You are on page 1of 101

STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH

DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN


PADA EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Studi Keanekaragaman


Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove
(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)” adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2007

Abd. Wahid
NIM P052050041
iii

ABSTRACT

ABD. WAHID. Study of Soil Hexapods Diversity in Different Type of Land Cover
on Mangrove Ecosystem in Togean Island National Park, Tojo Una-Una Regency.
Under direction of HADI S. ALIKODRA, and YAYUK R. SUHARDJONO.

Soil fauna is known compose 75% of each one million type of teresterial animal
in the world. That number is dominated by Arthropods, specially Hexapods. In
Indonesia, the research of soil Hexapods on mangrove ecosystem is very limited.
Consequently, the information about diversity and role of Hexapods is also limited.
Based on the reasons as mentioned above, this research focused on inventarisation of
soil Hexapods diversity in ecosystem of mangrove. This research was conducted on
the six types of land cover in the area of National Park of Togean Island, Tojo Una-Una
Regency, Central Sulawesi Province. The data were collected from February to July
2007 by using “Pitfall Traps (PFT) and soil sampel (PCT)” method. The result
showed that, the different density of population and diversity of soil Hexapods is
influenced by compositioin of vegetation, litter layer, and composition of organic matter
(C-organic) on six types of land. Soil environment factor like: temperature, humidity,
pH, organic matter (C-organic and N-total) are also influence the abundance of soil
Hexapods. This research collected 2,567 individu of soil Hexapods, compose of 2,078
Collembola, 489 Insect, which where grouped on 28 family and 12 ordo. Mangrove
ecosystem with high density of different type of vegetation have a good composition
and diversity of soil Hexapods. The number family that have a role as decomposition is
more (78.8%-100%) than as fitofag, predator, and parasit. The variation of family with
different role will emprove the stabilization of mangrove ecosystem.

Keywords : Land cover, soil Hexapods diversity, soil environment factor, soil
Hexapods role.
iv

RINGKASAN

ABD. WAHID. Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis


Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean,
Kabupaten Tojo Una-Una - Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HADI S.
ALIKODRA dan YAYUK R. SUHARDJONO.
Pada kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean hutan mangrove umumnya
rusak karena kegiatan konversi hutan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, daerah pertanian, perkebunan, tambak, pemukiman dan pembangunan.
Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi
dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan
Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah
kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun 75%
dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah
yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda (serangga)
(Biological Survey of Canada, 1991). Hexapoda tanah berfungsi sebagai perombak
bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu, parasit dan pemangsa, serta
sebagai pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Peranannya tidak
dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa
biota lain. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi
kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadiran Hexapoda tanah, perombakan
tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat.
Data dasar mengenai keanekaragaman dan keadaan populasi Hexapoda tanah pada
suatu habitat akan berguna dalam mengkaji lebih rinci peran dan manfaatnya yang
berkaitan dengan kemapanan ekosistem tempat mereka hidup. Informasi yang lengkap
mengenai Hexapoda tanah pada suatu habitat tertentu akan membantu dalam pengelolaan
kawasan yang lebih berkesinambungan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kepadatan populasi dan
keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem
mangrove, peran/fungsi masing-masing suku Hexapoda tanah dalam ekosistem
mangrove, serta mengkaji faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang
mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah. Penelitian dilakukan di Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah pada
enam lokasi penelitian yaitu hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan
mangrove jarang, kebun campuran, tambak dan lahan kosong. Pengumpulan
Hexapoda tanah dilakukan dengan menggunakan metode perangkap sumuran atau
Pitfall Traps (PFT) dan pengambilan contoh tanah (PCT). Untuk analisis data digunakan
indeks Hill (Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan program BioDAP for Windows v.1988,
dan analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor
lingkungan tanah (MINITAB Versi 14.01).
Hexapoda tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode PFT dan PCT
sebanyak 2.567 individu yang tergolong atas 28 suku, 12 ordo, dan 2 kelas. Komposisi
kelas Collembola terdiri atas 3 ordo, 4 famili, dan 2.078 individu; sedangkan kelas Insecta
9 ordo, 24 famili dan 489 individu. Collembola memiliki kekayaan spesies/individu
paling tinggi. Dengan menggunakan PFT, perolehan jumlah individu, suku dan ordo
v

Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada lokasi penelitian lebih tinggi
daripada dengan menggunakan PCT, kecuali pada tambak non tumpangsari perolehan
jumlah ordo dan suku lebih tinggi pada PCT. Namun jumlah suku Hexapoda tanah
yang melimpah dan yang paling melimpah dengan menggunakan PCT lebih tinggi
daripada dengan PFT.
Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap
jenis penutupan lahan pada daerah permukaan tanah adalah Collembola, disusul
Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah
Collembola dan Psocoptera. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan
takson yang ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah
maupun di dalam tanah dengan kelimpahan individu tinggi. Ditemukannya kedua takson
tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya
beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama
Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki
keanekaragaman yang tinggi serta penyebarannya relatif luas di tanah.
Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah
individu Hexapoda tanah dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah di hutan mangrove
yang belum dikonversi lebih rendah daripada hutan mangrove yang telah dikonversi
(terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan
beragamnya vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, serta adanya
perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap
kehadiran Hexapoda tanah. Selain itu diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan
tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik dan N-total).
Dengan metode PFT, pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah
individu (485) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove
lebat, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling
melimpah (N2) tertinggi pada di hutan mangrove jarang. Di daerah yang telah
dikonversi total jumlah individu (710) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah
tertinggi di kebun campuran, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah
dan paling melimpah tertinggi di lahan kosong, selain itu jumlah suku yang melimpah
tertinggi juga ditemukan di kebun campuran.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, dengan metode PCT, total jumlah
individu di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31). Sedangkan jumlah
ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi
suku tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang. Di hutan mangrove yang
telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah tertinggi (76) di kebun campuran,
demikian pula dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi semuanya ditemukan di
kebun campuran. Tingginya nilai keanekaragaman Hexapoda tanah ini diduga
berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi
tersebut. Menurut Suhardjono (1992), kelimpahan Collembola dan Hexapoda tanah
lainnya bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah.
Lapisan tanah yang jumlah individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah
yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan
organik sebagai sumber pakan.
Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi
Hexapoda tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem
yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong dan mangrove jarang
vi

memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasikan kondisi ekosistem


yang kurang stabil.
Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi
pada setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah.
Persentase perombak dipermukaan tanah (metode PFT) berkisar 78,8% - 99,5%,
sedangkan di dalam tanah (metode PCT) 93,3% - 100%.
Dengan metode PFT, jumlah individu Hexapoda tanah yang berperan sebagai
perombak memiliki jumlah terbesar, baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi
(kisaran 78,8% - 86,4%), maupun pada hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran
94,0% - 99,5%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda
perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641), diikuti oleh ordo
Hymenoptera/Formicidae (38) dan Diptera (25). Hexapoda tanah yang berperan sebagai
pemangsa (130 individu) sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (114),
Hymenoptera (11). Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) umumnya
berasal dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sedangkan kelompok pemarasit
tidak satupun yang ditemukan. Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah
perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44)
dan Diptera (31). Kelompok yang berperan sebagai pemangsa (42 individu), sebagian
besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Kelompok fitofagus (11
individu) didominasi ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo
Coleoptera dan Lepidoptera. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang
ditemukan, seperti pada hutan mangrove yang belum dikonversi.
Pada metode PCT, jumlah perombak yang diperoleh sangat dominan baik pada
hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 96,4% - 100%) maupun hutan mangrove
yang telah dikonversi (kisaran 93,3% - 97,4%). Pada hutan mangrove yang belum
dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh ordo
Psocoptera (36), Collembola (14) dan Diptera (14). Kelompok predator/pemangsa hanya
ditemukan pada ordo Diptera (1 individu), sedangkan kelompok fitofagus diwakili oleh
ordo Homoptera (1 individu). Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah
perombak 112 individu umumnya berasal dari Collembola (44), diikuti ordo Psocoptera
(32) dan Coleoptera (20). Kelompok peran yang lain yaitu pemangsa/predator ditemukan
dalam populasi yang rendah (4 individu) diwakili oleh ordo Diptera, Hymenoptera dan
Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu fitofagus dan pemarasit tidak
ditemukan pada lokasi tersebut.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan terutama suhu dan
kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah lebih berpengaruh
terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor
lingkungan yang berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah
(eudafik) adalah suhu dan kelembaban tanah, porositas, pH, dan kandungan bahan
organik (C-organik, N-total) tanah.

Kata kunci : vegetasi mangrove, penutupan lahan, keanekaragaman, Hexapoda tanah.


vii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2007


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii

STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH


DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN
PADA EKOSISTEM MANGROVE
(Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah)

ABD. WAHID

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ix

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS.
x

Judul Tesis : Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis


Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman
Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)

Nama : Abd. Wahid

NIM : P052050041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono
Ketua Anggota

Diketahui

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 30 Oktober 2007 Tanggal Lulus : November 2007


xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tak lupa
shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabiullah Muhammad SAW atas
keteladannya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Pebruari 2007 – Juli 2007 adalah Keanekaragaman Hayati dengan judul “Studi
Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan pada
Ekosistem Mangrove (studi kasus di TN Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi
Tengah)”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ibu Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono selaku
komisi pembimbing atas arahan dan diskusi yang sangat berharga selama ini. Terima
kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar
Pascasarjana Program Studi PSL yang telah memberikan pengetahuan yang tak
ternilai selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program
Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi.
Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Saudara Risman alias
”Koa” warga desa Lembanato di kepulauan Togean atas semua bantuan dan fasilitas
yang diberikan selama pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ibu Fatimah dan Bapak Darmawan dari Laboratorium
Zoologi LIPI di Cibinong atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium, serta
semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada teman-temanku angkatan
2005 program studi PSL terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan
dalam menyelesaikan studi.
Pada akhirnya, karya tulis ini penulis persembahkan buat Mama dan Papa
tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta
kepada istri tercinta Dra. Amna Thahir, ketiga anakku Fahrul Ramadhan Junus,
Nurfadhila Junus dan Farhana Shinta Wahid atas keikhlasan, pengertian, doa dan
dorongan serta semangat untuk pencapaian semua ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua
yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2007

Abd. Wahid
xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli


Sulawesi Tengah pada tanggal 05 Oktober 1967 dari Ayah Jasin Junus (Purnawirawan
ABRI) dan Ibu Hj. Zakia Maseng. Penulis merupakan anak kedua dari enam
bersaudara.
Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA
Negeri I Kotamadya Gorontalo dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke
Universitas Samratulangi (UNSRAT) Manado Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1991. Sejak Pebruari tahun 1993
penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu. Pada tahun ajaran
2005/2006 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister
Sains, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut
Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS Dikti, dan suporting biaya riset
dari Yayasan Fuji Xerox Asia Pacific – Astra Graphia.
Penulis dinyatakan lulus dengan penilaian ”Sangat Baik” pada tanggal 30
Oktober 2007 dalam sidang ujian magister sains pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB Bogor.
xiii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A Latar Belakang ...................................................................................... 1
B Kerangka Pemikiran .............................................................................. 4
C Perumusan Masalah ............................................................................... 7
D Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
E Hipotesis ................................................................................................ 8
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9
A Tinjauan Umum Hutan Mangrove ........................................................ 9
B Tinjauan Umum Fauna Tanah ............................................................... 13
C Serangga (Hexapoda) ............................................................................ 18
D Indeks Keanekaragaman ....................................................................... 21
III METODE PENELITIAN ........................................................................... 23
A Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 23
B Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... 23
C Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 23
D Metode Pengambilan Data .................................................................... 28
E Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah .................................. 32
F Analisis Data .......................................................................................... 33
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 36
A Hasil ...................................................................................................... 36
A.1 Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia ....................................................... 36
A.2 Vegetasi ......................................................................................... 39
A.3 Serasah ........................................................................................... 40
A.4 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... 42
A.5 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. 51
B Pembahasan ........................................................................................... 52
B.1 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... 52
B.2 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. 59
B.3 Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor
Lingkungan Fisik Tanah …............................................................. 65
V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 67
A Kesimpulan ........................................................................................... 67
B Saran ..................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ..... 69
LAMPIRAN ................................................................................................ 74-84
xiv

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian ..................................................... 23
2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi
penelitian .................................................................................................... 36
3 Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi ...................... 40
4 Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada
ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................... 41
5 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) ..................... 43
6 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah
(PCT) ......................................................................................................... 45
7 Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan contoh tanah
(PCT) pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ..................... 46
8 Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan
serangga pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................ 48
9 Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada 6 tipe
komunitas mangrove di lokasi penelitian .................................................. 49
10 Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai
dominansi (N2) Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di
lokasi penelitian ......................................................................................... 50
11 Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan
pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................................ 51
12 Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan
parameter lingkungan tanah ....................................................................... 65
xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................ 6
2 Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha
di Kabupaten Tojo Una-Una ..................................................................... 24
3 Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di
Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean .................................................. 26
4 Tata letak petak penelitian di lapangan ..................................................... 29
5 Perangkap sumuran (PFT) di lapangan .................................................. 30
6 Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese
modifikasi) ................................................................................................. 31
7 Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove
di lokasi penelitian ................................................................................... 35
8 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall trap
(PFT) .......................................................................................................... 44
9 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode
Pengambilan contoh tanah (PCT) ............................................................. 48
10 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PFT …................................................. 60
11 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PCT ..................................................... 62
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PFT
(Pitfall trap) ............................................................................................... 75
2 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PFT
(Pitfall trap) ............................................................................................... 76
3 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PCT
(Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 77
4 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PCT
(Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 78
5 Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan
parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat .................... 79
6 Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah yang ditemukan di
lokasi penelitian ............................................................................... 80
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan
yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (terutama di pantai yang
terlindung, muara laguna, muara sungai). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara
alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas
dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi
terhadap garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (The
Mangrove Information Center, 2006).
Ekosistem mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri
tumbuhan yang hidup di darat dan di laut yang dipengaruhi oleh periode pasang surut air
laut, oleh karena itu tidak semua jenis fauna yang mampu beradaptasi sehingga kelompok
fauna yang bertahan merupakan jenis fauna yang spesifik. Umumnya mangrove
mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor).
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin
oksigen atau bahkan anaerob.
Pengertian hutan mangrove tidak terbatas pada daerah bervegetasi, tetapi daerah
terbuka atau berlumpur, selalu atau secara teratur tergenang air laut, atau terletak di
antara hutan dan laut, yang sering dikenal dengan daerah payau. Mangrove merupakan
jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta, muara sungai, sampai menjorok ke arah
pedalaman dan garis pantai. Di dalam ekosistem hutan mangrove terintegrasi dua tipe
ekosistem yaitu ekosistem darat dan laut, sehingga kerusakan di hutan mangrove akan
mengakibatkan rusaknya dua tipe ekosistem tersebut.
Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat
bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah
pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis
ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga
merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis
kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati
2

(biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang
kehidupan. Dengan sistem perakaran dan penutupan tajuk (canopy) yang rapat serta
kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran
gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan
estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat
dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan
baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut
lainnya.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan
sumber daya alam yang sangat potensial. Menurut Alikodra dalam Wetlands International
(2007) luas mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta ha atau 18-32% total luas mangrove
seluruh dunia. Angka ini merupakan yang terluas dibandingkan dengan Brasil (1,3 juta
ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,9 juta ha). Di Indonesia sendiri, perusakan
hutan mangrove sudah tergolong cukup parah. Menurut Kusmana dalam Harian Berita
Sore (2007) bahwa sekitar 6,7 juta ha atau 70% dari luas 9,4 juta ha hutan mangrove di
Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove
yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove
yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha, sehingga hutan
mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi, 2000 dalam Gunarto,
2004).
Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena umum di
berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan
ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi
lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian
serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove
ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia.
Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan
keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Misalnya melimpahnya bahan
3

organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budidaya tambak intensif di lingkungan
perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betul-
betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Dampak lainnya adalah menurunnya
keanekaragaman hayati organisme komunitas terestis akuatik (Soeriaatmadja, 1997).
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) menempati luas kawasan sebesar
362.605 ha (SK Menhut RI No. 418/Menhut/2004) dengan luas daratan yang relative
sempit (sekitar 25.832 ha) selebihnya merupakan wilayah perairan, terdiri dari pulau-
pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit memberikan korelasi yang
signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan
laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap
kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (Anonim, 2007).
Hutan mangrove yang merupakan tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut memberikan sumbangan yang besar bagi kelestarian pesisir dan laut di kepulauan
Togean, dengan luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 5.051 ha yang tersebar di
beberapa gugusan pulau seperti Batudaka, Togean, Talatakoh dan sebagian pulau Walea.
Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga
keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang
yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tidak
terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan
Togean (Anonim, 2007; CII-Togean Program, 2005).
Survey yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) di sekitar
Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove
yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan terbesar terjadi akibat penebangan
pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, konversi hutan mangrove
untuk perluasan pemukiman penduduk, usaha pertambakan, serta pengambilan kulit
bakau jenis Rhizophora (Ф 20-30 cm) untuk bahan pewarna jaring, akibatnya pohon yang
dikuliti lambat laun akan mati karena terganggunya suplai makanan dari akar menuju ke
daun (CII-Togean Program, 2005).
Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai
ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati
4

yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah
(serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun sekitar 75% dari setiap satu juta jenis
binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut
didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda/serangga (Biological Survey
of Canada, 1991 dalam Suhardjono dkk. 2000). Hexapoda tanah dapat mempercepat
proses perombakan bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu. Selain itu
berperan sebagai parasit, pemangsa dan pengendali penyakit tanaman terutama yang
disebabkan oleh jamur. Peranan tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia
tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lainnya. Oleh karena itu, peran
utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal
tanpa kehadirannya, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan
berjalan sangat lambat.
Mengingat pentingnya peranan Hexapoda tanah dan terbatasnya informasi
mengenai keberadaannya pada ekosistem mangrove, maka hal ini menjadi sangat
menarik dan bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh konversi hutan
mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah di sekitar kawasan TNKT. Hasil
kajian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk membantu melestarikan keanekaraga-
man hayati serta memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang
berwawasan lingkungan.

B. Kerangka Pemikiran
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) mempunyai keanekaragaman
flora dan fauna yang unik dan tinggi dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar
25.832 ha), terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang
berbukit-bukit, serta memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut mulai
dari hutan dataran rendah (low-land forest), pantai berbatu, hutan bakau (mangrove),
padang lamun (sea-grass bed) dan terumbu karang (coral reefs). Hal ini memberikan
korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan
dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat
berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (CII-Yayasan Pijak, 2001).
Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di TNKT umumnya
terjadi pada hutan mangrove. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi
5

hutan mangrove menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, dan eksploitasi


(penebangan) hutan mangrove untuk bahan bangunan, padahal mangrove berfungsi
sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan
organisme dari komunitas terestis akuatik.
Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai
ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati
yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya
Hexapoda tanah.
Kehadiran Hexapoda tanah dibutuhkan karena kemampuannya dalam
menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi, sehingga
unsur hara yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian
aneka fenomena di dalam tanah. Selain itu Hexapoda tanah juga berperan dalam proses
perombakan bahan organik tanah dan keberadaan serta aktifitasnya berpengaruh positif
terhadap sifat fisik tanah (Setiadi, 1989; Suhardjono dan Adisoemarto, 1998;
Poerwowidodo, 1992). Sumberdaya tanah merupakan salah satu komponen lahan yang
langsung berhubungan dengan pertumbuhan tanaman hutan yang memiliki kemampuan
berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya
pengaruh sifat fisik-kimia, faktor iklim dan keberadaan organisme tanah termasuk di
dalamnya Hexapoda pada setiap jenis tanah tersebut.
Oleh karena itu diperlukan kajian dalam bentuk eksplorasi mengenai keaneka-
ragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem
mangrove di sekitar TNKT, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap
keberadaan Hexapoda tanah, mengingat keberadaannya sebagai salah satu komponen
ekosistem dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove yaitu sebagai perombak
dan penyubur tanah. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
6

TAMAN NASIONAL POTENSI SDA


KEPULAUAN TOGEAN (TNKT) ; SD Hutan
SK Menhut. RI No. 418/Menhut/2004 ; Laut dan Perikanan
Luas Kawasan sebesar 362.605 ha ; Pariwisata (Bahari dan Budaya)

HUTAN MANGROVE
(EKOSISTEM MANGROVE)
 Sangat berperan bagi kelestarian
kawasan pesisir & laut di TNKT
 Habitat ekosistem yang terus di
eksploitasi/kerusakan fisik di TNKT

KONVERSI HUTAN MANGROVE


 Kawasan Pemukiman
 Usaha pertambakan
 Eksploitasi hutan untuk kegiatan lain.

FUNGSI EKOLOGIS
PERUBAHAN TERGANGGU PERUBAHAN
FAKTOR LINGK TANAH Dampak Terhadap Mata Rantai STRUKTUR/
(fisik & kimia tanah) Ekologis Hutan Mangrove VEGETASI

Sumber KEHATI
FAUNA TANAH

HEXAPODA
TANAH

Eksplorasi Faktor lingk. Tanah Peran/fungsi


Keanekaragaman (fisik & kimia tanah) (takson)
Hexapoda tanah Hexapoda tanah

KELESTARIAN KEHATI (Hexapoda tanah)


UPAYA MENJAGA
KESEIMBANGAN EKOSISTEM MANGROVE

Ket. : : Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.


7

C. Perumusan Masalah
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai sekitar
kawasan TNKT mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara berlebihan, antara lain hutan mangrove dengan cepat menjadi
semakin menipis dan rusak. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap
habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan
mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri
dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu
menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah
pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi
terbesar bagi pengrusakan mangrove.
Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan
kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Hilangnya mangrove dari
ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai
terganggu. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai
ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati
yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya
Hexapoda tanah. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga
kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di
sekitarnya. Menurut Poerwowidodo (1992) kelompok fauna tanah berperan penting
dalam perombakan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan
demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur
kehidupan dan pengendali aneka fenomena di dalam tanah. Dengan kata lain dilihat
dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam
mempertahankan dinamika dan keseimbangan ekosistem alam. Adanya konversi hutan
mangrove akibat aktifitas manusia menyebabkan perubahan fungsi pada ekosistem
mangrove, sehingga akan memberikan dampak terhadap keberadaan kelompok fauna
tanah terutama Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove.
Berdasarkan perumusan permasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang
digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :
8

1. Bagaimana dampak konversi hutan mangrove terhadap keberadaan


(keanekaragaman takson) Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan
mangrove.
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah)
terhadap kelimpahan Hexapoda tanah.
3. Bagaimana peran/fungsi Hexapoda tanah dalam membantu menjaga
keseimbangan ekosistem mangrove.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :
1. Keanekaragaman Hexapoda tanah pada tahap suku/famili di berbagai jenis
penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove.
2. Peran atau fungsi masing-masing takson/suku Hexapoda tanah di dalam
ekosistem mangrove.
3. Faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi
kelimpahan Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :


1. Memperoleh informasi mengenai keanekaragaman takson dan peran penting
Hexapoda tanah dalam membantu menjaga keseimbangan ekosistem
mangrove.
2. Meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman Hexapoda tanah sehingga
membantu memotivasi untuk tetap melestarikan keanekaragaman hayati.
3. Memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan
lingkungan dengan berdasar pada keanekaragaman Hexapoda tanah.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :


1. Keanekaragaman Hexapoda tanah berbeda pada berbagai jenis penutupan
lahan di kawasan ekosistem mangrove.
2. Kelimpahan Hexapoda tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,
porositas, kandungan bahan organik, pH dan salinitas tanah.
9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hutan Mangrove


A.1. Pengertian
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui (renewwable natural resources). Berdasarkan S.K. Dirtjen Kehutanan
No. 60/Kpts/Dj./I/1978; hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di
sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, yang
tergenang air laut pada saat pasang dan bebas dari genangan air laut pada saat surut
(Arief, 2007).
Seringkali kata mangrove disamakan dengan kata mangal, tetapi MacNae
(1968) dalam Arief (2007) menyarankan agar kata "mangrove" digunakan untuk
satuan pohon, sedangkan kata "mangal" berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut.
Di Suriname, kata mangro pada awalnya merupakan kata umum yang dipakai untuk
jenis Rhizophora mangle. Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan
suatu individu tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di
Perancis, kata mangrove sama artinya dengan kata manglier.
Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian
zone intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang
terbasahi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi makluk yang tidak
dapat hidup dalam lingkungan bebas garam; khusus yang berupa tumbuh-tumbuhan
disebut halofita (halophytic vegetation) (Arief, 2007).
Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama,
yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai
rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut
air laut. Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseim-
bangan siklus biologi di suatu perairan (Arief, 2007).

A.2. Fungsi Mangrove


Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sangat khas dan kedudukannya
tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya (Anwar et al., 1984). Hutan mangrove memiliki
banyak fungsi, di antaranya:
10

a. Fungsi biologis
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan
proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan
ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian
pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat
bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984;
Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan
keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang
sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting
ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk.,
1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang
diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk
hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai
tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan kerang-
kerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa
lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota.

b. Fungsi fisik
Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa,
1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang
pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari
hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai
(abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra
dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove
juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya.
Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang
berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur
dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam
Rahmawaty, 2000).
11

c. Fungsi ekonomis
Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat
pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan
bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978;
Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk.,
1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal
(capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan
kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan
dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang,
dan kemusnahan flora dan fauna).

A.3. Adaptasi Mangrove


Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi
tempat terjadinya penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan
pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap (terus-
menerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan
produksi yang dilakukan oleh tumbuhan (Dahuri dkk., 1996). Setiap tipe mangrove
yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan
air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai, dan
aktivitas manusia (Sukardjo, 1984). Hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas,
memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari
tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks (Odum, 1996).
Pohon mangrove mempunyai sejumlah ciri morfologi khusus yang
memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek,
menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari
batang dan/atau dahan. Daun-daunnya kuat, mengandung banyak air dan mempunyai
jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi (Nybakken, 1992).
Sugianto (1983) dan Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa hutan mangrove
mempunyai cara yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cara yang
dimaksud antara lain bentuk jenis-jenis akar khas yang merupakan salah satu ciri khas
pohon mangrove, yaitu: 1) Akar tunjang dan akar udara yang dijumpai pada pohon
bakau (Rhizophora sp. dan Ceriops tagal), 2) Akar nafas pada pohon api-api (Avicennia
12

sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp.,
dan Xylocarpus sp.

A.4. Fauna Mangrove


Anwar et al. (1984) membagi fauna hutan mangrove menjadi dua bagian,
yaitu: komponen yang mutlak hidup bergantung pada air (fauna aquatik) seperti:
kepiting, siput. kerang; cacing, dan ikan; dan yang hidup di daratan atau tidak
langsung tergantung pada air laut, antara lain serangga, laba-laba, ular, kadal, tikus,
monyet dan burung.
Mac Nae (1968) dalam Arief (2007), telah menyelidiki secara intensif hewan
yang ada di hutan mangrove dan menyimpulkan bahwa hutan mengrove dapat dibagi
menjadi enam macam habitat. yaitu:
1. Tajuk pohon pada pokoknya dihuni oleh burung, mamalia, dan insekta yang
datang dari hutan/tempat sekitarnya. .
2. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting
(habitat yang sangat baik bagi larva nyamuk).
3. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting.
Selanjutnya ditambahkan oleh Hutching and Saenger (1987), bahwa selain yang
telah disebutkan, di atas permukaan tanah juga hidup berbagai jenis semut.
4. Bagian batang dan akar nafas (tempat hidup bangsa kerang dan mollusca). Akar
mangrove merupakan substrat yang baik untuk berbagai jenis binatang yang
menempel, selain itu ikan dan berbagai jenis moluska dan krustasea yang hidup
bebas juga menemukan tempat berlindung di antara akar mangrove (Sikong,
1978)
5. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis kepiting, larva nyamuk, dan katak.
6. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, buaya, dan jenis-jenis biawak.

Fauna mangrove memiliki banyak peran, antara lain :


1. Sumber protein hewani. Jenis-jenis yang umum dikonsumsi penduduk adalah
ikan; moluska, dan kepiting.
2. Bahan produksi, seperti kulit yang dihasilkan oleh kelompok reptilia, yaitu ular.
Supriyatna (1984 dalam Suhardjono dan Adisoemarto, 1998), melaporkan bahwa
sedikitnya diketahui delapan jenis ular yang dapat ditemukan di hutan mangrove,
13

beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat
dikembangkan.
3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan
mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna
mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan
sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau
bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan
proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993).
4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.),
tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara bunga-
bunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung
juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain
(Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di
sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai
jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove.

B. Tinjauan Umum Fauna Tanah

B.1. Pengertian Fauna Tanah


Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya
dihabiskan di dalam tanah (Wallwork, 1976; Kimmins, 1987). Suhardjono dan
Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa, Arthropoda tanah adalah semua kelompok
binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung kepada tanah karena
sumber pakannya terdapat di tanah. Jasad tanah yang dinyatakan oleh Poerwowidodo
(1992) adalah semua jasad hidup yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan
kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tanah. Kelompok ini
mencakup jasad tanah yang kasat mata dan jasad renik dari golongan binatang
misalnya protozoa dan tumbuhan misalnya bakteri. Wallwork (1976) melaporkan
adanya lima kelompok Arthrophoda yang sering ditemukan di tanah, yaitu:
Crustaceae, Myriapoda, Aptergyota, Arachnida dan beberapa Hexapoda.
14

B.2. Macam Fauna Tanah


Kelompok fauna tanah sangat banyak dan beraneka-ragam, mulai dari
Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata.
Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah,
habitat yang dipilihnya, yang mempengaruhi sistem tanah dan kegiatan makannya
(Suin, 2003; Hole, 1981).

a. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh.


Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1)
Mikrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh berkisar antara 20 μ dan 200 μ,
misalnya: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada, (2) Mesofauna,
adalah kelompok ukuran tubuh berkisar antara 200 μ dan 1 cm, contohnya adalah:
Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga, dan Isopoda, (3)
Makrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh lebih besar dari 1 cm, termasuk
pada kelompok ini adalah: Megascolesidae, Mollusca, Insecta, dan Vertebrata
(Wallwork. 1970; Brown, 1980; Kimmins, 1987). Sedangkan menurut Suhardjono dan
Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi:
(1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti:
Protozoa dan stadia pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2)
Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 - 10.4 mm dan merupakan
kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida,
Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa
binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking; (3) Makrofauna adalah
kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10.5 mm, seperti: Insekta,
Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.

b. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan kehadiran


Berdasarkan kehadiran fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer,
periodik, dan permanen (Suin, 2003). Sedangkan Hole (1981) membagi binatang tanah ke
dalam enam kategori berdasarkan keberadaannya di dalam tanah, yakni: 1) Permanen,
yaitu fauna tanah yang seluruh daur hidupnya berada di dalam tanah, contohnya cacing
tanah dan Collembola, 2) Sementara, yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya
berada di tanah, sedangkan fase lainnya tidak atau secara berkala di tanah, contohnya
15

larva-larva serangga, 3) Periodik, yaitu binatang-binatang tanah yang sering berpindah-


pindah masuk dan keluar dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga, 4)
Bertukar-tukar, yaitu satu atau lebih generasi binatang yang berada di dalam tanah,
generasi lainnya hidup di atas tanah, contohnya Rhopalosiphoninus dan Biorhiza, 5)
Mendiami sementara, yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan
fase aktif berada di atas tanah, contohnya serangga, 6) Kebetulan, yaitu binatang yang
jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk ke dalam tanah, contohnya larva serangga
dari tajuk pohon dan binatang permukaan yang jatuh ke dalam lubang tanah. Dari
pendapat Hole (1981) tersebut menurut Suhardjono (1997), dibedakan menjadi empat
kelompok saja, karena sebenarnya pembagian nomor 2, 4, dan 5 hampir serupa, yaitu
singgah (transit), sementara, berkala (periodik), dan menetap (permanen).

c. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah


Berdasarkan tempat hidupnya pada lapisan tanah, digolongkan sebagai : (1)
Epigon, yaitu fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan
tanah, (2) Hemiedafon, hidup pada lapisan organik tanah, (3) Euedafon, yang hidup
pada lapisan mineral tanah (Suin, 2003).

d. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah


Menurut Hole (1981), binatang tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi
dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian
besar tidak menghuni sistem tanah; meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan
Amphibia. (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini
mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (θ < 1,0 cm), umumnya
tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam,
meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychophora,
Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda.

e. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan jenis makanan/cara makan.


Fauna tanah juga dibedakan berdasarkan jenis makanan, ada yang bersifat
herbivora, saprovora, fungivora, dan predator (Suin, 2003). Wallwork (1970), Brown
16

(1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan
makannya, yaitu:
1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti
spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies
semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca.
2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar,
setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing
tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya
binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati
(xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous).
3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca
dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang
Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu
(contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera).
4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang
tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking,
Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca.

B.3. Peran Fauna Tanah


Secara esensial semua fauna yang menghuni lingkungan hutan mempengaruhi
sifat-sifat tanah (Setiadi, 1989). Kehadiran jasad tanah yang beraneka ragam dengan
populasi optimum di ekosistem hutan tanaman sangat penting untuk melestarikan
kesinambungan dan kecukupan pasokan hara melalui keikutsertaannya dalam
menghancurkan dan menguraikan bahan organik (Poerwowidodo dan Haneda, 1998).
Fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan
organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain
yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka
fenomena di dalam tanah. Kehidupan dan kegiatannya yang khusus ini menjadikannya
sebagai salah satu faktor pembentuk tanah (Poerwowidodo, 1992). Selanjutnya Setiadi
(1989) menambahkan bahwa organisme tanah berperan penting di dalam
ekosistemnya, yaitu sebagai perombak bahan organik dan mensintesa kemudian
melepaskan kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuh-
17

tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan
peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas
ekosistem alam.
Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan
sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai
karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan
dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi
atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai
perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis
besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang
besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian
materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses.
Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna
pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam
bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama
bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses
dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang
terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna
apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh
mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui
proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam
mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967).

B.4. Pengaruh Tanah dan Vegetasi terhadap Keberadaan Fauna Tanah


Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya
sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya
(Suin, 2003). Menurut Szujecki (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada
gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh
terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan
telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Fauna tanah bereaksi
cepat terhadap perubahan di lingkungannya yang datang dari tanah itu sendiri, faktor
18

iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam
Adianto, 1993).
Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu
menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung
daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi
(1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan
kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk
pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi
dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat
di permukaan tanah (Setiadi, 1989).
Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen.
Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke
bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah
dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa
jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan
organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah
hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga
dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982;
Foth, 1998).

C. Serangga (Hexapoda)

C.1. Klasifikasi Serangga


Dunia binatang terbagi menjadi 14 filum berdasarkan tingkat kekompleksan
dan urutan evolusinya, sehingga filum binatang disusun dari filum yang rendah ke
filum yang tinggi. Semua serangga adalah anggota dari filum Arthropoda (binatang
dengan kaki beruas-ruas), yang terbagi menjadi tiga sub filum, yaitu Trilobita (telah
punah dan tinggal fosil), Chelicerata (terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida),
dan Mandibulata (terdiri atas beberapa kelas yang salah satunya adalah kelas
Insecta/Hexapoda) (Lilies, 1997).
Kelas Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo (Borror et al., 1996), yaitu
Protura, Collembola, Diplura, Microcoryphia, Thysanura, Ephemeroptera, Odonata,
19

Grylloblattaria, Phasmida, Orthoptera, Mantodea, Blattaria, Isoptera, Dermaptera,


Embiidina, Plecoptera, Zoroptera, Psocoptera, Pthiroptera, Hemiptera, Homoptera,
Thysanoptera, Neuroptera, Coleoptera, Strepsiptera, Mecoptera, Siphonaptera,
Diptera, Trichoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Sedangkan menurut Kristensen
(1991), Hexapoda diangkat jadi super kelas dan terbagi ke dalam dua kelas, yaitu:
Ellipura (Pra-insecta) dan Insecta. Ellipura terdiri atas ordo Collembola, Protura, dan
Diplura. Sedangkan dalam kelas Insecta ada 25 ordo, meliputi : Orthoptera, Isoptera,
Blattodea, Mantodea, Grylloblattodea, Phasmatodea, Strepsiptera, Dermaptera,
Embioptera, Plecoptera, Psocoptera, Zoraptera, Thysanoptera, Hemiptera, Coleoptera,
Neuroptera, Trichoptera, Lepidoptera, Diptera, Siphanoptera, Pthiroptera, Megaloptera,
Rhapidioptera, Mecoptera, dan Hymenoptera.
Berdasarkan klasifikasi Manton (1979 dalam Suhardjono, 2007) yang
memisahkan Collembola dari kelas Insecta (Serangga). Selanjutnya Jordana dan Arbea
(1989) membedakan kelas Collembola menjadi empat ordo berdasarkan bentuk tubuh.
Ordo pertama adalah Poduromorpha bertubuh gilik dengan pembagian ruas-ruas toraks
dan abdomen tampak jelas. Ordo kedua adalah Entomobryomorpha bertubuh gilik, bagian
dorsal ruas toraks pertama tidak jelas. Ordo ketiga adalah Symphyleona dengan bentuk
tubuh bulat, dengan ruas-ruas toraks masih terlihat dan ruas abdomen ke-4 menjadi
abdomen kecil. Ordo keempat adalah Neelipleona juga bertubuh bulat, tetapi ruas-ruas
toraks tidak jelas dan pada umumnya tidak bermata (Suhardjono, 2007).
Pada umumnya serangga dewasa mempunyai ciri-ciri : tubuh terdiri dari tiga
bagian (kepala, toraks dan abdomen), sepasang antena, dua pasang sayap, tiga pasang
kaki serta mempunyai bagian-bagian mulut yang terdiri dari mandibula, maksila,
hipofaring, epifaring, labium dan labrum (Mani, 1982; Natawigena, 1990; Borror et all.,
1996).

C.2. Peran Serangga


Serangga tidak selalu bersifat hama. Lingkungan telah mempunyai sistem
keseimbangan antara komponen-komponennya (Hardi dan Anggraeni, 1997). Ditinjau
dari segi kepentingan manusia, serangga dapat digolongkan ke dalam: 1) serangga
hama, termasuk serangga yang dapat menimbulkan kerugian, seperti ulat, wereng,
kepik, belalang, ngengat, dan lain-lain, 2) serangga berfaedah, merupakan sumber
20

penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat
sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga
menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa
spesies lebah (Natawigena, 1990).
Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana
disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan,
maupun kehutanan.
2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu.
3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang
merupakan bahan baku bagi industri tekstil.
4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung.
5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme
lain yang telah mati.
6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo
Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera.
Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan
organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi
susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat
nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak
telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang
akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982).
Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting
dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini
disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk.
Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi
tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam
mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali
penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam
jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi
para predator hama pertanian, dalam hal ini Collembola berlaku sebagai pakan
21

alternatif bagi predator. Dengan demikian, Collembola dinilai membantu menjaga


keseimbang-an ekosistem lahan persawahan dengan mempertahankan populasi
serangga predator (Suhardjono, 2007).

C.3. Habitat Serangga


Habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Romoser dan Stoffolano, 1998).
Pada dasarnya serangga merupakan hewan darat, walaupun sebagian besar ada yang
hidup di air tawar, air asin dan macam habitat lain.
Serangga banyak ditemukan pada lapisan serasah dan di lapisan tanah atas,
baik secara berkoloni (seperti: Isoptera dan Hymenoptera) maupun secara individu
(seperti: Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Acarina, dan Collembola)
(Daly, 1978). Collembola tanah terdapat pada lapisan tanah atas, berkisar pada
kedalaman tanah dari 0 cm sampai 15 cm (Suhardjono, 1992). Selanjutnya
Suhardjono (2007) mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Collembola
adalah penghuni tanah, namun ada beberapa yang dapat ditemukan pada kanopi
dengan ketinggian 40 m. Binatang ini menempati berbagai macam habitat, dari tepi
pantai sampai pegunungan tinggi bahkan yang bersalju.

D. Indeks Keanekaragaman
Berbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini
masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara
umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara
lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness
" (Bengen, 2000; Suin, 2003).
Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan
tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola.
Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar
adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang
rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera,
Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari
ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang
rusak.
22

Keanekaragaman Hexapoda di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,


antara lain bahan organik dan pH tanah (Adianto, 1993). Sumber bahan organik di lantai
hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang atau disebut juga dengan serasah.
Besarnya kandungan bahan organik ini dapat dilihat dari kandungan C-organik tanah.
Sedangkan tingginya kemasaman suatu sistem tanah dapat mempengaruhi keberadaan
fauna tanah. Wallwork (1976) mengatakan bahwa Collembola dan Acarina akan
melimpah pada komunitas yang memiliki kemasaman yang cukup tinggi. Hal ini juga
didukung oleh Adianto (1993) yang mengatakan bahwa Collembola merupakan fauna
yang dominan karena habitatnya bersifat asam.
Kehidupan di dalam tanah selain ditentukan oleh pH, kandungan C-organik dan
salinitas juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kandungan air tanah, faktor iklim
mikro di dalam tanah dan cahaya matahari (Adianto, 1993). Faktor-faktor abiotis tersebut
dapat menentukan kehadiran atau ketidak-hadiran suatu jenis tertentu dari Hexapoda
tanah atau dapat pula menentukan kepadatan populasi fauna tanah.
Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan
kelompok marga dan komunitas (Ludwig and Reynolds, 1988). Indeks
keanekaragaman marga (genus diversity indices) dapat dilihat dari dua komponen,
yaitu: 1) jumlah marga dalam komunitas, yang sering disebut kekayaan marga
(genus richness) 2). kemerataan marga (genus eveness) atau keseimbangan, yang
menggambarkan distribusi kelimpahan di antara jenis. Sehingga dapat dikatakan
bahwa indeks keanekaragaman merupakan kombinasi nilai dari kekayaan jenis dan
kemerataan. Berbagai metode dan rumus digunakan untuk mengukur indeks
keanekaragaman serangga (Shannon and Wiener, Simpson, dan Hill), masing-
masing metode mempunyai cara penghitungan dengan rumus dan tujuan tertentu.
23

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di hutan mangrove yang berada dalam kawasan Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Unauna. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2 dan 3. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil survey pendahuluan serta
dukungan data dari CII-Togean Program tentang situasi dan kondisi hutan mangrove di
kawasan TNKT. Deskripsi titik koordinat masing-masing lokasi penelitian sebagaimana
tercantum pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan sejak Pebruari 2007 sampai Juli 2007.

Tabel 1. Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian


Jenis penutupan lahan
No. Lokasi Koordinat
mangrove
1 Desa Lembanato S 00o20’04,8” E 121o57’02,6” Hutan mangrove lebat
2 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Hutan mangrove sedang
3 Teluk kilat (Hole kilat) S 00o22’43,0” E 121o56’50,9” Hutan mangrove jarang
4 Desa Taningkola S 00o25’50,0” E 121o49’33,8” Kebun campuran
5 Desa Baulu S 00o21’36,3” E 121o59’10,8” Tambak non tumpangsari
6 Desa Baulu S 00o21’40,9” E 121o59’08,2” Lahan kosong

B. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah; (1) contoh tanah komposit (serasah,
humus dan tanah), (2) alkohol 70% digunakan selama analisis di laboratorium dan lapangan,
(3) gliserin digunakan di lapangan untuk mengurangi penguapan alkohol, dan (4) bahan-bahan
kimia untuk analisis tanah di laboratorium.
Alat-alat yang digunakan adalah; (1) cangkul kecil, (2) parang/pisau, (3) ring sampel,
(4) termometer tanah (5) tabung plastik bekas isi film, (6) gelas plastik, (7) kantong
blacu/karung terigu, (8) pita ukur 200 cm, (9) penggaris 20 cm, (10) soil tester, (11) pinset, (12)
kamera digital, (13) GPS (Garmin III plus), (14) tali plastik, (15) mikroskop binokuler, (16)
peralatan untuk analisis tanah di laboratorium dan (17) peralatan untuk identifikasi Hexapoda
tanah.

C. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Wilayah kepulauan Togean letaknya terpencil dan terisolasi dari daratan yang luas
karena dibatasi oleh wilayah perairan. Kepulauan ini terdiri dari ± 50 pulau besar dan
kecil dengan 7 pulau utama yaitu Batudaka, Togean, Talatakoh, Waleabahi, Waleakodi,
24

Una-Una dan Malenge (Gambar 2). Penunjukkannya sebagai Taman Nasional


berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 418/Menhut/2004, yang menempati luas
kawasan sebesar 362.605 ha dengan luas daratan (termasuk kawasan hutan) sekitar
25.832 ha, dengan rincian : 1) hutan lindung 10.659 ha; 2) hutan produksi terbatas 193 ha;
3) hutan produksi tetap 11.759 ha; 4) hutan produksi yang dapat dikonversi 3.221 ha,
selebihnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Kepulauan ini terletak di tengah
Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00o08’21”-
00o45’12” LS dan 121o33’21”-122o231’36” BT, dengan luas daratan ± 755,4 Km2 (BPS,
2006; Anonim 2007).

Gambar 2. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha


(berdasarkan SK Menhut. No. 418/Menhut-II/2004, tanggal 19 oktober 2004)

Secara administrasi kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo


Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso
Provinsi Sulawesi Tengah. Pengelolaannya masih mengacu pada Rencana Detail Tata
ruang (RDTR) yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Dibagi menjadi 4
kecamatan yaitu Una-Una, Togean, Walea Kepulauan dan Walea dengan jumlah desa
25

keseluruhan mencapai 48 desa. Kecamatan Una-Una terdiri dari Pulau Una-Una dan
Batudaka dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Wakai (Batudaka). Kecamatan
Togean terdiri dari Pulau Togean dan beberapa pulau kecil dengan ibukota kecamatan
berkedudukan di Lebiti (Togean). Kecamatan Walea Kepulauan terdiri dari Pulau
Talatakoh, Malenge dan Waleakodi dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Popolii
(Waleakodi), sedangkan kecamatan Walea terdiri dari Pulau Waleabahi dan beberapa
pulau kecil lainnya dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Pasokan (Waleabahi)
(BPS, 2006; Anonim 2007).
Kepulauan Togean dan sekitarnya mempunyai dua musim yakni musim kemarau
dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Desember sampai Maret.
Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, kepulauan ini umumnya termasuk dalam
kawasan tipe E dan D (500-2000 mm/thn). Sumber mata air tersebar di daerah tertentu
seperti lembah, daerah pesisir dan sekitar tanaman bakau (BPS., 2006).
Kepulauan Togean merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang penting dari
”Segitiga Terumbu Karang” (Coral Triangle) yang merupakan area-area yang memiliki
keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia,
Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Micronesia. Terumbu karang di kepulauan ini
oleh Marine RAP (2001, dalam CII-Togean Program, 2005) dinyatakan sebagai “The
Heart of Coral Triangle”, kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu
karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang
letaknya berdekatan satu sama lain.
Kepulauan Togean memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya pada
ekosistem hutan mangrove. Survey oleh CI-Indonesia dan Yayasan Pijak (2001) meng-
identifikasi sekitar 33 spesies mangrove yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true
mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove) yang dikelompokan ke
dalam 26 genus dan 21 famili. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove yaitu
sekitar 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces
(10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20
genus) (CII-Togean Program, 2005).
Berdasarkan hasil klasifikasi citra, bahwa ekosistem mangrove tersebar hampir di
sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang
26

paling banyak memiliki ekosistem mangrove adalah sepanjang garis pantai P. Togean,
merupakan kawasan ekosistem mangrove yang terluas; pesisir timur P. Batudaka, yaitu pada
kawasan pesisir yang bersebelahan dengan P. Togean; dan pantai di sebelah selatan P.
Talatakoh yang bersebelahan dengan P. Togean. Sementara itu di pulau-pulau yang lain juga
terdapat ekosistem mangrove, namun dengan luasan yang relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan ketiga pulau tersebut. Secara spasial, luasan mangrove yang diestimasi dari hasil
klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007
menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari 5.322,837 ha turun menjadi
5.050,91 ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 271,93 ha (5,11
% dari luas pada tahun 2001) (Anonim, 2007).

Gambar 3. Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di kawasan


Taman Nasional Kepulauan Togean.
Keterangan lokasi pengamatan :
1). Desa Taningkola; 2). Teluk Kilat (desa Lembanato); 3). Desa Baulu

Lokasi penelitian terletak di pulau Batudaka dan Togean. Kedua pulau ini
dipilih atas pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan gugusan pulau yang
terbesar dan memiliki garis pantai yang terpanjang di antara gugusan pulau lainnya di
kepulauan Togean. Lokasi pengumpulan spesimen yang dipilih adalah hutan mangrove
yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan
mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran,
tambak non tumpang-sari, dan lahan kosong. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan
27

pada ekosistem mangrove di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada


Gambar 7. Adapun deskripsi masing-masing lokasi pengamatan dapat diuraikan sebagai
berikut :

1. Hutan Mangrove Lebat


Hutan mangrove lebat merupakan hutan mangrove yang vegetasinya
didominasi oleh mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Xylocarpus dan Bruguiera.
Kondisi hutan ini didominasi oleh tegakan dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi,
penutupan tajuk pohon yang cukup baik menyebabkan udara di dalam hutan terasa
sejuk. Kondisi di lantai hutan relatif lembab atau basah dengan serasah yang tergolong
tebal. Hutan mangrove lebat ini salah satunya terdapat di pulau Togean yaitu di sekitar
teluk kilat, desa Lembanato.

2. Hutan Mangrove Sedang


Hutan mangrove sedang merupakan hutan mangrove yang di tumbuhi oleh
vegetasi mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Lumnitzera dan Bruguiera dengan
kondisi tegakan pohon yang tidak terlalu rapat, sehingga berkas sinar matahari dapat
mencapai lantai hutan dan keadaan di dalam hutan tidak terlalu gelap, kondisi lantai
hutan sedikit lembab dan serasah tergolong sedang. Salah satu hutan mangrove tipe ini
terdapat di pulau Batudaka yaitu di sekitar desa Taningkola.

3. Hutan Mangrove Jarang


Lokasi pengambilan spesimen untuk hutan mangrove jarang ini dilakukan di
pulau Togian yaitu di sekitar teluk kilat (hole kilat). Vegetasi hutan mangrove ini terdiri
dari mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Heritiera dan Lumnitzera yang kondisi
tegakan pohonnya sudah sangat jarang, sehingga sinar matahari dapat langsung
menyinari lantai hutan yang di tumbuhi rumput. Di samping itu, di lokasi ini ditemukan
juga mangrove ikutan seperti jenis pandan bakau, paku laut. Serasah di sekitar lokasi ini
tergolong sedang sampai tipis, yang berasal dari rumput maupun tumbuhan di
sekitarnya.

4. Kebun Campuran
Kebun campuran merupakan kebun yang tumbuhannya terdiri dari berbagai jenis
tanaman, antara lain tanaman perkebunan. Daerah ini sebelumnya merupakan hutan
mangrove yang oleh masyarakat setempat dikonversi menjadi kebun campuran. Lokasi
28

kebun campuran ini salah satunya berada di pulau Batudaka, tepatnya di desa Taningkola.
Tanaman yang dominan ditemukan di kebun campuran ini adalah tanaman kelapa. Di
samping itu, ditemukan juga vegetasi berupa semak dan tumbuhan bawah sejenis rumput-
rumputan. Hal ini dimungkinkan karena tajuk pohon tidak menghalangi cahaya matahari
masuk ke lantai hutan, sehingga tumbuhan bawah bisa tumbuh. Banyaknya jenis tumbuhan
yang terdapat di kebun campuran, sehingga serasah di lokasi ini tergolong tebal.

5. Tambak Non Tumpangsari


Daerah ini merupakan daerah hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi
tambak. Tambak yang diamati ini bukan merupakan tambak tumpangsari, karena
seluruh vegetasi mangrove di sekitar tambak telah dibersihkan. Di lokasi ini tidak
ditemukan vegetasi, yang tersisa hanya akar-akar dari tumbuhan mangrove. Serasah
di lokasi ini tergolong sedang yang berasal dari pohon dan ranting yang lapuk, serta
akar pohon mangrove. Lokasi tambak non tumpangsari ini salah satunya terdapat di
pulau Togean di sekitar desa Baulu.

6. Lahan Kosong
Lahan kosong yang terdapat di sekitar desa Baulu pulau Togean, sebelumnya
merupakan hutan mangrove. Vegetasi mangrovenya oleh penduduk setempat
dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Setelah vegetasi mangrovenya
dibabat untuk kepentingan komersial, kemudian lahan ini ditinggalkan tanpa
dilakukan penanaman kembali (revegetasi). Eksploitasi berlebihan oleh masyarakat
setempat menyebabkan kematian vegetasi mangrove secara alami, di lokasi ini
hanya ditumbuhi oleh tumbuhan bawah jenis kangkung pantai (Ipomoea pes-caprae)
dan paku cai (Acrostichum aureum L.). Kurangnya keberadaan rumput dan semak di
sekitar lokasi, menyebabkan serasah di lahan kosong ini tergolong agak tipis.

D. Metode Pengambilan Data

D.1. Penempatan Petak Penelitian


Petak penelitian ditempatkan pada beberapa lokasi penelitian. Sebagai lokasi
perlakuan adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan
mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi
29

(kebun campuran, tambak non tumpangsari, lahan kosong). Indikator hutan mangrove
yang belum dikonversi adalah sebagai berikut :
1) hutan mangrove lebat, ditandai dengan kanopi yang rapat, serasah tebal, lantai
basah, sinar matahari sedikit mencapai lantai.
2) hutan mangrove sedang, ditandai dengan kanopi yang kurang rapat, serasah kurang
tebal (sedang), lantai basah, sinar matahari lebih banyak mencapai lantai.
3) hutan mangrove jarang, ditandai dengan proporsi kanopi yang lebih banyak terbuka,
serasah agak tipis sampai sedang, lantai kurang basah (agak kering).

5m 5m 5m 5m 5m
5m
5m

Gambar 4. Tata letak petak penelitian di lapangan.


Keterangan :
= Titik peletakan Pitfall traps (PFT)
= Titik pencuplikan contoh tanah (PCT)

Pada setiap lokasi penelitian dibuat transek secara acak dari arah laut ke daratan,
berukuran 25 m x 10 m (Gambar 4) sebanyak dua transek sebagai unit contoh primer.
Selanjutnya pada setiap transek dibuat sub-transek sebagai plot pengamatan yang
berukuran 5 m x 5 m secara silang kiri-kanan poros transek sebagai unit contoh
sekunder (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000). Penempatan perangkap
sumuran (Pitfall traps) dan pengambilan contoh tanah pada plot/petak pengamatan
dilakukan secara terstrata (stratified sampling) dan masing-masing lokasi penelitian
diambil 5 satuan contoh secara sistematis.

D.2. Pengumpulan Serangga Tanah


Metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan adalah metode
Perangkap Sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan metode Pengambilan Contoh Tanah
30

(PCT). Pemilahan serangga tanah dari contoh tanah dilakukan dengan menggunakan
Corong Barlese. (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000; Suin, 2003).

D.2.1. Metode Perangkap Sumuran/Pitfall Traps (PFT)


Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang aktif di
permukaan tanah. Metode PFT diterapkan langsung di lapangan. Perangkap sumuran
dipilih atas dasar pemikiran praktis, harganya murah, mudah digunakan dan dibawa,
karena perangkap sumuran tersebut berupa gelas plastik yang biasanya dipakai
sebagai gelas minum dengan ukuran Ф = 5 cm dan tinggi 10 cm.
Perangkap sumuran cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan
keanekaragaman individu. Selain itu Hexapoda tanah yang dapat ditangkap adalah
Hexapoda diurnal dan nokturnal. Namun metode ini mempunyai keterbatasan bahwa
Hexapoda yang tertangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di
permukaan lantai hutan (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985).

Sketsa PFT

Gambar 5. Perangkap sumuran (PFT) di lapangan

Perangkap sumuran di pasang dengan cara menanam gelas yang berisi


alkohol 70% setinggi 5 cm di atas tanah (Gambar 5) dan ditetesi 1 tetes gliserin
untuk mengurangi penguapan alkohol. Permukaan gelas harus benar-benar rata
dengan permukaan tanah. Pemasangan perangkap dipilih di daerah yang relatif
kering agar dapat ditanam dan air tidak masuk. Pengumpulan Hexapoda dengan
metode ini harus memperhatikan waktu-waktu pasang surut air laut di kawasan
ekosistem mangrove. Lama pemasangan perangkap untuk masing-masing lokasi
ditetapkan selama 22 jam, berdasarkan periode waktu pasang-surut air laut.
Hasil tangkapan dipindahkan ke dalam kantong plastik dan diikat.
31

D.2.2. Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT)


Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) digunakan untuk memisahkan atau
memilih Hexapoda dari serasah dan tanah. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan
Hexapoda yang berada di dalam lapisan tanah. Adapun cara pengumpulan Hexapoda
dengan metode ini adalah mengambil contoh tanah beserta serasah dan humus di
atasnya. Contoh tanah yang diambil sebanyak 0.5 liter, ukuran petak pengambilan 10
cm x 10 cm dengan ketebalan antara 6-8 cm. Contoh tanah tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam kantong belacu/karung terigu untuk dibawa ke laboratorium.
Contoh tanah yang telah diambil, selanjutnya di letakkan pada corong Barlese hasil
modifikasi (Gambar 6).

Gambar 6. Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi)

Contoh tanah kemudian diperlakukan di dalam corong Barlese Modifikasi


selama satu minggu dan setiap tiga hari sekali dilakukan pembalikan tanah yang
terdapat pada corong Barlese, apabila tanah tersebut kering diberi percikan air agar
fauna di dalam tanah tersebut tidak mati. Sebagai larutan pembunuh sekaligus
preservasi digunakan alkohol 70%. Selanjutnya fauna/Hexapoda yang tertampung
kemudian dipisah-pisahkan (disortir), dan diidentifikasi sampai tahap suku atau famili
dengan bantuan mikroskop. Hexapoda tersebut kemudian dihitung jumlahnya.
32

D.3. Pengambilan Data Sifat Fisik dan Kimia Tanah

D.3.1. Sifat Fisik Tanah


Analisis sifat fisik tanah meliputi : suhu tanah dan kelembaban tanah
pengukuran-nya dilakukan langsung di lapangan, kecuali untuk tekstur tanah, bobot isi
(bulkdensity) dan kadar air pengamatannya dilakukan di laboratorium. Pengambilan
contoh tanah utuh menggunakan ”ring sample” yang diletakkan di kedua sudut dan di
tengah-tengah untuk setiap petak penelitian, kemudian dianalisis di laboratorium
analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

D.3.2. Sifat Kimia Tanah


Untuk mengetahui sifat kimia tanah, diambil secara parsial tiga contoh tanah
komposit masing-masing sebanyak 250 gram pada setiap petak. Pengambilan contoh
tanah dilakukan di sekitar petak peletakan PFT. Unsur-unsur yang akan dianalisis
adalah pH tanah (H2O & KCl), kandungan bahan organik (C-Organik), kandungan
N, P dan K, kandungan Ca, serta salinitas tanah. Pengukuran pH tanah selain
dilakukan di laboratorium, juga dilakukan langsung di lokasi penelitian. Analisis
kimia tanah dilakukan di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian
Departemen Pertanian, Bogor.

D.4. Pengukuran/Pengamatan Serasah


Pengukuran/pengamatan serasah dilakukan pada masing-masing petak
penelitian, meliputi tebal/tipis serasah, kelembaban, pH, dan suhu tanah.

D.5. Pengukuran/Pengamatan Suhu dan Kelembaban Udara


Pengukuran/pengamatan suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat
penelitian berlangsung.

E. Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah


Identifikasi serangga/Hexapoda tanah hasil tangkapan dilakukan dengan
menggunakan alat bantu mikroskop stereo binokuler di Pusat Penelitian Biologi LIPI,
Bidang Zoologi Cibinong, Bogor. Identifikasi dilakukan sampai pada tahap
famili/suku. Spesimen serangga diawetkan dalam alkohol 70%. Analisis peran
Hexapoda tanah dilakukan berdasarkan kelompok takson/taksa dan mengacu pada
literatur yang tersedia, serta berdasarkan morfologi mulut.
33

F. Analisis Data
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dihitung berbagai parameter di
bawah ini :

F.1. Keanekaragaman Jenis Hexapoda Tanah


Nilai keanekaragaman Hexapoda tanah dihitung berdasarkan nilai
keanekaragaman yang dikemukakan oleh Hill (Ludwig and Reynolds, 1988). Nilai
keanekaragaman tersebut memiliki kemudahan karena dihitung dengan
menggunakan ordo nol, satu dan dua, sehingga dari nilai ordo satu dan ordo dua
tersebut dapat digunakan untuk menentukan jumlah suku yang melimpah dan
mendominasi untuk setiap type komunitas atau jenis penutupan lahan. Nilai
keanekaragaman tersebut adalah sebagai berikut :
S
NA = ∑ ( Pi )
i =1
1 / (1− A )

Ordo Nol : N0 = S
Ordo Satu : N1 = e H '
1
Ordo Dua : N2 =
λ
No merupakan jumlah suku yang terdapat di dalam sample. Nilai No ini
sama dengan nilai S. Untuk mengetahui nilai keanekaragaman Hill. dibutuhkan dua
indeks keanekaragaman lain. Indeks yang sering digunakan adalah indeks Shannon-
Wiener (H') dan indeks Simpson ( λ ). Indeks Shannon-Wiener (Odum, 1996) yang
dimaksud adalah :
S
H ' = − ∑ ( Pi ln Pi )
i =1

Simpson (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mendefinisikan sebagai


berikut :
S
ni ( ni −1 )
λ= ∑
i =1 n ( n −1)
Di mana :
S = Jumlah suku/famili serangga tanah yang ditemukan dalam sample
λ = Indeks Simpson
34

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener


N0 = Jumlah suku/famili dalam sampel
N1 = Jumlah kelimpahan suku
N2 = Jumlah dari suku yang paling melimpah (dominan)
P1 = n1/N, dimana :
n1 = Jumlah individu jenis ke-1
N = Jumlah individu seluruh jenis

Magurran (1988) mengklasifikasikan nilai-nilai indek Shanon (H’) ke dalam 3


kategori yaitu: H’ = < 1,5 (keanekaragaman rendah); H’ = 1,5 - 3,5 (keanekaragaman
sedang), dan H’ = > 3,5 (keanekaragaman tinggi).
Untuk menghitung nilai indeks Hill, termasuk indeks Shannon-Wiener (H')
dan indeks Simpson ( λ ) digunakan program analisis BioDAP for Windows v.1988.

F.2. Analisis Faktor Lingkungan


Pengujian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelimpahan
Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan (suhu, kelembaban, porositas,
salinitas, pH, kandungan bahan organik tanah), baik Hexapoda tanah yang aktif di
permukaan tanah (metode PFT) maupun yang aktif di dalam tanah (metode PCT), yang
menggunakan analisis korelasi dengan Program MINITAB Versi 14.01.
Daerah yang dipilih untuk dijadikan sampel pengukuran adalah hutan
mangrove lebat, daerah ini dipilih atas pertimbangan karena hutan mangrovenya
belum dikonversi (masih utuh) dan belum mengalami gangguan yang nyata terhadap
aktivitas manusia. Di samping itu vegetasi yang dominan tumbuh di daerah ini adalah
jenis mangrove sejati dengan kerapatan dan penutupan tajuk pohon yang cukup baik.
35

1. Mangrove Lebat 4. Kebun Campuran

2. Mangrove Sedang 5. Tambak non tumpangsari

3. Mangrove Jarang 6. Lahan Kosong

Gambar 7. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove di


lokasi penelitian.
36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

A.1. Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia

Hasil pengukuran faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan
mangrove jarang serta kawasan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun
campuran, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi penelitian.
Hutan Mangrove Hutan Mangrove
Variabel belum dikonversi telah dikonversi
No.
yang diukur Mangrove Mangrove Mangrove Kebun Tambak Lahan
lebat sedang jarang campuran non T.sari kosong

1. Suhu Udara (oC) 29,11 29,38 31,15 29,83 32,13 31,53


2 Kelembaban Udara (%) 73,75 72,50 67,00 72,67 64,50 67,67
3. Suhu Tanah (oC) 26,83 27,13 27,17 27,03 28,10 27,88
4. Kelembaban Tanah (%) 78,67 76,67 74,33 76,25 73,33 73,17
5. pH Tanah Lapangan 6,00 6,30 6,16 7,01 5,83 5,09
6. pH Tanah Laboratorium
- H2O 5,80 6,90 6,50 7,40 5,60 4,50
- KCl 5,70 6,70 6,20 7,00 5,40 3,80
Bahan Organik/
7. 22,45 19,19 16,00 26,27 11,71 1,78
C-Organik (%)
8. Salinitas/DHL (dS/m) 13.14 5.82 7.59 2 .6 5 7.55 1.42
9. N-total (%) 0.57 0.62 0.39 1 .3 5 0.35 0.13
10. Fosphor (P)
- Potensial (mg/100 g) 15 44 21 73 37 77
- Tersedia (ppm) 34 51 47 39 27 12.8
11. Kalium (K)
- Potensial (mg/100 g) 514 113 250 76 266 136
- Tersedia (ppm) 4201 632 1506 427 1378 273
12. Ca-potensial (mg/100 g) 664 3542 1054 5383 412 41
Lempung Lempung Lempung Lempung liat Lempung Lempung
13. Kelas Tekstur berdebu berpasir berdebu berdebu berliat berpasir
- Pasir (%) 25,80 67,85 16,20 3,77 28,72 53,17
- Debu (%) 52,12 21,15 59,89 62,39 43,15 29,77
- Liat (%) 22,09 11,08 23,99 33,92 28,19 17,11
14. Kadar Air (%) 76,00 69,70 73,60 82,40 79,50 49,20
15. Bobot isi tanah/Bd (g/cc) 0,31 0,47 0,30 0 ,1 7 0,19 0,17
16. Ruang pori total (%) 78,8 67,3 79,1 8 8 ,4 86,9 88,6
37

Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara serta suhu dan kelembaban tanah pada
masing-masing jenis penutupan lahan di ekosistem mangrove pada lokasi penelitian
menunjukkan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Suhu udara berkisar antara 29,11oC -
32,13oC sedangkan suhu tanah berkisar 26,83oC - 28,10oC, kelembaban udara berkisar antara
64,50% - 73,75% sedangkan kelembaban tanah berkisar 73,33% - 78,67%.
Analisis kandungan bahan organik tanah menunjukkan bahwa persentase
kandungan bahan organik tanah tertinggi diperoleh di daerah yang telah dikonversi
menjadi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove lebat, mangrove sedang,
mangrove jarang dan tambak non tumpangsari, sedangkan di lahan kosong kandungan
bahan organik tanahnya tergolong sangat rendah (< 2%), sesuai dengan kriteria kandungan
C-organik yang dikemukakan oleh Mustafa dkk., (1982).
Intensitas kemasaman suatu sistem tanah diperlihatkan oleh nilai pH-nya. Hasil
pengukuran di lapangan dan di laboratorium dari masing-masing jenis penutupan lahan di
ekosistem mangrove yang diteliti terlihat ada perbedaan nilai pH tanah (Tabel 2). Pada daerah
ekosistem mangrove belum dikonversi yang diteliti secara umum pH tanahnya tergolong sedikit
asam sampai netral, dimana pH lapangan berkisar antara 6,00 – 6,30; pH H2O dan pH KCl tanah
masing-masing 5,80 – 6,90 dan 5,70 – 6,70. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh
Arief (2007), bahwa nilai pH tanah pada kawasan-kawasan mangrove yang didominasi oleh
tegakan jenis Rhizophora spp. berkisar antara 4,6 – 6,5. Selanjutnya pada daerah ekosistem
mangrove yang telah dikonversi, secara umum pH tanahnya tergolong cukup asam sampai
netral, dimana pH lapangan berkisar antara 5,09 – 7,01; pH H2O dan pH KCl tanah masing-
masing 4,50 – 7,40 dan 3,80 – 7,00, dimana lahan kosong, tambak non tumpangsari dan kebun
campuran masing-masing termasuk kategori cukup asam, agak asam dan netral.
Pengukuran salinitas/DHL tanah menunjukkan bahwa hutan mangrove yang telah
dikonversi menjadi kebun campuran dan lahan kosong memiliki kadar salinitas tanah yang
rendah yaitu 2,65 dS/m dan 1,42 dS/m, sedangkan hutan mangrove sedang, mangrove
jarang dan tambak non tumpangsari kadar salinitas tanahnya sedang masing-masing 5,82
dS/m, 7,59 dS/m dan 7,55 dS/m. Adapun hutan mangrove lebat kadar salinitas tanahnya
tergolong agak tinggi yaitu sebesar 13,14 dS/m. Nilai salinitas/DHL yang tinggi
mengindikasikan bahwa pada hutan mangrove lebat mengandung banyak ion-ion garam
terlarut (Effendi, 2000).
38

Kandungan N-total tanah secara umum tergolong sedang sampai tinggi (0,35% -
0,62%), kecuali pada daerah yang telah dikonversi menjadi kebun campuran tergolong
sangat tinggi (1,35%), dan untuk lahan kosong kandungan N-totalnya tergolong sangat
rendah (0,35%). Sedangkan kandungan Ca-potensial tergolong agak tinggi terutama pada
lokasi kebun campuran (5
5.383 mg/100 g) dan hutan mangrove sedang (3542 mg/100g),
selanjutnya diikuti oleh hutan mangrove jarang (1.054 mg/100 g). Untuk lokasi hutan
mangrove lebat, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, kandungan Ca-potensialnya
tergolong rendah (masing-masing 664 mg/100 g, 412 mg/100 g, 41 mg/100 g).
Kandungan P-tersedia tanah diberbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem
mangrove yang diteliti cenderung sama, yaitu berkisar antara 12,8 ppm – 51,0 ppm. Data
yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan P-tersedia pada lokasi penelitian
cenderung rendah. Untuk kandungan K-tersedia terlihat ada perbedaan diberbagai jenis
penutupan lahan (Tabel 2), dimana pada hutan mangrove lebat, mangrove jarang dan tambak
kandungan K-tersedia agak tinggi (masing-masing 4.201 ppm; 1.506 ppm; 1.378 ppm),
sedangkan pada lahan kosong hanya sekitar 273 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan
hutan mangrove sedang (632 ppm) dan kebun campuran (427 ppm).
Kelas tekstur tanah pada setiap lokasi penelitian ditentukan dari perbandingan
relatif antara fraksi pasir, debu dan liat (yaitu partikel tanah yang Ф efektifnya ≤ 2 mm)
berdasarkan segitiga tekstur tanah (Balittanah Deptan, 2006). Pada hutan mangrove lebat
dan mangrove jarang memiliki kelas tekstur tanah lempung berdebu yang berarti
komposisi debu yang dominan, pada hutan mangrove sedang dan lahan kosong memiliki
tekstur tanah lempung berpasir dimana komposisi pasir yang dominan, pada lahan tambak
non tumpangsari memiliki tekstur tanah lempung berliat dimana komposisi debu sedikit
libih tinggi dibandingkan dengan pasir dan liat. Sedangkan pada kebun campuran
memiliki kelas tekstur tanah lempung liat berdebu yang berarti fraksi liat yang banyak
debunya.
Persentase kadar air tanah di hutan mangrove sedang dan lahan kosong tergolong
rendah dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya. Rendahnya angka ini berkaitan
dengan kelas tekstur tanah yang termasuk kategori kasar dan sedang yaitu tekstur lempung
berpasir. Adapun di kebun campuran persentase kadar air tanahnya tergolong tinggi
(82,40%), tingginya kadar air tanah tersebut ada kaitannya dengan tekstru tanah yang
termasuk dalam kelas lempung liat berdebu.
39

Hasil pengukuran terhadap bobot isi tanah (Bd) di kebun campuran dan lahan
kosong dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya mempunyai nilai terendah (0,17
g/cc), sebaliknya persentase ruang pori total tanah pada kedua lokasi tersebut nilainya
paling tinggi (88,40% dan 88,60%). Hal ini disebabkan karena kerapatan massa tanah
yang menurun, menyebabkan ruang pori bertambah sehingga volume berat tanah
berkurang (Balittanah Deptan, 2006).

A.2. Vegetasi
Hasil pengamatan terhadap vegetasi pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan
bahwa hutan mangrove yang belum dikonversi didominasi oleh jenis mangrove sejati dari genus
Rhizophora, Bruguiera, Lumnitzera dan Xylocarpus. Sedangkan di hutan mangrove yang telah
dikonversi tidak ditemukan lagi jenis mangrove sejati, tetapi masih bisa ditemukan jenis-jenis
mangrove ikutan seperti kangkung laut (Ipomoea pes-caprae.), seruni laut (Wedelia
biflora), Lantana camara, pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis). Selain itu ditemukan
juga tanaman pertanian dan perkebunan seperti kelapa, pisang, talas lompong dan jambu
biji serta tumbuhan sejenis rumput-rumputan.
Hasil pengamatan terhadap jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi penelitian
menunjukkan bahwa pada lokasi hutan mangrove lebat dan sedang didominasi oleh jenis
mangrove sejati dengan vegetasi yang tergolong sangat rimbun sampai rimbun, kecuali jenis
Bruguiera spp. dan Heritiera spp. tergolong jarang. Sedangkan di hutan mangrove jarang
ditemukan vegetasi mangrove sejati, mangrove ikutan yang kerapatannya tergolong jarang serta
tumbuhan sejenis rumput-rumputan dengan kerapatan yang rimbun. Adapun kawasan
ekosistem mangrove yang telah dikonversi, didominasi oleh jenis rumput-rumputan, tanaman
perkebunan dan pertanian (terutama di kebun campuran) serta jenis mangrove ikutan (terutama
di lahan kosong). Sedangkan di daerah tambak tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena
tambak tersebut merupakan tambak non tumpangsari, dimana yang tersisa hanya akar-akar dan
batang pohon bekas tebangan dari tumbuhan mangrove yang melapuk (Tabel 3).
40

Tabel 3. Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi penelitian.


Hutan Mangrove Hutan Mangrove
No. Jenis Tumbuhan belum dikonversi telah dikonversi
Mangrove Mangrove Mangrove Kebun Tambak Lahan
lebat sedang jarang Campuran non T.sari Kosong
1. Jangkar (B. gymnorrhyza Lamk.) √ √ √ ≠ ≠ ≠
2. Tanjang lanang (R. mucronata) √√√ √√ √ ≠ ≠ ≠
3. Bakau (R. stylosa Griff.) √√ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠
4. Heritiera littoralis Dryand. ≠ √ √ ≠ ≠ ≠
5. Lumnitzera littorea Voigt. ≠ √√ √ ≠ ≠ ≠
6. Nyiri Xylocarpus granatum Konig. √√ √ ≠ ≠ ≠ ≠
7. Nipah (Nypa fructicans Wrumb.) ≠ ≠ √ ≠ ≠ ≠
8. Pandan bakau (P. tectorius) ≠ ≠ √ √ ≠ ≠
9. Kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) ≠ ≠ ≠ √ ≠ √√
10. Tembelekan (Lantana camara L.) ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠
11. Pecut Kuda (S. jamaicensis) ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠
12. Paku laut (Acrostichum aureum) ≠ √ √ ≠ ≠ √√
13. Seruni laut (W. biflora) ≠ ≠ ≠ √ ≠ √
14. Talas lompong (Colocasia esculenta) ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠
15. Rumput ≠ ≠ √√ √√√ ≠ √
16. Kelapa ≠ ≠ ≠ √√ ≠ ≠
17. Pisang ≠ ≠ ≠ √√ ≠ ≠
18. Jambu biji ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠
Keterangan :
≠ : Tanpa vegetasi
√ : Vegetasi jarang
√√ : Vegetasi rimbun
√√√ : Vegetasi sangat rimbun

A.3. Serasah
Kawasan hutan mangrove memiliki fenomena yang khas, yakni terjadinya guguran-
guguran daun, dan adanya endapan lumpur yang ditunjang oleh proses dekomposisi sisa-sisa
bagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang) (Arief, 2007). Serasah berasal dari
daun-daun dan ranting-ranting yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis
pohon mangrove tersebut, kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan
banyak ditutupi oleh serasah. Serasah merupakan salah satu penyusun bahan organik yang
semakin lama akan terakumulasi dan menjadi tebal. Serasah ini akan digunakan oleh Hexapoda
permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat hidup. Handayanto (1996) dalam Arief
(2007) mengemukakan bahwa dalam subsistem dekomposisi, organisme midle (mesofauna; di
antaranya Hexapoda tanah) berperan sebagai organisme perombak awal bahan tanaman, serasah
41

dan bahan organik lainnya. Organisme tersebut mengkonsumsi bahan-bahan organik tersebut
dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan
organik lain sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap didekomposisi oleh mikroba
tanah. Hasil pengukuran tebal serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove
tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem
mangrove di lokasi penelitian.

No. Lokasi Penelitian Kondisi Ketebalan Serasah


1. Mangrove lebat Tebal
2. Mangrove sedang Sedang
3. Mangrove jarang Tipis-Sedang
4. Kebun campuran Tebal
5. Tambak non tumpangsari Sedang
6. Lahan kosong Tipis
Keterangan :
Tipis : 0 - 0.9 cm
Sedang : 1 - 2 cm
Tebal : > 2.1 cm

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi ketebalan serasah baik pada hutan
mangrove yang telah dikonversi maupun yang belum dikonversi ketebalan serasahnya bervariasi
dari tebal sampai tipis. Pada kawasan yang telah dikonversi, ketebalan serasah (di kebun
campuran) diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan rumput-rumputan serta
adanya pencahayaan dari sinar matahari. Sedangkan pada daerah tambak, ditemukan ketebalan
serasah dengan kategori sedang, karena kondisi tambak sejak tahun 2003 (sejak panen perdana)
tidak lagi difungsikan (terbengkalai) sehingga sisa akar-akar dan batang pohon bekas tebangan
dari tumbuhan mangrove ditemukan melapuk disekitar tambak tersebut yang menghasilkan
serasah, walaupun daerah tersebut tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena merupakan
tambak non tumpangsari. Berkurangnya ketebalan serasah pada lahan kosong, karena daerah ini
lebih didominasi tanaman paku laut (Acrostichum aureum) dan batata pantai (Ipomoea pes-
caprae), sedangkan rumput-rumputan vegetasinya jarang (Tabel 3). Pada kawasan hutan
mangrove yang belum dikonversi, ketebalan serasah (di hutan mangrove lebat) diduga
berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati (Rhizophora spp.) yang tergolong
sangat rimbun sehingga lantai hutan cukup basah dan kelembaban udara cukup tinggi.
Sedangkan pada hutan mangrove jarang, ketebalan serasahnya bervariasi dari tipis sampai
42

sedang, kondisi ini berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati tergolong jarang
(Tabel 3) walaupun vegetasi rumput-rumputan agak rimbun tetapi hanya pada zona yang
ke arah daratan (lembah/perbukitan) dimana arus pasang surut semakin kecil/tidak ada.

A.4. Keanekaragaman Hexapoda Tanah

Keanekaragaman Hexapoda tanah yang diperoleh terdiri dari kelas Collembola dan
Insecta. Kelas Collembola terdiri dari 4 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha,
Neelipleona dan Symphypleona (Jordana & Arbea, 1989), tetapi dalam penelitian ini
ditemukan 3 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha dan Symphypleona. Populasi
Hexapoda tanah paling banyak ditemukan dengan menggunakan metode pitfall trap/PFT (Tabel
5) dibandingkan dengan metode pengambilan contoh tanah/PCT (Tabel 6).
Berdasarkan data pada Tabel 5, menunjukkan bahwa Entomobryomorpha
(Entomobryidae) merupakan ordo yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada
setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Entomobryomorpha
merupakan salah satu ordo dari kelas Collembola yang jumlah individunya tinggi ditemukan di
kebun campuran, tambak non tumpangsari dan hutan mangrove lebat. Selanjutnya ordo
Symphypleona (kelas Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di tambak non
tumpangsari dan hutan mangrove lebat.
Dengan menggunakan metode PFT, ordo Entomobryomorpha dan Symphypleona
(kelas Collembola), serta ordo Orthoptera dan Hymenoptera (kelas Insecta) merupakan
Hexapoda tanah yang jumlah populasi individunya tinggi jika dibandingkan dengan ordo
lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di tambak non tumpangsari, kebun
campuran dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan mangrove sedang,
mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas Insecta yaitu ordo
Orthoptera, populasi individu yang tinggi ditemukan di hutan mangrove lebat, mangrove sedang
dan mangrove jarang, sedangkan ordo Hymenoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di
kebun campuran hutan, mangrove sedang dan mangrove jarang.
43

Tabel 5. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pitfall Trap (PFT).
Hutan Mangrove belum konversi Sub total Hutan Mangrove telah konversi Sub total Total
Nama Takson Mangrove Mangrove Mangrove Individu Kebun
Tambak
Lahan Individu Individu/
lebat sedang jarang campuran kosong Taksa
A. Kelas Collembola
A.1. Ordo Poduromorpha
1 Hypogastruridae 0 0 0 0 51 1 0 52 52
A.2. Ordo Entomobryomorpha
2 Entomobryidae 167 136 47 350 484 2 60 546 896
3 Isotomidae 13 0 0 13 16 307 0 323 336
Sub total 180 136 47 363 500 309 60 869 1.232
A.3. Ordo Symphypleona
4 Sminthuridae 211 10 57 278 47 351 60 458 736
Total Collembola 391 146 104 641 598 661 120 1.379 2.020
B. Kelas Insecta
B.1. Ordo Hymenoptera
5 Formicidae (1) 4 19 15 38 30 0 14 44 82
6 Formicidae (2) 2 4 5 11 11 0 3 14 25
Sub total 6 23 20 49 41 0 17 58 107
B.2. Ordo Coleoptera
7 Anthicidae 0 0 0 0 1 0 1 2 2
8 Nitidulidae 2 0 0 2 0 0 1 1 3
9 Ptiliidae 1 2 0 3 1 0 2 3 6
10 Scolitidae 4 0 0 4 1 0 0 1 5
11 Staphylinidae 2 1 0 3 2 0 1 3 6
Sub total 9 3 0 12 5 0 5 10 22
B.3. Ordo Orthoptera
12 Gryllidae 56 32 26 114 11 3 4 18 132
13 Gryllotalpidae 0 0 0 0 1 0 0 1 1
Sub total 56 32 26 114 12 3 4 19 133
B.4. Ordo Dictyoptera
14 Blattidae 3 2 1 6 1 0 0 1 7
B.5. Ordo Diptera
15 Culicidae 0 0 0 0 3 0 0 3 3
16 Drosophilidae 7 1 1 9 12 0 1 13 22
17 Dolichopodidae 0 0 0 0 3 0 0 3 3
18 Sciaridae 3 0 0 3 0 0 0 0 3
19 Simuliidae 1 1 0 2 0 0 0 0 2
20 Phoridae 6 5 2 13 16 0 2 18 31
Sub total 17 7 3 27 34 0 3 37 64
B.6. Ordo Homoptera
21 Delphacidae 1 0 2 3 5 0 0 5 8
B.7. Ordo Hemiptera
22 Gerridae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
23 Pentatomidae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
Sub total 0 0 0 0 4 0 0 4 4
B.8. Ordo Lepidoptera
24 Tineidae (moth) 0 1 0 1 0 0 1 1 2
B.9. Ordo Psocoptera
25 Liposcelidae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
26 Nimfa 2 0 0 2 8 0 0 8 10
Sub total 2 0 0 2 10 0 0 10 12
Total Insecta 94 68 52 214 112 3 30 145 359
Total Hexapoda
(Collembola+Insecta) 485 214 156 855 710 664 150 1.524 2.379
44

Metode Pit Fall Trap (PFT)

0
71
750 Sp. Collembola

4
1

66
66
Sp. Insecta

8
Sp. total

59
600
Jumlah Hexapoda tanah

5
48
1

450
39

300
4
21
6

0
14

15

15
0
2
4

12
11
10
94

150
68

52

30
3
0
ML MS MJ KC Tb LK

Hutan Mangrove belum dikonversi Hutan Mangrove telah dikonversi

Lokasi

Gambar 8. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall Trap
(PFT).
Keterangan : ML : Mangrove lebat
MS : Mangrove sedang
MJ : Mangrove jarang
KC : Kebun campuran
Tb : Tambak non tumpangsari
LK : Lahan kosong

Berdasarkan Gambar 8 di atas, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah paling banyak
terperangkap dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti tambak non tumpangsari dan hutan
mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku, kecuali pada tambak non
tumpangsari dengan jumlah ordo dan suku paling sedikit di antara lokasi penelitian lainnya
(Tabel 8). Dari Gambar 8 di atas juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode
PFT, jumlah individu kelas Collembola lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan individu
kelas Insecta pada hampir setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian.
45

Tabel 6. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT).

Hutan Mangrove belum konversi Hutan Mangrove telah konversi Total


Sub total Sub total
Nama Takson Mangrove Mangrove Mangrove Individu Kebun Lahan Individu Individu/
Tambak Taksa
lebat sedang jarang campuran kosong
A. Kelas Collembola
A.1. Ordo Poduromorpha
1 Hypogastruridae 0 0 0 0 11 0 0 11 11
A.2. Ordo Entomobryomorpha
2 Entomobryidae 4 2 1 7 3 0 0 3 10
3 Isotomidae 3 1 1 5 10 9 2 21 26
Sub total 7 3 2 12 13 9 2 24 36
A.3. Ordo Symphypleona
4 Sminthuridae 1 0 1 2 9 0 0 9 11
Total Collembola 8 3 3 14 33 9 2 44 58
B. Kelas Insecta
B.1. Ordo Hymenoptera
5 Formicidae (1) 3 1 2 6 2 0 3 5 11
6 Formicidae (2) 0 0 0 0 1 0 0 1 1
Sub total 3 1 2 6 3 0 3 6 12
B.2. Ordo Coleoptera
7 Eucnemidae 0 0 0 0 0 1 0 1 1
8 Nitidulidae 2 1 1 4 8 2 7 17 21
9 Ptiliidae 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 Scarabidae 0 0 0 0 0 2 0 2 2
11 Staphylinidae 0 0 0 0 1 0 0 1 1
Sub total 2 1 1 4 9 5 7 21 25
B.3. Ordo Diptera
12 Culicidae 0 0 0 0 0 1 1 2 2
13 Dolichopodidae 1 0 0 1 0 0 0 0 1
14 Drosophilidae 0 0 0 0 0 1 0 1 1
15 Sciaridae 0 0 0 0 0 0 0 0 0
16 Phoridae 0 12 2 14 3 3 0 6 20
Sub total 1 12 2 15 3 5 1 9 24
B.4. Ordo Homoptera
17 Delphacidae 0 1 0 1 0 0 0 0 1
B.5. Ordo Psocoptera
18 Liposcelidae 1 4 0 5 2 0 2 4 9
19 Nimfa 13 9 9 31 26 2 0 28 59
Sub total 14 13 9 36 28 2 2 32 68
Total Insecta 20 28 14 62 43 12 13 68 130
Total Hexapoda
28 31 17 76 76 21 15 112 188
(Collembola+Insecta)
46

Tabel 7. Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) pada
enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang
Taksa/Suku
∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr %
Arthropleona
1 Entomobryidae 4 0,80 14,29 2 0,40 6,45 1 0,20 5,88
2 Hypogastruridae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
3 Isotomidae 3 0,60 10,71 1 0,20 3,23 1 0,20 5,88
Symphypleona
4 Sminthuridae 1 0,20 3,57 0 0,00 0,00 1 0,20 5,88
Hymenoptera
5 Formicidae (1) 3 0,60 10,71 1 0,20 3,23 2 0,40 11,76
6 Formicidae (2) 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Coleoptera
7 Eucnemidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
8 Nitidulidae 2 0,40 7,14 1 0,20 3,23 1 0,20 5,88
9 Ptiliidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
10 Scarabidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
11 Staphylinidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Diptera
12 Culicidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
13 Dolichopodidae 1 0,20 3,57 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
14 Drosophilidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
15 Sciaridae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
16 Phoridae 0 0,00 0,00 12 2,40 38,71 2 0,40 11,76
Homoptera
17 Delphacidae 0 0,00 0,00 1 0,20 3,23 0 0,00 0,00
Psocoptera
18 Liposcelidae 1 0,20 3,57 4 0,80 12,90 0 0,00 0,00
19 Nimfa 13 2,60 46,43 9 1,80 29,03 9 1,80 52,94
Jumlah 28 5,60 100,00 31 6,20 100,00 17 3,40 100,00

Kebun campuran Tambak non tumpangsari Lahan kosong


Taksa/Suku
∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr %
Arthropleona
1 Entomobryidae 3 0,60 3,95 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
2 Hypogastruridae 11 2,20 14,47 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
3 Isotomidae 10 2,00 13,16 9 1,80 42,86 2 0,40 13,33
Symphypleona
4 Sminthuridae 9 1,80 11,84 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Hymenoptera
5 Formicidae (1) 2 0,40 2,63 0 0,00 0,00 3 0,60 20,00
6 Formicidae (2) 1 0,20 1,32 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Coleoptera
7 Eucnemidae 0 0,00 0,00 1 0,20 4,76 0 0,00 0,00
8 Nitidulidae 8 1,60 10,53 2 0,40 9,52 7 1,40 46,67
9 Ptiliidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
10 Scarabidae 0 0,00 0,00 2 0,40 9,52 0 0,00 0,00
11 Staphylinidae 1 0,20 1,32 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Diptera
12 Culicidae 0 0,00 0,00 1 0,20 4,76 1 0,20 6,67
13 Dolichopodidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
14 Drosophilidae 0 0,00 0,00 1 0,20 4,76 0 0,00 0,00
15 Sciaridae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
16 Phoridae 3 0,60 3,95 3 0,60 14,29 0 0,00 0,00
Homoptera
17 Delphacidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Psocoptera
18 Liposcelidae 2 0,40 2,63 0 0,00 0,00 2 0,40 13,33
19 Nimfa 26 5,20 34,21 2 0,40 9,52 0 0,00 0,00
Jumlah 76 15,20 100,00 21 4,20 100,00 15 3,00 100,00
47

Berdasarkan data pada Tabel 6 dan 7, menunjukkan bahwa Psocoptera merupakan ordo
yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada hampir setiap jenis komunitas
ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Psocoptera merupakan salah satu ordo dari kelas
Insecta yang jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, hutan mangrove lebat,
mangrove sedang dan mangrove jarang. Selanjutnya ordo Entomobryomorpha (kelas
Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, tambak non tumpangsari
dan mangrove lebat, sedangkan ordo Diptera memiliki jumlah individu tinggi pada lokasi
mangrove sedang, ordo Coleoptera pada lokasi kebun campuran dan lahan kosong.
Dengan metode PCT, ordo Entomobryomorpha (kelas Collembola), ordo Psocoptera
(kelas Insecta) merupakan Hexapoda tanah yang jumlah individunya tinggi jika dibandingkan
dengan ordo lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di kebun campuran,
tambak non tumpangsari, dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan
mangrove sedang, mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas
Insecta yaitu ordo Psocoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di kebun campuran,
hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang, sedangkan ordo Diptera
(Phoridae) populasi individu yang tinggi ditemukan di mangrove sedang.
Berdasarkan grafik batang pada Gambar 9, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah
paling banyak terkumpul dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove sedang
dan mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku (Tabel 7). Pada grafik batang
tersebut juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode PCT, kecenderungan jumlah
individu kelas Insecta lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan jumlah individu kelas
Collembola pada enam tipe komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian.
48

Metode Pengumpulan contoh tanah (PCT)

80 76
Sp. Collembola
Sp. Insecta
70
Sp. total
Jumlah Hexapoda tanah

60

50

43
40

33
31
28
28

30
21
20

17
15
14

20

13
12
9
8

10
3
3

2
0
ML MS MJ KC Tb LK

Hutan Mangrove belum dikonversi Hutan Mangrove telah dikonversi


Lokasi

Gambar 9. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pengambilan
Contoh Tanah (PCT).
Keterangan : ML : Mangrove lebat
MS : Mangrove sedang
MJ : Mangrove jarang
KC : Kebun campuran
Tb : Tambak non tumpangsari
LK : Lahan kosong

Tabel 8. Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan Hexapoda tanah
pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.

Metode PFT Metode PCT


Lokasi Penelitian
Ordo Suku ∑ indv. Ordo Suku ∑ indv.
Hutan Mangrove belum
konversi
1 Mangrove lebat 9 17 485 6 8 28
2 Mangrove sedang 8 12 214 6 8 31
3 Mangrove jarang 7 9 156 6 7 17
Hutan Mangrove telah
konversi
1 Kebun campuran 11 22 710 7 11 76
2 Tambak non tumpangsari 4 5 664 4 8 21
3 Lahan kosong 7 12 150 5 6 15
49

Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Hill diperoleh nilai keanekaragaman
suku seperti yang terlihat pada Tabel 8. Hasil perhitungan N0, N1 dan N2 dengan menggunakan
indeks Shannon-Wienner dan indeks Simpson disajikan pada Lampiran 1,2,3,4.
Pada Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa dengan metode PFT, total jumlah suku
Hexapoda tanah (N0) yang diperoleh lebih tinggi dari pada metode PCT. Sedangkan total nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) Hexapoda tanah, dengan metode PFT
lebih rendah dari pada metode PCT. Dari enam tipe komunitas mangrove di lokasi
penelitian, dengan metode PFT jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi diperoleh pada
kebun campuran (22 suku), sedangkan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai
dominansi suku (N2) Hexapoda tanah tertinggi ditemukan di hutan mangrove jarang masing-
masing sebanyak 5 suku N1 dan 4 suku N2 yaitu suku Sminthuridae, Entomobryidae (kelas
Collembola) dan Gryllidae, Formicidae-1 (kelas Insecta). Adapun dengan metode PCT,
lokasi kebun campuran memperoleh jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi (11 suku),
demikian pula dengan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2)
Hexapoda tanah yang diperoleh tertinggi di antara enam tipe komunitas mangrove di lokasi
penelitian dengan nilai masing-masing sebanyak 7 suku N1 dan 6 suku N2 yaitu suku
Hypogastruridae, Isotomidae, Sminthuridae (kelas Collembola) dan nimfa Liposcelidae,
Nitidulidae, Phoridae (kelas Insecta).

Tabel 9. Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada enam tipe
komunitas mangrove di lokasi penelitian.

Lokasi Penelitian Metode PFT Metode PCT


NO N1 N2 NO N1 N2
Hutan Mangrove belum
konversi
1 Mangrove lebat 17 4,314 3,114 8 5,251 4,154
2 Mangrove sedang 12 3,597 2,300 8 5,006 4,266
3 Mangrove jarang 9 4,664 3,876 7 4,513 3,579
Hutan Mangrove telah
konversi
1 Kebun campuran 22 3,962 2,095 11 7,126 5,734
2 Tambak non tumpangsari 5 2,107 2,031 8 5,742 5,000
3 Lahan kosong 12 4,102 3,068 6 4,037 4,038
Jumlah 77 22,747 16,484 48 31,674 26,772
Keterangan : N0 : Jumlah suku Hexapoda tanah
N1 : Nilai kelimpahan suku Hexapoda tanah
N2 : Nilai dominansi suku Hexapoda tanah
50

Tabel 10. Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi
(N2) Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.

Tipe komunitas
Metode N1 N2 Suku/famili N1 Suku/famili N2 ∑ ind.
mangrove
1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 211
Mangrove lebat 4,314 3,114
PFT 2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 167
3 Gryllidae 3 Gryllidae 56
4 Isotomidae 13
1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 136
Mangrove sedang 3,597 2,300
2 Gryllidae 2 Gryllidae 32
3 Formicidae (1) 19
4 Sminthuridae 10
1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 57
Mangrove jarang 4,664 3,876
2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 47
3 Gryllidae 3 Gryllidae 26
4 Formicidae (1) 4 Formicidae (1) 15
5 Formicidae (2) 5
1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 484
Kebun campuran 3,962 2,095
2 Hypogastruridae 2 Hypogastruridae 51
3 Sminthuridae 47
4 Formicidae (1) 30
Tambak non 1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 351
tumpangsari 2,107 2,031
2 Isotomidae 2 Isotomidae 307
4,102 3,068 1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 60
Lahan Kosong
2 Sminthuridae 2 Sminthuridae 60
3 Formicidae (1) 3 Formicidae (1) 14
4 Gryllidae 4
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 13
Mangrove lebat 5,251 4,154
PCT 2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 4
3 Isotomidae 3 Isotomidae 3
4 Formicidae (1) 4 Formicidae (1) 3
5 Nitidulidae 2
1 Phoridae 1 Phoridae 12
Mangrove sedang 5,006 4,266
2 Nimfa Liposcelidae 2 Nimfa Liposcelidae 9
3 Liposcelidae 3 Liposcelidae 4
4 Entomobryidae 4 Entomobryidae 2
5 Formicidae (1) 1
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 9
Mangrove jarang 4,513 3,579
2 Phoridae 2 Phoridae 2
3 Formicidae (1) 3 Formicidae (1) 2
4 Isotomidae 4 Isotomidae 1
5 Entomobryidae 1
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 26
Kebun campuran 7,126 5,734
2 Hypogastruridae 2 Hypogastruridae 11
3 Isotomidae 3 Isotomidae 10
4 Sminthuridae 4 Sminthuridae 9
5 Nitidulidae 5 Nitidulidae 8
6 Phoridae 6 Phoridae 3
7 Entomobryidae 3
1 Isotomidae 1 Isotomidae 9
Tambak non 5,742 5,000
2 Phoridae 2 Phoridae 3
tumpangsari
3 Nitidulidae 3 Nitidulidae 2
4 Nimfa Liposcelidae 4 Nimfa Liposcelidae 2
5 Scarabidae 5 Scarabidae 2
6 Drosophilidae 1
1 Nitidulidae 1 Nitidulidae 7
Lahan kosong 4,037 4,038
2 Formicidae (1) 2 Formicidae (1) 3
3 Isotomidae 3 Isotomidae 2
4 Liposcelidae 4 Liposcelidae 2
51

A.5. Peran Hexapoda Tanah

Hasil pengklasifikasian jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam


lingkungan, terutama dalam ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 11. Sedangkan jumlah
suku Hexapoda tanah berdasarkan peran masing-masing suku pada setiap komunitas mangrove
di lokasi penelitian secara lengkap disajikan pada Lampiran 1,2,3,4.

Tabel 11. Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada
enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Hutan Mangrove telah
Hutan Mangrove belum konversi
Peran dalam konversi
lingkungan Mangrove Mangrove Mangrove Kebun
Tambak
Lahan
lebat sedang jarang campuran kosong

Metode PFT
1 Fitofagus (Ft) 5 1 2 10 0 1
2 Perombak (Pr) 419 175 123 669 661 141
3 Pemangsa (Pm) 61 38 31 31 3 8
4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0
Jumlah 485 214 156 710 664 150
Metode PCT
1 Fitofagus (Ft) 0 1 0 0 0 0
2 Perombak (Pr) 27 30 17 74 20 14
3 Pemangsa (Pm) 1 0 0 2 1 1
4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0
Jumlah 28 31 17 76 21 15

Pada metode PFT, terlihat bahwa jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai
perombak memiliki jumlah yang terbesar, kemudian diikuti oleh kelompok pemangsa yang
menempati setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian. Selanjutnya urutan ketiga adalah
kelompok fitofagus, kecuali lokasi Tambak non tumpangsari kelompok ini tidak ditemukan.
Sedangkan kelompok pemarasit tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian (Tabel 11).
Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT jumlah suku Hexapoda tanah yang
berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar pada setiap komunitas mangrove di lokasi
penelitian, setelah itu kelompok pemangsa (pada lokasi hutan mangrove lebat, kebun campuran,
tambak, lahan kosong) dan kelompok fitofagus hanya pada hutan mangrove sedang. Sedangkan
kelompok pemarasit sama sekali tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian, seperti pada
metode PFT (Tabel 11).
52

B. Pembahasan

B.1. Keanekaragaman Hexapoda Tanah


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Hexapoda tanah yang diperoleh
dengan menggunakan metode PFT dan PCT adalah sebanyak 2.567 individu, yang terdiri
atas 2.078 individu Collembola dan 489 individu Insecta (Tabel 5 dan 6). Suku atau famili
yang terkumpul seluruhnya berjumlah 28 suku dan 12 ordo, yang terdiri dari 4 suku
Collembola dan sisanya 24 adalah suku-suku Insecta. Collembola merupakan salah satu
Filum Arthropoda tanah dan merupakan kelompok Hexapoda tanah yang keanekaragaman
jenis dan jumlah individunya tinggi. Menurut Haq dan Ramani (1988), besarnya
populasi fauna tanah tergantung pada kontribusi kelompok Collembola dan Acarina. Di
samping itu, beberapa kelompok Acarina merupakan predator bagi Collembola, sehingga
terdapat korelasi antara jumlah Collembola dan Acarina (Mercianto, 1994).
Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah
individu Hexapoda tanah (Gambar 8 dan 9) dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah
(Tabel 9) di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah dari pada hutan
mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini
diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan vegetasi yang tumbuh di
daerah yang telah dikonversi, di samping itu adanya perubahan vegetasi di atas permukaan
tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Seperti
yang dinyatakan oleh Watt (1973) dalam Adianto (1993), bahwa lingkungan fisik (dan
kimia) yang mantap memungkinkan terkumpulnya keanekaragaman biologis dalam
ekosistem dewasa (mantap) yang menunjang kestabilan populasi. Jadi perubahan
lingkungan habitat suatu komunitas dapat menurunkan populasi atau menaikkan populasi
suatu organisme yang lain, ataupun dapat menyebabkan bermigrasinya suatu kelompok
fauna ke tempat yang lebih sesuai untuk hidupnya atau bahkan hilangnya suatu spesies
atau kelompok fauna dari habitat aslinya yang telah mengalami perubahan tadi
(Wurmbach, 1968 dalam Adianto, 1993).

B.1.1. Metode PFT


Metode perangkap Pitfall Traps (PFT) merupakan metode yang cukup memberi
hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman takson. Keterbatasan metode PFT ialah
53

Hexapoda yang ditangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan
tanah (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985). Pernyataan ini sesuai dengan data dari
hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan mangrove yang belum dikonversi maupun
yang telah dikonversi. Total jumlah individu Hexapoda tanah yang diperoleh dengan
metode PFT cenderung lebih tinggi (2.379 individu) daripada dengan metode PCT (188
individu) (Tabel 5 dan 6; Gambar 8 dan 9).
Perbedaan ini diduga berhubungan dengan metode pengumpulan sampel
Hexapoda tanah yang digunakan. Pada metode PCT, volume sampel tanah yang diambil
dibatasi pada ukuran petak (10 x 10) cm dan ketebalan antara 6-8 cm, dengan sekali
pengambilan (waktu terbatas). Sedangkan dengan metode PFT, pengumpulan sampel
Hexapoda tanah lebih terbuka dengan waktu yang relatif lama (selama 22 jam) sehingga
hasil yang diperoleh lebih banyak dibanding metode PCT. Dugaan lain, berkaitan dengan
kondisi iklim di lokasi pengambilan sampel yang tergolong kering (waktu pencuplikan
bulan Mei - Juni). Pada permukaan tanah yang kering menyebabkan fauna tanah lebih
cenderung bermigrasi ke lapisan yang lebih dalam, atau mungkin berada dalam tahap
pradewasa (telur dan pupa) atau sebaliknya bentuk dewasa yang aktif terbang, sehingga
tidak dapat terpilah oleh Corong Barlese. Setiadi (1989) mengemukakan bahwa kegiatan
organisme tanah dipengaruhi oleh musim dan ke dalaman tanah. Kegiatan organisme tanah
terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, sebaliknya menurun pada musim panas dan
dingin. Di samping itu, sebagian besar dari anggota Hexapoda yang tertangkap dengan
metode PFT adalah yang hidup berkeliaran di atas permukaan tanah, yang masuk
perangkap secara tidak sengaja kemungkinan karena terangsang oleh bau alkohol,
karena alkohol merupakan zat yang cukup baik sebagai daya tarik banyak suku dari
Hexapoda (Collembola dan Insecta) (Suhardjono, 1997).
Takson yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan hampir di setiap
jenis penutupan lahan adalah Collembola, kemudian Hymenoptera (Formicidae), dan
Orthoptera (Tabel 5). Ditemukannya takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan
lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik
setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah
individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Sesuai dengan
pernyataan Wallwork (1976) besarnya populasi Collembola, Hymenoptera (semut) dan
Acarina (tungau) mencapai 80% dari populasi Arthropoda yang ada, merupakan ciri khas
54

hutan tropik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Suhardjono (1985;
1997), Rahmawaty dkk. (2000) dan Rohyani (2001). Kemudian Russell (1988) dalam
Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda tanah yang
paling melimpah baik jumlah maupun keanekaragamannya serta memiliki agihan yang luas.
Selanjutnya Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola
merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah, selain itu Collembola menyukai
habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta
bagian tumbuhan lainnya.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485
individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat
(Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang
paling melimpah/nilai dominansi (N2) tertinggi ada di hutan mangrove jarang (Tabel
9). Tingginya dominansi jumlah individu dan ordo Hexapoda tanah pada hutan mangrove
lebat diduga berkaitan dengan kerapatan pohon mangrove. Menurut Arief (2007) keadaan
kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan fauna tanah/Hexapoda tanah,
karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupannya. Tegakan dan tajuk
pohon mampu berperan sebagai penghalang langsung dari sinar matahari atau menjadi
naungan bagi Hexapoda tanah. Di sisi lain, sinar matahari juga merupakan tunjangan
kehidupan bagi pohon dalam hal proses fotosintesis.
Hexapoda yang banyak ditemukan di hutan mangrove sedang dan mangrove
jarang selain Collembola adalah Orthoptera (Gryllidae) dan Hymenoptera (Formicidae)
(Tabel 5). Tingginya jumlah kedua ordo ini (terutama formicidae) diduga karena pada
hutan mangrove sedang dan jarang, kondisi tegakan pohon mangrove sejati semakin
jarang akibat aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan pohon mangrove antara
lain untuk kebutuhan kayu bakar dan pewarnaan jaring, sehingga memungkinkan lebih
banyak sinar matahari yang mencapai lantai hutan. Dugaan ini diperkuat oleh Suwondo
(2002) bahwa Formicidae lebih menyukai tempat yang terbuka, karena Formicidae
umumnya bertindak sebagai pemangsa kelompok serangga lainnya. Selanjutnya
Adisoemarto (1974) dalam Suhardjono (1985) menyatakan bahwa selain makanan,
Orthoptera juga membutuhkan ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya.
Sedangkan keberadaan Hymenoptera di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan
bahan makanan, kelembaban tanah, pencahayan dan sarang yang dibangun (Wallwork,
55

1970). Di samping itu, terdapatnya jenis mangrove ikutan (Paku laut A. aureum) dan
rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong sedang, merupakan sumber makanan
dan tempat yang paling disukai kedua ordo tersebut. Dugaan ini diperkuat Borror et al.
(1996), bahwa Orthoptera merupakan Hexapoda tanah yang sering ditemukan di
berbagai habitat, terutama daerah kering dan berumput. Selain itu, Orthoptera
merupakan kelompok Hexapoda yang suka memakan bagian tumbuhan segar.
Tumbuhan yang di makan adalah rumput dan gulma (Suhardjono, 1985).
Tingginya nilai NO (jumlah suku Hexapoda tanah) dan perolehan jumlah individu
pada hutan mangrove lebat dibandingkan dengan hutan mangrove yang belum dikonversi
lainnya diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan
organik tanah (C-organik). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran
daun, ranting dan cabang yang juga disebut serasah/litter (Foth, 1998). Serasah ini
akan digunakan oleh Hexapoda permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat
hidup, karena umumnya serasah adalah daerah yang kaya akan sumber makanan, jadi
semakin tebal serasah semakin banyak bahan makanan yang dapat diolah untuk
menghasilkan garam-garam mineral dari proses metabolisme Hexapoda tanah
(Suhardjono, 1987; Situmorang, 1999).
Pada lokasi penelitian hutan mangrove yang telah dikonversi perolehan total
jumlah individu (710 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di
kebun campuran (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah
tertinggi di lahan kosong dan kebun campuran, selanjutnya jumlah suku yang paling
melimpah tertinggi di lahan kosong (Tabel 9). Keadaan ini menggambarkan bahwa
daerah yang telah dikonversi dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi
keberadaan Hexapoda tanah. Di setiap daerah yang telah dikonversi memiliki
keunggulan tersendiri yang memungkinkan kehadiran takson tertentu, sehingga
mengakibatkan adanya fauna tanah yang khas.
Kebun campuran memiliki jumlah individu, jumlah ordo dan suku Hexapoda
tanah tertinggi (yaitu 710 individu, 11 ordo dan 22 suku), keadaan ini diduga karena
pada lokasi tersebut ditemukan jenis tumbuhan yang cukup beragam dibandingkan
lokasi penelitian lainnya. Tumbuhan yang beragam ini dimungkinkan karena salinitas
pada lokasi tersebut tergolong rendah yang ditunjang dengan kandungan bahan organik
(C-organik) yang tergolong tinggi (Tabel 2). Salinitas tanah mempunyai peranan
56

penting, Sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan kelulusan hidup
tanaman (MacNae, 1968 dalam Arief, 2007).
Collembola (Entomobryidae, Sminthuridae dan Isotomidae) merupakan salah satu
takson Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun
campuran dan tambak (Tabel 5). Kondisi ini diduga berkaitan dengan tebalnya serasah
pada kedua lokasi tersebut. Serasah dapat berasal dari dari daun-daun dan ranting-ranting
yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis pohon mangrove tersebut,
kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan banyak ditutupi oleh
serasah. Suhardjono (1985) menyatakan bahwa daerah yang banyak sumber makanan
dan merupakan tempat tinggal serangga tanah adalah serasah. Faktor lain yang diduga
berpengaruh adalah kandungan bahan organik (C-organik), dan berdasarkan hasil
analisis (Tabel 2) bahwa kriteria kandungan C-organik pada kedua lokasi tersebut
tergolong tinggi (kisaran 10 – 30%) (Mustafa dkk., 1982). Sumber bahan organik di
lantai hutan berasal dari serasah. Bahan organik juga tersusun dari unsur Nitrogen,
Kalium, dan Calsium. Serangga tanah hidupnya sangat tergantung pada tersedianya bahan
organik berupa serasah atau lainnya di atas permukaan tanah (Suhardjono dkk., 1997).
Hymenoptera (Formicidae) merupakan salah satu ordo Hexapoda yang jumlah
individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah
individu ini karena pada habitat tersebut ditemukan adanya sarang semut sebagai tempat
hidup dan berkembang biak. Formicidae merupakan salah satu famili dari ordo
Hymenoptera yang keberadaannya terdapat di mana-mana dan jumlahnya melebihi
kebanyakan binatang darat lainnya (Borror and Delong, 1989 dalam Situmorang, 1999).
Hal lain yang juga turut mempengaruhi kelimpahan Hymenoptera pada lokasi tersebut
adalah adanya jenis rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong tebal yang
merupakan sumber bahan makanan dan tempat yang paling disukai oleh kelompok ini.
Kenyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Adianto (1993),
kepadatan individu Hymenoptera lebih banyak di petak percobaan dengan perlakuan
rumput.
Diptera dan Orthopthera (Gryllidae) merupakan dua ordo Hexapoda tanah yang
jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya
jumlah individu dari ordo Diptera pada kebun campuran diduga karena vegetasi
tumbuhan bawah (ground cover) pada kebun campuran cukup banyak ditemukan gulma
57

berdaun lebar di antaranya talas lompong (Colocasia sp.), seruni laut (W. biflora), dan
tembelekan (L. camara), dengan laju pertumbuhan vegetatif yang tergolong tinggi,
mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk. Bagian tumbuhan
yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera
sebagai makanan dan tempat bertelur (Borror et al., 1996). Gryllidae (Orthoptera)
merupakan kelompok jengkrik, selama pengamatan di lapangan terlihat giat memakan
bagian tumbuhan sedangkan lainnya memakan serangga lain (pemangsa). Hasil ini
diperkuat oleh Suhardjono (1985), kelompok jengkrik (Gryllidae) merupakan serangga
pemakan bagian tumbuhan segar, sedangkan jenis lainnya sebagai pemakan bangkai
serangga lain. Tumbuhan yang dimakan ialah rumput atau gulma lainnya yang banyak
terdapat di kebun campuran. Selain itu jangkrik mampu hidup pada berbagai kondisi
baik basah maupun kering dan aktif pada malam hari, serta mempunyai kemampuan
bergerak dan melompat yang baik. Orthoptera (Gryllidae) dan Diptera selain makanan
membutuhkan pula ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya
(Adisoemarto, 1974 dalam Suhardjono, 1985), Kebun campuran selain banyak
ditumbuhi rumput-rumputan dan gulma juga memiliki ruang terbuka sehingga lantai
hutannya banyak ditembus sinar matahari.

B.1.2. Metode PCT


Pada metode pengambilan contoh tanah dan serasah (PCT), total populasi Hexapoda
tanah yang diperoleh lebih rendah (188 individu), tetapi kelompok pradewasa Hexapoda tanah
cenderung lebih banyak ditemukan yaitu larva/nimfa ordo Psocoptera dibanding metode PFT.
Data larva/nimfa serangga ini mendukung pernyataan Hole (1981) tentang salah satu fase dalam
daur hidup serangga berada di tanah. Dengan menggunakan metode ini, fauna yang ditangkap
kebanyakan dari ordo Hexapoda yang sebagian besar hidupnya berada di dalam tanah (eudafik).
Ordo yang tidak ditemukan pada metode PCT adalah Protura, padahal kelompok ini
merupakan takson yang umumnya hidup di dalam tanah (Neal et a.l, 1983). Hal ini diduga
karena Protura adalah takson yang keanekaragaman dan jumlah individunya kecil sehingga
sulit ditemukan atau ditangkap, keadaan ini sama dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Mercianto (1995) dan Rohyani (2001). Sedangkan populasi Hexapoda tanah
yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar di berbagai jenis penutupan lahan adalah
Collembola dan Psocoptera (Tabel 6). Hal ini dimungkinkan karena takson tersebut termasuk
58

organisme yang mempunyai kelimpahan cukup besar di habitat tanah dan penyebarannya
relatif luas. Selain itu, diduga juga berkaitan dengan cara hidup kedua takson tersebut
yang biasanya berkelompok, mempunyai kemampuan adaptasi dan dapat menciptakan
lingkungan hidup sendiri. Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyatakan bahwa
Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah. Selain itu
Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan
daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (Gambar 8) di
hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31 individu). Sedangkan jumlah
ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi
suku Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang (Tabel 9).
Tingginya populasi Hexapoda tanah di hutan mangrove sedang, berkaitan dengan
tingginya jumlah populasi Psocoptera dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6) yang ditemukan
di lokasi tersebut. Kondisi ini diduga terjadi karena kemampuan kedua ordo tersebut untuk
beradaptasi di berbagai habitat. Jumlah yang besar dari kedua ordo ini merupakan
suatu bukti keberhasilannya, sebagai sebuah kelompok yang mampu beradaptasi
terhadap habitatnya (Prasetyo, 1999). Selain itu diduga berkaitan erat dengan tabiat
tinggalnya di dalam tanah, yaitu baik individu Psocoptera (nimfa dan Liposcelidae)
maupun Phoridae (Diptera) tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya
menetap di dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya
dapat ditemukan di dalam tanah dan kelompok ini merupakan kelompok Arthropoda
tanah yang sebenarnya (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997).
Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah di
kebun campuran (76 individu) menempati urutan tertinggi (Gambar 8), demikian
pula halnya dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi keseluruhannya ditemukan
di kebun campuran. Selanjutnya di lokasi ini ditemukan jumlah populasi Collembola,
Psocoptera dan Coleoptera (Tabel 6) yang lebih tinggi dibanding dengan lokasi
penelitian lainnya. Tingginya jumlah populasi ketiga takson ini diduga berkaitan dengan
ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut.
Kelimpahan Collembola bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan
lapisan serasah (Takeda, 1979 dalam Suhardjono, 1992). Lapisan tanah yang jumlah
59

individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan
humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber
pakan (Suhardjono, 1992). Pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap kelimpahan
Collembola tanah, seperti pencangkulan yang merupakan proses pembalikan lapisan
tanah dinilai menguntungkan Collembola (Hazra dan Choudhuri, 1983 dalam
Suhardjono, 2007).
Pada lahan tambak, kelompok Hexapoda tanah yang populasinya paling tinggi
adalah Collembola (Isotomidae) dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6). Isotomidae merupakan
suku Collembola tanah yang ukurannya cukup besar dan mudah dijumpai baik dipermuka-
an lantai hutan maupun di tanah (Suhardjono dkk., 1997), sedangkan Phoridae
merupakan suku Diptera yang dominan ditemukan dalam bentuk stadium dewasa dan
menyukai lokasi yang banyak berbau busuk (bau bangkai). Tingginya populasi kedua
takson tersebut di tambak dimungkinkan karena keadaan lokasi yang basah dan lembab
serta tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Dugaan ini diperkuat oleh
Adianto (1993), bahwa kebanyakan dari kelompok Diptera membutuhkan lingkungan
yang basah dan lembab karena makanannya adalah materi tumbuhan yang telah hancur,
fauna/serangga yang telah mati, jamur kayu, fases, dan telur Hexapoda. Alasan lain yang
dapat dikemukakan adalah berkaitan dengan ketebalan serasah dan ditemukannya
sampah-sampah kayu yang melapuk di lokasi tambak tersebut. Alasan ini diperkuat oleh
pernyataan Allison (1973) dalam Adianto (1993), bahwa serasah dan sampah-sampah
merupakan bahan pelindung untuk sejumlah fauna tertentu, terutama untuk kelompok
Arthropoda tanah yang sebagian besar menghabiskan hidupnya di dalam tanah.
Suhardjono (1985) menambahkan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan
merupakan tempat tinggal Hexapoda tanah adalah serasah/litter.

B.2. Peran Hexapoda Tanah

B.2.1. Metode PFT


Di dalam ekosistem tanah, Hexapoda (serangga) tanah mempunyai berbagai
fungsi, yaitu fitofagus, perombak, pemangsa, dan pemarasit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan metode PFT, persentase jumlah perombak yang diperoleh
pada hutan mangrove yang belum dikonversi memiliki jumlah terbesar di antara peran/
fungsi yang lain yaitu 86,4% di hutan mangrove lebat; 81,8% di mangrove sedang dan
60

78,8% di mangrove jarang. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi,
persentase jumlah perombak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pada hutan
mangrove yang belum dikonversi yaitu sebesar 94,2% di kebun campuran, 99,5% di
tambak, dan 94,0% di lahan kosong (Gambar 10). Hasil yang diperoleh sesuai dengan
yang dilaporkan Mercianto dkk. (1990); Suhardjono (1997; 1998); Rahmawaty dkk.
(2000). Itulah sebabnya Hexapoda tanah pada umumnya dikenal sebagai perombak bahan
organik yang sangat berperan di dalam perputaran daur hara walaupun peranannya tidak
dapat langsung dirasakan oleh manusia tetapi melalui jasa biota lainnya. Sebagai
perombak bahan organik, serangga (Hexapoda tanah) bersama jasad renik lainnya
memanfaatkan sisa-sisa organisme yang telah mati dan mengubahnya menjadi humus.
Di dalam humus tersebut terkandung nutrisi yang kemudian sangat berguna bagi
kelangsungan hidup tumbuhan.

Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang

Pr Pr Pr
Ft Ft
Pp Pm Pp Pm 81,8% Ft Pp Pm 78,8%
1,0% 86,4%
0,0% 12,6% 0,5%
0,0% 17,8% 1,3% 0,0% 19,9%

Kebun campuran Tambak NTs Lahan kosong

Ft Ft Pr Ft
Pr Pr
1,4% Pp Pm 0,0% Pm 99,5%
94,2% 0,7% Pp Pm 94,0%
0,0% Pp 0,5%
4,4%
0,0% 0,0% 5,3%

Gambar 10. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PFT.

Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda tanah yang
berperan sebagai perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641
individu), masing-masing di mangrove lebat (391), mangrove sedang (146) dan mangrove
jarang (104). Selanjutnya adalah ordo Hymenoptera/Formicidae (38 individu) dan Diptera
(25 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 4 dan 16 individu di mangrove
61

lebat, 19 dan 6 individu di mangrove sedang, 15 dan 3 individu di mangrove jarang


(Lampiran 1). Alasan yang sama, di antaranya keadaan serasah dan kandungan bahan
organik yang menjadi faktor penentu (Tabel 2, 4). Collembola dapat ditemukan
dihampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung
terhadap populasi Collembola (Suhardjono, 2000). Nooryanto (1987 dalam Rahmawaty
dkk., 2000) melaporkan bahwa perbedaan tipe habitat menyebabkan adanya perbedaan
populasi Collembola. Faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik, dan
suhu dapat mempengaruhi keberadaan Collembola (Choudhuri and Roy, 1972;
Takeda, 1981 dalam Suhardjono, 1992; Adianto, 1993; Rahmawaty dkk., 2000). Hasil
penelitian menunjukkan gejala yang sama dengan hasil yang dilaporkan.
Seperti yang terlihat pada Lampiran 1, total populasi Hexapoda tanah yang
berperan sebagai pemangsa sebanyak 130 individu, dengan rincian hutan mangrove lebat
(61), mangrove sedang (38), dan mangrove jarang (31). Kelompok pemangsa tersebut
didominasi oleh Orthoptera (114 individu), yaitu hutan mangrove lebat (56), mangrove
sedang (32) dan mangrove jarang (26). Peringkat berikutnya adalah ordo Hymenoptera
(11 individu), yaitu hutan mangrove lebat (2), mangrove sedang (4) dan mangrove jarang
(5). Serangga yang berperan sebagai pemangsa berfungsi sebagai penyeimbang di dalam
ekosistem, karena itu kehadiran pemangsa di sini juga dibutuhkan. Serangga yang
berperan sebagai fitofagus (8 individu) sebagian besar dari ordo Coleoptera (4) dan
Homoptera (3), sisanya dari ordo Lepidoptera (1). Sedangkan kelompok pemarasit tidak
satupun individu yang ditemukan.
Selanjutnya pada hutan mangrove yang telah dikonversi (Lampiran 2), terlihat
bahwa jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379),
Hymenoptera (44) dan Diptera (31), secara berurutan ditemukan masing-masing 598; 30;
28 individu di kebun campuran, 661; 0; 0 individu di lokasi tambak, dan 128; 14; 3
individu di lahan kosong. Seperti halnya pada hutan mangrove yang belum dikonversi,
kelompok peran Hexapoda tanah yang banyak dijumpai adalah dari Collembola,
Hymenoptera (Formcidae) dan Diptera. Alasan yang sama juga berlaku terhadap ketiga
kelompok perombak dan kelompok lainnya (Tabel 2, 4). Kelompok Hexapoda tanah yang
berperan sebagai pemangsa sebanyak 42 individu, dengan rincian di kebun campuran
(31), lokasi tambak (3), dan lahan kosong (8). Kelompok ini sebagian besar berasal dari
ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Hexapoda tanah yang berperan sebagai
62

fitofagus (11 individu) sebagian besar dari ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4),
sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera masing-masing 1 individu. Pada
kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove
yang belum dikonversi.

B.2.2. Metode PCT


Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT juga diperoleh persentase
jumlah perombak terbesar, bahkan ada yang mencapai 100%. Pada hutan mangrove yang
belum dikonversi (hutan mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang)
persentase jumlah perombak yang diperoleh masing-masing adalah 96,4%; 96,8% dan
100%. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi, persentase jumlah
perombak yang diperoleh cenderung lebih rendah dibandingkan pada hutan mangrove
yang belum dikonversi yaitu sebesar 97,4% pada kebun campuran, 95,2% pada tambak,
dan 93,3% pada lahan kosong (Gambar 11).

Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang

Ft Ft
Ft Pr Pr Pr
Pp 3,2% Pm 0,0% Pm
0,0% Pm 96,4% Pp 96,8% Pp 100,0%
0,0% 0,0% 0,0%
3,6% 0,0% 0,0%

Kebun campuran Tambak NTs Lahan kosong

Ft Pr Ft Ft Pr
Pr
0,0% Pm Pm 0,0% Pm
Pp 97,4% 0,0% Pp 95,2% Pp 93,3%
2,6% 4,8% 6,7%
0,0% 0,0% 0,0%

Gambar 11. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PCT.

Pada komunitas hutan mangrove yang belum dikonversi (Lampiran 3), kelompok
Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh
ordo Psocoptera (36 individu), yaitu di mangrove lebat (14), mangrove sedang (13) dan
mangrove jarang (9). Selanjutnya diikuti Collembola (14 individu) dan Diptera (14
63

individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 8 dan 0 individu di mangrove lebat,


3 dan 12 individu di mangrove sedang, 3 dan 2 individu di mangrove jarang. Populasi
Psocoptera yang ditemukan terbanyak adalah stadium pradewasa (nimfa) dan imago
Liposcelidae yang tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya menetap di
dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya dapat
ditemukan di dalam tanah (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997). Hexapoda tanah yang
berperan sebagai predator/pemangsa hanya ditemukan pada ordo Diptera (1 individu) yang
terdapat di hutan mangrove lebat. Kelompok yang memakan bagian tumbuhan segar
(fitofagus) tercatat memiliki persentase kehadiran populasi sangat kecil (3,2%) yang
diwakili oleh Homoptera dan terdapat di hutan mangrove sedang.
Pada komunitas hutan mangrove yang telah dikonversi (Lampiran 4), kelompok
Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 112 individu dan perolehan
paling banyak berasal dari Collembola (44 individu), yaitu di kebun campuran (33),
tambak (9) dan lahan kosong (2). Kemudian diikuti Psocoptera (32 individu) dan
Coleoptera (20 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing di kebun campuran
(28 dan 8), tambak (2 dan 5), lahan kosong (2 dan 7). Hasil ini hampir sama dengan yang
dilaporkan Suhardjono (1998) dan Rahmawaty dkk. (2000). Kelompok peran yang lain
yaitu pemangsa/predator ditemukan dalam jumlah populasi yang rendah (4 individu),
dengan rincian 2 individu di kebun campuran, serta 1 individu masing-masing di lokasi
tambak dan di lahan kosong. Kelompok ini terdiri dari ordo Diptera, Hymenoptera dan
Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu kelompok fitofagus dan pemarasit tidak
ditemukan pada tiga lokasi di atas dengan menggunakan metode PCT.
Pada metode PFT, baik pada lokasi hutan mangrove yang belum maupun yang
telah dikonversi, Hexapoda tanah yang dijumpai paling banyak jumlah individunya secara
umum berasal dari kelompok takson/ordo yang sama, seperti Collembola, Hymenoptera
(Formicidae), Orthoptera dan Diptera. Begitu pula dengan metode PCT, Hexapoda tanah
yang dijumpai paling banyak jumlahnya cenderung berasal dari kelompok takson/ordo
yang sama, seperti Collembola, Psocoptera dan Coleoptera. Tetapi apabila dibandingkan
hasil tangkapan baik pada metode PFT maupun metode PCT, Hexapoda tanah yang
dijumpai paling banyak jumlahnya cenderung berasal dari ordo yang berbeda, kecuali
kelompok takson Collembola yang kehadirannya selalu ditemukan pada setiap lokasi
penelitian. Hasil ini diperkuat oleh Suhardjono (2000; 2007), bahwa Collembola dapat
64

ditemukan di hampir semua habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung
terhadap kehadiran Collembola tanah. Meskipun demikian perbedaan komposisi vegetasi
berakibat nyata pada komposisi populasi Collembola. Selain itu terdapat perbedaan
jumlah individu dari kedua metode yang digunakan. Dengan menggunakan metode PFT,
jumlah suku dan individu Hexapoda tanah yang diperoleh lebih banyak daripada
metode PCT. Lebih beragamnya jumlah suku menunjukkan pula bahwa metode PFT
lebih baik dibandingkan dengan metode PCT seperti yang telah diteliti sebelumnya
(Suhardjono, 1985; Rahmawaty dkk., 2000).
Berdasarkan klasifikasi kelompok peran takson/suku Hexapoda tanah yang
diperoleh, baik yang aktif di permukaan tanah maupun yang hidup di dalam tanah, maka
tidak satupun individu yang ditemukan dari kelompok pemarasit pada keenam tipe
penutupan lahan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena lingkungan/habitat dari lantai
hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut, tidak sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan dari kelompok pemarasit tersebut (Suhardjono,
komunikasi pribadi). Selanjutnya dijelaskan bahwa kelompok pemarasit (terutama
Hymenoptera) lebih dominan ditemukan pada bagian canopi (di atas tanah) dengan habitat
tertutup (creek) dari ekosistem mangrove.
Metode pencuplikan contoh tanah (PCT) menggambarkan Hexapoda tanah yang
ada di dalam tanah, sedangkan metode PFT tanah menggambarkan Hexapoda tanah yang
ada di permukaan tanah. Serangga-serangga tanah tersebut berperan penting dalam
mempertahankan dinamika suatu ekosistem di alam, salah satunya adalah sebagai
perombak bahan organik. Menurut Setiadi (1989), bahan organik yang tersedia akan
dihancurkan dan diuraikan oleh serangga/Hexapoda tanah serta disintesa kemudian
dilepas kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuhan.
Suhardjono dan Adisoemarto (1997) mengemukakan bahwa peran Arthropoda/Hexapoda
tanah bersifat tidak langsung dalam lingkungan karena tidak dapat langsung dilihat dan
dinikmati. Peran tersebut tercermin dari aktifitas Hexapoda tanah memakan bahan organik
yang dapat berupa serasah, kayu lapuk, dan kotoran. Bahan yang dimakan adalah bahan
buangan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh makhluk lainnya. Di dalam tubuhnya
bahan organik tersebut dicerna untuk kemudian dikeluarkan lagi sudah dalam bentuk bahan
terurai yang dapat memperkaya unsur-unsur hara tanah. Unsur hara tanah bermanfaat untuk
hidup dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhan sendiri berguna untuk makhluk
65

hidup lainnya. Dalam hal ini Hexapoda tanah lebih banyak berperan dalam transfer energi
dibandingkan kontribusinya terhadap nutrisi dan pengaliran mineral (Suhardjono dkk.,
2000).

B.3. Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor Lingkungan Tanah

Pengujian juga dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelimpahan


Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan (suhu, kelembaban, porositas, salinitas,
pH, kandungan bahan organik tanah), baik Hexapoda tanah yang aktif di permukaan
tanah (metode PFT) maupun yang aktif di dalam tanah (metode PCT) pada sepuluh titik
pengambilan sampel di lokasi hutan mangrove lebat. Hasil analisis korelasi antara
kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan tanah disajikan pada Tabel
12.
Tabel 12. Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter
lingkungan tanah
Parameter Lingkungan Tanah
Kelimpahan
Hexapoda Bahan
Ruang
Tanah Organik N-total pH Salinitas T (oC) RH (%)
(C-organik) pori

Permukaan 0,69* 0,57 -0,71* 0,65* 0.60 -0,92** 0.88**


Tanah (PFT) (0,026)2) (0,083) (0,021) (0,040) (0,066) (0,000) (0,001)
Dalam Tanah 0,84** 0,69* -0,72* -0,47 0,67* -0,72* 0,69*
(PCT) (0,003) (0,028) (0,020) (0,168) (0,036) (0,020) (0,029)
Keterangan :
* : Nyata
** : sangat nyata
1) : pearson correlation
2) : P-value

Berdasarkan hasil analisis di atas (Tabel 12), diperoleh bahwa kelimpahan


Hexapoda tanah yang aktif dipermukaan tanah (metode PFT) menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan dengan beberapa parameter lingkungan tanah yaitu suhu,
kelembaban, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah. Begitu juga Hexapoda
tanah yang aktif di dalam tanah (metode PCT), menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan beberapa parameter lingkungan tanah, yaitu suhu, kelembaban, porositas, pH,
dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah. Keseluruhan parameter
lingkungan tanah yang dianalisis (Tabel 12) yang berkorelasi signifikan dengan
66

kelimpahan Hexapoda baik yang menggunakan metode PFT maupun PCT, hasilnya
hampir sama dengan yang diperoleh Rohyani (2001), perbedaannya terutama terletak
pada komponen porositas tanah dan bahan organik, dari hasil penelitian (Table 12)
porositas tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda yang aktif di dalam tanah.
Sedangkan kandungan bahan organik tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah
baik yang aktif dipermukaan maupun di dalam tanah.
Secara keseluruhan dari hasil analisis korelasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik
(C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di
permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang meliputi suhu dan kelembaban tanah,
porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah lebih berpengaruh
pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik).
67

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :


1. Dalam penelitian ini telah dikumpulkan sebanyak 2.567 individu Hexapoda tanah
yang tergolong atas 28 suku, 12 ordo, dan 2 kelas. Komposisi kelas Collembola
terdiri atas 3 ordo, 4 famili, dan 2.078 individu; sedangkan kelas Insecta 9 ordo, 24
famili dan 489 individu. Collembola memiliki kekayaan spesies/individu paling
tinggi.
2. Pada kawasan hutan mangrove yang belum dikonversi, baik menggunakan metode
PFT dan PCT rata-rata jumlah individu dan suku Hexapoda tanah lebih rendah
dibandingkan dengan hutan mangrove yang telah dikonversi.
3. Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap
jenis penutupan lahan di permukaan tanah adalah Collembola, Hymenoptera
(Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah Collembola dan
Psocoptera.
4. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan takson dengan jumlah
individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan
baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah.
5. Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi Hexapoda
tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem
yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong, tambak dan
mangrove jarang memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasi-
kan kondisi ekosistem yang kurang stabil.
6. Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi
setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah.
Persentase perombak di permukaan tanah berkisar 78,8%-99,5%, sedangkan di
dalam tanah 93,3%-100%. Banyaknya famili yang berperan sebagai perombak
lebih besar (78,8%-100%) daripada famili yang berperan sebagai fitofag,
pemangsa dan pemarasit. Adanya variasi famili berdasarkan peran tersebut
68

dengan tipe komunitas mangrove yang bervegetasi lebih beragam akan


menciptakan suatu kondisi ekosistem yang lebih mantap (kestabilan ekosistem).
7. Faktor lingkungan suhu dan kelembaban, pH, salinitas dan bahan organik (C-
organik) tanah berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan
tanah. Sedangkan faktor lingkungan suhu dan kelembaban, porositas, pH dan
kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah berpengaruh pada kelimpahan
Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik).

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan antara lain mengidentifikasi takson-takson


tersebut sampai ke taraf lebih kecil (marga atau jenis) dan selanjutnya melakukan
pengamatan biologi serta ekologi takson yang bersangkutan, untuk melihat kemungkinan
adanya Hexapoda tanah yang dapat dijadikan sebagai bioindikator perubahan lingkungan
pada ekosistem mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Selain itu
mengidentifikasi kemungkinan adanya senyawa yang bersifat toksik yang dapat
mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah.
69

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, dan Insektisida. Biologi
Pertanian. Penerbit Alumni. Bandung: 194 pp.
Anonim. 2007. Profil Sumberdaya Pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Kerjasama antara Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah & Taman
Nasional Laut Kepulauan Togean: 105 pp. (belum dipublikasikan).
Anwar, I., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Anthony. 1984. Ekologi Ekosistem
Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: 653 pp.
Arief, A. 2007. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta:
47 pp.
Balittanah Deptan, 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: 282 pp.
Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya
Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Bogor : 86 pp.
Borror, D.J., C.A. Triplehort, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta : 1083 pp.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Kebupaten Tojo Una-Una dalam Angka; Kepulauan
Togean. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una.
Brown, A.L. 1980. Ecology of Soil Organism. Heinemann Educational Books: 116 pp.
Buckman, H.O., and N.C. Brady, 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bharata
Karya Aksara. Jakarta: 788 pp.
Burges and Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. New York: 729 pp.
Choudhuri, D.K. and S. Roy. 1972. An Ecological Study on Collembola of West Bengal
(India). Rec. Zool. Surv. India. 66 (1-4): 81-101.
CII-Togean Program. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah
Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean-Sulawesi Tengah. Conservation
International Indonesia (CII) - Togean Program, Sulawesi Tengah, Palu.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Cetakan I. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta: 301 pp.
Daly, H.V. 1978. Introduction to Insect Biology and Diversity. McGraw-Hill
Kagakusha Ltd.: 564 pp.
Diana, E., Widarjanto, dan R. Ahmad. 1994. Lahan Mangrove untuk Pembangunan
Transmigrasi. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 266 - 271.
70

Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta (Terjemahan Purbayanti dkk.): 782 pp.
Genisa, A.S. 1994. Komunitas Ikan di Daerah Mangrove Muara Sungai Musi
Banyuasin, Palembang. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 168-174.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 23(1): 15-21.
Haq dan Ramani. 1998. Population Ecology of Microarthropods in Relation to
Vegetation and Rainfall. In Veeresh, G.K. (ed). 1988. Advances in Management
and Conservation of Soil Fauna. Oxford and IBH Pub. Co., New Delhi: 797-803
Hardi, T., dan I. Anggraeni. 1997. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Serangga
yang Bijaksana. Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian: "Penerapan Hasil
Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk Mendukung Pengelolaan SDA
Hayati dan Ekosistemnya". Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam: 245 - 248.
[Harian Berita Sore]. 2007. 70 Persen Hutan Mangrove Di Indonesia Rusak. 25 Juni
2007, Pontianak. http://beritasore.com/2007/06/25/70-persen-hutan-mangrove-di-
indonesia-rusak/. Dikunjungi 27 Oktober 2007.
Hole, F. D. 1981. Effect of Animal on Soil. Geoderma. 25: 75-112.
Hutchings, P., dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangroves. University of Queensland
Press. Australia: 369 pp.
Jordana, R., and Arbea, J.I. 1989. Clave de identificación de los géneros de
Colémbolos de Espańa (Insecta: Collembola). Publicaciones de Biología de
la Universidad de Nevarra-Pamplona Serie Zoologica, 19: 1-16 + 16 lám.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.M. Tantra. 1979. Status
Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove.
Jakarta, Pebruari 1978: 21-39.
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. MacMillan Publishing Company. New York: 531
pp.
Komar, Y., S. Miura, R. Terui, S. Hamada, dan F. Rahim. 1994. Pengaruh Naungan
Terhadap Pertumbuhan Benih Mangrove di Persemaian. Prosiding Seminar V
Ekosistem Mangrove: 140 -142.
Lilies, C. 1997. Kunci Determinasi Serangga. Cetakan ke-6. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta: 223 pp.
Ludwig, J.A. dan J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A Primer Methods and
Computing. John Wiley and Sons Inc. New York : 337 pp.
Magurran, A.E. 1988. Egological Diversity and Its Measurements. Croom Helm
Limited. London: 493 pp.
71

Mani, M. S. 1982. General Entomology. 3rd ed. Oxford and IBH Publishing Co. New
Delhi: 912 pp.
Mercianto, Y. 1995. Studi Keanekaragaman Serangga Tanah pada Tiga Habitat Tegakan
Dipterocarpaceae yang Berbeda di Kebun Percobaan Haurbentes, Jasinga, Jawa
Barat. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA-IPB. 36 pp.
Mercianto, Y., Y. R. Suhardjono, dan D. Duryadi. 1997. Perbandingan Populasi
Serangga Tanah Pada Tiga Komposisi Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding
Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI, Vol. 2. Perhimpunan
Biologi Indonesia cabang Jakarta, Depok, hal. 85-90.
Mustafa M., R. Dhanio, dan H. Zubair. 1982. Sifat Fisik dan Kimia Tanah di Bawah
Tegakan Mangrove. Buletin Penelitian Lingkungan dan Pembangunan 2(2): 97
– 118.
Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Orba Sakti Bandung. Bandung: 200 pp.
Neal, E.G., and K.R.C. Neal. 1983. Biology for Today. Bland Food Press. London, UK:
298 pp.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta: 459 pp.
Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi Ketiga). Terjemahan Tjahjono
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 697 pp.
Partosoedjono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. Bogor: 101 pp.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya: 344
pp.
Poerwowidodo dan N.F. Haneda. 1992. Studi Keanekaragaman Jasad Tanah di Bawah
Aneka Macam Penutupan Lahan. Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, Bogor 29
Oktober 1998. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Lembaga Penelitian
IPB. Bogor : 10 pp.
Prasetyo, E. 1999. Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Kelimpahan dan keragaman
Famili Serangga pada Areal Tanaman Acacia mangium (Studi Kasus PT. Pakerin,
Sumatera Selatan). Jurusan Management Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor: 14 – 38.
Rahmawaty, C. Kusmana, dan Y.R. Suhardjono. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah
dan Perannya pada Komunitas Rhizhophora spp. dan Ceriops tagal di Hutan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara. Prosiding Simposium
Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung
16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: 61-67.
Rohyani, I.M. 2001. Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan
Lahan Mangrove (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat). Tesis
Program Studi PSL. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor : 57 pp.
Romoser, W.S. and J.G. Stoffolano. 1998. The Science of Entomology. 4th Edition. Mc.
Graw-Hill. Boston: 605 pp.
72

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Pusat Antar


Universitas. Bioteknologi IPB. Bogor: 103 pp.
Sikong. M. 1978. Peranan Hutan Mangrove sebagai Tempat Asuhan (Nursery Ground)
Berbagai Jenis Ikan dan Crustacea. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan
Mangrove: 106 - 113.
Situmorang, R.S. 1999. Studi Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah pada
Berbagai Tegakan Mangrove (Studi Kasus di RPH Tegal Tangkil, BKPH
Ciasem, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). Skripsi
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor: 38 pp.
Soegianto. 1983. Kenalilah Flora Pantai Kita. Penerbit Widjaya. Jakarta: 152 pp.
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman
Hayati Indonesia. Makalah Seminar Nasional Biologi XV. Bandar Lampung 24–26
Juli 1997. Perhimpunan Biologi Indonesia, Bandar Lampung: 19 pp.
Suhardjono, Y.R. 1985. Perbandingan Populasi Serangga Permukaan Lantai Hutan
Wanariset, Kalimantan Timur. Berita Biologi 3 (3) : 104-107.
Suhardjono, Y.R. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok.
Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia: 16 pp.
Suhardjono, Y.R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam
Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding
Seminar Nasional Biologi XV: 283 - 288.
Suhardjono, Y.R. dan S. Adisoemarto. 1997. Arthopoda Tanah: Artinya Bagi Tanah,
Makalah pada Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung 24 - 26 Juni
1997: 10 pp.
Suhardjono,Y.R. dan S.Adisoemarto. 1998. Pengembangan Rancangan Pendayaguna-
an Fauna Mangrove Indonesia: Kendala dan Peluang yang Tersedia. Prosiding
Seminar VI Ekosistem Mangrove: 114-126.
Suhardjono, Y.R. 1998. Serangga Serasah: Keanekaragaman Takson dan Perannya di
Kebun Raya Bogor. Biota Vol. III (1) Februari 1998:16 – 24.
Suhardjono, Y.R. 2000. Collembola Tanah. Peran dan Pengelolaannya. Makalah
pada Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian
Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Universitas Indonesia. Depok, 20 April
2000.
Suhardjono, Y.R., Adianto, dan S. Adisoemarto. 2000. Strategi Pengembangan Pengelo-
laan Arthropoda Tanah. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati
Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung-Bogor 16-18 Oktober
2000: Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia: 9-24.
Suhardjono, Y.R. 2007. Collembola: Secercah Harapan untuk Nusantara. Orasi
Pengukuhan Profesor Riset Bidang Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta, Juni 2007: 46 pp.
73

Suin, N. M. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara Jakarta bekerja sama dengan
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, ITB Bandung: 189 pp.
Sukardjo, S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana. 4: 102 - 115.
Sumarhani. 1994. Rehabilitasi Hutan Mangrove Terdegradasi dengan Sistem
Perhutanan Sosial. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 110-116.
Suwondo. 2002. Komposisi dan Keanekaragaman Mikroarthropoda Tanah Sebagai
Bioindikator Karakteristik Biologi Pada Tanah Gambut.http://www.unri.ac.id/
jurnal/jurnal_natur/vol4(2)/suwondo.pdf. Dikunjungi 26 April 2006.
Szujecki. A. 1987. Ecology of Forest Insect. PWN - Polish Scientific Publishers.
Warszawa: 352 pp.
[The Mangrove Information Center]. 2006. http://www.mangrovecentre.or.id/Profile/
ttgmangrove.htm. Dikunjungi 22 Mei 2006.
Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc. Graw-Hill. London: 283 pp.
Wallwork, J.A. 1976. The Distribution a Diversity of Soil Fauna. Academy Press, San
Francisco: 355 pp.
[Wetlands International]. 2007. Jakarta Hancur Bila Menggrove Lenyap. 20 Juli 2007,
Jakarta. http://www.antara.co.id/arc/2007/7/20/wetlands-international--jakarta-
hancur-bila-menggrove-lenyap/. Dikunjungi 27 Oktober 2007.
Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 792 pp.
Wibawa, M.S., A. Luthfi, and A. Sutardi. 1994. Dimensi Ekonomi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 150 -154.
Widatra, I.G.M., dan S. Hamada. 1994. Uji Coba Penanaman Pohon Mangrove di
Gili Petangan. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 86 - 93.
74

LAMPIRAN
75
76
77
78
79

Lampiran 5. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter
faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat.

PFT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb
khe bo n tot pH salin pori suhu
bo 0.694
0.026
n tot 0.574 0.511
0.083 0.131
pH -0.712 -0.417 -0.732
0.021 0.231 0.016
salin 0.653 0.394 0.296 -0.601
0.040 0.260 0.407 0.066
pori 0.602 0.779 0.297 -0.337 0.515
0.066 0.008 0.404 0.342 0.128
suhu -0.924 -0.738 -0.478 0.665 -0.787 -0.610
0.000 0.015 0.162 0.036 0.007 0.061
kelemb 0.882 0.628 0.414 -0.656 0.739 0.446 -0.937
0.001 0.052 0.235 0.039 0.015 0.196 0.000
Cell Contents: Pearson correlation
P-Value

PCT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb
khe bo n tot pH salin pori suhu
bo 0.835
0.003
n tot 0.687 0.598
0.028 0.068
pH -0.716 -0.688 -0.549
0.020 0.028 0.100
salin -0.473 -0.278 -0.572 0.116
0.168 0.437 0.084 0.750
pori 0.666 0.581 0.624 -0.702 -0.130
0.036 0.078 0.054 0.024 0.721
suhu -0.717 -0.837 -0.732 0.728 0.142 -0.521
0.020 0.003 0.016 0.017 0.696 0.123
kelemb 0.686 0.820 0.561 -0.758 -0.009 0.535 -0.908
0.029 0.004 0.092 0.011 0.981 0.111 0.000
Cell Contents: Pearson correlation
P-Value
80

Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian.

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Poduromorpha
Superfamily Hypogastruroidea
Family Hypogastruridae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Entomobryomorpha
Superfamily Entomobryoidea
Family Entomobryidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Entomobryomorpha
Superfamily Isotomoidea
Family Isotomidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Symphypleona
Superfamily -
Family Sminthuridae
Peran : Perombak
81

Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 1)

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Hymenoptera
Superfamily Vespoidea
Family Formicidae
Peran : Perombak & Pemangsa

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Psocoptera
Superfamily -
Family Liposcelidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Orthoptera
Superfamily -
Family Gryllidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Phoridae
Peran : Perombak
82

Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 2)

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Drosophilidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Cucujoidea
Family Nitidulidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Staphylinoidea
Family Staphylinidae
Peran : Pemangsa

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Homoptera
Superfamily Fulgoroidea
Family Delphacidae
Peran : Fitofagus
83

Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 3)

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily -
Family Scolitidae
Peran : Fitofagus

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Dictyoptera
Superfamily -
Family Blattidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Sciaridae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Culicidae
Peran : Pemangsa
84

Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 4)

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Staphylinoidea
Family Ptiliidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Tenebrionoidea
Family Anthicidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Elateroidea
Family Eucnemidae
Peran : Perombak

Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily Empidoidea
Family Dolichopodidae
Peran : Pemangsa
85

You might also like