You are on page 1of 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337719502

HADITS KHILAFAH DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Article  in  Journal of Islamic Studies · September 2019


DOI: 10.6084/m9.figshare.11574651

CITATIONS READS
0 609

1 author:

Warto A.S
Universitas Muhammadiyah Tangerang
23 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

ZAKAT PRODUKTIF PENGGERAK EKONOMI RAKYAT View project

ANALISIS TAUHIDI STRING RELATION (TSR) TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (Studi pada
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia Periode Tahun 2009 - 2019) View project

All content following this page was uploaded by Warto A.S on 26 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

HADITS KHILAFAH DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS


KEINDONESIAAN
Warto A. Saifuddin1
e-mail: wartomesy@gmail.com

Abstract
The notion of Islamic caliphate has presented various debates and discussions which continue to this day. Some
people think that khilafah is an ideal form of religious and state life. However, on the other hand many argue
that the Khilafah is no longer relevant to the lives of people in Indonesia. This study aims to find out how the
khilafah system is in Islam? Is the khilafah part of a religion that must be practiced? Are there other options
besides the Khilafah system for Muslims? To find out this it is necessary to study the Islamic literature, especially
in view of the sunnah of the Prophet Muhammad. This study uses descriptive qualitative methods with the
Hadith approach. The results of this study indicate that in fact the text that mentions the issue of the Khilafah
is uncertain about the necessity of the Khilafah model as a government system, but it is obligatory for Muslims
to realize government without restricting the form of government. Besides it is obligatory for Muslims to obey
their leaders. In the text of the hadith, although it is not enough for the foundation of the mandatory khilafah,
but at least, enough to be a foothold ijma which requires the khilafah.

Keywords: khilafah, siyasah, system.

Abstrak
Gagasan tentang kekhilafahan Islam telah menghadirkan berbagai perdebatan dan diskusi yang hingga hari
ini terus berlanjut. Sebagian orang menganggap bahwa kekhilafahan adalah bentuk kehidupan beragama dan
bernegara yang ideal. Akan tetapi, di sisi lain banyak yang berpendapat bahwa kekhilafahan sudah tidak
lagi relevan dengan kehidupan masyarakat di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
sistem khilafah itu dalam islam? Apakah khilafah itu bagian dari agama yang wajib dijalankan? Apakah
ada pilihan lain selain sistem khilafah bagi umat Islam? Untuk mengetahui hal tersebut maka perlu
dilakukan pengkajian terhadap literatur keislaman terutama dalam pandangan Sunnah rasulullah SAW.
Kajian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan Hadits. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sebenarnya teks yang menyebutkan masalah khilafah tidaklah pasti tentang wajibnya
model khilafah sebagai sistem pemerintah, tapi wajib bagi umat islam untuk mewujudkan pemerintahan
tanpa membatasi bentuk pemerintahan. Selain itu wajib bagi umat Islam untuk taat pada pemimpinnya.
Dalam teks hadits, meskipun tidak cukup untuk landasan wajibnya khilafah, namun paling tidak, cukup
menjadi pijakan ijma’ yang mewajibkan khilafah.

Kata Kunci: khilafah, siyasah, sistem.

1 Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang

92 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

A. PENDAHULUAN
Di antara pembahasan yang sedang hangat dibicarakan di Indonesia saat ini adalah tema
khilâfah. Isu ini makin hangat dibicarakan pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia sebagai
pengusung ide khilafah. Pro kontra menyeruak diantara para politisi, pengamat politik, tokoh agama
dan cendekiawan Muslim. Benarkah sistem khilafah itu ada dalam Islam? Benarkah khilafah itu bagian
dari agama yang wajib dijalankan?
Dalam beberapa literatur keislaman, kata khilafah banyak disebut, baik itu dalam al-Quran
maupun Sunnah, namun apakah penyebutan kata khilafah tersebut menunjukkan bahwa sistem
pemerintahan harus dalam bentuk khilafah. Ataukah khilafah itu bisa dalam bentuk yang berbeda
dalam sistem dan prakteknya.
Khilafah dalam praktek kepemimpinan politik Islam telah lama berakhir dengan
dihapuskannya sistem Khilafah Turki Usmani pada tahun 1924. Sejak itu dunia Islam terpecah menjadi
negeri-negeri Muslim yang berdiri sendiri sebagai negara dan bangsa. Meski pun, spirit khilafah masih
tetap ada sebagai pemikiran, teori dan perjuangan politik Islam.
Tulisan ini tidak untuk mengulas seluruh aspek dari tema khilafah yang cakupannya sangat
luas. Tulisan ini hanya upaya untuk menelusuri dan mengungkap asal usul khilâfah, dalam Sunnah,
sejarahnya serta relevansinya dalam perkembangan pemaknaannya. Sehingga diharapkan mendapat
pengertian dasar tentang konsep khilafah yang benar sesuai pandangan Sunnah Nabi.

B. HADITS TENTANG KHILAFAH


Dalam hadits Nabi, penyebutan kata khalifah atau khulafâ lebih banyak daripada yang
disebutkan dalam Al Qur’an dengan makna yang lebih tegas terhadap kepemimpinan.
ِ
ُ ‫ين فَ َس ِم ْعتُهُ يُ َحد‬ ِ ِ ‫عن أَبِي حا ِزٍم قَ َال قَاع ْدت أَبا هري رَة خم‬
َ ‫ث َع ْن النَّبِ ِي‬
ُ‫صَّلَّ الَّلَّه‬ َ ‫س سن‬ َ ْ َ َ َْ ُ َ ُ َ َ َْ
ُ‫ك نَبِ ٌّي َخلَ َفهُ نَبِ ٌّي َوإِنَّه‬ َ َ‫وس ُه ْم ْاْلَنْبِيَاءُ ُكلَّ َما َهل‬ ِ ِ ْ َ‫ َكان‬:‫َعَّلَْي ِه َو َسَّلَّ َم قَ َال‬
ُ ‫س‬ ُ َ‫يل ت‬
َ ‫ت بَنُو إ ْس َرائ‬
َِ‫ فُوا بِبَ ْي َع ِة ْاْل ََّوَِ فَ ْاْل ََّو‬:َ‫ا‬
َ َ‫ ق‬،‫ فَ َما تَأ ُْم ُرنَا‬:‫ قَالُوا‬،‫الَ نَبِ َّي بَ ْع ِدي َو َستَ ُكو ُن ُخلَ َفاءُ تَ ْكثُ ُر‬
‫اه ْم‬ ْ ‫وه ْم َح َّق ُه ْم فَِإ َّن اللَّهَ َسائِلُ ُه ْم َع َّما‬
ُ ‫استَ ْر َع‬ ُ ُ‫َوأَ ْعط‬
Dari Abu Hazim dia berkata, “Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah
selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap
Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan
ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang
merekan akan banyak berbuat dosa.” Para sahabat bertanya, “Apa yang Anda perintahkan
untuk kami jika itu terjadi?” beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang pertama, kemudian
yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban
mereka tentang pemerintahan mereka.” (Shahih Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No.
3196; Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah No. 2862)

93 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

C. PENGERTIAN KHILAFAH
Kata Khilafah secara bahasa berasal dari kata“khalafa-yakhlifu-khilafah”, kha-la-fa artinya; 1.
pengganti, suksesor, pewaris tahta, menggantikan, datang sesudahnya, menempati tempatnya, yang
baru, yang datang kemudian. 2. Anak cucu, keturunan.
Kha-l-fun artinya; belakang, punggung, kebalikan, dibelakang, setelah, bagian akhir, dibelakang.
Kha-l-fi-ah artinya; latarbelakang, pengaturan, setting, landasan. Kha-l-fi-yun artinya; punggung, barisan
belakang, bagian belakang, paling belakang, yang terbelakang, yang datang sesudahnya.
Kha-lla-fa artinya; meninggalkan, menjadikannya sebagai penggantinya, meninggalkan
keturunan. Ta-kha-lla-fa artinya; ketinggalan, keterlambatan, keterbelakangan, kegagalan. Mu-ta-kha-lli-
fun artinya; yang belum berkembang, mundur, lamban.
Kha-l-fah artinya; tidak punya nafsu makan. Khi-l-fah atau khu-l-fah artinya; pertentangan,
permusuhan, perselisihan. Khi-la-f artinya; perselisihan, pertentangan, pertengkaran, perbedaan,
kebalikan, berlawanan, lengan baju. Khi-la-fi artinya hal-hal yang menyebabkan perbedaan. Khi-la-fi-yah
artinya yang dipertentangkan.
Kha-li-fah artinya pengganti, menggantikan orang lain, kepala negara. Al-khu-la-fa’ ar-ra-syi-dun:
empat khalifah pengganti rasulullah SAW. Khi-la-fah artinya; penggantian, kedudukan khalifah, masa
pemerintahan.
Kata-kata ini juga banyak dijumpai dalam al-Quran, yang artinya; “belakang” atau lawan kata
“depan”. Juga artinya; sulthan, pemimpin, imam, amir, atau hakim. Disebut khalifah karena
menggantikan nabi SAW, dalam umatnya.
Sedangkan kata yasuusu dalam hadits berasal dari kata saasa-yasuusu-siyasah, memiliki makna;
politik, kebijaksanaan, siasat, administrasi, manajemen.2 Disebutkannya kata ini dalam dalam hadits
dan bertemunya dengan kata khilafah, memiliki kedekatan makna dan hubungan makna yang
bersinergi saling menguatkan.
Para ulama memberikan beberapa definisi tentang khilafah. Dalam buku “al-Ghiyatsi” Imam
al-Juwaini mendefinisikan khilafah adalah kekuasaan yang utuh, kepemimpinan yang umum, yang
berkaitan dengan hal-hal khusus dan umum dalam urusan-urusan dunia dan akhirat”. Sementara
menurut Imam al-Mawardi, “Imamah adalah maudhu’(peristilahan yang dibuat) bagi khilafah
nubuwah dalam menjaga agama dan menata dunia”.3
Sebagaimana dikatakan Ar-Raghib al-Asbahany, “Khilafah itu adalah perwakilan dari orang
lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya,
atau karena kelemahannya. Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh
mewakilinya. Makna terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di
muka bumi”.4
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin
dengan sebutan para khalifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi.5

2 Atabik Ali, Kamus Al-Ashri, (Krapyak: Yayasan Pesantren Ali Makshum, 1997), hal. 1102
3 Imam al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), hlm. 15
4 Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al Asbahani, Al-Mufradat fi Gharîb al-Qur’an, (Libanon: Darul

Ma’rifah, t.t), hlm. 156


5 Ibnu Taimiyah, Al Khilfah wal Muluk dalam Majmu’ Fatwa, juz 35, hlm. 20

94 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Menurut Imam Yusuf bin Hasan bin Abdul Hadi Ad-Dimasyqi Al-Hambali (wafat 909 H), “Khilafah
adalah ungkapan lain untuk imam dan sultan.”6
Menurut Ibnu Khaldun, “Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang
sesuai dengan tinjauan syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang
kembali kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan dunia menurut
syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”.7
Muhammad Ra’fat Utsman (wafat 1438 H), “Khilafah adalah kepemimpinan tertinggi, yaitu
kekuasaan yang berlaku umum atas seluruh individu umat Islam, mengurus dan menjalankan urusan-
urusan umat Islam, dan melakukan segala hal yang merealisasikan kemaslahatan-kemaslahatan umat
Islam sesuai dengan aturan yang telah diperintahkan oleh pembuat syariat (Allah SWT).”8
Dr. Muhammad bin Ahmad bin Musthaafa Abu Zahrah Al-Mishri (wafat 1394 H): “Khilafah
adalah kepemimpinan tertinggi. Dinamakan khilafah karena orang yang memegang jabatan tersebut
dan menjadi pemimpin tertinggi kaum muslimin adalah orang yang menggantikan peranan Nabi SAW
dalam mengatur urusan kaum muslimin.”9
Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah (Abu Bashir At-Thartusyi): “Khilafah Islamiyah
adalah daulah (negara) Islam yang menyatukan dan mengumpulkan seluruh kaum muslimin, dengan
keberagaman warna kulit, suku, bahasa, dan bangsa mereka; dengan perbedaan negara, negeri, wilayah,
dan daerah tempat tinggal mereka; mereka semua memiliki kesamaan hak dan kewajiban, dalam satu
negara, dipimpin oleh seorang imam dan khalifah, dengan pedoman kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya
SAW, dimana imam dan khalifah tersebut dipilih dan diridhai oleh umat Islam dan Ahlul Halli wal
Aqdi sebagai representasi umat Islam dari seluruh penjuru dan wilayah.”10
Semua definisi khilafah tersebut mengarah kepada makna yang satu, yaitu institusi kekuasaan
tertinggi dalam Islam, yang membawahi seluruh kaum muslimin, dan mengatur urusan kehidupan
kaum muslimin dengan landasan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
D. MAKNA KONTEMPORER YANG RELEVAN
Kata Khilafah memiliki sejarah yang panjang dan menjadi trend pada zamannya, sejak zaman
Khulafaurrasyidin. Belakangan, khilafah kembali menjadi ramai dibahas, namun bukan lagi sebagaimana
pada awal-awal kemunculannya. Khilafah belakangan ini menjadi pembahasan yang diperselisihkan
setelah sebelumnya tidak dipermasalahkan. Pro-kontra khilafah belakangan bahkan sempat
menimbulkan keretakan hubungan antara umat islam.
Namun demikian, dari banyaknya bentuk kata yang lahir dari asal kata kh-l-f menjadikannya
memiliki makna yang bervariatif, memiliki makna lain yang tetap relevan, dan bahkan memiliki
perluasan makna. Diantara variasi kata tersebut diantaranya kata Kha-l-fi-ah artinya; latarbelakang,
pengaturan, setting, landasan. Khi-la-f artinya; perselisihan, pertentangan, pertengkaran, perbedaan,

6 Ibnu Abdil Hadi, Idhah Thuruqil Istiqamah fi Bayan Ahkam Al-Wilayah wal Imamah, (Damaskus: Dar An-Nawadir,

cet. 1, 1432 H), hlm. 26.


7 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Darul Qalam, 1984), hlm. 97
8 Muhammad Ra’fat Utsman, Riyasatud Daulah fil Fiqh Al-Islami, (Kairo: Darul Kitab Al-Jami’I, cet. 1, 1395 H),

hlm. 27
9 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, I/21. Dikutip dari Dr. Abdullah bin Umar Ad-

Dumaiji, Al-Imamah Al-Uzhma Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Riyadh: Dar Thayibah, cet. 2, 1408 H), hal. 33-34.
10 Abu Bashir At-Thartusyi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah wa As-Siyasah Asy-Syar’iyah, (t.p, t.t), hlm. 18.

95 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

kebalikan, berlawanan. Mu-ta-kha-lli-fun artinya; yang belum berkembang, mundur, lamban. Kata ini
pada masa kontemporer banyak digunakan, dan mudah dijumpai baik dimedia cetak maupun
elektronik.
Selain itu kata yang sangat relevan dan menjadi bahasa kontemporer yang banyak digunakan
adalah kata siyasah; politik, kebijaksanaan, siasat, administrasi, manajemen. Siyaasi (‫ ;)سياسي‬yang
berkaitan dengan politik dan diplomatik, politisi, negarawan. Ilmus siyaasah; ilmu politik. As-siyaasah al-
Qaumiyah:kebijaksanaan nasional.11
E. PENAFSIRAN DAN ANALISIS KANDUNGAN HADITS.
Hadits ini dikeluarkan oleh (Shahih Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No. 3196; Musnad
Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah No. 2862; Ibnu Hibban, Abu Awanah, Abu Ya’la, Ibnu Abi
Syaibah, dll.). Berdasarkan jumlah rawi, termasuk Hadits Ahad, karena tidak memenuhi ciri-ciri sebagai
Hadits Mutawatir. Berdasarkan matan, dari segi bentuk matan, termasuk Hadits qauli (ucapan). Dari segi
sandaran (idhafah) matan, termasuk Hadits marfu’ (idhafah pada Nabi), dan karena tanda bentuk dan
idhafah-nya eksplisit maka disebut haqiqi. Berdasarkan sanad, termasuk Hadits muttashil (bersambung).
Jika diperiksa secara seksama aspek sanad dan matan-nya (dari semua jalur periwayatannya), berdasarkan
kualitasnya, hadits tersebut masuk ke dalam hadits maqbul dengan kategori hadits shahih. Hadits shahih
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi adil dan dhabith, sanadnya muttashil (liqa’), tidak ada illat
(penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, Hadits shahih, dan akal sehat). Secara i’tibar, konvensi muhadditsin bahwa jenis kitab hadits
menjelaskan kualitas Haditsnya, maka karena hadits ini terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari dan
Muslim, maka dapat disimpulkan hadits ini memiliki derajat shahih.
Dalam hadits di atas disebutkan, “Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, artinya
mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan penguasa terhadap
rakyatnya.12 Sedangkan kata siyasat di atas berasal dari kata saasa–yasuusu–siyaasah; mengatur, memenej,
memimpin, memerintah, mengendalikan, melatih, merawat.13 Makna lainnya adalah melaksanakan atau
melakukan sesuatu untuk kemashlahatan. Hal ini karena jika muncul kerusakan Allah mengutus
seorang nabi yang menghilangkan kerusakan dari mereka. Menegakkan urusan mereka. Menghilangkan
penyimpangan pada Taurat. Syaikh Samih Athif Az-Zain dalam As-Siyasah wa As-Siyasatu Ad-Dauliyyah,
menjelaskan siyasah secara bahasa berarti, “mengurus” dikatakan:
… ‫ اذا قام عَّليها وراضها وادبها‬،‫ساس الدواب يسوسها سياسة‬
Artinya,“Seseorang mengurus, melatih, merawat hewan ternak, yaitu jika ia membimbing serta melatihnya”.
Diriwayatkan bahwa tidak ada seorang nabi kecuali ia menggembalakan kambing. Karena nabi
ditugaskan oleh Allah untuk mengatur, memenej, memimpin, memerintah, mengendalikan, melatih,
merawat umatnya, sebagaimana seorang penggembala kambing. Makna ini juga dengan sama dengan
kata ra’a – yar’a – ra’yan; menjaga, memelihara, memimpin, mengatur, mengontrol.14 Maka pengertian
politik kebanyakan digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan), pembinaan serta pelatihan hewan

11 Atabik Ali, Kamus Al-Ashri, (Krapyak: Yayasan Pesantren Ali Makshum, 1997), hal. 1102
12 Badruddin al-Aini al-Hanafi, Umdatul al-Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari, (Naisan: Multaqa Ahlu al-Hadits, 2006),
Juz 23, hal. 453
13 Atabik Ali, Kamus Al-Ashri, (Krapyak: Yayasan Pesantren Ali Makshum, 1997), hal. 1035
14 Atabik Ali, Kamus Al-Ashri, (Krapyak, Yayasan Pesantren Ali Makshum, 1997), hal. 978-979

96 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

tunggangan. Kemudian secara majazi digunakan untuk ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan
masyarakat.
Pengarang kitab Al-Mughrib Fii Tartibil Mu’rib, juga menegaskan hal yang sama:
‫َي يََّلِي أ َْمَرُه ْم‬
ْ ‫اسةً أ‬
ِ ِ َّ ‫اب إذَا قَام عَّلَي ها وراضها ( وِمْنه ) الْوالِي يسوس‬
َ َ‫الرعيَّةَ سي‬ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ ََ َ ْ َ َ َّ ‫َّو‬
َ ‫وس ) الد‬
ُ ‫الر ُج ُل ( يَ ُس‬
َّ ‫ال‬
ُ ‫َويُ َق‬
Seseorang mengurus, melatih, merawat hewan ternak, yaitu jika ia membimbing serta melatihnya”. (Demikian juga)
seorang pemimpin mengatur, memenej, memimpin, memerintah, mengendalikan, melatih, merawat rakyat dengan
sebaik-baiknya, artinya mengatur urusan mereka. Jadi dapat kita simpulkan bahwa kata siyasah identik ri’ayah.
Kalimat, “akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya”, maknanya akan ada nabi lain yang
menggantikan tempatnya. Kata (kh-l-f). Jika dibaca khalafa maka maknanya pengganti yang baik. Ini
menegaskan kata dalam hadits ini menunjukkan bahwa pengganti setelah nabi adalah orang-orang yang
baik. Ini diperkuat hadits nabi SAW, “Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian dan berlangsung
sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya”. (HR Ahmad). Namun jika
dibaca khalfun maka maknanya pengganti yang buruk. Sebagaimana dalam firman Allah,
ِ ِِ
َ ‫اب يَأْ ُخ ُذو َن َعَر‬
َ‫ض َه َذا ْاْل َْدن‬ ٌ ‫ف ِم ْن بَ ْعده ْم َخ َّْل‬
َ َ‫ف َوِرثُوا الْكت‬ َ َ‫فَ َخَّل‬
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil
harta benda dunia yang rendah ini…(QS. Al-A’raf: 169)
Demikian juga firman Allah yang terdapat dalam surat Maryam dikatakan:
ِ ‫الصالَةَ واتَّب عوا الشَّهو‬ ِِ
‫ف يَ َّْل َق ْو َن َغيًّا‬
َ ‫ات فَ َس ْو‬ََ ُ َ َ َّ ‫َضاعُوا‬ ٌ ‫ف ِم ْن بَ ْعده ْم َخ َّْل‬
َ ‫فأ‬ َ َ‫فَ َخَّل‬
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan… (QS. Maryam:
19)
Yang dimaksud dengan generasi yang jahat pada ayat pertama di atas menunjuk kepada generasi
yang datang sesudah masa dan generasi para Nabi dan Rasul di kalangan Bani Israil. Mereka adalah
generasi yang mempermainkan hukum Allah dan memperjualbelikannya ayat-ayatnya dengan
keuntungan materi. Di antaranya dengan menyelewengkan hukum melalui penyuapan, risywah dan
korupsi dalam kekuasaan. Sedang generasi yang buruk pada ayat kedua di atas menunjukan generasi
yang datang sesudah masa generasi para nabi dan orang-orang saleh dari kalangan Bani Israil, dan
termasuk juga generasi yang buruk yang datang pada umat Nabi Muhammad di akhir zaman. Mereka
adalah generasi yang meninggalkan shalat dan tenggelam dalam pemuasan berbagai kesenangan
dunia.15
Makna “tidak akan ada Nabi lagi setelahku” artinya “Tidak akan datang lagi nabi lain setelah nabi
Muhammad yang akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya. Sedangkan
kata “khulafa’ dalam hadits adalah bentuk jamak dari kata “khalifah”, yang menunjukkan adanya
pengganti sepeninggal nabi, yang menggantikan tugas-tugas nabi sebagai pemimpin spiritual sekaligus
pemimpin kenegaraan.
Kata “fuu” ashlinya “aufuu” bentuk jamak yang artinya “Tepatilah baiat yang pertama”. Ibnu
Khaldun dalam kitabnya, Muqaddimah menjelaskan makna bai’at secara bahasa, bahwa bai’at adalah

15 Al-Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, (Mesir: Darut Thayibah, 1999), Juz III, hlm. 498, dan Juz V,
hlm. 245

97 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

berjanji untuk taat. Seolah-olah seorang yang berbai’at berjanji kepada pimpinannya untuk
menyerahkan kepadanya urusan dirinya dan urusan kaum muslimin untuk tidak menentangnya pada
masalah apapun dalam urusan itu serta mentaatinya pada apa yang ia bebankan kepadanya dari
perintahnya baik dalam keadaan suka atau duka.16 Dulu jika mereka berbaiat kepada pimpinan dan
mengikat janjinya mereka meletakkan tangan di atas tangan pimpinannya untuk menekankan janji itu,
sehingga dengan itu mereka menyerupai perbuatan penjual bersama pembelinya maka dinamailah
Bai’at. Bentuk mashdar dari kata bâ’a (‫ )باع‬-yang berarti menjual- sehingga jadilah kata bai’at berarti
berjabat tangan.
Kesepakatan ahlussunnah bahwa bai’at adalah ‘aqad antara umat dengan khalifah, dan akad
pengangkatan khilafah disebut bai’at adalah bentuk tasybih (penyerupaan) seperti akad bai’ (jual beli)
tatkala penjual menjabat tangan pembeli saat sempurnanya ‘aqad. Dan ba’iat itu secara syar’i maupun
kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin (khalifah) kaum muslimin.
Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam tafsirnya mengatakan, “Dan jika imamah (khilafah)
telah terwujud dengan kesepakatan ahlul halli wal aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang
lalu, maka wajib bagi seluruh rakyat membai’atnya untuk mendengar dan ta’at dan untuk menegakkan
kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW maka barangsiapa yang tidak berbai’at karena ada udzur
dia diberi udzur/maaf dan barangsiapa yang tanpa udzur maka dia dipaksa (untuk berbai’at), agar
kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.17
Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah Bin ‘Amru Bin Al-Ash:
ِ ِ ِ ِِ
… ‫اع‬ ْ ‫ص ْف َقةَ يَده َوثَ َمَرةَ قَ َّْلبِه فَ َّْليُط ْعهُ إِن‬
َ َ‫استَط‬ َ ُ‫… َوَم ْن بَايَ َع إِ َم ًاما فَأ َْعطَاه‬
…Siapa yang membai’at seorang pemimpin (penguasa) lalu dia memberikan genggaman tangannya
serta buah hatinya (yakni dengan sepenuh hati), hendaklah dia mematuhi pemimpin itu
semampunya…
Kalimat “Tepatilah baiat yang pertama” juga menjelaskan bahwa “khalifah” itu hanya satu. Jika
ternyata ada dua “khalifah” maka yang dianggap sah adalah yang pertama, dan yang kedua hukumnya
bathal atau tidak sah. Baik rakyat mengetahui perihal pengangkatan khalifah yang kedua atau pun tidak.
Baik itu dalam satu negara, dua atau lebih.18 Pendapat lain mengatakan bahwa hal ini berlaku jika
pemimpin kedua berada wilayah pemimpin pertama. Pendapat lain mengatakan, “Sebaiknya diundi di
antara keduanya”. Dua pendapat ini bathil dan bertentangan dengan kesepakatan ulama. Para ulama
sepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua “Khalifah” dalam satu periode. Baik dalam wilayah islam
yang luas atau pun tidak. Imam Haramain berkomentar bahwa tidak boleh mengangkat dua “khalifah”
jika berada dalam satu wilayah. Jika jarak dua imam saling berjauhan tempatnya maka itu mungkin
dilakukan. Imam al-Qurthubi menambahkan bahwa jika jarak antara dua wilayah saling berjauhan dan
jarak yang jauh itu mengakibatkan terbengkalainya umat islam, tidak memungkinkan bagi imam yang
pertama untuk mengatur umat yang jauh darinya, maka ulama ushul fiqh menyarankan agar mereka
mengangkat seorang wali atau pemimpin yang bisa mengatur urusan mereka.19 Namun pendapat ini

16 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2010), hal. 171
17 Imam Al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1964) juz 1, hal. 302.
18 Badruddin al-Aini al-Hanafi, Umdatul al-Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari, (Naisan: Multaqa Ahlu al-Hadits, 2006),

Juz 23, hal. 453


19 Imam al-Qurthubi, Al-Mafhum Lima Asykala Min Talkhish Kitab Muslim, juz 12, hal. 96

98 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

keluar dari ketentuan sebelumnya dan bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh ulama’ salaf dan
khalaf.20 Demikian juga soal ketaatan perintah, maka yang pertama wajib ditaati, dan yang kedua tidak
boleh ditaati.
Sedangkan kata “Dan penuhilah hak mereka” maknanya, dia harus diberikan haknya sebagai
seorang “khalifah”, ditaati, bergaul dengannya secara baik, didengar dan laksanakan keputusannya.
Sedangkan baik dan buruknya seorang khalifah pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah SWT.21
F. ANALISIS KANDUNGAN HADITS DAN PANDANGAN PARA ULAMA
Dalam Hadits di atas disebutkan kata, (ُ‫وس ُه ْم ْاْلَنْبِيَاء‬
ُ ‫“ )تَ ُس‬tasuusuhum al-anbiya’. Sebagaimana
diuraikan di atas tentang makna siyasat atau politik. Apakah ini sebuah kebetulan ataukah sebuah
isyarat atau pertanda bahwa orang Islam harus berpolitik. Atau politik tidak bisa dipisahkan dari risalah
kenabian atau Islam?
Dalam kitab Syarah Riyadhus Shalihin, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkomentar
mengenai hadits ini. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dalam kata “tasuusu” adalah politik yang
hakiki dan membawa manfaat. Bukan politik yang dibuat oleh musuh-musuh Islam, yaitu orang-orang
kafir. Politik hakiki adalah politik yang ada dalam syariat Allah. Oleh karena itu beliau menegaskan
bahwa Islam adalah syariah dan siyasah (politik). Barang siapa yang memisahkan antara siyasah dan
syariah maka ia telah tersesat. Di dalam Islam terdapat siyasah makhluk dengan Allah dan penjelasan
tentang ibadah-ibadah. Juga terdapat aturan siyasah manusia dengan keluarganya, dengan tetangganya,
dengan kerabat-kerabatnya, dengan sahabat-sahabatnya, dengan murid-muridnya, dengan guru-
gurunya, dan dengan semua orang.
Masing-masing memiliki wilayah siyasah. Lebih khusus lagi siyasah terhadap musuh-musuh,
yaitu orang-orang kafir. Di dalam Islam telah secara jelas dibedakan antara orang-orang kafir harbi
dengan kafir yang telah ada perjanjian, orang kafir yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin
dan kafir dzimmi. Islam telah menjelaskan hak-hak masing-masing kelompok tersebut. Islam
memerintahkan agar kita memperlakukan mereka sebagaimana wajibnya. Contoh; kafir harbi harus
diperangi, dan darah mereka halal bagi kita, harta mereka halal bagi kita, tanah mereka halal bagi kita.
Sementara orang-orang kafir yang meminta perlindungan, maka wajib kita menjamin keamanan
mereka. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah,
ِ ِ ِ
َ ‫استَ َج َارَك فَأَج ْرهُ َحتَّ يَ ْس َم َع َكالَ َم الَّل ِه ثُ َّم أَبَّْل ْغهُ َمأْ َمنَهُ ذَل‬
ٌ‫ك بِأَنَّ ُه ْم قَ ْوم‬
ِ ِ ‫وإِ ْن أ‬
َ ‫َح ٌد م َن الْ ُم ْش ِرك‬
ْ ‫ين‬ َ َ
‫الَّ يَ ْعَّلَ ُمو َن‬
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia, supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat
yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. 9: at-
Taubah; 6)
Terhadap orang-orang kafir yang telah melakukan perjanjian, maka kita wajib menepati perjanjian
kepada mereka, lalu kita harus menjamin ketenangan kepada mereka. Jika kita kuatir terhadap mereka

20 Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, 1392 H), juz 6, hal. 316
21 Badruddin al-Aini al-Hanafi, Umdatul al-Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari, (Naisan: Multaqa Ahlu al-Hadits, 2006),
Juz 23, hal. 453

99 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

atau mereka mengingkari perjanjian, maka ketiga kemungkinan ini telah secara tegas dijelaskan dalam
al-Quran. Jika kita tenang terhadap mereka, maka kita wajib menepati janji kita kepada mereka. Jika
kita kuatir atau takut mereka berkhianat maka Allah telah berfirman,
‫ين‬ِِ ُّ ‫وإِ َّما تَخافَ َّن ِمن قَوٍم ِخيانَةً فَانبِ ْذ إِلَي ِهم عَّلَ سواء إِ َّن الَّله الَ ي ِح‬
َ ‫ب ال َخائن‬ ُ َ ََ َ ْ ْ َ ْ َ َ
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat. (QS. 8. Al-Anfal: 58)
Katakan kepada mereka apa perjanjiannya dengan kita, apabila kamu kuatir mereka khianat, dan
janganlah kamu membatalkan perjanjian tanpa memberitahukan kepada mereka. Bentuk ketiga yaitu
apabila mereka telah membatalkan perjanjian, Allah telah berfirman,
‫َوإِن نَّ َكثُواْ أَيْ َمانَ ُهم ِمن بَ ْع ِد َع ْه ِد ِه ْم َوطَ َعنُواْ فِي ِدينِ ُك ْم فَ َقاتَِّلُواْ أَئِ َّمةَ الْ ُك ْف ِر إِنَّ ُه ْم الَ أَيْ َما َن‬
‫لَ ُه ْم لَ َعَّلَّ ُه ْم يَنتَ ُهو َن‬
“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu,
maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. 9. At-
Taubah: 12)

Jika mereka telah membatalkan perjanjian maka tidak ada lagi perjanjian dengan mereka.
Yang terpenting bahwa agama, hanya agama Allah. Dan bahwa agama adalah politik yang sesuai syariah
(siyasah syariyah), politik social (siyasah ijtimaiyah), dan politik dengan orang lain, dengan orang-orang
yang telah tunduk dan politik dengan semua orang.
Orang yang memisahkan agama dari politik maka ia telah sesat dan dia ada dua kemungkinan;
1). Ia tidak tahu agamanya; ia mengira bahwa agama hanya ibadah un sick. Hubungan antara manusia
dengan rabnya. Agama hak individu dsb. Ia menganggap bahwa agama hanya itu. 2). Atau ia telah silau
dengan segala kekuatan materialistik orang kafir, sehingga mengira merekalah yang benar.
Adapun orang yang memahami Islam dengan sebenar-benarnya, maka ia tahu bahwa Islam
adalah syariah dan politik (syariah wa siyasah).22

G. HUKUM KHILAFAH DALAM ISLAM


Politik adalah bagian dari agama. Maka khilafah dalam Islam hukumnya adalah wajib. Yang
dimaksud khilafah adalah kepemimpinan secara umum yang menyangkut kepentingan untuk
melindungi agama dan mengatur urusan dunia.23 Umat Islam wajib memiliki pemimpin, baik
pemimpin spiritual mau pun pemimpin pemerintah atau Negara. Hadits di atas menjelaskan hal
tersebut. Bahwa setiap ada kekosongan pemimpin harus ada penggantinya. Pada saat zaman kenabian

22 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Korektor; Thaha Abdur Rauf Sa’d, Ulama al-
Azhar, (Kairo: Maktabah ash-Shofa, 2002), juz 2, hal. 334-335.
23 Imam al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), hlm. 18

100 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

maka pemimpin mereka adalah nabi. Ketika nabi sudah tidak ada, maka pemimpin mereka adalah
orang-orang yang memiliki kemampuan memimpin seperti nabi, atau orang-orang yang meneladani
nabi.
Para ulama berbeda pendapat, apakah wajibnya secara syariah ataukah secara logika? Sebagian
mengatakan bahwa memilih khalifah adalah wajib menurut logika. Secara logis umat Islam
membutuhkan seorang pemimpin yang mencegah mereka dari kezhaliman, meleraikan mereka pada
saat terjadi pertikaian dan perselisihan. Jika tidak ada pemimpin maka akan terjadi caos dan kerusakan.
Sebagian lagi mengatakan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib menurut syariah, karena
seorang pemimpin melaksanakan perintah syariah.24
Abdur Razaq As-Sanhuri mengatakan bahwa Ahlu Sunnah dan Muktazilah berpendapat
bahwa Khilafah itu wajib secara syariat. Namun mereka berbeda pendapat mengenai landasan
wajibnya. Ahlu sunnah berpendapat bahwa landasan wajibnya Khilafah adalah Ijma’. Pendapat
Muktazilah dan pendukungnya mengatakan bahwa landasan wajib khilafah adalah logika. Pendapat
lain dari muktazilah mengatakan bahwa landasan wajibnya khilafah adalah logika dan syariat. Syiah
juga berpendapat mengenai wajibnya mendirikan Negara Islam. Dengan demikian maka umat Islam
wajib memilih orang yang mengarahkan mereka untuk menerapkan hukum dan ketentuan-ketentuan
syariat di bumi. Bahkan memilih pemimpin atau khalifah adalah wajib seperti halnya kewajiban
menegakkan syariat Allah itu sendiri. Sesuai dengan pepatah dalam ushul fiqh, “Apa yang menjadi
sarana melaksanakan wajib maka hukumnya juga wajib”.
H. KHILAFAH SEKEDAR ISTILAH ATAU BENTUK NEGARA?
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa pemimpin pengganti rasulullah adalah para khalifah
yang banyak. Ungkapan kata ini dalam hadits dipahami bahwa pemerintahan setelah nabi bentuknya
adalah khilafah. Jadi kata khilafah bukan sekedar nama atau istilah. Dan hal ini juga terbukti dalam
sejarah umat Islam, bahwa sejak meninggalnya nabi, umat Islam dipimpin oleh seorang khalifah.
Dalam riwayat lain, Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadits yang serupa hadits di atas,
namun dengan redaksi yang berbeda, dan dengan makna yang hampir sama.
‫ إن بني إسرائيل كانت تسوسهم اْلنبياء كَّلما‬:‫عن أبي هريرة قال قال رسول الَّله صَّل الَّله عَّليه وسَّلم‬
‫مات نبي قام نبي وإنه ليس بعدي نبي قالوا فما يكون بعدك قال أمراء ويكثرون قالوا ما تأمرنا يا‬
.‫رسول الَّله قال أوفوا بيعة اْلول فاْلول وأدوا إليهم الذي لهم فإن الَّله سائَّلهم عن الذي لكم‬
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan
oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku. Para sahabat
bertanya, “apa yang ada setelahmu”? Nabi bersabda, “Yang ada adalah umara’ (para
kepala pemerintahan) dan mereka akan banyak”. Para sahabat bertanya, “Apa yang Anda
perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang
pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah apa harusnya menjadi hak mereka, kerana
sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang apa yang menjadi hak
kalian”. (HR. Ibnu Hibban)

24 Imam al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), hlm. 18

101 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Ahmad Jad mengatakan bahwa imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama. Hanya
saja istilah khilafah lebih awal dibandingkan kata imamah. Kata imamah lebih banyak digunakan oleh
Syiah. Sedangkan Imamiyah merupakah salah satu sekte mereka. Antara imamah dan khilafah
maknanya sama, yaitu; kepemimpinan secara umum yang menyangkut kepentingan untuk melindungi
agama dan mengatur urusan dunia.25
As-Sanhuri mengatakan, “Sebenarnya teks yang menyebutkan masalah ini tidaklah pasti
tentang wajibnya model khilafah sebagai system pemerintah, tapi wajib bagi umat Islam untuk
mewujudkan pemerintah tanpa membatasi bentuk pemerintahan. Selain itu wajib bagi umat Islam
untuk taat pada pemimpinnya. Tapi kami melihat bahwa teks ini meskipun tidak cukup untuk landasan
wajibnya khilafah, namun paling tidak, cukup menjadi pijakan ijma’ yang mewajibkan khilafah.

I. RELEVANSI KHILAFAH DALAM KONTEKS KE-INDONESIAAN.


Di Indonesia kekhalifahan juga mewarnai politik dan kekuasaan pada kerajaan-kerajaan Islam,
terutama di tanah Jawa. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Raden
Fatah adalah pendiri dan raja Demak pertama.26 Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo
bersepakat membangun kerajaan Islam dan mengangkat Raden Patah (1478-1518) sebagai raja pertama
kerajaan Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar.27 Peristiwa agung itu, terjadi pada tahun 1478
M. Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan
kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illallah berwarna
ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadur rasulullah
berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan
Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.28
Dalam konsep kekuasaan kerajaan Jawa di Demak menegaskan bahwa raja adalah pusat alam
semesta dan sumber kekuasaan. Atas dasar itulah raja Jawa juga bergelar susuhunan, gelar yang biasanya
digunakan oleh para pemimpin agama, dan panatagama, pelindung dan pengatur agama.29
Selama kepemimpinannya, Raden Fatah sangat menginginkan agar agama Islam menjadi
agama yang unggul di antara agama-agama yang lain. Usaha untuk mengembangkan Islam, bisa
dibuktikan dengan pembangunan masjid Demak yang pada akhirnya dijadikan pusat pendidikan
kerajaan Demak. Pada kepemimpinan Raden Patah, Demak sudah mencapai kesuksesan dan kejayaan.
Demak berhasil dalam berbagai bidang, di antaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan,
pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama
dan umara.
Demak berkuasa kurang lebih setengah abad. Setelah Raden Fatah tahta kerajaan Demak
lanjutkan oleh Pati Unus dengan gelar Sultan Demak Syah Alam Akbar II, wafat 1521 M.30 Lalu
dilanjutkan oleh saudaranya yang bernama Sultan Trenggana. Sultan Trenggana memerintah Demak
dari tahun 1521-1546 M. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan

25 Imam al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2006), hlm. 18


26 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 335.
27 Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 149
28 https://daerah.sindonews.com/read/966564/29/raden-fatah-khalifah-untuk-tanah-jawa-1424350627/
29 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 229.
30 Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik (Medan: Pujakesuma, 2007), 237.

102 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Barat yaitu sampai daerah
Banten dan ke timur sampai ke kota Malang. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim
pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya
antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Dari kerajaan Demak ini, kerajaan Islam kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Pajang, hingga
kerajaan Mataram Islam Tahun 1586 M. Mataram berada dipuncak kejayaan dibawah kepemimpinan
raja Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Khalifatullah. Dikenal
dengan sebutan Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645 M.
Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang perekonomian.
Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa
beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan
perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah.
Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan
Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625
yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam. Pada tahun
1645 M, Sultan Agung wafat, kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I
(1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya
pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan
penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang
subur.
Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang
membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu: 1). Daerah kesultanan Yogyakarta
yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya
dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. 2). Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan
Pakubuwono.
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian,
sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah
kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Dari Tahun 1586 M, sejak berdirinya kerajaan Mataram, gelar Panembahan Senopati,
Khalifatullah Sayyidin Penatagama (Khalifah/penguasa dan penata agama) diberikan pada raja-raja
Mataram sesudahnya bahkan pada kerajaan-kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta seperti Sultan
Hamengkubuwono dari Yogyakarta. Pada tahun 2015, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X gelar
Khalifatullah dihapuskan.

J. RELEVANSI SISTEM KHILAFAH DENGAN SISTEM NEGARA ISLAM MODERN


Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama. Namun
demikian, bukan pula yang berdasarkan pada suatu agama tertentu, akan tetapi Indonesia merupakan
negara kesatuan yang memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memiliki suatu keyakinan
dan menganut agama tertentu.31

31 Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Agustus 2008 No.19/PUUVI/2008 tentang “Tafsir Resmi UUD 1945”

soal hubungan antara negara dan agama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia), 24.

103 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Dalam pandangan umat Islam mengenai sistem pemerintah, agama dan negara merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua hal yang menyatu. Ini juga
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Paradigma ini melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan
kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan.32 Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, dengan hukum Islam
sebagai sumber landasan mengatur negara. Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya
kembali pada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu sistem ketatanegaraan Barat. Sistem
ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Nabi
Muhammad SAW dan oleh empat khalifah. Para tokoh yang mengusung paradigma ini antara
lain Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Bana, Hasan al-Turabi, dan Abu al-A’la
Mawdudi.33 Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Attas bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari ranah
politik (desacralization of politics), karena agama sangat berperan dalam soal pemerintahan dan
kepemimpinan. Dalam Islam negara memiliki peran memelihara agama, mengurus rakyat, menjaga
keamanan dan keselamatan, serta menjaga keharmonisan agama-agama lain.34 Negara juga berperan
dalam merealisasikan akidah dan nilai-nilai ajaran Islam. Serta menjalankan peran kekhalifahan, yang
mewujudkan kesejahteraan dan keamanan.35
Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara Islam dan menjaga
kesinambungannya. Negara Islam adalah negara yang dibangun berdasarkan Islam, melaksanakan
syari’at Islam, yang bertugas menjaga wilayah kekuasaan negara Islam, membela penduduk dan
menyebarkan misis Islam di dunia. Sebenarnya tidak ada pertentangan dengan kekahalifahan. Para
ulama sepakat bahwa menciptakan sebuah negara atau kepemimpinan umum bagi agama Islam
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin atau merupakan rukun asasi dalam Islam. Sejak
berakhirnya kekahalifahan di Turki, umat Islam semakin terjauhkan dari politik. Hal ini termasuk
kelengahan dan kelalaian umat Islam. Kewajiban dan perjuangan umat Islam sekarang adalah
menghidupkan kembali politik Islam. Pengembangan sistem politik pada zaman modern merupakan
hal yang mungkin bahkan wajib untuk dilaksanakan.
Kewajiban yang bersifat fundamental, adalah pertama, persatuan program operasional antara
sesama kaum muslimin untuk bersatu. Kedua, kaum muslimin diharapkan agar memiliki negara mereka
berdasarkan sistem syura. Ketiga, kaum muslimin juga diharapkan agar menyelesaikan permasalahan
mereka melalui permusyawaratan antara mereka dalam segala hal. Keempat, kaum muslimin diharapkan
agar selalu saling membantu dalam kebaktian dan ketaqwaan. Kelima, kaum muslimin diharapkan
berusaha memajukan rakyat kepada kebaikan, melarang kejelekan atau menghilangkan kemungkaran.
Dan keenam, kaum muslimin diharapkan mampu mencurahkan seluruh tenaga untuk menyebarkan

32 Husein Muhammad dalam Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, (Jurnal

Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015), hal. 210


33 Masykuri Abdillah dalam Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, (Jurnal

Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015), hal. 210


34 Ugi Suharto, “Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Yusuf Qardhawi” (Majalah Islamia, 2005, Tahun II,

Nomor IV), hal. 25.


35 Wan Zahidi Wan Teh, Pelaksanaan Siyasah Syar’iyyah dalam Pentadbiran Kerajaan, (Malaysia: Hazrah Enterprize,

Cet. I, 2002), hal.9.

104 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

misi Islam di alam raya ini.36


Untuk mewujudkan seluruh kewajiban itu, perlu diadakan kepemimpinan umum kaum
muslimin dalam bentuk musyawarah kolektif. Dalam negara demokrasi, dimaknai sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat/ kewenangan rakyat untuk memerintah atau
rakyat memiliki wewenang/ kedaulatan untuk memerintah. Sebagaimana diketahui, bahwa
musyawarah yang telah memiliki dasar hukum di dalam Al-Quran dan al-Hadis baik secara ucapan
maupun praktik, terdapat hadis-hadis yang mengharuskan musyawarah dan juga di dalam hukum dasar
negara yang mayoritas penduduknya muslim telah menetapkan musyawarah sebagai sistem
pemerintahannya.37 Prinsip syura memiliki pengertian bahwa setiap ketetapan yang ditentukan dalam
jamaah harus merupakan bukti dari kehendak jumhuurul jama'ah atau segenap individunya.38
Keharusan kerja sama dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan
pola hubungan antar individu dan masyarakat diperlukan kesadaran dan kerja sama yang
manifestasinya dituangkan dalam suatu institusi dan lembaga. Keharusan tersebut kemudian
melahirkan teori tentang negara yang dapat menata masyarakat secara lebih formal dan bersifat
kolektif.39
Dalam konteks perumusan teori tentang proses pembentukan negara dan pemerintahan tidak
banyak yang berbeda di antara para pemikir politik Islam, bahwa keterbatasan manusilah yang
menjadikan keniscayaan untuk saling bekerja sama untuk dapat memenuhi keanekaragaman
kebutuhan mereka, yang tidak mungkin dipenuhi oleh individu-individu manusia tanpa kerja sama.
Beberapa konsep dan teori tentang kerja sama sosial (bahwa manusia adalah makhluk sosial, bukan
makhluk personal) yang dikemukakan oleh al-Farabi, Ibn Rabi’, al-Ghazali, al-Mawardi dan Ibn
Taimiyah sesungguhnya merupakan kerangka dasar bagi teori as’abiyah-nya Ibn Khaldun.
Urgensi terhadap pembentukan institusi negara ini melahirkan ijtihad bahwa hajat itu bersifat
wajib atas dasar syari’at (wajib syar’iy) berdasarkan konsensus (ijma’) umat Islam. Hal ini adalah bukti
sejarah dalam politik Islam, sebab pengangkatan khalifah awal dalam Islam merupakan hajat yang
mendesak pada waktu itu, sebagai upaya umat Islam untuk menggantikan tugas-tugas kenabian guna
mengatur dan menata kehidupan masyarakat muslim. Dalam praktik sejarah politik umat Islam, sejak
zaman Rasulullah Saw hingga al-khulafa al-rasyidun jelas bahwa Islam mempraktikkan di dalam
ketatanegaraan sebagai negara kesatuan, di mana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat,
gubernur, panglima diangkat dan diberhentikan oleh khalifah.
Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan oleh umat Islam
dipraktikkan di beberapa negara. Bentuk negara kesatuan Islam yang berbentuk Republik telah
dipraktikkan. Republik Iran yang beraliran Syi’ah dan Republik Islam Fakistan, Republik Irak dan
Republik Afghanistan yang beraliran Sunni. Beberapa negara ini telah menjadi contoh dari negara
kesatuan Islam yang berbentuk Republik. Sedangkan bentuk negara kesatuan Islam yang berbentuk
monarki dipraktikkan oleh Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, di mana pergantian kekuasaan tidak

36 Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Jakarta: Mizan, 2001), 164.
37 Maj. Moch. Said, Amanat Penderitaan Rakyat, Jilid I Cet. II, (Surabaya: Permata, 1961), hal. 109.
38 Taufiq Muhammad Asy - Syawi, Fiqhusy - Syura Wal Istisyarat, Penerjemah Djamaludin, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), hal. 16.
39
Hatamar, Pemikiran Politik al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, Laporan Penelitian
(Palembang Puslit IAIN Raden Fatah, 2000), 52.

105 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.40 Jadi pada masa sekarang, umat
Islam mempraktikkan negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa (nation-state) sebagai respons
terhadap konteks negara-negara yang berkembang di masa sekarang.
Adapun sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan
kontekstual yang alami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak
abad ke VII Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberapa sistem
pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan Khilafah berdasarkan syura, khilafah monorki,
imamah, monorki dan demokrasi.41
K. KESIMPULAN
Khilafah sudah dikenal umat Islam sejak zaman khulafaurrasyidin. Penerapan khilafah sebagai
kepemimpinan secara umum yang menyangkut kepentingan untuk melindungi agama dan mengatur
urusan dunia merupakan sebuah kewajiban meskipun bentuk berbeda dengan kepemimpinan di masa
khulafaurrasyidin.
Dalam perjalanan sejarah, khilafah telah mengalami perubahan bentuk pemerintah pasca
khulafaurrasyidin. Meskipun istilahnya tetap disebut khilafah. Dari bentuk khilafah yang demokratis
berdasarkan syura, menjadi khilafah monarki berbentuk kerajaan, imamah, dan kini berbentuk
demokrasi. Perubahan bentuk ini menunjukkan bahwa bentuk khilafah tidak baku. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan As-Sanhuri bahwa, “Sebenarnya teks yang menyebutkan masalah khilafah
tidaklah pasti tentang wajibnya model khilafah sebagai system pemerintah, tapi wajib bagi umat Islam
untuk mewujudkan pemerintah tanpa membatasi bentuk pemerintahan. Selain itu wajib bagi umat
Islam untuk taat pada pemimpinnya. Tapi kami melihat bahwa teks ini meskipun tidak cukup untuk
landasan wajibnya khilafah, namun paling tidak, cukup menjadi pijakan ijma’ yang mewajibkan
khilafah.
Dalam konteks keindonesiaan untuk memasukkan nilai-nilai agama dalam pemerintahan
sangat mungkin dan bahkan peluangnya sangat luas, dan Negara menjamin hal itu. Namun untuk
mengubah Negara dalam bentuk khilafah sangatlah sulit dilakukan, meskipun itu mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Abu At-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim, (1968M/1388H) Aun al-Ma’bud Syarh
Sunan Abu Dawud, Madinah Al-Munawwarah, al-Maktabah As-Salafiyah.
Ahmad, Muhammad bin Hibban bin, (1993) Shahih Ibnu Hibban, Beirut, Muassasah ar-Risalah.
Ali, Atabik, (1997) Kamus Al-Ashri, Krapyak, Yayasan Pesantren Ali Makshum Krapyak.
Amin, Samsul Munir, (2009) Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah.

40 Syarif, Fiqh Siyasah, (Jakata: Erlangga, 2008), hal. 201.


41 Syarif, Fiqh Siyasah, (Jakata: Erlangga, 2008), hal. 204.

106 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Asbahani, Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al Ragib al, (t.t) Al Mufradat Fi Gharîbil Qur’an,
Libanon: Darul Ma’rifah.
Asy’asy, Abu Dawud Sulaiman bin al-, Sunan Abu Dawud, (Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, t.t).
Audah, Abdul Qadir, Al-Islam Wa Audhaina As-Siyasiyah, t.t, t.k.
Badruddin al-Aini al-Hanafi, (2006) Umdatul al-Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari, (Naisan, Multaqa Ahlu
al-Hadits.
Dumaiji, Dr. Abdullah bin Umar Ad-, (1408 H) Al-Imamah Al-Uzhma Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
Riyadh: Dar Thayibah, cet. 2.
Fiqh al-Khilafah Wa Tathawwuruha, t.t, t.k.
Hadi, Ibnu Abdil, (1432) Idhah Thuruqil Istiqamah fi Bayan Ahkam Al-Wilayah wal Imamah, Damaskus:
Dar An-Nawadir, cet. 1.
Hamka, (1974) Sejarah Ummat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hatamar, (2000) Pemikiran Politik al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, Laporan
Penelitian (Palembang Puslit IAIN Raden Fatah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia.
Ibrahim, Hasan, (2003) Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
Katsir, Al Hafizh Ibnu, (1999) Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Darut Thayibah.
Khaldun, Ibnu, (2010) Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo, Dar Ibnu Al-jauzi.
Khalidi, Al-, Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262)
Maj. Moch. Said, (1961) Amanat Penderitaan Rakyat, Jilid I Cet. II, Surabaya: Permata.
Majid, Dr. Ahmad Fu’ad Abdul Jawwad Abdul, Al-Bai’at ‘Inda Mufakkiry Ahlissunnah, t.t, tk.
Mawardi, Imam al, (2006) Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Kairo, Dar al-Hadits.
Nawawi, Imam, (1392 H) Syarah Shahih Muslim, Beirut, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi.
Purwadi, (2007) Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma.
Putusan Mahkamah Konstitusi “Tafsir Resmi UUD 1945” 8 Agustus 2008 No.19/PUUVI/2008.
Qurthubi, Imam Al-, (1964) al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Mishriyah.
Qurthubi, Imam al-, Al-Mafhum Lima Asykala Min Talkhish Kitab Muslim, t.t, t.k.
Rahmatullah, Muhammad, Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq, Jurnal Khatulistiwa - Journal
of Islamic Studies, Volume 4 Nomor 2 September 2014.
Rais, (2001) Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta Jakarta: Mizan.
Rajab, HR Ahmad, Imam Ibnu, Jami’ al-Ulum wa al-Hukum. t.t, t.k.

107 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H


Jurnal Tafsir Hadits STIU DARUL HIKMAH
ISSN 2442-6520

Sanhuri, Abdur Razaq As-, Fiqh al-Khilafah Wa Tathawwuruha, t.t, t.k.


Silmy, Muhammad Isa Abu Isa at-Tirmidzi as-, al-Jami’ as-Shahih Sunan At-Tirmidzi, Beirut, Dar Ihya
at-Turats al-Arabi, tt.
Suharto, Ugi, “Islam dan Sekularisme: Pandangan Al-Attas dan Yusuf Qardhawi”, Jurnal Islamia, 2005,
Tahun II, Nomor IV.
Supriadi, Cecep, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, Jurnal Kalimah, Vol. 13,
No. 1, Maret 2015.
Supriadi, Husein Muhammad dalam Cecep, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan,
Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
Syamil Al-Quran al-Karim, Bandung, Sigma Exagrafika, 2014
Syarif, (2008) Fiqh Siyasah, Jakata: Erlangga.
Syawi, Taufiq Muhammad Asy- (1997) Fiqhusy-Syura Wa al-Istisyarat, Penerjemah Djamaludin, Jakarta:
Gema Insani Press.
Taimiyah, Ibnu, Al Khilfah wal Muluk dalam Majmu’ Fatwa, t.t, t.k.
Thartusyi, Abu Bashir At-, Al-Ahkam As-Sulthaniyah wa As-Siyasah Asy-Syar’iyah, t.t, t.k.
The, Wan Zahidi Wan, (2002) Pelaksanaan Siyasah Syar’iyyah dalam Pentadbiran Kerajaan, Malaysia: Hazrah
Enterprize, Cet. I.
Utsaimin, Muhammad bin Shalih al-, (2002) Syarah Riyadhus Shalihin, Korektor; Thaha Abdur Rauf
Sa’d, Ulama al-Azhar, Kairo, Maktabah ash-Shofa.
Utsman, Muhammad Ra’fat, (1395 H) Riyasatud Daulah fil Fiqh Al-Islami, Kairo; Darul Kitab Al-Jami’I,
cet. 1.
Yatim, Badri, (1995) Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Mundzirin, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2006).
Zuhaili, Wahbah Az-, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil Keputusan,
Pemerintahan Dalam Islam), Jilid 8 (Kota: Darul Fikri, Tahun).

108 | Volume V/No.2/September 2019 M/Muharram 1441 H

View publication stats

You might also like