You are on page 1of 10

ASPIRATOR, 8(1), 2016, pp.

37-46
Hak cipta ©2016 - Loka Litbang P2B2 Ciamis

PENELITIAN | RESEARCH

Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam


Berdarah Dengue Melalui Metode Pelaporan
Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KDRS) di Kota
Tasikmalaya

The Development of Dengue Active Surveillance Model through Hospital’s Early Warning
Report Methods in Tasikmalaya

Aryo Ginanjar1, Arda Dinata1, Rohmansyah Wahyu Nurindra1


1LokaLitbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jl. Raya Pangandaran KM.03 Ds.
Babakan Kp. Kamurang, Pangandaran 53415, Jawa Barat, Indonesia

Abstract. Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a health problem that difficult to handle in Indonesia
including in Tasikmalaya City as one of DHF endemic city in West Java Province. However, the case reports
from Hospital are usually delayed and incomplete. This research aims is to develop an active DHF
surveillance model to increase the quality of Hospital’s early warning reports in Tasikmalaya City. This is a
quantitative research using quasi experiment design and applies a design of pretest-intervention-posttest in
a specific group. Qualitative approach is added to gain deeper information. Respondents of this research are
11 persons consist of 8 surveillance officers from 7 hospitals in Tasikmalaya City and 3 DHF program officers
from Tasikmalaya City Heatlh Office. Interview and observation are conducted to measure knowledge and
attitude of support facility’s officer also to measure the quality of hospital’s DHF early warning report.
Intervention done as Workshop and Brief Training to determine which report model is most suitable to
apply. Post-intervention monitoring was conducted in 3 months and all the research aspects are re-
measured. The result shows that there are enhancements in all of the research aspects. The respondent’s
knowledge level is increase from “less category” in pre-intervention to “enough-category” in post-
intervention, attitude level is also increase from “enough category” to “well category”.The support facility
are increasing as well from “less category” to “enough category” and the application of report system model
is able to increase the quality of hospital’s early warning report from “less category” to “enough category”.
The application of the Active Surveillance Model which developed by this research is able to increase the
quality of Hospital’s early warning report, therefore if the model can be applied continuously, it expected to
support more effective and efficient DHF handling effort in community.

Keyword: Dengue hemorrhagic fever, Model Development, Surveillance, Tasikmalaya.

Abstrak. Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan yang sulit ditangani di Indonesia,
tidak terkecuali di Provinsi Jawa Barat terutama di Kota Tasikmalaya sebagai salah satu daerah endemis.
Pelaporan kasus di rumah sakit seringkali terlambat dan kurang lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan model surveilans aktif DBD untuk meningkatkan kualitas pelaporan Kewaspadaan Dini
Rumah Sakit di Kota Tasikmalaya. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan design
eksperimen semu dan rancangan pretest, intervensi dan postest dalam satu kelompok. Pendekatan
kualitatif ditambahkan untuk menggali informasi secara lebih mendalam. Responden berjumlah 11 orang
yaitu 8 orang petugas surveilans dari 7 RSU di Kota Tasikmalaya dan 3 orang pengelola program DBD
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Wawancara dan observasi dilakukan untuk mengukur pengetahuan
dan sikap petugas, sarana penunjang serta kualitas laporan KDRS DBD. Intervensi berupa Lokakarya dan
Pelatihan Singkat untuk menentukan model pelaporan yang paling tepat untuk diterapkan. Monitoring

1
Korespondensi: ginanjar88@gmail.com | Telp :0265 639375

37
Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam Berdarah Dengue... (Ginanjar et al)

pasca intervensi dilakukan selama 3 bulan dan diukur kembali seluruh aspek yang diteliti. Hasilnya
terjadi peningkatan pada seluruh aspek yang diukur. Pengetahuan responden meningkat dari “kategori
kurang” saat pra intervensi menjadi “kategori baik” saat post intervensi dan aspek sikap dari “kategori
cukup” menjadi “baik”. Sarana penunjang mengalami peningkatan dari “kategori kurang” menjadi
“cukup”, dan model yang telah diterapkan mampu meningkatkan kualitas KDRS dari “kategori kurang”
menjadi “kategori cukup”. Penerapan Model Surveilans Aktif yang dikembangkan dalam penelitian ini
telah mampu meningkatkan Kualitas Laporan KDRS sehingga apabila model ini dapat digunakan secara
berkesinambungan, diharapkan dapat mendukung upaya penanganan penyakit DBD di masyarakat
secara lebih efektif dan efisien.
Kata Kunci : Demam Berdarah Dengue, Pengembangan Model, Surveilans, Tasikmalaya.

Naskah masuk: 8 Desember 2015 | Revisi: 14 April 2016 | Layak terbit: 14 Juni 2016

LATAR BELAKANG rumah sakit3. Berdasarkan data dari Dinas


Kesehatan Kota Tasikmalaya, pelaporan kasus
Demam berdarah dengue (DBD) adalah salah DBD melalui laporan Kewaspadaan Dini Rumah
satu penyakit menular yang merupakan masalah Sakit belum dilakukan dengan optimal. Dari 7
kesehatan masyarakat dan menimbulkan rumah sakit umum yang seharusnya melakukan
dampak sosial maupun ekonomi. Berbagai surveilans aktif DBD melalui KDRS, belum ada
penelitian mengenai faktor risiko terhadap satupun rumah sakit yang melaksanakan dengan
kejadian DBD telah dilakukan oleh banyak cukup baik, karena masih ditemukan
peneliti. Walaupun demikian, pada umumnya keterlambatan dan ketidaklengkapan dalam
kajian menunjukkan bahwa pengendalian DBD penyampain laporan KDRS, bahkan beberapa
perlu dilakukan secara komprehensif dari rumah sakit seringkali tidak melakukan
berbagai aspek baik medis maupun sosial, pelaporan sehingga Dinas Kesehatan Kota
dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun Tasikmalaya harus mendatangi rumah sakit yang
pemberdayaan masyarakat1. bersangkutan untuk mendapatkan data4. Oleh
Salah satu provinsi di Indonesia yang masih sebab itu perlu dikembangkan sebuah model
endemis DBD adalah Jawa Barat. Pada tahun surveilans aktif yang dapat meningkatkan
2012 Jawa Barat menduduki jumlah kasus baru kualitas pelaporan kewaspadaan dini rumah
DBD tertinggi di Indonesia yaitu 19.663 kasus. sakit terhadap kasus penyakit DBD.
Untuk jumlah kasus meninggal, Jawa Barat juga
berada pada peringkat pertama pada tahun 2012 BAHAN DAN METODE
yaitu 167 kasus. Dari 26 kabupaten/kota di Jawa
Barat dari tahun 2010 sampai dengan tahun Penelitian ini merupakan penelitian
2012 selalu ditemukan kasus baru DBD di kuantitatif dengan design eksperimen semu dan
seluruh kabupaten setiap tahunnya. Kota rancangan pre-test, intervensi dan pos-test dalam
Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten satu kelompok. Pendekatan kualitatif
/kota di Provinsi Jawa Barat yang masih endemis ditambahkan untuk menggali informasi secara
DBD. Masih tingginya angka Insidence Rate di lebih mendalam. Responden berjumlah 11 orang
Kota Tasikmalaya yaitu mencapai angka 129,44, yaitu 8 orang petugas surveilans dari 7 rumah
serta tingginya angka kematian yaitu sebanyak 3 sakit umum di Kota Tasikmalaya dan 3 orang
kasus pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 6 pengelola program DBD Dinas Kesehatan Kota
kasus pada tahun 2014 (dari bulan Januari – Tasikmalaya. Wawancara dilakukan untuk
September)2 menunjukan masih perlunya upaya mengukur pengetahuan petugas, sikap petugas,
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan sarana penunjang serta kualitas laporan KDRS
manajemen tata laksana penderita di sarana DBD dan ditambahkan dengan observasi untuk
pelayanan kesehatan. mengamati kondisi sarana penunjang dan
Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit kualitas laporan KDRS DBD yang dijalankan.
(KDRS) DBD adalah laporan segera (1x24 jam Hasil pengukuran terhadap empat aspek tersebut
setelah penegakan diagnosis) tentang adanya terbagi menjadi 3 kategori yaitu baik apabila
penderita Demam Dengue (DD), DBD, Dengue hasil skor 80-100, kategori cukup dengan skor
Shock Syndrom (DSS), termasuk tersangka DBD, 60-79,99 dan kategori kurang dengan skor 0-
agar segera dilakukan tindakan yang dibutuhkan. 59,99.
Laporan KDRS harus lengkap, akurat dan Intervensi berupa Lokakarya dan Pelatihan
dikirimkan tepat waktu. KDRS dibuat oleh Singkat digunakan untuk menentukan model
petugas rekam medis atau petugas surveilans pelaporan yang paling tepat untuk diterapkan.

38
ASPIRATOR, 8(1), 2016, pp. 37-46
Hak cipta ©2016 - Loka Litbang P2B2 Ciamis

Dalam tahap intervensi berupa Lokakarya dan diskusi dan kesepakatan komitmen pelaksanaan
Pelatihan singkat pembuatan laporan KDRS DBD, surveilans aktif melalui laporan KDRS DBD.
disampaikan beberapa materi kepada responden Petugas surveilans juga diberikan motivasi agar
untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap dapat membuat laporan KDRS DBD dengan tepat,
petugas. Materi yang disampaikan diantaranya lengkap dan cepat (1 x 24 jam setelah
adalah pengetahuan mengenai DBD termasuk penegakkan diagnosa). Model surveilans aktif
gejala klinis dan diagnosisnya, surveilans aktif DBD yang disepakati dan diterapkan adalah
dan laporan KDRS DBD, simulasi pembuatan seperti pada gambar 1.
laporan KDRS DBD yang tepat dan cepat serta

Penemuan Pasien DBD

Informasi segera

Petugas Surveilans RS

Pengumpulan Interpretasi data Input Data Pelaporan KDRS


Data Pasien (IGD, pasien (rekam medis) KDRS DBD DBD (lengkap dan
Rawat Inap, akurat)
rekam medis)
Laporan KDRS dikirim 1x 24 jam
ke email jaringan

diakses

Dinkes Kota Tasikmalaya

Penanganan cepat
Tindak lanjut segera dan tepat Puskesmas

Penyelidikan Epidemiologi

Gambar 1. Model Surveilans Aktif DBD yang dikembangkan di Kota Tasikmalaya

Monitoring pasca intervensi dilakukan selama HASIL


3 bulan. Dalam tahap post intervensi diukur
kembali pengetahuan dan sikap dari para Tahap pra intervensi dilakukan untuk
petugas surveilans untuk melihat apakah ada mengetahui hasil pengukuran awal dari
peningkatan sebelum dan sesudah dilakukan pengetahuan dan sikap petugas, sarana
intervensi. Pada aspek kualitas KDRS, penunjang serta kualitas KDRS di rumah sakit.
pengukuran dilakukan dengan membandingkan Hasil pengukuran menunjukkan bahwa sebelum
laporan KDRS yang telah dikirimkan selama 3 dilakukan intervensi, untuk aspek sarana
bulan post intervensi dengan dokumen rekam penunjang dan kualitas KDRS masih kurang. Pada
medis pasien di rumah sakit, dengan tujuan aspek sikap berdasarkan skor rata-rata
untuk mengkonfirmasi data-data yang menunjukkan kategori yang baik dan aspek
dilaporkan di laporan KDRS dengan dokumen pengetahuan masih dalam kategori yang cukup.
rekam medis pasien sehingga dapat dilihat dan
diukur indikator kelengkapan, keakuratan dan
ketepatan waktu dari pelaporan KDRS DBD
setiap rumah sakit.

39
Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam Berdarah Dengue... (Ginanjar et al)

Setelah dilakukan intervensi, terdapat kualitas KDRS. Hasil pengukuran pada setiap
peningkatan pada seluruh aspek yang diukur aspek mengalami peningkatan kategori. Hasil
yaitu pengetahuan, sikap, sarana penunjang dan pengukuran secara lengkap dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan hasil pengukuran pre dan post intervensi


Skor
No Rspdn Pengetahuan Sikap Sarana Penunjang Kualitas KDRS
Pre Post Pre Post Pre Post Pre Post
intervensi intervensi intervensi intervensi intervensi intervensi intervensi intervensi

1 DKK 1 80 90 90 90 21 85,71 19,69 74,23

2 DKK 2 40 90 60 90 21 85,71 19,69 74,23


3 DKK 3 90 100 100 100 21 85,71 19,69 74,23

4 RSU 1a 40 70 90 80 21 55,55 10 71,11

5 RSU 1b 30 80 40 80 21 55,55 10 71,11


6 RSU 2 60 90 90 90 54 77,77 67,8 91,04
7 RSU 3 40 90 60 80 25 77,77 10 90,62
8 RSU 4 50 80 90 80 32 55,55 10 77,25
9 RSU 5 20 80 40 70 15 77,77 10 68,12

10 RSU 6 60 60 70 90 21 55,55 10 65,25


11 RSU 7 60 60 70 80 32 77,77 10 56,25
Rata-rata
51,82 80,91 72,73 84,55 25,82 71,86 17,90 73,95
Skor
Selisih
29,09 11,82 46,04 56,05
rata2 Skor
Keterangan : Skor 80-100; hitam (baik), Skor 60-79,99;Kuning (cukup), Skor 0-59,99Merah (kurang)

Berdasarkan rata-rata skor, seluruh aspek Kualitas laporan KDRS sebagai aspek yang
yang diukur mengalami peningkatan kategori. paling penting, diukur berdasarkan tiga indikator
Aspek pengetahuan mengalami peningkatan dari yaitu kelengkapan data, keakuratan pengisian
kategori kurang menjadi kategori baik, aspek data dan ketepatan waktu penyampaian laporan.
sikap dari kategori cukup menjadi kategori baik, Meskipun hasil post intervensi masih
aspek sarana penunjang dari kategori kurang menunjukkan kategori cukup dengan skor 73,95,
menjadi cukup serta aspek kualitas KDRS dari namun kualitas laporan KDRS ini merupakan
kategori kurang menjadi baik. Dengan aspek dengan peningkatan yang paling tinggi
membandingkan hasil pengukuran sebelum dan setelah dilakukan intervensi, dengan melihat
sesudah dilakukan intervensi, kepada seluruh selisih rata-rata skor yang paling besar bila
aspek yang diukur, diketahui bahwa selisih rata- dibandingkan dengan selisih rata-rata skor aspek
rata tiap aspek adalah >10% sehingga secara lainnya. Hasil pengukuran kualitas laporan KDRS
substansi perbedaan perubahan setiap aspek DBD berdasarkan dari indikator kelengkapan,
sebelum dan setelah dilakukan intervensi sudah keakuratan dan ketepatan waktu dapat dilihat
dapat terlihat dan bermakna. pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Indikator Kualitas laporan KDRS DBD


Hasil Pengukuran
No Indikator Kualitas KDRS
Pra Intervensi Post Intervensi
1 Kelengkapan 17.4 75.55
2 Keakuratan 22.38 75.49
3 Ketepatan waktu 13.91 70.82

Rata-rata skor 17.90 73.95

40
ASPIRATOR, 8(1), 2016, pp. 37-46
Hak cipta ©2016 - Loka Litbang P2B2 Ciamis

merupakan nilai rata-rata skor tertinggi


dibandingkan dengan nilai rata-rata skor pada
PEMBAHASAN aspek lainnya. Meskipun rata-rata skor
keseluruhan dari aspek sikap responden
Pengetahuan dan Sikap mengalami peningkatan, ada beberapa
Penelitian ini melakukan intervensi terhadap responden yang tidak mengalami peningkatan
pengetahuan dan sikap responden agar skor sikap. Menurut penelitian Resmiati (2009)6,
mengalami peningkatan yang akan mendukung peningkatan sikap dipengaruhi kepercayaan atau
dalam keberhasilan upaya pengembangan keyakinan terhadap suatu objek, sedangkan
surveilans aktif DBD melalui laporan KDRS. kepercayaan atau keyakinan tersebut
Aspek pengetahuan mengalami peningkatan membutuhkan proses dan waktu untuk dapat
kategori dari kategori yang kurang pada saat diterapkan. Kaitannya dengan hasil penelitian ini
pengukuran pra intervensi yaitu dengan nilai bahwa beberapa responden belum mengalami
rata-rata skor sebesar 51,82 menjadi kategori peningkatan aspek sikap dapat dipahami bahwa
yang baik setelah diukur pada tahap post beberapa responden tersebut membutuhkan
intervensi dengan nilai rata-rata skor sebesar proses dan waktu yang lebih lama untuk dapat
80,91. Proses intervensi pengetahuan dalam meningkatkan sikapnya, sehingga stimulasi dan
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian monitoring perlu dilakukan secara
Andarmoyo (2013), yaitu proses tersebut berkesinambungan.
mengikuti tahapan alami dari proses Proses intervensi sikap terhadap beberapa
pengetahuan yaitu tahu (know), memahami responden yang mengalami peningkatan aspek
(comprehension), aplikasi (application), analisis sikap dalam penelitian ini bila dikaitkan dengan
(analysis), sintesis (synthesis) dan evaluasi tahapan sikap dalam taksonomi Bloom dalam
(evaluation)5. Dalam tahap tahu, responden yaitu Murtadho (2013)7, sebagai berikut:
petugas surveilans terlebih dahulu diberikan a. Menerima
materi mengenai tata laksana surveilans aktif Tahap sikap menerima adalah kepekaan
DBD melalui laporan KDRS DBD.Kemudian tahap seseorang dalam menerima rangsangan
memahami dan aplikasi, responden dan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya
fasilitator berdiskusi untuk menyamakan dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-
persepsi dan memantapkan pemahaman dari lain. Dalam penelitian ini, responden sebagai
para responden. Dalam proses aplikasi, peserta lokakarya dan pelatihan KDRS DBD
responden dengan dipandu fasilitator melakukan diberikan pengertian mengenai pentingnya
simulasi pembuatan laporan KDRS DBD hingga laporan KDRS DBD untuk mendukung kegiatan
seluruh responden memiliki kemampuan untuk surveilans aktif. Kegiatan lokakarya dalam
membuat laporan tersebut. penelitian ini menimbulkan kemauan dan
Proses analisis dan sintesis dilalui oleh para komitmen dari responden untuk melaksanakan
responden pada saat responden berlatih surveilans aktif.
membuat laporan. Responden diberikan contoh b. Menanggapi
soal yang berisikan data-data dari pasien DBD Tahap sikap menanggapi adalah kemampuan
yang dirawat di suatu rumah sakit. Responden yang dimiliki oleh seseorang untuk
melakukan analisis dan mengkaji data-data yang mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam
disajikan untuk dapat identifikasi data-data yang fenomena tertentudan membuat reaksi
diperlukan untuk dimasukkan dalam laporan. terhadapnya salah satu cara. Dalam penelitian
Proses ini akan memantapkan pengetahuan ini, tahap menanggapi telah dilakukan oleh
responden agar dapat membuat laporan KDRS responden, hal tersebut dapat dilihat dari
dengan lengkap dan akurat. Evaluasi dari terlaksananya surveilans aktif, laporan KDRS
pengetahuan responden dilakukan dengan telah dikirimkan secara rutin oleh responden
melakukan post test dengan instrumen sehingga kualitas laporan KDRS-pun meningkat.
/kuesioner yang sama dengan pre test yang c. Menilai
sebelumnya sudah dilaksanakan. Dari proses Tahap sikap menilai adalah memberikan nilai
evaluasi ini diketahui bahwa pengetahuan atau memberikan penghargaan terhadap suatu
responden mengalami peningkatan setelah kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu
dilakukan intervensi. tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa
Peningkatan paling kecil adalah pada aspek kerugian atau penyesalan. Bila dikaitkan dengan
sikap responden yaitu dengan selisih rata-rata hasil penelitian ini, proses menilai memang tidak
skor sebesar 11,82. Hal tersebut dikarenakan dapat tergambar secara langsung dari para
nilai skor rata-rata dari aspek sikap responden responden, namun berdasarkan wawancara
yang diukur pada saat tahap studi pra intervensi mendalam kepada seluruh responden
sudah masuk dalam kategori yang cukup dan menyatakan bahwa laporan KDRS adalah penting

41
Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam Berdarah Dengue... (Ginanjar et al)

dan sangat diperlukan untuk mendukung arsip laporan KDRS dan petunjuk teknis
surveilans aktif DBD. Hal tersebut menunjukan pelaksanaan kegiatan. Untuk sarana penunjang
sikap dari responden yang telah mampu menilai lain seperti meja kerja petugas surveilans dan
pentingnya laporan KDRS DBD. komputer yang khusus digunakan untuk
d. Mengelola. membuat laporan KDRS DBD akan diadakan
Tahap sikap mengelola adalah secara bertahap menyesuaikan anggaran atau
mempertemukan perbedaan nilai sehingga pengadaan dari masing-masing unit pelaksana.
terbentuk nilai baru yang universal, yang Dalam penyelenggaraan surveilans aktif DBD,
membawa pada perbaikan umum. Dalam sarana penunjang merupakan salah satu unsur
penelitian ini, responden telah mampu yang penting dalam mendukung upaya tersebut.
melaksanakan proses mengelola sehingga Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116
pelaporan KDRS dapat dijalankan dengan tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
berkesinambungan. Hal tersebut membuat Surveilans Epidemiologi Kesehatan, peran setiap
surveilans aktif dapat berjalan sebagaimana unit pelaksana surveilans tidak dapat dijalankan
mestinya. Sebelum dilakukan intervensi, laporan dengan optimal tanpa dukungan sarana
DBD dilakukan secara rekapitulasi dalam periode penunjang yang memadai. Dalam pedoman
waktu tertentu (tiap bulan), namun setelah tersebut dijabarkan mengenai sarana apa saja
dilakukan intervensi, laporan dilakukan setiap yang sebaiknya dipenuhi terutama dalam hal ini
ada kasus melalui laporan KDRS DBD. Hal adalah di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
tersebut menjadikan informasi yang diterima Rumah Sakit Umum sebagai penyelenggara
dinas kesehatan menjadi lebih up to date surveilans di tingkat kabupaten/kota, yaitu
sehingga penanganan kasus di masyarakat sebagai berikut:
menjadi lebih cepat dan tepat. a. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
e. Menghayati. sarana penunjang yang harus dipenuhi adalah
Tahap sikap menghayati adalah keterpaduan jaringan elektromedia, alat komunikasi (telepon,
semua sistem nilai yangtelah dimiliki oleh faksimili, dan telekomunikasi lainnya), komputer
seseorang, yang memengaruhi pola kepribadian dan perlengkapannya, referensi surveilans
dantingkah lakunya. Di sini proses internalisasi epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan,
nilai telah menempati tempat tertinggi dalam pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi
suatu hirarki nilai. Nilai tersebut telah tertanam dan program aplikasi computer, formulir
secarakonsisten pada sistemnya dan telah perekaman data surveilans epidemiologi sesuai
memengaruhi kebiasaannya.Proses menghayati dengan pedoman, peralatan pelaksanaan
dalam penelitian ini belum dapat ditentukan, surveilans dan sarana transportasi.
karena proses ini baru dapat dilihat setelah b. Rumah Sakit Umum, sarana penunjang
pengembangan model surveilan aktif ini terus yang harus dipenuhi adalah komputer dan
dilakukan secara berkesinambungan dan perlengkapannya, komunikasi (telepon, faksimili
memberikan manfaat dalam cakupan yang lebih dan SSB), referensi surveilans epidemiologi,
luas. penelitian dan kajian kesehatan, pedoman
pelaksnaan surveilans epidemiologi dan program
Sarana Penunjang aplikasi computer, formulir perekaman data
Pengadaan sarana penunjang di beberapa surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman,
unit pelaksana memang belum optimal, peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi di
berdasarkan hasil observasi dan wawancara Rumah Sakit dan sarana transportasi3.
lebih mendalam, disebabkan karena pengadaan
sarana penunjang tersebut terkait dengan Selain sarana penunjang yang disebutkan
kebijakan dan anggaran dari tiap unit pelaksana dalam Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
sehingga dapat dimaklumi untuk aspek sarana No. 1116 tersebut, dalam penelitian ini dikaji
penunjang membutuhkan waktu yang lebih lama pula penunjang lainnya yang dapat memperkuat
untuk dapat optimal bila dibandingkan dengan penyelenggaraan surveilans di unit pelaksana
aspek lainnya. Namun demikian secara yaitu seperti dokumen SOP (Standar Operasional
keseluruhan sarana penunjang mengalami Prosedur) atau Petunjuk Teknis
peningkatan di setiap unit pelaksana setelah Penyelenggaraan Surveilans, Surat Keputusan
dilakukan upaya intervensi, karena pada saat dari Pejabat berwenang mengenai
dilakukan lokakarya, setiap unit pelaksana Penyelenggaraan Surveilans dan fasilitas lainnya
didorong untuk segera melengkapi dan yang dibutuhkan3.
mengadakan sarana penunjang agar kegiatan
dapat terlaksana dengan baik. Sarana penunjang Kualitas Laporan KDRS DBD
yang telah disediakan pada saat pengukuran post Peningkatan paling signifikan dari setiap
intervensi diantaranya ketersediaan form KDRS, aspek yang diukur bila dilihat dari selisih rata-

42
ASPIRATOR, 8(1), 2016, pp. 37-46
Hak cipta ©2016 - Loka Litbang P2B2 Ciamis

rata skor terbesar adalah pada aspek kualitas kewaspadaan dini penyakit yang berpotensi
KDRS dengan selisih rata-rata skor sebesar wabah. Laporan yang diterima dengan tidak
56,05. Meskipun hasil pengukuran post tepat waktu atau terlambat akan menyebabkan
intervensi pada aspek kualitas KDRS masih data yang diolah tidak relevan dengan kenyataan
dalam kategori yang cukup (73,95), namun hal yang ada saat itu, sehingga tidak dapat digunakan
tersebut merupakan peningkatan yang paling untuk mengambil keputusan bagi para
besar dengan selisih rata-rata skor sebesar pengambil kebijakan seperti di dinas kesehatan
56,05, dikarenakan skor rata-rata hasil studi pra kabupaten/kota12,13. Hasil penilitian Wuryanto
intervensi yang masih sangat kurang (17,90) (2008) mengungkapkan bahwa seringkali
pada aspek kualitas KDRS tersebut. Hal tersebut keterlambatan terjadi dalam proses pelaporan
juga sesuai dengan hasil penelitian Nur Siyam kasus DBD di rumah sakit kepada Dinas
(2013) bahwa intervensi maupun fasilitasi dapat Kesehatan Kabupaten/Kota. Padahal rumah sakit
meningkatkan kualitas dari pelaporan kasus merupakan sumber utama data kasus DBD,
KDRS dalam upaya surveilans8. karena fasilitas laboratoriumnya mampu
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. mendeteksi kasus DBD dengan lebih
1116 Tahun 2003 tentang Pedoman baik.Keterlambatan tersebut mengakibatkan
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi penanganan di lapangan seperti kegiatan
Kesehatan, rumah sakit adalah salah satu unit penyelidikan epidemiologi yang seharusnya
penyelenggara surveilans epidemiologi dimana dilakukan maksimal 2 x 24 jam menjadi
rumah sakit diharuskan melaksanakan terlambat14.
surveilans epidemiologi dengan melakukan
identifikasi, pelaporan dan kajian epidemiologi Model Surveilans Aktif DBD
penyakit menular, tidak menular dan masalah Model pengendalian DBD terbagi menjadi dua
kesehatan lainnya di rumah sakit. Dalam hal ini manajemen simpul15.Manajemen simpul satu
sistem pelaporan KDRS DBD adalah salah satu tentang pengendalian pada sumber penyakitnya
peran yang harus dilaksanakan rumah sakit seperti penderita DBD dengan melakukan
dalam pelaksanaan fungsinya sebagai unit pencarian kasus secara aktif dan menetapkan
penyelenggara surveilans epidemiologi.Indikator kasus.Penderita klinis tersangka DBD apabila
paling penting yang menunjukan optimal diagnosa tidak segera ditegakkan secara dini
tidaknya kualitas surveilans aktif DBD melalui maka dapat menuju kearah lebih berat, mudah
pelaporan KDRS adalah kelengkapan data dan terjadi renjatan dan akhirnya dapat berakibat
ketepatan waktu penyampaian laporan3. fatal karena terjadinya DSS. Berkaitan dengan hal
Indikator dari kualitas laporan KDRS juga tersebut di atas, maka diagnose pasti DBD
diungkapkan dalam hasil penelitian Natalia penting sekali artinya, karena membantu
(2011), yang menyebutkan bahwa laporan penatalaksanaan dan pengelola yang lebih
adanya kasus DBD di rumah sakit harus segera komprehensif16. Kemudian dilakukan upaya
dilaporkan ke pihak Dinas Kesehatan promotif sekaliguspreventif atau mencegah agar
Kabupaten/Kota agar dapat dilakukan tindakan tidak timbul penularan lebih lanjut dan
pencegahan dan penanggulangan dengan mengurangi resiko Kejadian Luar Bias (KLB) di
sesegera mungkin, yaitu dilaporkan selama 1 x masyarakat. Untuk itu, petugas lapangan
24 jam setelah penegakan diagnosis. Hal ini diperlukan untuk membantu mencari dan
untuk menghindari penyebaran kasus yang lebih mengobati kasus dengan baik secara proaktif,
luas di masyarakat. Ketepatan waktu pelaporan misalnya petugas surveilans DBD17,18.
surveilans harus dievaluasi secara berkala untuk Manajemen simpul dua tentang pengendalian
setiap langkah pengawasan yang lebih spesifik pada media penularan atau transmisi, dilakukan
dari pengendalian dan pencegahan DBD9,10. dengan mengendalikan agent penyakit melalui
Penelitian Nasutin M dkk (2009) juga media transmisi, termasuk pada indikator-
menyebutkan bahwa hal yang paling berperan indikator lingkungan17,19.
dalam sistem informasi surveilans ini adalah Sistem Surveilans Epidemiologi DBD yang
ketepatan waktu, keakuratan dan kelengkapan selama ini berjalan banyak terdapat kelemahan,
dari data yang dilaporkan agar menghasilkan meliputi ketidaklengkapan data, kesulitan
informasi mengenai penyakit DBD dengan mengakses data, kesulitan dalam pengambilan
akurat11. keputusan pengendalian DBD, dan kurang
Pentingnya indikator ketepatan waktu juga informatif dalam penyajian data20,21. Setiap
diungkapkan dalam hasil penelitian Retanto dkk penyelenggaraan surveilans epidemiologi
(2012) bahwa ketepatan waktu pelaporan sangat penyakit termasuk DBD semestinya mengacu
menentukan validitas suatu data. Dengan laporan pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116
yang cepat dan tepat akan sangat berpengaruh Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
dalam analisis penyakit DBD untuk sistem Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, yang

43
Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam Berdarah Dengue... (Ginanjar et al)

terdiri dari beberapa komponen pokok. surveilans aktif DBD melalui sistem pelaporan
Komponen yang menyusun bangunan sistem KDRS. Pengembangan Model Surveilans Aktif
surveilans tersebut yaitu sebagai berikut: (1) yang diterapkan dalam penelitian ini telah
Tujuan yang jelas dan dapat diukur; (2) Unit mampu meningkatkan Kualitas Laporan KDRS
surveilans epidemiologi yang terdiri dari DBD di Kota Tasikmalaya menjadi lebih baik.
kelompok kerja surveilans epidemiologi dengan Model Surveilans Aktif DBD melalui sistem
dukungan tenaga professional; (3) Konsep pelaporan KDRS ini menjadi rekomendasi untuk
surveilans epidemiologi sehingga terdapat Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya dan seluruh
kejelasan sumber dan cara-cara memperoleh RSU di Kota Tasikmalaya agar dapat terus
data, cara-cara mengolah data, cara-cara diterapkan secara berkesinambungan. Perlu
melakukan analisis, sasaran penyebaran atau dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
pemanfaatan data dan informasi epidemiologi, efektivitas model ini terhadap upaya penanganan
serta mekanisme kerja surveilans epidemiologi; DBD secara langsung di masyarakat. Model ini
(4) Dukungan advokasi, peraturan perundang- diharapkan dapat diterapkan di Kabupaten/Kota
undangan, sarana dan anggaran; (5) Pelaksanaan dan Rumah Sakit lain di Indonesia yang memiliki
mekanisme kerja surveilans epidemiologi; (7) masalah dengan surveilans aktif DBD yang belum
Jejaring surveilans epidemiologi yang dapat optimal sehingga mampu mendukung upaya
membangun kerjasama dalam pertukaran data penanganan dan pengendalian penyakit DBD di
dan informasi epidemiologi, analisis, dan masyarakat.
peningkatan kemampuan surveilans
epidemiologi; dan (8) Indikator kinerja. UCAPAN TERIMA KASIH
Berdasarkan komponen-komponen tersebut,
penelitian ini berusaha untuk mengembangkan Ucapan terimakasih penulis sampaikan
sebuah model surveilans DBD yang aktif yang kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,
seluruh unit pelaksana di Kota Tasikmalaya yaitu Sekretariat Riset Pembinaan Kesehatan Tahun
7 Rumah Sakit Umum di Kota Tasikmalaya dan 2015 dan Tim Pembina, DR. Gurendro Putro,
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Dari tahapan S.KM., M.Kes, Prof. dr. Agus Suwandono, Dr. PH,
yang telah dilalui (pre intervensi, intervensi dan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, seluruh
post intervensi) dapat ditentukan sebuah model Rumah Sakit Umum di Kota Tasikmalaya, rekan-
surveilans aktif DBD yang terskema pada rekan peneliti Lokalitbang P2B2 Ciamis serta
gambar1. berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan
Model surveilans aktif ini menitikberatkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan
kepada indikator kualitas laporan KDRS yaitu dalam penelitian ini.
lengkap, akurat dan tepat waktu. Model ini juga
telah disepakati dan telah diterapkan oleh DAFTAR PUSTAKA
seluruh unit pelaksana dalam hal ini adalah 7
Rumah Sakit Umum di Kota Tasikmalaya dan 1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Dari tiga Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan
bulan monitoring awal dari penerapan model ini (Wabah) Penyakit Menular (Studi Kasus
telah mampu meningkatkan kualitas pelaporan DBD). Jakarta, 2006.
kasus DBD di Kota Tasikmalaya dari setiap 2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
rumah sakit kepada Dinas Kesehatan Kota Cakupan Program Pengendalian Penyakit
Tasikmalaya. Sedangkan untuk mengetahui Bersumber Binatang Provinsi Jawa Barat
efektifitas model ini terhadap penanganan kasus Tahun 2013. Bandung, 2014.
DBD secara langsung di masyarakat perlu untuk 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
dilakukan studi lebih lanjut. Model ini akan Pedoman Penyelenggaraan Sistem
menjadi suatu rekomendasi yang akan diajukan Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
kepada unit pelaksana yaitu Dinas Kesehatan Jakarta.2003.
Kota Tasikmalaya dan seluruh Rumah Sakit di 4. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Data
Kota Tasikmalaya untuk dapat diterapkan secara Cakupan Surveilans Aktif DBD di Rumah
berkelanjutan. Sakit Kota Tasikmalaya. Tasikmalaya, 2014.
5. Andarmoyo S, Handoko SJ. Hubungan
KESIMPULAN Pengetahuan Keluarga Tentang Penyakit
DHF Dengan Sikap Keluarga Dalam
Upaya intervensi berupa Lokakarya dan Pencegahan Penyakit DHF. Jurnal Florence
Pelatihan Singkat mengenai Laporan KDRS DBD Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Vol.
dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap dari VI No. 2, Juli 2013.
petugas surveilans mengenai pentingnya

44
ASPIRATOR, 8(1), 2016, pp. 37-46
Hak cipta ©2016 - Loka Litbang P2B2 Ciamis

15. Fidayanto dkk. Model Pengendalian Demam


6. Resmiati, Cita Y. P, Susila. Pengaruh Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan
Penyuluh Demam Berdarah Terhadap Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni
Perilaku Ibu Rumah Tangga. Jurnal 2013.
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 16. Tairas Steva, Kandou, Posangi. Analisis
6, Juni 2009. Pelaksanaan Pengendalian Demam
7. Murtadho, Fathiaty. Berpikir Kritis dan Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa
Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Pengoptimalan Latihan Menulis Universitas Sam Ratulangi Manado. Vol. 5,
Argumentasi. Proceedings of the 2nd No. 1, Januari 2015.
International Seminar on Quality and 17. World Health Organization. Prevention and
Affordable Education (ISQAE) hal. 530-541, Control of Dengue and Dengue
2013. Haemorrhagic Fever. Dengue Bulletin No.
8. Siyam, Nur. Fasilitasi Pelaporan KDRS dan 60. New Delhi: WHO Regional Publication
W2 DBD Untuk Meningkatkan Pelaporan SEARO; 2011.
Surveilans DBD. Jurnal Kesehatan 18. Alamsyah, T. Penyelidikan Kejadian Luar
Masyarakat Universitas Negeri Semarang Biasa DBD Di Kota Banda Aceh. Jurnal
Vol. 8 (2) Tahun 2013, hal 113-120. Penelitian Kesehatan Suara Forikes. Vol II
9. Natalia, Aryanti. Gambaran Pelaksanaan Nomor 2, April 2011.
Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam 19. Gubler DJ, Reiter P, Ebi KL, Yap W, Nasci R,
Berdarah Dengue Ditinjau dari Aspek Partz JA. Climate Variability and Change in
Petugas di Tingkat Puskesmas Kota the United States: Potential Impacts on
Semarang Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Vector and Rodent-borne Diseases.
Masyarakat. Vol. 1, No. 2, Tahun 2012. Hal. Environmental Health Perspectives. 2001;
262-271. 109: 5.
10. Amarasinghe Ananda, et all. Dengue in 20. Hariyana, Bambang. Pengembangan Sistem
South Asian sub-continent: how well have Informasi Surveilans Epidemiologi DBD
the surveillancesystems done?.World Health Untuk Kewaspadaan Dini Dengan Sistem
Organization, Dengue Bulletin Vol.38 No. 8, Informasi Geografis Di Wilayah Dinas
December 2014. Kesehatan Kabupaten Jepara. Tesis.
11. Nasutin, M., Yuni Wijayanti, Anik Setyo Universitas Diponegoro Semarang. 2007.
Wahyuningsih. Pengembangan Model 21. Tyagi Kishore, et all. Estimation of the
Pendampingan dan Pelatihan Tentang Adjustment Factor for Hospitalized Clinical
Pencegahan Demam Berdarah Dengue Pada Cases Diagnosed and Tested for Dengue in
Desa Siaga Di Kelurahan Kandri Kecamatan Madurai, Tamil Nadu (India). World Health
Gunungpati Kota Semarang. Jurnal KEMAS, Organization, Dengue Bulletin Vol.38 No. 3,
Vol. 4, No. 2, Januari-Jun 2009. Halaman December 2014.
147-158.
12. Retanto, Yudi dan Hira Laksmiwati Zoro.
Pengembangan Sistem Surveilans Penyakit
Berpotensi KLB. Jurnal Sarjana ITB Bidang
Teknik Elektro dan Informatika. 1 (1): 241-
245. 2012.
13. Verawati, M Lorenza. Faktor-faktor Yang
Berhubungan dengan Kelengkapan dan
Ketepatan Waktu Pelaksanaan Penyelidikan
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di
Kota Semarang Tahun 2013. Skripsi.
Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
2013.
14. Wuryanto, M,A. Surveilans Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) dan
Permasalahannya di Kota Semarang Tahun
2008. Disampaikan di Seminar Nasional
Mewujudkan Kemandirian Kesehatan
Masyarakat Berbasis Preventif dan
Promotif. ISBN: 978-979-704-910-2 13-03-
2010. [internet] diakses Juli 2014, tersedia
di : http://eprints.undip.ac.id/18944/.

45
Pengembangan Model Surveilans Aktif Demam Berdarah Dengue... (Ginanjar et al)

46

You might also like