You are on page 1of 76

2014

Psycholinguistics
Compilation of Psycholinguistics Materials
This module is used to complete the students’ perspectives on looking at
psycholinguistics from its history and progress

Sumardiono
English Education Department
STKIP PGRI BLITAR
Handout of Psycholinguistics

Psycholinguistics
Compilation of Psycholinguistics Materials

Compiled by:
Sumardiono

ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT


UNDERGRADUATE PROGRAM
STKIP PGRI BLITAR
2014
Handout of Psycholinguistics

This Summary contains 13 theories consisting in the


Psycholinguistics handout which are summarized
according to the needed materials in the seventh semester
of academic year 2014/2015. As the addition, this is
complemented by related theories from other sources to
enrich and compare some linguistic schools gained in this
semester with some current issues in psycholinguistics.

The 14 theories cover detailed discussions as follows:

1. Introduction to Psycholinguistics 1
2. Introduction to Psycholinguistics 2
3. Objects and Scopes of Psycholinguistics
4. How Children Learn Language
5. World Englishes in Psycholinguistics Perspectives
6. Krashen’s Monitor Hypotheses 1
7. Krashen’s Monitor Hypotheses 2
8. Motivation and Its Roles
9. Multiple Language Representation and the Brain
10. Parsing Strategies: How we process the language
11. Parsing Strategies: Immediate Processing of Sentences
12. Contribution of Psycholinguistics in Language
Teaching
13. Contribution of Psycholinguistics in Language Skills
14. Speech and Language Disorder

Those topics are presented and reviewed then completing


additional theories as the comparison.

Hopefully it can be useful to the readers in enhancing


psycholinguistics schools. Have a better reading!

Sumardiono
Handout of Psycholinguistics

SEMESTER COURSE OUTLINE

Subject Matter : Psycholinguistics


Subject Code : ING 311
Semester Credit System : 2 sks
Competence Standard : The course is designed to provide the students with
the knowledge of the mental processes which
underline a human ability to speak and understand
language, first language acquisition, second language
acquisition, new findings in the study of language
acquisition, and the roles of psycholinguistics in
language skills and language teaching methods. (C2, A2,
P4)
Semester :7
Entry Year : 2010/2011
Schedule :

Week and Month Materials Method


1st Week of September Psycholinguistics Introduction (1)
2nd Week of September Psycholinguistics Introduction (2) Lecturing
3rd Week of September Objects and Scopes of Psycholinguistics Discussion
4th Week of September How Children Learn language Lecturing
1st Week of October World Englishes in Psycholinguistics Lecturing
Perspectives
2nd Week of October Krashen Monitor Hypotheses (1) Lecturing
3rd Week of October Krashen Monitor Hypotheses (2) Discussion
4th Week of October Motivation and Its Role Lecturing
1st Week of November Multiple Language Representation and Discussion
the Brain and Practice
2nd Week of November Parsing Strategies: Immediate Processing Lecturing
of Sentences (1)
3rd Week of November Parsing Strategies: Immediate Processing Lecturing
of Sentences (2)
4th Week of November Mid Term Test
5th Week of November Contribution of Psycholinguistics (1) Lecturing
1st Week of December Contribution of Psycholinguistics (2) Practice and
Discussion
2nd Week of December Speech and Language Disorder Lecturing
3rd Week of December Term Test

References

Ahmadin, D. 2009. Advanced Linguistics. Malang: Universtas Islam malag.


Carroll, David W. 1999. Psychology of Language (3rd ed.) Pacific grove: Brooks/Cole
Publishing Company, pages 131-137.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
Cowles, H. W. 2011. Psycholinguistics 101. New York: Springer Publishing Company.
Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Psikolinguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hamied, Fuad Abdul. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
Harras, K. A & Bachari, A. D. 2009. Dasar- Dasar Psikolinguistik. Bandung: FPBS
and UPI Press.
Klein, Wolfgang. 2006. World Englishes. Cambridge: Cambridge University Press.
Handout of Psycholinguistics

Krashen, Stephen D. 1981. Second Language Acquisition and Second Language Learning.
Oxford New York: Pergamon Press.
Krashen, Stephen D. 1986. Principles and Practice in Second Language Acquisition.
Oxford: Pergamon Press.
Krashen, Stephen D. dan Terrell, Tracy D. 1983. The Natural Approach: Language
Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon Press. .
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, halaman
236-238, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, Mansoer. 1988. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Ende: Nusa Indah, halaman 18-22.
Wilkins, D.A. 1980. Linguistics in Language Teaching. London: Edward Arnold.

Blitar, August 20th, 2014


Lecturer of Psycholinguistics

Sumardiono
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER I
INTRODUCTION TO PSYCHOLINGUISTICS 1
Definition, Branches, Development, and Experts of Psycholinguistics

A. Definition of Psycholinguistics
Secara etimologis, istilah Psikolinguistik berasal dari dua kata, yakni Psikologi
dan Linguistik. Seperti kita ketahui kedua kata tersebut masing-masing merujuk pada
nama sebuah disiplin ilmu. Secara umum, Psikologi sering didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan cara mengkaji hakikat stimulus,
hakikat respon, dan hakikat proses-proses pikiran sebelum stimulus atau respon itu
terjadi. Pakar psikologi sekarang ini cenderung menganggap psikologi sebagai ilmu
yang mengkaji proses berpikir manusia dan segala manifestasinya yang mengatur
perilaku manusia itu. Tujuan mengkaji proses berpikir itu ialah untuk memahami,
menjelaskan, dan meramalkan perilaku manusia.
Linguistik secara umum dan luas merupakan satu ilmu yang mengkaji bahasa
(Bloomfield, 1928:1). Bahasa dalam konteks linguistik dipandang sebagai sebuah
sistem bunyi yang arbriter, konvensional, dan dipergunakan oleh manusia sebagai
sarana komunikasi. Hal ini berarti bahwa linguistik secara umum tidak mengaitkan
bahasa dengan fenomena lain. Bahasa dipandang sebagai bahasa yang memiliki
struktur yang khas dan unik. Munculnya ilmu yang bernama psikolinguistik tidak
luput dari perkembangan kajian linguistik.
Pada mulanya istilah yang digunakan untuk psikolinguistik adalah linguistic
psychology (psikologi linguistik) dan ada pula yang menyebutnya sebagai
psychology of language (psikologi bahasa). Kemudian sebagai hasil kerja sama yang
lebih terarah dan sistematis, lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut sebagai
psikolinguistik (psycholinguistic).
Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis
yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang
didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh manusia (Simanjuntak, 1987: 1). Aitchison (1984), membatasi
psikolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pikiran. Psikolinguistik merupakan
bidang studi yang menghubungkan psikologi dengan linguistik. Tujuan utama
seorang psikolinguis ialah menemukan struktur dan proses yang melandasi
kemampuan manusia untuk berbicara dan memahami bahasa. Psikolinguis tidak
tertarik pada interaksi bahasa di antara para penutur bahasa. Yang mereka kerjakan
terutama ialah menggali apa yang terjadi ketika individu yang berbahasa.
Pakar psikologi maupun pakar linguistik sama-sama terlibat mempelajari
psikolinguistik. Kedua pakar itu termasuk pakar ilmu sosial. Oleh sebab itu,
pendekatan yang mereka gunakan dalam bidang ilmu ini hampir sama atau mirip.
Semua ilmuwan ilmu sosial bekerja dengan menyusun dan menguji hipotesis.
Misalnya, seorang psikolinguis berhipotesis bahwa tuturan seseorang yang
mengalami gangguan sistem sarafnya akan berdisintegrasi dalam urutan tertentu,
yaitu konstruksi terakhir yang dipelajarinya merupakan unsur yang lenyap paling
awal. Kemudian ia akan menguji hipotesisnya itu dengan mengumpulkan data dari
orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Dalam hal ini seorang ahli psikologi
dan linguis agak berbeda. Ahli psikologi menguji hipotesisnya terutama dengan cara
eksperimen yang terkontrol secara cermat. Seorang linguis, dalam sisi yang lain,
menguji hipotesisnya terutama dengan mengeceknya melalui tuturan spontan.
Handout of Psycholinguistics

Linguis menganggap bahwa keketatan situasi eksperimen kadang-kadang


membuahkan hasil yang palsu.
Psikolinguistik jika diilustrasikan bagaikan seekor bydra, yakni monster dengan
jumlah kepala yang tak terhingga. Tampaknya tidak ada batas yang akan dikaji oleh
psikolinguistik. Benarkah begitu? Simanjuntak (1987) menyatakan bahwa
masalah-masalah yang dikaji oleh psikolinguistik berkaitan dengan pertanyaan-
pertanyaan berikut ini, yakni:
(1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah bahasa itu bawaan ataukah hasil
belajar? Apakah ciri-ciri bahasa manusia itu? Unsur-unsur apa sajakah
yang tercakup dalam bahasa itu?
(2) Bagaimanakah bahasa itu ada dan mengapa ia harus ada? Di manakah
bahasa itu berada dan disimpan?
(3) Bagaimanakah bahasa pertama (bahasa ibu) itu diperoleh oleh seorang
anak? Bagaimana bahasa itu berkembang? Bagaimana bahasa kedua itu
dipelajari? Bagaimana seseorang menguasai dua, tiga bahasa, atau lebih?
(4) Bagaimana kalimat dihasilkan dan dipahami? Proses apa yang
berlangsung di dalam otak ketika manusia berbahasa?
(5) Bagaimana bahasa itu tumbuh, berubah, dan mati? Bagaimana suatu
dialek muncul dan berubah menjadi bahasa yang baru?
(6) Bagaimana hubungan bahasa dengan pikiran manusia? Bagaimana
pengaruh kedwibahasaan terhadap pikiran dan kecerdasan seseorang?
(7) Mengapa seseorang menderita afasia? Bagaimana mengobatinya?
(8) Bagaimana bahasa itu sebaiknya diajarkan agar benar-benar dapat
dikuasai dengan baik oleh pembelajar bahasa?
Jika Anda memperhatikan betapa banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh
psikolinguistik itu, maka pernyataan bahwa psikolinguistik bagaikan seekor bydra
mungkin benar. Tetapi, sebenarnya pernyataan bahwa psikolinguistik itu sebagai
seekor bydra tidak memuaskan. Oleh sebab itu, menurut Aicthison (1984) perlulah
kiranya objek kajian psikolinguistik itu dibatasi secara jujur. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh Simanjuntak di atas disederhanakan lagi oleh Aitchison menjadi
tiga pertanyaan saja. Menurut Aitchison (1984) ada tiga hal sebenarnya yang
menarik perhatian psikolinguistik, yakni (1) masalah pernerolehan bahasa, (2)
hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, dan (3) proses
produksi dan pemahaman tuturan.
1) Masalah pemerolehan
Apakah manusia memperoleh bahasa karena dia dilahirkan dengan dilengkapi
pengetahuan khusus tentang kebahasaan? Atau mereka dapat belajar bahasa
karena mereka adalah binatang yang sangat pintar sehingga mampu memecahkan
berbagai macam masalah?
2) Hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa
Linguis sering menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang memerikan
representasi bahasa internal seseorang (pengetahuan bahasanya). Ia kurang
tertarik untuk memerikan bagaimana penutur menggunakan bahasanya.
Kemudian bagaimanakah hubungan antara penggunaan dengan pengetahuan
bahasa tersebut? Seseorang yang belajar bahasa melakukan tiga hal:
(a) Memahami kalimat (dekode) > penggunaan bahasa
(b) Menghasilkan kalimat (enkode) > penggunaan bahasa
(c) Menyimpan pengetahuan bahasa > pengetahuan bahasa
Linguis lebih tertarik pada butir c daripada butir (a) dan (b). Apa yang perlu
diketahui seseorang psikolinguis ialah sebagai berikut: benarkah mengasumsikan
bahwa tipe tata bahasa yang disampaikan oleh linguis sesungguhnya
Handout of Psycholinguistics

mencerminkan pengetahuan individual yang terinternalisasikan tentang


bahasanya? Bagaimanakah pengetahuan itu digunakan ketika seseorang
menghasilkan tuturan (enkode) atau memahami tuturan (dekode)?
3). Menghasilkan dan memahami tuturan
Dengan mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa tidak berbeda dengan
pengetahuan bahasa, apakah sesungguhnya yang terjadi ketika seseorang itu
menghasilkan tuturan (berenkode) atau memahami tuturan (berdekode)?

Tiga pertanyaan itulah yang dikaji dalam psikolinguistik dengan


mempertimbangkan empat tipe bukti, yakni:
(a) komunikasi binatang
(b) bahasa anak-anak
(c) bahasa orang dewasa yang normal
(d) tuturan disfasik (orang yang terganggu tuturannya).
Perhatikan diagram berikut ini. Kotak-kotak dalam diagram itu tidak merupakan
kotak yang tersekat dan terpisah ketat satu dengan yang lainnya. Tetapi, antara
kotak-kotak itu ada unsur-unsur yang menghubungkannya. Komunikasi binatang
dihubungkan dengan bahasa anak oleh kera yang berbicara. Hubungan antara bahasa
anak dan bahasa orang dewasa yang normal dihubungkan oleh tuturan anak usia 8-14
tahun. Bahasa orang dewasa yang normal dengan bahasa orang disfasik dihubungkan
oleh ―keseleo lidah‖ (slip of tounge).
Sebelum kita berbicara tentang masalah lain dalam psikolinguistik, kita
sebaiknya memahami dulu penggunaan istilah tata bahasa. Kita berasumsi bahwa
agar dapat berbicara, setiap orang yang tahu bahasanya memiliki tata bahasa yang
telah diinternalisasikan dalam benaknya. Linguis yang menulis tata bahasa membuat
hipotesis tentang sistem yang terinternalisasikan itu.
Istilah tata bahasa digunakan secara bergantian untuk maksud representasi
internal bahasa dalam benak seseorang dan model linguis atau dugaan atas
representasi itu.
Lebih jauh lagi, ketika kita berbicara tentang tata bahasa seseorang yang
terinternalisasikan itu, istilah tata bahasa digunakan dalam pengertian yang lebih luas
daripada makna tata bahasa yang kita temukan dalam berbagai buku ajar. Tata
bahasa itu mengacu pada keseluruhan pengetahuan bahasa seseorang. Tata bahasa
tidak hanya menyangkut masalah tata kalimat, tetapi juga fonologi dan semantik.

Karena sintaksis itu merupakan dasar yang paling penting, maka kajian utama
psikolinguistik ini akan banyak bertumpu pada kaidah sintaktik. Secara teoretis,
tujuan utama psikolinguistik ialah mencari satu teori bahasa yang tepat dan unggul
dari segi linguistik dan psikologi yang mampu menerangkan hakikat bahasa dan
pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat
struktur bahasa dan bagaimana struktur ini diperoleh dan digunakan pada waktu
bertutur dan memahami kalimat-kalimat (ujaran-ujaran). Secara praktis,
psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada
masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca
permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia,
Handout of Psycholinguistics

gagap dan sebagainya, komunikasi, pikiran manusia, dialek-dialek, pijinisasi, dan


kreolisasi, dan masalah-masalah sosial lain yang menyangkut bahasa seperti bahasa
dan pendidikan, bahasa, dan pembangunan bangsa.
Dari definisi-definisi itu, jelaslah bahwa psikolinguistik adalah ilmu
antardisiplin yang dilahirkan sebagai akibat adanya kesadaran bahwa kajian bahasa
merupakan sesuatu yang sangat rumit. Dengan demikian, satu disiplin ilmu saja
tidaklah dapat dan tidak mampu menerangkan hakikat bahasa. Kerja sama
antardisiplin semacam itu tidaklah merupakan hal yang baru dalam bidang ilmu.
Ilmu antardisiplin yang lain telah lama ada seperti neuropsikologi, sosiolinguistik,
psikofisiologi, psikobiologi, psikofarmakologi, dan sebagainya.

B. Branches of Psycholinguistics
Setelah kerja sama antara psikologi dan linguistik itu berlangsung beberapa
waktu, terasa pula bahwa kedua disiplin itu tidaklah memadai lagi untuk
melaksanakan tugas yang sangat berat untuk menjelaskan hakikat bahasa yang
dicerminkan dari definisi-definisi di atas. Bantuan dari ilmu-ilmu lain diperlukan,
termasuk bantuan ilmu-ilmu antardisiplin yang telah ada lebih dulu seperti
neurofisiologi, neuropsikologi, dan lain-lain. Walaupun sekarang kita tetap
menggunakan istilah psikolinguistik, hal itu tidaklah lagi bermakna bahwa hanya
kedua disiplin psikologi dan linguistik saja yang diterapkan. Penemuan-penemuan
antardisiplin lain pun telah dimanfaatkan juga. Bantuan yang dimaksudkan telah
lama ada dan akan terus bertambah karena selain linguistik dan psikologi, banyak
lagi disiplin lain yang juga mengkaji bahasa dengan cara dan teori tersendiri,
misalnya, antropologi, sosiologi, falsafah, pendidikan, komunikasi, dan lain-lain.
Disiplin psikolinguistik telah berkembang begitu pesat sehingga melahirkan
beberapa subdisiplin baru untuk memusatkan perhatian pada bidang-bidang khusus
tertentu yang memerlukan penelitian yang saksama. Subdisiplin psikolinguistik
tampak seperti pada skema berikut ini.
Psikolinguistik
1. Psikolinguistik Teoretis (Theorethycal Psycholinguistic)
Psikolinguistik teoretis mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori
bahasa, misalnya tentang hakikat bahasa, ciri bahasa manusia, teori kompetensi
dan performansi (Chomsky) atau teori langue dan parole (Saussure), dan
sebagainya.
2. Psikolinguistik Perkembangan (Development Psycholinguistic)
Psikolinguistik perkembangan berbicara tentang pemerolehan bahasa, misalnya
berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama
maupun bahasa kedua, peranti pemerolehan bahasa (language acquisition device),
periode kritis pernerolehan bahasa, dan sebagainya.
3. Psikolinguistik Sosial (Social Psycholinguistic)
Psikolinguistik sosial sering juga disebut sebagai psikososiolinguistik berbicara
tentang aspek-aspek sosial bahasa, misalnya, sikap bahasa, akulturasi budaya,
kejut budaya, jarak sosial, periode kritis budaya, pajanan bahasa, pendidikan,
lama pendidikan, dan sebagainya.
4. Psikolinguistik Pendidikan (Educational Psycholinguistic)
Psikolinguistik pendidikan berbicara tentang aspek-aspek pendidikan secara
umum di sekolah, terutama mengenai peranan bahasa dalam pengajaran bahasa
pada umumnya, khususnya dalam pengajaran membaca, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berpidato, dan pengetahuan mengenai peningkatan
berbahasa dalam memperbaiki proses penyampaian buah pikiran.
Handout of Psycholinguistics

5.Neuropsikolinguistik (Neuropsycholinguistics)
Neuropsikolinguistik berbicara tentang hubungan bahasa dengan otak manusia.
Misalnya, otak sebelah manakah yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa?
Saraf-saraf apa yang rusak apabila seserorang terkena afasia broca dan saraf
manakah yang rusak apabila terkena afasia wernicke? Apakah bahasa itu memang
dilateralisasikan? Kapan terjadi lateralisasi? Apakah periode kritis itu memang
berkaitan dengan kelenturan saraf-saraf otak?
6.Psikolinguistik Eksperimental (Experimental Psycholinguistic)
Psikolinguistik eksperimental berbicara tentang eksperimen-eksperimen dalam
semua bidang yang melibatkan bahasa dan perilaku berbahasa.
7. Psikolinguistik Terapan (Applied Psycholinguistic)
Psikolinguistik terapan berbicara tentang penerapan temuan-temuan keenam
subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang tertentu, seperti
psikologi, linguistik, berbicara dan menyimak, pendidikan, pengajaran dan
pembelajaran bahasa, pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, komunikasi,
kesusastraan, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini terdapat diskusi kecil tentang disiplin psikolinguistik itu. Ada
pakar yang beranggapan bahwa psikolinguistik itu adalah cabang dari disiplin
psikologi karena nama psikolinguistik itu telah diciptakan untuk menggantikan nama
lama dalam psikologi, yaitu psikologi bahasa. Ada pula pakar linguistik yang
mengatakan bahwa psikolinguistik itu adalah cabang dari disiplin induk linguistik
karena bahasa adalah objek utama yang dikaji oleh pakar-pakar linguistik dan pakar
psikolinguistik mengkaji semua aspek bahasa itu. Di Amerika Serikat psikolinguistik
pada umumnya dianggap sebagai cabang linguistik, meskipun ada juga yang
menganggap bahwa psikolinguistik merupakan cabang dari psikologi. Chomsky
sendiri menganggap psikolinguistik itu sebagai cabang dari psikologi. Di Prancis
pada tahun 60-an psikolinguitik pada umumnya dikembangkan oleh pakar psikologi
sehingga menjadi cabang psikologi. Di Inggris psikolinguistik semula dikembangkan
oleh pakar linguistik yang bekerja sama dengan para pakar dalam bidang psikologi
dari Inggris dan Amerika Serikat. Di Rusia, psikolinguistik dikembangkan oleh
pakar linguistik di Institut Linguistik Moskow, sedangkan di Rumania kebanyakan
pakar beranggapan bahwa psikolinguistik merupakan disiplin ilmu yang berdiri
sendiri sekalipun peranannya banyak di bidang linguistik.
Dari sudut pandang linguistik, seorang pakar psikolinguistik merupakan
seseorang yang betul-betul mempunyai kepakaran dalam bidang linguistik murni,
tetapi mempunyai pengetahuan juga dalam bidang teori psikologi dan kaidah-
kaidahnya, terutama yang menyangkut komunikasi bahasa. Dengan kata lain,
pengetahuan linguistiknya jauh lebih banyak dan mantap dibandingkan dengan
pengetahuan psikologinya karena latar belakang utamanya adalah linguistik. Seorang
pakar psikolinguistik akan lebih merasakan dirinya sebagai seorang linguis daripada
seorang psikolog.
Dari sudut pandang psikologi, seorang pakar psikolinguistik adalah seseorang
yang benar-benar memiliki kepakaran dalam bidang psikologi murni, tetapi juga
mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam bidang linguistik. Dengan kata lain,
pengetahuannya dalam bidang psikologi jauh lebih mantap daripada pengatahuannya
dalam bidang linguistik. Sekarang terdapat kecenderungan untuk menempatkan
psikolinguistik sebagai disiplin tersendiri yang otonom. Dari hasil otonomi itu
lahirlah pakar psikolinguistik yang memiliki pengetahuan yang seimbang antara
linguistik murninya dan pengetahuan psikologinya. Hasilnya seorang psikolinguis
akan merasa dirinya adalah pakar dalarn bidang psikolinguistik. Dengan demikian,
psikolinguistik mempunyai teori, pendekatan, dan kaidah atau prosedur tersendiri
Handout of Psycholinguistics

karena telah mempunyai masalah tersendiri pula dan mempunyai cara


memecahkannya sendiri.

C. Development and Experts of Psycholinguistics


Tahukah Anda bahwa bahasa sebagai objek, studi ternyata menarik minat
berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu. Banyak pakar psikologi yang tertarik
untuk mempelajari bahasa secara mendalam. Namun, sebaliknya banyak pakar
linguistik yang juga harus belajar psikologi agar pemahamannya tentang bahasa
sebagai objek kajiannya semakin menjadi baik. Hal itu tidak mengherankan karena
bahasa memang dapat menjadi kajian psikologi dan jelas dapat menjadi kajian
linguistik. Oleh sebab itu, pakar dari kedua disiplin itu kemudian bersama-sama
menjadikan bahasa sebagai objek studinya.
Sejak zaman Panini dan Socrates (Simanjuntak, 1987) kajian bahasa dan
berbahasa banyak dilakukan oleh sarjana yang berminat dalam bidang ini. Pada masa
lampau ada dua aliran yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi
dan linguistik. Aliran yang pertama adalah aliran empirisme (filsafat postivistik)
yang erat berhubungan dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme cenderung
mengkaji bagian-bagian yang membentuk suatu benda sampai ke bagian-bagiannya
yang paling kecil dan mendasarkan kajiannya pada faktor-faktor luar yang langsung
dapat diamati. Aliran ini sering disebut sebagai kajian yang bersifat atomistik dan
sering dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Aliran yang kedua adalah rasionalisme (filsafat kognitivisme) yang cenderung
mengkaji prinsip-prinsip akal yang bersifat batin dan faktor bakat atau pembawaan
yang bertanggung jawab mengatur perilaku manusia. Aliran ini mengkaji akal
sebagai satu kesatuan yang utuh dan menganggap batin atau akal ini sebagai faktor
yang penting untuk diteliti guna memahami perilaku manusia. Oleh sebab itu, aliran
ini dianggap bersifat holistik dan dikaitkan dengan nativisme, idealisme, dan
mentalisme.
Jauh sebelum psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu sebenarnya
telah banyak dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang memerlukan psikologi
dan sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang membutuhkan linguistik.
Hal itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von Humboldt, seorang ahli
linguistik berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19 telah mencoba mengkaji
hubungan bahasa dengan pikiran. Von Humboldt memperbandingkan tata bahasa
dari bahasa yang berbeda dan memperbandingkan perilaku bangsa penutur bahasa
itu. Hasilnya menunjukkan bahwa bahasa menentukan pandangan masyarakat
penuturnya. Pandangan Von Humboldt itu sangat dipengaruhi oleh aliran
rasionalisme yang menganggap bahasa bukan sebagai satu bahan yang siap untuk
dipotong-potong dan diklasifikasikan seperti anggapan aliran empirisme. Tetapi,
bahasa itu merupakan satu kegiatan yang mempunyai prinsip sendiri dan bahasa
manusia merupakan variasi dari satu tema tertentu.
Pada awal abad 20, Ferdinand de Saussure (1964) seorang ahli linguistik bangsa
Swis telah berusaha menjelaskan apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana keadaan
bahasa itu di dalam otak (psikologi). Dia memperkenalkan konsep penting yang
disebutnya sebagai langue (bahasa), parole (bertutur) dan langage (ucapan). De
Saussure menegaskan bahwa objek kajian linguistik adalah langue, sedangkan
parole adalah objek kajian psikologi. Hal itu berarti bahwa apabila kita ingin
mengkaji bahasa secara tuntas dan cermat, selayaknya kita menggabungkan kedua
disiplin ilmu itu karena pada dasarnya segala sesuatu yang ada pada bahasa itu
bersifat psikologis.
Handout of Psycholinguistics

Edward Sapir seorang sarjana Linguistik dan Antropologi Amerika awal abad
ke-20 telah mengikutsertakan psikologi dalam kajian bahasa. Menurut Sapir,
psikologi dapat memberikan dasar yang kuat bagi kajian bahasa. Sapir juga telah
mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Simpulannya ialah bahasa itu
mempengaruhi pikiran manusia. Linguistik menurut Sapir dapat memberikan
sumbangan penting bagi psikologi gestalt dan sebaliknya, psikologi gestalt dapat
memberikan sumbangan bagi linguistik.
Pada awal abad ke-20, Bloomfield, seorang linguis dari Amerika Serikat
dipengaruhi oleh dua buah aliran psikologi yang bertentangan dalam menganalisis
bahasa. Pada mulanya, ia sangat dipengaruhi oleh psikologi mentalisme dan
kemudian beralih pada psikologi behaviorisme. Karena pengaruh mentalisme,
Bloomfield berpendapat bahwa bahasa itu merupakan ekspresi pengalaman yang
lahir karena tekanan emosi yang yang sangat kuat. Karena tekanan emosi yang kuat
itu, misaInya, munculnya kalimat seruan.
Misalnya:
Aduh, sakit, Bu!
Kebakaran, kebakaran, tolong, tolong!
Copet, copet!
Awas, minggir!
Karena seseorang ingin berkomunikasi, muncullah kalimat-kalimat deklaratif.
Misalnya: Ibu sedang sakit hari ini. Ayah sekarang membantu ibu di dapur. Banyak
karyawan bank yang terkena PHK. Para buruh sekarang sedang berunjuk rasa.
Karena keinginan berkomunikasi itu bertukar menjadi pemakaian komunikasi
yang sebenarnya, maka mucullah kalimat yang berbentuk pertanyaan.

Misalnya:
Apakah Ibu sakit?
Siapakah presiden keempat Republik Indonesia?
Mengapa rakyat Indonesia telah berubah menjadi rakyat yang mudah marah?
Apa arti likuidasi?
Tahukah Anda makna lengser keprabon?
Sejak tahun 1925, Bloomfield meninggalkan mentalisme dan mulai
menggunakan behaviorisme dan menerapkannya ke dalam teori bahasanya yang
sekarang terkenal dengan nama linguistik struktural atau linguistik taksonomi.
Jespersen, seorang ahli linguistik Denmark terkenal telah menganalisis bahasa
dari suclut panclang mentalisme dan yang seclikit berbau behaviorisme. Menurut
jespersen, bahasa bukanlah sebuah entitas dalam pengertian satu benda seperti
seekor anjing atau seekor kuda. Bahasa merupakan satu fungsi manusia sebagai
simbol di dalam otak manusia yang melambangkan pikiran atau membangkitkan
pikiran. Menurut Jespersen, berkomunikasi harus dilihat dari sudut perilaku (jadi,
bersifat behavioris). Bahkan, satu kata pun dapat dibandingkan dengan satu
kebiasaan tingkah laku, seperti halnya bila kita mengangkat topi.
Di samping ada tokoh-tokoh linguistik yang mencoba menggunakan psikologi
dalam bekerja, sebaliknya ada ahli psikologi yang memanfaatkan atau mencoba
menggunakan linguistik dalam bidang garapannya, yakni psikologi. John Dewey,
misalnya, seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor
empirisme murni, telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara
menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip
psikologi. Dewey menyarankan, misaInya, agar penggolongan psikologi kata-kata
yang diucapkan anak-anak dilakukan berdasaran arti kata-kata itu bagi anak-anak
dan bukan berdasarkan arti kata-kata itu menurut orang dewasa dengan bentuk tata
Handout of Psycholinguistics

bahasa orang dewasa. Dengan cara ini berdasarkan prinsip-prinsip psikologi, akan
dapat ditentukan perbandingan antara kata kerja bantu dan kata depan di satu pihak
dan kata benda di pihak lain. Jadi, dengan demikian kita dapat menentukan
kecenderungan pikiran (mental) anak yang dihubungkan dengan
perbedaan-perbedaan linguistik itu. Kajian seperti itu menurut Dewey akan
memberikan bantuan yang besar bagi psikologi pada umumnya.
Wundt, seorang ahli psikologi Jerman yang terkenal sebagai pendukung teori
apersepsi dalam psikologi menganggap bahwa bahasa itu sebagai alat untuk
mengungkapkan pikiran. Wundt merupakan ahli psikologi pertama yang
mengembangkan teori mentalistik secara sistematis dan sekarang dianggap sebagai
bapak psikolinguistik klasik. Menurut Wundt, bahasa pada mulanya lahir dalam
bentuk gerak-gerik yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang
sangat kuat secara tidak sadar. Kemudian terjadilah pertukaran antara unsur-unsur
perasaan itu dengan unsur-unsur mentalitas atau akal. Komponen akal itu kemudian
diatur oleh kesadaran menjadi alat pertukaran pikiran yang kemudian terwujud
menjadi bahasa. Jadi, menurut Wundt, setiap bahasa terdiri atas ucapan-ucapan
bunyi atau isyarat-isyarat lain yang dapat dipahami menembus pancaindera yang
diwujudkan oleh gerakan otot untuk menyampaikan keadaan batin, konsep-konsep,
perasaan-perasaan kepada orang lain. Menurut Wundt satu kalimat merupakan satu
kejadian pikiran yang mengejawantah secara serentak. Jika kita perhatikan maka
terdapat keselarasan antara teori evolusi Darwin dengan teori mentalisme bahasa
Wundt itu.
Teori performansi bahasa yang dikembangkan Wundt itu didasarkan pada
analisis psikologis yang dilakukannya yang terdiri atas dua aspek, yakni (1)
fenomena fisis yang terdiri atas produksi dan persepsi bunyi, dan (2) fenomena batin
yang terdiri atas rentetan pikiran. Jelaslah bahwa analisis Wundt terhadap hubungan
fenomena batin dan fisis itu bagi psikologi pada umumnya bergantung pada
fenomena linguistik. Itulah sebabnya Wundt berpendapat bahwa interaksi di antara
fenomena batin dan fenomena fisis itu akan dapat dipahami dengan lebih baik
melalui kajian struktur bahasa.
Titchener, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris yang menjadi rakyat
Amerika menggambarkan dan menyebarluaskan ide Wundt itu di Amerika Serikat
yang kemudian terkenal dengan psikologi kesadaran atau psikologi introspeksi.
Pengenalan dan penyebaran teori introspeksi itu kemudian telah mencetuskan satu
revolusi psikologi di Amerika Serikat dengan berkembangnya teori behaviorisme di
mana kesadaran telah disingkirkan dari psikologi dan dari kajian bahasa.
Pillsbury dan Meader, ahli psikologi mentalisme Amerika Serikat telah mencoba
menganalisis bahasa dari sudut psikologi. Analisis kedua sarjana psikologi itu sangat
baik ditinjau dari segi perkembangan neuropsikolinguistik dewasa ini. Menurut
Pillsbury dan Meader bahasa adalah satu alat untuk menyampaikan pikiran, termasuk
gagasan, dan perasaan. Mengenai perkembangan bahasa, Meader mengatakan bahwa
manusia mula-mula berpikir kemudian mengungkapkan pikirannya itu dengan
kata-kata dan terjemahan. Untuk memahaminya, diperlukan pengetahuan tentang
bagaimana kata-kata mewujudkan dirinya pada kesadaran seseorang, bagaimana
kata-kata itu dihubungkan dengan ide-ide jenis lain yang bukan verbal, juga
bagaimana ide-ide itu muncul dan terwujud dalam bentuk imaji-imaji, bagaimana
gerakan ucapan itu dipicu oleh ide itu dan akhirnya bagaimana pendengar atau
pembaca menerjemahkan kata-kata yang didengarnya atau kata-kata yang dilihatnya
ke dalam pikirannya sendiri. Tampaklah dalam pola pikir Meader itu terdapat
keselarasan antara tujuan psikologi mental dengan tujuan linguistik seperti yang
dikembangkan oleh Chomsky.
Handout of Psycholinguistics

Watson, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika Serikat telah


menempatkan perilaku bahasa pada tingkatan yang sama dengan perilaku manusia
yang lain. Dalam pandangan Watson, perilaku bahasa itu sama saja dengan sistem
otot saraf yang berada dalam kepala, leher, dan bagian dada manusia. Tujuan utama
Watson pada mulanya adalah menghubungkan perilaku bahasa yang implisit, yaitu
pikiran dengan ucapan yang tersurat, yaitu bertutur. Akhirnya Watson
menyelaraskan perilaku bahasa itu dengan kerangka respon yang dibiasakan menurut
teori Pavlov. Menurut penyelarasan itu kata-kata telah diperlakukan sebagai
pengganti benda-benda yang telah tersusun di dalam satu sisi respon yang
dibiasakan.
Buhler seorang ahli psikologi dari Jerman mengatakan bahwa bahasa manusia
mempunyai tiga fungsi, yaitu ekspresi, evokasi, dan representasi. la menganggap
definisi bahasa yang diberikan Wundt agak berat sebelah. Menurut Buhler, ada lagi
fungsi bahasa yang sangat berlainan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam gerakan
ekspresi, yaitu koordinasi atau penyelarasan. Jadi, satu nama dikoordinasikan
(diselaraskan) dengan isi atau kandungan makna. Dengan demiikian Buhler
mendefiniskan bahasa menurut fungsinya.
Weiss, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika yang terkenal dan sealiran
dengan Watson, telah menggambarkan kerja sama yang erat antara psikologi dan
linguistik. Hal tersebut dibuktikan dengan kontak media artikel antara Weiss dan
Bloomfield serta Sapir. Weiss mengakui adanya aspek mental bahasa, tetapi karena
aspek mental itu bersifat abstrak (tak wujud) sukarlah untuk dikaji atau
didemontrasikan. Oleh sebab itu, Weiss menganggap bahwa bahasa itu sebagai
wujud perilaku apabila seseorang itu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
sosialnya. Sebagai suatu bentuk perilaku, bahasa itu memiliki ciri-ciri biologis,
fisiologis, dan sosial. Sebagai alat ekspresi, bahasa itu memiliki tenaga mentalitas.
Weiss merupakan seorang tokoh yang merintis jalan ke arah lahirnya disiplin
Psikolinguistik. Dialah yang telah berjasa mengubah pikiran Bloomfield dari
penganut mentalisme menjadi penganut behaviorisme dan menjadikan Linguistik
Amerika pada tahun 50-an berbau behaviorisme. Menurut Weiss, tugas seorang
psikolinguis sebagai peneliti yang terlatih dalam dua disiplin ilmu, yakni psikologi
dan linguistik, adalah sebagai berikut.
(1) Menjelaskan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu alam pengganti
untuk alam nyata yang secara praktis tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
(2) Menunjukkan bagaimana perilaku bahasa itu mewujudkan sejenis organisasi
sosial yang dapat ditandai sebagai sekumpulan organisasi kecil yang banyak.
(3) Menerangkan bagaimana menghasilkan satu bentuk organisasi dan di dalam
organisasi itu pancaindera dan otot-otot seseorang dapat ditempatkan agar
dapat dipakai dan dimanfaatkan oleh orang lain.
(4) Menjelaskan bagaimana perilaku bahasa menghasilkan satu bentuk perilaku
yang menjadi fungsi setiap peristiwa di alam ini yang telah terjadi, sedang
terjadi, atau akan terjadi, di masa depan.
Kantor, seorang ahli psikologi behaviorisme Amerika mencoba meyakinkan
ahli-ahli linguistik di Amerika bahwa kajian bahasa tidaklah menjadi monopoli ahli
Linguistik. la mencela keras beberapa ahli filologi yang selalu berteriak agar ahli
psikologi keluar dari kajian bahasa yang menurut ahli filologi tersebut bukan bidang
garapan ahli psikologi. Menurut Kantor, bahasa merupakan bidang garapan bersama
yang dapat dikaji baik oleh ahli psikologi maupun oleh ahli bahasa. Kantor
mengkritik psikologi mentalisme yang menurut dia psikologi semacam itu tidak
mampu menyumbangkan apa-apa kepada linguistik dalarn mengkaji bahasa. Bahasa
tidak boleh dianggap sebagai alat untuk menyampaikan ide, keinginan, atau
Handout of Psycholinguistics

perasaan, dan bahasa bukanlah alat fisis untuk proses mental, melainkan perilaku
seperti halnya perilaku manusia yang lain.
Caroll, seorang ahli psikologi Amerika Serikat yang sekarang merupakan salah
satu tokoh psikolinguistik modern telah mencoba mengintegrasikan fakta-fakta yang
ditemukan oleh linguistik murni seperti unit ucapan, keteraturan, kadar kejadian
dengan teori psikologi pada tahun 40-an. Kemudian ia mengembangkan teori
simbolik, yakni teori yang mengatakan bahwa respon kebahasaan harus lebih dulu
memainkan peranan dalam keadaan isyarat sehingga sesuatu menjelaskan sesuatu
yang lain dengan perantaraan. Keadaan isyarat itu haruslah sedemikian rupa
sehingga organisme dengan sengaja bermaksud agar organisme lain memberikan
respon kepada isyarat itu sebagai satu isyarat. Dengan demikian, respon itu haruslah
sesuatu yang dapat dilahirkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh
mekanisme-mekanisme.
Para ahli linguistik dan psikologi yang dibicarakan di atas telah mencoba
merintis hubungan atau kerja sama antara psikologi dan linguistik. Sebenarnya kerja
sama yang benar-benar terjadi antara ahli psikologi dan linguistik itu telah terjadi
sejak tahun 1860, yaitu ketika Heyman Steinhal, seorang ahli psikologi bertukar
menjadi ahli linguistik dan Moritz Lazarus seorang ahli linguistik bertukar menjadi
ahli psikologi. Mereka berdua menerbitkan jurnal yang khusus memperbincangkan
psikologi bahasa dari sudut psikologi dan linguistik. Steinhal mengatakan bahwa
ilmu psikologi tidaklah mungkin hidup tanpa ilmu bahasa.
Pada tahun 1901, di Eropa, Albert Thumb seorang ahli linguisstik telah bekerja
sama dengan seorang ahli psikologi Karl Marbe untuk menerbitkan buku yang
kemudian dianggap sebagai buku psikolinguistik pertama yang diterbitkan, tentang
penyelidikan eksperimental mengenai dasar-dasar psikologi pembentukan analogi
pertuturan. Kedua sarjana itu menggunakan kaidah-kaidah psikologi eksperimental
untuk meneliti hipotesis-hipotesis linguistik. Hal itu menunjukkan kukuhnya disiplin
psikolinguistik. Salah satu hipotesis yang mereka teliti kebenarannya adalah keadaan
satu rangsangan kata yang cenderung berhubungan dengan satu kata lain apabila
kedua-duanya termasuk ke dalam kategori yang sama; kata benda berhubungan
dengan kata benda yang lain; kata sifat berhubungan dengan kata sifat yang lain. Di
Amerika Serikat usaha ke arah kerja sama secara langsung antara, ahli linguistik dan
ahli psikologi dirintis oleh Social Science Researcb Council yang menganjurkan
diadakannya seminar antara ahli psikologi dan linguistik secara bersama-sama.
Osgood (ahli psikologi), Sebeok (ahli linguistik) dan Caroll (ahli psikologi)
mengadakan seminar bersama-sama. Hasil dari seminar tersebut adalah terbitnya
buku Psikolinguistik yang berjudul Psycholinguistic, a survey of theory and research
problems pada tahun 1954 yang disunting olch Osgood dan Sebeok. Meskipun
demikian, nama disiplin baru Psikolinguistik itu muncul bukan karena seminar itu,
karena sebenarnya Pronko pada tahun 1946 telah memberikan ulasan tentang
Psikolinguistik dengan teknik-teknik penyelidikannya.
Psikolinguistik benar-benar dianggap sebagai disiplin baru, sebagai ilmu
tersendiri pada tahun 1963, yaitu ketika Osgood menulis satu artikel dalam jurnal
American Psychology yang berjudul On understanding and creating sentences.
Dalam tulisan itu, Osgood menjelaskan teori baru dalam behaviorisme yang dikenal
dengan neobehaviorisme yang dikembangkan oleh Mowrer, yakni seorang ahli
psikologi yang sangat berminat untuk mengkaji bahasa. Pandangan Osgood itu
kemudian terkenal dengan teori mediasi, yaitu suatu usaha mengkaji peristiwa batin
yang menengahi stimulus dan respon yang dianggap oleh Skinner sebagai usaha
untuk memperkukuh peranan akal ke dalam psikologi yang oleh kaurn behaviorisme
dianggap tidak ilmiah karena peristiwa itu tidak dapat diamati secara langsung.
Handout of Psycholinguistics

Teori Osgood yang disebut sebagai teori mediasi itu telah dikritik habis-habisan
oleh Skinner yang menuduhnya sebagai pakar yang mencoba mempertahankan
mentalisme yang sebelumnya telah disingkirkan oleh behaviorisme. Osgood
merasakan kekuatan teorinya itu dengan dukungan Lenneberg, yang merupakan
produk pertama mahasiswa yang digodok dalam kajian Psikolinguistik. Lenneberg
berpenclapat bahwa manusia memiliki kecenderungan biologis yang khusus untuk
memperoleh bahasa yang tidak dimiliki oleh hewan. Alasan Lenneberg untuk
membuktikan hal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) terdapatnya pusat-pusat yang khas dalam otak manusia;
(2) perkembangan bahasa yang sama bagi semua bayi;
(3) kesukaran yang dialami untuk menghambat pertumbuhan bahasa pada manusia;
(4) bahasa tidak mungkin diajarkan kepada makhluk lain;
(5) bahasa itu memiliki kesemestaan bahasa (language universal).
Miller pada tahun 1965 memastikan bahwa kelahiran disiplin baru
Psikolinguistik ticlak dapat dielakkan lagi. Menurut Miller, tugas Psikolinguistik
adalah menguraikan proses psikologis yang terjadi apabila seseorang itu
menggunakan kalimat. Pendapat Miller itu sangat berorientasi pada mentalisme
Chomsky dan teori Lenneberg, sedangkan Osgood dan Sebeok masih berbau
neobehaviorisme. Miller dengan tegas menolak pendapat Osgood clan Sebeok yang
banyak mendasarkan pada prinsip mekanis pembelajaran menurut behaviorisme.
Miller memperkenalkan teori linguistiknya Chomsky kepada pakar psikologi. Miller
juga mengkritik pakar Psikologi yang terlalu mengandalkan kajian makna. Namun,
perkembangan Psikolinguistik pada awal abad ke-20 itu memang masih didominasi
oleh Psikologi Behaviorisme maupun Neobehaviorisme.
Teori psikolinguistik secara radikal setidak-tidaknya mengalami lima perubahan
arah setelah berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu tersendiri pada tahun 50-an (Titone,
1981). Perubahan itu dapat disarikan sebagai berikut.
Periode 1
Selama tahun 50-an teori Psikolinguistik dipengaruhi oleh pandangan teori
behavioristik seperti yang dikembangkan Skinner dan teori taksonomi struktural
seperti yang dikembangkan Bloomfield.
Periode 2
Selama tahun 60-an dan awal tahun 70-an pandangan mentalistik kognitivis dari
transformasionalis seperti Chomsky mendominasi semua aspek Psikolinguistik.
Periode 3
Perubahan tekanan pada periode ini menuju ke arah pragmatik komunikatif. Aspek
bahasa dalam lingkaran teori transformasional secara mendalam masih
mempengaruhi teori Psikolinguistik dan juga pengajaran bahasa kedua pada tahun
70-an.
Periode 4
Pada akhir dekade terakhir pandangan Pragmatik atau Sosiolinguistik menjadi arus
utama pada periode ini.
Periode 5
Pada tahun-tahun terakhir diusulkan model integratif yang terdiri atas komponen
behavioral dan kognitif serta ciri kepribadian.

Harras, K. A & Bachari, A. D. 2009. Dasar- Dasar Psikolinguistik. Bandung: FPBS


and UPI Press.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER II
INTRODUCTION TO PSYCHOLINGUISTICS 2
MENTAL GRAMMAR

Mental Grammar

Chomsky’s Linguistic
Grammar and Chomsky’s Challenges to
Competence and
Grammatical Chomsky’s
Psycholinguistics Performance
Conception Grammar
Distinction

The Ways of
speakers produce Linguistic The Standard Binding Theory of Meaning based
and understand Psychology Theory Grammar Grammar
sentences

Figure 1
Conception of Mental Grammar
The mental grammar is divided clearly as drawn in Figure 1. This is further
described as follows:
Mental grammar here is defined as grammar in mind. This is in line with the
supplementary empirical view of Aithchison (1987:9) stating about mental lexicon.
Both terms are used to show that human‘s mind can store words and structure words
automatically. The human word-store is often referred to as the ‗mental dictionary‘
or, perhaps more commonly, as the mental lexicon, to use Greek word for
‗dictionary‘. Meanwhile, the human word-structure functionally is called to be
‗mental grammar’. Smith (2006, in Keith, 2006:89) stated that humans learn
language from examples of language use, often called the Human Linguistic Data
(HLD). The HLD must be the linguistic behavior of other language users, as children
acquire the language of their linguistic community. This linguistic behavior is
consequence of the internalized linguistic knowledge of these other individuals, and
the HLD therefore reflects the linguistic knowledge of the individuals in a human‘s
speech community. These individuals have grammars that define their knowledge of
language and that knowledge of language guides their linguistic behavior. A human
is therefore attempting to acquire a system of linguistic knowledge, a grammar,
based on data that are the consequence of the linguistic knowledge, or grammars, of
other individuals. Andersen (1973:736) summarizes this phenomenon of relationship
between linguistic data and mental grammar as follows: ―the verbal output of any
speaker is determined by the grammar he has internalized… any speaker’s
internalized grammar is determined by the verbal output from which it has been
inferred‖. It can be paraphrased that grammar in mind is influenced by output
inferred to the mind and output from the mind is determined from internalized
grammar. Here is Figure 2 showing the relationship:

Inferential Internalized Grammar Inferential


Output Mental Grammar) Output

Figure 2
Relationship between Human Linguistic Data and Mental Grammar

To discuss the first point of mental grammar, the elaboration and additional
empirical views are briefly explained below:
Handout of Psycholinguistics

1.1 Grammar and Psycholinguistics


Since mental grammar concerns the grammar in mind, it is structurally
related to the branch of linguistics, psycholinguistics. Psycholinguistics is
concerned with the relationship between language and the mind.
Psycholinguistics explores the psychological processes involved in using
language (Finch, 1997:214). It asks how we store words and syntactic
structures in the brain, what processes of memory are involved, and how we
understand and produce speech. These are all of considerable practical
importance when it comes to understanding language disorders. Besides,
psycholinguists are interested in the acquisition of language: with how
children learn. There are two points discussed below; the ways speakers
produce and understand sentences and linguistics as psychology.
1.1.1 The Ways Speakers Produce and Understand Sentences
The role of mental grammar towards the speech production is in
forming concept. Meanwhile, speech perception or understanding is
related to psychological language processor in comprehending
language. Traxler and Gernbacher (1994:21) added that speech
production is logically divided into three major steps: deciding what
to express (conceptualization), determining how to express it
(formulation), and expressing it (articulation; Levelt, 1989). Chomsky
(in Finch, 1997:20) introduced language knowledge as follows:
 Linguistic performance is mechanical/motor skills necessary for
the production and reception of language.
 Linguistic competence is cognitive skills necessary for the
construction and understanding of meaningful sequences of
words, and consisting of:
1. Grammatical competence;
2. Communicative competence; and
3. Creative competence.
1.1.2 Linguistics as Psychology
As the function of linguistics, it also has function as psychology. The
two big issues in classifying descriptive linguistics and psychological
linguistics are debatable in the source. Finally, Chomsky who had
idea in his thesis stating that linguistics is a branch of cognitive
psychology, specifically to be psychological linguistics. Ironically,
behaviorism affected the study of language both within psychology
and within linguistics, but without producing a continuing rapport
between them. Bloomfield‘s Introduction to the study of language
(1914) was decidedly Wundtian in orientation. But by the time it had
metamorphosed into Language (1933), the behaviorism for which
Bloomfield is renowned had come to the fore, though in the preface
he states that ―since that time (1914 – AG)…we have learned…that
we can pursue the study of language without reference to any one
psychological doctrine‖. In psychology, although behaviorists were
anxious to analyze thought as subvocal speech, they had
comparatively little to say about speech itself, or any other aspect of
language. Eventually, in the late 1950s, Skinner published his little
read but much cited (as routed by Chomsky) Verbal behavior (1957).
Behaviorists still maintain that Skinner‘s purpose was entirely
Handout of Psycholinguistics

different from what Chomsky construed it to be, and that it is a


functional analysis, in a broader sense of that term than is common in
linguistics (see, e.g., Catania, 1998, 2005). In his argument against
Skinner, Chomsky related language as cognitive psychology. From
this, we know that language has relationship with psychology and vice
versa in case of speech production and speech understanding.

1.2 Chomsky’s Competence and Performance Distinction


Chomsky distinguishes competence is the knowledge that people have of the
grammar of their language and, such as, it is the goal of linguistics to
describe this competence. In another word, we can say that competence is the
knowledge that the native speakers have of their language as a system of
abstract formal relations. He also defines the activities involved in producing
and understanding sentences are called to be performance processes (their
actual behavior). Although performance must clearly be projected from
competence, and therefore be referable to it, it does not correspond to it in
any directed way. The relationship between them is that competence is the
knowledge that persons have of their grammar while performance involves
knowledge for using competence so that the processes of sentence production
and understanding can be realized. In other words, language performance
may be affected by such things as attention, stamina, memory, and beliefs
about our interlocutors. All of these things lie outside of a theory of grammar
proper. Therefore, a theory of language should be a theory of competence.
Once a full theory of competence is developed, it can be integrated into a
theory of performance, which will take into consideration what we know
about other cognitive abilities.
1.3 Chomsky’s Grammatical Conception
To understand and produce novel grammatical sentences, we must use
generative rules (rules that generate novel sentences from finite means).
Chomsky calls a system of such rules a "grammar‖. He calls the set of
sentences that a grammar can produce a "language". A "grammar" will
contain:
 A syntactic component: rules for generating phase structures (and for
transforming one phrase structure into another, e.g., active to passive)
 A semantic component: rules for determining meanings
 A phonological component: rules for determining sounds
1.3.1 The Standard Theory
As Chomsky introduced in his book ‗Aspect of the Theory of Syntax‘,
grammar theory is best known to be Standard Theory (ST). He
determined in detailed the relation of linguistic levels:

Deep Structure: Sound Level Phonetic Interpretation


Underlying Syntactic Form
Syntax

Surface Structure:
Meaning Level Semantic Interpretation
Overt Syntactic Form

Figure 3. Relation of linguistic levels in Standard Theory


Chomsky (1965) explained grammar components in ST as figured
below:
Handout of Psycholinguistics

Related to this case, he discusses the four rules related to Standard


Theory. Here are the summaries:
a. Phrase Structure Rules/ Base Rules
Sentences are made of derivational sentential elements. Chomsky
introduces the basic rule of sentence is made of sentence nucleus
namely NP + VP. These are derived to be NP  (D) + N and VP
 VP + NP + Prep P. The more developed rule is like Prep. P 
Prep + NP. In some complex sentence structures, PS rules are
modified and developed according to the grammatical context. A
sentence which is derived from NP + VP can be more developed into:
NP  (D) + N {The article}
 NP + (S) {The girl who wears red T-shirt}
VP  V { is sleeping}
 V + NP {hit the ball}
 V + Prep. P {is in Malang}
 V + Adj {looks pale}
 V + Sentence {believe the world is beautiful}
b. Transformational Rules
To face the incomplete grammatical constructions, Chomsky
added the Transformational Rules to parse the structures in a
sentence. He explained the processes in transforming the rules in
sentence structure can be in form of deletion, movement,
addition, permutation, and substitution.
c. Phonological Rules
To create a brief phonological interpretation, lexical items are
helpful to describe language in surface structure. Lexical items
can be influenced by the phonetic symbols, pronunciation ways,
degree of stress, and pitch wile uttering in getting phonological
interpretation.
d. Semantic Rules
The proposition and its relation among the sentence constituents
influence the interpretation semantically. Propositional forms
help semantic interpretation in transformed sentences to get the
original sentence:
Table 1 Proportional Forms in Semantic Rules
Sentence elements Representative forms Syntactic category
Argument Entities, objects N, NP
Predicate States, conditions, relations V, VP, Adj
Handout of Psycholinguistics

1.3.2 Binding Theory of Grammar


The function of Binding Theory is to show the way of NP relating to
other entities and expressions. The relationship between Deep and
Surface structures is restrictive. The cases are the sentential elements
can moved, the places to move the elements (the original and proposal
places), and the distance they are separated (limited by Bounding
Theory).
1.4 Linguistic Challenges to Chomsky’s Grammar
Chomsky has his challenges toward his theory by two different sources. They
are:
a. Disagreement on the role of syntax despite of semantics leads to
developmental theory such as Generative Semantic Grammar, Semantic
Case Grammar, and Cognitive Grammar.
b. Disagreement on syntactic relations and constituents leads into new
theories of Relational Grammar and Lexical Functional Grammar.
1.4.1 Meaning based Grammar
This provides the logical semantic interpretation which is produced
from the transformational rules (lexicon) to gain surface structure and
from phonological rules which represented from phonetic symbols.

Steinberg, D. D. 1993. An Introduction to Psycholinguistics. London: Longman.


Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 3
Objects and Scopes of Psycholinguistics

Telah dikatakan bahwa psikolinguistik sebenarnya gabungan dua disiplin ilmu,


yakni gabungan linguistik dengan psikologi. Telah diketahui pula bahwa objek
psikolinguistik adalah bahasa, dan objek psikologi adalah gejala jiwa.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa objek psikolinguistik adalah bahasa
juga, tetapi bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala
jiwa. Dengan kata lain, bahasa yang dilihat dari aspek-aspek psikologis. Orang yang
sedang marah akan lain perwujudan bahasa yang digunakannya dengan orang yang
sedang bergembira. Titik berat psikolinguistik adalah bahasa, dan bukan gejala jiwa.
Itu sebabnya dalam batasan-batasan psikolinguistik yang telah dikemukakan selalu
ditonjolkan proses bahasa yang terjadi pada otak (mind), baik proses yang terjadi di
otak pembicara maupun proses yang terjadi di otak pendengar.
Hasil pekerjaan seorang psikolinguis bukanlah perian bahasa, tetapi deskripsi
bahasa yang berproses dalam diri manusia. Proses ini jelas tidak kelihatan, dan hanya
hasil prose situ yang dapat diamati.
Berdasarkan batasan dan proses perkembangan psikolinguistik agak sukar untuk
menentukan lingkupan psikolinguistik. Bahkan kalau kita memperhatikan topik yang
dibahas dalam konferensi di Mons, Belgia pada bulan September 1980 akan lebih
sukar untuk menentukan lingkupan psikolinguistik.
Namun dengan mencoba menganalisis objek linguistik dan objek psikologi, dan
titik berat kajian psikolinguistik, dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang lingkup
psikolinguistik mencoba memerikan bahasa dilihat dari aspek-aspek psikologis dan
sejauhyang daapat dipikirkan oleh manusia. Itu sebabnya topik-topik penting yang
menjadi lingkupan psikolinguistik adalah:
(a) Proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran
(b) Akuisisi bahasa (language acquisition)
(c) Pola tingkah laku berbahasa
(d) Asosiasi verbal dan persoalan makna
(e) Proses bahasa pada orang yang abnormal, misalnya anak tuli.
(f) Persepsi ujaran dan kognisi (cognition)
Telah dikatakan bahwa lingkupan psikolinguistik sejauh yang dapat dipikirkan
oleh otak manusia. Kita sulit memikirkan, misalnya bagaimana satuan-satuan
kebahasaan bersemayam dalam simpul-simpul otak kita. Yang jelas kita
menyaksikan bahwa kita berbicara yang kadang-kadang tanpa dipikirkan lagi, dan
kita bergembira karena lawan bicara mengerti apa yang kita katakan. Saraf bergerak
dengan cepat dan memenuhi fungsinya sesuai dengan kehendak kita. Dalam kaitan
itu, kita perlu membedakan bahasa sebagai aspek yang abstrak dan bahasa dalam
aspek fisik.
Aspek abstrak mengacu kepada sistem kebiasaan yang diwujudkan dalam
simbol dan kaidah yang mengaturnya, sedangkan aspek fisik mengacu kepada
korpus wacana yang diproduksi oleh pembicara dalam situasi tertentu. Kadang-
kadang kita bertanya, mengapa kita mengatakan begitu pada hari ini, dan berkata
begitu pada hari yang lain. Kita dapat mengatakan bahwa ada faktor yang
menyebabkannya. Faktor itu dapat dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis.
Psikolinguistik dapat dikaitkan dengan performansi (performance) sebagai
perwujudan kaidah bahasa. Untuk itu psikolinguistik bertugas:
Handout of Psycholinguistics

(a) menilai realita psikologis deskripsi linguistik tentang kompetensi,


(b) menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi performansi linguistik dan
memberikan batas terhadap sifat alamiah pengaruh ini (Slobin, 1971:23).
Bila dilihat kaitan dengan ilmu lain, kedudukan psikolinguistik digambarkan
oleh George (1964:24) seperti ini:

Linguistik Psikologi

Logika Filsafat

Hubungan itu terlihat pada lingkaran yang bersinggungan. Ambillah kalimat,


‖Ali yang gemuk itu sakit‖. Dari segi linguistik, dapat kita persoalkan bagaimana
struktur kalimat ini. Apakah unsur yang dapat kita tempatkan di depan unsur Ali?
Dari segi psikologi, bagaimana perasaan si Ali yang sakit? Bagaimanakah reaksinya
apabila dikatakan, ia akan dioperasi atau anaknya sakit pula? Dari segi logika dapat
kita pertanyakan, dari mana datangnya sakit, dana kalau sudah sembuh ke mana
perginya rasa sakit itu? Mengapa orang sakit meskipun diobati, meninggal juga?
Untuk melihat kedudukan psikolinguistik dengan ilmu lain, Spolsky (1978:5)
menggambarkan sebagai berikut:

Teori Bahasa Teori Belajar

Psikologi

Linguistik Umum Teori Belajar Bahasa

Psikolinguistik

Deskripsi Bahasa Teori Penggunaan


Bahasa

Sosiolinguistik

Penggunaan Bahasa Kedua

Linguistik Pendidikan

Pada gambar di atas terlihat hubungan antara linguistik, psikologi, dan sosiologi.
Linguistik pada umumnya menghasilkan teori bahasa dan deskripsi (perian) bahas
tertentu. Teori dan deskripsi bahasa diperoleh melalui penelitian bahasa. Untuk
mempelajari suatu bahasa, kita dapat memanfaatkan teori bahasa dan teori belajar.
Teori belajar termasuk lingkupan psikologi. Teori bahasa yang didukung oleh teori
belajar menghasilkan teori belajar bahasa yang menjadi lingkupan psikolinguistik.
Apabila teori bahasa digunakan untuk berkomunikasi akan menghasilkan teori
Handout of Psycholinguistics

penggunaan bahasa. Teori penggunaan bahasa menjadi lapangan telaah


sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu gabungan linguistik dengan
sosiologiu. Untuk mempeljari bahasa kedua dapat digunakan deskripsi bahasa kedua,
teori belajar bahasa, dan teori penggunaan bahasa. Studi tentang bahasa kedua
menghasilkan pendidikan bahasa kedua yang menjadi telaah linguistik terapan
(applied linguistics) atau linguistik pendidikan.
Meskipun pada konferensi di Mons, Belgia (September 1980) tampak aneka
kecenderungan yang dibahas, dewasa ini psikolinguistik lebih diarahkan untuk
pendidikan bahasa. Seperti terlihat pada gambar Spolsky hasil pekerjaan linguis
menghasilkan teori bahasa dan deskripsi bahasa tertentu. Selanjutnya bahasa tertentu
itu dapat dipelajari dengan memanfaatkan teori belajar yang berasal dari psikologi.
Teori belajar yang diarahkan untuk menguasai bahasa, menghasilkan teori belajar
bahasa ayng menjadi lingkupan psikolinguistik. Itulah sebabnya psikolinguistik
dimafaatkan menjadi pengajaran bahasa.
Pengajaranb bahasa di sini diarahkan agar si terdidik mahir berbhasa. Jadi,
tujuan praktisnya, yakni agar si terdidik dapat menggunakan bahasa yang diajarkan
kepadanya. Dalam pengajaran bahasa, digunakan teori psikologi, terutama psikologi
belajart dan faktor-faktor psikologis yang perlu diperhitungkan. Lain dari itu
digunakan teori-teori bahasa tertentu itu yang diperoleh melalui pekerjaan linguis.
Peranan psikolinguistik dalam pengajaran bahasa bukan saja berhubungan
dengan akuisisi bahasa (language acqusition), tetapi juga untuk kepentingan belajar
bahasa pertama, kedua, dan belajar bahasa asing. Dewasa ini si terdidik bukan saja
mempelajari satu bahasa, katakanlah bahasa ibunya, tetapi dengan adanya hubungan-
hubungan sesama manusia, kepada si terdidik harus diajarkan bahasa ayang bukan
bahasa ibunya. Untuk mempelajari bahasa-bahasa itu diperlukan gabungan teori
linguistik dan psikologi yang menjelma dalam subdisiplin linguistik yang disebut
psikolinguistik. Di sini kita melihat bahwa psikolinguistik merupakan ilmu terapan,
penerapan teori linguistik dan penerapan teori psikologi untuk kepentingan praktis.
Penerapan psikolinguistik untuk kepentingan praktis seperti itu melahirkan ilmu
yang disebut psikolinguistik terapan. Dengan adanya psikolingustik terapan proses
akuisisi bahasa lebih terungkap dan pengajaran bahasa (apapun) lenih memenuhi
harapan yaitu agar di terdidik dapat menggunakan bahasa ayng dipelajari dalam
waktu yang tidak terlalu lama.

Pateda, M. 1988. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Ende: Nusa Indah.


Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 4
HOW CHILDREN LEARN LANGUAGE

In this chapter, it is discussed deeper language acquisition in children‘s period.


Notice this Figure 1 below:
Figure 1 Language owned by human in mind

Language Human
Mind

From the Figure 1, it depicts that human has mind and in mind, there is
language. The question is ‗how can it be there?‘ In this point, language has been
acquired and learned since we were children. Since we were children, we learn very
simple language elements; a) basic vocabulary, b) simple syntax, and c)
pronunciation. In the handout, it is emphasized that language learning requires
psychological processes. They are; a) speech production, and b) speech
understanding (perception). How children learn language is further in detail
discussed to be five divisions as depicted in the figure below:

Figure 2 draws a clear division of the points discussed in the handout about how
children learn language. Here are the elaborative explanations of each detail to know
further the ways the children learn language and some additional related schools of
linguistics concerning of those.

A. The Development of Speech Production


The same as the point division before, this sub-point has five related points in
case of the development of children speech production. Here is the depiction drawn
in Figure 3:

Here are more detailed discussions on the five above:


1. Vocalization
Babies in several months can only learn to vocalize. In this stage, babies
learn sound articulation and control through crying, cooing, gurgling,
Handout of Psycholinguistics

blowing, etc. They cannot speak yet even uttering speech sounds. The ability
of children in vocalizing language are depicted in the Figure 4 below:

In fact, some children may master intonation patterns since they firstly learn
about rhyming utterance, pitch, and stress.
2. The One Word Utterance
This stage is minimal 4 and maximal 18 months. Every child has their own
distinctive step of age in producing single word. The variety of age in
producing single word normally occurs. In this stage, the children learn their
first single word such as ‗mama‘, ‗daddy‘, bye-bye, etc. However, in
producing single word, as stated, there is no relationship between children‘s
intelligence and the onset of speech for normal children. Related to the
children‘s ability in this stage, the utterance in form of single word has
multifunction what is called to be holophrastic or many uses of a single
word. For instance, the single word uttered by baby like ‗mama‘ can be
meant to be ‗mama‘ for ‗mother‘, ‗mama‘ for ‗I want my mother‘ (request),
‗mama‘ for ‗calling for mama‘. This can happen in another use of single
word in multiple uses. When the situation of a baby saw her father puts a
peach on the spoon, a baby can catch the most meaningful words to her
understanding by saying ‗peach‘ + ‗Daddy‘ + ‗spoon‘.
3. Two and Three Word Utterance
In this stage, the children‘s utterances refer to the mature speaker‘s
environment. As stated in the previous stage, the children (18 months or so)
use two and three words as the meaning implied in mature speaker (± 5 year).
This can be seen from the utterance function used by the children. In this
case, children‘s speech reflects their thinking and knowing. Grammatically,
most of children‘s speeches are in form of content words, relation of content
words, and inflection to request, warn, brag, question, answer, and inform.
However, the way in expressing the situation is in shortened construction in
grammatical characteristics. Here are the instances as the children‘s speech:
 The use of shortened content words and their relation
The children use content words and their relation since they can carry
the main information by mentioning they mean by nouns, verbs, or
adjectives shortly like ‗banana table‘ for ‗the banana is on the table‘.
Handout of Psycholinguistics

 Lack of inflection
Besides shortening the word contently, the children ignore the
inflectional forms of words in case of plurals (‗dog‘ for ‗dogs‘),
possession (‗John car‘ for ‗John‘s car‘), verb endings (‗sit‘ for
‗sitting‘), tense markings (‗jump‘ for ‗jumped‘), and so on.
4. Function Words and Inflections.
After acquiring two or three word utterances by content words, children learn
function words like prepositions, articles, and auxiliaries. Also, inflections
are well learned in this stage in case of plurals and tense markings. Brown
(1973) categorized ten basic morpheme acquisitions in children stage as
follows:
Table 1. Morpheme Acquisitions Order
No Order Morpheme Explanations Examples
1 Present Progressive Stress on using progressive Girl playing
verb forms
2 Prepositions: in, on The use of both preposition Ball in water
properly
3 Plural Clear use of plurals Cars, boys, fishes
4 Past Irregular Observation on the use of Came, fell, went
familiar irregular verbs
5 Possessive Clear use of possession Jack‘s, Ann‘s, Liz‘s
6 Articles The implementation of the A dog, the dog
use article appropriately
7 Past Regular (-d/-ed) Clear use of regular past verb Jumped, hugged, wanted
forms
8 Third Person:
Regular Regular verbs for 3rd person Talks, sings, watches
Irregular Irregular verbs for 3rd person Does, has
9 Auxiliary be: Regular Separated or normal use I am playing, you are playing..
10 Auxiliary be: Contracted Shortened construction I’m playing, you‘re playing..

5. Developing Complex Sentences


Learning more words both content and function words, children develop
complex sentences by negatives, questions, clauses, etc. Bellugi and Klima
(1979) observed the negative acquisitions on children into three periods
depicted below:
Table 2. Three Main Periods in Developing Negative Acquisitions
Main Periods Negative Marker (NM) Pattern Example
Period 1 No, not NM + Utterance No singing song
Utterance + NM Book say no
Period 2 Auxiliary appears followed by Aux + NOT I don’t want it
‗no‘ and ‗not‘ (internally)
Period 3 Auxiliary appears followed NOT + V Paul not tired.
by negative marker logically Aux verb + NOT Don’t touch the fish.
(required to insert or not) Aux Modal + NOT Donna won’t let go.

Those periods, according to Bellugi and Klima, can be passed about 6 months
in three children they observed.
B. Speech Understanding and Its Importance
There are three points elaborated in this part. They are: 1) speech
understanding, the basis of speech production, 2) learning abstract words, and
3) memory and language acquisition. In brief, they are summarized as follows:
1. Speech understanding, the basis of speech production
Children learn speech sounds not more about their meanings unless
environmental clues are provided. To learn the meaning further, a child
Handout of Psycholinguistics

should hear the words spoken by others. By hearing spoken words, they
learn some relevant environmental experiences to know the basis of speech
production should understand the meaning firstly. In some studies, it is
shown that speech understanding is acquired firstly then followed by
speech production.
2. Learning abstract words
Acquiring the meaning (speech understanding), children learn to provide
some materials that quite abstracts the ways children learn those by: 1)
noting spoken words, 2) relating particular feelings and complex ideas, 3)
making inference from complex situations, and 4) comparing what he said
and what he knows.
3. Memory and language acquisition
A child utilizes a phenomenal memory capacity; a child remembers a
multitude of particular words, phrases, and sentences. Memory capacity of
children has basis for discovering abstract meanings and rules. The relation
between memory and language acquisition is that memory takes important
role in making students acquire and learn language.
C. Parentese and Baby Talk
1. Parentese
Parentese is a term to show the language used between parents and their
children. What are stressed in spoken language are pitch, pause, and
intonation. In this case, parents use grammatical speech meanwhile in
accepting the language; children are lack of grammatical knowledge. From
this, parentese is used in variety of children‘s level in mastering language.
Parentese uses regular vocabulary and syntax.
2. Baby Talk
In another side, Baby Talk uses simplified vocabulary and syntax. It
includes the modifications in vocabulary. Besides, it makes an ending in
various way and shortened ways.
D. Imitation and Correction
1. The role of imitation
Imitation has a process of copying what is heard (intonation and sounds).
The processes in imitation are: 1) hearing; to understand the speech, 2)
copying; to imitate what is understood, and 3) reproduction; to produce
speech as what is heard.
2. The role of correction
Correction is not well implemented in speech process but is essential to
students‘ improvement. Parents are satisfied to see their children to have
truth value. Meanwhile, the children learn from social appropriateness of
what they hear.

Brown, R. 1973. A First Language: The Early Stages. Cambridge: Harvard


University Press.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 5
WORLD ENGLISHES IN PSYCHOLINGUISTICS
PERSPECTIVES

A. Introduction to WEs
The rapid spread of English as a language of communication has no doubt
stimulated interesting but at the same time controversial debate about the status of
English in its varieties, which are commonly called World Englishes (Kachru, 1985).
Kachru (1990), in his paper entitled ―World Englishes and Applied linguistics‖
discusses, the limitations of traditional applied linguistics perspectives on world
Englishes, suggesting that these had been skewed by the ethnocentrisms of inner-
circle practitioners, reliance on interlanguage and error analysis frameworks, and
misconceptions concerning the sociolinguistic realities of multilingual outer-circle
societies (as cited in Bolton, 2004, p.389).
According to Kachru (1985), English has been indigenized in India as well as
other countries including Singapore, Nigeria, which are referred to outer circles.
Throughout the process, Kachru and other scholars, especially Quirk (1990), joined
the debate over these Englishes. Kachru (1985) presented arguments against
Interlanguage theory (Selinker, 1972) and specifically the main components of this
theory: Errors, fossilization, and socio-cultural contexts. Before outlining the
arguments and presenting another view regarding World Englishes and Applied
Linguistics, it will be useful to go over Kachru‘s (1997) three concentric circles, a
definition of World Englishes and the concept of interlanguage. Regarding the
meaning(s) of World Englishes, Bolton presents several interpretations such as an
umbrella term covering all varies of Englishes, new Englishes in countries such as
Africa and Asia. However, the term World Englishes will be used, as Jenkins (2006)
proposed, to cover new Englishes in Africa and Asia, which are considered as Outer
Circle by Kacru.

Kachru (1997) proposed three circles (Figure-1) to divide English-using world.


While doing this, he focused on the historical context of English, the status of the
Handout of Psycholinguistics

language and the functions in various regions. According to Kachru, the Inner Circle
includes the Native English-speaking countries such as England, USA and Canada).
The Outer Circle consists of the former colonies such as India, Africa and Nigeria
and finally Expanding Circle includes countries such as China, Japan and Turkey,
which are affected by Western and where English is becoming an important
language in business, science, technology and education. Kachru‘s main arguments
are more related to Outer Circle and against IL theory. According to IL theory,
(Selinker, 1972, 1992), second languge learners‘ competence is based on an
interlanguage continuum between their first (L1) and their second (L2) language. If
their output is different from Standard English (American or British), it is regarded
as an error (interference of L1 mainly) and if they continue producing errors (fixing),
this is known as fossilization. In 1992, Selinker reproduced his IL theory and
particularly applied fossilization to World Englishes context, which renewed the
challenge to the theory by scholars such as Kachru and Quirk.

B. World Englishes Debate


World Englishes and Standard English was originally hotly debated by Quirk
(1985, 1990) and Kachru (1985, 1991). Quirk (1990), in his discussion of Englishes
in various contexts especially in the Outer-Circle countries, suggested that these
varieties of English be just interference varieties and teachers of English were
advised to focus on native norms and native like performance and stressed the need
to uphold one common standard in the use of English not only in the Inner Circle
countries but also in others. He also pointed out that a common standard of use for
written as well as spoken English was necessary to regulate the use of English in
different contexts. He suggested this possibly for the fear that the language (English)
would divide up into unintelligible varies or different forms, which would result in
its loosing the function of international communication. In response to him, Kachru
(1985), on the other hand, claimed that such norms as speech acts and registers were
irrelevant to the sociolinguistic reality in which members of the Outer Circle use
English. However, he did not mention that what he said might also be relevant to
English as a Lingua Franca and the use of English in the Expanding Circle. Kachru
also believed that acknowledging a variety of norms would not lead to a lack of
intelligibility among different users of English and in a way, Widdowson (1994)
supported Kachru saying that many bilingual users of English acquire the language
in educational contexts, which put emphasis on a particular standard and tend to
ensure some unifying forms. Kachru (1985) suggested challenging traditional
notions of standardization and models as they tend to be related to only Inner-Circle
users:
… the global diffusion of English has taken an interesting turn: the native
speakers of this language seem to have lost the exclusive prerogative to
control its standardization; in fact, if current statistics are any indication,
they have become a minority. This sociolinguistics fact must be accepted
and its implication recognized. What we need now are new paradigms
and perspectives for linguistics and pedagogical research and for
understanding the linguistic creativity in multilingual situations across
cultures. (p. 30)
Widdowson (1994) agreed with the Kachru‘s statement against Standard English
and the ownership, maintaining that native speakers cannot claim ownership of
English:
How English develops in the world is no business whatsoever of native speakers
in England, the United States, or anywhere else. They have no say in the matter, no
Handout of Psycholinguistics

right to intervene or pass judgment. They are irrelevant. The very fact that English is
an international language means that no nation can have custody over it. To grant
such custody of the language is necessarily to arrest its development and so
undermine its international status. It is a matter of considerable pride and satisfaction
for native speakers of English that their language is an international means of
communication. But the point is that it is only international to the extent that it is not
their language. It is not a possession which they lease out to others, while retaining
the freehold. Other people actually own it. (p. 385)
In addition to the standardization, Kachru‘s main argument against IL theory
was that Outer Circle English speakers were not trying to identify with Inner Circle
speakers or native speakers. That is, they were not interested in the norms of English
based in Inner Circle such as requesting and complaining. Thus, he criticized the
attempts to label the Englishes in the Outer Circle as deviant or deficient and
fossilized since these views were not considering the local Englishes (Outer Circle)
and the sociocultural context. He was also against the label ‗errors‘ since again
utterances which are considered as errors may not apply to the local Englishes as
they may be perfectly acceptable. Let us look at some examples of English in Outer
Circle (Bhatt, 2005, pp. 39-40):
a) You have taken my book, isn‘t it?
b) You are soon going home, isn‘t it?
These are unindifferentiated tag questions in Indian English. In these examples,
it can be seen that the meaning of tag is not the meaning of the main proposition, but
rather social meaning. These two examples show how the linguistic form is
constrained by cultural constraints of politeness. These tags (isn’t it) as used in
Indian English are governed by politeness principle of nonimposition. In standard
American or British English, tag questions are formed by inserting a copy of the
subject (pronominal) after an appropriate modal auxiliary. If we again consider the
examples given above, these tag questions will be as the following:
a) You have taken my book, haven‘t you?
b) You are soon going home, aren‘t you?
The influence of culture on grammatical rules in Indian English can also be seen
in the use of ‗May‘. Consider the following example (Bhatt, p. 41):
*These mistakes may please be corrected.
Here, ‗May‘ is used to express obligation politely, whereas in Standard English,
it will be used as ‗These mistakes must be corrected‘ or ‗these mistakes are to be
corrected‘. While the examples from Standard English are unacceptable in Indian
English since they are positional in their social context, a native speaker can see
them as what they should be definitely due to grammar or the norms, which Kachru
rejects, in local context. Although the use of tags and the modal auxiliary ‗May‘ in
Indian English seem odd and can be regarded as the violation/deviation of rules, it
can be agreed that they are acceptable in its own context rather than being regarded
as signs of fossilization. However, if these forms are used in international context
where English is used as a means of communication by members of different
cultures, there may be some communication breakdowns or misunderstandings.
Considering the arguments Kachru proposed, the traditional applied linguistics
perspectives seem to fail to consider multilingual context. However, this does not
mean that IL and errors do not contribute to language acquisition. Consider an
imaginary situation in which a person who has moved to an Outer Circle country
(India) and utters a sentence ‗You must come early tomorrow‘ in his/her attempts to
learn Indian English, which is positional and in a way unacceptable in the local
context. What would Kachru say about his/her utterance? This can be considered a
Handout of Psycholinguistics

simple logic, but Kachru would possibly talk about IL or a kind of error that does not
consider the social context. Alternatively, would he say that everyone has his/her
own way of saying and that person is right since he does not want to use ‗a norm of
Indian English?‘ Kachru talks about the ethnocentrisms of Inner Circle practitioners,
but he may also be promoting ‗nationalism‘ as Pennycook (1994) suggested.
Moreover, instead of benefiting from WEs discussion, local people might also suffer
as their use of English, as seen in the examples, may mark them off as low proficient
users or even be stigmatized in the English L1 communities (Luk &Lin, 2006).
What can applied linguistics do regarding these discussions? The situation
cannot be simply ignored. Especially from second language acquisition perspective,
future research should go over the traditional approaches and make necessary
changes/additions or at least be aware of the forms that learners produce not only in
the Outer Circle but also in the Expanding Circle, which reflect the sociolinguistic
reality of their English use.

C. World Englishes, English as a Lingua Franca and Teacher Education


World Englishes debate lead to related issues such as English as a lingua Franca
and teaching World Englishes and teacher education. The uses of English
internationally are not just related to the Expanding Circle, but also it includes native
speakers as well as members of the Outer Circle English. English is currently seen
the best option for communication among people from different language
backgrounds, thereby being labeled as ‗English as an International Language (EIL)‘
or ‗English as a Lingua Franca‘. Scholar such as Jenkins(2006, 2000) and Seidhofer
(2004, 2002) have made significant contributions to this issue with their valuable
articles and books, notably Jenkin‘s ‗The phonology of English as an International
language‘ (2000) and Seidlhofer‘s (2002) corpus the Vienna-Oxford International
Corpus of English (VOICE). Both analyzed the use of ELF speakers from a variety
of different backgrounds. Jenkins provided which pronunciation errors led to
intelligibility problems and which did not. Seifhofer focused on ELF lexicogrammar
and tried to find out which items were used frequently, but differently with respect to
native speakers. Both scholars paid specific attention to uses that do not cause
communication problems. This was an attempt to reflect the sociolinguistic reality of
the largest group – Expanding Circle, especially. Although Jenkins and Seidlhofer
did not aim to reflect ELF as a World English, some World Englishes scholars
mistook ELF for that function. What takes notable attention about their studies is that
the burden- being aware of World Englishes and Standard English) is not just on the
Expanding Circle, but also on Outer Circle and notably Inner Circle.
The discussion of World Englishes have also arisen questions about teaching
and teacher education. One could ask what kind of English or Which English should
be taught in the Expanding Circle. If we are teaching Turkish students to use English
well in an educational institution in the USA, the best answer will be American
English, but if we have the aim of allowing our students to communicate across
cultures, then we should teach English so that they will be able to understand/tolerate
many accent and varieties through exposure. Awareness should be created and cross-
cultural communication strategies should be studied. It is of utmost importance for
teachers to develop a greater tolerance of differences and adjust their expectations
according to the settings. They should be informed about the varieties and provided
with the opportunities to collaborate with other teachers in all three circles. However,
what matters most seems to be the intelligibility of the uses of English in different
countries or regions, not just in national boundaries. This can be achieved through
the publishers in all over the world, providing World Englishes and ELF
Handout of Psycholinguistics

perspectives in their books, materials, and more importantly in their practices of


language testing and assessment.
In relation with psycholinguitics, Wes takes important roles since it influences
the different culture in usng motherese and other languages. In mixed elements, the
language processing will have complex problems in generating idea and conveying
messages of the idea to whom living with Wes.

Kilickaya, F. 2009.World Englishes, English as an International Language and


Applied Linguistics. ELT Journal CCSE Vol 2 No. 3 September 2009.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 6
KRASHEN’S MONITOR HYPOTHESES 1

Undoubtedly the most widely discussed theoretical model of language


acquisition in recent years has been Krashen‘s Monitor Model, which continues to
evolve as new research studies are carried out to verify it. Krashen‘s most recent
version of the theory (1982) is comprised of five hypotheses:
1. The acquisition-learning distinction, which states that adults have two distinct
and independent ways of developing competence in a second language:
acquisition, which is a subconscious process similar, if not identical, to the way
children develop ability in their first language; and learning, which refers to
conscious knowledge of the rules of grammar of a second language and their
application in production.
2. The natural order hypothesis, which maintains that acquisition of grammatical
structures (primarily morphemes) proceeds in a predictable order when that
acquisition is natural (i.e., not via formal learning).
3. The monitor hypothesis, which states that acquisition is the sole initiator of all
second-language utterances and is responsible for fluency, while learning
(conscious knowledge of rules) can function only as an ―editor‖ or ―monitor‖ for
the output. This monitor operates only when there is sufficient time, the focus is
on form, and the language user knows the rule being applied.
4. The input hypothesis, which maintains that we acquire more language only when
we are exposed to ―comprehensible input‖ – language that contains structures
that are ―a little beyond‖ our current level of competence (i + 1), but which is
comprehensible through our use of context, our knowledge of the world, and
other extra linguistic cues directed to us. According to this hypothesis, acquirers
―go for meaning‖ first, and, as a result, acquire structure as well. A third part of
this hypothesis states that input need not be deliberately planned to contain
appropriate structures (i + 1): if communication is successful and there is enough
of it, i + 1 is provided automatically.
A final part of the input hypothesis maintains that speaking fluency cannot be
taught directly, but rather ―emerges‖ naturally over time. Krashen maintains that
although early speech is not grammatically accurate, accuracy will develop over
time as the acquirer hears and understands more input.
5. The affective filter hypothesis states that comprehensible input can have its effect
on acquisition only when affective conditions are optimal: (1) the acquirer is
motivated; (2) he has self-confidence and a good self-image, and (3) his level of
anxiety is low. When learners are ―put on the defensive‖, the affective filter is
high and comprehensible input can‘t ―get in.‖

How do Krashen's Hypotheses apply to the SL/FL classroom?


Explanation of Hypothesis Application for Teaching
The Acquisition-Learning hypothesis According to this theory, the optimal
According to Krashen, there are two ways way a language is learned is through
of developing language ability. natural communication. As a second
Acquisition involves the subconscious language teacher, the ideal is to create a
acceptance of knowledge where situation wherein language is used in
information is stored in the brain through order to fulfill authentic purposes. This
Handout of Psycholinguistics

the use of communication; this is the is turn, will help students to ‗acquire‘
process used for developing native the language instead of just ‗learning‘
languages. Learning, on the other hand, is it.
the conscious acceptance of knowledge
‗about‘ a language (i.e. the grammar or
form). Krashen states that this is often the
product of formal language instruction.
The Monitor hypothesis As an SL teacher it will always be a
This hypothesis further explains how challenge to strike a balance between
acquisition and learning are used; the encouraging accuracy and fluency in
acquisition system, initiates an utterance your students. This balance will depend
and the learning system ‗monitors‘ the on numerous variables including the
utterance to inspect and correct errors. language level of the students, the
Krashen states that monitoring can make context of language use and the
some contribution to the accuracy of an personal goals of each student. This
utterance but its use should be limited. He balance is also known as
suggests that the ‗monitor‘ can sometimes Communicative competency.
act as a barrier as it forces the learner to
slow down and focus more on accuracy as
opposed to fluency.
The Natural Order hypothesis According to this hypothesis, teachers
According to Krashen, learners acquire should be aware that certain structures
parts of language in a predictable order. of a language are easier to acquire than
For any given language, certain others and therefore language structures
grammatical structures are acquired early should be taught in an order that is
while others are acquired later in the conducive to learning. Teachers should
process. This hypothesis suggests that this start by introducing language concepts
natural order of acquisition occurs that are relatively easy for learners to
independently of deliberate teaching and acquire and then use scaffolding to
therefore teachers cannot change the order introduce more difficult concepts.
of a grammatical teaching sequence.
The Input hypothesis This hypothesis highlights the
This hypothesis suggests that language importance of using the Target
acquisition occurs when learners receive Language in the classroom. The goal of
messages that they can understand, a any language program is for learners to
concept also known as comprehensible be able to communicate effectively. By
input. However, Krashen also suggests that providing as much comprehensible
this comprehensible input should be one input as possible, especially in
step beyond the learner‘s current language situations when learners are not
ability, represented as i + 1, in order to exposed to the TL outside of the
allow learners to continue to progress with classroom, the teacher is able to create a
their language development. more effective opportunity for language
acquisition.
The Affective Filter hypothesis In any aspect of education it is always
According to Krashen one obstacle that important to create a safe, welcoming
manifests itself during language acquisition environment in which students can
is the affective filter; that is a 'screen' that is learn. In language education this may
influenced by emotional variables that can be especially important since in order to
prevent learning. This hypothetical filter take in and produce language, learners
Handout of Psycholinguistics

does not impact acquisition directly but need to feel that they are able to make
rather prevents input from reaching the mistakes and take risks. This relates to
language acquisition part of the brain. directly to Krashen‘s hypothesis of the
According to Krashen the affective filter affective filter. To learn more about
can be prompted by many different creating a positive classroom
variables including anxiety, self- environment, click here.
confidence, motivation and stress.
The Reading Hypothesis It is important to involve reading in the
This hypothesis basically states that the language classroom to increase
more we read in a SL the greater our knowledge of the language and the way
vocabulary will be. it is used in real-life contexts.

Omaggio, Alice C. 1986. Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Heinle
Publishers, Inc, pages 29-30.
Bilash, O. 2012. Improving Second Language Education. Canada: University of
Alberta.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 7
KRASHEN’S MONITOR HYPOTHESIS 2

In this chapter, I review the evidence for the Comprehension Hypothesis in oral
language and literacy, and discuss the possibility that the Comprehension Hypothesis
provides a plausible explanation for non-human language acquisition. The clearest
data comes from several areas of research in animal language but we will also briefly
consider what some of the possibilities are for other non-human species.

The Comprehension Hypothesis


The Comprehension Hypothesis states that we acquire language and develop
literacy when we understand messages, that is, when we understand what we hear
and what we read, when we receive ―comprehensible input‖ (Krashen, 2003).
Language acquisition is a subconscious process; while it is happening we are not
aware that it is happening, and the competence developed this way is stored in the
brain subconsciously.
Studies have shown that several affective variables are related to success in
language acquisition – anxiety (low anxiety is correlated with more success in
language acquisition), self-esteem (more self-esteem is related to success in language
acquisition), and motivation, with ―integrative motivation,‖ (a desire to belong to a
certain group) related to long-term success in language acquisition (until
membership is achieved), and ―instrumental motivation‖ (to accomplish a task)
related to shorter term success (until the task is done).
To relate affective variables to the Comprehension Hypothesis, it has been
hypothesized that for input to enter the ―language acquisition device‖ the acquirer
must be ―open‖ to the input: the ―affective filter‖ must be low, or down. This view
considers affective barriers to be outside the ―language acquisition device,‖ a
hypothesis that predicts that affective factors will not influence the nature of
acquisition or the order of acquisition of the parts of language (Krashen, 1982,
2003).
Smith (1988) hypothesizes that for language acquisition to take place, the
acquirer must consider himself or herself to be a potential ―member of the club‖ of
those who speak the language. It is easy to translate this idea into the affective filter
framework: When integrative motivation (Gardner and Lambert, 1972) is high and
anxiety is low, the affective filter is lowered, and those late-acquired aspects of
language that mark club membership are acquired.
Club membership explains why we do not always acquire all varieties of
language we are exposed to, why, for example, older children prefer the language of
peers over the language of their parents.
The Comprehension Hypothesis has had several inventors and has been known
by several different names. I have referred to it as the Input Hypothesis in previous
publications. Well before my work began, Frank Smith and Kenneth Goodman have
hypothesized that ―we learn to read by reading,‖ by understanding what is on the
page (e.g Smith, 2004; Goodman and Goodman, 1979). James Asher (Asher, 2000)
and Harris Winitz (Winitz, 1981) among others, also hypothesized that
comprehension is the mechanism underlying language acquisition in publications
that predate mine.
Handout of Psycholinguistics

Output Hypotheses
The chief rivals of the Comprehension Hypothesis are two kinds of ―output plus
feedback‖ hypotheses. The Skill-Building Hypothesis maintains that we acquire
language when we consciously learn rules of grammar and vocabulary, and we learn
to read by first consciously learning the rules of phonics. Output helps us by making
our knowledge more ―automatic‖ through practice and by providing a domain for
error correction, which helps us arrive at a better version of our rule. This approach
is also known as ―direct teaching‖ or formal instruction.
The Comprehensible Output Hypothesis maintains that language acquisition
occurs when we say something and our conversational partner does not understand,
forcing us to notice a gap in our competence. We then try again until we arrive at the
correct version of the rule. The evidence reviewed here and elsewhere (references to
follow) strongly supports the Comprehension Hypothesis for both literacy and
language development, and the evidence for both is similar.
Direct Confrontations
We first examine direct confrontations, studies in which comprehension-based
methods are compared with methods based on rival hypotheses.
Experimental Studies
For second language acquisition at beginning stages, comprehensible-input
based methods such as Total Physical Response and Natural Approach have been
shown to be more effective than skill-building based methods (for reviews, see
Krashen, 1982, 1994, 2003). For beginning literacy development in the first
language, students in classes in which more real reading is done outperform those in
classes in which less reading is done (Krashen, 2002a).
The results at the intermediate level are similar. In second language
development, comprehensible subject matter teaching in the second language, known
as ―sheltered‖ subject matter teaching, has been shown to be as or more effective as
traditional intermediate instruction for literate, intermediate level foreign language
students (research reviewed in Krashen, 1991).
In both first and second language development, students who participate in
classes that include in-school self-selected reading programs (known as sustained
silent reading) typically outperform comparison students, especially when the
duration of treatment is longer than an academic year (reviews include Krashen,
2003, 2004, 2005).

Acquisition without Instruction/Output


Studies showing acquisition without instruction and acquisition without output
also present serious problems for strong versions of skill-building and any output-
based hypothesis. The professional literature in reading contains many cases of
children who learned to read on their own, with no, or very little, instruction on
sound-spelling correspondences (e.g. Goodman and Goodman, 1982).
Very high levels of development of second language competence even for adults
without formal instruction has been reported several times in the professional
literature (Ioup, Boustagui, El Tigi, and Moselle, 1994; Krashen, 2000). High levels
of vocabulary development without instruction appears to be the norm. Very few of
those with large vocabularies report that they worked through vocabulary-building
books (Smith and Supanich, 1984) In addition, ―read and test‖ studies confirm that
readers can improve their vocabulary (and spelling) from reading alone. In these
studies, readers read passages containing unfamiliar words, and are given a (surprise)
test afterwards. Researchers concluded that when an unfamiliar word was seen in
Handout of Psycholinguistics

print, ―a small but reliable increase of word knowledge‖ typically occurred (Nagy
and Herman 1987, p. 26).
Case histories of great writers confirm that reading alone is enough to develop a
very high level of competence in writing. Richard Wright, for example, tells us that
in an attempt to become a writer, he ―bought English grammars and found them dull.
I felt I was getting a better sense of the language from novels than from grammars‖
(Wright, 1966. p. 275).
Spelling development without instruction has been confirmed for school
children as well as second language acquirers:
Cornman (1902) showed that dropping formal spelling instruction had no effect
on spelling accuracy for school children, whether measured in isolation or in
compositions. (See Krashen and White, 1991, for a confirmation of Cornman‘s
results using modern statistics.) Hammill, Larsen and McNutt (1977) reported that
children who had spelling instruction spelled better than uninstructed students in
grades 3 and 4, but the differences disappeared by grades 4 and 5. This suggests that
spelling instruction, when it works, only succeeds in helping children learn to spell
words that they would have learned to spell on their own anyway.
Haggan (1991) showed that fourth year Arabic-speaking English majors at the
University of Kuwait made fewer spelling errors in their writing than first-year
students, even though little emphasis was put on explicit teaching of spelling in the
curriculum. Spelling competence can also grow without output, or writing: Similar to
results reported for vocabulary acquisition, a number of studies have confirmed that
each time readers read a passage containing words they cannot spell, they make
some progress in acquiring the correct spelling (e.g. Nisbet, 1941). Readers also
show deterioration in their spelling ability when they read misspelled versions of
words they know (Jacoby and Hollingshead, 1990).
Preparing for TOEFL by Reading
Mason (in press) provides an example of acquisition without the presence of
rival approaches that has enormous practical implications. Five adult second
language acquirers in Japan who had studied English as a foreign language in classes
that included free voluntary reading of graded readers agreed to engage in a
recreational reading program to prepare for the TOEFL. Each of the five chose
somewhat different reading material, according to their own interests, with favorite
authors including Sidney Sheldon, Paulo Coelho, Judy Blume, and Bertice Berry. In
addition, several continued to read graded readers.
Subjects read for between one to four months, and took alternate forms of the
TOEFL test before and after doing the reading. The average gain was 3.5 points per
week on the overall test, and improvement was seen on all three components,
listening (2.2 points), grammar (3.6 points), and reading (4.6 points). This gain is
about the same as one sees with a full time TOEFL preparation class given in the
United States and is consistent with Gradman and Hanania‘s results, presented
earlier, showing that reading is an excellent predictor of TOEFL performance.
In addition to the evidence presented just above, in-school free reading studies
confirm the acquisition of reading ability, vocabulary, spelling and grammar without
instruction.
Combination Hypotheses
Two weak forms of the Comprehension Hypothesis have been discussed, or
assumed.
Weak version 1: Comprehension is necessary but not sufficient. Without formal
teaching and/or comprehensible output, the acquirer will not reach
the highest levels of competence. I think the evidence is consistent
Handout of Psycholinguistics

with this version, but only in the sense that supplements can add
competence of a different kind, consciously learned knowledge of
language. As argued above and in previous publications, there are
limits on how much language can be consciously learned and limits
on its application. Nevertheless, consciously learned language can
have value. Consciously learned rules of grammar can be used to
edit output when the conditions for Monitor use are met, which
occurs during the editing stage of the composing process.
Conscious knowledge of a few basic rules of phonics can, at times,
help make texts more comprehensible for beginning readers.
Occasional explanation of an unknown vocabulary word or
grammatical rule can occasionally serve to make input more
comprehensible, whether or not it contributes to the acquisition of
the item.
Weak version 2: Acquisition is slow. Conscious learning and/or output can speed up
the acquisition process. There is no evidence for this view. Direct
comparisons of acquisition-based methods and methods based on
rivals consistently show acquisition-based methods to be better,
that is, faster. Of course, it is possible that some optimal mix of
acquisition and learning will prove to be best, but so far this has
not been the case. Adding output and correction, in fact, has been
shown to make progress less efficient, not more (Mason, 2004).

Krashen, S. 2013. The Comprehension Hypothesis Extended. Proceeding


International ELT Conference 9 September 2013. Singapore.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 8
MOTIVATION AND ITS ROLES

‘Motivation‘, like ‗language aptitude‘, is a term which occurs in discussion of


second rather than first language learning. Since virtually everybody succeeds in
learning their first language, albeit at slightly varying rates, notions of different
aptitude and motivation seem to have no place. Obviously if learning the mother-
tongue is a maturational process as was suggested earlier, nothing is gained by
looking for evidence of motivation for learning. However the Soviet analysis of the
psychology of first language learning is not without significance for our
understanding of motivation in second language learning. Psychologists like Luria
and Vygotsky have suggested that it is through speech that a child learns to organize
his perception and to regulate his behavior and mental activities. Faced with
problems and needs, the child will in his early years merely look for outside
assistance, and language will have the function for him of obtaining this assistance.
Then will come a stage during which the child spends a lot of time taking to himself
or to anyone who cares to listen in his first efforts to find solutions to his needs
himself. Finally the external speech is internalized, so that the child‘s behavior is no
longer simply a response to external stimuli but has come under the control of his
thought processes. It is the environment that is controlled by the child rather than the
other way round.
The parallel between this and the situation in which the second language learner
finds himself is limited. The learner does not need the language in order to regulate
his behavior and his mental processes or to organize his perception. When he comes
to learn a new language his modes of behavior are already set in the ways that are
appropriate to his first language culture. It can hardly be the case that he has to
change the manner in which he regulates his own behavior to suit the ways of a
second language culture, although, as we shall see below, the desire to do so may be
an important factor in motivation. The parallel arises more in the way in which the
command of language enables the individual to control not himself but his
environment. Of the child learning his mother tongue it could be said, metaphorically
perhaps, that he has the best of all possible motives for learning the language. It
enables him to get what he wants. With his increasing proficiency he can obtain
more and more complex responses from the people about him. The responses may be
verbal or they may be physical, but the important thing is that they are initiated by
the language that was produced by the child. The child learns to influence the
behavior of others in ways that suit him. In this way his needs can be met.
The same conditions may arise in an alternate language learning situation; and
where they do we find what is probably the most powerful motivation of all for
learning a foreign language, and consequently the greatest success. This is where the
only means available to exercise control over events and people outside ourselves is
the foreign language. If, to satisfy our needs, to influence the actions and thoughts of
others, to pursue our occupation and our recreation, it is necessary to use a foreign
language more rapidly and effectively than under any other conditions. Such
circumstances will normally only arise if one is living in the country where the
foreign language is spoken, as in one‘s own country the most basic functions of
language will be met by the mother-tongue. If we may call this environmental
pressure to learn a form of motivation, then we would expect it to operate mostly
Handout of Psycholinguistics

among immigrants. Not all new residents in a country will learn the language of the
host community by any means. If they are members of a sizeable group still speaking
the mother-tongue, they will learn the target language correspondingly less well.
This will be because the mother-tongue will meet many of the needs that require the
use of language. Those who work in the host community will generally learn better
than those who stay in the home. The children will learn best of all because the
language will have the greatest value for them. That there is a whole gamut of other
factors at work is not to be denied. Age, amount of exposure, attitude of individuals
and groups, these and other factors have their part to play. But even with many of
these factors stable, learning will vary from person to person. It seems that it is the
differing needs that people have to communicate in the language that determine the
extent of their learning.
This kind of motivation is inevitably characteristic of language learning
situations but not of language teaching situations. It is in ‗natural‘ learning situations
that the individual is under pressure to acquire the language to control the behavior
of others. Where a foreign language is being learned in the pupil‘s mother-tongue
country, this pressure does not exist and achievement seems correspondingly low. Is
such motivation, then, of no relevance to the teaching of languages? The answer is
that if it really does make for effective language learning, one would like to be able
to make it relevant; but it is hard to see how it can be done within the conventional
language lesson. What such lessons lack is the necessity to express oneself in the
foreign language as a part of normal social intercourse. Artificial social situations
are contrived, but it is the very artificiality that excludes this kind of motivation.
Techniques of teaching alone seem unlikely to create the conditions where such
motivation operates.
The solution may lie in doing away with the language lesson altogether. The
need to use the language may be created by directing the pupils‘ attention not at the
language itself but at something else that is being learned through the language.
Provided the pupils are well motivated to learn science, for example, then the science
could be taught through the medium of the foreign language. The language then
becomes the only means by which the learner can comprehend and express scientific
subject-matter. For this limited range of interaction with the teacher and with other
pupils the learner has to use the foreign language. Because it is necessary to him, he
will learn it. With modern methods of teaching science it should not be difficult to
ensure that the learners were exposed to virtually all the grammatical system,
although the vocabulary would remain somewhat restricted. No doubt it would be
administratively impossible to have foreign languages taught entirely in this way, but
one could envisage both the growth of schools using a foreign language as a medium
of instruction and the application of this approach more widely in situations where
the pupils have to receive their education in a second language. It could be used in
primary schools in Anglophone and francophone African countries, for example, or
with Asian immigrants in Britain.

Integrative and Instrumental Motivation

I may appear to be implying that good motivation is absent from pupils who are
being taught foreign languages in classroom and laboratory. This is not so. Faced
with a class any a teacher will before long come to the conclusion that some pupils
are better motivated than others. There is of course a danger that the concept of
motivation will be a little more than a rationalization resulting from the observation
that some are learning better than others. In the absence of any other obvious
Handout of Psycholinguistics

explanations one may resort to motivation even when there is no evidence other than
success in learning. In fact the notion of motivation has rather more substance than
that.
We recognize that people have different motives for learning and that whereas
one person is ‗well motivated‘ another is ‗poorly motivated‘. One person may be
studying a language ‗because he wants to‘, another ‗because he has to‘. The former
would probably be thought to be better motivated. Motivation has to do with the
reasons for learning and with attitudes – attitudes towards the language, towards the
group that speaks the language as a mother-tongue. And toward bilingualism itself.
In much teaching, not only of languages, we anticipate that pupils‘ personal
motivation is unlikely to be strong, so we set out to motivate them through the
learning process itself. Teaching is planned so that learning becomes an interesting,
even at times an entertaining process. This would be particularly the case in primary
school language learning, where personal reasons for learning hardly exist and
attitudes have not yet had time to form.

IntegrativeMotivation
Some learners have a personal affinity for the people who speak a particular
language. This is the second type of language learning motivation described by
Gardner and Lambert and is called integrative motivation.
Learners who are integratively motivated want to learn the language because
they want to get to know the people who speak that language. They are also
interested in the culture associated with that language. Integratively motivated
learners may have significant others such as a boyfriend or girlfriend or family
members who speak the language, and heritage language learners typically have a
particularly strong integrative motivation for language learning. Several studies have
found that language learners who are integratively motivated are more successful
than those who are instrumentally motivated; it is likely that integratively motivated
language learners are more successful because their motivation is stronger than that
of instrumentally motivated students especially in North America.
Instrumental Motivation
People have many different reasons for studying a foreign language; sometimes
people study a language for practical reasons while other times people have a special
affinity for the particular language and its people. Language teachers are often very
aware of the career advantages that language proficiency can bring, but to many
language learners, studying the language is only an abstract undertaking required for
an academic degree.
Since the seminal work of Gardner and Lambert in 1972, language teachers and
researchers have recognized the important role that motivation plays in language
learning. Gardner and Lambert are responsible for proposing the most commonly
used framework for understanding the different motivations that language learners
typically have. They distinguish two types of language learning motivation:
instrumental motivation and integrative motivation.
Learners with an instrumental motivation want to learn a language because of a
practical reason such as getting a salary bonus or getting into college. Many college
language learners have a clear instrumental motivation for language learning: They
want to fulfill a college language requirement! Integratively motivated learners want
to learn the language so that they can better understand and get to know the people
who speak that language. In the North American context, integrative motivation has
proven to be a strong impetus to successful language learning.
Handout of Psycholinguistics

The new language teachers in this video clip discuss their own and their
students' instrumental motivations for language learning. The motivations described
here range from using the language to study philosophy to imagining a career in beer
production. In addition to having different reasons for language learning, some of the
learners described here are more strongly motivated than others.

Wilkins, D.A. 1980. Linguistics in Language Teaching. London: Edward Arnold.


Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 9
MULTIPLE LANGUAGE REPRESENTATION
AND THE BRAIN

In addition to an interest in understanding how linguistic and (nonlinguistic)


information interacts during language processing, researchers are also interested in
how language is represented, not only in terms of where in the brain language
functions are located but also in terms of the mental constructs of language. In this
chapter, we will first talk about the representation of language in the brain—
including what parts of the brain are known to be involved in language. Then, we‘ll
spend the rest of the chapter talking about how multiple languages are represented
and interact in bilingual speakers.
A. Language and The Brain
Let‘s start with a quick and light overview of brain anatomy. First, the main part
of the brain that is relevant for our purposes is the cerebrum or neocortex, a thin
layer of tissue that forms the outermost surface of the brain. In human brains, this
part has a very characteristic bumpy appearance, with lots of peaks and troughs. This
part of the brain is responsible for all kinds of fundamental aspects of cognition,
motor movement, and sensation. For example, the cerebrum contains primary motor
cortex, which is responsible for intentional body movements, and visual cortex,
which is responsible for processing information from the eyes and allowing us to
recognize the identity, location, and movement of objects. The cerebrum is divided
into four lobes and each of these lobes in turn has regions that are known to be
important for particular functions. The most important lobes for language are the
temporal lobe (near the ear) and the frontal lobe (at the front of the brain). Language
function appears to be heavily dependent on certain areas within these lobes, but
there are also areas deep within the brain (called subcortical areas) that are involved
as well.
Further, the brain is divided into two halves, or hemispheres. These two
hemispheres are not exactly mirror images of each other in terms of the functions
that they support— instead many higher-level cognitive functions are lateralized,
meaning that parts of the right hemisphere and left hemisphere specialize and take on
functions that the other hemisphere does not. There are a few exceptions, but for the
most part, the brain is organized such that the left hemisphere controls volitional
movement and processes incoming sensory information from the right side of the
body and the right hemisphere is responsible for these same functions but on the left
side of the body. In terms of language, in right-handed people it is the left
hemisphere that supports the majority of language function. In left-handed people it
varies somewhat.
Most left-handers also have language dominance in the left hemisphere,
although for some, language may actually have diffuse representation across the
hemispheres or even have a right hemisphere dominance. However, even in right-
handed people, the right hemisphere also plays a role in language ability, although
exactly what this role is and how it works are still something of a mystery.
There are two areas in particular that appear to be especially important for
language: an area toward the front of the brain in the frontal lobe that includes
Broca‘s area and an area more or less beneath and behind the ear toward the back of
the temporal lobe called Wernicke‘s area. See Figure 5.1 for a schematic view of
their positions in the cortex. Classically, Broca‘s area has been associated with
Handout of Psycholinguistics

speech production and Wernicke‘s area with auditory comprehension of speech


sounds. This is in part due to the constellation of impairments that appear in either
the production or comprehension of language (or indeed both) when patients suffer
brain damage in these particular areas. A major source of data on the organization of
language in the brain comes from studying patients with aphasia, a language disorder
caused by damage to the brain.

There are many kinds of aphasias, including Broca‘s aphasia—which is caused


by damage to Broca‘s area as well as to some adjacent brain areas, particularly
toward the front of the brain—and Wernicke‘s aphasia, which is caused by damage
to Wernicke‘s area. Broca‘s aphasia is characterized by difficulty with language
production—with effortful, slow speech, and the striking absence of function words
like prepositions, determiners, conjunctions, and grammatical inflections. So, the
majority of speech in this type of aphasia is composed of nouns and verbs, produced
without a fluent connection between them.
Despite their often severe problems with language expression, patients with
Broca‘s aphasia do appear to have largely intact comprehension skills and the
content that they do produce is on topic and the intended meaning is often very clear.
This kind of aphasia contrasts sharply with the pattern of language loss seen when
there is damage to the back of the temporal lobe (i.e., Wernicke‘s aphasia).
Wernicke‘s aphasia is, in many ways, the opposite of Broca‘s—patients with this
aphasia speak fluently and have no trouble with function words. However, the
content of the speech is often not meaningful and may even contain word-like strings
of sounds that are not actually words (aphasia researchers call these neologisms). Or,
they may produce novel ways to refer to things, such as calling an egg ―hen-fruit.‖ In
terms of comprehension, they often show clear signs of auditory comprehension
difficulties and they commonly have great difficulties repeating spoken words.
What does this mean for language representation in the brain? While Broca‘s
area was originally seen as important primarily for producing language, researchers
have more recently proposed that Broca‘s area is crucially involved in our ability for
structuring language—thus crucially involved in syntax. In a landmark paper on this
topic, Caramazza and Zurif (1976) found that patients with damage to Broca‘s area
not only had problems with producing sentences but also had some comprehension
problems as well: they had problems with getting the meaning right for sentences
when the use of syntactic information was required. For example, in a sentence like
Handout of Psycholinguistics

―The book was read by the girl,‖ one does not really need syntax to understand the
event that is being described— one only needs to have real-world knowledge that
girls read books but books cannot read girls. However, if instead, you had a sentence
like ―The boy was kissed by the girl,‖ realworld knowledge alone doesn‘t help—
boys can both kiss and be kissed, and the same is true of girls. So, who kissed
whom? The syntactic structure and corresponding rules of English tell us that it was
the girl who did the kissing because this sentence is a passive—indicated by the
word ―was‖ and the ―ed‖ on the verb, as well as the prepositional phrase introduced
with ―by,‖ which gives the agent of the kissing action. However, in active sentences
like ―The girl kissed the boy‖ the subject of the sentence is the one who is the agent.

B. Multiple Languages
Since we are still not in complete agreement about how a single language might
be represented in the brain, it might seem like jumping the gun a bit to start worrying
about how two languages work, let alone three or more. However, bilingualism is the
norm world wide, with at least 50% of the world‘s population speaking two or more
languages (some estimates go as high as 70%) and so it makes sense to see how
multiple languages are represented. Not only are we then studying the usual state of
affairs, but information from bilingual representations can inform monolingual
(single-language) representations as well.
Perhaps the biggest question in multiple language representations is how the
languages interact and overlap in terms of representation and to what extent they are
held distinct. That is the question that we‘ll look at in the rest of this chapter. First,
however, we need to address a few terminological and methodological issues. First,
and most pressing, what is a bilingual? If suddenly teleported into the middle of
France, I could probably manage to get by with my increasingly rusty knowledge of
French. I can read a French newspaper (with a certain amount of guesswork or a
dictionary), and I can understand parents speaking in French to their young children
pretty easily. Does that make me bilingual?
According to some definitions, it would. I am, without question, a second
language learner of French because I did not begin to learn the language until I was
14. But, what if I had started when I was 7? Clearly, we need to acknowledge that
there are different types of bilingualism. A native bilingual is someone who began
learning more than one language from a very early age. A related idea to this is being
a simultaneous bilingual, which is someone who learns a second (or third or fourth)
language without first having mastered a first. A simultaneous bilingual is also a
native bilingual, but the precise age for ―native‖ status is a little more tricky, and so
simultaneous is perhaps the better term because it is more precise. A sequential
bilingual is someone who learns a second (or third, or fourth) language after
achieving relative mastery of a first language. So, even someone who begins to learn
a language at the age of 7 is a sequential bilingual because they will by that time
already have a first language that they have mastered. Another issue for studying
bilingualism is acknowledging that it is extremely rare that a bilingual speaker would
have equal strength in all areas of all their languages at the same time.
For example, even if a bilingual speaker uses both languages equally on a daily
basis (which is, itself, somewhat unusual), they are likely to have certain topics or
uses of language that are language-specific. So, relative vocabulary strengths can
differ between languages quite easily: if you only use one language to talk about
your work in, then this language has an advantage over your other languages in this
topic. Many bilingual speakers do not live in a balanced language environment: one
language will be used relatively more than the other, and in this case, the less used
Handout of Psycholinguistics

language may be at a disadvantage. Further, while someone may be able to speak


more than one language, there may be political or social reasons why they use one as
little as possible, or have a poor attitude toward it. This, too, can influence
proficiency in the language. Taken altogether, these observations highlight that there
is a lot of individual variation among bilingual speakers, even when they appear
from certain measures to be identical. For example, you could have a group of 30
French–English bilinguals who all began learning English between the ages of 7 and
10 and are currently between the ages of 18 and 25. Despite this similarity, they may
still have very different skills in English (and possibly even French), depending on
whether they are currently living in an English-dominant, French-dominant, or
balanced bilingual environment. So, proficiency is an important thing to assess in
studies of bilingualism, although no single test will be able to assess all aspects of
language proficiency.

C. The Bilingual Brain


A great deal of work has looked at bilingual language processing (for an
overview, see Nicol, 2001). In terms of where multiple languages are represented in
the brain, there are several studies using fMRI and PET that show that multiple
languages activate largely overlapping regions (e.g., Chee et al., 1999; Illes et al.,
1999; Perani et al., 1998). However, these studies generally report averages across
participants rather than patterns within individuals. Evidence from bilingual aphasia
patients clearly shows that the relationship between languages at the neurological
level is more complicated than ―largely overlapping‖ and highlights the fact that
there is a lot of individual variation in language representation. For example,
bilingual patients with aphasia may suffer language loss in only one language, and
may even have language loss in their native language while retaining function in a
second language. They may retain both languages, but have difficulty translating
between them, or they may switch uncontrollably between them. They may be able
to translate into a language that they can no longer speak spontaneously.
And, of course, they may suffer language ability losses in both languages, to
same or differing degrees. Just as the patterns of loss vary widely among patients, so
do patterns of recovery. Patients may recover both languages at an equal rate and to
an equal level, or only one language may recover. Further, both languages may
ultimately recover to similar degrees, but may not recover at similar rates. Finally,
and most intriguing, some patients have shown an antagonistic recovery pattern, in
which gains in recovery for one language appear to come at the loss of recovery in
another.
One fMRI study that looked at healthy bilinguals compared them at an
individual level to examine which brain areas showed increased activity for first
versus second language (Dehaene et al., 1997). They played short passages to
French–English bilinguals that were either in French or English as well as a control
condition that was a short passage in Japanese that was played backward (so as to
subtract away activation that was due only to hearing language-like sounds). First,
they found that there was a great deal of individual variation between speakers in
exactly which areas of the brain became more active during listening, even in the
first language, French. However, for the French passages, all participants did show
activation in certain regions in the temporal lobe and near Broca‘s area. That is,
while the exact areas differed somewhat, activation for French was relatively tightly
clustered for each participant, and across participants, similar areas were activated.
However, for English materials, there was a much larger variation in which parts of
the cortex became active. While some traditional language areas showed activation,
Handout of Psycholinguistics

the activated areas were also more broadly distributed and two of the (right-handed)
participants showed activation in the right hemisphere only. So, although, this
showed that there is, in fact, a certain amount of variability between speakers even in
their first language, the areas activated for the first language were more consistent
and focal compared with the more widely distributed and more variable second
language areas.
Another study (Perani et al., 1998) showed that proficiency may be more
important than age of acquisition in determining how multiple languages are
represented in the brain. The researchers found no difference in patterns of activation
(now looking again at averages rather than individual participants) between the L1
and L2 of participants when those participants were equally proficient but had begun
acquiring the L2 early or late. However, speakers who had begun acquiring their L2
at the same time, but had achieved different levels of proficiency, did show
differences in the patterns of activation. These studies, and other similar ones, show
us several important things. First, it appears there is individual variation in precisely
which parts of the brain become active during the same language stimuli. Next,
second languages are not necessarily represented in the same areas as first languages,
but they appear to become increasingly overlapping with first languages as people
become more proficient. While earlier ages of acquisition are associated with
increased proficiency, it may be proficiency itself rather than age of acquisition per
se that influences the representation of language in the brain.

Cowles, H.W. 2011. Psycholinguistics 101. New York: Springer Publishing


Company.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 10
PARSING STRATEGIES:
HOW WE PROCESS THE LANGUAGE
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics
Handout of Psycholinguistics

Traxler, M.J & Grensbaacher, M.A. 1994. Handbook of Psycholinguistics. London:


Academia Press.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 11
PARSING STRATEGIES:
IMMEDIATE PROCESSING OF SENTENCES

A first step in the process of understanding a sentence is to assign elements of


its surface structure to linguistic categories, a procedure known as parsing. The
result of parsing is an internal representation of the linguistic relationships within a
sentence, usually in the form of a tree structure or phrase marker. Figure 6.1 depicts
some of the successive points in parsing a sentence. We recognize the as a
determiner, which signals the beginning of a noun phrase (Kimball, 1973). Our
knowledge of noun phrases is that they take the form of NP  det + (adj) + N, so at
this point we are looking either for an optional adjective or a noun. We recognize the
next word, actor, as a noun and add it to the noun phrase.
We may think of parsing as a form of problem solving or decision making in the
sense that we are making decisions (although not necessarily in a conscious manner)
about where to place incoming words into the phrase marker we are building. Just
and Carpenter (1980) suggest that we make these decisions immediately as we
encounter a word, a principle they call the immediacy principle. According to this
view, when we first see or hear a word, we access its meaning from permanent
memory, identify its likely referent, and fit it into the syntactic structure of the
sentence. The alternative to immediate processing is to take a ―wait-and-see‖
approach: to postpone interpreting a word or phrase until it is clearer where a
sentence is going. However, there is considerable evidence for the immediacy
principle. Although we sometimes postpone decisions, more often than not, we
interpret the words as we hear or see them.
The primary reason that we use immediate processing is that the number of
decisions involved in understanding even a single sentence can be quite large and
thus can overload our cognitive resources. Suppose we heard sentence (1):

(1) John bought the flower for Susan.

This sentence is syntactically ambiguous. It might mean that John bought the
flower to give to Susan or that John bought a flower as a favor for Susan, who
intended to give it to another person. This ambiguity is encountered when we hear
the word for. Suppose further that we kept in mind both meanings of the sentence.
But then flower has more than one interpretation also. It could mean flower or flour
(remember the sentence was heard). Suppose we take a wait-and-see approach and
wait for a major advantage in such an approach. If we retained two or more
interpretation of each of the several choice points, we would rapidly overwhelm our
working memory (see Singer, 1990).
Although immediacy of processing reduces memory load, it may lead to errors
in parsing. For example, consider sentence fragments (2):

(2) The florist sent the flowers …

Where might this sentence be going? At this point it looks like a simple declarative
sentence, but suppose it continues as indicated in (3):

(3) …. was very pleased.


Handout of Psycholinguistics

Although it at first appears to be ungrammatical, in fact this is a grammatical


sentence with an embedded relative clause (a clause that modifies a noun). One of
the reasons that the sentence is difficult to comprehend is that the embedded clause is
a reduced relative clause; it is not signaled with a relative pronoun, as in sentence
(4):

(4) The florist who was sent the flowers was very pleased.

Another reason is that declarative sentences are more familiar than relative
clauses, so we are more likely to ―place our bets‖ on that outcome. If we took a wait-
and-see approach, we would not be surprised by the continuation in (3). But we are
surprised, so it appears that we immediately interpret the fragment in (2).
If we are making decisions about where words fit into the syntactic structure of a
sentence, on what are these decisions based? Much work has been done on the
strategies we use in parsing. Strategies are thought of as approaches to parsing that
work much of the time, although they are hardly foolproof. We will discuss two
strategies that have gathered considerable empirical support.

Late closure strategy


One parsing strategy is called the late closure strategy. This strategy states that,
wherever possible, we prefer to attach new items to the current constituent (Frazier,
1987; Frazier & Fodor, 1978; Kimball, 1973). A primary motivation for this strategy
is that it reduces the burden on working memory during parsing (Frazier, 1987).
One example of late closure is sentence (5)

(5) Tom said that Bill had taken the cleaning out yesterday.

Here the adverb yesterday may be attached to the main clause (Tom said …) or
the subsequent subordinate clause (Bill had taken …) Frazier and Fodor (1978) argue
that we tend to prefer the latter strategy. Another example is (6), in which the
prepositional phrase in the library could modify either the verb put or the verb
reading. We tend to prefer attaching the prepositional phrase to the latter verb
(Frazier and Fodor, 1978).

(6) Jessie put the book Kathy was reading in the library …

Further evidence for the late closure strategy comes from Frazier and Rayner
(1983), who examined eye fixations of subjects of subject reading structurally
ambiguous sentences, such as (7):

(7) Since Jay always jogs a mile seems like a very short distance to him.

The ambiguity in this sentence is a little artificial because it lacks a comma after
jogs. Nonetheless, the participant‘s eye fixations were interesting. Frazier and
Rayner found that fixation times on the last few words were longer than on the
earlier ones, implying that readers had misinterpreted the term a mile and had to
make some later adjustments.
Sentences such as (7) are garden path sentences. In a garden path sentence, we
interpret a sentence in a particular way only to find out near the end that we
misinterpreted it. The subjective impression is that of being led down a garden path
Handout of Psycholinguistics

until discovering at the end that we took the wrong path and have to retrace our
efforts. The garden path experience lends further support to the immediacy principle,
for if we did not commit ourselves to an immediate interpretation, we would not
have found ourselves in this predicament.

Minimal attachment strategy.


A second strategy is referred to as the minimal attachment strategy, which states
that we prefer attaching new items into the phrase marker, being constructed using
the fewest syntactic nodes consistent with the rules of the language (Frazier, 1987;
Frazier & Fodor, 1978). For example, a sentence fragment such as (8) could be
interpreted as either a noun phrase conjunction (that is, both Marcie and her sister
were recipients of a kiss) or as the beginning of a new noun phrase. According to
minimal attachment, we prefer the former interpretation (Frazier, 1987).

(8) Ernie kissed Marcie and her sister …

Frazier and Rayner‘s (1982) study cited earlier also found evidence for minimal
attachment strategy. For example, consider sentences (9) and (10).

(9) The city council argued the mayor‘s position forcefully.


(10) The city argued the mayor‘s position was correct.

Carroll, D. W. 1999. Psychology of Language (3rd ed.) Pacific grove: Brooks/Cole


Publishing Company, pages 131-137.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 12
CONTRIBUTION OF PSYCHOLINGUISTICS IN
LANGUAGE TEACHING

Istilah metode (method) dalam pembelajaran bahasa berarti perencanaan secara


menyeluruh untuk menyajikan materi pelajaran secara teratur. Tidak ada satu bagian
pun dari perencanaan pengajaran itu yang bersifat kontradiktif. Metode bersifat
prosedural, dalam arti bahwa penerapan sebuah metode mesti dilakukan melalui
langkah-langkah yang teratur dan bertahap, dimulai dari penyusunan perencanaan
pembelajaran, penyajian materi dalam pembelajaran, dan penilaian proses
pembelajaran.
1. Sebagai sebuah perencanaan yang prosedural, metode merupakan konkretisasi
dari pendekatan yang lebih bersifat aksiomatis. iika pendekatan berisi teori
hakikat bahasa dan teori hakikat belajar bahasa yang diyakini oleh para
pengembang pendekatan tersebut, metode berisi hal-hal yang sifatnya lebih
operasional berikut (Syafilie, 1994: 19). 1. Tujuan umum dan tujuan khusus
pembelajaran.
2. Model silabus yang dalam hal ini berisi pedoman seleksi dan gradasi materi.
3. Tipe-tipe kegiatan pembelajaran yang berisi macam-macam tugas kegiatan
latihan serta materi yang digunakan.
4. Peranan pembelajar yang berisi (a) tipe-tipe tugas yang disusun untuk siswa,
(b) kualifikasi penguasaan bahasa siswa, (c) aturan pengelonpokan siswa yang
direkomendasikan, (d) pengaruh pembelajaran bahasa dengan metode tersebut
kepada proses pembelajaran yang lain, serta (e) pandangan pembelajar sebagai
pemroses, penampil, inisiator, serta penganalisis problem.
5. Peranan guru yang berisi (a) fungsi-fungsi guru, (b) kualifikasi pengaruh guru
terhadap proses belajar, (c) tingkatan peranan guru dalam menentukan materi,
dan (d) tipe-tipe interaksi antara pengajar dan pembelajar.
6. Peranan materi pembelajaran yang meliputi (a) sejauh mana fungsi utama
materi, (b) wujud bentuk materi, (C) hubungan materi dengan masukan yang
lain (misalnya pajanan) , serta (d) asumsi-asumsi yang disusun tentang
pembelajar dan pengajar.
Suatu metode pembelajaran bahasa dapat dipahami dengan baik jika dasar-dasar
teori pengembangannya juga dipahami. Dasar teori pengembangan metode
pembelajaran bahasa terdiri atas dua, yaitu teori bahasa (theory of language) dan
teori belajar bahasa (theory of language learning).
Terdapat tiga pandangan teoretis tentang bahasa dan penguasaan bahasa yang
mendasari pengembangan metode pengajaran bahasa. (1) Teori Struktural yang
memandang bahasa sebagai sistem yang memiliki unit gramatika: frasa, klausa,
kalimat; unit pembentukan gramatika: pengimbuhan, pengulangan, dan
penggabungan; serta unit kosakata yang meliputi nosi dan fungsinya. (2) Teori
Fungsional yang memandang bahasa dari segi fungsinya: informasional, intelektual,
emosional, moral, persuasi, dan sosial. (3) Pandangan interaksional memandang
bahasa sebagai alat untuk merealisasikan hubungan interpersonal serta sebagai
performansi transaksi sosial antarindividu dalam masyarakat. Tiap-tiap pandangan
teoretis memiliki implikasi yang berbeda pada pengembangan metode pembelajaran
bahasa. Misalnya, teori Struktural menghasilkan metode Tata Bahasa Terjemahan,
Audiolingual, serta Respons Fisik Total.
Handout of Psycholinguistics

Di samping teori bahasa, pengembangan pendekatan pembelajaran juga


didasarkan pada teori belajar bahasa. Pendasaran pada teori belajar bahasa ini, pada
dasamya, berkaitan dengan dua matra pertanyaan: (1) proses Psikolinguistik dan
kognitif apa yang terlibat dalam belajar bahasa; serta (2) kondisi apa yang diperlukan
untuk mengaktifkan secara maksimal pembelajaran bahasa. Sebagaimana telah Anda
pelajari pada modul 5, teori belajar bahasa berkembang di antara dua pertanyaan
tersebut. Teori belajar bahasa yang berorientasi pada proses, dikembangkan
berdasarkan asumsi bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah proses. Proses itu
meliputi pembentukan kebiasaan, induksi, inferensi, dan generalisasi. Pada bagian
lain, teori belajar bahasa yang berorientasi pada kondisi menjelaskan bahwa pada
hakikatnya belajar bahasa terjadi dalam sebuah konteks. Konteks itu dapat berwujud
konteks hubungan manusiawi maupun konteks fisik. Metode belajar bahasa yang
didasarkan pada teori belajar bahasa, umumnya dikembangkan dari salah satu matra
tersebut atau dapat juga dari kedua-duanya. Sebagai contoh metode pembelajaran
bahasa yang didasarkan pada teori belajar bahasa adalah metode Alamiah dan
Respon Fisik Total.
Metode apa sajakah yang didasarkan pada teori bahasa dan teori belajar bahasa
yang telah ditemukan atau dikembangkan oleh para ahli? Mackey (1965)
sebagaimana dikutip Sumardi (1974) menyebutkan ada 16 metode pembelajaran
bahasa. Mackey, Richard, dan Rogers (1986) dalam Syafilie (1994) mengemukakan
ada delapan macam metode pembelajaran bahasa. Dalam tahun yang lebih baru,
Dardjowidjojo (1992) menyebutkan ada lima metode mutakhir dalam pembelajaran
bahasa. Untuk mengetahui peran PsikoLinguistik dalam pengembangannya,
beberapa di antara metode itu diuraikan berikut.

1. Metode Alamiah
Metode ini dikembangkan oleh Tracy D. Terell (1976), seorang ahli bahasa
dari Universitas California. Prinsipprinsip PsikoLinguistik pembelajaran bahasa
menurut metode ini adalah:
1. Penguasaan bahasa lebih banyak bertumpu pada kemampuanan bahasa dalam
konteks yang alamiah dan kurang pada pembelajaran aturan-aturan gramatik
yang secara sadar dilakukan satu per satu.
2. Pembelajaran bahasa merupakan upaya mengembangkan kompetensi komunikatif,
yaitu kemampuan untuk memahami tuturan penutur asli dan apabila berbicara
dapat dimengerti oleh penutur asli tanpa kesalahan yang dapat mengganggu arti
yang dimaksud.
3. Mengutamakan komprehensi sebelum produksi.
4. Model teoretis yang mendasari metode alamiah adalah lima hipotesis monitor
yang dikemukakan oleh Krashen.
Teori monitor terdiri atas lima hipotesis utama, yaitu (1) hipotesis
kemampuanan-pembelajaran, (2) hipotesis urutan alamiah, (3) hipotesis monitor, (4)
hipotesis masukan, dan (5) hipotesis saringan afektif. Model monitor membedakan
antara kemampuanan dan pembelajaran bahasa. Kemampuanan mengacu pada
kemampuan Linguistik yang telah diinternalisasikan secara alamiah, yaitu tanpa
kesadaran dan memusatkan pada bentuk-bentuk linguistik. Pembelajaran dilakukan
dengan sadar dan merupakan hasil situasi belajar formal. Menurut hipotesis ini, anak
kecil hanya melakukan kemampuanan dalam usaha menguasai bahasa pertamanya.
Akan tetapi, orang dewasa melakukan dua cara dalam pengembangan kompetensi
L2-nya. Cara pertama adalah kemampuanan yang dilakukannya sebagaimana anak
Handout of Psycholinguistics

kecil mengembangkan kemampuan bahasa pertamanya. Cara kedua dilakukannya


dengan jalan belajar bahasa.
Dalam proses penguasaan L2, struktur gramatikal tertentu cenderung lebih dulu
dikuasai oleh pembelajar daripada struktur yang lain. Dalam hal ini terdapat
kecenderungan persamaan kemampuanan aspek-aspek bahasa tertentu. Misalnya,
konsonan bilabial secara umum akan lebih dulu dikuasai oleh anak daripada
konsonan velar atau getar/tril. Urutan yang demikian inilah yang dinamakan urutan
alamiah. Menurut hipotesis ini, ada kemampuanan struktur gramatikal bahasa anak
berada pada urutan yang dapat diramalkan. Urutan itu merupakan hasil dari strategi
pemrosesan yang sifatnya universal.
Monitor adalah alat atau sarana yang digunakan oleh pembelajar untuk
menyunting performansi bahasanya. Monitor ini bekerja menggunakan pengetahuan
pembelajar atau kompeLl~tensi yang dipelajari (leamed competence) dan
memodifikasi ujaran yang diturunkan dari pengetahuan kemampuanan atau
kompetensi yang diperoleh (acquired competence). Menurut Krashen, proses
memonitor ini terjadi sebelum dan sesudah tuturan berlangsung. Seperti telah
dikemukakan pada modul 5, ada tiga kondisi yang mendukung pengoperasian
monitor: kecukupan waktu, fokus harus pada bentuk dan makna, serta penutur harus
mengetahui kaidah.
Hipotesis masukan bertentangan dengan pendekatan pedagogis pembelajaran L2
dan bahasa asing pada umumnya. Dalam pengajaran, pelatihan struktur diajarkan
pertama kali baru kemudian praktik berkomunikasi. Akan tetapi, hipotesis masukan
menyatakan bahwa seorang anak memperoleh L2 dengan langkah awal menjajagi
makna baru kemudian memperoleh struktur. Secara keseluruhan, ada empat
hipotesis:
1. Masukan terjadi pada proses kemampuanan, dan sudah tidak terjadi
proses pembelajaran
2. Kemampuanan terjadi apabila seseorang memahami masukan yang
mengandung struktur (hanya) setingkat lebih tinggi daripada struktur
yang telah dimilikinya (i+1)
3. Bila komunikasi berhasil, i+1 tersaji secara otomatis
4. Kemampuan memproduksi muncul secara langsung, tidak melalui
diajarkan.
Masukan akan menjadi masukan yang terserap (intake) bila masukan itu i+1.
Bila masukan itu i+10 pembelajar akan mendapatkan kesulitan dan dapat
menimbulkan frustasi. Sebaliknya, bila masukan itu i+0 atau i-1, pembelajar tidak
terangsang dan dapat menimbulkan rasa bosan (Baradja, 1990: 6).
Hipotesis saringan afektif menyatakan bahwa faktor sikap memegang peran
penting dalam kemampuanan L2. Dulay & Burt (1977) dalam Baradja (1990:54)
menyatakan bahwa sikap yang optimal membuat filter membuka lebih lebar dan
masukan akan mengenai sasaran lebih mendalam. Masukan akan efektif bila, (1)
pembelajar mempunyai sikap yang benar dan (2) guru berhasil menciptakan atmosfer
kelas yang bebas dari perasaan cemas.
Konsistensi metode ini pada kondisi kealamiahan tampak dari teknik yang
dikembangkan pengajar yang memancing pembelajar mengembangkan aktivitas
kemampuanan, bukan pembelajaran. Aktivitas itu, misainya, (a) afektif humanistik,
(b) bersifat memecahkan masalah, (c) berbentuk permainan, dan (d) berorientasi
pada isi masalah. Aktivitas afektif-humanistik dikembangkan agar dapat melibatkan
perasaan, pendapat, keinginan, reaksi, ide dari siswa; sedangkan pemecahan masalah
dikembangkan agar siswa dapat mencari jawaban situasional yang benar. Bentuk
permainan tidak boleh dianggap iseng atau selingan, tetapi harus direncanakan
Handout of Psycholinguistics

dengan baik agar mendukung kemampuanan. Aktivitas berorientasi pada isi


menekankan subjek materi yang memang diperlukan oleh siswa.
Untuk mengembangkan komprehensi, salah satu yang dapat dipakai adalah
situasi kelas. Apabila pengajar menginginkan siswa mengembangkan komprehensi
tentang wama dan ukuran, masukan untuk memperkuat komprehensi dapat dilakukan
dengan cara berikut.
a) ―Siapa namamu?‖ (sambil menunjuk salah satu siswa di kelas. Setelah
mendapatkan jawaban, pengajar meneruskan).
b) ―Anak-anak, lihat Aimmatu Rasyida. Ia memiliki rambut panjang dan hitam.
Rambutnya benar-benar hitam dan panjang. Rambutnya tidak pendek, tetapi
panjang.‖ (sambil memberikan peragaan yang bisa memberikan arti dari
kalimat atau kata-kata yang dipakai). Pelatihan komprehensi ini bisa
diteruskan, misalnya, dengan
c) ―Siapa nama gadis yang berambut panjang dan hitam itu?‖
Proses seperti di atas diulang terus-menerus untuk memberikan masukan pada
pembelajar tentang berbagai benda, sifat, wama, ukuran dan sebagainya. Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa penambahan materi dilakukan dengan memperhatikan
prinsip hipotesis masukan, i+1.
Bila sudah cukup memberikan masukan ujaran dengan sendirinya akan muncul.
Pancingan pengajar hendaknya disusun agar respon lisan siswa bergerak dari yang
sederhana menu)‘u yang kompleks. Urutan itu, misalnya, (a) pertanyaan yatidak, (b)
pertanyaan dan-atau, (c) jawaban dengan satu atau dua kata, (d) kalimat bebas, (e)
dialog terbuka, dan (f) wawancara/dialog khusus.

2. Metode Respon Fisik Total


Pertama dikembangkan oleh seorang psikolog dari San Jose State College, Amerika
Serikat, James J. Asher (1966). Landasan PsikoLinguistik metode ini adalah:
1. Asimilasi informasi dan keterampilan bisa ditingkatkan secara signifikan apabila
kita memanfaatkan sistem sensori kinestetik. Hal ini dikaitkan dengan fakta
bahwa dalan memperoleh bahasanya sendir-i anak kecil lebih banyak dihidangi
dengan ujaran-ujaran yang lebih memerlukan tanggapan fisik daripada macam
ujaran yang lain.
2. Keterampilan komprehensi harus jauh-jauh lebih dulu dikuasai sebelum orang
belajar berbicara (produksi). Implikasinya, siswa diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mematangkan keterampilan komprehensinya sebelum
mereka diberi tugas ekspresi.
3. Karena arti kata dikemukakan dalam bentuk aktivitas fisik, tidak diperlukan
terjemahan ke dalam bahasa pembelajar.
4. Dalam metode ini, pembelajar tidak diberi pekerjaan rumah, meskipun tidak
dilarang. Bahkan, koreksi atau pembetulan hanya dilakukan pada saat dan
dengan cara yang tepat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa kesalahan
merupakan gejala yang wajar bagi pembelajar, pekerjaan rumah dan koreksi
yang tidak tepat hanya memberikan beban tambahan kepada pembelajar.
Sesuai dengan teori belajar bahasa yang mendasarinya, kaitan antara gerak
tubuh dan penguasaan bahasa menjadi fokus dalam pemilihan teknik pembelajaran
yang dikembangkan. Situasi kelas dapat dijadikan media pembelajaran, tetapi yang
ideal, metode ini mempersyaratkan kelas yang luas yang dapat diubah-ubah sesuai
dengan situasi yang sedang diperagakan. Jumlah siswa, idealnya, relatif kecil, 20-25
orang. Faktor umur tidak ada batasan, bisa untuk anak-anak hingga orang dewasa.
Asher (dalam Dardjowidjojo, 1992) mengemukakan, ―Kebanyakan, kalau tidak
Handout of Psycholinguistics

semua, fitur gramatik dalam bahasa dapat disajikan dalam kalimat imperatif.‖
Implikasinya hampir semua bahan pelajaran disajikan dalam kalimat perintah.
Contoh teknik pembelajaran metode ini dapat dicermati dari teknik yang telah
dilakukan Asher. Untuk mengajarkan kata abstrak pemerintahan, keadilan, dan gaji
dibuatlah kartu kecil (flash card). Kosakata abstrak tersebut ditulis pada kartu
dengan huruf yang sesuai, kemudian di balik kartu diberi arti katanya dalam bentuk
terjemahan. Cara pengajarannya ialah dengan meminta pembelajar memberikan
kartu tersebut pada kawannya.
―Billa, berikan pemerintahan kepada Heru! Heru, terima dan letakkan
pemerintahan di kepalamu dan berikan gaji padaku! Anas, tempatkan keadilan di
atas buku merah itu, kemudian ambillah gaji dariku dan berikan pada Rasyida!‖

3. Metode Sugestopedia
Dikembangkan pertama oleh Georgi Lazanov (1975), dokter dan psikiatris di
Bulgaria. Metode ini didasari oleh beberapa prinsip PsikoLinguistik berikut.
1. Manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan diberikan sugesti.
Dalam proses pemberian sugesti ini, pikiran harus tenang, santai, dan terbuka
sehingga bahanbahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah
diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.
2. Pada saat pelajaran akan dimulai, siswa dipersilakan yoga terlebih dahulu untuk
menghimpun kemampuan hipermnestik (hypermnestic abiities), yakni
kemampuan supermemory yang luar biasa.
3. Ruang diatur agar memberikan atmosfer belajar yang baik: kursi enak diduduki,
mudah diatur supaya santai, lampu agak redup, serta diiringi musik yang sesuai
dengan jiwa dan bahan yang diberikan.
4. Menolak program laboratorium serta tidak percaya pada latihan-latihan
struktural yang ketat. Latihan dalam bentuk penubian (drill) yang mekanistik
tidak akan mendatangkan hasil yang baik.
5. Umumnya pelajaran disampaikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang.
Dialog itu memiliki ciri (a) penekanan pada kosakata dan isi, (b) dasar
pembuatan dialog adalah peristiwa hidup yang riel, (c) harus secara emosional
relevan, (d) memiliki kegunaan praktis, dan (e) kata-kata baru digarisbawahi dan
diberi transkripsi fonetis pelafalannya.
Sehubungan prinsip santai yang diyakini dapat memberikan kekuatan memori
yang luar biasa, di samping itu, suasana kelas, penguatan reinforcement—yang
dalam metode ini dinamai seance—mendapatkan perhatian khusus. Tiap pertemuan,
alokasi waktu dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dipakai untuk mengulang
materi sebelumnya.
Pengulangan materi ini dilakukan dalam bentuk percakapan, permainan, sketsa,
dan bermain peran (action) Jika siswa membuat kesalahan, pembetulan dilakukan
dengan cara hatihati agar siswa lebih terdorong ke segi yang positif. Praktik
pelafalan bunyi dan penyebutan nama yang sulit dilakukan pada bagian ini.
Pada bagian kedua, bahan baru diberikan dalam bentuk dialog sebagaimana cara
tradisional. Materi dialog dibuat menarik, relevan, riel, dan dipergunakan sesuai
dengan isinya. Bagian ketiga merupakan ciri khas metode sugestopedia ini, yaitu
pemberian seance. Pada bagian ini pembelajar menyantaikan diri dengan duduk yang
dinamakan savasana. Kegiatan ini terdiri atas dua macam, aktif dan pasif, selama
satu jam. Dalam kegiatan aktif, pembelajar melakukan kontrol terhadap
pernafasannya dengan ritme: 2 detik pertama tarik nafas, 4 detik kemudian untuk
tahan nafas, serta 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diulang sekitar 25 menit.
Pada 2 detik pertama, pengajar menyampaikan bahan dalam bentuk L1 agar
Handout of Psycholinguistics

pembelajar dengan mudah berpikir. Pada 4 detik kedua, pengajar menyampaikan


bahan dalam bentuk L2. Dua menit terakhir digunakan istirahat oleh pembelajar.
Siklus itu diulang terus. Selanjutnya dalam kegiatan pasif yang berlangsung 20-25
menit, pembelajar mendengarkan musik klasik yang kaya ornamentasi dan
improvisasi. Tahap ini disebut konser. Dalam mata terpejam, pembelajar
memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser diakhiri dengan seruling yang
cepat dan gembira sehingga tergugahlah para pembelajar dari meditasi
masing-masing.

Harras, K. A & Bachari, A. D. 2009. Dasar- Dasar Psikolinguistik. Bandung: FPBS


and UPI Press.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 13
CONTRIBUTION OF PSYCHOLINGUISTICS
IN LANGUAGE SKILLS

Studi Psikoinguistik telah berhasil mencerahkan hubungan bahasa dengan proses


mental pada saat proses resepsi dan produksi bahasa terjadi. Proses resepsi meliputi
aktivitas menyimak dan membaca; sedangkan proses produksi meliputi aktivitas
berbicara dan menulis. Keempat aktivitas tersebut sering disebut empat keterampilan
berbahasa. Manfaat berbagai temuan studi Psikolinguistik terhadap pembelajaran
keempat aktivitas tersebut dikemukakan pada kegiatan belajar ini. Uraian ini
didasarkan pada pendapat Sumadi (1995) . Secara praktis, manfaat itu dikaitkan
dengan kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia tahun 1994.
a) Teori Pemahaman
Ada dua pendekatan dalam pemahaman (comprehension) yaitu pendekatan
sintaktik dan pendekatan semantik. Melalui pendekatan sintaktik, pemahaman
tersebut dilakukan dengan pertama-tama mendasarkan diri pada struktur kalimat.
Pemahaman dilakukan dengan mengenali bunyi, kata, dan maujud yang terdapat
dalam kalimat untuk menangkap makna pernyataan yang terkandung dalam kalimat
tersebut. Pemahaman dengan pendekatan semantik berarti bahwa pemahaman
tersebut dilakukan dengan memberikan penafsiran makna pernyataan kalimat yang
diterimanya berdasarkan konteks, fakta, dan fungsi, baru kemudian mengidentifikasi
bunyi, kata, dan konstituen yang mendukung penafsiran tersebut. Menurut
pendekatan ini, makna tidaklah ―memancar‖ dari teks, melainkan -I‘diberikan‖ oleh
penyimak/pembaca sesuai dengan skemata yang dimilikinya (Hamied, 1995). Kedua
pendekatan tersebut pada praktiknya dapat digunakan secara bersamaan.
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum bidang studi
bahasa Indonesia 1994, misalnya, aspek pemahaman harus diajarkan dengan
menggunakan pendekatan komunikatif. Hal ini berarti bahwa pengajaran
pemahaman harus dilakukan dalam bentuk pemahaman ujaran yang alamiah, yaitu
bacaan yang digunakan dalam peristiwa komunikasi yang sesungguhnya.
Selanjutnya, guru menjelaskan proses pemahaman dari pendekatan sintaktik dan
semantik secara rinci proses dan hasil yang diperolehnya sehingga menemukan
makna proposisi tertentu. Penggunaan kedua pendekatan tersebut selanjutnya
dipadukan untuk meyakinkan kebenaran proposisi yang diperolehnya. Jika hasilnya
sama, kita semakin yakin kebenaran makna dari pernyataan yang ditemukan. Jika
hasilnya berbeda, dibahas selanjutnya mengapa berbeda. Demikian seterusnya
sehingga ditemukan pendekatan yang cocok sesuai dengan siswa.
Untuk mendukung pendekatan keterampilan proses dan cara belajar siswa aktif
yang dikehendaki dalam kurikulum 1994, tahapan pengajaran berikutnya adalah
pemberian tugas. Pemberian tugas dimulai dari mencari ―teks‖ lisan atau tulis
dengan tema tertentu, selanjutnya siswa ditugasi untuk memahami proposisi yang
terkandung di dalamnya dengan pendekatan yang sudah diterimanya. Tugas .4ni
dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Hasil pengerjaan tugas tersebut
selanjutnya dilaporkan dan dibahas dalam diskusi kelas sehingga melibatkan
beberapa aspek keterampilan menuliTatau kemahiran mengarang. Sedangkan
pelaksanaan diskusi dalam kelas tentunya melibatkan aspek keterampilan menyimak
dan berbicara. Pengajaran pemahaman yang demikian itu menunjukkan sumbangan
Psikolinguistik terhadap pengajaran pemahaman bahasa Indonesia. Namun, dalam
Handout of Psycholinguistics

kurikulum 1994 bidang studi bahasa Indonesia, sumbangan Psikolinguistik tersebut


tidak disebutkan secara ekplisit.
b) Teori Mendengarkan Selektif
Suatu fenomena yang merupakan penjelajahan khusus terhadap teori persepsi
ujaran adalah cocktail party phenomenon (fenomena pesta minum) Dalam teori ini
dibayangkan seseorang yang berbicara kepada orang lain dalam situasi pesta. yang
sangat ramai, ternyata orang yang diajak bicara tersebut masih dapat memahami
kalimat-kalimat yang digunakan mitra bicaranya. Ini terjadi karena pendengar
melakukan kegiatan mendengarkan selektif.
Teori di atas berguna dalam pengajaran berbicara dan menyimak yang
dilakukan secara terintegrasi. Pada kenyataan berbahasa Indonesia, kita sering
berbicara dan menyimak dalam situasi gaduh seperti dalam kendaraan sehingga deru
mesin kendaraan tersebut sangat mengganggu, dalam pesta atau rapat yang sangat
banyak pengunjungnya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, kita sebagai
pendengar harus menggunakan teori mendengarkan secara selektif agar terus dapat
mengikuti pembicara. Begitulah komunikasi dengan bahasa yang sesungguhnya di
masyarakat. Oleh sebab itu, pengajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan
komunikatif harus menciptakan pengajaran yang mencerminkan penggunaan bahasa
yang sesungguhnya dalam masyarakat. Hal ini perlu bagi pembelajar, karena
kemampuan menyimak pembelajar perlu dilatih, termasuk kemampuan menyimak
selektif atau kemampuan mendengarkan selektif, agar kemampuan mendengarkan
pembelajar tersebut bertambah baik.
Teori produksi bermanfaat dalam mengajarkan berbicara dan menulis. Teori ini
menyatakan bahwa produksi bahasa melibatkan dua aktivitas utama, yaitu
perencanaan dan pelaksanaan. Dalam berbicara, misalnya, seorang penutur terlebih
dahulu merencanakan bagaimana dia bertutur untuk mempengaruhi mental
pendengarnya. Kemudian, ia melaksanakannya.
Dengan mengeluarkan segmen bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Secara garis
besar, proses ini terdiri atas (1) rencana wacana, yaitu si penutur memutuskan
wacana apa yang akan dihasilkannya, (2) rencana kalimat, yaitu si penutur
memutuskan tindak ujar apa yang akan digunakan, mana yang given dan mana yang
new, apakah disampaikan secara langsung atau tidak, (3) rencana konstituen, yaitu si
penutur memilih bunyi, kata, frasa, idiom, beserta urutannya, (4) program artikulasi,
yaitu si penutur menyimpan bunyi, kata, frasa, idiom, beserta urutannya tersebut
dalam memori lengkap dengan segmen fonetisnya, dan (5) artikulasi, yaitu si penutur
mengaktifkan otot-otot artikulatori untuk menghasilkan program artikulasi yang
telah disusun tadi.
Langkah-langkah produksi ujaran yang dikemukakan di atas perlu diajarkan
kepada siswa untuk menghasilkan produksi ujaran yang ideal seperti yang
dikehendakai kurikulum 1994 bidang studi bahasa Indonesia. Betapapun seseorang
berbicara secara spontan, ia harus melakukannya dengan langkah-langkah yang
sistematis, harus direncanakan secara matang, agar produk ujaran yang
dihasilkannya ideal sehingga proposisi yang ingin disampaikan kepada pendengamya
dapat tersampaikan dengan baik. Hal ini berlaku juga untuk produksi bahasa tulis,
hanya dengan wujud yang agak berbeda karena dalam memproduksi bahasa tulis
tersedia cukup waktu untuk berpikir dan mengoreksi hasil tulisannya.
c) Teori Penyangkalan
Penyangkalan atau denial merupakan bentuk pernyataan khusus. Penyangkalan
seperti subposisi dengan pembatalannya merupakan satu kesatuan. Penyangkalan
membiarkan informasi lama dan menegaskan informasi baru. Misalnya, ―Ingat,
kemarin ketika saya berkata kepada Anda adalah John yang memukul Bill. Baiklah,
Handout of Psycholinguistics

saya salah.‖ Dalam kalimat yang kedua, terdapat pernyataan bahwa Adalah John
yang memukul Bill tidak benar. Lalu apa yang ingin dibatalkan? Apakah John
melakukan sesuatu, tetapi bukan memukul Bill? Apakah John memukul seseorang,
tetapi bukan Bill? Apakah sesuatu terjadi, tetapi bukan pemukulan Bill oleh John?
Dalam pernyataan itu penutur ingin menyatakan given information bahwa X
memukul Bill adalah benar dan membatalkankan new information bahwa X adalah
John.
Bentuk-bentuk penyangkalan beserta penafsirannya sepeti itu tepat diajarkan
kepada pembelajar bahasa Indonesia sesuai dengan kurikulum 1994. Hal ini sesuai
dengan pendekatan komunikatif yang digunakannya, pembelajar harus diajak untuk
memahami dan menggunakan kalimat-kalimat dalam latar komunikasi yang
sesungguhnya.
Dalam peristiwa komunikasi seperti itu, tentu tidak disangkal lagi penggunaan
kalimat-kalimat yang beberapa di antaranya adalah kalimat penyangkalan.Oleh
karena itu, guru perlu menjelaskan pembentukannya, pemahamannya, serta
penggunaannya dengan teori penyangkalan.
d) Teori Ambiguitas
Pada dasarnya terdapat dua teori ambiguitas, yaitu teori garden path dan teori
many meanings (Sumadi, 1994)
1. Teori garden path menyatakan bahwa manusia tidak menganggap suatu
kalimat sebagai ambigu karena hanya ada satu penafsiran terhadapnya.
Sedangkan teori meanings menyatakan bahwa pendengar membuat dua atau
lebih tafsiran yang berbeda untuk setiap kalimat ambigu dan segera
memutuskannya mana yang benar berdasarkan konteks. Di samping itu, ada
teori no meaning yang menyatakan bahwa pendengar mula-mula tidak
memberikan tafsiran apa-apa terhadap kalimat, tetapi menunggu sampai
konteks menentukan sendiri tafsiran makna yang tepat.
2. Kedua teori tersebut, yaitu teori garden path dan teori many meanings
selanjutnya bergabung menjadi teori mixed. Teori ini menyatakan (1) ketika
pendengar menjumpai konstruksi yang ambigu, mereka memberikan
penafsiran ganda. (2) dengan bantuan konteks, mereka memilih tafsiran yang
paling tepat, (3) kalau keambiguan belum juga terpecahkan, mereka memilih
untuk berpedoman pada satu tafsiran saja, dan (4) jika konteks yang lebih
luas menolak tafsiran yang telah dipilih, mereka melihat kembali struktur
lahirnya dan memberikan tafsiran baru. yang lebih sesuai.
Dalam penggunaan bahasa sering dijumpai penggunaan kalimat-kalimat yang
ambigu. Dengan demikian, pengajaran bahasa Indonesia yang berpedoman pada
kurikulum 1994 yang menggunakan pendekatan komunikatif juga harus mengangkat
bahan ajar yang berapa di antaranya berupa kalimat-kalimat yang ambigu.
Selanjutnya, guru berusaha untuk mengajak pembelajar memahami dan berlatih
membuat kalimat-kalimat ambigu. tersebut agar pada saat diperlukan pembelajar
sudah terbiasa menggunakannya. Dikatakan pada saat diperlukan, karena memang
kalimat-kalimat ambigu itu pada saat tertentu harus digunakan. Kalimat ambigu
tidak harus dihindari. Misalnya, pada saat memimpin rapat dan pada rapat tersebut
muncul pendapat-pendapat yang sulit dipertemukan, seorang pemimpin rapat akan
lebih baik menggunakan kalimat ambigu. ―Pendapat Saudara kami pertimbangkan‖.
Apakah pendapat tersebut akan digunakan? Belum tentu. Karena pembelajar bahasa
Indonesia nanti akan terjun ke masyarakat dan kemungkinan juga akan menghadapi
situasi seperti itu, maka pengajaran bahasa Indonesia yang baik juga harus
memberikan sejumlah bekal, termasuk penguasaan kalimat-kalimat ambigu. tersebut.
Bagaimana guru mengajarkannya, bisa menggunakan teori yang disebutkan di atas.
Handout of Psycholinguistics

e) Teori Fitur Pembeda Bunyi (Features Distingtif)


Teori ini menyatakan bahwa setiap bunyi mempunyai sejumlah fitur sebagai
pembeda bunyi. Apakah bunyi itu konsonantal, apakah bunyi itu vocal, apakah bunyi
itu anterior, apakah bunyi itu coronal, apakah bunyi itu voice, apakah bunyi itu
nasal, apakah bunyi itu strident, dan apakah bunyi itu contonuart? Hasil analisis itu
akan menghasilkan fitur bunyi [b] sebagai pembeda dengan bunyibunyi yang lain.
Teori tersebut bermanfaat untuk mengajarkan bunyi bahasa Indonesia.
Beberapa bunyi dalam bahasa Indonesia sangat mirip, sehingga kedengarannya
sama. Padahal bunyibunyi tersebut sebenarnya berbeda. Misalnya, bunyi [f] dan [v],
bunyi [s] dan [sy]. Guru akan dapat mengajarkan bunyibunyi tersebut dengan
menggunakan fitur pembeda bunyi. Pengajaran bunyi seperti itu diperlukan untuk
menjelaskan pemakaian bunyi dalam peristiwa komunikasi yang hampir sama tetapi
sebenarnya berbeda.
f) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas menyatakan bahwa penguasaan segmen bahasa berhubungan
langsung dengan segmen bahasa yang sudah dikuasai. Teori ini bermanfaat dalam
pengajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kurikulum 1994. Dalam pengajaran
kalimat, misalnya, terlebih dahulu diajarkan kalimat-kaliat sederhana dan selanjutnya
diajarkan kalimat-kalimat luas yang terdiri atas dua klausa, tiga klausa, empat klausa,
dan seterusnya. Teori ini pula yang mendasari dipakainya pendekatan spiral dan
meninggalkan pendekatan blok sejak kurikulum 1984 diberlakukan.
Untuk merealisasikan penggunaan pendekatan komunikatif, tematik dan
integratif, serta pendekatan keterampilan proses dan cara belajar siswa aktif,
pengajaran kalimat bahasa Indonesia dilakukan dengan memberikan tugas kepada
siswa. Siswa ditugaskan untuk mengamati dan mencatat kalmat-kalimat yang
digunakan penutur dalam peristiwa komunikasi dengan tema tertentu.
Kalimat-kalimat yang sudah diperoleh selanjutnya dipilah-pilah berdasarkan jumlah
klausanya dan hasilnya dilaporkan secara tertulis untuk selanjutnya digunakan
sebagai bahan diskusi kelas. Selanjutnya, pembelajar ditugasi bermain peran dengan
menggunakan kalimat-kalimat tertentu, misalnya, menggunakan kalimat yang terdiri
atas satu klausa sampai tiga klausa. Dengan demikian, pengajaran kalimat dapat
dilakukan secara lebih mendalam sehingga hasilnya diharapkan lebih baik.
g) Teori Direktif dan Komisif
Grimm (dalam Clark 1977) menemukan bahwa anak lima tahun sudah dapat
meminta, menyuruh, dan melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Namun,
masih sulit mengijinkan seseorang atau membuat tindak ujar komisif. Pada usia tujuh
tahun, anak sudah dapat menggunakan tindak ujar meminta, memerintah, melarang,
dan mengijinkan, tetapi masih sulit membuat janji. Dari penelitian tersebut
tampaknya tindak direktif diperoleh anak lebih awal daripada tindak komisif, karena
tindak komisi meletakkan kewajiban pada penutur itu sendiri.
Pengajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 1994 mewajibkan guru
mengajarkan dan mengajak pembelajar untuk memahami dan menggunakan
kalimat-kalimat sebagai tindak ujar. Dalam pengajaran bahasa seperti itu, perlu
dipikirkan tindak ujar apa yang perlu diajarkan terlebih dahulu dan tindak ujar apa
yang perlu diajarkan kemudian. Sebagai contoh, hasil penelitian Grimm tersebut
dapat diterapkan untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Tindak ujar
direktif sebaiknya diajarkan terlebih dahulu, sedangkan tindak ujar komisif diajarkan
kemudian.

Harras, K. A & Bachari, A. D. 2009. Dasar- Dasar Psikolinguistik. Bandung: FPBS


and UPI Press.
Handout of Psycholinguistics

CHAPTER 14
SPEECH AND LANGUAGE DISORDER

A. Definisi Kelainan Bicara dan Bahasa


Kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan
bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara.
Keterlambatan dan kelainan mungkin bervariasi dari yang ringan atau tidak ada
pengaruhnya berhadap kehidupan sehari-hari dan sosialisasi, sampai yang tidak
mampu untuk mengeluarkan suara atau memahami dan mempergunakan bahasa.
Hanya sebagian kecil anak-anak dengan kelainan bicara dan bahasa yang tergolong
sangat berat. Bagaimanapun, karena pentingnya bahasa dan keterampilan
berkomunikasi dalam kehidupan anak-anak, baik ringan atau sedang, kelainan atau
gangguannya dapat berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Kadang-kadang
mereka terisolasi dari teman-temannya dan lingkungan pendidikannya. Kelainan
komunikasi dan bahasa juga dapat timbul sebagai dampak dari adanya kelainan
kognitif, neurologis, dan fisik.
Definisi yang dikeluarkan oleh IDEA (the Individuals with Disabilities
Education Act) tentang anak-anak dengan kesulitan bahasa dan bicara adalah sebagai
berikut: ―Anak-anak termasuk kategori ini apabila mereka mempunyai kelainan
komunikav seperti gagap, kelainan artikulasi, kelainan bahasa atau kelainan suara,
yang secar_ nyata berpengaruh terhadap kinerja pendidikan mereka”. The
American Speech-Language-Hearing Association (1993) mendefinisikan kelainan
komunikasi sebagai ―adanya kelainan dengan menunjukkan ketidakmampuan
menerima, menyampaikan, memproses, dan memahami konsep-konsep atau simbol-
simbol verbal, nonverbal, dan gambar‖. Kelainan komunikasi ini mungkin muncul
dengan jelas pada proses mendengar, berbahasa, dan/atau berbicara.

B. Penyebab Terjadinya Kelainan Bicara dan Bahasa


Penyebab kelainan bahasa dan bicara dapat diakibatkan oleh berbagai macam.
Bisa dari segi fungsional atau organik. Penyebab fungsional, seperti stres, tidak ada
dasar kerusakan secara fisik. Kelainan organik, seperti bibir sumbing, dapat
dihubungkan dengan kelainan fisiologis. Kelainan bicara dan bahasa bias diperoleh
sebelum lahir, pada saat perkembangan atau diperoleh kemudian. Kelainan sejak
lahir adalah kelainan yang terjadi ketika bayi masih di dalam kandungan; kelainan
pada saat perkembangan adalah pada usia prasekolah. Kelainan yang diperoleh
kemudian biasanya sebagai akibat dari kecelakaan, penyakit, atau faktor lingkungan
lainnya; kebanyakan hal itu terjadi pada masa anak-anak dengan apa yang disebut
aphasia, yaitu adanya kehilangan atau kerusakan pada fungsi-fungsi bahasa. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan penyebab kelainan pada saat perkembangan
kebanyakan tidak diketahui, tetapi kemungkinan meliputi disfungsi otak atau
dampak dari hilangnya pendengaran atau autisme. Faktor-faktor tersebut sangat
penting implikasinya dalam prognosis dan pemberian layanan. Kelainan bicara dan
bahasa dapat juga diklasifikan berdasarkan usia terjadinya kelainan, berat ringannya,
dan karakteristik perilaku dari kelainan sebagai gejala.
Penyebab kelainan komunikasi adalah sangat kompleks. Meskipun kebanyakan
anak-anak dievaluasi dalam konteks sistem pendidikan mempunyai kelainan
komunikasi fungsional, tetapi pengenalan faktor-faktor penyebab lainnya yang
bersifat organik sangat penting diketahui oleh para guru. Penyebab dapat termasuk di
dalamnya ketidaknormalan sebelum lahir, kecelakaan prenatal, tumor, dan masalah
Handout of Psycholinguistics

dengan sistem syaraf atau otot, otak, atau mekanisme bicara itu sendiri. Pengaruh
dari agen yang mempengaruhi embrio atau janin, termasuk sinar X, virus, obat-
obatan, dan racun lingkungan dapat juga menyebabkan kelainan yang dibawa sejak
lahir. Dalam enam minggu pertama sampai duabelas minggu kehidupan janin,
banyak organ tubuh sedang dibentuk. Apabila ada agen yang merusak satu organ,
maka dapat berpengaruh terhadap berbagai sistem perkembangan secara terus
menerus. Contoh untuk agen seperti itu adalah rubella (German measles). Ketika
terjadi kontraksi selama tiga bulan pertama dari kehamilan, agen yang
mempengaruhi janin ini dapat menyebabkan masalah congenital yang majemuk
seperti kelainan jantung, katarak, ketunagrahitaan, microchepalus, kecebolan,
ketunarunguan, dan berbagai patologi bicara dan bahasa secara bersamaan
(Northern, 1996).
Masalah komunikasi yang diakibatkan oleh penyakit atau akibat kecelakaan
setelah lahir adalah kelainan yang diperoleh. Kecelakaan yang mengakibatkan luka
otak sebagai akibat dari kecelakaan ketika mengendarai sepeda motor merupakan
contoh dari kelainan yang diperoleh yang sering mempunyai implikasi negatif
terhadap kemampuan bicara dan bahasa. Meningitis, suatu penyakit yang
mengakibatkan adanya iritasi pada lapisan otak, biasanya secara umum berhubungan
dengan kelainan pediatrik. Komplikasi dari meningitis ini dapat mengakibatkan
ketunarunguan dan disertai dengan kurangnya komunikasi. Masalah bicara dan
bahasa yang diakibatkan karena sakit juga termasuk kelainan komunikasi yang
diperoleh.
Artikulasi, kualitas suara, dan kefasihan dapat dipengaruhi oleh adanya
abnormalitas dalam pernafasan (aliran udara ke luar dan ke dalam paru-paru),
phonation (suara yang dihasilkan oleh larynx), dan resonansi suara (getaran di dalam
sistem vokal). Kelainan seperti ini sangat bervariasi dalam tingkatannya, dan dapat
terjadi secara tersendiri, bersama-sama dengan yang lain, atau hubungannya dengan
patologis bahasa lainnya. Neurofisiologi yang normal seperti adanya selaput dan otot
yang baik untuk pernafasan dan pengucapan, adalah sangat penting untuk
keterampilan bicara agar berkembang dengan baik. Adanya kelainan klinis berupa
adanya hambatan struktural dalam pengucapan termasuk di dalamnya bibir, gigi,
gerakan lidah yang terbatas, cleft Up, dan/atau cleft palate merupakan sejumlah
sindrom yang sering menandai malformasi depan kepala. Ketunarunguan,
ketunagrahitaan, kesulitan belajar, dan ketunalarasan juga secara umum sering
dihubungkan dengan kelainan komunikasi dan mempunyai implikasi terhadap
perkembangan bahasa dan bicara.

C. Karakteristik Anak dengan Kelainan Bicara dan Bahasa


Bahasa, termasuk patologi yang menyertainya, secara garis besar dapat dibagi
ke dalam dua bentuk dasar, yaitu bahasa reseptif atau kemampuan memahami apa
yang dimaksud dalam komunikasi lisan, dan bahasa ekspresif atau kemampuan
memproduksi bahasa yang dapat dipahami oleh dan berarti bagi orang lain (Friend &
Bursuck, 2002). Anak-anak dengan kelainan bahasa mempunyai kesulitan dalam
mengekspresikan pikirannya atau memahami apa yang diucapkannya. Keterampilan
bahasa ekspresif dan kemungkinan kesulitan yang menyertainya, termasuk di
dalamnya tata bahasa, struktur kalimat, kefasihan, perbendaharaan kata, dan
pengulangan. Bahasa reseptif kekurangannya biasanya berhubungan dengan
menanggapi, mengabstraksikan, menghubungkan, dan menggali pemikiran. Seorang
siswa yang tidak mampu mengikuti perintah secara efisien di dalam kelasnya
mungkin dia mempunyai kelainan bahasa reseptif. Seorang siswa yang tidak mampu
berkomunikasi secara jelas karena tataba hasanya jelek, perbendaharaan katanya
Handout of Psycholinguistics

kurang, atau masalah produksi seperti kelainan artikulasi dia termasuk mempunyai
kelainan bahasa ekspresif.
Anak-anak dengan kelainan bahasa sering menghadapi masalah baik dalam
bidang akademik maupun dunia yang lebih luas lagi. Beberapa karakteritsik yang
mungkin anda temukan pada anak dengan kelainan bahasa ekspresif dan reseptif
dapat dilihat pada tabel berikut.
Yang dapat diamati pada anak-anak
dengan kelainan Bahasa ekspresif dan reseptif
No Masalah Bahasa Ekspresif Masalah Bahasa Reseptif
1 Mempergunakan tatabahasa dengan Mempergunakan tatabahasa dengan
tidak tepat (―saya pergi tidak ke tidak tepat (―saya pergi tidak ke
sekolah‖). sekolah‖).
2 Kurangnya kemampuan Kurangnya kemampuan
menggambarkan sesuatu secara menggambarkan sesuatu secara
khusus (―ada sesuatu disana yang khusus (―ada sesuatu disana yang
tempatnya disana‖). tempatnya disana‖).
3 Sering malu (―anda tahu, eh, saya, Sering malu (―anda tahu, eh, saya,
eh, ingin, eh, se, eh...., segelas, eh...., eh, ingin, eh, se, eh...., segelas, eh....,
air‖) air‖)
4 Melompat dari satu topik ke topik Melompat dari satu topik ke topik
yang lainnya (―bagaimana cuaca hari yang lainnya (―bagaimana cuaca hari
ini? Baiklah, saya akan makan dulu ini? Baiklah, saya akan makan dulu
sudah lapar sekali....‖) sudah lapar sekali....‖)
5 Mempunyai keterbatasan Mempunyai keterbatasan
perbendaharaan kata. perbendaharaan kata.
6 Mempunyai kesulitan Mempunyai kesulitan
mempergunakan kata untuk mempergunakan kata untuk
mengomunikasikan sesuatu. mengomunikasikan sesuatu.
7 Mempergunakan bahasa sosial Mempergunakan bahasa sosial
dengan jelek (tidak mampu merubah dengan jelek (tidak mampu merubah
bentuk komunikasi yang sesuai bentuk komunikasi yang sesuai
dengan situasi tertentu). dengan situasi tertentu).
8 Takut bertanya, tidak tahu Takut bertanya, tidak tahu
pertanyaan apa yang akan diajukan, pertanyaan apa yang akan diajukan,
atau tidak tahu bagaimana bertanya atau tidak tahu bagaimana bertanya
suatu pertanyaan suatu pertanyaan
9 Mengulang informasi yang sama Mengulang informasi yang sama
dalam komunikasi secara terus dalam komunikasi secara terus
menerus menerus
10 Mempunyai kesulitan dalam Mempunyai kesulitan dalam
mendiskusikankonsep-konsep mendiskusikankonsep-konsep
abstrak, waktu, dan ruang. abstrak, waktu, dan ruang.
11 Sering tidak cukup memberikan Sering tidak cukup memberikan
informasikepada lawan bicaranya informasikepada lawan bicaranya
(―kami mempunyai masalah yang (―kami mempunyai masalah yang
besar dengan mereka‖ dengantidak besar dengan mereka‖ dengantidak
menjelaskan siapa yang dimaksud menjelaskan siapa yang dimaksud
kami dan mereka tersebut. kami dan mereka tersebut.
Handout of Psycholinguistics

Bagaimana seorang anak belajar bahasa? Untuk menjawab pertanyaan ini


masih terus dilakukan penelitian, dan banyak teori yang cukup kompleks di
dalamnya. Dimulai pada usia sebelum 2 tahun, besarannya selesai sebelum usia 4
tahun, kebanyakan anak-anak mendapatkan bicara yang dapat difahami dan
mempunyai dasar perkembangan tatabahasa dewasa (McCormick, 2003).
Bagaimanapun, ada berbagai variabel penting dalam perkembangan bicara dan
bahasa yang normal pada anak-anak. Sebagai contoh, usia kepandaian mengucapkan
berbagai macam suara sangat bervariasi yang kebanyakan terjadi pada usia tiga
tahun. Pada usia 8 tahun, sebenarnya, semua pengucapan suara secara nyata pada
bahasa anak terjadi dengan benar.

D. Pembelajaran bagi Anak dengan Kelainan Bicara dan Bahasa


Para siswa dengan kelainan bicara dan bahasa mungkin akan memperoleh
keuntungan dari intervensi akademik dan perilaku yang secara efektif diperuntukkan
bagi para siswa yang mempunyai masalah belajar dan perilaku, tetapi intervensi para
ahli tetap diperlukan. Beberapa siswa mungkin memerlukan terapi artikulasi,
sementara yang lainnya dibantu dengan mempergunakan alat bantu bicara dengan
benar, atau mungkin yang lainya akan lebih beruntung dengan adanya program
intensif yang dapat meningkatkan kesadaran fonem.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kelainan bicara dan
bahasa dapat berpengaruh terhadap prestasi dan perilaku siswa. Hubungan ini
ditemukan oleh para ahli di sekolah, dan karena kondisi itu para ahli bicara/bahasa
secara bersama-sama bekerja dengan para guru kelas lainnya, guru khusus, atau
orang-orang lain yang menjamin semua siswa menerima bantuan komunikasi sedini
mungkin yang diperlukan untuk pengembangan yang krusial keterampilan bahasa
dan pengenalan huruf.

1. Layanan Bicara/Bahasa dan Pembelajaran Kemampuan Pengenalan Huruf


Menurut the American Speech-Language-Hearing Association (Kamhi, 2003),
para ahli bicara/bahasa dapat menguatkan hubungan antara bahasa lisan dan
keterampilan pra pengenalan huruf, memberikan intervensi yang berhubungan
dengan kesadaran fonem dan ingatan, menganalisis penggunaan bahasa yang
ditemukan di dalam buku bacaan dan bahan-bahan sekolah lainnya serta media, dan
menganalisis bahasa siswa sehingga intervensi akan sesuai dengan kebutuha.‖ anak.
Para ahli bicara/bahasa dapat memainkan peran dalam melakuL--pencegahan,
intervensi dini, asesmen, terapi, pengembangan program. J_ berbagai dokumen yang
dihasilkan. Mereka juga dapat membantu dengan mendukung program pengenalan
huruf baik pada tingkat daerah maupun pusat. Para ahli bicara/bahasa harus
berinisiatif untuk melakukan pembicaraan dengan guru-guru untuk mendiskusikan
kebutuhan siswa dan langkah-langkah untuk intervensi. Dari semua itu, komunikasi
yang jelas dan sering sangat diperlukan.

2. Komunikasi dengan Mempergunakan Teknologi


Kebanyakan siswa dengan kelainan bicara dan bahasa dapat dibantu banyak
dengan penggunaan teknologi (Lund & Light, 2001). Perangkat keras dan perangkat
lunak komputer, PDA (personal digital assistants), dan berbagai pilihan lainnya
yang dewasa ini tersedia melalui internet dapat membantu siswa berkomunikasi
secara efektif dan memperaktekan keterampilan-keterampilan mereka dalam belajar.
Handout of Psycholinguistics

Komunikasi augmentatif dan alternatif


Komunikasi augmentatif dan alternatif berhubungan dengan strategi untuk
mengkompensasikan keterbatasan komunikasi individu. Komunikasi augmentatif
dan alternatif ini biasanya dibagi ke dalam dua bagian; tidak dengan
mempergunakan alat bantu (mereka yang tidak memerlukan penggunaan alat-alat
atau bahan-bahan khusus, seperti bahasa isyarat), dan yang memerlukan alat bantu
(mereka yang mempunyai ketergantungan pada jenis alat atau bahan). Salah satu
contoh komunikasi dengan menggunakan alat dalam komunikasi augmentatif dan
alternatif ini adalah penggunaan papan. Alat bantu ini menggunakan gambar, simbol,
atau huruf cetak untuk memfasilitasi komunikasi siswa, dan semua itu bisa dibuat
dengan teknologi tinggi atau rendah. Contoh, untuk siswa yang membutuhkan
komunikasi secara sederhana, papan komunikasi mungkin hanya berisi gambar-
gambar kecil yang ditata bebrbentuk kolom dan baris di atas papan yang rata. Siswa
menunjuk pada gambar yang tertera untuk mengungkapkan keinginannya (contoh:
―Saya ingin minum‖, dengan menunjuk pada gambar gelas, atau ―saya lapar‖ dengan
menunjuk pada gambar piring). Papan komuikasi untuk siswa yang masih kecil
mungkin sederhana, tetapi papan komunikasi untuk remaja dan dewasa mungkin
mengandung berbagai macam simbol dan memungkinkan untuk dilakukan
komunikasi yang lebih tinggi lagi. Selain yang manual, ada juga bentuk papan
komunikasi pada monitor komputer. Apabila menggunakan layar sentuh maka ini
harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Alat bantu lainnya adalah berbentuk
perangkat lunak yang dapat memperkirakan huruf. Bagi siswa yang mempunyai
kesulitan menulis, perangkat lunak ini dapat ―menebak‖ huruf yang sedang ditulis
anak, dengan menawarkan beberapa saran dala satu daftar. Siswa dapat memilih atau
menolak huruf yang diinginkan. Perangkat lunak ini juga dapat mengeja secara
benar, selain dapat membantu keterampilan siswa dalam menggabungkan kata.
Perangkat ini dapat memperkirakan huruf apa yang ditulis siswa, dan siswa dapat
memilihnya atau menggantinya dengan huruf lain yang diinginkan. Penemuan
sekarang ini yang lebih canggih adalah dengan adanya pengembangan jenis
perangkat lunak berbentuk personal digital assistant (PDA) atau alat bantu digital
personal. Inovasi ini dapat membantu para dewasa berkelainan untuk melakukan
komunikasi, meskipun tanpa menggunakan suara cara ini dapat diterima di
masyarakat.

Teknologi untuk praktik bahasa


Teknologi juga dapat membantu siswa untuk mengembangkan keterampilannya.
Mungkin Anda pernah mengamati siswa di sekolah dasar menggunakan program
komputer untuk mempraktikkan kemampuannya tentang huruf dan suara. Dia
mungkin telah belajar bagaimana membuat satu kata dengan mengkombinasikan
huruf-huruf. Teknologi seperti ini menjadi sesuatu yang umum dan mempunyai
makna bagi para siswa yang memerlukan praktik bicara intensif dalam dasar-dasar
bicara dan bahasa. Teknologi untuk siswa dengan kelainan bicara dan bahasa terus
dikembangkan. Di beberapa kelas, guru mempergunakan microphone dan siswa
duduk dekat dengan pengeras suara sehingga mereka dapat mendengar dengan jelas
suara guru ketika berbicara. Para ahli di sekolah hendaknya selalu membantu siswa
dalam berkomunikasi dan belajar, dan jika mereka bekerja mempergunakan
teknologi dengan siswa yang tidak dikenalnya, mereka hendaknya mencari masukan
dari para ahli sehingga dapat melakukan interaksi secara lebih baik lagi dengan anak-
anak dan menemukan permasalahan yang dihadalpinya. Mungkin suatu waktu
Handout of Psycholinguistics

mereka harus memperhatikan secara terus menerus untuk meyakinkan bahwa


teknologi memang mendukung komunikasi siswa, bukan mengganggunya.

Harras, K. A & Bachari, A. D. 2009. Dasar- Dasar Psikolinguistik. Bandung: FPBS


and UPI Press.

You might also like