You are on page 1of 16

PENGGUNAAN KONSEP RULES-IN-USE OSTROM DALAM

ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI


KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
(The Use of Ostrom’s Concept on Rules-in-Use in the Analysis of Regulation of Forest
Management Unit Formation)
Eno Suwarno1, Hariadi Kartodihardjo2, Lala M. Kolopaking3, & Sudarsono Soedomo2
1Fakultas
Kehutanan Universitas Lancang Kuning, Jl. Yos Sudarso, Km 8 Rumbai, Pekanbaru, Indonesia;
e-mail: enosuwarno2009@gmail.com
2Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga Bogor,

Indonesia; e-mail: hkartodihardjo@yahoo.com, ssoedomo@gmail.com


3Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB, Jl. Kamper,

Kampus IPB Dramaga Bogor, Indonesia; e-mail: kolopaking@yahoo.com


Diterima 10 Pebruari 2014 direvisi 28 September 2014 disetujui 28 Januari 2015

ABSTRACT
Following the establishment of Forest Management Units (KPHL/KPHP) by the Indonesian Ministry of Forestry, the next
step that has to be done is the formation and operationalization of KPHL/KPHP organization by local governments. In reality,
implementation of the respective obligation is stagnated due to a number of obstacles such as the regulatory aspects that have less trust
and difficult to be implemented by local governments. In the Institutional Analysis and Development (IAD-Framework) from Elinor
Ostrom, there is one component, i.e. the rules-in-use concept that is possible to be applied as a tool to analyze the relationship between
the content of a certain regulation and the structure of action-situation formed due to implementation of regulation. This study aims to
test effectiveness of the use of the concept of rules-in-use to find substantial shortcomings of the regulation on KPHL/KPHP
formation at provincial level, as a basis for improvement. Accordingly, analysis was performed on PP No. 6/2007 jo. PP No.
3/2008, Permendagri No. 61/2010 and PP No. 41/2007 by making analysis of regulation contents and feedback from the
implementation process. Based on the results of this study, it can be concluded that the use of Ostrom's rules-in-use concept is
adequately effective to find the shortcomings of KPHL/KPHP regulation content.
Keywords: KPHL, KPHP, Ostrom’s rules in use concept.

ABSTRAK
Setelah penetapan wilayah KPHL/KPHP oleh Menteri Kehutanan, tahap selanjutnya adalah pembentukan
dan operasionalisasi organisasi KPHL/KPHP oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan
tersendat dkarenakan terkendala oleh sejumlah hambatan, antara lain oleh peraturan yang kurang memiliki daya
dorong dan menyulitkan daerah pada saat implementasinya. Dalam Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan
Kelembagaan (IAD-Framework) Ostrom, terdapat konsep „aturan-aturan yang digunakan (rules in use)‟ yang dapat
digunakan untuk menganalisis isi peraturan dalam hubungannya dengan struktur situasi aksi yang terbentuk pada
saat peraturan diimplementasikan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas penggunaan konsep „rules in
use‟ untuk menemukan kelemahan-kelemahan substansial dari peraturan pembentukan organisasi KPHL/KPHP
pada tingkat provinsi. Analisis dilakukan terhadap PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008, Permendagri No. 61/2010,
dan PP No. 41/2007, dengan metode analisis substansi peraturan dan umpan balik dari proses implementasinya.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan konsep rules in use Ostrom cukup efektif
untuk menemukan kelemahan-kelemahan isi suatu peraturan.
Kata kunci: KPHL, KPHP, konsep rules-in-use Ostrom.

I. PENDAHULUAN nesia direncanakan akan dibangun sekitar


600 unit KPH. Setiap wilayah KPH akan
Kementerian Kehutanan (Kemenhut)
dikelola oleh sebuah organisasi di tingkat
sejak lebih dari satu dekade yang lalu telah
tapak (Nurrochmat et al., 2012). Berdasar-
menggulirkan program pembangunan Ke-
kan PP No. 38/2007, pengelolaan hutan
satuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH
lindung dan hutan produksi diserahkan ke-
terdiri dari KPH Konservasi (KPHK),
pada pemerintah daerah (Pemda), di mana
KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi
menurut Permendagri No. 61/2010 Pemda
(KPHP). Di seluruh kawasan hutan Indo-
wajib membentuk organisasi KPHL/
13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27
KPHP dalam bentuk Satuan Kerja Pe- IAD terdapat satu komponen/konsep yang
rangkat Daerah (SKPD). Namun demikian, bernama „rules-in-use’ atau „aturan-aturan
pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan yang di-gunakan‟. Dalam analisis
tersendat dikarenakan menghadapi sejum- kelembagaan, konsep ini digunakan untuk
lah kendala. Kartodihardjo (2008) menganalisis isi peraturan dalam
mengungkapkan sejumlah kendala tersebut hubungannya dengan struktur situasi aksi
antara lain ma-sih terdapat pengertian yang yang terbentuk dan kinerja yang dihasilkan.
keliru tentang KPH, belum lengkapnya Contoh penggunaannya antara lain
peraturan per-undang-undangan, lemahnya ditunjukkan oleh Schweik & Kitsing (2010)
SDM, lemah-nya dukungan politis serta untuk menganalisis peraturan-peraturan
kurangnya sumberdaya yang diperlukan dalam sistem perangkat lunak geospasial
untuk men-dukung pembangunan KPH. terbuka (open source geospatial system).
Dengan kon-disi demikian maka Penelitian ini bertujuan untuk menguji
diperlukan kelengkapan dan kualitas efektivitas penggunaan konsep „rules-in-use’
peraturan perundang-undangan yang baik Ostrom untuk menemukan kelemahan-
untuk mengarahkan langkah bersama kelemahan substansial dari peraturan pem-
(Nurrochmat, 2011). Selain itu, komunikasi bentukan organisasi KPHL dan KPHP.
dan koordinasi antar lembaga dan Analisis dibatasi pada pasal-pasal yang ber-
penguatan supervisi sangat di-perlukan. kaitan dengan pembentukan organisasi
Berdasarkan penyebab-penyebab terse- KPHL/KPHP di tingkat provinsi, pada ti-
but, penelitian ini difokuskan kepada ga peraturan yaitu PP No. 6/2007 jo. PP
analisis peraturan. Dalam kelembagaan No. 3/2008, Permendagri No. 61/2010
formal, peraturan selalu dijadikan sebagai dan PP No. 41/2007. Saat ini ketiga
acuan pokok dalam proses-proses peng- peraturan tersebut digunakan sebagai dasar
ambilan keputusan. Ostrom & Crawford pembentukan organisasi KPHL dan KPHP
(2005) mengungkapkan ada dua alasan di Indonesia. Hasil analisis dapat diguna-
mendasar tentang pentingnya penekanan kan sebagai dasar untuk perbaikan peratur-
pada pengaruh peraturan terhadap peng- an dan menentukan langkah-langkah yang
ambilan keputusan dan tindakan individu diperlukan dalam rangka meningkatan ki-
atau organisasi, yaitu: pertama, analisis ke- nerja pembangunan KPH di Indonesia.
lembagaan seringkali digunakan untuk
menganalisis dampak dari perubahan per-
aturan, baik dampak yang telah terjadi atau- II. METODE PENELITIAN
pun yang akan terjadi; kedua, analisis ke-
lembagaan seringkali digunakan untuk A. Kerangka Teoritis dan Pendekatan
mencari solusi bagi kinerja negatif dari Penelitian
suatu situasi aksi, dengan pertimbangan
Kerangka kerja IAD (Gambar 1) dikem-
bahwa mengubah peraturan akan lebih mu-
bangkan oleh Elinor Ostrom bersama para
dah dilakukan daripada mengubah kondisi
koleganya di Pusat Studi Kelembagaan,
biofisik dan karakteristik masyarakat.
Perubahan Populasi dan Lingkungan (Cen-
Salah satu instrumen analisis kelembaga-
ter for the Study of Institutions, Population and
an yang telah mendapat pengakuan luas di
Environmental Change, CIPEC) di Univer-
dunia internasional adalah Kerangka Kerja
sitas Indiana, Amerika Serikat. Kerangka
Analisis dan Pengembangan Kelembagaan
kerja ini merupakan pendekatan terpadu
(IAD-Framework) Ostrom. Menurut Schla-
yang bertujuan untuk menjelaskan hubung-
ger & Blomquist (1996), kerangka kerja
an antara pola-pola interaksi dari para pe-
IAD adalah kerangka kerja yang telah ma-
laku di tengah-tengah sejumlah kendala ke-
pan dan kuat yang menekankan kepada
lembagaan yang ada (Sabatier et al., 2005).
analisis pengaruh peraturan terhadap peng-
ambilan keputusan dan tindakan individu
atau organisasi. Dalam kerangka kerja
14
Exogenous
Exogenous
Variables
Variables
Action
Action Arena
Arena
Biophysical/
Biophysical/
Material
Material condition
condition
Action
Action situation
situation
Interactions
Interactions
Attributes
Attributes of
of
community
community Participants
Participants Evaluative
Evaluative
criteria
criteria

Rules in use Outcomes


Outcomes

Sumber (Source): Ostrom (2005) diadaptasi dari Ostrom et al. (1994).


Gambar 1. Kerangka kerja IAD.
Figure 1. IAD framework.

Di dalam kelompok variabel eksogen dibanding kombinasi yang lain (Ostrom,


(exogenous variables) kerangka kerja IAD ter- 2008).
dapat komponen „rules-in-use’ atau „aturan- Ostrom membagi aturan-aturan yang di-
aturan yang digunakan‟. Menurut Ostrom gunakan ke dalam tujuh jenis peraturan, ya-
(2005) dan Ostrom et al. (2006), aturan- itu: aturan posisi, aturan keanggotaan, atur-
aturan yang digunakan adalah aturan yang an otoritas tindakan, aturan agregasi, aturan
dirujuk oleh partisipan jika mereka diminta informasi, aturan lingkup dan aturan biaya-
untuk menjelaskan dan membenarkan tin- manfaat. Klasifikasi ini berkaitan dengan
dakan yang mereka lakukan kepada par- unsur-unsur struktur situasi aksi (para par-
tisipan lain. tisipan, posisi, otoritas tindakan, kontrol,
Konsep ini dapat digunakan untuk informasi, hasil atau dampak dan biaya-
menganalisis isi peraturan dalam hu- manfaat) di dalam arena aksi. Arena aksi
bungannya dengan struktur situasi aksi menurut Ostrom et al. (2006) terdiri dari
yang terbentuk, perilaku yang terjadi, dan dua komponen yaitu situasi aksi dan para
kinerja yang dihasilkan dalam proses pem- partisipan. Situasi aksi merujuk pada ruang
bentukan organisasi KPHL/KPHP. Dalam sosial di mana individu-individu berinter-
istilah Birkland (2001), komponen ini di- aksi, melakukan pertukaran barang dan ja-
sebut sebagai instrumen kebijakan yang da- sa, penyelesaian masalah dan perselisihan
pat digunakan untuk menciptakan dampak dan lain-lain. Hubungan antara unsur-un-
yang diharapkan. Menurut Blomquist sur rules-in-use dengan unsur-unsur situasi
(2006), komponen peraturan berperan da- aksi ditampilkan pada Gambar 2.
lam membentuk situasi aksi dengan cara Ostrom (2005) dan Ostrom et al. (2006)
memengaruhi insentif dan pilihan yang ter- memberi batasan ketujuh jenis aturan seba-
sedia bagi para aktor, kemudian aktor yang gai berikut:
rasional akan meresponnya dengan cara 1. Aturan posisi (position rules) adalah jenis
berperilaku dan mengadopsi strategi terten- peraturan yang mengatur keberadaan se-
tu, yang selanjutnya akan memengaruhi ha- jumlah posisi dan berapa banyak parti-
sil. Oleh karena itu menurut Blomquist, sipan yang dapat menduduki setiap po-
dengan memodifikasi peraturan dapat me- sisi di dalam suatu arena aksi.
motivasi individu untuk berperilaku dan 2. Aturan keanggotaan (boundary rules) ada-
mengadopsi strategi tertentu sehingga ber- lah peraturan tentang persyaratan dan
potensi menghasilkan hasil yang berbeda. cara partisipan masuk atau meninggal-
Modifikasi peraturan pada dasarnya untuk kan posisi tertentu di dalam suatu arena
menemukan kombinasi yang lebih efektif aksi.
3.

13
Aturan RULES IN USE Aturan Aturan
Keanggotaan Informasi Agregasi

SITUASI AKSI
Para Partisipan
Informasi Kontrol
tentang terhadap
menempati
Hasil-hasil atau Aturan
Posisi tertentu Terkait dengan Dampak yang Lingkup
mungkin terjadi
sesuai dengan
Biaya-Manfaat
Otoritas tindakan berkaitan dengan

Aturan Aturan Aturan


Otoritas Posisi Biaya-Manfaat

Sumber (Source): Ostrom (2005).


Gambar 2. Hubungan antara rules-in-use dengan unsur-unsur situasi aksi.
Figure 2. The relationship between rules-in-use with elements of action situation.

3. Aturan otoritas tindakan (authority rules)


adalah peraturan tentang sejumlah tin- B. Metode Pengumpulan dan Analisis
dakan sah yang diberikan kepada partisi- Data
pan sesuai dengan posisinya pada setiap
Penelitian ini bersifat analisis restropek-
tahapan pengambilan keputusan.
tif, yaitu suatu proses penciptaan dan trans-
4. Aturan agregasi (agregation rules) adalah
formasi informasi sesudah kebijakan di-
peraturan tentang fungsi transformasi
implementasikan (ex-post), yang berorientasi
jenis tindakan tertentu kepada hasil
pada identifikasi variabel-variabel yang da-
akhir atau hasil antara bagi kelompok
pat dimanipulasi oleh pembuat kebijakan
pada setiap tahap pengambilan keputus-
untuk mengatasi masalah (Dunn, 2000).
an.
Peraturan yang dikaji ada tiga, yaitu PP No.
5. Aturan informasi (information rules)
6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata
adalah peraturan yang mengatur tingkat
Hutan dan Penyusunan Rencana Penge-
infor-masi yang tersedia, mengotorisasi
lolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
salur-an informasi, menetapkan
Permendagri No. 61/2010 tentang Pe-
kewajiban, ijin, atau larangan untuk
doman Organisasi KPHL dan KPHP di
berkomunikasi dengan partisipan pada
Daerah dan PP No. 41/2007 tentang Or-
posisinya pada tahap keputusan tertentu
ganisasi Perangkat Daerah, dengan pertim-
dan menetap-kan bahasa yang
bangan saat ini ketiga peraturan tersebut
digunakan dalam berkomunikasi.
digunakan sebagai dasar pembentukan or-
6. Aturan lingkup (scope rules) adalah per-
ganisasi KPHL dan KPHP di Indonesia.
aturan yang mengatur tindakan atau ke-
Analisis isi peraturan dilakukan dengan
adaan yang memengaruhi variabel hasil
cara mengidentifikasi karakteristik isi
(outcome) yang “harus”, “tidak boleh”,
peraturan yang dibentuk melalui teks. Alat
atau “mungkin” terpengaruh sebagai
analisisnya adalah konsep rules in-use dari
akibat dari tindakan yang diambil dalam
Ostrom (aturan posisi, aturan ke-
suatu situasi.
anggotaan, aturan otoritas tindakan, aturan
7. Aturan biaya-manfaat (pay-off rules)
agregasi, aturan informasi, aturan lingkup
adalah praturan tentang bagaimana
dan aturan biaya-manfaat). Menurut Os-
manfaat dan biaya yang diperlukan,
trom (2005), dalam teori analisis kelemba-
diizinkan, atau dilarang, didistribusikan
gaan, penyederhanaan asumsi sering
kepada para partisipan.
13
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.
dilakukan bahwa individu dalam situasi aksi Aliran Sungai dan Pehutanan Sosial
tertentu hanya akan melakukan tindakan- (DASRLPS) dilibatkan ketika berhubungan
tindakan yang sah berdasarkan aturan yang dengan pembentukan KPHL, Pusdiklat
berlaku. Oleh karena itu penelitian ini di- Kehutanan di bawah Sekjen terlibat dalam
fokuskan pada menganalisis pasal-pasal program diklat calon KKPH, UPT BPKH
yang berkaitan dengan pembentukan or- dilibatkan dalam penyusunan rancang-
ganisasi KPHL dan KPHP, kemudian bangun dan rencana pengelolaan KPH.
mencermati implikasinya terhadap perilaku Di tingkat provinsi, secara empiris
para partisipan yang terbentuk serta ter- posisi-posisi penting yang terlibat dalam
hadap dampak atau kinerjanya. Isu dan pembentukan organisasi KPHL/KPHP
permasalahan dikumpulkan melalui wa- adalah Gubernur, DPRD provinsi, dan Ke-
wancara dengan para partisipan, melalui pala Dinas Kehutanan. Hubungan posisi
pertemuan-pertemuan yang diikuti lang- para pejabat dan organisasi daerah tersebut
sung oleh peneliti dan dengan membaca berkaitan dengan otoritas yang melekat pa-
kembali dokumen dan hasil-hasil kajian da jabatan dan organisasi tersebut. Peran
terdahulu. Gubernur adalah sebagai pembentuk dan
penetap organisasi KPHL/KPHP ber-
sama-sama dengan DPRD provinsi dalam
III. HASIL DAN PEMBAHASAN menetapkan Peraturan Daerah (Perda). Di
Hasil analisis isi peraturan disajikan samping itu juga Gubernur berperan dalam
pada Lampiran 1 yang berisi ringkasan menindaklanjuti Perda tersebut melalui pe-
pasal-pasal yang berkaitan dengan pem- nerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) un-
bentukan organisasi KPHL/KPHP di tuk rincian tugas pokok organisasi
tingkat provinsi, yang dikelompokkan ber- (tupoksi) dan penempatan personil pada
dasarkan tujuh jenis aturan dari konsep organisasi KPHL/KPHP. Dinas Kehutan-
rules-in-use Ostrom. Pada masing-masing an (Dishut) merupakan satuan kerja teknis
penyelenggara urusan kehutanan. Walau-
kelompok aturan diidentifikasi isu dan per-
masalahannya, kemudian dianalisis dengan pun posisinya tidak disebutkan di dalam
uraian sebagai berikut: ketiga peraturan yang dianalisis, namun se-
cara faktual posisinya sangat strategis,
A. Aturan Posisi mengingat sebagai pembantu Gubernur da-
lam menyiapkan dan melaksanakan ke-
Kelembagaan pembangunan KPH meli- putusan pimpinan daerah dalam urusan ke-
batkan unsur-unsur organisasi pemerintah hutanan.
dan Pemda. Seperti yang disebutkan Hill & Situasi umum yang terjadi di daerah saat
Hupe (2002) terjadi hubungan-hubungan ini adalah: 1) tidak seluruh Pemda memberi
horizontal dan vertikal di antara organisasi- dukungan dalam pembangunan KPH, ter-
organisasi pemerintah. Dalam sistem pe- utama dalam pembentukan organisasi
merintahan, pengaturan posisi dan peran KPH karena memerlukan anggaran yang
para partisipan unsur pemerintah berimpit besar untuk menghidupkan organisasi ter-
langsung dengan posisi dan tupoksi jabatan sebut; 2) terbatasnya pengertian dan pe-
struktural dan fungsionalnya. mahaman aparatur daerah terhadap fungsi
Di tingkat pemerintah, Kemenhut me- dan manfaat KPH bagi pembangunan ke-
nempati posisi sebagai pembina teknis dan hutanan dan 3) terbatasnya SDM yang me-
Kemendagri menempati posisi sebagai mahami dan mempunyai kapabilitas untuk
pembina organisasi. Pada level di bawah- menjalankan organisasi KPH (Kartodihar-
nya Ditjen Planologi Kehutanan ditunjuk djo et al., 2011). Implikasi dari semua ken-
sebagai penanggungjawab program, dala tersebut adalah terhambatnya proses
sedangkan Ditjen Bina Usaha Kehutanan pembentukan organisasi dan operasionali-
(BUK) dilibatkan ketika berhubungan de- sasi KPH di daerah.
ngan pembentukan KPHP, Ditjen Daerah
17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27
Dalam konteks mendorong percepatan tensi dan relevansinya, antara lain
proses pembangunan KPHL/KPHP, isu organisasi rimbawan Persatuan Sarjana
pertama yang muncul adalah “kurang Kehutanan Indonesia (PERSAKI) yang
optimalnya posisi dan peran Kemendagri memiliki ja-ringan pengurus dan
sebagai Pembina Organisasi KPH”. Berda- keanggotaan di se-luruh wilayah Indonesia.
sarkan hasil wawancara dengan para staf Apabila unsur-unsur tersebut diberi posisi
Dishut Provinsi Riau, Kemenhut dinilai yang definitif di dalam peraturan terkait
masih kurang melibatkan Kemendagri dan pembangunan KPH, maka diharapkan
tidak secara langsung mendekati para pim- akan menjadi jalan bagi para aktivis pro-
pinan daerah dalam melakukan pendekatan KPH untuk terlibat lebih aktif dalam
kepada daerah. Tugas untuk meyakinkan mendorong pembangunan KPH.
pimpinan daerah dan DPRD dinilai akan Berdasarkan temuan-temuan ini dapat
lebih efektif apabila dilakukan oleh disimpulkan bahwa pengaturan posisi-po-
Kemendagri, mengingat Kemendagri me- sisi yang ada di dalam rezim peraturan
miliki posisi yang kuat di hadapan Pemda. KPH saat ini belum sepenuhnya dirancang
Hal ini berkaitan dengan kedudukan berdasarkan pertimbangan prospek keter-
Kemendagri sesuai UU No. 32/2004 se- jaminan kelancaran proses. Hal ini di-
bagai evaluator dan pembina pemerintah buktikan dengan kurang operasionalnya
daerah. beberapa posisi strategis (Kemendagri dan
Isu kedua yang dinilai penting adalah Pemda pada umumnya), yang tidak disertai
“perlu dibukanya ruang partisipasi yang dengan dibuatnya posisi-posisi pendorong
luas bagi para pihak yang potensial dapat atau penyeimbang.
membantu pembangunan KPH”. Para pi-
hak tersebut antara lain dari unsur akade- B. Aturan Keanggotaan
misi, organisasi rimbawan, lembaga donor, Mekanisme keluar-masuknya individu
LSM dan unsur masyarakat lainnya yang atau organisasi menjadi partisipan dan per-
terkait. Terdapat dua alasan yang men-
syaratan menempati posisi tertentu di da-
dasarinya: pertama, membangun KPH da-
lam arena aksi pembangunan KPHL/
lam skala nasional adalah pekerjaan sangat
KPHP tidak secara khusus diatur di dalam
besar, baik secara politis, teknis maupun
ketiga peraturan yang dianalisis, namun di-
finansial; kedua, membangun KPH berarti
atur secara umum pada peraturan lain.
perlu mengubah paradigma birokrat
Mekanisme keanggotaan para partisipan
kehutanan dari posisinya yang selama ini
pada dasarnya dapat dipilah menjadi dua
sebagai forest administrator menjadi forest
cara, yaitu: pertama, bagi aparat pemerintah,
administrator dan forest manager. Upaya
Pemda, dan wakil rakyat (DPRD), ma-
mengubah paradigma ini seringkali
suknya menjadi partisipan ke dalam arena
menghadapi resistensi dari pihak-pihak
aksi dikaitkan langsung dengan aturan
yang merasa kenyamanannya terganggu.
rekrutmen individu dan tupoksi dari
Sekalipun pelibatan berbagai unsur pe-
lembaga yang bersangkutan. Misalnya
merintah dan masyarakat pada dasarnya di-
untuk pimpinan daerah dan anggota
mungkinkan karena telah diatur dalam Pa-
DPRD diatur dalam UU No. 32/2004;
sal 70 UU No. 41/1999, namun UU ini be-
kedua, bagi unsur non pemerintah, biasanya
lum ditindaklanjuti dengan aturan ope-
melalui mekanisme permintaan atau
rasional. Faktanya, sepanjang proses pem-
kerjasama dari satker penanggungjawab
bangunan KPH pihak Kemenhut hampir
pembangunan KPH, misalnya mengenai
selalu melibatkan unsur lain terutama
pelibatan akademisi diatur dalam Pasal
akademisi. Selain itu juga ada unsur lem-
217(7) UU No. 32/2004. Adanya aturan
baga kerjasama internasional pemerintah
keanggotaan ini merupakan implikasi dari
Jerman (GIZ) sebagai penyandang dana adanya aturan posisi. Bila di dalam aturan
(funding). Sebenarnya masih ada beberapa
posisi ditetapkan adanya posisi-posisi
pihak yang dapat dilibatkan mengingat po-
18
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.
tertentu, maka mekanisme dan prasyarat Berdasarkan temuan ini dapat disimpul-
keluar-masuknya individu atau organisasi kan bahwa terdapat ketidak-sinkronan per-
ke dalam posisi-posisi tersebut juga perlu aturan tentang kewenangan penetapan or-
diatur. Sebaliknya bila di dalam aturan ganisasi KPHL/KPHP antara PP No. 6/
posisi tidak ada posisi tertentu, maka 2007 jo. PP No. 3/2008 dengan
aturan keanggotaan tentang posisi tersebut Permendagri No. 61/2010. Kesalahan ter-
tidak akan ada. letak pada Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. PP
Berdasarkan temuan ini dapat disimpul- No. 3/2008 yang tidak sejalan dengan
kan bahwa ketiga peraturan yang dianalisis prinsip sistem penyelenggaraan pemerin-
tidak mengatur mekanisme keanggotaan tahan daerah, oleh karenanya perlu direvisi.
para partisipan ke dalam arena aksi pem- Selain itu sebagaimana yang sudah dibahas
bangunan organisasi KPHL/KPHP, na- pada aturan posisi, kewenangan pembinaan
mun diatur secara umum pada peraturan umum organisasi oleh Mendagri hingga sa-
yang lain. Salah satu implikasi dari situasi at ini belum dilaksanakan dengan optimal
itu, dalam konteks pembangunan organi- sehingga berdampak kepada lambatnya
sasi KPHL/KPHP sebagai suatu konsep pembentukan dan operasionalisasi organi-
dan institusi baru, adalah terjadinya kesen- sasi KPHL/KPHP.
jangan pemahaman di antara para partisi-
pan dan kurang eratnya kerjasama di antara D. Aturan Agregasi
para anggota tim.
Aturan agregasi mengatur bagaimana
cara pengambilan keputusan di dalam suatu
C. Aturan Otoritas kelompok masyarakat atau organisasi. Apa-
Aturan otoritas berkaitan dengan pem- kah diserahkan kepada seseorang pada po-
bagian tugas dan wewenang untuk setiap sisi tertentu, atau melalui pemungutan
posisi di dalam arena aksi. Menurut PP No. suara, atau dengan menggunakan alat bantu
6/2007 jo. PP No. 3/2008, Menteri Ke- teknologi tertentu seperti rambu-rambu
hutanan berwenang menetapkan organisasi lampu lalu lintas di perempatan jalan dalam
KPH (KPHK, KPHL dan KPHP), sedang- mengatur para pengendara. Salah satu
kan menurut Permendagri No. 61/2010 fungsi penting dari aturan agregasi adalah
mengingat KPHL/KPHP adalah organisasi menyediakan mekanisme “jalan keluar”
daerah maka ditetapkan melalui Peraturan apabila tidak tercapai kesepakatan di antara
Daerah (Perda). Permendagri ini tidak beberapa partisipan (dead lock) dalam suatu
mengacu kepada PP No. 6/2007 jo. PP tahap pengambilan keputusan.
No. 3/2008 melainkan mengacu kepada Di dalam ketiga peraturan yang di-
Pasal 2 PP No. 41/2007. Dengan demikian analisis tidak terdapat jenis aturan agregasi.
terdapat ketidaksinkronan di antara Hal ini menjadi salah satu titik lemah dari
peraturan-peraturan tersebut. peraturan tersebut. Misalnya dalam kasus
Menurut Permendagri No. 61/2010, di Provinsi Riau, Pemda Riau sudah me-
Mendagri bertugas melakukan pembinaan netapkan struktur organisasi UPTD KPHP
organisasi KPHL/KPHP dan Menhut me- Tasik Besar Serkap melalui Pergub No.
lakukan pembinaan teknis. Sebagaimana te- 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Namun
lah diungkapkan di dalam aturan posisi demikian, hingga dua tahun kemudian be-
bahwa pembinaan organisasi yang dilaku- lum ada penempatan personil pada or-
kan oleh Mendagri belum optimal. Salah ganisasi KPHP tersebut. Alasan yang di-
satu indikatornya adalah belum adanya kemukakan oleh Pemda Riau, sebagai kon-
Pemda provinsi/kab/kota yang telah sekuensi dari penempatan personil adalah
mengubah bentuk UPTD KPHL/KPHP harus disediakan biaya rutin dan biaya
menjadi SKPD sesuai dengan instruksi pa- operasional KPH yang besar, sementara
da Pasal 18 Permendagri tersebut. bantuan dari pemerintah sifatnya insidentil
(seperti bantuan kantor dan
19
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27
kelengkapannya, kendaraan roda empat menjadi salah satu penyebab kurangnya
dan roda dua, dan beberapa peralatan dukungan pihak-pihak yang bersangkutan
survei). khususnya unsur pemerintah daerah, terha-
Berdasarkan temuan ini dapat disimpul- dap pembangunan KPH.
kan bahwa di dalam ketiga peraturan yang Berdasarkan temuan tersebut dapat di-
dianalisis belum menyediakan aturan agre- simpulkan bahwa ketiga peraturan yang di-
gasi untuk mengantipasi terjadinya ketidak- analisis tidak secara khusus mengatur ten-
mufakatan di antara para partisipan dalam tang informasi KPH, namun diatur secara
pembentukan dan operasionalisasi KPHL/ umum (tentang informasi kehutanan) di
KPHP. Keadaan ini berdampak kepada dalam peraturan-peraturan lainnya. Kinerja
terjadinya stagnasi menuju tahapan berikut- dari peraturan informasi yang ada sudah
nya dalam rangka operasionalisasi KPHL/ cukup baik. Hal tersebut diindikasikan de-
KPHP. ngan ketersediaan informasi KPH yang cu-
kup lengkap dan mudah diakses, baik be-
E. Aturan Informasi rupa media maya (website) maupun media
Di dalam ketiga peraturan yang di- cetak (buku). Namun demikian yang men-
analisis, tidak terdapat aturan yang secara jadi masalah saat ini tidak terbatas pada
khusus mengatur tentang informasi ber- ketersediaan informasi dan kemudahan
kaitan dengan pembentukan organisasi aksesnya. Tantangan berikutnya adalah ba-
KPHL/KPHP. Aturan tentang informasi gaimana agar informasi tersebut dapat
memang sudah diatur di dalam UU No. dipahami, kemudian menciptakan kese-
14/2008 tentang Keterbukaan Informasi pahaman dan menumbuhkan motivasi bagi
Publik, kemudian di dalam PP No. 61/ para partisipan di daerah. Dengan kata lain,
2010 tentang pelaksanaan UU No. 14/ selain proses sosialisasi juga diperlukan
2008, dan turunannya pada Permenhut No. adanya proses edukasi sebagai salah satu
P.02/2010 tentang Sistem Informasi Ke- pilihan instrumen kebijakan (Cubbage et al.,
2007).
hutanan. Salah satu langkah penting dalam
rangka melaksanakan peraturan-peraturan
tersebut, Kemenhut telah membuat situs F. Aturan Lingkup
“Media Informasi KPH” dengan alamat Dari ketiga peraturan yang dianalisis,
http://www.kph.dephut.go.id/. Selain itu dapat diidentifikasi setidak-tidaknya ada ti-
Kemenhut, dengan didukung oleh GIZ, ga masalah menyangkut aturan lingkup,
juga telah mengeluarkan beberapa buku yaitu:
tentang KPH. Namun yang menjadi 1. Dalam Permendagri No. 61/2010 di-
masalah saat ini tidak terbatas pada nyatakan bahwa bentuk organisasi
ketersediaan informasi dan kemudahan KPHL/KPHP adalah SKPD (bukan
aksesnya saja, melainkan pada bagaimana UPTD). Kemudian dalam ketentuan
informasi tersebut dapat dipahami serta peralihan dinyatakan bahwa KPHP/
terbangunnya kesepahaman di antara para KPHL yang telah dibentuk sebelum di-
partisipan utama. berlakukan Permendagri ini “wajib me-
Isu yang mengemuka berkaitan dengan nyesuaikan dengan peraturan ini paling
aturan informasi adalah perlu adanya pusat lambat satu tahun setelah ditetapkan”
informasi, komunikasi dan konsultasi (Permendagri ini ditetapkan pada tang-
KPH. Satuan tugas ini diperlukan terutama gal 23 Desember 2010). Pemda yang su-
untuk meningkatkan pemahaman berbagai dah membentuk organisasi KPHL/
pihak terhadap konsep KPH dan seluruh KPHP, pada umumnya dalam bentuk
aspeknya, sebab pada tahap awal proses UPTD dengan mengacu kepada PP No.
pembangunan KPH masih banyak pihak 41/2007 tentang Organisasi Perangkat
yang belum mengerti sepenuhnya tentang Daerah. Pemda provinsi mengacu kepa-
KPH. Kurangnya pemahaman ini diduga da Pasal 7(6) yang menyatakan bahwa
20
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.
pada dinas daerah dapat dibentuk UPT sional Lore Lindu yang luas wilayah
Dinas untuk melaksanakan sebagian ke- kelolanya ± 217.991,18 ha, Eselon IIa.
giatan teknis operasional dan/atau ke- Penetapan eselonisasi ini direspon nega-
giatan teknis penunjang yang mempu- tif oleh para partisipan daerah karena
nyai wilayah kerja satu atau beberapa mereka memprediksi akan menyulitkan
wilayah kabupaten/kota. Alasannya ka- pelaksanaan tugas pejabat KPHL/
rena PP No. 41/2007 dinilai lebih sesuai KPHP ketika harus berkoordinasi de-
dan aplikatif bagi daerah saat ini, baik ngan berbagai instansi lain di daerah,
ditinjau dari ketersediaan SDM, ang- mengingat eselon kepala SKPD saat ini
garan maupun harmonisasi hubungan semuanya eselon II.
dengan Dinas Kehutanan. Berdasarkan
Berdasarkan temuan-temuan tersebut
data Direktorat Jenderal Planologi Ke-
dapat disimpulkan bahwa kriteria pe-
hutanan per Januari 2013, dari 68 unit
nyusunan organisasi KPHP/KPHL dalam
organisasi KPHL/KPHP yang sudah
Permendagri No. 61/2010 belum lengkap
dibentuk terdapat 61 unit berbentuk
dan belum aplikatif. Situasi ini cenderung
UPTD dan hanya tujuh unit berbentuk
mendorong sebagian besar Pemda meng-
SKPD (Direktorat Jenderal Planologi
acu langsung kepada PP No. 41/2007 yang
Kehutanan, 2013).
tidak secara khusus mengatur tentang pem-
2. Dalam Permendagri No. 61/2010 mau- bentukan organisasi KPHL/KPHP, na-
pun peraturan lainnya belum tersedia mun mereka memandang lebih lengkap
kriteria yang jelas tentang penentuan or- dan lebih aplikatif bagi daerah.
ganisasi KPHL/KPHP ke dalam kate-
gori Tipe A atau Tipe B, apakah ber- G. Aturan Biaya-Manfaat
dasarkan luas wilayah kelola, ketersedia-
an SDM, atau kemampuan pendanaan Dalam PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/
daerah? Misalnya, bila dibandingkan 2008 dan Permendagri No. 61/2010 di-
berdasarkan luas wilayah kelola antar nyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerin-
KPHL/KPHP, KPHP Model Tasik Be- tah Provinsi bertanggungjawab atas pem-
sar Serkap (Provinsi Riau) luas wilayah bangunan KPH dan infrastrukturnya. Dana
kelolanya ± 513.276 ha, Tipe A; KPHP pembangunan KPH bersumber dari
Model Kampar Kiri (Provinsi Riau) luas APBN, APBD dan dana lain yang tidak
wilayah kelolanya ± 143.783 ha, Tipe B mengikat sesuai peraturan perundang-
dan KPHP Model Gedong Wani (Pro- undangan.
vinsi Lampung) luas wilayah kelolanya Kedua peraturan tersebut baru meng-
± 30.243 ha, Tipe A. atur tentang pembiayaan pembangunan
3. Menurut Permendagri No. 61/2010 KPH, namun belum mengatur tentang in-
eselon bagi Kepala KPHL/KPHP Tipe sentif bagi daerah. Isu yang mengemuka ju-
A adalah IIIa dan bagi Kepala KPHL/ ga senada, yaitu peraturan tentang KPH sa-
KPHP Tipe B adalah IVa. Bila meng- at ini belum menyediakan insentif bagi
gunakan kembali contoh kasus pada bu- daerah. Menurut partisipan daerah, sudah
tir (2), perbandingan eselon Kepala selayaknya apabila beban pengelolaan hu-
KPHP Model Tasik Besar Serkap de- tan lindung (melalui KPHL) dan hutan
ngan luas wilayah kelola ± 513.276 ha, produksi (melalui KPHP) diserahkan ke-
Eselon IIIa; Kepala KPHP Model pada daerah, maka perlu diimbangi dengan
Kampar Kiri dengan luas wilayah kelola pemberian sejumlah insentif yang
± 143.783 ha, Eselon IVa dan Kepala memadai, antara lain melalui peningkatan
KPHP Model Gedong Wani dengan porsi bagi hasil untuk daerah.
luas wilayah kelola ± 30.243 ha, Eselon Berdasarkan hasil kajian praktik de-
IIIa; kemudian bila dibandingkan de- sentralisasi hutan di berbagai negara, Gre-
ngan Kepala Balai Besar Taman Na- gersen et al. (2006) menyatakan bahwa de-
sentralisasi administrasi tanpa adanya ke-
21
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27
setaraan hak atas sumber-sumber keuangan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
menciptakan insentif bagi pemerintah disimpulkan bahwa konsep „rules-in-use’
daerah untuk mengelola sumberdaya secara Ostrom yang terdiri dari tujuh jenis aturan,
tidak berkelanjutan (tidak lestari) dan untuk yaitu aturan posisi, aturan keanggotaan,
menghimpun pendapatan bagi pembiayaan aturan otoritas tindakan, aturan agregasi,
operasional. Bahkan jika pemerintah pusat aturan informasi, aturan lingkup dan aturan
menyediakan dana, dengan tidak adanya biaya-manfaat terbukti efektif untuk me-
kepastian terhadap kontrol atas hutan tetap nemukan kelemahan-kelemahan suatu per-
akan menjadi insentif bagi pemerintah aturan. Selain dengan cara menganalisis pa-
daerah untuk mengeksploitasi sumberdaya sal demi pasal, terjadinya kesenjangan (gap)
hutan secara intens. Meinzen-Dick & antara tujuan peraturan dengan kinerja
Knox (2001) juga menyatakan bahwa salah yang dihasilkan, menjadi umpan-balik un-
satu insentif yang paling penting bagi pe- tuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan
ngelola sumberdaya hutan adalah pemberi- tersebut. Namun demikian, sebagaimana
an hak-hak (property rights) yang diperlukan, dinyatakan oleh Ostrom melalui kerangka
untuk mendorong mereka bersedia me- kerja IAD-nya, kinerja kebijakan tidak ha-
nanggung biaya pengelolaan sumberdaya nya dipengaruhi oleh kelengkapan dan
alam. Ostrom (1999) menyatakan bahwa kualitas peraturan, namun juga dipengaruhi
masalah tersebut dapat terselesaikan dari oleh faktor-faktor eksogen lainnya yaitu ka-
dalam apabila para partisipan utama secara rakteristik biofisik dan atribut komunitas
simultan melakukan perubahan besar da- dan faktor endogen yaitu karakteristik para
lam mengatur struktur insentif yang di- partisipan itu sendiri.
hadapi oleh mereka semua. Dalam pem- Butir-butir penting hasil analisis per-
bangunan KPH, aturan insentif antara lain aturan yang didukung oleh umpan-balik
dapat diatur kembali pada peraturan ten- dari proses implementasi peraturan terse-
tang keuangan pusat-daerah (PP No. 55/ but adalah sebagai berikut:
2005), khususnya tentang Dana Bagi Hasil 1. Pengaturan posisi tentang pembentuk-
(DBH) Sumber Daya Alam Kehutanan an dan operasionalisasi KPHL/KPHP
yang berasal dari Iuran Izin Usaha Pe- di dalam rezim peraturan KPH saat ini
manfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber belum sepenuhnya dirancang berdasar-
Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi kan pertimbangan prospek keterjamin-
(DR). an kelancaran proses. Hal ini dibukti-
Berdasarkan temuan ini dapat disimpul- kan dengan kurang operasionalnya be-
kan bahwa rezim peraturan KPH yang ada berapa posisi strategis (Kemendagri
saat ini belum dirancang berdasarkan pen- dan Pemda pada umumnya) yang tidak
dekatan insentif-disinsentif, tapi lebih ber- disertai dengan dibuatnya posisi-posisi
corak pola komando. Secara umum di- penyeimbang atau pendorong.
yakini bahwa di dalam sistem desentralisasi 2. Pada ketiga peraturan yang dianalisis ti-
pola pendekatan insentif-disinsentif akan dak mengatur mekanisme keanggotaan
lebih efektif menghasilkan kinerja yang di- para partisipan ke dalam arena aksi
harapkan daripada pola pendekatan ko- pembangunan organisasi KPHL/
mando yang lebih cocok dijalankan pada KPHP, namun hal ini diatur secara
sistem pemerintahan yang sentralistik. umum pada peraturan yang lain. Salah
satu implikasinya adalah terjadi ke-
senjangan pemahaman di antara para
IV. KESIMPULAN DAN partisipan dan kurang eratnya kerja-
REKOMENDASI sama tim sehingga membutuhkan fase
sosialisasi di level internal dan inten-
A. Kesimpulan sitas koordinasi yang tinggi.

22
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.
3. Terdapat ketidak-sinkronan peraturan B. Rekomendasi
tentang kewenangan penetapan organi- Berdasarkan kesimpulan di atas maka
sasi KPHL/KPHP antara PP No. dapat direkomendasikan kepada pe-
6/2007 jo. PP No. 3/2008 dengan merintah untuk menggunakan tujuh unsur
Permendagri No. 61/2010. Kesalahan peraturan dari konsep rule-in-use Ostrom
terletak pada Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. dalam menyusun dan memperbaiki per-
PP No. 3/2008 yang tidak sejalan de- aturan. Tujuh unsur peraturan tersebut da-
ngan prinsip sistem penyelenggaraan pat digunakan untuk merancang struktur
pemerintahan daerah. situasi aksi bagi para partisipan, agar meng-
4. Ketiga peraturan yang dianalisis belum arah kepada terbentuknya perilaku dan
menyediakan aturan agregasi untuk dampak yang diharapkan.
mengantisipasi terjadinya ketidak- Berdasarkan butir-butir temuan pada
mufakatan di antara para partisipan da- kesimpulan, dapat diajukan rekomendasi
lam pembentukan dan operasionalisasi sesuai lingkup tujuh unsur aturan sebagai
KPHL/KPHP. Keadaan ini berdam- berikut:
pak kepada terjadinya stagnasi menuju 1. Penetapan posisi-posisi di dalam per-
tahapan berikutnya dalam rangka aturan seyogyanya dirancang berdasar-
operasionalisasi KPHL/KPHP. kan hasil analisis kebutuhan konfigurasi
5. Kriteria di dalam Permendagri No. 61/ dan formasi partisipan dengan mem-
2010 untuk menyusun organisasi perhitungkan relevansi serta kekuatan-
KPHP/KPHL belum lengkap dan apli- kekuatannya. Di antaranya dengan me-
katif. Situasi ini mendorong sebagian masukkan unsur-unsur yang memiliki
besar pemerintah daerah mengacu daya penyeimbang dan daya dorong
langsung kepada PP No. 41/2007 yang (perguruan tinggi, LSM, organisasi rim-
tidak secara khusus mengatur tentang bawan, dan lain-lain). Pengaturan po-
pembentukan organisasi KPHL/ sisi dipadukan dengan penataan aturan
KPHP. otoritas yang diarahkan kepada lebih
6. Kinerja dari aturan informasi yang ada dominannya posisi-posisi pro-KPH di-
sudah cukup baik, diindikasikan de- banding posisi-posisi yang resisten.
ngan ketersediaan informasi KPH yang 2. Partisipan dengan posisi strategis untuk
cukup lengkap dan mudah diakses. Na- melakukan pembinaan organisasi
mun yang menjadi masalah saat ini bu- KPHL/KPHP kepada pemerintah
kan terbatas pada ketersediaan infor- daerah (yaitu Kemendagri) perlu di-
masi dan kemudahan aksesnya, melain- tingkatkan perannya. Hal ini dapat di-
kan pada bagaimana informasi tersebut lakukan dengan meningkatkan intense-
dapat dipahami, terbangunnya kese- tas pertemuan dan koordinasi di antara
pahaman dan tumbuhnya motivasi bagi unsur Kemenhut dan Kemendagri.
para partisipan utama. 3. Bagi sebuah kebijakan besar seperti
7. Rezim peraturan KPH yang ada saat ini pembangunan KPH, seyogianya ada
belum dirancang berdasarkan pen- penegasan khusus tentang aturan ke-
dekatan insentif-disinsentif, tapi lebih anggotaan organisasi pembangunan
bercorak pola komando. Secara umum KPH. Keberadaan lembaga ad-hoc se-
diyakini bahwa di dalam sistem de- perti Sekretariat Nasional (Seknas)
sentralisasi, pola pendekatan insentif- Pembangunan KPH yang konfigurasi
disinsentif akan lebih efektif mengha- keanggotaannya relevan dan didomi-
silkan kinerja yang diharapkan daripada nasi oleh partisipan pro-KPH, akan
pola pendekatan komando yang lebih menjadi alternatif yang baik apabila pe-
cocok dijalankan pada sistem pemerin- laksanaan tugasnya dioptimalkan.
tahan sentralistik. 4. Ketidak-sinkronan tentang kewenang-
an penetapan organisasi KPHL/KPHP
23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27
antara PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/ functional forest management. Forest
2008 dengan Permendagri No. 61/ Policy and Economics, 9, 833-851.
2010 dapat diatasi dengan mengubah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/ (2013). Perkembangan wilayah KPHP
2008. dan KPHL model. Diakses dari http:
5. Guna mengatasi ketidaksepahaman di //www.kph.dephut.go.id/index.php
antara para partisipan utama, seperti ?option=com_ content&view
yang terjadi pada kasus KPH Tasik =category&layout=blog&id=73
Besar Serkap, terlebih dahulu perlu di- &Itemid=222.(8 Pebruari 2014).
identifikasi fase-fase krusial dalam pro- Dunn, W.N. (2000). Pengantar analisis ke-
ses pengambilan keputusan di dalam bijakan. (S. Wiwaha, Trans.). Yogya-
suatu peraturan, lalu dibuat aturan karta: Gadjah Mada University Press.
agregasi untuk menyediakan jalan ke- Gregersen, H. M., Hermosilla, A. C.,
luarnya. White, A., & Philips, L. (2006). Tata
6. Tentang belum lengkap dan implemen- kelola hutan dalam sistem federal:
tatifnya kriteria pada Permendagri No. Sebuah tinjauan atas pengalaman dan
61/2010 dapat diatasi melalui pe- implikasinya terhadap desentralisasi.
nyempurnaan kriteria dalam Per- In Colfer, C.J.P., & Capistrano, D.
mendagri ini dengan memperhatikan (Eds.), Politik desentralisasi: hutan, ke-
masukan-masukan dari para pihak khu- kuasaan dan rakyat, pengalaman di ber-
susnya pemerintah daerah. bagai negara. Bogor: Center for Inter-
7. Guna meningkatkan pemahaman ten- national Forestry Research (CIFOR).
tang konsep KPH serta membangkit- Hill, M. & Hupe, P. (2002). Implementing
kan minat membangun KPH pada para public policy. London: Thousand
partisipan utama, dapat ditempuh an- Oaks, New Delhi: Sage Publication.
tara lain melalui penunjukan satuan tu- Kartodihardjo, H. (2008). Kerangka hubung-
gas yang berfungsi sebagai pusat in- an kerja antar lembaga sebelum dan sete-
formasi, komunikasi dan konsultasi lah adanya KPH. (Laporan proyek
KPH. GTZ). Strengthening the Manage-
8. Guna membangkitkan minat mem- ment Capacities in the Ministry of
bangun KPH pada para partisipan uta- Forestry (SMCF).
ma, khususnya partisipan di daerah, re- Kartodihardjo, H., Nugroho, B., & Putro,
zim peraturan KPH (dan peraturan ke- H.P. (2011). Pembangunan kesatuan pe-
hutanan secara umum) seyogyanya di- ngelolaan hutan (KPH): konsep, peraturan
rancang berdasarkan pola pendekatan perundangan dan implementasi. Jakarta:
insentif-disinsentif. Direktorat Jenderal Planologi Ke-
hutanan.
Meinzen-Dick, R., & Knox, A. (2001).
DAFTAR PUSTAKA Collective action, property rights and
Birkland, T.A. (2001). An introduction to the devolution of natural resource ma-
policy process: theories, concepts, and models nagement: A conceptual framework.
of public policy making. New York: In Meinzen-Dick, R., Knox, A., &
M.E. Sharpe. Gregorio, M.D. (Eds), Collective action,
Blomquist, W. (2006). The policy process property rights and devolution of natural
and large-comparative studies. In resource management: exchange of
Sabatier, P.A. (Ed.), Theories of the knowledge and implications for policy.
policy process. Boulder, CO: Westview Feldafing, Germany: DSE/ZEL.
Press. Nurrochmat, D.R. & Hasan, M.F. (Eds.).
Cubbage, F., Harou, P., & Sills. R. (2007). Ekonomi politik kehutanan: Mengurai
Policy instruments to enhance multi- mitos dan fakta pengelolaan hutan. (Ce-
takan kedua, revisi). Jakarta: INDEF.
24
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.
Nurrochmat, D.R. (2011). Review infra- Ostrom, E., Gardner, G., & Walker, J.
structure framework and mechanism related (2006). Rule, games & common-pool
to SFM as important option in reducing resources. Michigan: University of Mi-
emission from deforestation and forest de- chigan Press.
gradation. (MoFor-ITTO project re- Sabatier, P.A., Leach, W., Lubell, M., &
port). Jakarta: MoFor-ITTO. Pelkey, N. (2005). Theoretical frame-
Ostrom, E. (1999). Governing the commons: works explaining partnership
The evolution of institutions for collective success. In Sabatier, P. A., Lubell,
action. Cambridge: Cambridge Uni- M., & Focht, W. (Eds.), Swimming
versity Press. upstream: Collaborative approaches to
Ostrom, E. (2005). Understanding institutional watershed management. Cambridge, MA:
diversity. Princenton, New Jersey: MIT Press.
Princenton University Press.
Schlager, E., & Blomquist, W. (1996). A
Ostrom, E. (2008). Institutions and the
comparison of three emerging
environment. Economic Affairs, 28(3),
theories of the policy process. Po-
24-31.
litical Research Quarterly, 49(3), 31-50.
Ostrom, E. & Crawford, S. (2005). A
grammar of institutions. In Ostrom, Schweik, C.M., & Kitsing, M. (2010).
E. (Ed.), Understanding institutional di- Applying Elinor Ostrom‟s rule classi-
versity. Princeton: Princeton Univer- fication framework to the analysis of
sity Press. open source software commons.
Transnational Corporation Review, 2(1),
13-26.

25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 1, April 2015 : 13-27

Lampiran 1. Analisis isi tiga peraturan pembentukan organisasi KPH


Appendix 1. Content analysis of three regulations of KPH formation
Tujuh unsur
PP No. 6/2007 jo. PP No.
konsep (Rules in Permendagri No. 61/2010 PP No. 41/2007
3/2008
use Ostrom)
Aturan posisi - Menteri Kehutanan - Menteri Dalam Negeri - Menteri Dalam Negeri
(Position rules) sebagai penetap sebagai pembina umum sebagai pembina dan
organisasi KPHK, organisasi KPHP/KPHL pengendali rancangan
KPHL, KPHP (8:1) (16:1) peraturan daerah Organisasi
- Pemerintah provinsi - Menteri Kehutanan sebagai Perangkat Daerah (OPD)
sebagai pengusul pembina teknis organisasi provinsi (38:1)
organisasi KPHL/KPHP KPHP/KPHL (16:2) - Menteri Penertiban
lintas kabupaten/kota - Pemerintah provinsi Aparatur Negara sebagai
dan pemberi (Gubernur dan DPRD pemberi pertimbangan
pertimbangan tehnis provinsi) sebagai pembuat untuk pembentukan
(8:2a) Peraturan Daerah Provinsi lembaga lain dari OPD
(Organisasi KPHL/KPHP (45:2)
ditetapkan melalui Peraturan - Pemerintah daerah provinsi
daerah) (2:2) sebagai pembuat Peraturan
Daerah Provinsi ( 2:1)
- Gubernur sebagai pembuat
Peraturan Gubernur, rincian
tugas pokok dan fungsi dan
tata hubungan kerja OPD (l
2:3)
Aturan anggota Tidak ada Tidak ada Tidak ada
(Boundary rules)
Aturan otoritas - Menteri Kehutanan - Pembentukan organisasi - Pembentukan OPD
(Authority rules) menetapkan organisasi KPHL/KPHP lintas ditetapkan melalui Peraturan
KPHK, KPHL, KPHP kabupaten/kota ditetapkan daerah (2:1)
(8:1) melalui Peraturan Daerah - Peraturan daerah mengatur
- Pemerintah Provinsi Provinsi (2:2) susunan dan kedudukan dan
mengusulkan organisasi - Menteri Dalam Negeri tugas pokok dan fungsi (2:2)
KPHL/KPHP lintas melakukan pembinaan - Rincian tugas pokok dan
kabupaten/kota (8:2a) umum atas KPH provinsi fungsi dan tata kerja diatur
- Pemerintah Provinsi (16:1) dalam Peraturan Gubernur
memberikan - Menteri Kehutanan (2:3)
pertimbangan teknis melakukan pembinaan - Menteri Dalam Negeri
(8:2c) teknis (16:2) melakukan pembinaan dan
- Menteri Kehutanan pengendalian OPD provinsi
membuat tata cara (38:1); Pemantauan dan
penetapan, pertimbangan evaluasi penataan OPD
teknis dan usulan (42:1)
penetapan organisasi
(8:3&6)
Aturan agregasi Tidak ada Tidak ada Tidak ada
(Aggregation rules)
Aturan informasi Tidak ada Tidak ada Tidak ada
(Information rules)

26
Penggunaan Konsep Rules-in-Use Ostrom dalam Analisis Peraturan...
Eno Suwarno et al.

Lampiran 1. Lanjutan
Appendix 1. Continued
Tujuh unsur
PP No. 6/2007 jo. PP No.
konsep (Rules in Permendagri No. 61/2010 PP No. 41/2007
3/2008
use Ostrom)
Aturan lingkup - KPH meliputi KPHK, - Organisasi KPHL dan - Pada dinas daerah dapat
(Scope rules) KPHL dan KPHP (5) KPHP dalam bentuk SKPD dibentuk UPT (7:6)
- Wilayah KPH ditetapkan (2:1) - Kepala UPT dinas eselon
dalam satu atau lebih - KPHL/KPHP terdiri dari IIIa, Kasi-Kasubbag-
fungsi pokok hutan dan Tipe A dan Tipe B (5:1) Kasubbid eselon IVa (34:4)
satu wilayah administrasi - Penentuan tipe - Dalam rangka menjalankan
atau lintas wilayah KPHL/KPHP berdasarkan tugas dan fungsi,
administrasi NSPK (5:2) Pemerintah daerah dapat
pemerintahan (6:1) - Kepala KPHL/KPHP Tipe membentuk lembaga lain
A eselon IIIa; Tipe B Eselon sebagai bagian dari
IVa (11:1-2) perangkat daerah (45:1)
- KPHP/KPHL yang - Organisasi dan tata kerja
dibentuk sebelum serta eselonisasi lembaga
diberlakukan peraturan ini tersebut ditetapkan Menteri
wajib menyesuaikan paling Dalam Negeri setelah
lambat 1 tahun setelah mendapat pertimbangan
ditetapkan (18) dari Men Penertiban
- Peraturan Menteri ini mulai Aparatur Negara (45:2)
berlaku tanggal 23
Desember 2010 (19)
Aturan biaya- - Pemerintah, Pemerintah Pembiayaan KPHL/KPHP -
manfaat (Payoff daerah provinsi dibebankan kepada APBD dan
rules) bertanggungjawab atas sumber lain yang sah dan tidak
pembangunan KPH mengikat sesuai peraturan
dan infrastrukturnya perundangan (17)
(10:1)
- Dana pembangunan
KPH bersumber dari
APBN, APBD dan
dana lain yang tidak
mengikat sesuai
peraturan perundangan
(10:2)

27

You might also like