You are on page 1of 10

THE IMPACT OF PHYSICAL VIOLENCE AGAINTS CHILDREN

TOWARDS PSYCHOLOGICAL SIDE IN ADULTHOOD : CASE REPORT

ABSTRACT
Introduction : Violence againts children is an act of mistreatment of children in the form of
physical, emotional, sexual abuse, neglect of care and exploitation for commercial purposes. As a
result of violence, children can experience trauma and the psychological side of children can be
disturbed. Case Report : On January 14, 2018, RA went missing since in the morning, then her
mother Mrs. P searched for her and found her at RA’s boyfriend’s house, AF. RA only wants to go
home if accompanied by AF but RA and AF go to the main road and RA didn’t go home for 4 days.
Based on the information, RA asked AF to accompany her to AF’s father’s pond. Since childhood,
RA had recieved mistreatment from her parents. Discussion : Violence againts children is an
intentional act that causes harm or danger to the child both physically and emotionally. Children
who experienced violence can cause psychological trauma and grow with a variety of behavioral
problems. Some forms of child behavior as a result of misttreatment from parents are being
permissive, depressive, aggressive, and destructive. The result of the violence is the emergence of
undesirable things such as promiscuity and doesn’t like being at home. Conclusion : Violence
againts children have a negative impact on a child’s psychology. Another impact that can aries is
that the child thinks to do things that are contracy to legal and religious norms.

Keyword : violence, children, psychology

1
DAMPAK KEKERASAN FISIK PADA ANAK TERHADAP SISI
PSIKOLOGIS DI MASA DEWASANYA : LAPORAN KASUS

ABSTRAK
Pendahuluan: Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah
pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi
untuk kepentingan komersial. Akibat dari kekerasan, anak dapat mengalami trauma dan sisi
psikologis anak dapat terganggu. Deskripsi Kasus: pada tanggal 14 Januari 2018, RA tidak ada
dirumah sejak pagi, lalu Ny. P mencari RA dan menemukannya dirumah pacar RA yaitu AF. RA
mau pulang kerumah jika diboncengi AF namun RA dan AF malah pergi ke jalan raya dan RA tidak
pulang kerumah selama 4 hari. Berdasarkan informasi, RA meminta AF untuk menemaninya ke
empang ayah AF dan sejak kecil, RA pernah mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya. Diskusi:
Kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya
terhadap anak baik secara fisik maupun emosional. Anak yang mengalami kekerasan dapat
menimbulkan trauma psikologis dan tumbuh dengan berbagai masalah perilaku. Beberapa bentuk
perilaku anak sebagai akibat perlakuan yang salah dari orang tua adalah bersikap permisif, depresif,
agresif dan destruktif. Akibat dari hal ini adalah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan seperti
pergaulan bebas dan tidak betah berada di rumah. Kesimpulan: Kekerasan pada anak apapun itu
bentuknya dapat menimbulkan dampak buruk bagi psikologis anak. Dampak lain yang dapat timbul
adalah anak jadi berpikiran untuk melakukan hal – hal yang bertentangan dengan norma hukum dan
agama.

Kata kunci : kekerasan, anak, psikologis

2
PENDAHULUAN

Pada beberapa dekade terakhir, angka Kekerasan dalam Rumah Tangga


(KDRT) mengalami kenaikan yang signifikan, seiring bertambahnya jumlah
penduduk, kemajuan teknologi serta kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diartikan sebagai; Perilaku
menyakiti dan mencederai secara fisik maupun psikis emosional yang
mengakibatkan kesakitan dan distress (penderitaan subyektif) yang tidak
dikehendaki oleh pihak yang disakiti yang terjadi dalam lingkup keluarga (rumah
tangga) antar pasangan suami istri (intimate partners), atau terhadap anak-anak,
atau anggota keluarga lain, atau terhadap orang yang tinggal serumah (misal,
pembantu rumah tangga). (Mardiyati, 2015).
Menurut WHO Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan
penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik,
emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan
komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan,
kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya. Kekerasan terhadap anak di
Indonesia tidak pernah berhenti justru semakin kerap terjadi seiring dengan
jalannya waktu. Sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah orangtua
mereka sendiri. Akibat dari kekerasan, anak akan merasa rendah harga dirinya
karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak
disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman-temannya jadi
terganggu. (Utami, 2018).

LAPORAN KASUS
Seorang perempuan (RA) berumur 16 tahun tidak ada di rumah sejak
Minggu pagi tanggal 14 Januari 2018. Ibu RA (Ny. P) mencari RA pada pukul 17.30
dan menemukan RA di rumah pacarnya yang berinisial AF. Ny. P menyuruh RA
untuk pulang namun RA tidak mau hingga akhirnya mau dengan syarat dibonceng
AF. Lalu Ny.P mengintai dari belakang, namun saat RA dan AF mendekati gang
rumah RA, mereka berbelok ke arah jalan raya dengan kecepatan tinggi hingga NY.
P kehilangan jejak. RA dan AF kembali kerumah AF pada pukul 01.00 dan
melakukan hubungan badan sebanyak 2 kali (pukul 01.00 dan 04.00). Pada pukul
05.00 AF mengantar RA ke depan gang rumah RA, kemudian RA pergi kerumah
temannya D dan meminjam hp D untuk bermain media sosial. Pada pukul 07.00
sampai 18.30 RA nongkrong di supermarket dan kembali lagi ke rumah D sampai
akhirnya dijemput AF pada pukul 21.00. RA dan AF nongkrong di depan gang
rumah AF hingga pukul 01.00 dan pulang ke rumah AF. Pada pukul 06.30, RA
ketahuan nenek AF dan nenek AF menyuruhnya untuk pulang kerumah. Namun,
RA tidak pulang kerumah tapi nongkrong bersama AF hingga pukul 12.00. Pada
pukul 13.00 RA dan AF pergi ke daerah Saharjo dan menjadi tukang parkir sampai
pukul 22.00. Pada malam itu, RA menginap di rumah D dan keesokan harinya pada
pukul 10.00 RA bertemu AF lalu pergi ke Saharjo tanpa AF. Pada saat itu kondisi

3
daerah Saharjo sedang hujan sehingga RA perlu berteduh dan tak disangka ia pun
bertemu ibunya dan pulang bersama ibunya.
Berdasarkan informasi, RA sering tidak pulang kerumah. RA juga mengaku
pernah dipukul orang tuanya sejak kecil. Kekerasan fisik terakhir yang dialami RA
adalah dipukul oleh Ny. P di daerah leher sekitar dua bulan yang lalu. Hasil
pemeriksaan psikologis RA menunjukkan bahwa RA memiliki kebutuhan
afeksi/emosi yang tinggi, memiliki harapan untuk selalu dipahami oleh orang lain.
RA kurang dapat mengungkapkan apa yang dia pikirkan dan rasakan, memendam
berbagai hal yang dialami. Kesulitan untuk memahami dirinya, emosinya, dan
keinginannya. RA bersifat impulsif, kurang mempertimbangkan berbagai
keputusan secara matang.
Berdasarkan keterangan tersangka AF, pada tanggal 14 Januari 2018 saat
Ny. P menyuruh RA untuk pulang, RA meminta AF untuk mengantarnya ke
empang ayah AF. Karena RA sudah tidak pulang selama 3 hari maka orangtua RA
melapor ke pihak berwajib.

DISKUSI
Kekerasan Pada Anak
Kekerasan adalah suatu perilaku yang disengaja oleh seorang individu pada
individu lain dan memungkinkan menyebabkan kerugian fisik dan psikologi.
(Nur’aeni, 2017). Menurut Ricard J. Gelles, kekerasan terhadap anak merupakan
perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak
(baik secara fisik maupun emosional). (Noviana, 2015).
Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang datang dari luar diri pelaku kekerasan.
Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki perilaku dan
sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan jika dihadapkan dengan
situasi dibawah tekanan (stress), misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan
atau perselingkuhan atau ditinggalkan pasangan atau kejadian-kejadian lainnya.
Sedangkan faktor internal adalah faktor yang bersumber pada kepribadian dari
dalam diri pelaku itu sendiri yang menyebabkan ia mudah sekali terprovokasi
melakukan tindak kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif
kecil. (Mardiyati, 2015).
Ada beberapa jenis-jenis kekerasan terhadap anak, meliputi:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial
terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang lain.

4
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya.
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual,
perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan darah(incest), dan sodomi.
3. Kekerasan Emosional
Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin
akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak yang
meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.
4. Penelantaran anak
Ketidak pedulian orangtua atau orang yang bertanggungjawab atas anak
pada kebutuhan mereka. Kelalaian dibidang kesehatan seperti penolakan atau
penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi
dan perawatan medis. Kelalaian dibidang pendidikan meliputi pembiaran
mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada
pendidikan yang wajib diikuti setiap anak,atau kegagalan memenuhi kebutuhan
pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang fisik meliputi pengusiran dari
rumah dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian dibidang emosional
meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau kegagalan
memberikan.perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan
anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba oleh anak.
5. Eksploitasi anak
Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan
orang lain,termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau
merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan pendidikan, spiritual,
moral dan sosial emosional anak.
Anak yang mengalami kekerasan dapat menimbulkan trauma. trauma pada
anak diawali dengan ketakutan yang berlebihan pada suatu keadaan. Orang tua
yang kerap kasar dan keras dalam menjatuhkan hukuman pada anak, akan
meningkatkan trauma ketakutan yang sulit dihilangkan pada jiwa anak. Trauma
ini akan membentuk kepribadian yang lemah dan sifat penakut pada anak,
bahkan sampai pada masa dewasanya. Trauma psikologis yang dialami pada
masa kanak-kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa dewasa, lebih-
lebih bila trauma tersebut tidak pernah disadari oleh lingkungan sosial anak dan
dicoba disembuhkan. Akibatnya, bila kemudian hari sudah dewasa anak itu
mengalami kejadian yang mengingatkannya kembali pada trauma yang pernah

5
dialaminya, maka luka lama itupun akan muncul kembali dan menimbulkan
gangguan atau masalah padanya. (Mardiyati, 2015).
Di dalam sebuah riset dalam jurnal JAMA Psychiatry, menyebutkan fakta
bahwa anak yang mengalami trauma kekerasan apapun bentuknya akan tumbuh
dengan berbagai masalah perilaku. Ini bisa berupa kecemasan, depresi agresi
hingga pemberontakan. adanya tindakan kekerasan oleh orangtua pada anak
dapat meningkatkan resiko anak terlibat permasalahan perilaku yang meliputi
kenakalan remaja. Remaja yang menjadi korban kekerasan akan meniru cara
orangtuanya dalam bersosialisasi. Hal tersebut akan membuat remaja memiliki
tingkat agresi yang tinggi ketika berada di luar rumah. Remaja dengan tingkat
agresi tinggi akan dijauhi oleh remaja normal yang tidak memiliki gaya
sosialisasi agresif. (Wulandari, V. Nurwati, N. 2018).
Beberapa bentuk perilaku anak sebagai akibat perlakuan yang salah dari
orang tua atau pengasuh dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Bersikap permisif, merasa tidak berguna, karena adanya perasaan tidak
bermanfaat, akhirnya menjadi pendiam, mengisolasi diri, dan tidak mampu
bergaul, sebagai perilaku yang nyaman bagi dirinya. Anak menjadi kurang
berhasil dalam mengembangkan hubungan dengan sebayanya Pada saat dewasa
nanti, anak akan mengalami masalah pada relasi intim. Kesulitan dalam
menjalin dan mempertahankan hubungan intim yang sehat.
2. Bersikap depressif, seperti selalu murung; karena adanya masalah yang
selama ini sulit dihilangkan. Anak menjadi pendiam, mudah menangis, meski
dalam keadaan atau situasi menyenangkan sekalipun. Anak dapat menjadi
ketakutan terhadap obyek yang tidak jelas, mengalami kecemasan. Kondisi ini
tidak ada kesempatan atau mengalami kesulitan untuk berinisiatif, memecahkan
masalah. Bahkan dapat mengalami traumatik pada hal-hal yang berhubungan
dengan pelaku atau figur otoritas (guru, orang dewasa lainnya) yang selama ini
melakukan kekerasan.
3. Bersikap agresif, berontak namun tidak mampu melawan pada pelaku,
maka ia akan berperilaku negatif, untuk menunjukkan bahwa dirinya sebagai
orang yang kuat, memiliki kekuasaan. Selanjutnya anak akan berperilaku buruk,
seperti mulai merokok menggunakan obat-obatan, minum alkohol, bergaul
dengan teman-teman antisosial, perilaku seks bebas sejak dini. Hal ini
menunjukkan ketidak percayaan diri berlebihan, juga pengendalian emosinya
buruk, yang akan berlanjut pada kesulitan beradaptasi bahkan akan mengalami
masalah psikologis yang lain.
4. Bersikap destruktif, seperti adanya keinginan untuk menyakiti diri
sendiri, karena ketidakmampuan membela diri atau mencari pertolongan.
Perasaan kesal, putus asa yang memuncak mendorong untuk menyakiti dirinya
sendiri, sampai akhirnya ada kenginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Semua ini berawal dari beban pikiran dan stress yang tidak memperoleh

6
penyelesaian, kemudian melakukan kompensasi atau mengalihkan perilakunya
pada hal-hal lain agar mendapat perhatian orang lain. (Kurniasari, 2019).

Membawa Kabur Anak Dibawah Umur


Salah satu bentuk kejahatan dalam hukum pidana adalah Kejahatan
Terhadap Kemerdekaan Orang sebagaimana yang diatur dalam buku II Bab XVIII
KUHP yang secara mengkhusus akan dikaji dalam Pasal 332 KUHP. Orang yang
melarikan wanita yang belum cukup umur baru bisa dipertanggungjawabkan
apabila telah memenuhi unsur-unsur dari pertanggungjawaban pidana, maka dapat
diancam dengan Pasal 332 ayat (1) ke- 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun.
Yang menjadi inti dari delik yang sebagaimana diatur dalam pasal 332 ayat
KUHP adalah :
1. Membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa: Membawa
pergi berarti memerlukan tindakan aktif dari laki-laki. Usaha penguasaan atas
wanita itu tidak memerlukan kekuasaan secara lama. Menjamin pemilikan
perempuan itu bukanlah delik ini tetapi kesengajaan ditunjukan kepada hal ini. Jika
sebelum membawa pergi perempuan itu telah melakukan hubungan seks
dengannya, dapat dianggap mempunyai maksud untuk menjamin pemilikan
perempuan tersebut dalam arti jika ia dirintangi ia tetap akan melakukannya.
Sementara itu yang dimaksud dengan perempuan belum dewasa adalah perempuan
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan batas usia anak
yang belum dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun.
2. Tanpa izin orang tua atau walinya berarti orang tua atau walinya tidak
menyetujui perbuatan itu. Dengan kemauan perempuan itu sendiri, arti setelah ada
tindakan aktif laki-Iaki, apakah perbuatan membujuk, tipu muslihat atau dengan
kekarasan atau ancaman kekerasan.
3. Dengan maksud untuk menguasai perempuan itu, baik dengan di luar
perkawinan. Untuk memiliki perempuan itu tidaklah perlu penguasaan atas
perempuan itu dalam jangka waktu lama. Jika ia kawin berdasarkan Burgerlijk
Wetboek. Maka harus diadakan pembataJan perkawinan terlebih dahulu sebelum
pemidanaan. Yang dapat menuntut pembatalan adalah bapak, ibu, kakek, nenek,
wali bagi mereka yang dibawa perwalian. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang
indonesia, juga tidak untuk orang timur asing, kecuali orang Cina berdasarkan
Staatsblad 1917 Nomor 129. Jika perempuan itu hamil dalam hal delik 285 sampai
pasal 288, 289 atau 332 KUHP pada waktu defik dilakukan, maka atas permohonan
yang berkepentingan, tersangkah dinyatakan sebagai bapak dari anak itu.
Pada dasarnya pasal ini digunakan untuk menjerat pria yang membawa lari
gadis di bawah umur. Tetapi dalam praktek tak selalu demikian. Orang yang berniat
membantu melindungi kepentingan si anak pun bisa dilaporkan menggunakan
Pasal 332 KUHP. (YLBHI, 2014).

7
Pandangan Islam Tentang Orangtua yang Melakukan Kekerasan Terhadap
Anaknya
Orang tua dan anak, mengenai hak dan kewajiban mereka dalam Islam,
adalah seperti yang digambarkan hadits Nabi Muhammad SAW: “Tidak termasuk
golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka
yang (muda) tidak menghormati yang tua” (Riwayat alTurmudzi). Jadi, kewajiban
orang tua adalah menyayangi dan haknya adalah memperoleh penghormatan dari
anaknya. Berbicara mengenai hak, pasti di sisi lain ada kewajiban. Sebaliknya,
kewajiban anak adalah penghormatan terhadap kedua orang tua dan haknya adalah
memperoleh kasihsayang. Idealnya, prinsip ini tidak bisa dipisahkan.
Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002, tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sangat
dilarang. Karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak anak, karena tidak
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran agama. Dalam Hukum Islam dan
undang-undang ini hak seorang anak benar-benar dilindungi mulai dari dalam
kandungan sampai berusia 18 tahun atau sampai menikah. Akan tetapi dari kedua
sumber hukum tersebut memberikan toleransi "kekerasan" selama hal tersebut tidak
mempengaruhi terhadap perkembangan fisik dan mental sebagai sarana pendidikan
terhadap anak, namun tetap tidak melanggar terhadap hak-hak seorang anak.
(Rozak, 2013).

Pandangan Islam Tentang Berzina


Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan kelamin laki-laki ke
dalam kelamin perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar). Zina
merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman ḥudūd atau ḥad, yakni
suatu hukuman yang diberlakukan terhadap pelanggaran yang menyangkut hak
Allah. Dengan demikian, hukuman tindak pidana zina telah diatur oleh Alquran
karena merupakan hak Allah swt. secara mutlak. Ada dua macam perbuatan zina
yang mendapat hukuman wajib bagi pelakunya, yaitu: Ghairu Muḥṣan, artinya
suatu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melangsungkan
perkawinan yang sah. Artinya pelaku zina yang masih bujang atau perawan, yaitu
mereka yang belum menikah.
Untuk hukuman yang dibebankan pada pelaku zina dengan status ghair
muḥṣan adalah dera seratus kali, berdasarkan Q.S. An Nūr (24): 2. “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Ayat ini menggambarkan ketegasan
dalam menegakkan hukuman ḥad, dilarang memberi belas kasihan dalam
menjatuhkan hukuman atas kekejian yang dilakukan oleh dua orang pezina tersebut,
juga ada larangan membatalkan hukuman ḥad atau berlemah lembut dalam
menegakkannya. Oleh karenanya dilarang menunda penegakan agama Allah dan

8
mengundurkan hak-Nya. Pelaksanaan hukuman hendaknya dilaksanakan di depan
khalayak ramai, yaitu sekelompok orang - orang yang beriman, sehingga
diharapkan memberi efek jera dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang telah
melakukan perbuatan zina dan memberi pelajaran bagi orang-orang yang
menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut. (Huda, 2015).

KESIMPULAN
Kekerasan pada anak adalah hal yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini bisa
disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah kenakalan anak yang
menyebabkan orang tua jadi kurang sabar dalam menasehati anak. Kekerasan pada
anak juga terbagi menjadi beberapa jenis, dan dampak yang dapat muncul salah
satunya adalah munculnya trauma dan terganggunya sisi psikologis anak. Hal ini
berbahaya karena anak bisa saja melakukan hal yang bertentangan dari segi hukum
dan agama. Dari segi pandangan islam, orang tua dan anak sama – sama memiliki
hak dan kewajiban satu sama lain, seperti menyayangi dan menghormati agar tidak
terjadinya percekcokan hingga kekerasan.

SARAN
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah cobalah dari pihak orang tua dan anak
lebih memahami satu sama lain, dengan orang tua lebih sabar dalam menasehati
anak dan tidak melakukan kekerasan, anak pun jadi tidak mengalami trauma
sehingga melakukan hal – hal yang tidak diinginkan. Anak juga seharusnya
bersikap patuh dan sopan pada orang tua karena sudah menjadi kewajiban seorang
anak untuk bersikap baik pada orang tua. Ingatlah bahwa perilaku, watak yang
dimiliki anak adalah refleksi dari pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada semua pihak dari Polres Metro Jakarta Selatan yang telah
membantu mengarahkan mengenai kasus-kasus dan untuk di lakukan observasi
sehingga mempermudah dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepada DR.
dr. Eko Poerwanto, M. Kes, AIFM. yang telah memberikan bimbingan dan
waktunya untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Terima kasih kepada dr. Hj. RW
Susilowati M.Kes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun sebagai koordinator blok
elektif ini, serta kepada dr. Ferryal Basbeth, SpF sebagai dosen pengampu. Kepada
semua anggota kelompok Domestic Violence 3, terima kasih atas dukungan dan
kerjasama nya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Huda, S. 2015. Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang
Hukum Pidana. Hunafa: Jurnal Studia Islamika Vol. 12, No. 2, Desember
2015: 377 – 397.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terjemahan Badan Pembinaan
Hukum Nasional. 2008.
Kurniasari A. 2019. Dampak Kekerasan pada Kepribadian Anak. Sosio Informa
Vol. 5, No. 01, Januari – April, 2019. Kesejahteraan Sosial.
Mardiyati I. 2015. Dampak Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap
Perkembangan Psikis Anak. RAHEEMA: Jurnal Studi Gender dan Anak. Doi:
10.24260/raheema.v2i1.166.
Noviana I. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya.
Sosio Informa Vol. 01, No. 1, Januari – April 2015.
Nur’aeni. 2017. Kekerasan Orang Tua pada Anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2017.
Rozak P. 2013. Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum
Islam. Sawwa Vol. 9, No. 1, Oktober 2013: 45 – 70.
Utami PN. 2018. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Haak
Atas Rasa Aman di Nusa Tenggara Barat. Jurnal HAM Vol. 9 No. 1, Juli
2018: 1-17.
Wulandari, V. Nurwati, N. 2018. Hubungan Kekerasan Emosional Yang Dilakukan
oleh Orangtua Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 5 No. 2: 132-136.
YLBHI. 2014. Pasal 332 KUHP Ancam Pendamping Anak Aparat penegak hukum
perlu gunakan perspektif anak untuk kasus-kasus anak yang berhadapan
dengan hukum. https://ylbhi.or.id/informasi/berita/pasal-332-kuhp-ancam-
pendamping-anak-aparat-penegak-hukum-perlu-gunakan-perspektif-anak-
untuk-kasus-kasus-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum/. [Diakses tanggal
15 November 2019].

10

You might also like