You are on page 1of 13

PENANGGULANGAN KEJAHATAN BEGAL

DI POLRES BANYUMAS
(Dalam Perspektif Kriminologi dan Viktimologi) 1
Rani Hendriana, Dessi Perdani Yuris Puspita Sari, Nurani Ajeng Tri Utami
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
E-mail: rani_capu@yahoo.com

Abstract
Begal, a criminal action in Banyumas committed by offenders with violent and new operandi mode create
unrest in society. Critical problem lies in the lack of a comprehensive approach in the science of criminology
and victimology approach to find the root of the cause and countermeasures consistently correlated with the
cause. This study used a qualitative sociologic juridical approach. The focus of the study are the factors that
influence the occurrence of crime robber, and mitigation in Banyumas Police, which is done by using the
approach of criminology, victimology and police functions. Factors that influence the occurrence of crime
robber in Banyumas Police in criminology perspective is the economic factor, social environmental offender,
the crime scene as possible, the impersonation of evil robber in other regions (including the role of the media),
and the persistence of the fence. As in the perspective of victimology is a behavioral factor victim, victim's
biological and psychological weaknesses, and situation. Begal crime prevention that has been done in
Banyumas Police comprehensive enough that prevention is pre-emptive, preventive and repersif. However,
there are still some obstacles in its implementation so that the expected duties and functions of the police
in tackling crime needs to be improved.
Keywords: Prevention of crime, crime robber, victimology, crimonology.

Abstrak
Maraknya kejahatan begal di wilayah Banyumas dilakukan oleh pelaku kejahatan dengan sadis dan
modus operansi baru tidak sedikit menimbulkan keresahan di masyarakat. Permasalahan krusial terletak
pada kurangnya dilakukan pendekatan ilmu secara komprehensif melalui pendekatan kriminologi dan
viktimologi dalam mencari akar penyebabnya dan penanggulangan secara konsisten yang berkorelasi
dengan faktor penyebabnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis secara kualitatif.
Fokus pengkajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan begal, serta
penanggulangannya di Polres Banyumas, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kriminologi,
viktimologi dan fungsi Polri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan begal di Polres
Banyumas dalam perspektif kriminologi adalah fakor ekonomi, lingkungan sosial pelaku, tempat kejadian
perkara yang memungkinkan, peniruan kejahatan begal di wilayah lain (termasuk peran media), dan masih
adanya penadah. Adapun dalam perspektif viktimologi adalah faktor perilaku korban, kelemahan biologis
dan psikologis korban, dan situasi. Penanggulangan kejahatan begal yang telah dilakukan di Polres
Banyumas cukup komprehensif yakni penanggulangan secara preemtif, preventif dan repersif. Namun,
masih terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya sehingga diharapkan tugas dan fungsi Polri
dalam menanggulangi kejahatan perlu ditingkatkan.
Kata kunci : Penanggulangan kejahatan, kejahatan begal, viktimologi, kriminologi.

PENDAHULUAN sanksi. Apabila perilaku itu dinilai sebagai perilaku


Suatu kejahatan belum dikriminalisasi, tidak yang jahat dan atau merugikan anggota
berarti perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan masyarakat, maka pelakunya pasti memperoleh

1
Artikel ini merupakan bagian penelitian dengan skim Penelitian Riset Pemula Batch II Tahun 2015 yang dibiayai dari dana DIPA-
023.04.2.189899/2015 tanggal 14 November 2015,berdasarkan Keputusan Ketua LPPM Unsoed No: 3664/UN.23.14/PN/2015,
51 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

sanksi sosial dari mayarakat.2Berkaitan dengan preemtif dan preventif Polres Banyumas. Hal ini
kejahatan begal, pada dasarnya istilah ini tidak menjadi sesuatu yang wajar, ketika dalam
diatur dalam hukum positif Indonesia, melainkan penanggulangan kejahatan tidak menyentuh pada
sebuah istilah yang digunakan masyarakat akar penyebab terjadinya kejahatan begal. Proses
tradisional yang kemudian berkembang menjadi criminal law enforcement process, saling berkaitan
istilah terhadap pelaku kejahatan yang mencegat dengan kriminologi, karena kriminologi dapat
korban di jalan dan melakukan perampasan harta memberikan masukan kepada hukum pidana,
si korban. Adapun dalam koridor hukum positif, terutama mengapa orang melakukan kejahatan
aksi begal biasanya dikenakan Pasal 365 Kitab dan faktor-faktor penyebabnya serta upaya apa
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai yang harus dilakukan agar para penegak hukum
pencurian dengan kekerasan dan/atau Pasal 368 tidak melanggar hukum.4 Termasuk pula
KUHP mengenai pemerasan dengan kekerasan viktimologi, banyak peneliti menyarankan bahwa
atau ancaman kekerasan. dalam memahami kejahatan secara lebih
Suatu hal menarik, begal sebagai kejahatan komprehensif, faktor kejahatan tidak hanya dapat
konvensional justru telah menjadi sebuah dipahami dari sisi penjahatanya saja tetapi dapat
fenomena kejahatan yang sampai saat ini masih juga dipahami dari sisi korban.5Berdasarkan hal
meresahkan masyarakat Indonesia, termasuk di tersebut, pendekatan krimininologi dan viktimologi
wilayah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data merupakan entitas yang penting dan stategis
“Rekapitulasi Kasus Curas (Begal) Polres dalam mencari akar penyebab terjadinya kejahatan
Banyumas dan Polsek Jajaran Polres Banyumas begal dan memberikan penanggulangan yang
Tahun 2014 dan 2015”,3 menunjukkan bahwa tepat.
sepanjang tahun 2014 dan 2015 telah terjadi 10
(sepuluh) kasus kejahatan begal, di mana 3 (tiga) PEMBAHASAN
kasus diantaranya masih belum terungkap, 2 (dua) Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti
kasus mengakibatkan korban meninggal dunia,1 tertarik untuk membahas mengenai faktor-faktor
(satu) kasus korban mengalami pelecehan apa yang mempengaruhi terjadinya kejahatan
seksual, dan selebihnya korban mengalami luka- begal di Polres Banyumas dalam perspektif
luka. kriminologi dan viktimologi dan bagaimanakah
Kejahatan begal dengan sifatnya yang penanggulangan kejahatan begal di Polres
konvensional dan marak terjadi di kota lain, Banyumas.
seharusnya lebih dapat dicegah melalui fungsi

2
Paul Ricardo, Upaya Penanggulangan Penyalaahgunaan 4
Ediwarman, “Paradoks Penegakan Hukum Pidana Dalam
Narkoba Oleh Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Perspektif Kriminologi di Indonesia”, Jurnal Kriminologi
Polres Metro Bekasi)”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 6 Indonesia, Vol. 8 No. 1, Mei 2012, Depok: Fisip UI, hlm. 41.
5
No.3 Desember 2010, Depok: Fisip UI, hlm. 435-436. Yazid Efendi, 2001, Pengantar Viktimologi: Rekonsialiasi
3
Data Polres Banyumas “Rekapitulasi Kasus Curas (Begal) Korban dan Pelaku Kejahatan, Purwokerto: Universitas
Polres Banyumas dan Polsek Jajaran Polres Banyumas Jenderal Soedirman, hlm. 26.
Tahun 2014 dan 2015
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 52

MOTODE PENELITIAN perspektif kriminologi dan viktimologi dan informasi


Penelitian ini menggunakan metode dengan yang valid berkenaan dengan penanggulangan
pendekatan yuridis sosiologis, yakni pendekatan kejahatan begal yang telah dilakukan.
yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi
kehidupan masyarakat itu sendiri yang PEMBAHASAN
menekankan pada pencarian-pencarian, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya
keajegan-keajegan empirik, termasuk pula Kejahatan Begal di Polres Banyumas dalam
melakukan observasi terhadap tingkah laku yang Perspektif Kriminologi dan Viktimologi
benar-benar terjadi.6Penelitian ini juga merupakan Merujuk pada judul data Polres Banyumas,
penelitian kualitatif, didasarkan pada alasan bahwa yakni “Rekapitulasi Kasus Curas (Begal) Polres
hukum dalam penelitian ini dipandang sebagai Banyumas dan Polsek Jajaran Polres Banyumas
manifestasi makna-makna simbolik para pelaku Tahun 2014 dan 2015”, terlihat bahwa bentuk
7
sosial, dan apa yang ingin diperoleh serta dikaji kejahatan dari istilah begal adalah Curas
penelitian ini adalah mengungkap dan (pencurian dengan kekerasan atau ancaman
mendapatkan makna yang mendalam dan rinci kekerasan). Hal ini diperkuat dengan pendapat
8
terhadap objek penelitian dan informan. anggota Polri Polres Banyumas, bahwa tidak ada
Informan penelitian (narasumber) sebagai definisi begal dalam perspektif hukum, melainkan
sampel penelitian adalah anggota Polri Polres tumbuh dalam culture masyarakat yang
Banyumas. Untuk memilih sampel yang menamakan kejahatan begal sebagai kejahatan
representative dilakukan dengan cara Purposive yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman
Sampling, yakni salah satu strategi pengambilan kekerasan mengambil barang secara paksa di
sampel non-acak.9Untuk pemilihan informan jalanan. Berdasarkan hal tersebut kejahatan begal
berikutnya dipilih metode Snowball Sampling. merupakan pencurian dengan kekerasan atau
Berdasarkan metode ini, maka Informan penelitian ancaman kekerasan yang dilakukan di jalan
tidak hanya anggota Polri di Polres Banyumas, terhadap barang yang ada di dalam kekuasaan
melainkan juga anggota Polri di beberapa Polsek korban.10
yang menangani kasus begal. Pemilihan anggota Berkaitan faktor yang mempengaruhi
Polri sebagai sampel penelitian, dikarenakan terjadinya kejahatan begal, dapat dilihat dalam
dipandang lebih dapat memberikan informasi yang perspektif kriminologi maupun viktimologi.
objektif berkenaan dengan faktor yang Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang
mempengaruhi terhadinya kejahatan begal dalam kejahatan, di manasalah satu ruang lingkupnya

6 9
Ronny Hanitijo Sumitro, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan
dan Jurimerri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 11. Kepatuhan Hukum, Jakarta: Cv. Rajawali, hlm. 197.
7 10
Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Wawancara dengan KBO Reskrim Polres Banyumas,
Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 33. tanggal 12 Mei 2015
8
Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar
dan Aplikasinya, Malang:Yayasan Asih Asah Asuh (Y A3),
hlm. 21-22.
53 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

adalah etiologi kriminal.11Hasil penelitian sosial kelompok yang terbentuk, mempengaruhi


menunjukkan bahwa dalam perspektif perilaku secara individu dalam mengambil
kriminologi terdapat 5 (lima) faktor yang keputusan untuk melakukan kejahatan begal.
mempengaruhi pelaku melakukan kejahatan begal. Kejahatan begal yang hanya dilakukan
Pertama, faktor ekonomi. W.A. Bonger pelaku secara individual, juga tidak terlepas dari
sebagai kriminolog menyokong pandangan bahwa pengaruh lingkungan sosial. Sebagaimana
faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang besar menurut anggota Polri bahwa “Dalam kasus yang
dalam timbulnya kejahatan, dengan ditangani di Polsek Sokaraja faktor yang
menambahkan apa yang disebutnya "Subyektive mendorong pelaku adalah dari diri si pelaku itu
Nahrungschwerung” (pengangguran) sebagai hal sendiri, masih muda sehingga keinginan untuk
12
yang menentukan. Berkaitan dengan kejahatan hidup hedonnis, foya-foya dari harta hasil
begal, menunjukkan bahwa faktor ekonomi kejahatan”.14 Merujuk hal tersebut, jika pelaku
merupakan motivasi utama dan dominan para berada pada lingkungan sosial yang steril maka
pelaku melakukan kejahatan begal. Adapun di sisi lingkungan tersebut akan lebih dapat mengikat
lain beberapa pelaku diantaranya adalah calon pelaku untuk tidak memiliki gaya hidup
pengangguran dan residivis. Hal ini menunjukkan demikian, sehingga calon pelaku tidak melakukan
bahwa faktor ekomomi masih relevan sebagai kejahatan begal.
faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan Ketiga, Tempat Kejadian Perkara (TKP)
begal. yang memungkinkan (dilakukannya kejahatan
Kedua, lingkungan sosial pelaku. M. Torttier begal). Sekalipun korban memberikan
dalam studinya menyimpulkan bahwa dalam kesempatan, namun apabila suatu tempat tidak
kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kecil (2-4 memungkinkan dilakukan kejahatan, maka pelaku
orang) merupakan pencerminan dari kepribadian dapat mengurungkan niatnya untuk melakukan
dari masing-masing individu meskipun dalam kejahatan. Berkaitan dengan kejahatan begal,
keputusan bersamanya dapat berbeda apabila itu menunjukkan bahwa beberapa kasus kejahatan
hanya dihadapi seorang diri, ini berarti bahwa begal terjadi di wilayah yang sepi dan dapat
kelompok dapat melakukan kejahatan, tetapi diidentifikasikan sebagai wilayah yang rawan
apabila hanya seorang anggota saja mungkin kejahatan. Namun demikian, di sisi lain beberapa
13
dapat menahan diri untuk melakukannya. kasus kejahatan begal justru terjadi di willayah
Beberapa kejahatan begal dilakukan secara yang ramai. Hal ini menunjukkan bahwa, terjadinya
berkelompok, di mana antar pelaku memiliki kejahatan begal tidak tergantung pada sepi atau
peranan masing-masing dalam menjalankan ramainya suatu tempat, melainkan lebih pada
aksinya. Merujuk hal tersebut, maka lingkungan

11 13
I. S. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta: Genda Ibid, hlm. 106.
14
Publishing, hlm. 1. Wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Sokaraja tanggal
12
Ibid.,hlm. hlm. 87-88. 1 Juni 2015
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 54

tempat yang memungkinkan pelaku dapat Keempat, peniruan kejahatan begal di


melakukan kejahatan. wilayah lain (termasuk peran media). Salah satu
Hal di atas, berkaitan dengan teori ekologis, teori dalam krimonogi adalah teori “Differential
di mana salah satunya adalah mobilitas penduduk. Association”, yang berlandaskan pada proses
Mobilitas penduduk di sini dimaksudkan hanyalah belajar, yaitu bahwa perilaku kejahatan adalah
mobilitas horizontal yang pada belakangan ini perilaku yang dipelajari. Menurut Suther-
dengan jelas dapat dilihat peningkatannya. Hal ini land,apabila perilaku kejahatan dipelajari, maka
terutama karena pengaruh sarana transportasi yang dipelajari tersebut meliputi (a) teknik
yang semakin meningkat.15 Termasuk pula Shaw & melakukan kejahatan (b) motif-motif tertentu,
McKay berdasarkan hasil studinya, dia dorongan, alasan pembenar dan sikap.18Adapun
menyimpulkan bahwa angka kejahatan yang demikian, salah satu preposisinya menyatakan
tertinggi terdapat di daerah pusat industri dan bahwa komunikasi yang bersifat nirpersonal
perdagangan, daerah yang paling miskin, daerah seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif,
16
yang dihuni para emigran dan negro. Merujuk tidak mempunyai peranan yang penting dalam
pada pendapat tersebut, beberapa kasus tempat terjadinya perilaku kejahatan.19 Pandangan
terjadinya kejahatan begal di Banyumas terjadi di tersebut, berbanding terbalik dengan hasil
daerah perkotaan. Daerah perkotaan di sini identik penelitian, di mana salah satu penyebab adanya
dengan pusat perdagangan, sehingga peniruan dikarenakan adanya peniruan kejahatan
mempengaruhi mobilitas penduduk, oleh begal di wilayah lain, termasuk pula peranan media
karenanya menjadi tempat target (sasaran ) bagi massa yang memberitakan kasus begal secara
pelaku begal. intensif. Hal ini sebagaimana menurut anggota
Ha ini diperkuat diperkuat pula dalam kajian Polri, bahwa kemungkinan terdapat pengaruh dari
Viktimologi bahwa pada daerah-daerah bisnis di peran media masa yang bisa berdampak positif
pinggir kota, dan pada daerah-daerah bisnis kota bagi masyarakat, tetapi terkadang negatif bagi
kecil yang terdapat harta benda berharga, tindak pelaku-pelaku yakni menambah informasi soal
pidana pencurian dengan kekerasan sangat kejahatan begal, terutama bagi pelaku-pelaku
mendominasi. Termasuk pula, terdapat kecen- pemula.20
derungan berisiko untuk menjadi korban tindak Kelima, masih adanya penadah. Adanya
pidana kekerasan di jalan-jalan umum. Ini penadah dapat menjadi salah satu faktor
disebabkan pertimbangan dari pelakunya pendorong pelaku melakukan kejahatan begal, di
mempunyai kesempatan lebih mudah untuk mana keberadaan penadah mempermudah pelaku
melarikan diri dibandingkan dengan di jalan-jalan kejahatan begal menjual barang ilegal yakni
17
kecil. barang hasil kejahatannya. Hal ini, tentunya tidak

15 18
Ibid,hlm. 82. I. S. Susanto, Op.Cit, hlm. 93-94.
16 19
Ibid,hlm. 84-85. Ibid.
17 20
Angkasa dan Iswanto, 2009, Viktimologi, Buku Ajar, FH Wawancara dengan anggota Reskrim Polsek Sumbang,
Unsoed, Purwokerto, hlm. 35. tanggal 26 Mei 2015.
55 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

berlaku bagi pelaku kejahatan begal yang tidak kesalahan kecil dan korban yang disebabkan
menggunakan perantara penadah. Penadah kelalaian. Korban di sini tidak menyadari bahwa
dalam hal ini sebagai salah satu lingkungan sosial dirinya membuat kesalahan kecil yakni tidak hati-
pelaku, maka dengan memutus mata rantai antara hati atau waspada, di mana hal tersebut justru
penadah dan pelaku kejahatan begal tentunya membawa akibat yang besar.
dapat mempersempit ruang gerak pelaku. Kedua, kelemahan biologis dan psikologis,
Berkaitan faktor yang mempengaruhi dalam hal ini yakni usia tua lebih berisiko menjadi
terjadinya kejahatan begal, dapat pula dilihat korban (lebih mudah dilumpuhkan),perempuan
dalam perspektif viktimologi, yakni ilmu lebih berisiko menjadi korban, sumberdaya
pengetahuan tentang korban, di mana salah satu manusia yang kurang, perasaan takut terlebih
kajiannya adalah mencari sebab-sebab terjadinya dahulu atau mudah takut saat digertak pelaku.
viktimisasi.21 Berdasarkan hasil penelitian terdapat Risiko korban menurut Separovic,24 salah satunya
3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi faktor pribadi, di sini termasuk faktor biologis (usia,
terjadinya kejahatan begal dalam perspektif jenis kelamin, kesehatan, terutama kesehatan
Viktimologi. jiwa). Hentig membagi tipe korban menjadi 13 (tiga
Pertama, perilaku korban yakni kurang belas) macam, salah satunya adalah “The Old”,
waspada (hati-hati, mencurigai), kurang dapat bahwa orang tua mempunyai risiko menjadi korban
menempatkan diri dalam membawa barang atas tindak pidana terhadap harta kekayaan. Di sisi
bawaan (membawa barang yang mecolok lain terdapat kelemahan, pada jasmaninya atau
perhatian pelaku), kebiasaan korban (pulang pagi). terkadang mentalnya yang mulai
Mandelsohn,22 membuat suatu tipologi korban lemah.25Termasuk pula salah satu tipologi dari
yang diklarifikasikan menjadi 6 (enam) tipe, salah Steven Schafer adalah “Biologically weak victims”,
satunya adalah “The victim with minor guilt and the yakni siapa saja yang secara fisik atau mental
victm due to his ignorance”, yakni korban dengan lemah, misalnya orang yang sangat muda atau
kesalahan kecil dan korban yang disebabkan sangat tua dan orang yang tidak sadar menjadi
kelalaian. Termasuk pula salah satu tipologi dari targer kejahatan.26
Steven Schafer,23adalah “precipitative victims”, Berkaitan dengan hal di atas, 3 (tiga) kasus
yakni pelaku melakukan kejahatan karena tingkah dari 10 (sepuluh) kasus kejahatan begal
laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong menunjukkan umur korban antara lain 54 (lima
pelaku melakukan kejahatan. puluh empat) tahun, 52 (lima puluh dua) tahun, dan
Berkaitan teori di atas, maka perilaku 72 (tujuh pulah dua) tahun. Sekalipun dua korban
korban di atas, pada dasarnya merupakan tersebut bukan usia yang sangat tua (54 dan 52
kualifikasi peranan korban yakni korban dengan tahun), namun pada usia tersebut dapat terjadi

21 24
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi (Perlindungan Saksi Angkasa dan Iswanto, Op.Cit, hlm. 30.
25
dan Korban), Jakarta: Sinar Grafika, hlm. (9) Ibid,hlm. 31.
22 26
Angkasa dan Iswanto, Op.Cit., hlm. 28. Yazid Efendi,Op.Cit, hlm.29.
23
Yazid Efendi,Op.Cit, hlm. 28-29.
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 56

penurunan ketahanan fisik dan mental. Oleh Ketiga, faktor situasi, yakni korban berada di
karenanya korban di sini lebih dapat dilumpuhkan tempat yang memungkinkan terjadinya kejahatan
pelaku kejahatan begal yang berusia lebih muda, begal,korban berada dalam situasi dan kondisi
sehingga menjadi target yang menarik bagi pelaku. yang tidak memungkinkan melakukan perlawanan,
Salah satu tipe korban menurut Hans Von sehingga mempengaruhi psikologisnya (rasa
Hentig adalah “The Female”, yakni wanita takut). Sebagaimana dikemukakan
28
merupakan korban dengan bentuk kelemahan lain, Separovic, bahwa salah satu faktor risiko korban
bahwa di samping lemah jasmaninya (apabila adalah faktor situasi, yaitu keadaan konflik, tempat
dibandingkan dengan pria dan pelakunya biasanya dan waktu.
juga pria) wanita juga diasumsikan mempunyai Berkaitan dengan hal di atas, pada dasarnya
dan/atau memakai barang-barang seperti bahwa situasi tempat mempengaruhi terjadinya
perhiasan yang mempunyai nilai ekonomis viktimisasi kejahatan begal, di mana korban berada
27
tinggi. Berkaitan hal dengan kasus kejahatan pada situasi yang sulit untuk melakukan
begal, terdapat 5 (lima) korban dengan jenis perlawanan. Adapun menurut Hans Von Hentig,
kelamin perempuan dan 8 (delapan) korban salah satu tipe korban adalah The blocked,
dengan jenis kelamin laki-laki. Sekalipun korban exempted, and fighting. Orang yang terhalang,
dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak, namun bebas, dan suka berkelahi memunyai risiko yang
perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk berbeda untuk terjadinya viktimisasi. Orang yang
dapat dilumpuhkan pelaku berkaitan dengan terhalang diartikan sebagai individu yang berada
kelemahan fisik dalam melakukan perlawanan. dalam posisi dan kondisi sulit untuk keluar dari
Adapun berkaitan dengan sumber daya bahaya. Mereka yang termasuk dalam tipe ini
manusia yang kurang, dalam hal ini membawa adalah orang yang terperangkap dalam situasi
pada akibat kekurang hati-hatian korban. yang tidak memungkinkan untuk melakukan
Sedangkan perasaan takut terlebih dahulu atau pembelaan atau bahkan tindakan tersebut justru
mudah takut saat digertak atau diancam, dapat menimbulkan penderitaan yang lebih serius.29
mempengaruhi terjadinya viktimisasi. Hal ini Berdasarkan hal di atas, hampir seluruh
berkaitan dengan psikologis korban, di mana korban kejahatan begal tipe “the blocked”. Hal ini
korban yang mudah merasa takut dan kemudian dikarenakan korban dalam posisi dan kondisi yang
berhadapan dengan situasi yang membahayakan, sulit keluar dari bahaya, di mana korban
tentunya mengakibatkan perlawanan korban mengalami kekerasan dan/atau dibawah ancaman
lemah dan semakin mempercepat atau pelaku begal. Situasi ini tentunya akan
mempermudah pelaku melakukan kejahatan mempengaruhi psikologis korban, yakni
begal. menurunnya kekuatan mental korban, sehingga
korban memilih untuk tidak melakukan perlawanan

27 29
Angkasa dan Iswanto, Op.Cit, hlm. 31. Ibid, hlm. 34.
28
Ibid, hlm. 30.
57 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

ataupun perlawanan korban tidak dapat dilakukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
secara maksimal. Merujuk hal tersebut, terlihat Indonesia adalah: (1) memelihara keamanan dan
adanya perbedaan dengan korban yang memilki ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum;
karakter perasaan takut terlebih dahulu atau dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman,
mudah takut saat digertak. Dalam hal ini korban dan pelayanan kepada masyarakat.31 Adapun
sejak awal kurang memiliki ketahanan mental atau tugas selebihnya diatur dalam Pasal 14 UU
psikis yang kuat, sehingga situasi berupa ancaman Kepolisian.
semakin mempercepat dan mempermudah pelaku Berkaitan dengan tugas dan fungsi preemtif
melakukan kejahatan begal. Adapun pada tipe “the Polri, menurut Awaloeddin Jamin bahwa dalam
blod”, korban di sini dari awal dapat memiliki praktek di lapangan, Polri menyebut istilah preemtif
mental yang kuat maupun yang lemah. Pada ini sebagai “pembinaan masyarakat” atau
mental yang kuat, situasi berupa ancaman “preventif tidak langsung”, yaitu pembinaan yang
merupakan alat yang melemahkan mental atau bertujuan agar masyarakat menjadi law abiding
psikis korban, sehingga korban sulit untuk citizens.32 Tugas atau fungsi preventif dibagi dalam
melakukan perlawanan. dua kelompok besar: (a) Pencegahan yang
bersifat fisik dengan melakukan empat kegiatan
Penanggulangan Kejahatan Begal di Polres pokok, antara lain mengatur, menjaga, mengawal
Banyumas dan patroli; (b) Pencegahan yang bersifat
Kebijakan kriminal atau penanggulangan pembinaan dengan melakukan kegiatan
kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian penyuluhan, bimbingan, arahan, sambung, anjang
integral dari upaya social defence dan upaya sana untuk mewujudkan masyarakat yang sadar
mencapai social welfare. Oleh karena itu, tujuan dan taat hukum serta memiliki daya cegah-tangkal
akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal atas kejahatan.33 Pada poin ke dua ini
adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai sesungguhnya apa yang disebut sebagai tindakan
kesejahteraan masyarakat.30 Adapun guna preemtif atau preventiv tidak langsung. Tugas dan
memberikan perlindungan terhadap masyarakat fungsi represif atau pengendalian, yang berarti
berkaitan dengan kejahatan begal, salah satunya bahwa Polisi itu berkewajiban menyidik perkara-
dapat melalui tugas dan fungsi Polisi Republik perkara tindak pidana, menangkap pelaku-
Indonesia (Polri). pelakunya dan menyerahkan kepada penyidikan
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang (yustisi) untuk penghukuman.34
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
Republik Indonesia (Undang-Undang Kepolisian), upaya penanggulangan kejahatan begal yang telah

30
Iza Fadri, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak 32
Paul Ricardo, Op.Cit.
Pidana Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol. 17 No.3, 33
Ibid
34
Juli 2010, Yogyakarta: FH UII, hlm. 445. M. Faal, 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi
31
H. Pudi Rahardi, 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme (Diskresi Polisi), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 43.
dan Reformasi POLRI), Laksbang Mediatama, Surabaya,
hlm. 68.
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 58

dilakukan Polres Banyumas, termasuk pula Polsek Merujuk hal di atas, terdapat upaya
jajaran Polres Banyumas dapat dilihat dalam tabel penanggulangan kejahatan begal yang cukup
di bawah ini: komprehensif yang telah dilaksanakan Polres
Banyumas dan jajarannya sebagai pelaksana
Tabel 1. Penanggulang Kejahatan Begal di Polres hukum, yakni terdiri dari upaya preemtif, preventif,
Banyumas
dan represif. Adapun demikian berdasarkan hasil
dan Polsek Jajaran Polres Banyumas
penelitian pula masih terdapat faktor-faktor
Preemtif: penghambat dalam penanggulangan kejahatan
1. Sosialisasi dari fungsi Bimas begal, antara lain: (1) Wilayah luas; (2) Pelaku
(Bimbingan dan Penyuluhan lintas daerah; (3) Korban tidak melapor atau
Masyarakat), Sabara, maupun
polsek-polsek berkaitan dengan kurang cepat melapor; (4) Masyarakat kurang
kejahatan begal;
responsive dan kooperatif dalam memberikan
2. Program mengabdi dan melayani
yaitu dengan safari KAMTIBMAS keterangan, tidak memberikan keterangan
(Keamanan Ketertiban seutuhnya dan takut dijadikan saksi; (5) Kurangnya
Masyarakat) kepada tokoh
masyarakat maupun perangkat sarana IT; (6) Personil di Polsek kurang; (7)
desa; Instansi lain kurang kooperatif.
3. Pembinaan masyarakat melalui
Polmas (mengaktifkan Polmas); Hal di atas, tentunya membawa pengaruh
4. Menggandeng media massa agar sebagaimana dapat di lihat bahwa jumlah kasus
menyampaikan kepada
masyarakat untuk selalu waspada kejahatan begal baik yang terjadi pada tahun 2014
dengan kejahatan begal. dan 2015 adalah sama yakni masing 5 (lima)
Preventif kasus, bahkan pada tahun 2014 terdapat 1 (satu)
1. Strong point di daerah rawan baik kasus belum terungkap dan tahun 2015 terdapat 2
dari Polres maupun Polsek; (dua) kasus yang belum terungkap hingga sampai
2. Melaksanakan operasi rutin;
3. Pendekatan dan Penyebaran saat ini.
Informan; Merujuk pendapat Barda Nawawi Arief,
4. Pendekatan terhadap residivis.
bahwa terdapat beberapa faktor yang
Represif mempengaruhi dan menentukan kualitas
1. Menangkap pelaku dan penegakan hukum itu sendiri, yaitu:
memprosesnya sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku; 1) kualitas individual (SDM);
2. Pembinaan secara langsung saat 2) kualitas institusional/struktur hukum
penyidikan secara personal (termasuk mekanisme tata kerja dan
terhadap pelaku; manajemen)
3. Memberantas penadah; 3) kualitas sarana/prasarana;
4. Sikap tegas terhadap pelaku, yakni 4) kualitas perundang-undangan (substansi
jika meresahkan masyarakat dan hukum); dan
melawan petugas dilakukan tembak
ditempat sesuai dengan SOP.
59 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

5) kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, kesadaran hukum masyarakat. Oleh karenanya
ekonomi, politik, budaya; termasuk budaya
upaya pencegahan penanggulangan secara
hukum masyarakat).35
preemtif dan preventive seharusnya lebih dapat
Kualitas individual anggota Polri sangat dimaksimalkan, khususnya dilakukannya
menentukan penanggulangan kejahatan begal. sosialisasi secara masif dan kontinyu kepada
Terdapat suatu korelasi bahwa, jika anggota Polri masyarakat mengenai kewaspadaan terhadap
Polres Banyumas maupun jajarannya (Polsek) kejahatan begal dan upaya pencegahannya.
memiliki kualitas yang baik, maka ia dapat bekerja Termasuk pula adanya indikasi peniruan
secara efektif dalam menghadapi hambatan teknis kejahatan begal dari wilayah lain, hal ini justru
dilapangan. Hal ini senada dengan pendapat menunjukkan kurangnya kesiapan tugas dan
36
anggota Polri Polres Banyumas, bahwa berkaitan fungsi Polri baik secara preemtif maupun preventif.
dengan penanggulangan kejahatan begal yang Berkiatan dengan instansi lain yang kurang
tepat bahwa yang terpenting adalah kemauan dan kooperatif, menunjukkan masih kurangnya kinerja
efektivitas anggota Polri dalam bekerja, sehingga secara terpadu dengan instansi lain. Sebagaimana
jumlah anggota Polri bukan faktor utama. menurut Muladi bahwa makna “integradted
Kualitas institusional/struktur hukum criminal justice system” adalah sinkronisasi atau
(termasuk mekanisme tata kerja dan manajemen). keserempakan dan keselarasan, salah satunya
Masih kurangnya penanggulangan kejahatan adalah sinkronisasi struktural (structural
begal yang berorientasi pada pelaku dan korban, synchronization) adalah keserempakan dan
maupun penanggulangan secara terpadu. keselarasan dalam kerangka hubungan antara
37
Sebagaimana diketahui bahwa sekalipun lembaga penegak hukum. Berdasarkan hal
penanggulangan kejahatan begal yang telah tersebut, perlu adanya kerjasa sama yang erat
dilakukan cukup komprehensif yang terdiri dari dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) guna
aspek preemtif, preventif dan represif, namun mencegah timbulnya residivis kejahatan begal,
demikian hal ini masih belum efektif, di mana salah kerjasama dengan polisi di wilayah lain dalam hal
satu faktor penghambat yang masih kerap terjadi pemberian informasi, persamaan persepsi dan
adalah korban tidak melapor atau kurang cepat dukungan dari pihak kejaksaan maupun
melapor dan masyarakat kurang responsif dan pengadilan berkaitan dengan sanksi pidana yang
kooperatif dalam memberikan keterangan, tidak tepat bagi pelakut. Baik Kejaksaan, Pengadilan,
memberikan keterangan seutuhnya serta takut Polisi wilayah lain, maupun Lapas dalam hal ini
dijadikan saksi. Berdasarkan hal tersebut, juga merupakan lembaga pelaksana hukum.
menunjukkaan bahwa masih kurangnya rasa Adapun di sisi lain, perlu adanya kerjasama sama
kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan yang erat dengan instansi yang bukan penegak

35 36
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Wawancara dengan KBO Reskrim Polres Banyumas,
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan tanggal 12 Mei 2015
37
Kejahatan, Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta:
Media Group, hlm. 20. Citabaru, hlm. 30.
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 60

hukum, yakni Pemerintah Daerah (Pemda). korban yang kurang waspada atau hati-hati
Khususnya partisipasinya dalam sosialisasi dengan orang lain (terbuka pada orang lain).
pencegahan kejahatan begal, pengaktifan pos Bilamana dikaitkan dengan terori Robert. B.
kampling, penambahan penerangan di wilayah Seidman, faktor-faktor yang cenderung berpe-
yang rawan, menurunkan pengangguran dan ngaruh terhadap tindakan penanggulangan
meningkatkan kesejahterahan masyarakat guna kejahatan begal di Polres Banyumas sebagaimana
menekan potensi calon pelaku kejahatan begal. dikemukakan di atas, dianalisis berdasarkan ke
Kualitas sarana/prasarana. Sarana dan dalam faktor personal dan sosial lainnya, maka
prasana merupakan faktor penunjang dalam secara personal meliputi: (1) Motivasi pemimpin
melaksanakan penanggulangan kejahatan begal di (Kapolres Banyumas dan Kapolda Jateng); (2)
Polres Banyumas. Terdapat suatu korelasi bahwa, Dukungan dari instansi lain; (3) Jumlah personil
kurangnya sarana IT, tentunnya akan menghambat dan sarana prasarana IT; (4) Efektivitas Kinerja
ruang gerak anggota Polri terutama dalam (semangat personal, kepatuhan dan inovasi).
mengahadapi wilayah Kabupaten Banyumas yang Adapun dianalisis berdasarkan ke dalam
luas. faktor sosial lainnya adalah sebagai berikut: (1)
Kualitas perundang-undangan (substansi Perspketif dan sikap (respon) masyarakat yang
hukum).Sekalipun dalam UU Kepolisian tersirat telah membudaya dalam terjadinya kejahatan
adanya unsur tugas dan fungsi Polri secara begal; (2) Respon korban dalam upaya
preemtif, preventif dan represif, namun demikian penanggulangan kejahatan begal; (3) Lingkungan
perlu adanya penegasan substansi mengenai sosial pelaku; (4) Frekuensi sosialisasi
pembagian fungsi dan tugas tersebut. Penegasan penanggulangan kejahatan begal; (5) Kontrol
secara umum perlu diadakan, mengingat selama sosial oleh Media massa, (6) Pengaruh ancaman
ini pengelompokan tugas dan fungsi tersebut sanksi pidana.
hanya diatur dalam doktrin dan tidak semua
masyarakat dapat mengkualifikasikan sesuatu PENUTUP
yang tersirat dalam undang-undang. Simpulan
Kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial,
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
ekonomi, politik, budaya; termasuk budaya hukum
kejahatan begal di Polres Banyumas dalam
masyarakat). Kualitas kondisi lingkungan menjadi
perspektif kriminologi adalah fakor ekonomi,
masalah utama, di mana lingkungan sosial dan
lingkungan sosial pelaku, tempat kejadian perkara
aspek ekonomi menjadi faktor kriminogen pelaku
yang memungkinkan, peniruan kejahatan begal di
melakukan kejahatan begal. Termasuk pula sistem
wilayah lain (termasuk peran media), dan masih
sosial mempengaruhi seseorang berisiko menjadi
adanya penadah. Adapun dalam perspektif
korban, di mana salah satunya adalah korban
viktimologi adalah faktor perilaku korban,
kejahatan begal dikarenakan mengenakan
kelemahan biologis dan psikologis korban, dan
perhiasan yang berlebih dan adanya sikap para
situasi.
61 Jurnal Idea Hukum
Vol. 2 No. 1 Edisi Maret 2016
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Penanggulangan kejahatan begal yang kooperatif, melaksanakan pembinaan secara


telah dilakukan di Polres Banyumas cukup informal dan kontinyu kepada pelaku pada saat
komprehensif yakni penanggulangan secara penyidikan, memberantas penadah. Adapun di sisi
preemtif, preventif dan repersif. Namun demkian, lain, perlu adanya pengaturan mengenai tugas dan
masih belum efektif di mana terdapat beberapa fungsi Polri secara preemtif, preventif, dan represif
hambatan dalam pelaksanaannya, antara lain dalam bentuk Peraturan Kapolri.
wilayah luas, pelaku lintas daerah, korban tidak
melapor atau kurang cepat melapor, masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
kurang responsif dan kooperatif dalam
Angkasa dan Iswanto. 2009. Viktimologi. Buku
memberikan keterangan, tidak memberikan
Ajar. Purwokerto: FH Unsoed;
keterangan seutuhnya dan takut dijadikan saksi,
Arief, Barda Nawawi. 2008. Masalah Penegakan
kurang sarana IT, personil di Polsek kurang; Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
instansi lain kurang kooperatif. Penanggulangan Kejahatan. Cetakan
Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group;
Saran Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian
Pertama, tindakan preemtif yaitu dengan Hukum. Jakarta: Rineka Cipta;
meningkatkan kuantitas dan kualitas sosialisasi Ediwarman. “Paradoks Penegakan Hukum Pidana
Dalam Perspektif Kriminologi di Indonesia”.
kepada masyarakat dengan melibatkan Pemda Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 8 No. 1.
Banyumas, melakukan kontrol sosial kepada Mei 2012, Depok: Fisip UI, hlm. 41.
media massa, meningkatkan kuantitas dan kualitas Efendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi:
Rekonsialiasi Korban dan Pelaku Kejahatan.
pembinaan Polisi Masyarakat.
Purwokerto:Universitas Jenderal Soedir-
Kedua, tindakan Preventif yaitu melak- man;
sanakan Strong point dan operasi di daerah rawan Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh
Polisi (Diskresi Polisi). Jakarta: Pradnya
secara kontinyu, penambahan Informasi Tek-
Paramita;
nologi, penambahan personil di Polsek, dan
Fadri, Iza. “Kebijakan Kriminal Penanggulangan
memonitor setelah ia keluar, pendekatan kepada Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia”. Jurnal
Hukum. Vol. 17 No.3. Juli 2010, Yogyakarta:
Informan dan residivis secara personal dan
FH UII, hlm. 445.
kontinyu, membangun sinergitas dengan Polisi
Faesal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif,
wilayah lain, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Dasar-dasar dan Aplikasinya. Malang:
Yayasan Asih Asah Asuh (Y A3);
Pemasyarakatan dan Pemerintah Daerah.
Muladi. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Ketiga, tindakan represif yaitu Pimpinan
Jakarta: Cita Baru;
(Kapolres dan Kapolsek) memberikan motivasi
Rahardi, H. Pudi. 2007. Hukum Kepolisian
kepada anggotanya untuk mengusut secara tuntas (Profesionalisme dan Reformasi POLRI).
Surabaya: Laksbang Mediatama;
kasus kejahatan begal yang belum terungkap,
Ricardo, Paul. Upaya Penanggulangan Penyalaah-
melakukan pendekatan secara personal terhadap
gunaan Narkoba Oleh Kepolisian (Studi
saksi agar dapat memberikan keterangan secara Kasus Satuan Narkoba Polres Metro
Penanggulangan Kejahatan Begal Di Polres Banyumas… 62

Bekasi)”. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol.


6 No.3. Desember 2010, Depok: Fisip UI,
hlm. 237
Sumitro, Ronny Hanitijo. 1998. Metodologi Pene-
litian Hukum dan Jurimerri.Jakarta: Ghali
Indonesia;
Susanto, I. S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta:
Genda Publishing;
Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan
Kepatuhan Hukum. Jakarta: Cv. Rajawali;
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi (Perlin-
dungan Saksi dan Korban). Jakarta: Sinar
Grafika.

You might also like