Professional Documents
Culture Documents
ABD. WAHID
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ii
Abd. Wahid
NIM P052050041
iii
ABSTRACT
ABD. WAHID. Study of Soil Hexapods Diversity in Different Type of Land Cover
on Mangrove Ecosystem in Togean Island National Park, Tojo Una-Una Regency.
Under direction of HADI S. ALIKODRA, and YAYUK R. SUHARDJONO.
Soil fauna is known compose 75% of each one million type of teresterial animal
in the world. That number is dominated by Arthropods, specially Hexapods. In
Indonesia, the research of soil Hexapods on mangrove ecosystem is very limited.
Consequently, the information about diversity and role of Hexapods is also limited.
Based on the reasons as mentioned above, this research focused on inventarisation of
soil Hexapods diversity in ecosystem of mangrove. This research was conducted on
the six types of land cover in the area of National Park of Togean Island, Tojo Una-Una
Regency, Central Sulawesi Province. The data were collected from February to July
2007 by using “Pitfall Traps (PFT) and soil sampel (PCT)” method. The result
showed that, the different density of population and diversity of soil Hexapods is
influenced by compositioin of vegetation, litter layer, and composition of organic matter
(C-organic) on six types of land. Soil environment factor like: temperature, humidity,
pH, organic matter (C-organic and N-total) are also influence the abundance of soil
Hexapods. This research collected 2,567 individu of soil Hexapods, compose of 2,078
Collembola, 489 Insect, which where grouped on 28 family and 12 ordo. Mangrove
ecosystem with high density of different type of vegetation have a good composition
and diversity of soil Hexapods. The number family that have a role as decomposition is
more (78.8%-100%) than as fitofag, predator, and parasit. The variation of family with
different role will emprove the stabilization of mangrove ecosystem.
Keywords : Land cover, soil Hexapods diversity, soil environment factor, soil
Hexapods role.
iv
RINGKASAN
Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada lokasi penelitian lebih tinggi
daripada dengan menggunakan PCT, kecuali pada tambak non tumpangsari perolehan
jumlah ordo dan suku lebih tinggi pada PCT. Namun jumlah suku Hexapoda tanah
yang melimpah dan yang paling melimpah dengan menggunakan PCT lebih tinggi
daripada dengan PFT.
Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap
jenis penutupan lahan pada daerah permukaan tanah adalah Collembola, disusul
Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah
Collembola dan Psocoptera. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan
takson yang ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah
maupun di dalam tanah dengan kelimpahan individu tinggi. Ditemukannya kedua takson
tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya
beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama
Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki
keanekaragaman yang tinggi serta penyebarannya relatif luas di tanah.
Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah
individu Hexapoda tanah dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah di hutan mangrove
yang belum dikonversi lebih rendah daripada hutan mangrove yang telah dikonversi
(terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan
beragamnya vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, serta adanya
perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap
kehadiran Hexapoda tanah. Selain itu diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan
tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik dan N-total).
Dengan metode PFT, pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah
individu (485) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove
lebat, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling
melimpah (N2) tertinggi pada di hutan mangrove jarang. Di daerah yang telah
dikonversi total jumlah individu (710) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah
tertinggi di kebun campuran, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah
dan paling melimpah tertinggi di lahan kosong, selain itu jumlah suku yang melimpah
tertinggi juga ditemukan di kebun campuran.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, dengan metode PCT, total jumlah
individu di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31). Sedangkan jumlah
ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi
suku tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang. Di hutan mangrove yang
telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah tertinggi (76) di kebun campuran,
demikian pula dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi semuanya ditemukan di
kebun campuran. Tingginya nilai keanekaragaman Hexapoda tanah ini diduga
berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi
tersebut. Menurut Suhardjono (1992), kelimpahan Collembola dan Hexapoda tanah
lainnya bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah.
Lapisan tanah yang jumlah individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah
yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan
organik sebagai sumber pakan.
Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi
Hexapoda tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem
yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong dan mangrove jarang
vi
ABD. WAHID
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS.
x
NIM : P052050041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Etty Riani, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tak lupa
shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabiullah Muhammad SAW atas
keteladannya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Pebruari 2007 – Juli 2007 adalah Keanekaragaman Hayati dengan judul “Studi
Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan pada
Ekosistem Mangrove (studi kasus di TN Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi
Tengah)”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ibu Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono selaku
komisi pembimbing atas arahan dan diskusi yang sangat berharga selama ini. Terima
kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar
Pascasarjana Program Studi PSL yang telah memberikan pengetahuan yang tak
ternilai selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program
Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi.
Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Saudara Risman alias
”Koa” warga desa Lembanato di kepulauan Togean atas semua bantuan dan fasilitas
yang diberikan selama pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Ibu Fatimah dan Bapak Darmawan dari Laboratorium
Zoologi LIPI di Cibinong atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium, serta
semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada teman-temanku angkatan
2005 program studi PSL terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan
dalam menyelesaikan studi.
Pada akhirnya, karya tulis ini penulis persembahkan buat Mama dan Papa
tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta
kepada istri tercinta Dra. Amna Thahir, ketiga anakku Fahrul Ramadhan Junus,
Nurfadhila Junus dan Farhana Shinta Wahid atas keikhlasan, pengertian, doa dan
dorongan serta semangat untuk pencapaian semua ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua
yang membutuhkan.
Abd. Wahid
xii
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A Latar Belakang ...................................................................................... 1
B Kerangka Pemikiran .............................................................................. 4
C Perumusan Masalah ............................................................................... 7
D Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8
E Hipotesis ................................................................................................ 8
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9
A Tinjauan Umum Hutan Mangrove ........................................................ 9
B Tinjauan Umum Fauna Tanah ............................................................... 13
C Serangga (Hexapoda) ............................................................................ 18
D Indeks Keanekaragaman ....................................................................... 21
III METODE PENELITIAN ........................................................................... 23
A Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 23
B Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... 23
C Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 23
D Metode Pengambilan Data .................................................................... 28
E Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah .................................. 32
F Analisis Data .......................................................................................... 33
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 36
A Hasil ...................................................................................................... 36
A.1 Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia ....................................................... 36
A.2 Vegetasi ......................................................................................... 39
A.3 Serasah ........................................................................................... 40
A.4 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... 42
A.5 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. 51
B Pembahasan ........................................................................................... 52
B.1 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... 52
B.2 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. 59
B.3 Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor
Lingkungan Fisik Tanah …............................................................. 65
V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 67
A Kesimpulan ........................................................................................... 67
B Saran ..................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ..... 69
LAMPIRAN ................................................................................................ 74-84
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian ..................................................... 23
2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi
penelitian .................................................................................................... 36
3 Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi ...................... 40
4 Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada
ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................... 41
5 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) ..................... 43
6 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah
(PCT) ......................................................................................................... 45
7 Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan contoh tanah
(PCT) pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ..................... 46
8 Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan
serangga pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................ 48
9 Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada 6 tipe
komunitas mangrove di lokasi penelitian .................................................. 49
10 Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai
dominansi (N2) Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di
lokasi penelitian ......................................................................................... 50
11 Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan
pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................................ 51
12 Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan
parameter lingkungan tanah ....................................................................... 65
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................ 6
2 Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha
di Kabupaten Tojo Una-Una ..................................................................... 24
3 Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di
Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean .................................................. 26
4 Tata letak petak penelitian di lapangan ..................................................... 29
5 Perangkap sumuran (PFT) di lapangan .................................................. 30
6 Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese
modifikasi) ................................................................................................. 31
7 Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove
di lokasi penelitian ................................................................................... 35
8 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall trap
(PFT) .......................................................................................................... 44
9 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode
Pengambilan contoh tanah (PCT) ............................................................. 48
10 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PFT …................................................. 60
11 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PCT ..................................................... 62
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PFT
(Pitfall trap) ............................................................................................... 75
2 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PFT
(Pitfall trap) ............................................................................................... 76
3 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PCT
(Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 77
4 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah
pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PCT
(Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 78
5 Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan
parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat .................... 79
6 Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah yang ditemukan di
lokasi penelitian ............................................................................... 80
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan
yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (terutama di pantai yang
terlindung, muara laguna, muara sungai). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara
alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas
dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi
terhadap garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (The
Mangrove Information Center, 2006).
Ekosistem mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri
tumbuhan yang hidup di darat dan di laut yang dipengaruhi oleh periode pasang surut air
laut, oleh karena itu tidak semua jenis fauna yang mampu beradaptasi sehingga kelompok
fauna yang bertahan merupakan jenis fauna yang spesifik. Umumnya mangrove
mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor).
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin
oksigen atau bahkan anaerob.
Pengertian hutan mangrove tidak terbatas pada daerah bervegetasi, tetapi daerah
terbuka atau berlumpur, selalu atau secara teratur tergenang air laut, atau terletak di
antara hutan dan laut, yang sering dikenal dengan daerah payau. Mangrove merupakan
jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta, muara sungai, sampai menjorok ke arah
pedalaman dan garis pantai. Di dalam ekosistem hutan mangrove terintegrasi dua tipe
ekosistem yaitu ekosistem darat dan laut, sehingga kerusakan di hutan mangrove akan
mengakibatkan rusaknya dua tipe ekosistem tersebut.
Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat
bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah
pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis
ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga
merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis
kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati
2
(biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang
kehidupan. Dengan sistem perakaran dan penutupan tajuk (canopy) yang rapat serta
kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran
gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan
estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat
dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan
baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut
lainnya.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan
sumber daya alam yang sangat potensial. Menurut Alikodra dalam Wetlands International
(2007) luas mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta ha atau 18-32% total luas mangrove
seluruh dunia. Angka ini merupakan yang terluas dibandingkan dengan Brasil (1,3 juta
ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,9 juta ha). Di Indonesia sendiri, perusakan
hutan mangrove sudah tergolong cukup parah. Menurut Kusmana dalam Harian Berita
Sore (2007) bahwa sekitar 6,7 juta ha atau 70% dari luas 9,4 juta ha hutan mangrove di
Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove
yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove
yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha, sehingga hutan
mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi, 2000 dalam Gunarto,
2004).
Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena umum di
berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan
ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi
lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian
serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove
ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia.
Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan
keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Misalnya melimpahnya bahan
3
organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budidaya tambak intensif di lingkungan
perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betul-
betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Dampak lainnya adalah menurunnya
keanekaragaman hayati organisme komunitas terestis akuatik (Soeriaatmadja, 1997).
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) menempati luas kawasan sebesar
362.605 ha (SK Menhut RI No. 418/Menhut/2004) dengan luas daratan yang relative
sempit (sekitar 25.832 ha) selebihnya merupakan wilayah perairan, terdiri dari pulau-
pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit memberikan korelasi yang
signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan
laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap
kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (Anonim, 2007).
Hutan mangrove yang merupakan tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut memberikan sumbangan yang besar bagi kelestarian pesisir dan laut di kepulauan
Togean, dengan luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 5.051 ha yang tersebar di
beberapa gugusan pulau seperti Batudaka, Togean, Talatakoh dan sebagian pulau Walea.
Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga
keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang
yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tidak
terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan
Togean (Anonim, 2007; CII-Togean Program, 2005).
Survey yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) di sekitar
Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove
yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan terbesar terjadi akibat penebangan
pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, konversi hutan mangrove
untuk perluasan pemukiman penduduk, usaha pertambakan, serta pengambilan kulit
bakau jenis Rhizophora (Ф 20-30 cm) untuk bahan pewarna jaring, akibatnya pohon yang
dikuliti lambat laun akan mati karena terganggunya suplai makanan dari akar menuju ke
daun (CII-Togean Program, 2005).
Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai
ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati
4
yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah
(serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun sekitar 75% dari setiap satu juta jenis
binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut
didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda/serangga (Biological Survey
of Canada, 1991 dalam Suhardjono dkk. 2000). Hexapoda tanah dapat mempercepat
proses perombakan bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu. Selain itu
berperan sebagai parasit, pemangsa dan pengendali penyakit tanaman terutama yang
disebabkan oleh jamur. Peranan tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia
tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lainnya. Oleh karena itu, peran
utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal
tanpa kehadirannya, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan
berjalan sangat lambat.
Mengingat pentingnya peranan Hexapoda tanah dan terbatasnya informasi
mengenai keberadaannya pada ekosistem mangrove, maka hal ini menjadi sangat
menarik dan bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh konversi hutan
mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah di sekitar kawasan TNKT. Hasil
kajian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk membantu melestarikan keanekaraga-
man hayati serta memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang
berwawasan lingkungan.
B. Kerangka Pemikiran
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) mempunyai keanekaragaman
flora dan fauna yang unik dan tinggi dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar
25.832 ha), terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang
berbukit-bukit, serta memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut mulai
dari hutan dataran rendah (low-land forest), pantai berbatu, hutan bakau (mangrove),
padang lamun (sea-grass bed) dan terumbu karang (coral reefs). Hal ini memberikan
korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan
dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat
berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (CII-Yayasan Pijak, 2001).
Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di TNKT umumnya
terjadi pada hutan mangrove. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi
5
HUTAN MANGROVE
(EKOSISTEM MANGROVE)
 Sangat berperan bagi kelestarian
kawasan pesisir & laut di TNKT
 Habitat ekosistem yang terus di
eksploitasi/kerusakan fisik di TNKT
FUNGSI EKOLOGIS
PERUBAHAN TERGANGGU PERUBAHAN
FAKTOR LINGK TANAH Dampak Terhadap Mata Rantai STRUKTUR/
(fisik & kimia tanah) Ekologis Hutan Mangrove VEGETASI
Sumber KEHATI
FAUNA TANAH
HEXAPODA
TANAH
C. Perumusan Masalah
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai sekitar
kawasan TNKT mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara berlebihan, antara lain hutan mangrove dengan cepat menjadi
semakin menipis dan rusak. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap
habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan
mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri
dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu
menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah
pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi
terbesar bagi pengrusakan mangrove.
Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan
kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Hilangnya mangrove dari
ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai
terganggu. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai
ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber
keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati
yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya
Hexapoda tanah. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga
kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di
sekitarnya. Menurut Poerwowidodo (1992) kelompok fauna tanah berperan penting
dalam perombakan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan
demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur
kehidupan dan pengendali aneka fenomena di dalam tanah. Dengan kata lain dilihat
dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam
mempertahankan dinamika dan keseimbangan ekosistem alam. Adanya konversi hutan
mangrove akibat aktifitas manusia menyebabkan perubahan fungsi pada ekosistem
mangrove, sehingga akan memberikan dampak terhadap keberadaan kelompok fauna
tanah terutama Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove.
Berdasarkan perumusan permasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang
digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah :
8
E. Hipotesis
a. Fungsi biologis
Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan
proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan
ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian
pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat
bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984;
Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan
keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang
sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting
ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk.,
1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang
diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk
hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai
tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan kerang-
kerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa
lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota.
b. Fungsi fisik
Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa,
1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang
pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari
hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai
(abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra
dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove
juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya.
Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang
berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur
dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam
Rahmawaty, 2000).
11
c. Fungsi ekonomis
Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat
pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan
bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978;
Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk.,
1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal
(capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan
kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan
dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang,
dan kemusnahan flora dan fauna).
sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp.,
dan Xylocarpus sp.
beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat
dikembangkan.
3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan
mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna
mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan
sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau
bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan
proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993).
4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.),
tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara bunga-
bunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung
juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain
(Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di
sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai
jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove.
(1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan
makannya, yaitu:
1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti
spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies
semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca.
2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar,
setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing
tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya
binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati
(xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous).
3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca
dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang
Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu
(contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera).
4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang
tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking,
Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca.
tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan
peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas
ekosistem alam.
Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan
sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai
karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan
dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi
atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai
perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis
besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang
besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian
materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses.
Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna
pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam
bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama
bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses
dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang
terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna
apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh
mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui
proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam
mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967).
iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam
Adianto, 1993).
Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu
menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung
daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi
(1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan
kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk
pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi
dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat
di permukaan tanah (Setiadi, 1989).
Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen.
Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke
bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah
dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa
jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan
organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah
hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga
dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982;
Foth, 1998).
C. Serangga (Hexapoda)
penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat
sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga
menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa
spesies lebah (Natawigena, 1990).
Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana
disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan,
maupun kehutanan.
2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu.
3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang
merupakan bahan baku bagi industri tekstil.
4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung.
5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme
lain yang telah mati.
6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo
Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera.
Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan
organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi
susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat
nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak
telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang
akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982).
Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting
dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini
disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk.
Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi
tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam
mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali
penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam
jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi
para predator hama pertanian, dalam hal ini Collembola berlaku sebagai pakan
21
D. Indeks Keanekaragaman
Berbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini
masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara
umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara
lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness
" (Bengen, 2000; Suin, 2003).
Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan
tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola.
Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar
adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang
rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera,
Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari
ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang
rusak.
22
keseluruhan mencapai 48 desa. Kecamatan Una-Una terdiri dari Pulau Una-Una dan
Batudaka dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Wakai (Batudaka). Kecamatan
Togean terdiri dari Pulau Togean dan beberapa pulau kecil dengan ibukota kecamatan
berkedudukan di Lebiti (Togean). Kecamatan Walea Kepulauan terdiri dari Pulau
Talatakoh, Malenge dan Waleakodi dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Popolii
(Waleakodi), sedangkan kecamatan Walea terdiri dari Pulau Waleabahi dan beberapa
pulau kecil lainnya dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Pasokan (Waleabahi)
(BPS, 2006; Anonim 2007).
Kepulauan Togean dan sekitarnya mempunyai dua musim yakni musim kemarau
dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Desember sampai Maret.
Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, kepulauan ini umumnya termasuk dalam
kawasan tipe E dan D (500-2000 mm/thn). Sumber mata air tersebar di daerah tertentu
seperti lembah, daerah pesisir dan sekitar tanaman bakau (BPS., 2006).
Kepulauan Togean merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang penting dari
”Segitiga Terumbu Karang” (Coral Triangle) yang merupakan area-area yang memiliki
keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia,
Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Micronesia. Terumbu karang di kepulauan ini
oleh Marine RAP (2001, dalam CII-Togean Program, 2005) dinyatakan sebagai “The
Heart of Coral Triangle”, kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu
karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang
letaknya berdekatan satu sama lain.
Kepulauan Togean memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya pada
ekosistem hutan mangrove. Survey oleh CI-Indonesia dan Yayasan Pijak (2001) meng-
identifikasi sekitar 33 spesies mangrove yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true
mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove) yang dikelompokan ke
dalam 26 genus dan 21 famili. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove yaitu
sekitar 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces
(10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20
genus) (CII-Togean Program, 2005).
Berdasarkan hasil klasifikasi citra, bahwa ekosistem mangrove tersebar hampir di
sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang
26
paling banyak memiliki ekosistem mangrove adalah sepanjang garis pantai P. Togean,
merupakan kawasan ekosistem mangrove yang terluas; pesisir timur P. Batudaka, yaitu pada
kawasan pesisir yang bersebelahan dengan P. Togean; dan pantai di sebelah selatan P.
Talatakoh yang bersebelahan dengan P. Togean. Sementara itu di pulau-pulau yang lain juga
terdapat ekosistem mangrove, namun dengan luasan yang relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan ketiga pulau tersebut. Secara spasial, luasan mangrove yang diestimasi dari hasil
klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007
menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari 5.322,837 ha turun menjadi
5.050,91 ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 271,93 ha (5,11
% dari luas pada tahun 2001) (Anonim, 2007).
Lokasi penelitian terletak di pulau Batudaka dan Togean. Kedua pulau ini
dipilih atas pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan gugusan pulau yang
terbesar dan memiliki garis pantai yang terpanjang di antara gugusan pulau lainnya di
kepulauan Togean. Lokasi pengumpulan spesimen yang dipilih adalah hutan mangrove
yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan
mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran,
tambak non tumpang-sari, dan lahan kosong. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan
27
4. Kebun Campuran
Kebun campuran merupakan kebun yang tumbuhannya terdiri dari berbagai jenis
tanaman, antara lain tanaman perkebunan. Daerah ini sebelumnya merupakan hutan
mangrove yang oleh masyarakat setempat dikonversi menjadi kebun campuran. Lokasi
28
kebun campuran ini salah satunya berada di pulau Batudaka, tepatnya di desa Taningkola.
Tanaman yang dominan ditemukan di kebun campuran ini adalah tanaman kelapa. Di
samping itu, ditemukan juga vegetasi berupa semak dan tumbuhan bawah sejenis rumput-
rumputan. Hal ini dimungkinkan karena tajuk pohon tidak menghalangi cahaya matahari
masuk ke lantai hutan, sehingga tumbuhan bawah bisa tumbuh. Banyaknya jenis tumbuhan
yang terdapat di kebun campuran, sehingga serasah di lokasi ini tergolong tebal.
6. Lahan Kosong
Lahan kosong yang terdapat di sekitar desa Baulu pulau Togean, sebelumnya
merupakan hutan mangrove. Vegetasi mangrovenya oleh penduduk setempat
dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Setelah vegetasi mangrovenya
dibabat untuk kepentingan komersial, kemudian lahan ini ditinggalkan tanpa
dilakukan penanaman kembali (revegetasi). Eksploitasi berlebihan oleh masyarakat
setempat menyebabkan kematian vegetasi mangrove secara alami, di lokasi ini
hanya ditumbuhi oleh tumbuhan bawah jenis kangkung pantai (Ipomoea pes-caprae)
dan paku cai (Acrostichum aureum L.). Kurangnya keberadaan rumput dan semak di
sekitar lokasi, menyebabkan serasah di lahan kosong ini tergolong agak tipis.
(kebun campuran, tambak non tumpangsari, lahan kosong). Indikator hutan mangrove
yang belum dikonversi adalah sebagai berikut :
1) hutan mangrove lebat, ditandai dengan kanopi yang rapat, serasah tebal, lantai
basah, sinar matahari sedikit mencapai lantai.
2) hutan mangrove sedang, ditandai dengan kanopi yang kurang rapat, serasah kurang
tebal (sedang), lantai basah, sinar matahari lebih banyak mencapai lantai.
3) hutan mangrove jarang, ditandai dengan proporsi kanopi yang lebih banyak terbuka,
serasah agak tipis sampai sedang, lantai kurang basah (agak kering).
5m 5m 5m 5m 5m
5m
5m
Pada setiap lokasi penelitian dibuat transek secara acak dari arah laut ke daratan,
berukuran 25 m x 10 m (Gambar 4) sebanyak dua transek sebagai unit contoh primer.
Selanjutnya pada setiap transek dibuat sub-transek sebagai plot pengamatan yang
berukuran 5 m x 5 m secara silang kiri-kanan poros transek sebagai unit contoh
sekunder (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000). Penempatan perangkap
sumuran (Pitfall traps) dan pengambilan contoh tanah pada plot/petak pengamatan
dilakukan secara terstrata (stratified sampling) dan masing-masing lokasi penelitian
diambil 5 satuan contoh secara sistematis.
(PCT). Pemilahan serangga tanah dari contoh tanah dilakukan dengan menggunakan
Corong Barlese. (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000; Suin, 2003).
Sketsa PFT
Gambar 6. Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi)
F. Analisis Data
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dihitung berbagai parameter di
bawah ini :
Ordo Nol : N0 = S
Ordo Satu : N1 = e H '
1
Ordo Dua : N2 =
λ
No merupakan jumlah suku yang terdapat di dalam sample. Nilai No ini
sama dengan nilai S. Untuk mengetahui nilai keanekaragaman Hill. dibutuhkan dua
indeks keanekaragaman lain. Indeks yang sering digunakan adalah indeks Shannon-
Wiener (H') dan indeks Simpson ( λ ). Indeks Shannon-Wiener (Odum, 1996) yang
dimaksud adalah :
S
H ' = − ∑ ( Pi ln Pi )
i =1
A. Hasil
Hasil pengukuran faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan
mangrove jarang serta kawasan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun
campuran, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi penelitian.
Hutan Mangrove Hutan Mangrove
Variabel belum dikonversi telah dikonversi
No.
yang diukur Mangrove Mangrove Mangrove Kebun Tambak Lahan
lebat sedang jarang campuran non T.sari kosong
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara serta suhu dan kelembaban tanah pada
masing-masing jenis penutupan lahan di ekosistem mangrove pada lokasi penelitian
menunjukkan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Suhu udara berkisar antara 29,11oC -
32,13oC sedangkan suhu tanah berkisar 26,83oC - 28,10oC, kelembaban udara berkisar antara
64,50% - 73,75% sedangkan kelembaban tanah berkisar 73,33% - 78,67%.
Analisis kandungan bahan organik tanah menunjukkan bahwa persentase
kandungan bahan organik tanah tertinggi diperoleh di daerah yang telah dikonversi
menjadi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove lebat, mangrove sedang,
mangrove jarang dan tambak non tumpangsari, sedangkan di lahan kosong kandungan
bahan organik tanahnya tergolong sangat rendah (< 2%), sesuai dengan kriteria kandungan
C-organik yang dikemukakan oleh Mustafa dkk., (1982).
Intensitas kemasaman suatu sistem tanah diperlihatkan oleh nilai pH-nya. Hasil
pengukuran di lapangan dan di laboratorium dari masing-masing jenis penutupan lahan di
ekosistem mangrove yang diteliti terlihat ada perbedaan nilai pH tanah (Tabel 2). Pada daerah
ekosistem mangrove belum dikonversi yang diteliti secara umum pH tanahnya tergolong sedikit
asam sampai netral, dimana pH lapangan berkisar antara 6,00 – 6,30; pH H2O dan pH KCl tanah
masing-masing 5,80 – 6,90 dan 5,70 – 6,70. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh
Arief (2007), bahwa nilai pH tanah pada kawasan-kawasan mangrove yang didominasi oleh
tegakan jenis Rhizophora spp. berkisar antara 4,6 – 6,5. Selanjutnya pada daerah ekosistem
mangrove yang telah dikonversi, secara umum pH tanahnya tergolong cukup asam sampai
netral, dimana pH lapangan berkisar antara 5,09 – 7,01; pH H2O dan pH KCl tanah masing-
masing 4,50 – 7,40 dan 3,80 – 7,00, dimana lahan kosong, tambak non tumpangsari dan kebun
campuran masing-masing termasuk kategori cukup asam, agak asam dan netral.
Pengukuran salinitas/DHL tanah menunjukkan bahwa hutan mangrove yang telah
dikonversi menjadi kebun campuran dan lahan kosong memiliki kadar salinitas tanah yang
rendah yaitu 2,65 dS/m dan 1,42 dS/m, sedangkan hutan mangrove sedang, mangrove
jarang dan tambak non tumpangsari kadar salinitas tanahnya sedang masing-masing 5,82
dS/m, 7,59 dS/m dan 7,55 dS/m. Adapun hutan mangrove lebat kadar salinitas tanahnya
tergolong agak tinggi yaitu sebesar 13,14 dS/m. Nilai salinitas/DHL yang tinggi
mengindikasikan bahwa pada hutan mangrove lebat mengandung banyak ion-ion garam
terlarut (Effendi, 2000).
38
Kandungan N-total tanah secara umum tergolong sedang sampai tinggi (0,35% -
0,62%), kecuali pada daerah yang telah dikonversi menjadi kebun campuran tergolong
sangat tinggi (1,35%), dan untuk lahan kosong kandungan N-totalnya tergolong sangat
rendah (0,35%). Sedangkan kandungan Ca-potensial tergolong agak tinggi terutama pada
lokasi kebun campuran (5
5.383 mg/100 g) dan hutan mangrove sedang (3542 mg/100g),
selanjutnya diikuti oleh hutan mangrove jarang (1.054 mg/100 g). Untuk lokasi hutan
mangrove lebat, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, kandungan Ca-potensialnya
tergolong rendah (masing-masing 664 mg/100 g, 412 mg/100 g, 41 mg/100 g).
Kandungan P-tersedia tanah diberbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem
mangrove yang diteliti cenderung sama, yaitu berkisar antara 12,8 ppm – 51,0 ppm. Data
yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan P-tersedia pada lokasi penelitian
cenderung rendah. Untuk kandungan K-tersedia terlihat ada perbedaan diberbagai jenis
penutupan lahan (Tabel 2), dimana pada hutan mangrove lebat, mangrove jarang dan tambak
kandungan K-tersedia agak tinggi (masing-masing 4.201 ppm; 1.506 ppm; 1.378 ppm),
sedangkan pada lahan kosong hanya sekitar 273 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan
hutan mangrove sedang (632 ppm) dan kebun campuran (427 ppm).
Kelas tekstur tanah pada setiap lokasi penelitian ditentukan dari perbandingan
relatif antara fraksi pasir, debu dan liat (yaitu partikel tanah yang Ф efektifnya ≤ 2 mm)
berdasarkan segitiga tekstur tanah (Balittanah Deptan, 2006). Pada hutan mangrove lebat
dan mangrove jarang memiliki kelas tekstur tanah lempung berdebu yang berarti
komposisi debu yang dominan, pada hutan mangrove sedang dan lahan kosong memiliki
tekstur tanah lempung berpasir dimana komposisi pasir yang dominan, pada lahan tambak
non tumpangsari memiliki tekstur tanah lempung berliat dimana komposisi debu sedikit
libih tinggi dibandingkan dengan pasir dan liat. Sedangkan pada kebun campuran
memiliki kelas tekstur tanah lempung liat berdebu yang berarti fraksi liat yang banyak
debunya.
Persentase kadar air tanah di hutan mangrove sedang dan lahan kosong tergolong
rendah dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya. Rendahnya angka ini berkaitan
dengan kelas tekstur tanah yang termasuk kategori kasar dan sedang yaitu tekstur lempung
berpasir. Adapun di kebun campuran persentase kadar air tanahnya tergolong tinggi
(82,40%), tingginya kadar air tanah tersebut ada kaitannya dengan tekstru tanah yang
termasuk dalam kelas lempung liat berdebu.
39
Hasil pengukuran terhadap bobot isi tanah (Bd) di kebun campuran dan lahan
kosong dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya mempunyai nilai terendah (0,17
g/cc), sebaliknya persentase ruang pori total tanah pada kedua lokasi tersebut nilainya
paling tinggi (88,40% dan 88,60%). Hal ini disebabkan karena kerapatan massa tanah
yang menurun, menyebabkan ruang pori bertambah sehingga volume berat tanah
berkurang (Balittanah Deptan, 2006).
A.2. Vegetasi
Hasil pengamatan terhadap vegetasi pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan
bahwa hutan mangrove yang belum dikonversi didominasi oleh jenis mangrove sejati dari genus
Rhizophora, Bruguiera, Lumnitzera dan Xylocarpus. Sedangkan di hutan mangrove yang telah
dikonversi tidak ditemukan lagi jenis mangrove sejati, tetapi masih bisa ditemukan jenis-jenis
mangrove ikutan seperti kangkung laut (Ipomoea pes-caprae.), seruni laut (Wedelia
biflora), Lantana camara, pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis). Selain itu ditemukan
juga tanaman pertanian dan perkebunan seperti kelapa, pisang, talas lompong dan jambu
biji serta tumbuhan sejenis rumput-rumputan.
Hasil pengamatan terhadap jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi penelitian
menunjukkan bahwa pada lokasi hutan mangrove lebat dan sedang didominasi oleh jenis
mangrove sejati dengan vegetasi yang tergolong sangat rimbun sampai rimbun, kecuali jenis
Bruguiera spp. dan Heritiera spp. tergolong jarang. Sedangkan di hutan mangrove jarang
ditemukan vegetasi mangrove sejati, mangrove ikutan yang kerapatannya tergolong jarang serta
tumbuhan sejenis rumput-rumputan dengan kerapatan yang rimbun. Adapun kawasan
ekosistem mangrove yang telah dikonversi, didominasi oleh jenis rumput-rumputan, tanaman
perkebunan dan pertanian (terutama di kebun campuran) serta jenis mangrove ikutan (terutama
di lahan kosong). Sedangkan di daerah tambak tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena
tambak tersebut merupakan tambak non tumpangsari, dimana yang tersisa hanya akar-akar dan
batang pohon bekas tebangan dari tumbuhan mangrove yang melapuk (Tabel 3).
40
A.3. Serasah
Kawasan hutan mangrove memiliki fenomena yang khas, yakni terjadinya guguran-
guguran daun, dan adanya endapan lumpur yang ditunjang oleh proses dekomposisi sisa-sisa
bagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang) (Arief, 2007). Serasah berasal dari
daun-daun dan ranting-ranting yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis
pohon mangrove tersebut, kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan
banyak ditutupi oleh serasah. Serasah merupakan salah satu penyusun bahan organik yang
semakin lama akan terakumulasi dan menjadi tebal. Serasah ini akan digunakan oleh Hexapoda
permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat hidup. Handayanto (1996) dalam Arief
(2007) mengemukakan bahwa dalam subsistem dekomposisi, organisme midle (mesofauna; di
antaranya Hexapoda tanah) berperan sebagai organisme perombak awal bahan tanaman, serasah
41
dan bahan organik lainnya. Organisme tersebut mengkonsumsi bahan-bahan organik tersebut
dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan
organik lain sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap didekomposisi oleh mikroba
tanah. Hasil pengukuran tebal serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove
tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem
mangrove di lokasi penelitian.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi ketebalan serasah baik pada hutan
mangrove yang telah dikonversi maupun yang belum dikonversi ketebalan serasahnya bervariasi
dari tebal sampai tipis. Pada kawasan yang telah dikonversi, ketebalan serasah (di kebun
campuran) diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan rumput-rumputan serta
adanya pencahayaan dari sinar matahari. Sedangkan pada daerah tambak, ditemukan ketebalan
serasah dengan kategori sedang, karena kondisi tambak sejak tahun 2003 (sejak panen perdana)
tidak lagi difungsikan (terbengkalai) sehingga sisa akar-akar dan batang pohon bekas tebangan
dari tumbuhan mangrove ditemukan melapuk disekitar tambak tersebut yang menghasilkan
serasah, walaupun daerah tersebut tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena merupakan
tambak non tumpangsari. Berkurangnya ketebalan serasah pada lahan kosong, karena daerah ini
lebih didominasi tanaman paku laut (Acrostichum aureum) dan batata pantai (Ipomoea pes-
caprae), sedangkan rumput-rumputan vegetasinya jarang (Tabel 3). Pada kawasan hutan
mangrove yang belum dikonversi, ketebalan serasah (di hutan mangrove lebat) diduga
berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati (Rhizophora spp.) yang tergolong
sangat rimbun sehingga lantai hutan cukup basah dan kelembaban udara cukup tinggi.
Sedangkan pada hutan mangrove jarang, ketebalan serasahnya bervariasi dari tipis sampai
42
sedang, kondisi ini berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati tergolong jarang
(Tabel 3) walaupun vegetasi rumput-rumputan agak rimbun tetapi hanya pada zona yang
ke arah daratan (lembah/perbukitan) dimana arus pasang surut semakin kecil/tidak ada.
Keanekaragaman Hexapoda tanah yang diperoleh terdiri dari kelas Collembola dan
Insecta. Kelas Collembola terdiri dari 4 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha,
Neelipleona dan Symphypleona (Jordana & Arbea, 1989), tetapi dalam penelitian ini
ditemukan 3 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha dan Symphypleona. Populasi
Hexapoda tanah paling banyak ditemukan dengan menggunakan metode pitfall trap/PFT (Tabel
5) dibandingkan dengan metode pengambilan contoh tanah/PCT (Tabel 6).
Berdasarkan data pada Tabel 5, menunjukkan bahwa Entomobryomorpha
(Entomobryidae) merupakan ordo yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada
setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Entomobryomorpha
merupakan salah satu ordo dari kelas Collembola yang jumlah individunya tinggi ditemukan di
kebun campuran, tambak non tumpangsari dan hutan mangrove lebat. Selanjutnya ordo
Symphypleona (kelas Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di tambak non
tumpangsari dan hutan mangrove lebat.
Dengan menggunakan metode PFT, ordo Entomobryomorpha dan Symphypleona
(kelas Collembola), serta ordo Orthoptera dan Hymenoptera (kelas Insecta) merupakan
Hexapoda tanah yang jumlah populasi individunya tinggi jika dibandingkan dengan ordo
lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di tambak non tumpangsari, kebun
campuran dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan mangrove sedang,
mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas Insecta yaitu ordo
Orthoptera, populasi individu yang tinggi ditemukan di hutan mangrove lebat, mangrove sedang
dan mangrove jarang, sedangkan ordo Hymenoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di
kebun campuran hutan, mangrove sedang dan mangrove jarang.
43
Tabel 5. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pitfall Trap (PFT).
Hutan Mangrove belum konversi Sub total Hutan Mangrove telah konversi Sub total Total
Nama Takson Mangrove Mangrove Mangrove Individu Kebun
Tambak
Lahan Individu Individu/
lebat sedang jarang campuran kosong Taksa
A. Kelas Collembola
A.1. Ordo Poduromorpha
1 Hypogastruridae 0 0 0 0 51 1 0 52 52
A.2. Ordo Entomobryomorpha
2 Entomobryidae 167 136 47 350 484 2 60 546 896
3 Isotomidae 13 0 0 13 16 307 0 323 336
Sub total 180 136 47 363 500 309 60 869 1.232
A.3. Ordo Symphypleona
4 Sminthuridae 211 10 57 278 47 351 60 458 736
Total Collembola 391 146 104 641 598 661 120 1.379 2.020
B. Kelas Insecta
B.1. Ordo Hymenoptera
5 Formicidae (1) 4 19 15 38 30 0 14 44 82
6 Formicidae (2) 2 4 5 11 11 0 3 14 25
Sub total 6 23 20 49 41 0 17 58 107
B.2. Ordo Coleoptera
7 Anthicidae 0 0 0 0 1 0 1 2 2
8 Nitidulidae 2 0 0 2 0 0 1 1 3
9 Ptiliidae 1 2 0 3 1 0 2 3 6
10 Scolitidae 4 0 0 4 1 0 0 1 5
11 Staphylinidae 2 1 0 3 2 0 1 3 6
Sub total 9 3 0 12 5 0 5 10 22
B.3. Ordo Orthoptera
12 Gryllidae 56 32 26 114 11 3 4 18 132
13 Gryllotalpidae 0 0 0 0 1 0 0 1 1
Sub total 56 32 26 114 12 3 4 19 133
B.4. Ordo Dictyoptera
14 Blattidae 3 2 1 6 1 0 0 1 7
B.5. Ordo Diptera
15 Culicidae 0 0 0 0 3 0 0 3 3
16 Drosophilidae 7 1 1 9 12 0 1 13 22
17 Dolichopodidae 0 0 0 0 3 0 0 3 3
18 Sciaridae 3 0 0 3 0 0 0 0 3
19 Simuliidae 1 1 0 2 0 0 0 0 2
20 Phoridae 6 5 2 13 16 0 2 18 31
Sub total 17 7 3 27 34 0 3 37 64
B.6. Ordo Homoptera
21 Delphacidae 1 0 2 3 5 0 0 5 8
B.7. Ordo Hemiptera
22 Gerridae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
23 Pentatomidae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
Sub total 0 0 0 0 4 0 0 4 4
B.8. Ordo Lepidoptera
24 Tineidae (moth) 0 1 0 1 0 0 1 1 2
B.9. Ordo Psocoptera
25 Liposcelidae 0 0 0 0 2 0 0 2 2
26 Nimfa 2 0 0 2 8 0 0 8 10
Sub total 2 0 0 2 10 0 0 10 12
Total Insecta 94 68 52 214 112 3 30 145 359
Total Hexapoda
(Collembola+Insecta) 485 214 156 855 710 664 150 1.524 2.379
44
0
71
750 Sp. Collembola
4
1
66
66
Sp. Insecta
8
Sp. total
59
600
Jumlah Hexapoda tanah
5
48
1
450
39
300
4
21
6
0
14
15
15
0
2
4
12
11
10
94
150
68
52
30
3
0
ML MS MJ KC Tb LK
Lokasi
Gambar 8. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall Trap
(PFT).
Keterangan : ML : Mangrove lebat
MS : Mangrove sedang
MJ : Mangrove jarang
KC : Kebun campuran
Tb : Tambak non tumpangsari
LK : Lahan kosong
Berdasarkan Gambar 8 di atas, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah paling banyak
terperangkap dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti tambak non tumpangsari dan hutan
mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku, kecuali pada tambak non
tumpangsari dengan jumlah ordo dan suku paling sedikit di antara lokasi penelitian lainnya
(Tabel 8). Dari Gambar 8 di atas juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode
PFT, jumlah individu kelas Collembola lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan individu
kelas Insecta pada hampir setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian.
45
Tabel 6. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem
mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT).
Tabel 7. Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) pada
enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang
Taksa/Suku
∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr %
Arthropleona
1 Entomobryidae 4 0,80 14,29 2 0,40 6,45 1 0,20 5,88
2 Hypogastruridae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
3 Isotomidae 3 0,60 10,71 1 0,20 3,23 1 0,20 5,88
Symphypleona
4 Sminthuridae 1 0,20 3,57 0 0,00 0,00 1 0,20 5,88
Hymenoptera
5 Formicidae (1) 3 0,60 10,71 1 0,20 3,23 2 0,40 11,76
6 Formicidae (2) 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Coleoptera
7 Eucnemidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
8 Nitidulidae 2 0,40 7,14 1 0,20 3,23 1 0,20 5,88
9 Ptiliidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
10 Scarabidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
11 Staphylinidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
Diptera
12 Culicidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
13 Dolichopodidae 1 0,20 3,57 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
14 Drosophilidae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
15 Sciaridae 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00
16 Phoridae 0 0,00 0,00 12 2,40 38,71 2 0,40 11,76
Homoptera
17 Delphacidae 0 0,00 0,00 1 0,20 3,23 0 0,00 0,00
Psocoptera
18 Liposcelidae 1 0,20 3,57 4 0,80 12,90 0 0,00 0,00
19 Nimfa 13 2,60 46,43 9 1,80 29,03 9 1,80 52,94
Jumlah 28 5,60 100,00 31 6,20 100,00 17 3,40 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 6 dan 7, menunjukkan bahwa Psocoptera merupakan ordo
yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada hampir setiap jenis komunitas
ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Psocoptera merupakan salah satu ordo dari kelas
Insecta yang jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, hutan mangrove lebat,
mangrove sedang dan mangrove jarang. Selanjutnya ordo Entomobryomorpha (kelas
Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, tambak non tumpangsari
dan mangrove lebat, sedangkan ordo Diptera memiliki jumlah individu tinggi pada lokasi
mangrove sedang, ordo Coleoptera pada lokasi kebun campuran dan lahan kosong.
Dengan metode PCT, ordo Entomobryomorpha (kelas Collembola), ordo Psocoptera
(kelas Insecta) merupakan Hexapoda tanah yang jumlah individunya tinggi jika dibandingkan
dengan ordo lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di kebun campuran,
tambak non tumpangsari, dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan
mangrove sedang, mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas
Insecta yaitu ordo Psocoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di kebun campuran,
hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang, sedangkan ordo Diptera
(Phoridae) populasi individu yang tinggi ditemukan di mangrove sedang.
Berdasarkan grafik batang pada Gambar 9, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah
paling banyak terkumpul dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove sedang
dan mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku (Tabel 7). Pada grafik batang
tersebut juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode PCT, kecenderungan jumlah
individu kelas Insecta lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan jumlah individu kelas
Collembola pada enam tipe komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian.
48
80 76
Sp. Collembola
Sp. Insecta
70
Sp. total
Jumlah Hexapoda tanah
60
50
43
40
33
31
28
28
30
21
20
17
15
14
20
13
12
9
8
10
3
3
2
0
ML MS MJ KC Tb LK
Gambar 9. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas
mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pengambilan
Contoh Tanah (PCT).
Keterangan : ML : Mangrove lebat
MS : Mangrove sedang
MJ : Mangrove jarang
KC : Kebun campuran
Tb : Tambak non tumpangsari
LK : Lahan kosong
Tabel 8. Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan Hexapoda tanah
pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Hill diperoleh nilai keanekaragaman
suku seperti yang terlihat pada Tabel 8. Hasil perhitungan N0, N1 dan N2 dengan menggunakan
indeks Shannon-Wienner dan indeks Simpson disajikan pada Lampiran 1,2,3,4.
Pada Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa dengan metode PFT, total jumlah suku
Hexapoda tanah (N0) yang diperoleh lebih tinggi dari pada metode PCT. Sedangkan total nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) Hexapoda tanah, dengan metode PFT
lebih rendah dari pada metode PCT. Dari enam tipe komunitas mangrove di lokasi
penelitian, dengan metode PFT jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi diperoleh pada
kebun campuran (22 suku), sedangkan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai
dominansi suku (N2) Hexapoda tanah tertinggi ditemukan di hutan mangrove jarang masing-
masing sebanyak 5 suku N1 dan 4 suku N2 yaitu suku Sminthuridae, Entomobryidae (kelas
Collembola) dan Gryllidae, Formicidae-1 (kelas Insecta). Adapun dengan metode PCT,
lokasi kebun campuran memperoleh jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi (11 suku),
demikian pula dengan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2)
Hexapoda tanah yang diperoleh tertinggi di antara enam tipe komunitas mangrove di lokasi
penelitian dengan nilai masing-masing sebanyak 7 suku N1 dan 6 suku N2 yaitu suku
Hypogastruridae, Isotomidae, Sminthuridae (kelas Collembola) dan nimfa Liposcelidae,
Nitidulidae, Phoridae (kelas Insecta).
Tabel 9. Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada enam tipe
komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Tabel 10. Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi
(N2) Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Tipe komunitas
Metode N1 N2 Suku/famili N1 Suku/famili N2 ∑ ind.
mangrove
1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 211
Mangrove lebat 4,314 3,114
PFT 2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 167
3 Gryllidae 3 Gryllidae 56
4 Isotomidae 13
1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 136
Mangrove sedang 3,597 2,300
2 Gryllidae 2 Gryllidae 32
3 Formicidae (1) 19
4 Sminthuridae 10
1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 57
Mangrove jarang 4,664 3,876
2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 47
3 Gryllidae 3 Gryllidae 26
4 Formicidae (1) 4 Formicidae (1) 15
5 Formicidae (2) 5
1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 484
Kebun campuran 3,962 2,095
2 Hypogastruridae 2 Hypogastruridae 51
3 Sminthuridae 47
4 Formicidae (1) 30
Tambak non 1 Sminthuridae 1 Sminthuridae 351
tumpangsari 2,107 2,031
2 Isotomidae 2 Isotomidae 307
4,102 3,068 1 Entomobryidae 1 Entomobryidae 60
Lahan Kosong
2 Sminthuridae 2 Sminthuridae 60
3 Formicidae (1) 3 Formicidae (1) 14
4 Gryllidae 4
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 13
Mangrove lebat 5,251 4,154
PCT 2 Entomobryidae 2 Entomobryidae 4
3 Isotomidae 3 Isotomidae 3
4 Formicidae (1) 4 Formicidae (1) 3
5 Nitidulidae 2
1 Phoridae 1 Phoridae 12
Mangrove sedang 5,006 4,266
2 Nimfa Liposcelidae 2 Nimfa Liposcelidae 9
3 Liposcelidae 3 Liposcelidae 4
4 Entomobryidae 4 Entomobryidae 2
5 Formicidae (1) 1
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 9
Mangrove jarang 4,513 3,579
2 Phoridae 2 Phoridae 2
3 Formicidae (1) 3 Formicidae (1) 2
4 Isotomidae 4 Isotomidae 1
5 Entomobryidae 1
1 Nimfa Liposcelidae 1 Nimfa Liposcelidae 26
Kebun campuran 7,126 5,734
2 Hypogastruridae 2 Hypogastruridae 11
3 Isotomidae 3 Isotomidae 10
4 Sminthuridae 4 Sminthuridae 9
5 Nitidulidae 5 Nitidulidae 8
6 Phoridae 6 Phoridae 3
7 Entomobryidae 3
1 Isotomidae 1 Isotomidae 9
Tambak non 5,742 5,000
2 Phoridae 2 Phoridae 3
tumpangsari
3 Nitidulidae 3 Nitidulidae 2
4 Nimfa Liposcelidae 4 Nimfa Liposcelidae 2
5 Scarabidae 5 Scarabidae 2
6 Drosophilidae 1
1 Nitidulidae 1 Nitidulidae 7
Lahan kosong 4,037 4,038
2 Formicidae (1) 2 Formicidae (1) 3
3 Isotomidae 3 Isotomidae 2
4 Liposcelidae 4 Liposcelidae 2
51
Tabel 11. Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada
enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian.
Hutan Mangrove telah
Hutan Mangrove belum konversi
Peran dalam konversi
lingkungan Mangrove Mangrove Mangrove Kebun
Tambak
Lahan
lebat sedang jarang campuran kosong
Metode PFT
1 Fitofagus (Ft) 5 1 2 10 0 1
2 Perombak (Pr) 419 175 123 669 661 141
3 Pemangsa (Pm) 61 38 31 31 3 8
4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0
Jumlah 485 214 156 710 664 150
Metode PCT
1 Fitofagus (Ft) 0 1 0 0 0 0
2 Perombak (Pr) 27 30 17 74 20 14
3 Pemangsa (Pm) 1 0 0 2 1 1
4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0
Jumlah 28 31 17 76 21 15
Pada metode PFT, terlihat bahwa jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai
perombak memiliki jumlah yang terbesar, kemudian diikuti oleh kelompok pemangsa yang
menempati setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian. Selanjutnya urutan ketiga adalah
kelompok fitofagus, kecuali lokasi Tambak non tumpangsari kelompok ini tidak ditemukan.
Sedangkan kelompok pemarasit tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian (Tabel 11).
Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT jumlah suku Hexapoda tanah yang
berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar pada setiap komunitas mangrove di lokasi
penelitian, setelah itu kelompok pemangsa (pada lokasi hutan mangrove lebat, kebun campuran,
tambak, lahan kosong) dan kelompok fitofagus hanya pada hutan mangrove sedang. Sedangkan
kelompok pemarasit sama sekali tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian, seperti pada
metode PFT (Tabel 11).
52
B. Pembahasan
Hexapoda yang ditangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan
tanah (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985). Pernyataan ini sesuai dengan data dari
hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan mangrove yang belum dikonversi maupun
yang telah dikonversi. Total jumlah individu Hexapoda tanah yang diperoleh dengan
metode PFT cenderung lebih tinggi (2.379 individu) daripada dengan metode PCT (188
individu) (Tabel 5 dan 6; Gambar 8 dan 9).
Perbedaan ini diduga berhubungan dengan metode pengumpulan sampel
Hexapoda tanah yang digunakan. Pada metode PCT, volume sampel tanah yang diambil
dibatasi pada ukuran petak (10 x 10) cm dan ketebalan antara 6-8 cm, dengan sekali
pengambilan (waktu terbatas). Sedangkan dengan metode PFT, pengumpulan sampel
Hexapoda tanah lebih terbuka dengan waktu yang relatif lama (selama 22 jam) sehingga
hasil yang diperoleh lebih banyak dibanding metode PCT. Dugaan lain, berkaitan dengan
kondisi iklim di lokasi pengambilan sampel yang tergolong kering (waktu pencuplikan
bulan Mei - Juni). Pada permukaan tanah yang kering menyebabkan fauna tanah lebih
cenderung bermigrasi ke lapisan yang lebih dalam, atau mungkin berada dalam tahap
pradewasa (telur dan pupa) atau sebaliknya bentuk dewasa yang aktif terbang, sehingga
tidak dapat terpilah oleh Corong Barlese. Setiadi (1989) mengemukakan bahwa kegiatan
organisme tanah dipengaruhi oleh musim dan ke dalaman tanah. Kegiatan organisme tanah
terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, sebaliknya menurun pada musim panas dan
dingin. Di samping itu, sebagian besar dari anggota Hexapoda yang tertangkap dengan
metode PFT adalah yang hidup berkeliaran di atas permukaan tanah, yang masuk
perangkap secara tidak sengaja kemungkinan karena terangsang oleh bau alkohol,
karena alkohol merupakan zat yang cukup baik sebagai daya tarik banyak suku dari
Hexapoda (Collembola dan Insecta) (Suhardjono, 1997).
Takson yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan hampir di setiap
jenis penutupan lahan adalah Collembola, kemudian Hymenoptera (Formicidae), dan
Orthoptera (Tabel 5). Ditemukannya takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan
lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik
setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah
individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Sesuai dengan
pernyataan Wallwork (1976) besarnya populasi Collembola, Hymenoptera (semut) dan
Acarina (tungau) mencapai 80% dari populasi Arthropoda yang ada, merupakan ciri khas
54
hutan tropik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Suhardjono (1985;
1997), Rahmawaty dkk. (2000) dan Rohyani (2001). Kemudian Russell (1988) dalam
Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda tanah yang
paling melimpah baik jumlah maupun keanekaragamannya serta memiliki agihan yang luas.
Selanjutnya Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola
merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah, selain itu Collembola menyukai
habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta
bagian tumbuhan lainnya.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485
individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat
(Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang
paling melimpah/nilai dominansi (N2) tertinggi ada di hutan mangrove jarang (Tabel
9). Tingginya dominansi jumlah individu dan ordo Hexapoda tanah pada hutan mangrove
lebat diduga berkaitan dengan kerapatan pohon mangrove. Menurut Arief (2007) keadaan
kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan fauna tanah/Hexapoda tanah,
karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupannya. Tegakan dan tajuk
pohon mampu berperan sebagai penghalang langsung dari sinar matahari atau menjadi
naungan bagi Hexapoda tanah. Di sisi lain, sinar matahari juga merupakan tunjangan
kehidupan bagi pohon dalam hal proses fotosintesis.
Hexapoda yang banyak ditemukan di hutan mangrove sedang dan mangrove
jarang selain Collembola adalah Orthoptera (Gryllidae) dan Hymenoptera (Formicidae)
(Tabel 5). Tingginya jumlah kedua ordo ini (terutama formicidae) diduga karena pada
hutan mangrove sedang dan jarang, kondisi tegakan pohon mangrove sejati semakin
jarang akibat aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan pohon mangrove antara
lain untuk kebutuhan kayu bakar dan pewarnaan jaring, sehingga memungkinkan lebih
banyak sinar matahari yang mencapai lantai hutan. Dugaan ini diperkuat oleh Suwondo
(2002) bahwa Formicidae lebih menyukai tempat yang terbuka, karena Formicidae
umumnya bertindak sebagai pemangsa kelompok serangga lainnya. Selanjutnya
Adisoemarto (1974) dalam Suhardjono (1985) menyatakan bahwa selain makanan,
Orthoptera juga membutuhkan ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya.
Sedangkan keberadaan Hymenoptera di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan
bahan makanan, kelembaban tanah, pencahayan dan sarang yang dibangun (Wallwork,
55
1970). Di samping itu, terdapatnya jenis mangrove ikutan (Paku laut A. aureum) dan
rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong sedang, merupakan sumber makanan
dan tempat yang paling disukai kedua ordo tersebut. Dugaan ini diperkuat Borror et al.
(1996), bahwa Orthoptera merupakan Hexapoda tanah yang sering ditemukan di
berbagai habitat, terutama daerah kering dan berumput. Selain itu, Orthoptera
merupakan kelompok Hexapoda yang suka memakan bagian tumbuhan segar.
Tumbuhan yang di makan adalah rumput dan gulma (Suhardjono, 1985).
Tingginya nilai NO (jumlah suku Hexapoda tanah) dan perolehan jumlah individu
pada hutan mangrove lebat dibandingkan dengan hutan mangrove yang belum dikonversi
lainnya diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan
organik tanah (C-organik). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran
daun, ranting dan cabang yang juga disebut serasah/litter (Foth, 1998). Serasah ini
akan digunakan oleh Hexapoda permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat
hidup, karena umumnya serasah adalah daerah yang kaya akan sumber makanan, jadi
semakin tebal serasah semakin banyak bahan makanan yang dapat diolah untuk
menghasilkan garam-garam mineral dari proses metabolisme Hexapoda tanah
(Suhardjono, 1987; Situmorang, 1999).
Pada lokasi penelitian hutan mangrove yang telah dikonversi perolehan total
jumlah individu (710 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di
kebun campuran (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah
tertinggi di lahan kosong dan kebun campuran, selanjutnya jumlah suku yang paling
melimpah tertinggi di lahan kosong (Tabel 9). Keadaan ini menggambarkan bahwa
daerah yang telah dikonversi dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi
keberadaan Hexapoda tanah. Di setiap daerah yang telah dikonversi memiliki
keunggulan tersendiri yang memungkinkan kehadiran takson tertentu, sehingga
mengakibatkan adanya fauna tanah yang khas.
Kebun campuran memiliki jumlah individu, jumlah ordo dan suku Hexapoda
tanah tertinggi (yaitu 710 individu, 11 ordo dan 22 suku), keadaan ini diduga karena
pada lokasi tersebut ditemukan jenis tumbuhan yang cukup beragam dibandingkan
lokasi penelitian lainnya. Tumbuhan yang beragam ini dimungkinkan karena salinitas
pada lokasi tersebut tergolong rendah yang ditunjang dengan kandungan bahan organik
(C-organik) yang tergolong tinggi (Tabel 2). Salinitas tanah mempunyai peranan
56
penting, Sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan kelulusan hidup
tanaman (MacNae, 1968 dalam Arief, 2007).
Collembola (Entomobryidae, Sminthuridae dan Isotomidae) merupakan salah satu
takson Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun
campuran dan tambak (Tabel 5). Kondisi ini diduga berkaitan dengan tebalnya serasah
pada kedua lokasi tersebut. Serasah dapat berasal dari dari daun-daun dan ranting-ranting
yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis pohon mangrove tersebut,
kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan banyak ditutupi oleh
serasah. Suhardjono (1985) menyatakan bahwa daerah yang banyak sumber makanan
dan merupakan tempat tinggal serangga tanah adalah serasah. Faktor lain yang diduga
berpengaruh adalah kandungan bahan organik (C-organik), dan berdasarkan hasil
analisis (Tabel 2) bahwa kriteria kandungan C-organik pada kedua lokasi tersebut
tergolong tinggi (kisaran 10 – 30%) (Mustafa dkk., 1982). Sumber bahan organik di
lantai hutan berasal dari serasah. Bahan organik juga tersusun dari unsur Nitrogen,
Kalium, dan Calsium. Serangga tanah hidupnya sangat tergantung pada tersedianya bahan
organik berupa serasah atau lainnya di atas permukaan tanah (Suhardjono dkk., 1997).
Hymenoptera (Formicidae) merupakan salah satu ordo Hexapoda yang jumlah
individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah
individu ini karena pada habitat tersebut ditemukan adanya sarang semut sebagai tempat
hidup dan berkembang biak. Formicidae merupakan salah satu famili dari ordo
Hymenoptera yang keberadaannya terdapat di mana-mana dan jumlahnya melebihi
kebanyakan binatang darat lainnya (Borror and Delong, 1989 dalam Situmorang, 1999).
Hal lain yang juga turut mempengaruhi kelimpahan Hymenoptera pada lokasi tersebut
adalah adanya jenis rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong tebal yang
merupakan sumber bahan makanan dan tempat yang paling disukai oleh kelompok ini.
Kenyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Adianto (1993),
kepadatan individu Hymenoptera lebih banyak di petak percobaan dengan perlakuan
rumput.
Diptera dan Orthopthera (Gryllidae) merupakan dua ordo Hexapoda tanah yang
jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya
jumlah individu dari ordo Diptera pada kebun campuran diduga karena vegetasi
tumbuhan bawah (ground cover) pada kebun campuran cukup banyak ditemukan gulma
57
berdaun lebar di antaranya talas lompong (Colocasia sp.), seruni laut (W. biflora), dan
tembelekan (L. camara), dengan laju pertumbuhan vegetatif yang tergolong tinggi,
mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk. Bagian tumbuhan
yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera
sebagai makanan dan tempat bertelur (Borror et al., 1996). Gryllidae (Orthoptera)
merupakan kelompok jengkrik, selama pengamatan di lapangan terlihat giat memakan
bagian tumbuhan sedangkan lainnya memakan serangga lain (pemangsa). Hasil ini
diperkuat oleh Suhardjono (1985), kelompok jengkrik (Gryllidae) merupakan serangga
pemakan bagian tumbuhan segar, sedangkan jenis lainnya sebagai pemakan bangkai
serangga lain. Tumbuhan yang dimakan ialah rumput atau gulma lainnya yang banyak
terdapat di kebun campuran. Selain itu jangkrik mampu hidup pada berbagai kondisi
baik basah maupun kering dan aktif pada malam hari, serta mempunyai kemampuan
bergerak dan melompat yang baik. Orthoptera (Gryllidae) dan Diptera selain makanan
membutuhkan pula ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya
(Adisoemarto, 1974 dalam Suhardjono, 1985), Kebun campuran selain banyak
ditumbuhi rumput-rumputan dan gulma juga memiliki ruang terbuka sehingga lantai
hutannya banyak ditembus sinar matahari.
organisme yang mempunyai kelimpahan cukup besar di habitat tanah dan penyebarannya
relatif luas. Selain itu, diduga juga berkaitan dengan cara hidup kedua takson tersebut
yang biasanya berkelompok, mempunyai kemampuan adaptasi dan dapat menciptakan
lingkungan hidup sendiri. Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyatakan bahwa
Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah. Selain itu
Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan
daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (Gambar 8) di
hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31 individu). Sedangkan jumlah
ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi
suku Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang (Tabel 9).
Tingginya populasi Hexapoda tanah di hutan mangrove sedang, berkaitan dengan
tingginya jumlah populasi Psocoptera dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6) yang ditemukan
di lokasi tersebut. Kondisi ini diduga terjadi karena kemampuan kedua ordo tersebut untuk
beradaptasi di berbagai habitat. Jumlah yang besar dari kedua ordo ini merupakan
suatu bukti keberhasilannya, sebagai sebuah kelompok yang mampu beradaptasi
terhadap habitatnya (Prasetyo, 1999). Selain itu diduga berkaitan erat dengan tabiat
tinggalnya di dalam tanah, yaitu baik individu Psocoptera (nimfa dan Liposcelidae)
maupun Phoridae (Diptera) tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya
menetap di dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya
dapat ditemukan di dalam tanah dan kelompok ini merupakan kelompok Arthropoda
tanah yang sebenarnya (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997).
Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah di
kebun campuran (76 individu) menempati urutan tertinggi (Gambar 8), demikian
pula halnya dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai
kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi keseluruhannya ditemukan
di kebun campuran. Selanjutnya di lokasi ini ditemukan jumlah populasi Collembola,
Psocoptera dan Coleoptera (Tabel 6) yang lebih tinggi dibanding dengan lokasi
penelitian lainnya. Tingginya jumlah populasi ketiga takson ini diduga berkaitan dengan
ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut.
Kelimpahan Collembola bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan
lapisan serasah (Takeda, 1979 dalam Suhardjono, 1992). Lapisan tanah yang jumlah
59
individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan
humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber
pakan (Suhardjono, 1992). Pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap kelimpahan
Collembola tanah, seperti pencangkulan yang merupakan proses pembalikan lapisan
tanah dinilai menguntungkan Collembola (Hazra dan Choudhuri, 1983 dalam
Suhardjono, 2007).
Pada lahan tambak, kelompok Hexapoda tanah yang populasinya paling tinggi
adalah Collembola (Isotomidae) dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6). Isotomidae merupakan
suku Collembola tanah yang ukurannya cukup besar dan mudah dijumpai baik dipermuka-
an lantai hutan maupun di tanah (Suhardjono dkk., 1997), sedangkan Phoridae
merupakan suku Diptera yang dominan ditemukan dalam bentuk stadium dewasa dan
menyukai lokasi yang banyak berbau busuk (bau bangkai). Tingginya populasi kedua
takson tersebut di tambak dimungkinkan karena keadaan lokasi yang basah dan lembab
serta tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Dugaan ini diperkuat oleh
Adianto (1993), bahwa kebanyakan dari kelompok Diptera membutuhkan lingkungan
yang basah dan lembab karena makanannya adalah materi tumbuhan yang telah hancur,
fauna/serangga yang telah mati, jamur kayu, fases, dan telur Hexapoda. Alasan lain yang
dapat dikemukakan adalah berkaitan dengan ketebalan serasah dan ditemukannya
sampah-sampah kayu yang melapuk di lokasi tambak tersebut. Alasan ini diperkuat oleh
pernyataan Allison (1973) dalam Adianto (1993), bahwa serasah dan sampah-sampah
merupakan bahan pelindung untuk sejumlah fauna tertentu, terutama untuk kelompok
Arthropoda tanah yang sebagian besar menghabiskan hidupnya di dalam tanah.
Suhardjono (1985) menambahkan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan
merupakan tempat tinggal Hexapoda tanah adalah serasah/litter.
78,8% di mangrove jarang. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi,
persentase jumlah perombak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pada hutan
mangrove yang belum dikonversi yaitu sebesar 94,2% di kebun campuran, 99,5% di
tambak, dan 94,0% di lahan kosong (Gambar 10). Hasil yang diperoleh sesuai dengan
yang dilaporkan Mercianto dkk. (1990); Suhardjono (1997; 1998); Rahmawaty dkk.
(2000). Itulah sebabnya Hexapoda tanah pada umumnya dikenal sebagai perombak bahan
organik yang sangat berperan di dalam perputaran daur hara walaupun peranannya tidak
dapat langsung dirasakan oleh manusia tetapi melalui jasa biota lainnya. Sebagai
perombak bahan organik, serangga (Hexapoda tanah) bersama jasad renik lainnya
memanfaatkan sisa-sisa organisme yang telah mati dan mengubahnya menjadi humus.
Di dalam humus tersebut terkandung nutrisi yang kemudian sangat berguna bagi
kelangsungan hidup tumbuhan.
Pr Pr Pr
Ft Ft
Pp Pm Pp Pm 81,8% Ft Pp Pm 78,8%
1,0% 86,4%
0,0% 12,6% 0,5%
0,0% 17,8% 1,3% 0,0% 19,9%
Ft Ft Pr Ft
Pr Pr
1,4% Pp Pm 0,0% Pm 99,5%
94,2% 0,7% Pp Pm 94,0%
0,0% Pp 0,5%
4,4%
0,0% 0,0% 5,3%
Gambar 10. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PFT.
Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda tanah yang
berperan sebagai perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641
individu), masing-masing di mangrove lebat (391), mangrove sedang (146) dan mangrove
jarang (104). Selanjutnya adalah ordo Hymenoptera/Formicidae (38 individu) dan Diptera
(25 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 4 dan 16 individu di mangrove
61
fitofagus (11 individu) sebagian besar dari ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4),
sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera masing-masing 1 individu. Pada
kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove
yang belum dikonversi.
Ft Ft
Ft Pr Pr Pr
Pp 3,2% Pm 0,0% Pm
0,0% Pm 96,4% Pp 96,8% Pp 100,0%
0,0% 0,0% 0,0%
3,6% 0,0% 0,0%
Ft Pr Ft Ft Pr
Pr
0,0% Pm Pm 0,0% Pm
Pp 97,4% 0,0% Pp 95,2% Pp 93,3%
2,6% 4,8% 6,7%
0,0% 0,0% 0,0%
Gambar 11. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran
dalam lingkungan dengan metode PCT.
Pada komunitas hutan mangrove yang belum dikonversi (Lampiran 3), kelompok
Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh
ordo Psocoptera (36 individu), yaitu di mangrove lebat (14), mangrove sedang (13) dan
mangrove jarang (9). Selanjutnya diikuti Collembola (14 individu) dan Diptera (14
63
ditemukan di hampir semua habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung
terhadap kehadiran Collembola tanah. Meskipun demikian perbedaan komposisi vegetasi
berakibat nyata pada komposisi populasi Collembola. Selain itu terdapat perbedaan
jumlah individu dari kedua metode yang digunakan. Dengan menggunakan metode PFT,
jumlah suku dan individu Hexapoda tanah yang diperoleh lebih banyak daripada
metode PCT. Lebih beragamnya jumlah suku menunjukkan pula bahwa metode PFT
lebih baik dibandingkan dengan metode PCT seperti yang telah diteliti sebelumnya
(Suhardjono, 1985; Rahmawaty dkk., 2000).
Berdasarkan klasifikasi kelompok peran takson/suku Hexapoda tanah yang
diperoleh, baik yang aktif di permukaan tanah maupun yang hidup di dalam tanah, maka
tidak satupun individu yang ditemukan dari kelompok pemarasit pada keenam tipe
penutupan lahan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena lingkungan/habitat dari lantai
hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut, tidak sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan dari kelompok pemarasit tersebut (Suhardjono,
komunikasi pribadi). Selanjutnya dijelaskan bahwa kelompok pemarasit (terutama
Hymenoptera) lebih dominan ditemukan pada bagian canopi (di atas tanah) dengan habitat
tertutup (creek) dari ekosistem mangrove.
Metode pencuplikan contoh tanah (PCT) menggambarkan Hexapoda tanah yang
ada di dalam tanah, sedangkan metode PFT tanah menggambarkan Hexapoda tanah yang
ada di permukaan tanah. Serangga-serangga tanah tersebut berperan penting dalam
mempertahankan dinamika suatu ekosistem di alam, salah satunya adalah sebagai
perombak bahan organik. Menurut Setiadi (1989), bahan organik yang tersedia akan
dihancurkan dan diuraikan oleh serangga/Hexapoda tanah serta disintesa kemudian
dilepas kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuhan.
Suhardjono dan Adisoemarto (1997) mengemukakan bahwa peran Arthropoda/Hexapoda
tanah bersifat tidak langsung dalam lingkungan karena tidak dapat langsung dilihat dan
dinikmati. Peran tersebut tercermin dari aktifitas Hexapoda tanah memakan bahan organik
yang dapat berupa serasah, kayu lapuk, dan kotoran. Bahan yang dimakan adalah bahan
buangan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh makhluk lainnya. Di dalam tubuhnya
bahan organik tersebut dicerna untuk kemudian dikeluarkan lagi sudah dalam bentuk bahan
terurai yang dapat memperkaya unsur-unsur hara tanah. Unsur hara tanah bermanfaat untuk
hidup dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhan sendiri berguna untuk makhluk
65
hidup lainnya. Dalam hal ini Hexapoda tanah lebih banyak berperan dalam transfer energi
dibandingkan kontribusinya terhadap nutrisi dan pengaliran mineral (Suhardjono dkk.,
2000).
kelimpahan Hexapoda baik yang menggunakan metode PFT maupun PCT, hasilnya
hampir sama dengan yang diperoleh Rohyani (2001), perbedaannya terutama terletak
pada komponen porositas tanah dan bahan organik, dari hasil penelitian (Table 12)
porositas tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda yang aktif di dalam tanah.
Sedangkan kandungan bahan organik tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah
baik yang aktif dipermukaan maupun di dalam tanah.
Secara keseluruhan dari hasil analisis korelasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik
(C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di
permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang meliputi suhu dan kelembaban tanah,
porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah lebih berpengaruh
pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik).
67
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1993. Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, dan Insektisida. Biologi
Pertanian. Penerbit Alumni. Bandung: 194 pp.
Anonim. 2007. Profil Sumberdaya Pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Kerjasama antara Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah & Taman
Nasional Laut Kepulauan Togean: 105 pp. (belum dipublikasikan).
Anwar, I., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Anthony. 1984. Ekologi Ekosistem
Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: 653 pp.
Arief, A. 2007. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta:
47 pp.
Balittanah Deptan, 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: 282 pp.
Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya
Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Bogor : 86 pp.
Borror, D.J., C.A. Triplehort, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta : 1083 pp.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Kebupaten Tojo Una-Una dalam Angka; Kepulauan
Togean. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una.
Brown, A.L. 1980. Ecology of Soil Organism. Heinemann Educational Books: 116 pp.
Buckman, H.O., and N.C. Brady, 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bharata
Karya Aksara. Jakarta: 788 pp.
Burges and Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. New York: 729 pp.
Choudhuri, D.K. and S. Roy. 1972. An Ecological Study on Collembola of West Bengal
(India). Rec. Zool. Surv. India. 66 (1-4): 81-101.
CII-Togean Program. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah
Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean-Sulawesi Tengah. Conservation
International Indonesia (CII) - Togean Program, Sulawesi Tengah, Palu.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Cetakan I. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta: 301 pp.
Daly, H.V. 1978. Introduction to Insect Biology and Diversity. McGraw-Hill
Kagakusha Ltd.: 564 pp.
Diana, E., Widarjanto, dan R. Ahmad. 1994. Lahan Mangrove untuk Pembangunan
Transmigrasi. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 266 - 271.
70
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan)
Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta (Terjemahan Purbayanti dkk.): 782 pp.
Genisa, A.S. 1994. Komunitas Ikan di Daerah Mangrove Muara Sungai Musi
Banyuasin, Palembang. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 168-174.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 23(1): 15-21.
Haq dan Ramani. 1998. Population Ecology of Microarthropods in Relation to
Vegetation and Rainfall. In Veeresh, G.K. (ed). 1988. Advances in Management
and Conservation of Soil Fauna. Oxford and IBH Pub. Co., New Delhi: 797-803
Hardi, T., dan I. Anggraeni. 1997. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Serangga
yang Bijaksana. Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian: "Penerapan Hasil
Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk Mendukung Pengelolaan SDA
Hayati dan Ekosistemnya". Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam: 245 - 248.
[Harian Berita Sore]. 2007. 70 Persen Hutan Mangrove Di Indonesia Rusak. 25 Juni
2007, Pontianak. http://beritasore.com/2007/06/25/70-persen-hutan-mangrove-di-
indonesia-rusak/. Dikunjungi 27 Oktober 2007.
Hole, F. D. 1981. Effect of Animal on Soil. Geoderma. 25: 75-112.
Hutchings, P., dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangroves. University of Queensland
Press. Australia: 369 pp.
Jordana, R., and Arbea, J.I. 1989. Clave de identificación de los géneros de
Colémbolos de Espańa (Insecta: Collembola). Publicaciones de Biología de
la Universidad de Nevarra-Pamplona Serie Zoologica, 19: 1-16 + 16 lám.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.M. Tantra. 1979. Status
Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove.
Jakarta, Pebruari 1978: 21-39.
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. MacMillan Publishing Company. New York: 531
pp.
Komar, Y., S. Miura, R. Terui, S. Hamada, dan F. Rahim. 1994. Pengaruh Naungan
Terhadap Pertumbuhan Benih Mangrove di Persemaian. Prosiding Seminar V
Ekosistem Mangrove: 140 -142.
Lilies, C. 1997. Kunci Determinasi Serangga. Cetakan ke-6. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta: 223 pp.
Ludwig, J.A. dan J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A Primer Methods and
Computing. John Wiley and Sons Inc. New York : 337 pp.
Magurran, A.E. 1988. Egological Diversity and Its Measurements. Croom Helm
Limited. London: 493 pp.
71
Mani, M. S. 1982. General Entomology. 3rd ed. Oxford and IBH Publishing Co. New
Delhi: 912 pp.
Mercianto, Y. 1995. Studi Keanekaragaman Serangga Tanah pada Tiga Habitat Tegakan
Dipterocarpaceae yang Berbeda di Kebun Percobaan Haurbentes, Jasinga, Jawa
Barat. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA-IPB. 36 pp.
Mercianto, Y., Y. R. Suhardjono, dan D. Duryadi. 1997. Perbandingan Populasi
Serangga Tanah Pada Tiga Komposisi Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding
Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI, Vol. 2. Perhimpunan
Biologi Indonesia cabang Jakarta, Depok, hal. 85-90.
Mustafa M., R. Dhanio, dan H. Zubair. 1982. Sifat Fisik dan Kimia Tanah di Bawah
Tegakan Mangrove. Buletin Penelitian Lingkungan dan Pembangunan 2(2): 97
– 118.
Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Orba Sakti Bandung. Bandung: 200 pp.
Neal, E.G., and K.R.C. Neal. 1983. Biology for Today. Bland Food Press. London, UK:
298 pp.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta: 459 pp.
Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi Ketiga). Terjemahan Tjahjono
Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 697 pp.
Partosoedjono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. Bogor: 101 pp.
Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya: 344
pp.
Poerwowidodo dan N.F. Haneda. 1992. Studi Keanekaragaman Jasad Tanah di Bawah
Aneka Macam Penutupan Lahan. Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, Bogor 29
Oktober 1998. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Lembaga Penelitian
IPB. Bogor : 10 pp.
Prasetyo, E. 1999. Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Kelimpahan dan keragaman
Famili Serangga pada Areal Tanaman Acacia mangium (Studi Kasus PT. Pakerin,
Sumatera Selatan). Jurusan Management Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor: 14 – 38.
Rahmawaty, C. Kusmana, dan Y.R. Suhardjono. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah
dan Perannya pada Komunitas Rhizhophora spp. dan Ceriops tagal di Hutan
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara. Prosiding Simposium
Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung
16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: 61-67.
Rohyani, I.M. 2001. Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan
Lahan Mangrove (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat). Tesis
Program Studi PSL. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor : 57 pp.
Romoser, W.S. and J.G. Stoffolano. 1998. The Science of Entomology. 4th Edition. Mc.
Graw-Hill. Boston: 605 pp.
72
Suin, N. M. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara Jakarta bekerja sama dengan
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, ITB Bandung: 189 pp.
Sukardjo, S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana. 4: 102 - 115.
Sumarhani. 1994. Rehabilitasi Hutan Mangrove Terdegradasi dengan Sistem
Perhutanan Sosial. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 110-116.
Suwondo. 2002. Komposisi dan Keanekaragaman Mikroarthropoda Tanah Sebagai
Bioindikator Karakteristik Biologi Pada Tanah Gambut.http://www.unri.ac.id/
jurnal/jurnal_natur/vol4(2)/suwondo.pdf. Dikunjungi 26 April 2006.
Szujecki. A. 1987. Ecology of Forest Insect. PWN - Polish Scientific Publishers.
Warszawa: 352 pp.
[The Mangrove Information Center]. 2006. http://www.mangrovecentre.or.id/Profile/
ttgmangrove.htm. Dikunjungi 22 Mei 2006.
Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc. Graw-Hill. London: 283 pp.
Wallwork, J.A. 1976. The Distribution a Diversity of Soil Fauna. Academy Press, San
Francisco: 355 pp.
[Wetlands International]. 2007. Jakarta Hancur Bila Menggrove Lenyap. 20 Juli 2007,
Jakarta. http://www.antara.co.id/arc/2007/7/20/wetlands-international--jakarta-
hancur-bila-menggrove-lenyap/. Dikunjungi 27 Oktober 2007.
Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 792 pp.
Wibawa, M.S., A. Luthfi, and A. Sutardi. 1994. Dimensi Ekonomi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 150 -154.
Widatra, I.G.M., dan S. Hamada. 1994. Uji Coba Penanaman Pohon Mangrove di
Gili Petangan. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 86 - 93.
74
LAMPIRAN
75
76
77
78
79
Lampiran 5. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter
faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat.
PFT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb
khe bo n tot pH salin pori suhu
bo 0.694
0.026
n tot 0.574 0.511
0.083 0.131
pH -0.712 -0.417 -0.732
0.021 0.231 0.016
salin 0.653 0.394 0.296 -0.601
0.040 0.260 0.407 0.066
pori 0.602 0.779 0.297 -0.337 0.515
0.066 0.008 0.404 0.342 0.128
suhu -0.924 -0.738 -0.478 0.665 -0.787 -0.610
0.000 0.015 0.162 0.036 0.007 0.061
kelemb 0.882 0.628 0.414 -0.656 0.739 0.446 -0.937
0.001 0.052 0.235 0.039 0.015 0.196 0.000
Cell Contents: Pearson correlation
P-Value
PCT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb
khe bo n tot pH salin pori suhu
bo 0.835
0.003
n tot 0.687 0.598
0.028 0.068
pH -0.716 -0.688 -0.549
0.020 0.028 0.100
salin -0.473 -0.278 -0.572 0.116
0.168 0.437 0.084 0.750
pori 0.666 0.581 0.624 -0.702 -0.130
0.036 0.078 0.054 0.024 0.721
suhu -0.717 -0.837 -0.732 0.728 0.142 -0.521
0.020 0.003 0.016 0.017 0.696 0.123
kelemb 0.686 0.820 0.561 -0.758 -0.009 0.535 -0.908
0.029 0.004 0.092 0.011 0.981 0.111 0.000
Cell Contents: Pearson correlation
P-Value
80
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Poduromorpha
Superfamily Hypogastruroidea
Family Hypogastruridae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Entomobryomorpha
Superfamily Entomobryoidea
Family Entomobryidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Entomobryomorpha
Superfamily Isotomoidea
Family Isotomidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Collembola
Order Symphypleona
Superfamily -
Family Sminthuridae
Peran : Perombak
81
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Hymenoptera
Superfamily Vespoidea
Family Formicidae
Peran : Perombak & Pemangsa
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Psocoptera
Superfamily -
Family Liposcelidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Orthoptera
Superfamily -
Family Gryllidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Phoridae
Peran : Perombak
82
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Drosophilidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Cucujoidea
Family Nitidulidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Staphylinoidea
Family Staphylinidae
Peran : Pemangsa
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Homoptera
Superfamily Fulgoroidea
Family Delphacidae
Peran : Fitofagus
83
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily -
Family Scolitidae
Peran : Fitofagus
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Dictyoptera
Superfamily -
Family Blattidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Sciaridae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily -
Family Culicidae
Peran : Pemangsa
84
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Staphylinoidea
Family Ptiliidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Tenebrionoidea
Family Anthicidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Coleoptera
Superfamily Elateroidea
Family Eucnemidae
Peran : Perombak
Keterangan :
Kingdom Animalia (Animals)
Phylum Arthropoda (Arthropods)
Superclass Hexapoda (Hexapods)
Class Insecta
Order Diptera
Superfamily Empidoidea
Family Dolichopodidae
Peran : Pemangsa
85