You are on page 1of 10

PROSES BERDUKA DAN BEBAN YANG DIALAMI KELUARGA DALAM MERAWAT

ANAK DENGAN AUTISME


(The Grieving Process Experienced Family and Charges in Treating Children with Autism)

Rizki Fitryasari Patra Koesoemo


Divisi Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya
E-mail: risqiv@yahoo.com.sg

ABSTRACT
Introduction: Children with autism will be a stressor to their family. This research aims to describe
about family grieving process and family burden when taking care of their children with autism at Special
Needs School Bangun Bangsa, Surabaya. Method: This research used descriptive phenomenology
design with indepth interview method. The participant of this research was six member of a family
who plays role as the main caregiver for autism child. This study employs the purposive sampling
method. The data is gathered through interviews and field notes that is then analyzed with the Collaizi
technique. This research generated three themes. Result: The results illustrate families display the
grieving process as a cycle. They feel a deep, permanent and long period of grief through in to five
stages of grief: denial, anger, depression, bargaining and acceptance. The Grieving is come from the
caregiver and the autism child. Large amounts of grief cause families in grief for a long period and this
causes family burden. There are six family burden, psychological burden, physical burden, financial
burden, social burden, time burden and thought burden. Conclusion: Finding of the research would
hopefully be beneficial to professional health staff, especially psychiatric nurses to complete their
ability in minimizing various negative impacts that the family may suffer from while taking care their
autism children with autism through nursing care plans designs development, researches about family
empowerment in burden managements and also a research to improve the Family Psycho-education
Therapy and a specific Supportive Group Therapy modules for family with autism children.

Keywords: autism; family; grieving process; family burden

PENDAHULUAN dengan lebih baik (SKK Bangun Bangsa,


2009).
Peningkatan jumlah penderita autisme
Dampak yang dirasakan keluarga dengan
terjadi di kota Surabaya yang memiliki angka
anak autisme yaitu munculnya beban baik
pertumbuhan penduduk sebesar 2,06% per
secara psikologis, sosial, finansial, pekerjaan
tahun. Angka kelahiran anak di kota Surabaya
dan waktu yang akan memengaruhi perilaku
pada tahun 2005 menurut Badan Pusat
keluarga dalam mendampingi dan merawat
Statistik Kotamadya Surabaya sebanyak 65.235
anak dengan autisme bahkan untuk tetap dapat
jiwa, sehingga jumlah anak dengan autisme
mempertahankan dan melanjutkan kehidupan
diperkirakan akan meningkat sebanyak 435
keluarga. Keluarga membutuhkan penguatan
anak setiap tahunnya.
dukungan keluarga, kemampuan untuk
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah
mengelola stres terkait dengan keberadaan
Kebutuhan Khusus (SKK) Bangun Bangsa
anak autisme dan kebutuhan perawatannya.
Surabaya. Studi awal didapatkan bahwa orang
Keluarga membutuhkan bantuan tenaga
tua yang merawat anak autisme sering tidak
kesehatan profesional yang salah satunya
dapat memberikan dukungan secara optimal
adalah perawat, khususnya perawat jiwa.
akibat stressor yang tinggi, tetapi tidak sedikit
Anggota keluarga yang mengalami autisme
yang berhasil mengatasi stressor tersebut
akan menjadi stressor bagi setiap anggota
sehingga anak autisme dapat berkembang
keluarga karena keluarga merupakan suatu

181
Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190

sistem. Keluarga merasa malu memiliki anak yaitu metode pemilihan sampel yang sesuai
yang berbeda dengan anak yang seusianya saat dengan tujuan penelitian. Seluruh partisipan
berkumpul dengan keluarga besar atau teman penelitian mengalami fenomena yang diteliti
kerja bahkan keluarga harus menghadapi situasi memenuhi karakteristik yang diinginkan
di mana keluarga tidak diikutsertakan dalam peneliti, yaitu: keluarga yang merawat anak
kegiatan masyarakat yang melibatkan seluruh dengan Autistik Disorder/Classic Autism;
anggota keluarga karena memiliki anak dengan keluarga yang bertanggung jawab dalam
autisme. pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan
Peran perawat jiwa yaitu memberdayakan sehari-hari anak dengan autisme atau yang
keluarga yang memiliki anak dengan disability berperan dalam pengambilkeputusan terhadap
atau anak dengan kondisi kronis dengan cara anak autisme; berusia minimal 20 tahun;
membantu orang tua untuk memilih strategi mampu berkomunikasi dengan baik dengan
koping yang tepat, mengajarkan komunikasi menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
yang efektif di dalam keluarga, melatih keluarga daerah (bahasa Jawa) yang dimengerti oleh
dalam menggunakan strategi dan kemampuan partisipan dan peneliti serta 5) sehat fisik dan
manajemen konflik (Serr, et al., dan Dyches, mental saat dilakukan wawancara. Saturasi
2005). Kenyataan yang dijumpai di beberapa dicapai pada partisipan keenam setelah
tempat pelayanan terapi untuk autisme maupun dirasa informasi yang disampaikan oleh
sekolah dengan kebutuhan khusus, peran partisipan sudah tidak memberikan tambahan
perawat dalam memberdayakan kemampuan informasi baru. Metode yang digunakan dalam
keluarga masih perlu ditingkatkan karena penelitian ini yaitu wawancara mendalam
perawat lebih berfokus pada pelaksanaan terapi (indepth interview) dan catatan lapangan. Alat
bagi anak dengan autisme (Bappenkar RSU pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
Dr. Soetomo, 2009). Media Player (MP4), pedoman wawancara,
Penelitian ini bertujuan untuk catatan lapangan dan diri peneliti sendiri.
mengidentifikasi proses berduka dan beban yang
dialami keluarga selama merawat anak dengan
HASIL
autisme. Gambaran proses berduka dan beban
yang dialami keluarga dapat menghasilkan Peneliti mengidentifikasi 3 tema sebagai
pengetahuan dasar yang akan berguna dalam hasil penelitian. Proses pemunculan tema-tema
mengembangkan suatu pendekatan kesehatan tersebut diuraikan berdasar tujuan penelitian.
dan keperawatan jiwa yang lebih tepat untuk
meningkatkan kemampuan keluarga dalam Proses berduka yang dialami keluarga
beradaptasi selama menghadapi stressor selama merawat anak dengan autisme
dalam merawat anak dengan autisme. Peneliti
ingin mengetahui proses berduka dan beban Tema 1: Tahapan berduka
keluarga selama mendampingi dan merawat Tahapan berduka yang dialami keluarga
anak dengan autisme yang bersekolah di SKK selama merawat anak dengan autism terdiri
Bangun Bangsa Surabaya melalui penelitian. dari lima tahap, yaitu menyangkal, marah,
menawar, depresi dan menerima.
Menyangkal dibagi menjadi dua kategori,
BAHAN DAN METODE
yaitu tidak percaya dan syok. Perasaan tidak
Penelitian ini menggunakan desain percaya diungkapkan petikan transkrip berikut
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini:
deskriptif untuk menggambarkan pengalaman " ...tak baca terus lho lho anakku kok kayak gini
keluarga selama merawat anak dengan autisme separah ini gitu ya.... aku ini nggak percaya"
di Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun Bangsa (P1).
Surabaya. Sampel dalam penelitian ini sebanyak Sementara perasaan syok dialami partisipan
enam partisipan yang diperoleh dengan sebagai perasaan tidak menyadari seperti
menggunakan teknik purposive sampling diillustrasikan berikut ini: "Aduh nduk (nak)

182
Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo)

kamu itu kok wudho (telanjang) di sini Tahapan keempat berduka adalah depresi
(dikelas)…. Mau ditaruh di mana muka ini…." dan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu
(P3) secara fisik dan secara psikologis. Depresi
secara fisik disampaikan partisipan dalam
Tahapan kedua dari berduka yaitu
ungkapan berikut ini:
marah terdiri dari dua kategori, yaitu sedih dan
" ..... badan tambah kurus ....apa ya makan itu
kecewa. Perasaan sedih dirasakan partisipan
rasane gak ada rasane.... saya itu mikir, apa
seperti uraian berikut ini:
salah saya ya?" (P5)
"wess sampe rumah mbak, jungkel (nangis
sejadi jadinya) aja mbak..." (P1) "Saya ya ndak Sebagian besar partisipan mengeluhkan
bisa apa-apa saya nangis ya.. wes gak karuan depresi secara psikologis yang dialami, seperti
waktu itu...." (P5) berikut ini:
"Aku yo wes...aku nelongso (menderita) aja
Rasa kecewa dialami saat menyadari
buk...iyo tho.. pokoke wes ndak ada, ndak
anaknya mengalami autisme, kecewa terhadap
ada yang ngerti dikasih tahu itu (bahwa K
sikap pemberi pelayanan kesehatan, maupun
Autis).. ndak ada yang ngerti, malah mereka
kecewa terhadap keluarga tergambar pada
itu menyalahkan, katanya aku itu kalau ndidik
kondisi yang disampaikan partisipan di bawah itu salah, dibentaki aja, jangan dilarang-larang,
ini: kalau main ya biar aja main, gitu..." (P2)
"Yaa.... rasanya tu kayak.... (diam sebentar
raut muka menjadi muram) apa ya... apa yang..
Menerima digambarkan dalam empat
apa apa kata dokter, katanya itu apa yaa, apa
kategori yaitu bersyukur, memahami, senang
yang saya impikan... angan angan saya, anak
dan adaptasi. Rasa syukur terhadap keadaan
saya nanti, orang tua kan pengennya anaknya
anak yang mengalami kemajuan, seperti
menjadi begini.... ya tahapan-tahapannya tho
pernyataan partisipan berikut ini:
mbak, ternyata seperti itu... ya kayaknya hilang
"lha tapi ya Alhamdulillah O itu, saya ke
sudah (semuanya) saya itu (gitu mikirnya)"
(P1) dokter itu ya nggak rutin lho, obatnya yang
"wes aku cari dokter lain, soale itukan orangnya ee.... ya Supplemen yang sekian juta yang
ndak enak.. omongnya kasar.. wes tho saya harus ditebus gitu ya saya nggak njangkau,
ndak mau kembali situ (ke dokter tersebut) tapi kok perkembangan O ini bisa ngomong
lagi." (P2) bisa keluar, ya kebanyakan anak Autis kan
verbalnya keluarkan itu enggak sejelas ini, kan
Tahapan ketiga yaitu menawar yang pelat pelat (cedal) gitu mbak... tapi O ini jelas
meliputi dua kategori, yaitu khawatir dan kalimatnya, sampai huruf huruf nya itu jelas
berharap. Perasaan khawatir terhadap gitu ya" (P1)
kemampuan keluarga merawat anak autisme
dialami oleh dua orang partisipan yang Sebagian partisipan pada akhirnya
menyatakan: memiliki perasaan memahami terhadap
"...apa bisaa gitu ya (merawat anak dengan kehadiran dan keadaan anak dengan autisme
autisme)...." (P1) dalam keluarga dan tergambar dalam ilustrasi
"ya sempet ya, apa sanggup gitu aku yang disampaikan berikut ini:
membesarkan anakku yang Autis ini..." (P4) "mungkin yaa... setiap anak Autis itu kan beda
beda ya, 100 anak autis ya 100 macamnya ini,
Sementara ada partisipan masih
O saja sama adiknya juga tidak sama ya, yang
mempunyai perasaan berharap terhadap
adiknya sulit, yang O begini (tidak sulit)"
kemampuan anak seperti digambarkan
(P1)
pernyataan berikut ini:
"tapi ya gimana kan ini ya memangnya anak
"sampai saya itu ya Allah anakku kalau sampai
saya... ya harus dirawat, wes pasrah aja ya,
bisa manggil mama aku mau potong kambing
ya dirawat ya diobatkan.... wes diterima ya
aku.." (P1)
"... kadang ya (saya mikir)..... pasti A bisa (tersenyum dan mata mulai berkaca-kaca)....."
normal..." (P5) (P6)

183
Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190

Perasaan senang karena adanya perilaku dan perilaku anak yang tidak dapat dimengerti.
anak autisme yang membuat partisipan bisa Resistensi anak ditemukan pada partisipan
lepas dari rutinitas merawat untuk sesaat dalam pernyataan berikut ini:
dialami partisipan dua, seperti digambarkan "ya itu kadang tu ya anak-anak ini kalau bikin
dalam pernyataan berikut ini: masalah ..tidak bisa dikasih tau" (P1)
"Kalo mandi itu lama, kungkum (berendam) ae, Partisipan juga menyatakan tentang respons
terus ya berhenti sendiri, kadang tak biarkan, anak yang lambat, berikut ini:
kalo K mandi tambah enak aku bisa masak, bisa "kan kadang pagi itu (anak autis) suka bikin
tak tinggal (mengerjakan) lainnya (tertawa)" susah, gak bisa cepat" (P2)
(P2)
Perilaku anak yang berlebihan
Kategori adaptasi terhadap lingkungan diceritakan oleh dua orang partisipan seperti
dan kehidupan yang dijalani bersama anak dalam transkrip berikut ini:
autismediillustrasikan dalam petikan transkrip "nakalnya amit-amit, wes klesetan (guling-
partisipan berikut ini: guling dilantai) wes.. terus suka ngambil
"Kalau saya sudah biasa mbak...... mungkin jemuran kok... pokoke ada baju warnae pink,
kalau orang lain yang melihat, (misalnya) gak tau itu punyae siapa gak peduli wes ganti
keluarga saya (yang) jauh main kesini ngelihat di jemuran itu tadi, pulang ganti baju wes
saya itu sepertinya..., (lalu berkata) yang pokoke..." (P2)
sabar ya.., lha ini sudah menumpuk sabarnya " .... lha masa ke rumahnya orang itu ya... tingkah
(tertawa) ini kalau habis kulakan (beli) lagi lakunya itu lho ya, tidak bisa diam, masuk-
ini, belum sampai habis kulakan saya (sambil masuk ke dalam rumah langsung" (P5)
tertawa ringan), Yaa saya anggap ini sudah
Partisipan juga menyatakan perilaku
biasa ya.. (tersenyum)" (P1)
anak yang sulit konsentrasi sebagai berikut:
"dulu yaaa....kadang ada orang ngomong
" .. lha susah kalau suruh nulis suruh apa,
apaaaa gitu, sakit hati ya... sekarang ndak ya...
nggarap PR itu matane gak karuhan, lihat
(saya) cuek hehhe (tertawa kecil)" (P6)
TV, lihat lihat... (memeragakan nengok
kanan nengok kiri)...wes susah pokoke
Tema 2: Penyebab berduka
(menggelengkan kepala 2 kali)" (P2)
Partisipan yang telah melalui tahapan
Perilaku anak yang tidak bisa dimengerti
menerima pada proses berduka dapat merasakan
diilustrasikan oleh beberapa partisipan seperti
kembali perasaan berduka, saat ditemui adanya
yang disampaikan oleh partisipan empat dan
penyebab berduka. Penyebab berduka berasal
enam berikut ini:
dari dua sumber, yaitu caregiver dan anak
"dia sendiri.... kadang anak kayak gini kan
yang mengalami autisme. Penyebab berduka
ndak tau karep e (keinginannya) apa, dikasih
yang berasal dari caregiver, yaitu akumulasi
ini .... keliru, dikasih ini..... emoh (tidak mau),
perasaan caregiver seperti yang tergambar tapi nguamuk (marah sekali), lha terus karepe
dalam transkrip berikut ini: (inginnya) apa kita kan ya ndak ngerti" (P4)
"...sabarnya kita menghadapi anak normal sama " .....kadang-kadang kayak ndak mau diem
anak seperti ini itu beda, kalau anak normal gitu lho... kadang itu ada apa ini dicari gitu...
itu, eh ndak boleh kamu begini begini itu dia keliling kayak muter muter gitu, sampai
langsung ngerti, kalau anak begini ini ngomong sekarang ya masih gitu muter terus di rumah"
sepuluh kali mbak, wooo masih nggak direken (P6)
(diperdulikan)" (P1)
"yaa...... gimana yaa....(diam sesaat).... ya Beban yang dirasakan keluarga selama
rasane macem-macem ya, banyaknya ya merawat anak dengan autisme
jengkel ya gak menentu wes pokoke...." (P2)
Penyebab berduka yang lain berasal dari Tema 3: Beban sebagai dampak proses
anak dengan autisme meliputi resistensi anak, berduka
respons anak yang lambat, perilaku anak yang Berbagai macam beban dirasakan oleh
berlebihan, perilaku sulit konsentrasi pada anak partisipan yang merupakan akibat lanjut yang

184
Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo)

dialami partisipan setelah melalui tahapan yang ngerti, malah mereka itu menyalahkan,
berduka. Beban yang teridentifikasi meliputi katanya aku itu kalau ndidik itu salah" (P2)
beban psikologis, beban pikiran, beban fisik,
Partisipan menyatakan memiliki
beban finansial, beban sosial, dan beban
perasaan takut bila hamil dan melahirkan
waktu. Beban psikologis yang dirasakan oleh
anak yang kedua kalinya serta perasaan takut
partisipan terbagi menjadi perasaan jengkel,
terhadap penurunan kemampuan anak autisme
marah, malu, menderita, takut, khawatir, dan
di jelaskan dalam pernyataan berikut:
berat/sulit. Perasaan jengkel terhadap hal-hal
"aku wes sampai takut kalau sampai hamil
yang ditemui selama merawat anak autisme lagi (memegang perut)..... nanti jangan-jangan
yang tidak dapat diungkapkan oleh partisipan anakku Autis lagi sumbing pisan...(mendesah
berikut ini: dan menggelang kepala)" (P2)
"yaa...... gimana yaa....(diam sesaat).... ya
rasane macem-macem ya, banyaknya ya Perasaan khawatir terhadap masa depan
jengkel ya gak menentu wes pokoke, wes susah anak autisme diungkapkan berikut ini:
pokoke" (P2) "W ini kan perlu pendamping, pendampingnya
itu entah besok siapa, Ya selama bapak masih
Perasaan marah terhadap perilaku anak hidup, walaupun jauh, saya harapkan meski
autisme diungkapkan oleh partisipan dalam sampai saya meninggal gitu, saya harapkan
pernyataan berikut ini: semua masih tetep (kakak membantu adik yang
"tidak bisa dikasih tau ya saya ceples (di pukul autis" (P3)
di bagian paha menggunakan telapak tangan Perasaan berat/sulit dalam menjaga anak
terbuka) ya, tetep kalau dia buat kesalahan autisme, digambarkan dalam petikan transkrip
yaaa saya marahin, sama saja seperti ibu-ibu berikut ini: " Ngerawatnya (anak autis) itu
yang lain, kita tidak mungkin ya... jadi wonder sangat... sensitif sekali.... ya anak begini (autis)
womennya anak-anak ini (tertawa kecil), yaa ya bukan W saja itu ekstra.. apa yang dilakukan
gitu itu kalau seterusnya gemes (tidak bisa (pemilihan makanan) itu betul-betul harus
menahan diri) ya saya cubit" (P1) (dijaga)" (P3)
"dikasih ini, dia ndak mau, aku emosi, woo aku
ngamuk marah dulu... marah beneran... kalau Jenis beban yang lain yaitu beban
aku wes ndak sabaran itu, wes biru-biru tok pikiran yang dialami partisipan penelitian dan
wes (bekas dicubit)" (P4) bersumber pada dua kategori, yaitu caregiver
dan anak autis. Sumber yang berasal dari pikiran
Partisipan menceritakan perasaan malu
caregiver akibat kejenuhan selama merawat
terhadap orang lain yang dirasakan seperti
tergambar dalam pernyataan partisipan satu
tergambarkan dalam situasi yang diceritakan
dan dua berikut ini:
oleh partisipan dua dan lima berikut ini: "namanya pikiran itu jenuh itu juga
" ya kalau orangnya itu tau seperti apa anak ada..."(P1)
autis, kalau gak ngerti kan kok rasanya anak
saya ini apa ndak pernah diajari sopan santun Beban pikiran yang bersumber dari anak
gitu yaa kan ya malu juga ya rasanya jadi dengan autisme digambarkan seperti berikut
orang tua.... kadang itu pernah ya... dimeja ini:
makan itu ada makanan apa gitu langsung "... pikiran ini kok gak bisa lepas ya dari A,
ambil.... gitu kan saja jadi sungkan yaa.... iya kalau udah naruh A di sekolah, kan saya pulang,
sungkan ..." (P5) sebenarnya ya kan saya ya gak sama A ya....
ya rasanya bebas ya... tapi ya ndak bisa, hehe
Perasaan menderita karena sikap orang (tertawa) namanya anak ya... digendong 9
lain yang tidak mau mengerti keadaan anak bulan diperut..... ya kepikiran, apa nanti pas
autisme diungkapkan dua partisipan penelitian disekolah gimana-gimana...." (P5)
dalam kutipan transkrip partisipan dua dan tiga Beban fisik juga merupakan jenis beban
berikut ini: yang teridentifikasi sebagai hasil penelitian
"Aku yo wes.... aku nelongso (menderita) aja dalam bentuk kelelahan fisik selama merawat
buk... iyo tho.. pokoke wes ndak ada, ndak ada

185
Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190

anak autisme seperti digambarkan berikut ini: silaturohmi tapi tidak lama, jadi ya sebentar
"Ya kadang saya itu ya capek yaa... capek itu aja, sekadar nongol gitu saja" (P1)
pasti ya mbak, bayangkan satu hari penuh
Partisipan membatasi sosialisasi anak
merawat 2 anak autis" (P1)
autisme dengan lingkungan seperti dalam
uraian di bawah ini:
Partisipan juga menyebutkan beban
"sejak itu ya saya kurung dia di rumah ya.... lha
finansial dalam kategori penggunaan uang, kalau tidak dikunci rumah itu dia bisa mbuka
pengobatan, nutrisi dan sekolah. Penggunaan pintu sendiri terus kalau keluar kan nanti bikin
uang untuk memenuhi permintaan anak saya itu gak enak yaa....." (P5)
autisme menjadi beban bagi keluarga karena
karakteristik anak autisme yang tidak dapat Beban waktu merupakan jenis beban
dikendalikan apabila memiliki keinginan yang juga dialami oleh partisipan dan
untuk membeli sesuatu. Sehingga keluarga dijabarkan dalam dua kategori, yaitu kategori
harus menyediakan alokasi keuangan khusus mengorbankan waktu pribadi dan kategori
untuk memenuhi permintaan anak, seperti yang kebebasan pribadi. Mengorbankan waktu
diceritakan oleh partisipan berikut ini: pribadi untuk mendampingi anak autisme
"setiap harinya kalau ada sari roti lewat, mama diungkapkan berikut ini:
roti, mama es krim, semua diminta buk, pokok "Emm.... yaaa sekarang aku wes rasane hidup
wes gitu ya... setiap ketemu es diminta es... ini gak ada buat diri sendiri ya..... ndak ada,
pokoke duit itu harus ada dikantong ini, wes papae K kalau dateng malam itu aku sudah
habis banyak duit buat jajan itu tok" (P2) tinggal capeknya, tak tinggal tidur buk...."
(P2)
Mahalnya biaya pengobatan dapat
digambarkan melalui pernyataan berikut ini: PEMBAHASAN
"wes abis-abisan pokoknya, buat ngobati K ae
Tema 1: Tahapan berduka
bangkrut buk.. untuk beli obat, suplemen, ke
dokter ya terapine... ya gitu buk...." (P2) Perasaan berduka yang ditemukan dalam
penelitian ini merupakan perasaan berduka
Besarnya biaya untuk mencukupi
sepanjang kehidupan. Hal tersebut sejalan
kebutuhan nutrisi disampaikan oleh partisipan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Blaska
dua berikut ini:
(1998), tentang "model siklus berduka" dan
"buat makanan ya jajane gak karuhan juga.... ya
serupa dengan pendapat Mallow dan Bechtel
susunya itu buk, sekaleng wes berapa itu 150
(1999, dalam Collins, 2008) yang menjelaskan
lebih... sebulan paling nggak 6–7 kaleng.....
perasaan berduka yang dialami keluarga dengan
berapa itu buat susu tok....." (P2)
anak autisme merupakan bentuk dari "berduka
Partisipan juga menyatakan mahalnya kronis". Hasil penelitian ini menunjukkan,
biaya sekolah sebagai beban finansial dalam Keluarga akan merasa berduka sesaat setelah
petikan berikut ini: mengetahui bahwa anaknya mengalami
"sekarang katakan berapa (biayanya), sama autisme dan akan terus berlangsung selama
bayaran anak sekolah (SD biasa) sudah lain" keluarga mendampingi anak dalam setiap
(P3) tahapan tumbuh kembangnya. Partisipan akan
Jenis beban yang lain yaitu beban sosial mengalami tahapan berduka dan mencapai
dan dapat dijelaskan dalam dua kategori yaitu suatu tahap menerima kenyataan bahwa ia
membatasi sosialisasi caregiver dan membatasi memiliki anak dengan autisme. Partisipan
sosialisasi anak dengan autisme. Partisipan belum mengakhiri perasaan berduka yang
menggambarkan bagaimana mereka membatasi dialami. Perasaan berduka tersebut akan
sosialisasi diri dengan lingkungan seperti kembali dirasakan saat keluarga menghadapi
dalam illustrasi berikut ini: keadaan yang menimbulkan perasaan berduka
"Cuma ya kalau main ke rumahnya saudara itu kembali. Seperti yang disampaikan oleh
itu ya saya batesi, saya tidak mungkin main Blaska (1998) bahwa berduka merupakan satu
ke rumah mereka anak saya dibiarkan, tetep siklus yang terus berputar, suatu saat keluarga

186
Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo)

merasa berduka, sesaat kemudian merasa menyebabkan kehancuran perasaan yang


menerima, namun tiba-tiba merasa berduka semakin dalam dan keluarga mengalami fase
kembali. Mallow dan Bechtel (1999, dalam disorientasi dan disorganisasi atau masuk ke
Collins, 2008) menggunakan kata "berduka tahap depresi tanpa melalui tahap menawar.
kronis" untuk menggambarkan perasaan Kesamaan tahap akhir proses berduka
berduka mendalam yang menetap, selalu menurut Kubbler-Ross (2005), Bowlby dan
berulang, setiap saat semakin bertambah dan Parkes (1970, dalam Collins, 2008) dan temuan
terjadi sepanjang kehidupan keluarga. dalam penelitian ini, di mana tahap akhir
Tahapan berduka yang teridentifikasi perasaan berduka adalah tahap menerima.
dalam penelitian ini sama dengan tahapan Tahap ini ditandai dengan kembalinya
proses kehilangan yang dikembangkan oleh energi yang telah hilang selama proses
Kubbler-Ross (2005), yaitu terdiri dari lima berduka, peningkatan kemampuan mengambil
tahap, yaitu menyangkal, marah, menawar, keputusan dan tumbuhnya kepercayaan diri
depresi dan menerima. Tidak ada partisipan dan merencanakan cara untuk menyelesaikan
yang mengalami lima tahapan berduka secara masalah.
lengkap. Pada partisipan dua dan partisipan
enam yang tidak mengalami tahapan tawar- Tema 2: Penyebab berduka
menawar. Hal ini identik dengan proses Penelitian ini menemukan bahwa
kehilangan yang ditemukan oleh Bolwby perasaan berduka yang dialami oleh keluarga
dan Parkes (1970, dalam Collins, 2008) tidak berhenti pada tahap menerima, karena
yang menyatakan proses kehilangan dalam perasaan berduka kembali terjadi berulangkali
empat tahapan, yaitu syok dan mati rasa, saat keluarga menemui beberapa penyebab
hasrat mencari penyelesaian, disorientasi dan berduka. Penyebab perasaan berduka bersumber
disorganisasi serta reorganisasi dan resolusi. dari diri caregiver dan bersumber dari keadaan
Hasil penelitian ini tahap tawar-menawar anak autisme itu sendiri. Hal ini sejalan dengan
tidak muncul karena pada tahap hasrat mencari pendapat Blaska (1998) yang menyebutkan
penyelesaian, keluarga merasakan kegelisahan, adanya sejumlah kejadian yang mengiringi
kemarahan, rasa bersalah dan kebingungan keluarga selama mendampingi proses tumbuh
secara bersamaan. Keluarga berusaha mencari kembang anak dengan kecacatan, termasuk di
tahu bagaimana dan mengapa peristiwa yang dalamnya anak autisme yang menyebabkan
menimbulkan perasaan berduka tersebut dapat kembalinya perasaan berduka. Eakes (1995,
terjadi. Disaat yang sama keluarga berusaha dalam Collins, 2008) dalam struktur "berduka
untuk membantah kenyataan bahwa peristiwa kronis" yang dikembangkannya menguatkan
tersebut tidak terjadi. Hal tersebut dialami hasil penelitian ini dengan menjelaskan bahwa
oleh partisipan dua dan enam. Partisipan peristiwa penyebab yang membawa keluarga
dua berusaha mencari informasi tentang kembali mengalami perasaan berduka berasal
keadaan anaknya ke petugas kesehatan, dari lingkungan, situasi dan kondisi yang
namun keluarga mengalami kekecewaan yang berbeda dengan yang dialami keluarga.
mendalam terhadap cara petugas kesehatan saat Blaska tidak secara jelas memaparkan
menyampaikan informasi, sehingga keluarga bentuk-bentuk kejadian yang dapat memicu
marah dan menyalahkan petugas kesehatan. kembalinya perasaan berduka tersebut,
Partisipan enam berulang kali membantah sementara Eakes (1995, dalam Collins, 2008)
kenyataan bahwa anaknya mengalami autisme dengan lebih jelas mendefinisikan penyebab
dengan mengatakan bahwa anaknya sebenarnya kembalinya perasaan berduka. Contoh,
mampu berkomunikasi. Sikap partisipan enam keluarga akan merasa sedih saat melihat anak
tersebut mengakibatkan konflik dalam diri yang yang seusia dengan anggota keluarga yang
terus menyiksa dan pada akhirnya marah dan mengalami autisme telah mampu berbicara
menyalahkan diri sendiri. Keluarga cenderung dengan lancar dan mampu menyatakan
menyalahkan diri, marah kepada orang lain, keinginannya, sementara anaknya masih belum
lingkungan bahkan Tuhan. Hal tersebut mampu berkomunikasi. Pendapat Eakes tentang

187
Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190

kejadian penyebab tidak ditemukan secara gangguan hubungan antaranggota keluarga,


langsung dalam penelitian ini, tetapi merupakan keterbatasan hubungan sosial dan aktivitas
gabungan dari dua sumber, yaitu keadaan anak kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif
autisme seperti lambat dalam berespons, terhadap kesehatan fisik anggota keluarga.
berperilaku berlebihan serta berperilaku Beban psikologis dinyatakan dalam
yang tidak mudah dimengerti akan menjadi bentuk perasaan jengkel, marah, malu,
hal yang menyakitkan saat keluarga melihat menderita, takut, khawatir dan berat/sulit
anak yang tumbuh dan berkembang secara selama merawat anak dengan autisme dan
normal. Seorang partisipan penelitian pernah hal tersebut identik dengan beban subjektif
menyampaikan bahwa ada perasaan jengkel menurut WHO (1998). Berbagai macam
sekaligus sedih saat melihat anak yang seusia perasaan tersebut timbul silih berganti dan
dengan anaknya yang mengalami autisme dapat berulang-ulang berdasarkan penyebab yang
melakukan berbagai hal yang belum dimiliki dialami oleh keluarga dan dipengaruhi
oleh anaknya. Hal tersebut sedikit demi oleh karakteristik partisipan, seperti jenis
sedikit akan memengaruhi perasaan keluarga kelamin dan tingkat keparahan autisme yang
sampai terjadi suatu akumulasi berlebihan dan dialami oleh anak. Suatu saat keluarga akan
menyebabkan keluarga merasakan kembali mampu mengatasinya, namun disaat yang
perasaan berduka yang mendalam. berbeda keluarga merasa tidak mampu untuk
melaluinya, dan hal tersebut akan memengaruhi
Tema 3: Beban sebagai dampak proses kualitas hidup keluarga sebagai caregiver.
berduka Gray (2003) juga memperkuat hasil penelitian
Proses berduka yang terus berlanjut ini dan menyatakan bahwa 35 keluarga yang
akan berkembang menjadi beban yang dialami merawat anak autisme lebih dari sepuluh tahun
keluarga. Temuan penelitian tersebut didukung mengalami tekanan emosi yang terus-menerus
oleh Fontain (2008) yang mendefinisikan bahwa seperti depresi, kecemasan dan kemarahan.
beban keluarga merupakan tingkat pengalaman Beban fisik, beban finansial, beban sosial
distress keluarga sebagai dampak keberadaan dan beban waktu memiliki karakteristik yang
anggota keluarga terhadap keluarganya. serupa dengan jenis beban objektif menurut
Dalam konteks penelitian ini, keberadaan WHO (2008). Beban fisik yang dialami
anak dengan autisme menyebabkan keluarga keluarga sedikit berbeda dengan pendapat
mengalami tahapan berduka dan apabila WHO (2008) yang menemukan adanya dampak
keluarga tidak mampu menyeimbangkan negatif kesehatan fisik anggota keluarga
kemampuan untuk menghadapi perasaan sebagai bagian dari beban objektif. Beban fisik
berduka tersebut akan menimbulkan dampak keluarga selama merawat anak autisme dalam
tertentu yang digambarkan dalam berbagai penelitian ini belum menimbulkan gangguan
beban yang dihasilkan. fisik yang nyata, tetapi hanya berbentuk pada
Jenis beban yang teridentifikasi dalam kelelahan fisik, sementara pada keluarga dengan
penelitian ini meliputi beban psikologis, gangguan jiwa menurut WHO (2008) telah
beban pikiran, beban fisik, beban finansial, memberikan dampak yang negatif terhadap
beban sosial dan beban waktu. Berbagai kesehatan fisik keluarga. Penelitian ini juga
macam beban tersebut memiliki karakteristik menemukan, bahwa karakteristik partisipan
yang serupa dengan jenis beban yang dialami yang sebagian besar adalah seorang ibu yang
keluarga dengan anggota keluarga mengalami cenderung mengambil alih seluruh tugas
gangguan jiwa menurut WHO (2008). WHO perawatan anak sehingga sering merasakan
membagi beban menjadi dua jenis, yaitu beban beban psikologis yang berlebihan dan lebih
subjektif dan beban objektif. Beban subjektif mudah merasa lelah saat merawat anak
merupakan beban yang berhubungan dengan autisme. Gray (2003) memperkuat hasil analisis
reaksi psikologis anggota keluarga, seperti ini dalam pernyataannya bahwa keluarga akan
perasaan kehilangan, sedih, cemas, malu, stres merasakan masalah kesehatan secara fisik
dan frustasi. Sementara beban objektif meliputi sebagai dampak stres yang terus berkelanjutan

188
Proses Berduka dan Beban yang Dialami Keluarga (Rizki Fitryasari Patra Koesoemo)

atau merupakan kumulatif beban psikologis mengalami gangguan jiwa maupun anak yang
yang selalu berulang. mengalami autisme membutuhkan perhatian
Beban finansial yang ditemukan dalam yang intensif dan berkesinambungan, terkait
penelitian ini, seperti penggunaan uang dengan perawatan, proses pengobatan dan
untuk kebutuhan anak autisme, pembiayaan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Keluarga
pengobatan dan terapi rutin anak autisme, sebagai caregiver harus menyediakan waktu,
pengeluaran untuk pemenuhan nutrisi khusus bahkan mengorbankan waktu untuk kepentingan
anak autisme serta pembiayaan sekolah khusus pribadi selama merawat anak yang mengalami
untuk anak autisme juga menggambarkan autisme.
kemiripan dengan kesulitan finansial yang Penelitian ini menemukan satu beban
dirasakan sebagai beban objektif pada keluarga yang belum masuk ke dalam kategori beban
yang merawat anggota keluarga dengan subjektif maupun beban objektif berdasarkan
gangguan jiwa menurut WHO (2008). Keluarga WHO (2008), yaitu beban pikiran. Beban
merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pikiran yang dirasakan partisipan berasal dari
finansial selama perawatan karena membutuhkan caregiver seperti pikiran jenuh dan bosan
biaya yang tidak sedikit dan berlangsung terus- selama merawat anak autisme serta beban
menerus sepanjang kehidupan anak. Perbedaan pikiran yang berasal dari anak autisme, di mana
dalam hal penggunaan finansial untuk anak partisipan tidak dapat berhenti memikirkan
autisme dan anggota keluarga yang memiliki keadaan anak autisme. Beban pikiran dapat
gangguan jiwa, yaitu pada anak autisme terdapat digolongkan ke dalam beban subjektif.
kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi
khusus dan pemenuhan kebutuhan pendidikan
SIMPULAN DAN SARAN
di sekolah khusus.
Sosial yang ditemukan dalam penelitian Simpulan
ini berupa pembatasan aktivitas sosialisasi Pengalaman keluarga merawat anak
pada caregiver dan anak autisme sama dengan autisme merupakan pengalaman yang
dengan pembatasan hubungan sosial pada luar biasa berat dan tidak mudah untuk dilalui.
beban objektif keluarga yang merawat pasien Keluarga mengalami proses berduka yang
gangguan jiwa. Keluarga akan membatasi mendalam, menetap dan berkepanjangan serta
interaksi diri dengan lingkungan saat bersama berulang-ulang sejak keluarga mengetahui
dengan keluarga yang mengalami gangguan bahwa salah satu anggota keluarganya
maupun anak yang mengalami autisme akibat mengalami autisme. Keluarga akan melalui lima
adanya ketakutan dan kekhawatiran bahwa tahapan berduka, yaitu menyangkal, marah,
anak menampilkan perilaku yang kurang menawar, depresi dan menerima. Penelitian
baik dan menyebabkan keluarga merasa malu ini menegaskan tahapan menawar akan dialami
saat berada di tempat umum. Beban sosial oleh keluarga apabila setelah melewati tahap
tersebut dirasakan keluarga sebagai bentuk marah keluarga menampilkan perasaan dan
ketidakbebasan untuk bersosialisasi dengan pemikiran yang menyeimbangkan perasaan
lingkungan sekitar. berduka tersebut, di mana keluarga menyatakan
Penelitian ini juga diidentifikasi perasaan khawatir sekaligus berharap terhadap
adanya beban waktu, di mana keluarga harus kemampuan keluarga untuk menghadapi
mengorbankan waktu pribadi dan kebebasan kehidupan mendatang selama merawat anak
pribadi selama merawat anak dengan autisme. dengan autisme. Tahapan berduka akan diakhiri
Beban waktu ini identik dengan beban objektif dengan tahap menerima, di mana keluarga
keluarga yang merawat anggota keluarga dapat memahami keadaan anak autisme dan
dengan gangguan jiwa menurut WHO (2008), mampu melanjutkan kehidupan bersama anak
yaitu adanya pembatasan aktivitas kerja karena autisme. Perasaan berduka kembali terjadi
keluarga harus menyediakan waktu untuk secara fluktuatif dan berulang meskipun
merawat anggota keluarga yang mengalami keluarga telah mencapai tahap menerima, yaitu
gangguan jiwa. Kondisi anggota keluarga yang saat keluarga menemui suatu keadaan yang

189
Jurnal Ners Vol. 5 No. 2 Oktober 2010: 181–190

menyebabkan timbulnya kembali perasaan KEPUSTAKAAN


berduka. Penyebab dapat berasal dari caregiver Blaska, JK., 1998. Cyclical Grieving:
maupun dari anak autis itu sendiri. Perasaan Reoccuring Emotions Experienced
berduka yang muncul kembali ditampilkan by Paretnts Who Have Children with
dalam berbagai bentuk beban subjektif dan Disabilities, (Online), (http://proquest.
objektif, yang dirasakan keluarga secara umi.com/pqdweb., diakses tanggal 10
psikologis, pikiran, fisik, finansial, sosial Juni 2009).
dan waktu. Penelitian ini menemukan beban Dunn, M.E. dan Burbine, T., 2001. Moderators
pikiran sebagai tambahan dari beban subjektif of stress in parents of children with
berdasarkan pengelompokan beban yang telah autism. Community Mental Health
ada. Setiap keluarga akan mengalami dampak Journal, 37, 39–51.
berduka dalam berbagai tingkatan sesuai Hulme, 1999. Family empowerment: A nursing
intervention with suggested outcomes
dengan jenis, karakteristik dan kemampuan
for family of children with chronic heath
adaptasi keluarga.
condition, Journal of Family Nursing,
5(1), 33–50.
Saran
Hastings, R.P., 2003. Brief report: behavioral
Penelitian ini diharapkan dapat adjustment of siblings of children
dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan profesional, with autism. Journal of Autism and
khususnya perawat jiwa untuk melengkapi Developmental Disorders, 33 (1),
kemampuannya dalam meminimalkan 99–104.
berbagai dampak yang dirasakan keluarga Rodrigues, 2007. Financial burden in families
with children with special health care
selama merawat anak dengan autisme melalui
needs. Journal Pediatric Psychology;
pengembangan desain asuhan keperawatan jiwa
32: 417–426.
anak dalam konteks keluarga, penelitian lanjut Novak, J.M., 2006. Coping strategies used by
disarankan terkait pemberdayaan keluarga parents of children with autism. Journal
dalam pengelolaan beban selama merawat of the American Academy of Nursing
anak dengan autisme serta penelitian untuk Practitioners 19 (2007). 251.
menyempurnakan modul terapi psikoedukasi
keluarga dan terapi kelompok suportif yang
spesifik untuk keluarga dengan anak autisme.

190

You might also like