahkan akibat diinfeksi oleh fage.
Bakteri EPEC K1.1 yang ditumbuhkan pada kondisi pertumbuhan optimal
diinfeksikan dengan fage. Campuran EPEC K1.1 dengan fage tersebut ditunggu
selama 25 menit dan 30 menit sebelum dipreparasi untuk diamati di SEM. Isolat
bakteri EPEC K1.1 yang baru ditumbuhkan dan tanpa diinfeksikan oleh fage
digunakan sebagai kontrol. Bila suspensi fage diinfeksikan pada suspensi bakteri
yang peka, maka partikel fage akan melekatkan diri pada sel menggunakan
serabut ekor fage (Gambar 7c). Serabut ekor berkontraksi sehingga terjadi
cengkraman bagian paku ekor pada membran sel bakteri (Bayer 1968). Pada
permukaan sel terjadi perubahan yang diduga kuat disebabkan daya kerja enzim
yang dihasilkan ekor fage dalam merusak dinding sel bakteri sehingga terbentuk
pori-pori (Gambar 8a) yang sangat halus atau karena aktivasi enzim inang oleh
fage. Proses ini diikuti oleh kontraksi serabut ekor sehingga DNA virus merasuk
ke dalam sel melalui pori-pori pada ujung ekor. Selubung protein virus tetap
berada di luar sel bakteri (Gambar 7c). Ekor yang diperpanjang adalah suatu
pelindung kontraktil yang bertindak sebagai suatu jarum suntik untuk
menyemburkan muatan yang ada di kepalanya, seperti material genetik DNA ke
dalam sel inang. DNA fage kemudian mengambil alih DNA sel bakteri dan
memaksa untuk memproduksi lebih banyak fage. Hal ini memerintahkan sel inang
untuk membuat salinan-salinan fage (keturunan di dalam sel). Selanjutnya fage
tersebut merusak DNA inang dengan cara melepaskan nukleotida yang bersifat
memblok DNA inang dari DNA fage yang disatukan. Material genetik tersebut
kemudian dibungkus oleh keturunannya dan kemudian fage dilepaskan ke
lingkungan ketika melisiskan sel inang (Wendelschafer-crabb et al. 1975). Hasil
pengamatan di SEM memperlihatkan adanya pengaruh atau efek dari
penginfeksian fage FB4 yaitu FB4 dapat memecahkan/ melisiskan EPEC K1.1
dalam waktu 25 menit. Dalam waktu lebih lama lagi yaitu 30 menit, sel EPEC
terlihat hancur. Hal ini menunjukkan bahwa FB4 secara pasti dapat melisiskan
bakteri sasaran EPEC K1.1 resisten tetrasiklin dan ampisilin. Penemuan ini
merupakan titik cerah untuk pengendalian bakteri patogen pencemar makanan dan
air yang ramah lingkungan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ada empat isolat fage dari sampel limbah cair rumah tangga tersampling.
Keempat fage tersebut spesifik terhadap EPEC K1.1. Fage FB4 memiliki
infektifitas pada EPEC K1.1 paling kuat dengan nilai sebesar 16000 PFU,
memiliki berat molekul protein sebesar 40.2 kDa dan 35.8 kDa, memiliki
morfologi kepala berbentuk heksagonal ikosahedral., dapat melisis sel EPEC K1.1
pada 25 menit pertama, serta dapat menurunkan populasi EPEC K1.1 sebesar
22% setelah 5 jam dan 84% setelah 24 jam.
Saran
Dari hasil penelitian ini diperlukan pencarian konsentrasi fage yang efektif
dan efisien untuk mengendalikan EPEC K1.1 karena dalam proses infeksi hingga
melisiskan seluruh sel bakteri perlu perbandingan yang tepat antara fage dengan
bakteri.
DAFTAR PUSTAKA
Ackermann HW, Dubow MS. 1987. Viruses of prokaryotes, vol II. Natural
groups of bacteriophages. CRC Press, Inc., Boca Raton, Fla.
Adisasmito W. 2007. Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia:
Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat.
Makara, Kesehatan 11(1):1-10.
Albert MJ, Faruque AS, Faruque SM, Sack RB, Mahalanabis D. 1999. Case-
control study of enteropathogens associated with childhood
diarrhea in Dhaka, Bangladesh. J. Clin. Microbiol. 37:3458-3464.
Black RE, Merson MH, Rahman AS, Yunus M, Alim AR, Huq I, Yolken RH,
Curlin GT. 1980. A two-year study of bacterial, viral, and parasitic agents
associated with diarrhea in rural Bangladesh. J. Infect. Dis. 142:660-664.
Bozzola JJ, Russell LD. 1998. Electron Microscopy Principles and Techniques
for Biologist Second Edition. Jones and Bartlett
Publishers:Massachusetts, USA.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein dye
binding. Anal Biochem 72:248-254.
Carlton RM, Noordman WH, Biswas B, de Meester ED, Loessner MJ. 2005.
P100 for control of Listeria monocytogenes in foods: Genome sequence,
bioinformatic analyses, oral toxicity study, and application. Regul
Toxicol and Pharmacol 43:301-312.
Casswall TH, Sarker SA, Faruque SM, Weintraub A, Albert MJ, Fuchs GJ, Alam
NH, Dahlstrom AK, Link H, Brussow H, Hammarström L. 2000.
Treatment of enterotoxigenic and enteropathogenic Escherichia coli-
induced diarrhoea in children with bovine immunoglobulin milk
concentrate from hyperimmunized cows: a double-blind, placebo-
controlled, clinical trial. Scand. J. Gastroenterol. 35:711-718.
Clark JR, March JB. 2004. Bacterial viruses as human vaccines? Expert Rev.
Vaccines 3:463-476.
Defigueiredo MP, Splittstoesser DF. 1976. Food Microbiology: Public Health and
Spoilage Aspects. The Avi Publishing Company, Inc: USA.
Farmer III JJ, Howard BJ, Weissfeld AS. 1987. Enterobacteriaceae, p317 in
Howard BJ, Rubin SJ, Weissfeld AS, Tilton RC (eds) Clinical and
pathogenic microbiology. The CV Mosby Co. St. Louis, Washington.
Flynn GO, Ross RP, Fitzgerald GF, Coffey A. 2004. Evaluation of a cocktail of
three bacteriophages for biocontrol of Escherichia coli O157:H7. Appl
Environ Microbiol 70(6):3417-3424.
Fortuna et al. 2008. Bacteriophage therapy in children: facts and prospects. J.Med
Sci Monit 14.
Hagens S, Offerhaus ML. 2008. Bacteriophages, New Weapons for Food Safety.
Food Technol 62(4):46-54.
Hicks S, Frankel G, Kaper JB, Dougan G, Phillips AD. 1998. Role of Intimin and
Bundle-Forming Pili in Enteropathogenic Escherichia coli Adhesion to
Pediatric Intestinal Tissue In Vitro. Infect Immun. 66: 1570-1578.
Inglis TJJ. 1996. Microbiology and Infections. A clinically orientated core text
with self-assessment. Churchill Livingstone:New York.
Jarvis KG, Giron JA, Jerse AE, McDaniel TK, Donnenberg MS, Kaper JB. 1995.
Enteropathogenic Escherichia coli contains a putative type III secretion
system necessary for the export of proteins involved in attaching and
effacing lesion formation. Proc Natl Acad Sci. USA 92:7996-8000.
Jay JM. 1978. Modern Food Microbiology, second edition. Van Nostrand
Reinhold Company:New York.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology, seventh
edition. Springer Science, Business Media, CLC: USA.
Kenny BR, DeVinney R, Stein M, Reinsheid DJ, Frey EA, Finlay BB. 1997.
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) transfer its receptor for
intimate adhesion into mammalian cell. Cell 91:511-529.
Kudva IT, Jelacic S, Tarr PI, Youderian P, Hovde CJ. 1999. Biocontrol of
Escherichia coli O157 with O157-Specific Bacteriophages. Appl
Environ Microbiol 65(9):3767-3773.
Laemmli EK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of head of
bacteriophage T4. Nature 227:680-685.
Levine MM, Nataro JP, Karch H, Baldini MM, Kaper JB, Black RE, Clements
ML, O’Brien AD. 1985. The diarrheal response of humans to some classic
serotypes of enteropathogenic Escherichia coli is dependent on a plasmid
encoding an enteroadhesiveness factor. Infect. Dis. 152(3):550-559.
Ogunseitan OA, Sayler GS, Miller RV. 1992. Application of DNA probes to
analysis of bacteriophage distribution patterns in the environment. Appl
Environ Microbiol 58:2046-2052.
Pawsey RK. 2002. Case Studies in Food Microbiology for Food Safety and
Quality. Royal Society of Chemistry: London, United Kingdom.
Pierson MD, Stern NJ. 1986. Foodborne Microorganisms and Their Toxins:
Developing Methodology. Marcel Dekker, Inc: New York, USA.
Savarino SJ, Hall ER, Bassily S, Wierzba TF, Youssef FG, Peruski Jr. LF, Abu-
Elyazeed R, Rao M, Francis WM, El Mohamady H, Safwat M, Naficy AB,
Svennerholm AM, Jertborn M, Lee YJ, Clemens JD. 2002. Introductory
evaluation of an oral, killed whole cell enterotoxigenic Escherichia coli
plus cholera toxin B subunit vaccine in Egyptian infants. Pediatr. Infect.
Dis. J. 21:322-330.
Shuren J. 2006 in Federal Register, ed US Food and Drug Administration (Natl
Arch and Records Admin, Washington, DC) 71:47729-47732.
Smith HW, Huggins MB, Shaw KM. 1987. The control of experimental
Escherichia coli diarrhea in calves by means of bacteriophages. J. Gen.
Microbiol. 133:1111-1126.
Snyder JD, Merson MH. 1982. The magnitude of the global problem of
acute diarrhoeal disease: a review of active surveillance data. Bull. W.H.O.
60:605-613.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 2006. Microbiology: an Introduction (ninth
edition). Benjamin Cummings:New York.
Lampiran 2 Komposisi bahan untuk membuat gel pengumpul dan gel pemisah
Konsentrasi
No. Komponen Gel Pengumpul Gel Pemisah
(4%) (10%)
1. Larutan Stok
Akrilamida 30% 0.67 ml 3.3 ml
2. Buffer Gel Pemisah - 2.5 ml
3. Buffer Gel Pengumpul 1.25 ml -
4. Akuades 3.075 ml 4.1 ml
5. SDS 10% (w/v) 0.05 ml 0.1 ml
6. Amonium persulfat 10% (w/v) 0.05 ml 0.1 ml
7. TEMED 0.005 ml 0.01 ml
0.300
0.250
0.200
Absorban
0.150
0.000
0 20 40 60 80 100 120
mg/L (ppm)
Konsentrasi BSA
Absorban
(mg/L)
Blanko 0.158
1 0.161
2 0.165
3 0.175
4 0.181
5 0.186
10 0.194
15 0.220
20 0.226
40 0.290
60 0.335
80 0.376
100 0.390