You are on page 1of 12

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm.

247-258, Juni 2015

RESPON MOLTING DAN SINTASAN KEPITING BAKAU (Scylla olivacea) YANG


DIINJEKSI DENGAN EKSTRAK DAUN MURBEI (Morus spp.)

SURVIVAL AND RESPONSE MOLTING OF MUD CRAB (Scylla olivacea) INJECTED


WITH MURBEY (Morus spp.) LEAVE EXTRACT

Herlinah1*, Andi Tenriulo1, Early Septiningsih1, dan Hidayat Suryanto Suwoyo1


1
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan
*
E-mail: hjompa@yahoo.com

ABSTRACT
The soft shell crab productivity has been hampered due to the long rearing time and unsimultaneous
molting of the crab. This study aimed to determine the effect of murbey (Morus spp.) leave extract as
molting stimulant on Scylla olivacea and its best extract dosage to be applied in soft shell crabs
production technology. Application of murbey extract was conducted by using injection method with 5
treatments such as (a) 0 ppm (as control); (b) 100 ppm; (c) 125 ppm; and (d) 150 ppm for 12
individual per treatment. The results showed that the highest molting percentage (50%) was obtained
at the concentration of 100 ppm. Meanwhile, the control (0 ppm), 125 ppm, and 150 ppm treatments
displayed the same molting response (33.3%). The fastest latent molting time (29 days) was found at
the treatment of 125 ppm and the slowest one of 44 days at 100 and 150 ppm treatments. The best
growth of crabs injected with murbey leaves extract was at the concentration of 100 ppm with the
carapace width of 6.0 mm and the body weight of 32.98 g, while the lowest was obtained at the
concentration of 150 ppm with the carapace width of 3.8 mm and the body weight of 25.43 g. Crabs
treated with murbey extract at the concentrations of 100, 125, and 150 ppm exhibited survival rate of
91.7 % vs. the control of 83.3%. Murbey leaves extract have been proven to be effective in stimulating
molting mud crab (Scylla olivacea). The 100 ppm exhibited the best response for growth and molting
percentage, while the 125 ppm showed the best performance for latent period molting of the crab.

Keywords: molting response, survival rate, Scylla olivacea, murbei leaves, Morus spp.

ABSTRAK
Produksi kepiting cangkang lunak saat ini terkendala akibat periode pemeliharaan kepiting yang lama
dan waktu molting yang tidak serentak. Penelitian bertujuan menguji efektivitas ekstrak daun murbei
(Morus spp.) sebagai stimulan molting pada kepiting bakau (Scylla olivacea) dan menentukan dosis
penyuntikan yang terbaik sehingga dapat diaplikasikan dalam teknologi produksi kepiting bakau
lunak. Perlakuan penyuntikan kepiting bakau bobot 75-100 g dengan dosis: (a) tanpa penyuntikan (se-
bagai kontrol); (b) 100 ppm; (c) 125 ppm; dan (d) 150 ppm untuk sebanyak 12 ekor setiap perlakuan,
dipelihara dalam crab box dengan rancangan acak lengkap. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase molting tertinggi sebesar 50% diperoleh pada per-
lakuan100 ppm, sedangkan persentase molting kepiting pada kontrol, perlakuan 125, dan 150 ppm
adalah sama yakni 33,3%. Masa laten molting tercepat yakni 29 hari diperoleh pada perlakuan125 ppm
dimana pada hari tersebut ada 1 ekor (8,33%) kepiting yang molting. Masa laten molting terlama yakni
44 hari pada dosis 100 dan 150 ppm. Rata-rata pertambahan lebar karapaks dan bobot tertinggi yakni
6,0 mm dan 32,98 g dihasilkan oleh perlakuan 100 ppm, sedangkan terendah yakni 3,8 mm dan 25,43
g pada perlakuan 150 ppm. Sintasan kepiting bakau pada perlakuan dosis 100, 125, dan 150 ppm
adalah sama yakni sebesar 91,7%, sementara perlakuan kontrol sebesar 83,3%. Ekstrak daun murbei
(Morus spp.) terbukti memiliki efektivitas menstimulasi molting pada kepiting bakau (Scylla
olivacea). Dosis yang memiliki kinerja terbaik dalam merespon pertumbuhan dan persentase molting
diperoleh pada perlakuan 100 ppm, sementara dosis 125 ppm menunjukkan kinerja terbaik dalam
merespon masa laten atau kecepatan molting pada kepiting bakau.

Kata kunci: respon molting, sintasan, kepiting bakau Scylla olivacea, daun murbei, Morus spp.

@Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 247
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

I. PENDAHULUAN cara mutilasi, sehingga perlu dikembangkan


teknologi budidaya kepiting cangkang lunak
Kepiting bakau (Scylla sp) merupa- yang aplikatif dan mampu mengatasi perma-
kan salah satu komoditas perikanan pantai, salahan yang ada.
khususnya di hutan-hutan bakau (mangrove) Pada budidaya kepiting penggantian
(Kanna, 2002). Kepiting bakau termasuk ko- kulit dapat terjadi secara alami atau dapat
moditas perikanan yang mempunyai nilai diinduksi melalui rangsangan dan penambah-
ekonomis penting dan menjadi salah satu an hormon ini (Lafont et al., 2003; Gunama-
produk perikanan unggulan Kementerian Ke- lai et al., 2003). Salah satu cara yang telah
lautan dan Perikanan saat ini. Potensi pasar dikembangkan dalam mempercepat perganti-
yang cukup besar memberi peluang bagi an kulit pada kepiting bakau adalah melalui
pengembangan budidaya kepiting bakau se- penyuntikan hormon molting dari bahan her-
cara lebih serius dan komersial. Salah satu bal yakni ekstrak bayam dan murbei. Fujaya
permintaan ekspor yang terus meningkat ada- dan Trijuno (2007) telah menemukan salah
lah kepiting cangkang lunak. Kegiatan pro- satu teknologi budidaya kepiting cangkang
duksi kepiting cangkang lunak atau soft shell lunak (soft shell) dengan menggunakan
crabs memiliki prospek cerah untuk dijadi- vitomolt yang terdiri dari bahan yaitu yang
kan sebagai salah satu alternatif kegiatan usa- berupa ekstrak tanaman bayam (Amaran-
ha perikanan. Komoditas perikanan ini meru- thacea tircolor) yang mengandung 20 hy-
pakan produk ekspor yang memiliki harga droxyecdison (20E). Untuk tujuan diversi-
relatif tinggi dibandingkan dengan kepiting fikasi produk penggunaan tanaman maka
berkulit keras. perlu dicari dan dikembangkan sumber hor-
Secara ekonomis budidaya kepiting mon pemicu pergantian kulit lainnya yakni
cangkang lunak menguntungkan, namun se- daun murbei (Herlinah et al., 2013). Mur-
bagian besar pengusaha kepiting lunak tidak bei, Morus spp. dikenal juga sebagai tum-
mengalami kontinuitas usaha. Periode peme- buhan sutra karena dapat dijadikan tempat
liharaan yang lama dan waktu molting yang hidup dan pakan ulat sutra, Bombyx mori.
tidak serentak menjadi kendala utama dalam (Sánchez, 2000). Murbei mengandung ba-
usaha ini. Periode pemeliharaan yang lama nyak senyawa kimia seperti ecdysterone,
menyebabkan biaya pakan dan operasional inokosterone, lupeol, β-sitosterol, rutin, mo-
menjadi tinggi, sedangkan waktu molting racetin, scopoletin, benzaldehida, eugenol,
yang tidak serentak mengharuskan penga- linalol, benzyl alkohol, butylamine, aseton,
wasan yang lebih ketat selama pemeliharaan kholine dan quercetin (Kim et al., 2000).
sehingga kurang efisien dari segi waktu dan Murbei telah terbukti mampu mempercepat
tenaga (Ansari dan Sulaeman, 2010). Berba- molting pada insekta (ulat sutera). Ber-
gai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dasarkan berbagai penelitian tersebut, diper-
kendala tersebut seperti dengan rangsangan oleh gambaran bahwa melalui isolasi dan
melalui manipulasi makanan, lingkungan dan identifikasi, tanaman ini memiliki kandungan
teknik autotomi organ kaki. Bila mengguna- ecdysterone yang tinggi dan mampu mem-
kan teknologi mutilasi atau autotomi, ke- percepat pergantian kulit kepiting bakau.
piting molting lebih cepat yakni berkisar 1 Meskipun ekstrak bayam memiliki
bulan, namun pertumbuhan kecil atau tidak kandungan hormon ecdysteoid yang lebih
tumbuh dan mortalitas tinggi (sekitar 50%) tinggi dibanding daun murbei, namun tanam-
karena selama masa pemeliharaan mengala- an bayam akan bersaing dengan manusia.
mi stres dan infeksi (Karim, 2007; Muslimin, Tanaman murbei juga mudah tumbuh dimana
2010). Adanya isu animal fare akan menga- -mana dan dapat tumbuh sepanjang tahun.
kibatkan penolakan oleh negara importir Untuk itu, pengembangan dan pemanfaatan
terhadap kepiting yang diproduksi dengan ekstrak murbei dianggap lebih potensial.

248 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Herlinah et al.

Aplikasi penyuntikan ekstrak herbal 100 ppm; 125 ppm; dan 150 ppm) sebannyak
dipilih karena melalui cara tersebut seluruh 12 ekor kepiting setiap perlakuan (sebagai
substansi pemacu molting langsung masuk ulangan). Penelitian dilaksanakan pada bulan
kedalam tubuh. Pemanfaatan hormon ekdis- Mei sampai Juli 2013 di Instalasi Tambak
teroid pada kepiting perlu disesuaikan de- Balai Penelitian dan Pengembangan Budida-
ngan kebutuhannyauntuk melakukan proses ya Air Payau di Maranak, Kabupaten Maros,
molting. Kisaran ekdisteroid yang ada pada Sulawesi Selatan. Wadah yang digunakan
kepiting berbeda-beda dari tiap fase molting- adalah bak fiber ukuran 2,5 x 2 x 0,5 m dan
nya. Menurut Herlinah et al. (2013) dan Her- “crab box” atau keranjang plastik sebagai
linah et al. (2014), kisaran ekdisteroid yang wadah untuk tiap ekor kepiting uji sebanyak
diperlukan oleh kepiting bakau dari fase 48 buah berukuran panjang, lebar dan tinggi
setelah molting dan sebelum molting yakni masing-masing 15 x 18,5 x 20 cm. Keranjang
40,76 - 175,2 ppm. Hal ini memperlihatkan dilengkapi tutup untuk mencegah keluarnya
bahwa kebutuhan ekdisteroid pada fase sebe- kepiting dari wadah pemeliharaan.Setiap
lum molting meningkat untuk mendukung kotak berisi 1 kepiting yang telah diinjeksi
proses molting kepiting bakau. Tunner dan ekstrak murbei selanjutnya keranjang diletak-
Bagnara (1998) mengemukakan kesalahan kan dan disusun secara acak ke dalam bak
dalam pemilihan waktu pemberian dan fiber. Sebelum digunakan, wadah penelitian
jumlah hormon yang kurang atau lebih akan terlebih dahulu disterilisasi setelah itu diisi
menimbulkan konsekuensi terhadap organis- air dengan ketinggian sekitar 15 cm kemu-
me. Secara spesifik, Fujaya et al. (2012) dian diberi aerasi untuk membantu menyu-
menjelaskan bahwa konsentrasi hormon yang plai oksigen dalam media pemeliharaan.
tinggi menyebabkan produksi reseptor ter- Hewan uji diperoleh dari pengepul
hambat dan kemampuan sel reseptor dalam dan penjual kepiting yang berada di Pangkep.
mengikat hormon menurun sehingga pem- Sumber hormon berasal dari ekstrak daun
bentukan protein terhambat pula, akibatnya, murbei (Morus spp.) yang mengandung ek-
pertumbuhan dan molting akan terhambat. disteroid dengan konsentrasi sekitar 2.665
Dari beberapa sumber data dan hasil-hasil ppm dengan proses pengekstratan mengguna-
penelitian yang diperoleh, karena masih kan pelarut metanol 80% (Quinitio et al.,
merupakan penemuan awal maka perlu dila- 1991). Hormon dipersiapkan di Laboratorium
kukan pengkajian yang bertujuan untuk men- Bioteknologi Balai Penelitian dan Pengemba-
cari dosis ekdisteroid dari ekstrak daun mur- ngan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros.
bei (Morus spp.) terbaik yang dapat men-
stimulasi molting, pertumbuhan, dan sintasan 22. Aplikasi hormon dan pemeliharaan
pada kepiting bakau (S. olivacea). kepiting
Sebelum disuntik, kepiting terlebih
II. METODE PENELITIAN dahulu dipelihara selama seminggu di bak
untuk proses adaptasi. Kepiting ditimbang
2.1. Rancangan Penelitian dan diukur untuk mengetahui bobot dan uku-
Metode yang digunakan dalam pene- ran tubuh awal kemudian dilanjutkan dengan
litian ini adalah pendekatan eksperimental. proses penyuntikan ekstrak daun murbei pada
Pendekatan ini digunakan dalam penentuan pangkal kaki renang menggunakan jarum
kisaran dosis ekdisteron yang dibutuhkan un- suntik (syringe) volume 1 mL dengan jarum
tuk memacu terjadinya molting pada kepiting suntik berukuran 27 gauge. Penyuntikan dila-
bakau. Penelitian dilakukan dengan menggu- kukan sebanyak satu kali dengan volume
nakan rancangan acak lengkap dengan 4 per- suntikan 0,1 mL (Fujaya et al., 2012; Herli-
lakuan dosis ekstrak murbei (0 ppm/kontrol; nah et al., 2012) dengan dosis sesuai perla-
kuan.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 249
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

Pakan yang diberikan pada kepiting data masa laten molting dilakukan selama
bakau selama pemeliharaan adalah ikan ru- masa penelitian.
cah basah (ikan layang) dengan persentase
pemberian pakan 5% dari bobot tubuh per 2.3.2. Pertumbuhan Bobot Badan Mutlak
hari. Frekuensi pemberian pakan dilakukan 1 Pertumbuhan bobot badan mutlak di-
kali sehari yakni pada sore hari menjelang hitung berdasarkan selisih dari bobot badan
malam pada pukul 17.30 WITA. Hal ini setelah molting atau pada akhir penelitian
dikarenakan kepiting memiliki sifat noctur- dengan bobot badan kepiting pada awal
nal. Untuk menjaga kualitas air dilakukan penelitian (Zonneveld et al.,1991).
penyifonan sisa-sisa pakan dan pergantian air
sebanyak 100% setiap 3 hari dengan tujuan 2.3.3. Pertumbuhan Lebar Karapaks
untuk mempertahankan kualitas air agar tetap Mutlak
layak sebagai media pemeliharaan. Pertumbuhan lebar karapaks mutlak
dihitung berdasarkan selisih dari lebar kara-
2.3. Parameter Uji dan Analisis Statistik pas setelah molting atau pada akhir penelitian
Pengamatan secara visual dilakukan dengan lebar karapas kepiting pada awal
setiap hari untuk melihat perkembangan ke- penelitian (Zonneveld et al., 1991).
piting uji setelah dilakukan penyuntikan.
Sesaat setelah molting, kepiting yang masih 2.3.4. Sintasan
lunak segera diangkat dari crab box dan Sintasan hewan uji selama penelitian
dipindahkan ke wadah terpisah. Setelah satu dihitung berdasarkan pada perbandingan
jam atau setelah ukuran tubuh kepiting telah jumlah kepiting uji pada akhir dengan jumlah
sempurna dilakukan penimbangan pada bo- awal pemeliharaan dikalikan seratus (Huynh
bot akhir dengan menggunakan timbangan and Fotedar, 2004). Untuk melihat perbeda-
elektrik dengan tingkat ketelitian 0,01 g dan an respon, datapersentase molting, partum-
lebar karapas diukur menggunakan mistar buhan, dan sintasan dilakukan analisis ragam
ukur. Pengamatan dilakukan hingga hari ke- (ANOVA) pada tarap 95 %. Hasil pengamat-
60 setelah penyuntikan. an masa laten molting dan kualitas air diana-
Pengukuran parameter kualitas air lisis secara deskriptif.
meliputi suhu, dissolved oxygen (DO), salini-
tas, dan pH dilakukan pada pagi hari sebelum III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pergantian air. Suhu dan DO diukur meng-
gunakan DO meter, salinitas menggunakan 3.1. Hasil
handrefractometer, pH diukur menggunakan 3.1.1. Persentase dan Masa Laten Mol-
cairan pH dan kertas pH. Kadar amonia ting
diukur 1 kali dalam seminggu di Labora- Persetase molting kepiting uji pada
torium Kualitas Air BPPBAP Maros dengan perlakuan dosis penyuntikan 100 ppm (50%)
metode Spektrofotometri. lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
dosis yang lain. Perlakuan dosis 0 ppm
2.3.1. Persentase dan Masa Laten Molting (kontrol) memperlihatkan persentase sebesar
Persentase molting dihitung berdasar- 33,3% kemudian dengan adanya peningkatan
kan perbandingan jumlah kepiting yang me- dosis sebesar 100 ppm dapat meningkatkan
lakukan pergantian kulit selama masa peme- persentase molting menjadi 50%. Sementara
liharaan dengan jumlah awal kepiting yang itu peningkatan dosis di atas 100 ppmyaitu
diberi perlakuan dikali 100 (Arifin, 2010). pada dosis 125 ppmdan 150 ppm menun-
Masa laten molting diamati dengan melihat jukkan persentase molting yang rendah, yaitu
jumlah hari yang dibutuhkan kepiting untuk sebesar 33,3%. Hubungan antara dosis eks-
molting setelah penyuntikan. Pengambilan trak daun murbei dengan persentase molting

250 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Herlinah et al.

ditunjukkan melalui persamaan regresi Y = - da perlakuan dosis 100 ppm yakni 15,25 mm
0.002x2 + 0.408x + 33.57 dengan R2 = 0.667 dan terendah pada dosis 150 ppm yakni 10,5
(Gambar 1). mm. Hal yang sama juga terjadi pada per-
Masa laten molting diamati dengan tambahan bobot badan, tertinggi pada per-
melihat jumlah hari yang dibutuhkan untuk lakuan dosis 100 ppm yakni 33,02 g dan
molting setelah penyuntikan. Jumlah kisaran terendah pada perlakuan kontrol yakni 21,75
hari yang dibutuhkan kepiting bakau untuk g (Gambar 2).
melakukan molting setelah penyuntikan eks-
trak daun murbei, yakni 42-58 hari pada
perlakuan 0 ppm (kontrol), 44-60 hari pada
100 ppm, 29-57 hari pada 125 ppm, 44-57
hari pada 150 ppm (Tabel 1). Masa laten
tercepat yakni 29 hari pada dosis 125 ppm
dan yang terlama 57 hari pada dosis 100
ppm.

Gambar 2. Rata-rata pertumbuhan bobot (g)


dan panjang mutlak (mm) kepi-
ting bakau (Scylla olivacea) yang
telah diinjeksi ekstrak murbei do-
sis berbeda.

3.1.3. Sintasan
Sintasan kepiting uji terendah ter-
Gambar 1. Persentase molting kepiting uji dapat pada perlakuan 0 ppm (kontrol) sebesar
pada berbagai perlakuan. 83,3%. Sementara sintasan masing-masing
perlakuan injeksi dosis 100, 125 dan 150
3.1.2. Pertumbuhan Mutlak ppm memiliki persentase yang lebih baik
Rata-rata pertumbuhan mutlak lebar yakni masing-masing sebesar 91,7% (Gam-
karapaks kepiting bakau tertinggi adalah pa- bar 3).

Tabel 1. Masa laten molting kepiting bakau Scylla olivacea yang disuntik dengan ekstrak
daun murbei.

Perlakuan Kisaran waktu (hari)


Dosis
(ppm/) 29 31 42 44 45 51 54 56 57 58 59 60
0
100
125
150

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 251
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

waktu dan jumlah yangsama dikarenakan


adanya perbedaan mekanisme fisiologis yang
dipengaruhi faktor internal dan eksternal
masing-masing spesies. Rata-rata persentase
molting dan hubungan antara dosis ekstrak
daun murbei dengan persentase molting kepi-
ting bakau Scylla olivacea disajikan pada
Gambar 1.
Berdasarkan persamaan regresi hubu-
ngan antara dosis ekstrakdaun murbei dengan
persentase molting kepiting bakau Scylla
olivacea, dapat diketahui bahwa molting ke-
piting bakau dapat dicapai pada dosis opti-
mum ekstrak daun murbei 102 ppm. Kurva
yang berpola kuadratik menunjukkan bahwa
molting kepiting bakau akan maksimum pada
Gambar 3. Sintasan kepiting bakau (Scylla dosis yang optimum. Analisis ragam menun-
olivacea) yang telah diinjeksi ek- jukkan bahwa injeksi ekdisteroid dari ekstrak
strak murbei dengan dosis berbe- murbei tidak berpengaruh nyata (P>0.05)
da. terhadap persentase molting kepiting bakau.
Data persentase molting menunjukkan bahwa
3.1.4. Kualitas Air peningkatan 100 ppm dapat meningkatkan
Hasil pengukuran kualitas air selama persentase molting menjadi 50%.Hal ini di-
penelitian masih berada dalam standar kua- duga karena kadar ekdisteroid pada dosis
litas air yang baik untuk budidaya kepiting tersebut lebih efektif dan telah mencukupi
bakau yakni untuk salinitas 22-28 g/L, suhu kebutuhan kepiting untuk memulai proses
26,5-28 oC, DO 5-6,69 mg/l, dan pH 7,5-8,0 molting yang juga didukung oleh kondisi
seperti terlihat pada Tabel 2. Sedangkan un- lingkungan yang optimal. Menurut Herlinah
tuk amonia terdapat nilai yang lebih tinggi et al. (2013) kepiting membutuhkan kadar
dari standar yakni 2,56 mg/l. ekdisteron hingga 175,2 ppm untuk memulai
proses molting, kemudian turun hingga 40,76
3.2. ppm setelah molting. Fujaya et Pal. (2012)
embahasan menambahkan bahwa peningkatan level hor-
Proses pergantian kulit atau molting mon molting dalam hemolim merupakan si-
merupakan suatu fenomena yang mutlak ter- nyal bagi tubuh untuk memulai proses mol-
jadi pada krustasea termasuk kepiting bakau. ting.
Namun peristiwa ini tidak berlangsung dalam

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air selama penelitian.

Standar Kualitas air yang baik pada budidaya


Parameter Kisaran penelitian kepiting bakau
Fujaya et al. (2012); Rusdi dan Karim (2006)
Salinitas (g/L) 22 – 28 15–30
Suhu (oC) 26.5 – 28.0 25–35
DO (mg/L) 5.00 – 6.69 >5
pH 7.5 – 8.0 6,8–8,2
Amonia (NH3-) 0.09 – 2.56 0,5–1,0

252 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Herlinah et al.

Persentase molting tertinggi pada adalah pakan yang umum digunakan untuk
perlakuan hormon 100 ppm menunjukkan pembesaran atau budidaya kepiting dimasya-
bahwa penambahan kadar hormon 100 ppm karat. Menurunnya nafsu makan pada kepi-
pada kepiting adalah yang paling sesuai ting diduga karena jenis dan karakteristik
untuk mencukupi kebutuhan kepiting untuk pakan belum mampu merangsang kepiting
memulai proses molting. Persentase molting untuk memakan dan menghabiskan pakan
yang lebih rendah pada perlakuan dosis 0; tersebut. Untuk itu, penelitian aspek pakan
125; dan 150 ppm diduga karena kadar masih membutuhkan pengkajian lebih lan-
hormon ekdisteroid dalam hemolimp kepiting jutnya, antara lain tentang penggunaan pakan
belum sesuai dengan kebutuhan kepiting jenis ikan rucah. Menurut Pratiwi (1991)
untuk melakukan proses molting. Kelebihan faktor-faktor yang menentukan dimakan atau
dosis ekdisteroid dapat memberi pengaruh tidaknya suatu jenis makanan oleh organisme
negatif terhadap respon molting kepiting. antara lain: ukuran makanan, ketersediaan
Tahyan (2008) menjelaskan mengenai dam- makanan, warna terlihatnya makanan, selera
pak dari konsentrasi hormon yang tinggi ikan terhadap makanan, dan adaptasi fisio-
terhadap kerja reseptor. Dorrington (1979) logi.
dalam Fujaya et al., 2012) menjelaskan bah- Disamping itu, proses metabolisme
wa konsentrasi hormon yang tinggi menye- dan kinerja hormon molting sangat dipenga-
babkan produksi hormon reseptor terhambat ruhi oleh jumlah energi yang tersedia dalam
dan kemampuan sel reseptor dalam mengikat tubuh kepiting.Thompton et al. (2006) me-
hormon menurun. Reseptor adalah suatu ngemukakan secara fisiologis, molting dikon-
perangkat biologi dalam tubuh yang bertugas trol oleh hormon molting. Dengan demikian,
mengenali kode yang dibawa oleh suatu induksi molting menggunakan hormon mol-
hormon. Bila kinerja reseptor menurun, maka ting ditunjang tingkat metabolisme yang pri-
pembentukan produk baru seperti protein ma dan ketersediaan energi yang cukup dapat
akan terhambat pula. Akibatnya, pertumbuh- mempercepat molting. Selain itu, pada fase
an dan molting akan terhambat. Selain itu, kepiting yang dipelihara masih pada tahap
faktor eksternal berupa kondisi lingkungan intermolt yang merupakan fase terpanjang
dan ketersediaan pakan juga mempengaruhi sampai kepiting tersebut molting. Menurut
efektivitas ekdisteroid dalam menstimulasi Fujaya et al. (2012). Pada fase intermolt ini
molting. Namun demikian faktor eksternal kepiting mulai mengubah metabolisme untuk
lingkungan dan pakan tidak mempengaruhi pemenuhan cadangan energi yang disimpan
perbedaan hasil dari penelitian ini karena dalam hepatopankreas yang akan digunakan
kondisinya diupayakan sama pada semua untuk proses molting berikutnya. Oleh karena
perlakuan dan ulangan. itu, selama pemenuhan energi yang dibutuh-
Hasil penelitian memperlihatkan ki- kan belum tercukupi, maka selama itu pula
nerja hormon molting belum memberi penga- waktu yang dibutuhkan kepiting menuju fase
ruh nyata terhadap persentase molting. Ku- premolt yakni fase awal untuk memulai
rangnya kepiting molting diduga karena dosis proses pergantian kulit.
yang diinjeksikan belum sesuai untuk meng- Berdasarkan Tabel 1, masa laten mol-
hasilkan kebutuhan energi bagi kepiting un- ting pada sampel perlakuan 125 ppm menun-
tuk melakukan proses molting tersebut. Se- jukkan waktu yang relatif lebih cepat yakni
lain itu, ketersediaan energi juga berasal dari 29 hari dibanding perlakuan dosis lainnya.
pakan yang diberikan. Selama pemeliharaan, Peningkatan dosis yang melewati level ter-
sebagian kepiting uji tidak memperlihatkan tentu diduga dapat menurunkan persentase
respon yang baik terhadap pakan yang diberi- dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan
kan padahal pakan ikan rucah yang diberikan kepiting untuk molting pada kepiting. Kinerja

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 253
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

hormone molting ini akan lebih efektif bila Pertumbuhan mutlak yang paling baik
didukung oleh kondisi lingkungan yang op- tersebut ditunjukkan oleh perlakuan dosis pe-
timal. Faktor eksternal seperti kondisi atau nyuntikan 100 ppm dengan pertumbuhan
siklus bulan diduga berpengaruh secara tidak rata-rata bobot badan mutlak adalah 32,98 g
langsung terhadap masa laten molting ke- dan pertumbuhan rata-rata lebar karapaks
piting uji. Dari hasil penelitian yang diper- sebesar 6,0 mm. Kemudian penambahan
oleh, rata-rata kepiting mengalami molting sosis yang terus-menerus menunjukkan pe-
sebelum dan sesudah bulan purnama atau nurunan nilai pertumbuhan pada kepiting uji.
bulan gelap. Hal ini sejalan dengan penelitian Nilai tersebut diperlihatkan oleh perlakuan
Fujaya dan Alam (2012) bahwa molting dosis penyuntikan 125 ppm dan 150 ppm
umumnya terjadi sebelum dan sesudah bulan yang masing-masing hanya mengalami per-
purnama, dimana pada bulan purnama dan tambahan bobot badan mutlak sebesar
bulan gelap aktivitas molting menurun se- 27,72% dan 25,43% serta pertambahan lebar
iring dengan terjadinya pasang. Secara spe- karapaks mutlak sebesar 5,0 dan 3,82%
sifik, Zimecki (2006) menjelaskan bahwa (Gambar 2). Hal tersebut sejalan dengan
siklus bulan memiliki pengaruh terhadap penelitian yang dilakukan oleh Tahya (2008)
perubahan hormonal pada filogenesis (seperti yang mengatakan bahwa peningkatan dosis
insekta dan vertebrata tingkat rendah). Pele- yang dilakukan terus menerus menunjukkan
pasan neurohormon diduga diinduksi oleh penurunan nilai pertumbuhan pada kepiting
radiasi atau tarikan gravitasi dari bulan. uji yang akan mengakibatkan dampak ter-
Neurohormon merupakan hormon pelepas hadap proses fisiologis yang diduga me-
yang merangsang hipofisis mengeluarkan nyebabkan pertumbuhan terganggu. Lebih
hormon, diantaranya hormon ekdisteroid lanjut William (1968 dalam Tahya, 2008)
yang merangsang perubahan atau pergantian membuktikan adanya dampak akibat ke-
kulit pada kepiting. Selain hormon ekdi- lebihan dosis ekdisteroid dalam tubuh berupa
steroid, neurohormon juga membantu pele- terjadinya retraksi epidermis yang tidak
pasan Molt Inhibiting Hormone (MIH), wajar.
hormon penghambat pergantian kulit. Terlepas dari fenomena ketidak sela-
Kepiting tidak dapat tumbuh secara rasan antara pertumbuhan, persentase dan
linear sebagaimana hewan lain karena kepi- masa laten molting apabila ditinjau dari
ting memiliki cangkang luar yang keras (ka- kepiting bakau yang dipelihara selama pe-
rapaks) yang tidak dapat bertumbuh, ka- nelitian ini berlangsung, yakni dosis 100 ppm
renanya agar kepiting dapat bertumbuh, ma- yang memiliki kinerja terbaik dalam meres-
ka karapas lama harus diganti yang baru dan pon pertumbuhan dan persentase molting,
lebih besar. Pertumbuhan yang menjadi sementara dosis 125 ppm yang memberi
peubah terukur pada penelitian ini adalah kinerja terbaik dalam merespon masa laten
pertambahan lebar karapaks (LK) dan bobot atau kecepatan molting pada kepiting bakau.
badan (BB) kepiting uji.Pengaruh pemberian Hal tersebut juga terbukti pada hasil Gambar
dosis perlakuan yang berbeda terhadap 1 dimana hasil persamaan regresi menunjuk-
pertumbuhan mutlak kepiting uji. Berdasar- kan grafik berupa kurva dimana puncaknya
kan hasil analisis ragam, injeksi hormon ti- terjadi pada titik 100 ppm. Berdasarkan hal
dak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tersebut maka dapat dinyatakan bahwa dosis
pertambahan bobot dan lebar karapas mutlak. yang memberi hasil terbaik berada diantara
Namun, hasil pengamatan menunjukkan 100 ppm dan 125 ppm.
adanya dosis ekdisteroid pada level tertentu Penyuntikan hormon ekdisteroid dari
dapat meningkatkan pertambahan lebar ekstrak daun murbei lebih aman dibanding-
karapaks dan bobot badan pada kepiting kan dengan metode mutilasi yang sintasan-
bakau dibandingkan dengan kontrol. nya hanya bisa mencapai 50-70%, begitu

254 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Herlinah et al.

pula dengan kepiting kontrol yang memiliki menyebabkan pertumbuhan kepiting akan
persentase sebesar 83,3% (Gambar 3). Hasil lambat. Tahya (2008) menambahkan bahwa
penelitian ini sesuai dengan apa yang dike- pada suhu perairan yang tinggi aktivitas
mukakan oleh Feldman (2009) bahwa salah metabolisme akan meningkat, dan pada kon-
satu kelebihan dari penggunaan ekdisteroid disi seperti itu konsumsi oksigen organisme
sebagai stimulan molting pada kepiting me- akan bertambah, sedangkan kelarutan oksi-
lalui penyuntikan tidak menyebabkan kema- gen dalam air menurun dengan bertambahnya
tian. Selain itu, ekdisteroid berperan pula da- suhu sehingga dapat menyebabkan kematian
lam meminimalkan pengaruh stres karena organisme.
kemampuannya dalam meningkatkan resis- Amoniak merupakan produk utama
tensi tubuh terhadap stres, mencegah ke- limbah nitrogen yang berasal dari sisa-sisa
letihan, dan meningkatkan energi. pakan dan dari kepiting itu sendiri.Apabila
Kualitas air merupakan salah satu kadar amoniak tinggu dalam media peme-
faktor penunjang keberhasilan budidaya ke- liharaan maka kepiting tidak dapat melepas-
piting dalam menunjang keberhasilan mol- kan amoniak ke dalam air sehingga akan
ting dan mengurangi dampak lain yang dapat terakumulasi dalam tubuhnya. Akumulasi
mempengaruhi selama proses molting pada amoniak yang tinggi dalam hemolim me-
kepiting bakau. Salinitas adalah salah satu nyebabkan peningkatan aminogenesis se-
faktor lingkungan yang perlu diperhatikan hingga terjadi peningkatan konsumsi ok-
karena berpengaruh penting dalam per- sigen, penurunan pertumbuhan, serta dapat
tumbuhan organisme akuatik. Pengaruh ter- menyebabkan kematian Fujaya et al. (2012).
sebut terutama berkaitan dengan tekanan Sedangkan Turano (2007) mengemukakan,
osmotik yang dihasilkan. Kepiting membu- bahwa dalam produksi kepiting lunak, amo-
tuhkan daya adaptasi lingkungan terhadap niak toksik dan nitrit sebaiknya hanya berada
salinitas untuk mengatur keadaan optimal pada kisaran 0,5-1,0 ppm. Selama penelitian,
dalam tubuhnya yang disebut dengan ka- terdapat nilai amonia yang lebih tinggi dari
pasitas osmoregulasi. Kisaran salinitas air standar yakni 2,56 mg/L, hal ini karena pe-
media selama penelitian adalah 22-28 g/l. ngambilan sampel dilakukan pada hari ketiga
Kisaran ini sesuai dengan yang dikemukakan setelah ganti air, dimana pergantian air dila-
oleh Kuntiyo et al. (1994) bahwa salinitas kukan setiap 3 hari sehingga kondisi tersebut
optimal untuk budidaya kepiting bakau ada- tidak berlangsung lama.
lah 15-30 g/L tergantung spesies. Lebih lan- Untuk mengurangi daya racun amo-
jut Fujaya et al. (2012) berpendapat bahwa niak, oksigen sangat diperlukan untuk meng-
Scylla serrata lebih cocok dibudidayakan konversi nitrogen menjadi bentuk yang tidak
pada salinitas tinggi (15-40 g/L), sedangkan toksik. Kisaran DO selama penelitian adalah
S.olivacea lebih cocok dibudidayakan pada 5,00-6,69 mg/l. Sesuai dengan pendapat
salinitas rendah (5-30 g/L). Fujaya et al. (2012) bahwa level DO sebaik-
Kisaran suhu 26,5-28,0°C sesuai de- nya dipertahankan di atas 5 mg/l untuk ke-
ngan pendapat Kuntiyo et al. (1994) bahwa berhasilan molting dan sintasan kepiting.
suhu optimum untuk kepiting adalah 26- Derajat keasaman atau pH juga ber-
32oC. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa pengaruh terhadap laju metabolisme organis-
kisaran suhu yang diperoleh selama pe- me diperairan. Fluktuasi pH dapat menga-
nelitian merupakan kisaran yang layak dan kibatkan metabolisme dalam tubuh kepiting
sesuai untuk berlangsungnya proses biologis terganggu dan dan menghambat proses per-
pada kepiting bakau. Suhu yang terlalu olehan energi sehingga menyebabkan kondisi
rendah menyebabkan aktivitas kepiting atau ikan melemah dan pathogen dengan mudah
tidak banyak bergerak sehingga nafsu ma- masuk menyerang. Kisaran pH yang diper-
kannya juga tidak terlalu besar, hal ini dapat oleh selama pemeliharaan berkisar 7,5-8,0.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 255
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

Kondisi tersebut termasuk layak dan sesuai Aslamyah, S. danY. Fujaya. 2010. Stimulasi
untuk media budidaya kepiting bakau lunak. molting dan pertumbuhan kepiting
Seperti yang dikemukakan oleh Kuntiyo et bakau (Scylla sp.) melalui aplikasi
al. (1994) bahwa pH optimal untuk budidaya pakan buatan berbahan dasar limbah
kepitng bakau ber-kisar 7,5-8,5. pangan yang diperkaya dengan eks-
trak bayam. J. Ilmu Kelautan, 15(3):
IV. KESIMPULAN 170-178.
Dorrington, J.H. 1979. Pituitary and placen-
Ekstrak daun murbei (Morus spp.) tal hormones. In: Austin et al. (eds.).
terbukti memiliki efektivitas menstimulasi Reproduction in mammals: 7 meca-
molting pada kepiting bakau (Scylla olive- nisms of hormone action. Cambridge
cea). Dosis yang memiliki kinerja terbaik University Press. Cambridge. 53-
dalam merespon pertumbuhan dan persentase 80pp.
molting diperoleh pada perlakuan 100 ppm, Feldman, J.I.G. 2009. Phytoecdysteroids.
sementara dosis 125 ppm menunjukkan ki- Understanding their anabolic activity.
nerja terbaik dalam merespon masa laten atau Dissertation. The State University of
kecepatan molting pada kepiting bakau. Sin- New Jersey. New Jersey. 143p.
tasan kepiting bakau yang mendapat perla- Fujaya, Y. dan N. Alam. 2012. Pengaruh
kuan suntik memiliki persentase yang lebih kualitas air, siklus bulan, dan pasang
baik yakni masing-masing sebesar 9,17% di- surut terhadap molting dan produksi
bandingkan dengan perlakuan kontrol yang kepiting cangkang lunak (Soft Shell
memiliki persentase sebesar 83,3%. Crab) di tambak komersil. Dalam:
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH (ed.). 21-23 Oktober 2012, Hotel
Grand Legy, Mataram, Nusa Tengga-
Penelitian ini dibiayai oleh Kemen- ra Barat. Hlm.:1-10.
terian Riset dan Teknologi melalui program Fujaya, Y., S. Aslamiyah, L. Fudjaja, dan N.
Insentif Ristek Nasional (InSINAS) tahun Alam. 2012. Budidaya dan bisnis ke-
2013 (Nomor Kontrak: 15/SEK/INSINAS piting lunak: stimulasi molting de-
/PPK/I/2013). Terima kasih disampaikan ke- ngan ekstrak bayam. Brilian Interna-
pada Muhammad Risal, ibu Emma Suryati, sional. Surabaya. 109hlm.
bapak Gunarto dan Muhammad Syakaria Fujaya, Y., E. Suryati, E. Nurcahyono, dan
yang telah membantu dan mendukung selama N. Alam. 2008. Titer ekdisteroid he-
pelaksanaan penelitian dan penulisan. molimp danciri morfologi rajungan
(Portunus pelagicus) selama fase
DAFTAR PUSTAKA molting dan reproduksi. Torani, 18
Ansari, N. dan Sulaeman. 2010. Pemacuan (3):266-274.
pergantian kulit kepiting bakau Fujaya,Y. dan D.D. Trijuno. 2007. Propil
(Scylla serrata) melalui manipulasi hormon ekdisteroid dalam hemolimph
lingkungan untuk menghasilkan kepi- kepiting bakau (Scylla olivaceous
ting lunak. Dalam: Prosiding Forum herbst 1796) selama periode molting
Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. dan pematangan gonad. Laporan Pe-
Hlm.:179-185. nelitian Fundamental. Universitas Ha-
Arifin, T.M. 2010. Optimalisasi penyuntikan sanudin. Makassar. 7hlm.
vitomolt sebagai stimulan molting Gunamalai, V., R. Kirubagaran, and T.
padakepiting bakau (Scylla sp). Di- Subramoniam. 2003. Sequestration of
sertasi. Sekolah Pascasarjana. Univer- ecdisteroid hormone into the ovary of
sitas Hasanuddin Makassar. 51hlm. the Mole Crab, Emerita Asitica

256 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Herlinah et al.

(Milne Edwards). Currents Science, (HL-60) cell line. Biol. Pharm. Bull.,
85(4):493-496. 23(4):451-455.
Herlinah, A. Tenriulo, dan E. Suryati. 2014. Kuntiyo, Z. Arifin, dan T. Supratomo. 1994.
Hormon ecdysteron dari ekstrak daun Pedoman budidaya kepiting bakau
murbei, (Morus spp.) sebagai molting (Scylla serrata) di tambak. Direktorat
stimulan pada kepiting bakau. Jenderal Perikanan, Balai Budidaya
J. Riset Akuakultur, 9(3):387-397. Air Payau, Jepara. 29hlm.
Herlinah, E. Suryati, R. Syah, A.Tenriulo, Lafont, R. dan L. Dinan. 2003. Practical uses
E. Siptiningsih, H.S. Suwoyo, dan for ecdysteroids in mammals include-
Kamaruddin. 2013. Efektifitas hor- ing humans: an update. J. of Insect
mon ecdysterone dari ekstrak daun Science, 3:1-30.
murbei dalam bentuk moist pellet Muslimin. 2010. Pengaruh induksi autotomi
untuk produksi kepiting bakau lunak. organ kaki terhadap molting, per-
Laporan Akhir Pelaksanaan Insentif tumbuhan dan sintasan kepiting ba-
Riset SINas. Nomor Kontrak: kau Scylla serrata. Tesis. Program
15/SEK/INSINAS/PPK/I/2013. Balai Pascasarjana. Universitas Hasanud-
Penelitian dan Pengembangan Budi- din. Makassar. 64hlm.
daya Air Payau Maros (unpublish). Pratiwi, N.T.M. 1991. Studi kebiasaan
53hlm. makanan ikan Betutu (Oxyleotris
Herlinah, A.F. Widodo., E. Suryati., Rachm- mermorata, Blkr) di daerah aliran
mansyah., E. Siptiningsih dan sungai Cisadane, Kabupaten Tange-
A. Tenriulo. 2012. Uji efektifitas hor- rang dan Waduk Saguling, Kabupaten
mon ecdysteroid dari ekstrak daun Bandung. Fakultas Perikanan. IPB.
murbei, Morus spp. sebagai molting 133hlm.
stimulan pada produksi kepiting Quinitio, E. T., K. Yamauchi, A. Hara, and
cangkang lunak. Laporan akhir pelak- A. Fuji. 1991. Profiles of progeste-
sanaan insentif riset SINas. Nomor rone and estradiol like substances in
kontrak: 1.19/SEK/IRS/PPK/I/2012. the hemolymph of female Pandalus
Balai Penelitian dan Pengembangan kessleri during an annual reproduc-
Budidaya Air Payau Maros (unpub- tive cycle. Gen. Comp. Endocrinol.,
lish). 48hlm. 81:343-348.
Huynh, M.S. and R. Fotedar. 2004. Growth, Rusdi. I. dan M.Y. Karim. 2006. Salinitas
survival, hemolymph osmolality and optimum bagi sintasan dan pertum-
organosomatic indices of the western buhan crablet kepiting bakau (Scylla
king prawn (Penaeus laticulatus paramamosain). J. Sains & Teknolo-
Kihinouye, 1896) reared at different gi, 6(3):149-157.
salinities. Aquaculture, 234:601-614. Sanchez, M.D. 2000. World distribution
Kanna, A. 2002. Budidaya kepiting bakau: and utilization of mulberry, potential
pembenihan dan pembesaran. Kanisi- for animal feeding. In: FAO electro-
us. Jakarta. 80hlm. nic conference on "mulberry for ani-
Karim, M.Y. 2007. Pengaruh salinitas terha- mal production".http://www. fao.org/
dap metabolisme kepiting bakau WAICENT/FAOINFO/AGA/AGAP/
(Scylla olivacea). J. Perikanan, 10 /FRG/Mulberry/Papers/HTML/Intro.
(1):37-44. htm [Retrieved on 24 Oktober 2013].
Kim S. Y., J.J. Gao, and H.K. Kang. 2000. Tahya.A.M. 2008. Respon Rajungan (Portu-
Two flavonoids from the leaves of nus pelagicus) terhadap penyuntikan
Morus alba induce differentiation of ekstrak kasar akar bayam (Amaran-
the human promyelocytic leukemia thus tricolor) sebagai stimulant mol-

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 257
Respon Molting dan Sintasan Kepiting Bakau (Scylla Olivacea) yang . . .

ting pada dosis yang berbeda. Zonneveld, N., A.E. Huisman, dan J.H.
Disertasi. Program Pascasarjana. Uni- Boon. 1991. Prinsip-prinsip budida-
versitas Hasanuddin. Makassar. ya ikan. PT. Gramedia, Jakarta.
35hlm. 318hlm.
Thompton, J.D., S.L. Tamone, dan S. Atkin- Zimecki, M. 2006. The lunar cycle: effects
son. 2006. Circulating ecdysteroid on human and animal behavior and
concen tration in Alaskan Dungesness physiology. Postepy Hig.Med.Dosw.
crab (Cancer magister). J. of Crusta- 60:1-7.
cean Biology, 26(2):176-181.
Tunner, C.D. dan J.T. Bagnara. 1998. Diterima : 17 Februari 2015
Endokrinologi umum. Airlangga Uni- Direview : 4 Juni 2015
versity Press. Surabaya. 746hlm. Disetujui : 26 Juni 2015

258 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71

You might also like