You are on page 1of 10

Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019

pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Sistem Surjarotan sebagai Teknologi Tepat Guna dalam Upaya


Meningkatkan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut

Surjarotan System as Appropriate Technology in an Effort to Increase


Productivity of Tidal Swamp Land

Muhamad Firmansyah1*), M. Haffidz Sumantri1, Zaldora Manday1, Siti Masreah Bernas2


1
Mahasiswa prodi Agroekoteknologi, Universitas Sriwijaya
2
Dosen Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya
Email: mhfirmans@gmail.com

ABSTRACT

The use of tidal swamp land has a main obstacle, namely high level of acidity. As a
solution to overcome this problem, concept of surjan system have been used in land with
planting rotation crops or with a new term called Surjarotan. With the surjarotan system, it
is expected to be able to utilize swampland that is not used optimally, also able to cope
with pest attacks and as a step to improve the quality of tidal swampland. Based on these
explanations, this scientific paper was written to know the steps to increase the
productivity of tidal swampland with the surjarotan system. The application of the
surjarotan system is by managing soil and water with a surjan system, on lower part
(tabukan) was planted with rice (Oryza sativa), and on the mounds were planted with
eggplant (Solanum melongena), beans (Phaseolus vulgaris L.), watermelon (Citrullus
lanatus), and soybeans (Glycine max) with a crop rotation system. In writing this scientific
work, references come from scientific literature from trusted sources. The new surjarotan
system is an appropriate agricultural cultivation system can be applied on tidal swamp
agricultural land that can increase land productivity so that it has the potential to increase
sustainable yields. Advantages of the surjarotan system are influencing the yield of plants,
maintaining soil quality, controlling plant distrubbing organism (diseases, pests, weeds),
improving soil biota nutrition, increasing organic material levels, reducing soil erosion,
increasing soil nutrient structure, contributing nitrogen, sharing risk of business failure
farmers so that farmers can maintain their economic needs.
Keywords: Tidal Swamp Land, Wry Land, Surjan, Crop Rotation.

ABSTRAK

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut memiliki kendala utama yaitu tingkat
kemasaman yang tinggi. Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, muncul
konsep budidaya sistem surjan di lahan rawa dengan rotasi tanam atau dengan istilah baru
disebut Surjarotan. Dengan sistem surjarotan diharapkan mampu memanfaatkan lahan
rawa yang tidak terpakai secara optimal, juga mampu menanggulangi serangan hama dan
sebagai langkah untuk memperbaiki kualitas tanah di lahan rawa pasang surut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dilakukan penulisan karya ilmiah ini dengan tujuan
untuk mengetahui langkah meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut dengan
sistem surjarotan. Penerapan sistem surjarotan yaitu dengan mengelola tanah dan air
dengan sistem surjan, pada tabukan ditanami padi (Oryza sativa), dan pada guludan
ditanami terung (Solanum melongena), buncis (Phaseolus vulgaris L.), semangka
(Citrullus lanatus), dan kedelai (Glycine max) dengan sistem rotasi tanaman. Dalam

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 1


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

penulisan karya ilmiah ini, rujukan berasal dari literatur ilmiah dari sumber terpercaya.
Sistem baru surjarotan merupakan sistem budidaya pertanian yang tepat guna untuk
diterapkan pada lahan pertanian rawa pasang surut yang mampu meningkatkan
produktivitas lahan sehingga berpotensi untuk meningkatkan hasil panen yang
berkelanjutan. Keunggulan dari sistem surjarotan yaitu berpengaruh terhadap tingginya
hasil tanaman, memelihara kualitas tanah, mengendalikan OPT, meningkatkan nutrisi biota
tanah, meningkatkan level bahan organis, menurunkan erosi tanah, meningkatkan struktur
hara tanah, kontribusi nitrogen, membagi risiko kegagalan usaha tani sehingga petani dapat
mempertahankan kebutuhan ekonominya.
Kata kunci: Lahan Rawa Pasang Surut, Lahan Masam, Surjan, Rotasi Tanaman.

PENDAHULUAN

Robert Malthus dalam teorinya menyatakan bahwa bahwa “bahan makanan akan
bertambah sesuai deret hitung dan penduduk akan bertambah sesuai deret ukur” maka
dalam waktu singkat, penduduk bumi akan kekurangan bahan makanan. Oleh karena itu,
apabila kebutuhan pangan tidak diimbangi dengan peningkatan produksi, maka
kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan semakin melebar, sehingga diperlukan
upaya peningkatan produksi dengan laju yang tinggi dan berkelanjutan. Selain ketersediaan
dalam jumlah yang cukup, bahan pangan harus dapat diakses setiap saat di semua daerah,
aman dikonsumsi dan harganya terjangkau, sebagaimana diatur dalam UU no. 7/1996
tentang pangan dan PP no. 68/2002 tentang ketahanan pangan (Suwanda & Noor, 2014).
Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang cukup tinggi untuk pengembangan
usaha budidaya pertanian. Telah diketahui bahwa lahan rawa pasang surut memiliki
keunggulan, yaitu ketersediaan air yang berlimpah dan topografi rawa relatif yang datar
sehingga memudahkan dalam penggarapan lahan (Suwanda & Noor, 2014). Dari
keunggulan tersebut tanaman yang memungkinkan untuk dapat dibudidayakan di lahan
rawa pasang surut yaitu padi (Oryza sativa) yang tentu saja disertai dengan pengolahan
lahan yang tepat.
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut memiliki kendala utama yaitu tingkat
kemasaman yang tinggi. Menurut Nazemi et al. (2012), hal tersebut disebabkan oleh zat
beracun yang umum dijumpai di lahan rawa pasang surut yaitu aluminium, besi, hidrogen
sulfida dan air garam atau natrium. Keracunan Al terjadi pada kondisi tanah yang kering
dengan kahat P, karena P diikat menjadi aluminium fosfat yang tidak larut. Unsur besi
dalam jumlah berlebihan biasanya terdapat pada lahan sulfat masam yang tergenang air.
Hidrogen sulfida dapat terjadi pada tanah sulfat masam yang banyak mengandung bahan
organik sebagai hasil reduksi sulfat dalam tanah yang tergenang. Kelarutan unsur beracun
seperti Fe, Al, SO4 di dalam air mencapai puncaknya pada minggu- minggu awal setelah
hujan dengan pH yang sangat rendah dan berangur-angsur menurun sampai mendekati
musim kemarau.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, sistem yang dapat diterapkan untuk
budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut yaitu sistem surjan, yang mana sistem ini
merupakan kearifan lokal dari masyarakat Indonesia. Sistem surjan adalah sistem
penanaman dengan perbedaan tinggi permukaan bidang tanam pada suatu lahan. Lahan
bagian atas disebut guludan yang ditanami tanaman palawija, hortikultura, buah-buahan
dan juga tanaman perkebunan, sedangkan pada lahan bagian bawah ditanami padi.
Guludan dalam sistem surjan selama ini hanya ditanam secara tumpang sari (multiple

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 2


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

cropping) atau hanya satu tanaman, karena itu perlu modifikasi dalam penggunaan sistem
surjan seperti menanam dengan sistem rotasi tanaman. Rotasi tanaman merupakan praktik
penanaman berbagai jenis tanaman secara bergiliran (beda famili) di satu lahan.
Sistem baru dalam budidaya tanaman di lahan rawa pasang surut tersebut diberi
istilah Surjarotan. Surjarotan merupakan modifikasi dari sistem surjan, yang mana dalam
penerapannya juga turut menerapkan rotasi tanaman pada area guludan. Sistem ini
diharapkan mampu memanfaatkan lahan rawa yang tidak terpakai secara optimal, tetapi
juga mampu menanggulangi serangan hama dan sebagai langkah untuk memperbaiki
kualitas tanah di lahan rawa pasang surut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
dilakukan penulisan karya ilmiah ini dengan tujuan untuk mengetahui langkah
meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut dengan sistem surjarotan.

METODE PENULISAN

Metode penulisan dalam penulisan karya tulis ilmiah bersifat studi pustaka. Referensi
didapatkan dari berbagai literatur ilmiah dari sumber terpercaya, referensi yang telah
terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian penyusunan karya
tulis berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis
data bersifat deskriptif argumentatif. Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada
rumusan masalah, tujuan penulisan, serta gagasan. Simpulan yang ditarik
mempresentasikan pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai
rekomendasi selanjutnya.

TANAMAN ANJURAN

Dalam sistem surjarotan terdapat lima komoditi tanaman yang dianjurkan. Tanaman
anjuran pertama yaitu padi (Oryza sativa). Menurut Anonimous (2013) dalam (Karokaro
et al. (2016), tanaman ini memerlukan curah hujan antara 200 mm/bulan atau 1500-2000
mm/tahun dengan ketinggian tempat optimal 0- 1500 mdpl. Suhu optimal untuk
pertumbuhan tanaman padi 23°C. Intensitas sinar matahari penuh tanpa naungan. Budidaya
padi dapat dilakukan disegala musim. Air sangat dibutuhkan oleh tanaman padi. Pada
musim kemarau, air harus tersedia untuk meningkatkan produksi. Tanah yang baik
mengandung pasir, debu dan lempung. Menurut Thamrin et al. (2017) Varietas unggul
yang dapat digunakan di lahan rawa pasang surut yaitu Ciherang, Situ Bagendit, Situ
Patenggang, Inpara 2, Inpara 3 dan Inpara 4.
Tanaman anjuran kedua yaitu terung (Solanum melongena). Tanaman terung ini
dapat tumbuh di dataran rendah dan tinggi dengan suhu udara 22ºC – 30ºC, jenis tanah
yang paling baik lempung berpasir, subur, kaya bahan organik, aerasi dan drainase baik
dengan pH antara 6,8-7,3. Terung memerlukan sinar matahari cukup, serta waktu tanam
yang cocok untuk menanam terung yaitu pada awal musim kemarau (Firdaus & Susilawati,
2012). Varietas terung yang dapat dibudidayakan dalam lahan rawa pasang surut yaitu
Mustang, Kopek ungu, dan Ungu panjang No. 4000 (Susilawati & Nursyamsi, 2014).

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 3


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Gambar 1. Tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.)


Tanaman anjuran ketiga yaitu buncis (Phaseolus vulgaris L.). Tanaman ini dapat
tumbuh dengan iklim basah sampai kering dengan ketinggian yang bervariasi curah hujan
1.500-2.500 mm/tahun, buncis memerlukan cahaya matahari yang banyak atau sekitar 400-
800 feetcandles, suhu udara ideal bagi pertumbuhan buncis adalah 20-25ºC dengan
kelembaban udara yang diperlukan tanaman buncis ± 55% (sedang). Jenis tanah yang
sesuai untuk tanaman buncis adalah andosol dan regosol karena mempunyai drainase yang
baik, sifat-sifat tanah yang baik untuk buncis yaitu gembur, remah, subur dan keasaman
(pH) 5,5-6. Buncis tumbuh baik di dataran tinggi, pada ketinggian 1000-1500 m dpl,
walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk ditanam pada daerah dengan
ketinggian antara 300-600 meter (Chwalibog, 1991). Varietas buncis yang dapat
dibudidayakan pada lahan rawa pasang surut yaitu Horti-1, Horti-2, Prosessor, Farmer
Early, dan Green L (Susilawati & Nursyamsi, 2014).

Gambar 2. Tanaman semangka (Citrullus lanatus)


Tanaman anjuran keempat yaitu semangka (Citrullus lanatus). Tanaman ini dapat
tumbuh pada curah hujan ideal 40-50 mm/bulan, seluruh areal pertanaman perlu sinar
matahari sejak terbit sampai tenggelam, suhu optimal ± 250 C, dan semangka sesuai untuk
ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl. Kondisi tanah untuk budidaya
semangka cukup gembur, kaya bahan organik, bukan tanah asam dan tanah
kebun/persawahan yang telah dikeringkan, sesuai pada jenis tanah geluh berpasir dengan
keasaman tanah (pH) 6 - 6,7 (Afandi, 2017). Varietas semangka yang dapat dibudidayakan
pada lahan rawa pasang surut yaitu Sugar Baby, dan New Dragon (Susilawati &
Nursyamsi, 2014).

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 4


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Gambar 3. Tanaman kedelai (Glycine max)


Tanaman anjuran kelima yaitu kedelai (Glycine max). Tanaman ini tergolong
tanaman hari pendek, yaitu tidak mampu berbunga bila panjang hari (lama penyinaran)
melebihi 16 jam, dan mempercepat pembungaan bila lama penyinaran kurang dari 12 jam.
Kedelai merupakan tanaman golongan strata A, yang memerlukan sinar matahari dengan
penyinaran penuh, tidak memerlukan naungan. Suhu yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman kedelai berkisar antara 22-27°C dengan kelembaban udara yang optimal bagi
tanaman kedelai berkisar antara RH 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia
pengisian polong dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada waktu pematangan
polong hingga panen. Kebutuhan air tanaman kedelai yang dipanen pada umur 80-90 hari
berkisar antara 360-405 mm, setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan. Tanah
yang ideal untuk usahatani kedelai adalah yang berstektur liat berpasir, liat berdebu-
berpasir, debu berpasir, kandungan bahan organik tanah sedang-tinggi (3-4%) dimana lahan
terletak pada dataran 1-1000 m dpl (Sumarno & Manshuri, 2013). Varietas kedelai yang
dapat dibudidayakan pada lahan rawa pasang surut yaitu Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo,
Galunggung, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Sibayak, Tanggamus, Slamet, Lawit,
dan Menyapa (Susilawati & Nursyamsi, 2014)

PENATAAN LAHAN DAN AIR

Ekosistem lahan rawa yang khusus mengakibatkan pengelolaan lahan yang tidak
dapat dilakukan dengan seperti lahan kering pada biasanya. Genangan air adalah masalah
yang umum pada lahan rawa pasang surut, terutama untuk lahan bertipe A yang sering
mengalami kebanjiran karena sulitnya pembuangan air yang disebabkan oleh topografi,
selain itu kemasaman tanah juga mempengaruhi keseimbangan reaksi tanah dalam lahan
rawa pasang surut. Menurut Nazemi (2012), permasalahan yang umum terjadi dalam
pengembangan lahan pasang surut meliputi: beragamnya kondisi fisika dan kimia tanah,
kemasaman tanah dan tingginya asam organik dan kesuburan alami tanah yang rendah.
Penanganan lahan diperlukan dalam budidaya lahan rawa pasang surut. Penanganan
lahan menggunakan sistem surjan dalam budidaya merupakan hal penting dalam
optimalisai lahan rawa. Menurut Nazemi (2012), penataan lahan dapat memberikan
beberapa keuntungan seperti: 1) meningkatnya intensitas lahan, 2) menaikkan ragam
produksi pertanian yang dihasilkan, 3) menurunkan risiko gagal panen, dan 4)
meningkatkan stabilitas produksi yang dihasilkan. Dengan kata lain, penanganan lahan
yang baik mampu meningkatkan produktifitas lahan rawa pasang surut.
Tipe luapan A dapat diusahakan untuk ditanam dua kali dalam setahun, tetapi untuk
tipe luapan B pengelolaanya dapat digunakan sistem surjan. Menurut Sudana (2005),
Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 5
Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

sistem surjan adalah dibaginya bidang olah lahan menjadi dua yaitu bagian atas dan bagian
bawah, bagian bawah disebut tabukan bisa ditanami dengan padi dua kali dalam setahun
dan bagian atas disebut guludan dapat ditanami palawija yang dapat diintegerasikan
dengan tanaman tahunan. Sedangkan untuk tipe C dapat ditanami dengan padi gogo,
palwija ataupun sayuran dataran rendah sebanyak dua kali. Tipe luapan D dapat ditanami
palawija atau sayuran dataran rendah yang dapat dipadukan dengan tamanan keras seperti
kelapa atau lada.
Penerapan sistem tata air harus disesuaikan dengan tipologi lahan serta tipe luapan
air. Menurut Nazemi (2012), sistem tata air yang baik diterapkan pada lahan rawa pasang
surut adalah sistem satu arah dan tabat. Pengendalian tinggi air tidak hanya ditunjukkan
agar tinggi muka air tanah tidak berada di bawah lapisan pirit melalui sistem yang
terkendali (Susilawati et al., 2016). Tinggi muka air sangat tergantung kepada jenis
tanaman, jenis tanah dan kondisi hidrologis di sekitar. Menurut Nazemi (2012), penerapan
sistem tata air pada lahan bertipe luapan A diatur dalam sistem satu arah, tipe luapan C dan
D diatur dengan sistem tabat yang berguna untuk menyelamatkan air, karena tipe luapan C
dan D sumber airnya berasal dari hujan. Tipe luapan B diatur dengan sistem satu arah dan
tabat, pada musim kemarau tipe luapan B yang tidak terluapi oleh air yang pasang perlu
dikombinasikan tata air satu arah dan tabat, sedangkan tipe luapan B yang tidak tertutupi
dapat digunakan sistem tata air satu arah (Susilawati et al., 2016).
Penggalian pembuatan saluran parit perlu diperhatikan agar pirit yang terkandung
dalam tanah tidak mudah teroksidasi. Setiap tipologi lahan memerlukan perlakuan yang
berbeda. Pada lahan pasang surut dengan tipologi masam dengan lapisan pirit kurang dari
50 cm, pengelolanya harus dangkal agar pirit tidak teroksidasi, begitu juga sebaliknya pada
lahan yang memiliki lapisan pirit lebih dari 50 cm, pengelolaan tanah bisa lebih dalam
untuk memperluas areal tanam, tetapi tidak sampai ke lapisan pirit (Sudana, 2005).
Terjadinya oksidasinya pirit akan menyebabkan kemasaman tanah dan dapat meracuni
biota lainnya (Suriadikarta, 2012).

PENANAMAN DAN POLA TANAM

Berdasarkan hasil penelitian Susilawati & Nursyamsi (2014), penanaman dimulai


dari pengolahan lahan yang dilakukan dengan membuat guludan selebar 6 m dengan tinggi
0,6 m, yang kemudian diikuti dengan pembuatan guludan lain pada jarak 8 m setelah
guludan pertama. Area yang berada di antara dua guludan disebut tabukan, dimana area ini
juga digunakan untuk usaha budidaya tanaman. Dalam pengolahan tanah pada lahan rawa
pasang surut, sangat dianjurkan untuk tidak menggali pada kedalaman lebih dari 0,6 m
dikarenakan keberadaan pirit terletak pada kedalaman 0,7 m. Selain mengadaptasi sistem
surjan, sistem surjarotan juga mengadaptasi sistem pola rotasi tanaman pada bagian
guludan.
Rotasi tanaman merupakan pola tanam yang menanam lebih dari satu jenis tanaman
berbeda famili secara bergilir pada satu lahan pada satu periode penanaman dalam urutan
waktu tertentu yang bertujuan untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit tanaman.
Sedangkan rotasi tanaman merupakan aktivitas pertanian yang dipercaya mampu
mempertahankan kandungan bahan organik dalam tanah, terutama peranannya dalam hal
menurunkan penyakit akibat patogen tular tanah (soil borne) yang bersifat biotropik,
terutama bagi patogen dengan kemampuan yang rendah dalam mempertahankan hidupnya
sebagai saprofit. Melalui rotasi tanaman beberapa jenis hama dan penyakit tanaman
mampu dikendalikan dengan syarat melakukan rotasi tanaman dengan jenis atau famili
yang berbeda (Suryadi et al., 2017).

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 6


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Gambar 4. Skema guludan dan tabukan pada sistem surjarotan

Gambar 5. Bagan alir sistem surjarotan


Pada lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan, padi unggul ditanam pada
musim hujan sedangkan padi lokal ditanam sejak musim hujan sampai musim kemarau.
Umur padi lokal kurang lebih 280 hari dengan periode fase vegetatif berkisar antara 210
sampai dengan 240 hari (Thamrin et al., 2017). Berdasarkan waktu tanam padi pada lahan
rawa pasang surut di Kalimantan Selatan tersebut, maka diperkirakan kalender tanam yang
dapat menjadi acuan pada sistem surjarotan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kalender Tanam pada Sistem Surjarotan
Komoditi dengan Tempat Penanaman
Masa Tanam
Guludan Tabukan
MH-1 Buncis Padi
MK-1 Terong (bera)
MH-2 Kedelai Padi
MK-2 Semangka (bera)
Keterangan : MH = Musim Hujan (November-Maret)
MK = Musim Kemarau (April-Agustus)

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 7


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Persiapan tanam padi di lahan rawa pasang surut dilakukan dengan cara menebas
turiang (anakan yang tumbuh secara liar) padi dan memintalnya, kemudian dibiarkan di
lahan sampai membusuk. Kegiatan ini dilakukan pada lahan yang tergenang (Thamrin et
al., 2017). Pada sistem surjarotan, area tabukan pada musim kemarau tidak dilakukan
budidaya padi (bera). Sementara itu, cara tanam komoditi lain yang ditanam pada guludan
disesuaikan dengan cara tanam masing-masing. Begitu pula dengan tahap pembibitan
hingga panen, metode yang dilakukan haruslah sesuai dengan komoditi yang akan
ditanam.
Saat panen pada setiap musimnya, produk pertanian yang dihasilkan akan beragam
(diversifikasi). Menurut Rachmat & Hutabarat (2017), diversifikasi merupakan upaya
penganekaragaman kegiatan atau produk sehingga terjadi keserasian. Di sektor pertanian
diversifikasi meliputi diversifikasi konsumsi dan diversifikasi produksi. Diversifikasi
konsumsi merupakan upaya penganekaragaman pola konsumsi masyarakat, sedangkan
diversifikasi produksi merupakan upaya penganekaragaman kegiatan usahatani dan hasil-
hasil produksi pertanian.

KEUNGGULAN SISTEM SURJAROTAN

Menurut Thirdyawati et al., (2013), dalam rotasi tanaman memiliki pengaruh yang
tinggi terhadap hasil tanaman, memelihara kualitas tanah, mengendalikan OPT (penyakit,
hama, dan gulma), meningkatkan nutrisi biota tanah, meningkatkan level bahan organis,
menurunkan erosi tanah, meningkatkan struktur hara tanah, kontribusi nitrogen dari
tanaman kacang-kacangan dan menginduksi bakteri enfogit yang berperan sebagai penekan
bakteri patogen. Waktu yang digunakan untuk tanaman yang berbeda sesuai dengan
sasaran penelitian, jenis tanaman, dan faktor lingkungan.
Rotasi tanaman dapat mencegah terakumulasinya patogen dan hama yang sering
menyerang satu spesies saja. Hal ini terjadi karena terptusnya siklus hidup patogen karena
bergantinya tanaman inang dengan jenis tanaman lain yang mana bukan merupakan inang
dari patogen tersebut. Melalui metode ini beberapa jenis hama dan penyakit mampu
ditangkal apabila melakukan rotasi tanaman dengan jenis ataupun famili yang berbeda.
Melalui rotasi tanaman dengan famili lain, maka siklus hama dan penyakit yang
menyerang pada periode sebelumnya akan terputus (Thirdyawati et al., 2013).
Sistem surjan pada lahan pasang surut memiliki keuntungan lebih baik dibandingkan
dengan sawah. Karena pada sistem ini menganut bentuk multiguna lahan dan
multikomoditas sehingga sistem usaha taninya menghasilkan produksi yang beragam dan
mendapatkan pendapatan yang lebih banyak. Hasil penelitian lain yang membandingkan
antara ekosistem lahan pasang surut dalam sistem surjan dan sawah menunjukkan bahwa
pada sawah dalam sistem surjan lebih tahan terhadap ledakan populasi hama kepinding
tanah dibandingkan pada sawah (Susilawati & Nursyamsi, 2014).
Tujuan pokok dari sistem surjan di lahan pasang surut ini adalah untuk membagi
risiko kegagalan usaha tani sehingga apabila terjadi gagal panen pada tanaman padi maka
petani masih dapat bertahan. Jika suatu ketika padi terserang hama dan menimbulkan
kerugian yang besar baik modal ataupun tidak, maka masih ada sumber pendapatannya
lainnya dari palawija ataupun sayur-sayuran. Komponen dari tujuan ini biasanya
dikombinasikan dengan pengelolaan air, pengelolaan tanah dan tanaman yang baik
sehingga mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hasil panen selain padi (Susilawati
& Nursyamsi, 2014).
Merujuk pada masing-masing keunggulan sistem surjan dengan rotasi tanaman,
maka sistem surjarotan ini merupakan sistem manajemen terpadu pertanian berkelanjutan

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 8


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

yang mampu meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut. Menurut Suryadi et al.
(2017), manajemen terpadu pertanian organik adalah suatu sistem manajemen produksi
terpadu sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan pertanian organik yang terdiri
dari integrasi sistem pola tanam, peningkatan kesehatan tanah, serta pengendalian hama
dan penyakit tanaman.
KESIMPULAN

Sistem surjarotan merupakan sistem budidaya pertanian yang tepat guna untuk
diterapkan pada lahan pertanian rawa pasang surut yang mampu meningkatkan
produktivitas lahan. Sistem surjarotan memiliki beberapa keunggulan yaitu berpengaruh
terhadap tingginya hasil tanaman, memelihara kualitas tanah, mengendalikan OPT
(penyakit, hama, dan gulma), meningkatkan nutrisi biota tanah, meningkatkan level bahan
organis, menurunkan erosi tanah, meningkatkan struktur hara tanah, kontribusi nitrogen,
membagi risiko kegagalan usaha tani sehingga petani dapat mempertahankan kebutuhan
ekonominya. Diperlukan penelitian lebih lanjut berupa praktik terhadap sistem surjarotan
ini, guna mengetahui tingkat pengaruhnya terhadap produktivitas lahan secara mendalam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan pada Ibu Dr. Ir. Siti Masreah Bernas, M. Sc. selaku
dosen pembimbing, Ibu Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda, M.Si. dan Ibu Erise Anggraini, SP.,
M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Metode Ilmiah, teman-teman Agroekoteknologi
angkatan 2017, serta pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah
ini baik secara moril maupun materil.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, R. (2017). Modul Budidaya Semangka. Gramed, 12, 2–7.


Chwalibog, A. (1991). Buncis (Solanum vulgaris L.). Poultry Science, 71, 509–515.
Firdaus, & Susilawati, E. (2012). Teknologi Budidaya Terung dalam Pot. Retrieved from
Leaflet Tahun 2012 website: jambi.litbang.deptan.go.id
Karokaro, S., E.X., R. J., Runtunuwu, D. S., & Tumewu, P. (2016). Pengaturan Jarak
Tanam Padi (Oryza sativa L.) pada Sistem Tanam Jajar Legowo. Ejournal Unsrat,
5(June), 1–11.
Nazemi, D., Hairani, A., & Nurita. (2012). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang
Surut Melalui Pengelolaan Lahan dan Komoditas. Agrovigor, 5(1), 52–57.
Rachmat, M., & Hutabarat, B. (2017). Tingkat penerapan diversifikasi usahatani dan
pengaruhnya terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Forum Penelitian
Agro Ekonomi, 6(2), 23-32
Sudana, W. (2005). Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian.
Teknologi Pertanian Bogor.
Sumarno, & Manshuri, A. G. (2013). Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai
di Indonesia. Kedelai: Teknik Produksi Dan Pengembangan, 74–103.
Suriadikarta, D. A. (2012). Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan: Studi Kasus
Kawasan Ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan, 6(1), 45–54.
Suryadi, D., Megawati, A., Susilo, B., Nurullah Dalimartha, L., Chandra Wiguna, E.,
Pertiwi Koentjoro, M., & Nugroho Prasetiyo, E. (2017). Model manajemen terpadu
pertanian hortikultura organik pada Lahan Sempit. Proceeding Biology Education
Conference, 14(1), 118–125.

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya 9


Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Nasional 2019
pada Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2019, Palembang 4-5 September 2019
“Smart Farming: Generasi Milenial Bertani”

Susilawati, A, Nursyamsi, D., & Syakir, M. (2016). Optimalisasi Penggunaan Lahan Rawa
Pasang Surut Mendukung Swasembada Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan,
10(1), 51–64.
Susilawati, Ani, & Nursyamsi, D. (2014). Sistem surjan: Kearifan lokal petani lahan
pasang surut dalam mengantisipasi perubahan iklim. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(1),
31–42.
Suwanda, H., & Noor, M. (2014). Kebijakan Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut untuk
Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Jurnal Sumberdaya Lahan, 8(3), 31–40.
Thamrin, M., Asikin, S., & Susanti, M. A. (2017). Budi Daya Padi Di Lahan Rawa Pasang
Surut Dan Pengendalian Alami Hama Penggerek Batang. Jurnal Litbang Pertanian,
36(1), 28–38.
Thirdyawati, N. S., Suharjono, & Yulianti, T. (2013). Pengaruh Rotasi Tanaman dan Agen
Pengendali Hayati terhadap Nematoda Parasit Tanaman. Biotropika, Vol.1 No.5, 211–
215.

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya


10

You might also like