You are on page 1of 14

Illustrasi : google.

com

Perubahan Geopolitik dan


Ketahanan Nasional:
Sebuah Penjelajahan Teoretikal
Kusnanto Anggoro, Ph.D.
Dosen Univesitas Pertahanan Indonesia

Abstrak

Technology has played an important role, even a driving force, in geopolitical changes
throughout history. Transportation, communication, information are always at the core
of inter-state exchanges such as trade and wars, as well as that of inter-cultural relations
amongst societal groups. Technology imposed geographic contraction, shortened distance,
and as such at the driving force for social harmony, political order, and national security.
In some cases, however, this technological nevessities whack the wall of conservative
strategic culture. Indonesia’s strategic culture seems to remain in the shadow of colonial
past and/or turbulence domestic during formatting years of the unitary state; and as
such strengthen geographic boundary as border rather than bridge to the outside world.
Geostrategic conception is therefore inward looking. Challenges abound. While nation
building is in essence a long term promotional approach, the challenges of state building
in the immediate future of Indonesia is to be a democratic yet responsive, anticipatory
state. Form strategic point of view, this requires efficient use national resources and
effective exercise of national instruments. Geopolitical changes pose serious challenges to
national resilience. A more creative and imaginative reconstitution of national resilience
policy, including its integration into national security policy, should enhance the likely for
Indonesia to survive, progress, and develop into a modern nation-state.

Key words: geopolitics, technology, national resilience, instrumnents of national power

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 5


PENDAHULUAN semua membicarakan tentang bagaimana
determinisme geografi menjadi impuls
Teori-teori awal geopolitik muncul
identitas, proses, dan budaya strategis
sebagai cerminan dari keinginan untuk
suatu negara. Tak ada keseragaman.
optimalisasi geografi sebagai unsur dalam
Identitas suatu negara memang ditetapkan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
berdasarkan ke-aku-an, namun keakuan
Geografi tentu merupakan faktor penting,
hanya muncul ketika ada ke-mereka-an; dan
dan lebih dari itu, tak bisa dihindari. Namun
oleh sebab itu, identitas bangsa maupun
makna geopolitik dan geostrategi dari
negara pada prinsipnya mengandung
kondisi geografi itu memerlukan faktor-
sentimen yang kuat akan ”batas” (border).2
faktor tidak tampak (intangible) yang
Budaya strategis suatu negara memang
menyebabkan geografi fisik itu berfungsi
ditentukan oleh faktor-faktor sosio-kultural
seperti diharapkan. Pertarungan geopolitik
dan pengalaman sejarah, namun faktor-
oleh karenanya didorong tidak saja oleh
faktor tersebut juga tidak kedap dari berbagai
persepsi seseorang tentang geografi,
perubahan, khususnya karena persepsi
tetapi juga oleh fungsionalitas geografi itu.
seseorang terhadap sejarah itu sendiri.
Tulisan ini membahas beberapa persoalan,
khususnya bagaimana perubahan geopolitik Dalam teori-teori geopolitik, geografi
terjadi dalam 50 tahun terakhir. Tulisan ini dipercaya sebagai faktor dominan yang
hanya akan melacak perkembangan teori mempengaruhi identitas, perilaku, dan
klasik geopolitik global saja, dan sekedar interaksi suatu negara.3 Jerman menjadi
menyinggung seperlunya relevansi arus ekspansionsis sampai pertengahan abad 20
pemikiran geopolitik lainnya Secara lebih sebagian diantaranya karena kepercayaan
khusus, perhatian diberikan kepada faktor- bahwa penguasaan atas daerah jantung
faktor penyebab perubahan, karakter (heartland) menjadi satu-satunya cara untuk
perubahan, dan penetrasinya terhadap tampil sebagai negara adidaya. Amerika
negara nasional (nation states). Khususnya keluar dari isolasionisme ketika Jerman
sejak awal abad 21, teknologi memainkan dan Jepang mulai menjamah wilayah yang
peranan yang semakin penting, tidak saja diyakininya sebagai daerah pinggiran
memperpendek jarak geografis tetapi juga (rimland), yang menurut pandangan
menciptakan ruang tanpa batas (unboundary geopolitik Amerika menjadi titik kunci untuk
space). Namun konsepsi negara tampaknya menyangga ambisi hegemoninya. Beberapa
juga bergeser dari tradisi Westphalian negara Asia Tenggara menganggap Tiongkok
menjadi pasca-Westphalian. Dalam hal-hal ingin menguasai Laut China Selatan karena
tertentu, kekuasaan negara dpaat digunakan konseptualisasinya tentang zhong quo
bahkan di luar wilayah nasionalnya. (middle kingdom). Sengketa perbatasan
merupakan faktor yang kerap kali menjadi
sebab peperangan antar negara.
PEMBAHASAN
Layaknya organisme, negara-negara
Impuls Perubahan Teori Geopolitik selalu berusaha untuk menembus restriksi
Istilah geopilitik digunakan dalam geografis itu dengan berbagai cara, baik
berbagai kompleks, sejauh menyangkut dengan ekspansi wilayah, penggunaan
tentang makna politik dari geografi, dan teknologi, pembentukan aliansi militer
konstruksi strategis negara-negara terhadap maupun berbagai bentuk hukum dan
konstruksi geografi itu (geostrategis). Teori pengaturan internasional. Pilihan-pilihan
geopolitik tidak homogenous,1 sekalipun itu bisa didorong oleh sejumlah tuntutan

6 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


domestik, mulai darti kebutuhan ekonomi Jerman dan Perancis. Pembukaan terusan
produksi, sampai dengan pergantian rezim. Panama menempatkan kedudukan Amerika
Kebutuhan bahan baku dan pasar, misalnya, Serikat jauh lebih unggul dibanding
merupakan faktor dominan munculnya rekan-rekannya di Eropa untuk bisa
merkantilisme dan kemudian kolonialisme menghubungkan Samudera Atlantik dan
ketika negara-negara maju mencoba Pasifik. 4
memperoleh pasokan bahan baku dan
Sejak awal pra-sejarah Timur Tengah
jaminan pasar untuk menyerap produsi
menjadi pusaran geopolitik. Namun
yang tidak lagi cukup diserap oleh pasar
intensitas pertarungan geopolitik meningkat
domestik. Politik air hangat Rusia sejak
tajam baru setelah temuan teknologi
masa Tsar Peter Agung, merupakan contoh
eksplorasi minyak, disusul kemudian dengan
dari bagaimana imajinasi kebesaran bangsa
maraknya perusahaan-perusahaan minyak
menjadi pendorong utama ekspansionisme
Barat di Arab Saudi, Iraq dan Iran pada
Rusia.
awal abad 20. Penempatan rudal-rudal jarak
Roosevelt Amerika atau Khomeini sedang Pershing dan Tomahawk di Jerman
Iran adalah contoh bagaimana keyakinan menjadikan Amerika memiliki keunggulan
ideologis seorang pemimpin, dan oleh sebab geostrategis di mandala Eropa jauh lebih
itu pergantian rezim, menjadi pendorong baik dibanding Uni Soviet. Tidak seorangpun
perubahan geopolitik. Perbedaan ekspektasi melupakan bagaimana kelemahan relatif
dunia atas pemilihan-pemilihan Presiden teknologi nuklir Soviet pada awal dasawarsa
Amerika, misalnya, sebagian diantaranya 1960an mendorong PM Soviet Nikita
disebabkan perbedaan ideologis calon Khruschev untuk menempatkan rudal-
Presiden Amerika dianggap akan menjadi rudal jarak pendek di Kuba. Seperti halnya
salah satu penentu dinamika politik Pershing dan Tomahawk, insiden Teluk
internasional. Begitu juga halnya dengan Babi (1963) merupakan contoh bagaimana
dukungan politik negara-begara Barat atas teknologi mengubah peta geopolitik,
perubahan rezim di Iran, Iraq, Syria dan kalkulasi geostrategis, dan kemudian
berbagai negara lain, sebagian diantaranya hubungan aliansi yang membelah ristriksi
juga didorong oleh keyakinan mereka geografi, khususnya seperti ditunjukkan
bahwa pemerintahan pengganti akan lebih dalam hubungan Amerika-Eropa (Barat) dan
bersahabat, Uni Soviet-Kuba.
Dalam beberapa kasus, geopolitik Seperti dikatakan Duferges, “gagasan
berubah bukan sebagai konsekuensi dan materialisasi geopolitik berubah sesuai
langsung dari perubahan rezim atau dengan tempat dan waktu”.5 Gagasan-
kebutuhan pasar tetapi dari temuan-temuan gagasan geopolitik awal yang dikemukakan
baru di bidang teknologi, khususnya di oleh Halford Mackinder atau Alfred Thayer
bidang telekomunikasi, transportasi, dan Mahan, yang berturut-turut mengutamakan
persenjataan. Sejarah mencatat bagaimana keunggulan penguasaan darat atau laut tidak
pembukaan Terusan Suez dan Terusan seluruhnya berubah. Pemikiran Nicholas
Panama, temuan baru dibidang teknologi Spykman tentang pentingnya daerah
eksplorasi minyak, serta miniaturisasi hulu pinggiran tetap menggunakan asumsi
ledak nuklir mengubah geopolitik dunia. Mackinder maupun Mahan, sekalipun
Terusan Suez, yang pada waktu itu dikuasai mengubah keunggulan relatif daerah
pemerintah Inggris, memberi keunggulan pinggiran atas daerah jantung. Kemugkinan
relatif bagi kolonialisme Inggris, dibanding besar makna relatif teknologi itu disebabkan

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 7


antara lain karena karakter teknologi maupun Soviet berusaha untuk memperoleh
yang ada pada waktu itu lebih banyak pengaruhnya di Dunia Ketiga. Washington
digunakan untuk memperkuat kemampuan dan Moskwa seakan-akan melihat semua
tempur (power projection), dan karena itu itu sebagai proses zero-sum. Melalui Doktrin
mempunyai makna tunggal terhadap daya Zhandov, Moskow melihat “netralisme”
pemusnah atau berbagai ukuran ofensif seperti tercermin dalam Gerakan Non-Blok
lainnya. sebagai “immoral”, sedang Amerika Serikat
juga melihat pemerintahan yang tidak pro-
Tampaknya kalkulasi geopolitik maupun
Washington sebagai bagian dari aliansi
geostrategis akan berubah dengan teknologi-
Soviet.
teknologi baru yang memiliki kemampuan
ganda (dual technology), misalnya temuan- Dalam sistem bipolar, zero-sum game
temuan baru di teknologi bahan, elektronika, merupakan geostrategi dominan. Jatuhnya
dan informasi dan komunikasi (internet). pemerintahan Nguyen Van Thieu di Saigon
Adagaium offence is the best defense (Vietnam Selatan) dianggap akan memiliki
bergeser menjadi sebaliknya karena senjata efek domino berupa tersebarnya komunisme
nuklir, tentu karena ristriksi dari no first ke seluruh wilayah Asia Tenggara.6 Bahkan
use policy dan doktrin massive retaliation. pada masa awal Perang Dingin, nasionalisasi
Teknologi siber (cyber technology) kontrol Barat atas beberapa akses dan
tampaknya akan menciptakan palagan baru sumberdaya mineral, misalnya Terusan Suez
(new battlefield) ketika teori penangkalan tak (1956) dan perusahaan minyak di Iran pada
lagi dapat semata-mata memperhitungkan masa Mossadheq, juga dianggap sebagai
kemampuan menyerang dan bertahan bukti kedekatan pada sistem sosialis Soviet.
dalam sebuah spektrum waktu secara linier. Hingga tingkat tertentu, demokrasi dan
Karena kemampuan ganda itu pula maka pasar bebas menjadi ideologi hegemonik
tidak mudah membedakan apakah teknologi yang dipercaya sebagai satu-satunya cara
siber akan digunakan untuk perang nilai mata membangun perdamaian, stabilitas dan
uang atau perang senjata. Perang tidak lagi kemakmuran bersama.
sekedar interregnum diantara dua tenggat
Tentu saja persepsi seperti itu sangat
damai; perang dan damai bisa berada saat
ditandai dengan pragmatisme. Menurut
yang sama, sekalipun berada di ruang yang
dokumen-dokumen awal 1980an yang baru-
berbeda.
baru ini dikeluarkan oleh CIA, sebagian
besar pimpinan di negara berkembang
tidak menganggap bantuan dari Uni Soviet
Menifestasi Perubahan Geopolitik
atau Amerika Serikat sebagai sesuatu yang
Berakhirnya Perang Dunia Kedua terpisah. Negara tertentu kerap kali menerima
melahirkan sistem bipolar, dengan Amerika bantuan dari kedua belah pihak. Dalam kasus
Serikat dan Uni Soviet sebagai kekuatan Indonesia, misalnya, kedekatan kepada
hegemonik. Mereka berdua tidak saja Uni Soviet bukan merupakan pilihan utama
bersaing secara langsung di mandala Eropa tetapi baru dilakukan setelah Washington
tetapi juga secara tdak langsung di kawasan- menolak untuk memberi bantuan senjata
kawasan lain. Sosialisme menjadi semacam untuk pengembalian Irian Barat. Kedekatan
proyek ideologis bagi Stalin, sedang Vietnam pada Moskwa, terpatri dalam
liberalisme demokrasi menjadi proyek Perjanjian Soviet-Vietnam (1978) adalah
aliansi Barat. Dekolonisasi mempertajam kedekatan taktikal karena kecemasan Hanoi
pertikaian itu, khususnya ketika Amerika terhadap ketegangan etnik di sepanjang

8 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


perbatasan Vietnam-China. serangan teror terhadap Menara Kembar di
New York. Peristiwa yang dikenal sebagai
Manifestasi kedua adalah militerisasi di
peristiwa 911 itu menjadikan “perang
berbagai belahan bumi, perlombaan senjata
melawan terorisme” (war on terror) menjadi
antar negara adidaya, khususnya dalam
mantra yang membidani berbagai formula
bentuk aliansi pro-Amerika dibentuk di Asia
strategi baru seperti ekstra-territorialitas,
Barat (CENTO, Central Treaty Organization,
pertahanan diri untuk mencegah situasi
Baghdad Pact) dan SEATO (Southeast
memburuk (preventive/anticipatory self
Asia Treaty Organization) di Asia Tenggara.
defense), bahkan serangan-serangan
Sementara Uni Soviet, sekurang-kurangnya
militer dengan dalih keselamatan manusia
sampai pidato Gorbachev di Krasnoyarks
(humanitarian intervensonisme). Serangan
(1988), membatasi diri untuk membentuk
terhadap Menara Kembar oleh seseorang
aliansi formal hanya di Eropa (Pakta
dari dalam wilayah Amerika Serikat sendiri
Warsawa). Di negara-negara berkembang
sungguh merupakan tantangan yang amat
Uni Soviet lebih condong untuk mendukung
besar, bukan hanya bagi pemerintahan
rezim tertentu seperti Fidel Castro (Cuba)
Washington tetapi juga bagi para teoritis
dan Allende (Peru) di Amerika Latin dan
Amerika yang selama ini menganggap
Karibia serta Robert Mugabe (Zimbabwe)
bahwa ancaman akan berasal dari luar
dan Siad Barre (Somalia) di Afrika. Di luar
wilayah nasional Amerika.
aliansi formal seperti itu, baik Amerika
Serikat maupun Uni Soviet melakukan Teori-teori geostrategi memang tidak
operasi-operasi intelijen untuk menopang mudah menafsirkan bagaimana gerakan-
negara-negara boneka, seperti dan rezim gerakan transnasional ini menyebar seakan-
Nguyen Van Thieu (Vietnam) dan Najibullah akan tanpa restriksi geografis. Sebagian
di Afghanistan. karena realisme geografis, sebagian yang
lain karena, respons geostrategis adalah
Temuan-temuan baru dibidang
dengan mengidentidikasi negara-negara
persenjataan mungkin lebih jelas
lemah (weak states) atau negara-negara
menunjukkan perubahan betapa
rapuh (fragile states) sebagai pemerintahan
determinisme geografi merupakan fungsi
yang mendukung tindak terorisme.9 Alasan
dari teknologi. Lihat saja bagaimana rudal-
Amerika untuk menyerang Afghanistan
rudal strategis ditetapkan berdasarkan
(2001) dan Iraq (2003) hanya nerupakan
jarak antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
sedikit contoh dari kasus kontemporer saja.
(5000 miles).8 Senjata-senjata dengan daya
Pergantian rezim (regime changes) oleh
ledak yang sama tetapi jangkauan yang
sebab itu menjadi satu-satunya pilihan,
berbeda memiliki makna strategis yang tidak
sekalipun kemudian terbukti hal itu tidak
sama. Aspek lokasi tetap penting, seperti
cukup menjanjikan situasi yang lebih baik,
kemudian muncul dalam bentuk kontroversi
seperti terlihat dari kasus Iraq post-Saddam
penempatan rudal Amerika (Pershing dan
Hussein.
Tomahawk) di Jerman Barat, sekalipun
hanya memiliki jangkauan kurang dari 2500 Baru pada pertengahan dasawarsa
km, dan secara teknis termasuk kategori pertama abad 21 muncul berbagai teori
rudal jarak menengah (intermediate range), konstruktivis geopolitik, seperti yang antara
kedua rudal itu dapat langsung mengenai lain diajukan oleh Saul Cohen dan Tuahail.10
Rusia karena jarak antara Rusia dan Jerman Cohen, misalnya, mencatat bahwa derajat
memang kurang dari 2500 km. geostrategis suatu kawasan berbeda satu
dengan yang lain. Aliansi-aliansi baru muncul
Perubahan penting terjadi setelah

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 9


tidak berdasarkan pada geografi seperti makna strategis. Sulit membayangkan
NATO atau Pakta Warsawa melainkan kalau kolonialisme akan mejadi lebih efektif
karena status perekonomian, seperti terlihat kalau saja Teusan Suez tidak dibuka.
dalam kasus pasar bersama, G20, dan Tidak mungkin Amerika tumbuh dengan
BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China). cepat menjadi kekuatan militer dunia kalau
Konstruksi geografi tidak secara serta saja Terusan Panama tidak secara efektif
merta menjadikan suatu wilayah menjadi menghubungkan dua kawasan ekonomi
penting dalam kalkulasi geopolitik maupun besar di Atlantik dan Pasifik, kemewahan
geostrategis. Faktor yang selama bertahun- yang tidak dengan mudah dapat dimiliki
tahun dianggap sebagai persepsi dalam rekan-rekan Amerika sendiri seperti Inggris
pemaknaan geografi menemukan bentuknya dan Perancis.
yang lebih konkrit, yaitu konektifitas suatu
Sebelum ada terobosan seperti
wilayah geografis pada akses.
itu, fiksasi geografis sudah sejak lama
memainkan peranan kunci. Iskandar Agung
menjelajah Asia Tengah dan mendekati
Kontraksi Ruang, Non-State Aktor, dan
India sampai megalahkan Kaisar Darius
Kedaulatan Virtual
dari Persia dengan lebih dulu menguasai
Dua sub-bab terdahulu menjelaskan Sela Khaibar (Khyber Pass). Pedagang-
bagaimana pada akhirnya teknologi telah pedagang China dan Eropa menggunakan
menghapus rentang geografi fisik; pelaku Khaibar untuk berdagang dengan rekanan
non-negara merupakan ancaman tanpa mereka diseberang batas geografi. Sama
asal usul terhadap keamanan nasional. seperti Terusan Suez dan Panama, Khaibar
Dua hal itu membentuk fenomena baru menghubungkan dua bentangan anak
– ruang tanpa batas, sesuatu yang tidak benua. Seperti halnya kedua Terusan
bisa dipahami dengan teori-teori geopolitik tersebut di atas, Sela Khaibar memungkinkan
Wesphalian. Revolusi Industri pada abad 17- pertukaran arus barang semakin cepat.
19 masih memerlukan penguasaan teritorial, Namun berbeda dari Sela Khaibar, Terusan
termasuk diantaranya melalui kolonialisme, Suez dan Panama hadir ketika negara-
untuk mewujudkan pergumulan demi negara bangsa sudah memiliki batas-
kekuasaan. Inggris maupun Amerika Serikat batas teritorial yang sah, seperi antara lain
tetap memerlukan kapal-kapal dagang dan dikukuhkan melalui Perjanjian Westphalia
kapal perang sekalipun menguasai Terusan (1648). Karena bentangan daerah tak-
Suez dan/atau Terusan Panama. bertuan di kedua sisi Khaibar, pertarungan
Teknologi memainkan peranan penting kekuasaan pada waktu itu lebih merupakan
yang mengubah makna suatu wilayah pertarungan atas akses daripada atas aset
geografis. Namun peranannya sampai paruh yang menandai sistem Westphalian.
kedua abad ke-20 tampaknya masih terbatas Perkembangan yang terjadi sejak paruh
pada memperpendek jarak geografis kedua abad ke-20 merupakan tantangan
dan mempercepat perpindahan dari satu serius terhadap sistem Westphalian.
titik ke titik lainnya.11 Revolusi industri, Teknologi material, elektronika, dan
berikut berbagai konseuensi material yang kabel-kabel bawah laut menimbulkan
dihasilkannya dalam bentuk transportasi, revolusi informasi dan komunikasi.
senjata, dan alat komunikasi mengubah Rezim-rezim perdagangan internasional,
kondisi geografi yang semula tak lebih dari misalnya dalam bentuk kawasan pasar
memiliki makna politik, menjadi memiliki bebas (free trade area) menyebabkan

10 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


penguasaan aset secara langsung melalui Dari pengalaman-pangalaman itu
penguasaan wilayah menjadi relatif tampaknya bisa disimpulkan bahwa
tidak penting. Bersamaan dengan itu, teknologi merupakan variabel independen
teknologi komunikasi dan informasi juga yang hampir selalu muncul di setiap
mengurangi kecemasan Clautzewitzian penggal sejarah. Teknologi pula yang
tentang kekaburan mandala perang (the dapat menembus fiksasi geografi, dan oleh
fog of war), karena kemampuannya lebih sebab itu mempengaruhi makna geopolitik
cermat untuk memperhitungkan kekuatan ataupun geostrategi. Karena teknologi
lawan. Teknologi satelit dan ruang angkasa, pula, pemaknaan geografi bergeser dari
misalnya dalam skenario Perang Bintang sekedar geografi politik menjadi geografi
awal dasawarsa 1980an, menghapus fungsional. Seberapa besar kondisi geografi
perbedaan strategis (strategic difference) memiliki makna geopolitik, dan lebih dari itu
antara penyerangan (offensive) dan geosrategis, amat tergantung pada ada atau
pertahanan (defensive). Teknologi di bidang tidaknya akses, sumberdaya (resource) dan
penginderaan dan pengawasan (surveillance konektivitas dari ruang geografi itu.
and reconnaissance) mengubah paradigma
Perkembangan teknologi hadir
“menyerang sebagai pertahanan paling
bersamaan dengan munculnya institusi-
baik” menjadi sebaliknya, kecenderungan
institusi non-negara seperti organisasi
untuk menunggu serangan dan kemudian
terorisme, satuan pengamanan privat
melancarkan serangan balasan (retaliasi).
(private security companies) dan organisasi-
Salah satu konsekuensi penting dari organisasi kriminal internasional lainnya.
semua itu adalah bahwa posisi geografi Baik teknologi maupun terorisme tampaknya
menjadi relatif kurang penting dibanding merupakan ancaman kembar terhadap teori-
fungsinya untuk menghubungkan satu teori geopolitik klasik. Di bagian lain tulisan
titik dengan titik lainnya.12 Geopolitik dan ini sudah dijelaskan bagamana teknologi
geostrategi kini lebih didasarkan pada memiliki watak ganda, antara di satu sisi
fungsionalisme geografi (geographic mentatasi restriksi geografi, tapi disisi lain
functionality) daripada lokasi geografi juga membuka ruang untuk memungkinkan
semata-mata.13 Keinginan untuk menguasai terjadinya kontraksi geografis. Teknologi
aset melalui penguasaan geografis juga menghapus jarak-jarak fisik, dan karena
menyusut, tergerus oleh kehendak untuk itu juga kalkulasi geostrategis. Sifat
menguasai akses. Dalam konteks itu, Turki transnasional dari teroris semacam Al
yang menghubungkan Asia dan Eropa Qaeda menyebabkan gagasan-gagasam
dengan dinamisme ekonomi yang luar fundamental, radikal, bahkan ekstrimisme
biasa, tampaknya akan jauh lebih strategis agama mudah berkembang ke tempat-tempat
dibanding, misalnya Indonesia yang masih lain. Lebih dari sekedar konstraksi geografis
bersandar pada sumber daya alam daripada atau watak ganda dalam peperangan,
sebagai penghubung antara Asia Timur kini teknologi, khususnya teknologi digital,
dengan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika semakin memperkuat watak asimetri dalam
dan Eropa. Indonesia memang betul berada hubungan antar kekuatan.
di antara dua samudera dan dua benua,
Memastikan kedaulatan negara menjadi
namun bagian selatan dan tengggaranya
amat sulit. Salah satu fenomena yang
hanya terdiri dari negara-negara dengan
penting untuk dicatat adalah apa yang oleh
kemampuan ekonomi dan militer yang
Anthony Giddens disebut sebagai “inverted
terbatas, dengan perkecualian Australia dan
colonialism”,14 ketika negara-negara kolonial
Selandia Baru.

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 11


juga terpengaruh atas segenap dinamika Indonesia. Perang gerilya, tekad perjuangan
di negara-negara pinggiran. Kemiskinan sebagai center of gravity, dan kecurigaan
di negara-negara terbelakang, revivalisme terhadap negara asing adalah tema-tema
ideologi tradisional, termasuk keagamaan yang selalu muncul dalam setiap penggal
seperti di beberapa negara Timur Tengah, sejarah Indonesia. Dilupakan bahwa gerilya
konflik negara dan masyarakat seperti terjadi lebih merupakan taktik operasi melawan
di Chechnya dengan amat mudah menebar musuh yang sudah berada dalam wilayah
maut di berbagai belahan dunia yang lain. nasional, dan memiliki sistem persenjataan
Hal yang sema tentu terjadi sebaliknya, ketika yang lebih kuat, dan oleh sebab itu, pada
perubahan gaya hidup di negara-negara tataran strategis gerilya merupakan bagian
Barat menjalar dengan cepat ke negara- dari strategi asimetrik.
negara berkembang, dan dikhawatirkan
Karena itu dapat dimengerti jika sejumlah
akan menggerus budaya lokal, atau lebih
konsep tentang komponen cadangan dan
dari itu bahkan kepribadian nasional.
pendukung masih mengandalkan pada
Ancaman terhadap kedaulatan negara keikutsertaaan warganegara secara fisik,
juga menjadi pertanyaan dengan hilangnya misalnya melalui latihan dasar kemiliteran
saling-kepercayaan (mutual trusts) bahkan dan berbagai simbol patriotisme, daripada
diantara negara-negara yang secara keikutsertaan kemampuan teknologikal atau
resmi bernaung di bawah payung aliansi industrial yang berada pada diri warganegara
militer. Special Collection Service CIA- itu. Kesulitan muncul ketika relevansi
NSA memasang jaring-jaring pengawasan terhadap peperangan modern (modern
(surveillance) di 80 negara, termasuk warfare) diletakkan sebagai kebutuhan
di Inggris dan Jerman yang merupakan taktis, misalnya dalam bentuk peperangan
rekan karib Amerika di Eropa. Singapura, elektronik (electronic warfare), bahkan dalam
yang merupakan anggota ASEAN, juga konteks yang kini semakin mendesak adalah
dikabarkan menyadap informasi penting peperangan siber. Berbagai diskusi tentang
dari pusat-pusat pemerintahan Malaysia peperangan siber umumnya diletakkan
dan Indonesia, yang juga sesama anggota dalam konteks strategi defensif. Pilihan
ASEAN. Singapura, melalui perusahaan itu sangat mungkin tidak cukup memadai
telekomunikasi SingTel, merupakan salah mengingat waktu peringatan (warning time)
satu “mata” Amerika di Asia Tenggara.15 yang berada pada hitungan detik.
Namun demikian, agak terasa janggal
ketika diskursus perang modern tidak
Budaya Strategis dan Keamanan
memperhatikan perbedaan antara tahap
Nasional
taktikal (baca: peperangan modern), yang
Tentu, gaung perubahan geopolitik esensinya merupakan non-konvensionalitas,
berlainan di berbagai tempat.16 Negara- dari tahap strategis (baca: perang modern,
bangsa memiliki sejarahnya sendiri, dan modern war) yang lebih bertumpu pada
untuk sebagian negara, termasuk Indonesia, multidimensionalitas perang, termasuk
pertimbangan geografi tampaknya perang ideologi. Kerancuan ini yang antara
memegang peran artifisial, sekurang- lain menyebabkan fenomena perang
kurangnya tertutup oleh pengalaman sejarah. proksi (proxy war) kerap dibicarakan dalam
Kolonialisme Belanda, misalnya, menjadi ruang yang sama dengan berbagai bentuk
pengalaman sejarah paling mudah diingat fenomena kontemporer seperti pornografi,
bagi seluruh budaya strategis psca-kolonial radikalisme, dan gaya hidup modern.

12 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


Ketidakselarasan kebutuhan taktikal menyatukan beberapa wilayah suku
dan strategis itu tampaknya menghilangkan bangsa menjadi satu wilayah administrasi
kesadaran ruang geografis Indonesia pemerintahan kolonial. Negara-negara
sebagai negara maritim.17 Perdebatan pasca Soviet sering disebut sebagai negara
tentang pengamanan wilayah maritim hanya yang “mapan jika dilihat dari luar tetapi
berkisar tentang apakah hal itu merupakan rapuh dari dalam” (stable outside, fragile
fungsi perlindungan kedaulatan atau inside), karena titular nasionalisme harus
penegakan hukum. Selain itu, istilah maritim berdampingan dengan berbagai kelompok
juga dikaburkan dengan istilah laut atau suku bangsa yang lain. Azerbaijan pasca-
kelautan, sehingga kemaritiman seakan- Soviet tidak saja harus memperhatikan kaum
akan identik hanya dengan pengelolaan mayoritas Azerii, tetapi juga penduduk Rusia
sumber daya laut dan fungsionalitas laut dan Armenia. Persoalan minoritas Rohingya
sebagai penghubung antar-pulau. Lemahnya di Myanmar sebagian diantaranya muncul
kesadaran ruang itu pula yang menyebabkan karena perbedaan sejarah kolonial ketika
kekuatan udara jauh lebih lemah dari yang orang-orang Rakhin lebih dekat dengan
seharusnya diperlukan untuk melindungi Bangladesh daripada Burmese.
kedaulatan udara Indonesia.
Karena sejumlah komplikasi itulah
Sejarah kolonialisme Belanda juga budaya strategis Indonesia selalu cenderung
meninggalkan jejak yang amat kuat melihat ke dalam. Hal ini membawa dua
pada bagaimana Indonesia memahami implikasi. Pertama, konsep yang dominan
keragaman identitasidentitas primordial dalam strategi Indonesia adalah ketahanan
yang dibingkai dalam wilayah nasional. nasional (national resilience), bukan
Keragaman budaya sebagai salah satu pertahanan nasional (national defense).
persoalan serius bagi proses bina-bangsa Namun berbeda dari pengalaman beberapa
memang sebagian diantaranya terkait negara Barat yang pada umumnya
dengan fetihisme geografis, namun lebih menempatkan ketahanan itu bersifat sektoral
kerap muncul dalam konteks kerapuhan dan kontekstual, misalnya ketahanan
terhadap intervensi asing. Tanpa faktor- penduduk Bavaria terhadap malaria, konsep
faktor sejarah seperti gerakan-gerakan Indonesia bersifat nasional. Kecemasan
federalis yang dianggap memecah “negara bahwa daerah-daerah akan menimbulkan
kesatuan”, sentimen regionalisme dan politik persoalan bagi jangkauan pemerintah
identitas mungkin juga tetap akan ditafsirkan pusat, fenomena yang amat menonjol
dalam kerangka “bhinneka tunggal ika” yang selama Mataram Islam, masih tetap menjadi
lebih mencerminkan semangat integrasi kenangan hidup (living memory) elit politik
daripada disintegrasi. Akibatnya, kesatuan Indonesia modern.
negara sebagai hubungan vertikal antara
Selain itu, berbeda pula dari konsep
pemerintah daerah dan pemerintah pusat
ketahanan nasional Barat, khususnya
kerap dirancukan dengan “persatuan
Inggris, setelah serangan teror Al Qaeda,
nasional” yang mengasumsikan hubungan
ketahanan nasional di Indonesia bersifat ke
egalitarian antar berbagai suku bangsa.
dalam (inward looking). Pandangan ke luar,
Memang tidak mudah bagi negara- jika ada, lebih diwarnai inferioritas daripada
negara pasca-kolonial untuk menyatukan ketidakberdayaan untuk memisahkan
serpihan-serpihan sisa kolonialisme. batas wilayah nasional dengan wilayah-
Kesatuan dan persatuan menjadi persoalan wilayah di seberangnya. Akibatnya,
utama. Tak jarang penguasa kolonial Indonesia tampaknya agak kesulitan untuk

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 13


secara tegas merumuskan strategi untuk untuk mencapai permufakatan. Sesuatu
mengatasi berbagai bentuk ancaman yang semula berada di luar batas wilayah
transnasional.18 Ancaman teror lebih memasuki wilayah nasional. Perkembangan
dianggap sebagai manifestasi dari penetrasi teknologi, perdagangan, hubungan lintas
ideologi transnasional daripada sebagai budaya menembus dinding batas identitas
metamorfosis ideologi yang tumbuh karena Indonesia sebagai negara ataupun bangsa.
pergumulan internal.
Yang selalu menjadi persoalan adalah
Kedua, hingga kini Indonesia tidak apakah mereka itu memasuki ruang secara
merumuskan apa yang dalam literatur Barat cara-cara persuasif, hegemonik, atau
disebut sebagai instrumen kekuatan nasional kolonialistik; dan, lebih dari itu, apakah
(instruments of national power).19 Kecuali Indonesia cukup memiliki ketahanan
pada tataran akademik, sulit menemukan untuk menjinakkan, mengakamodasi,
padanan dari gagasan operasional tentang atau menyesuaikan diri dengan berbagai
instrumen kekuatan nasional: misalnya DIME kecenderungan itu; dan, tentu, seberapa
(diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi), besar opsi-opsi tersebut merupakan opsi
MIDLIFE (militer, informasi, diplomasi, terbaik untuk meminimalisasi dampak
penegakan hukum, peperangan informasi, perubahan terhadap keselarasan sosial,
sanksi finansial, ekonomi (MIDLIFE); atau stabilitas politik dan ekonomi, maupun
PMESII (politik, militer, ekonomi, sosial, keselamatan bagi kehidupan berbangsa dan
informasi dan infrastruktur). Akibat yang bernegara. Karena setiap opsi memerlukan
terjadi adalah kerancuan antara “instrumen instrumen pelaksanaan, maka persoalan
kekuatan nasional” dengan “unsur-unsur paling krusial dari waktu ke waktu selalu
kekuatan nasional”. Akibatnya, penanganan terletak pada apakah Indonesia cukup
terhadap ancaman-ancaman nirmiliter tetap memiliki instrumen yang tepat dan dapat
menjadi bagian penting bagi kebijakan menggunakannya dengan baik, termasuk
pertahanan nasional, tanpa membedakan untuk menghadapi berbagai kemungkinan
apakah ancaman nirmiliter itu harus yang bersifat kontingensi.
ditangani melalui pendekatan yang bersifat
Dalam beberapa tahun terakhir, dan
protektif atau promosional.
masih akan terjadi dalam waktu yang dapat
diperhitungkan ke depan, Indonesia bisa
dipastikan akan menghadapi sejumlah
PENUTUP
tantangan. Geopolitik Asia Timur selalu
Catatan Empiris dan Refleksi Teoretikal menyita perhatian, dan akan menjadi
Sejak awal Indonesia tak pernah semakin penting mengingat persaingan
kedap dari perubahan-perubahan global. China-Jepang, militerisasi Semenanjung
Hindu/Budha, Islam, Barat adalah kultur, Korea, dan pasang surut ketegangan di
kebiasaan, dan tradisi yang kemudian Laut China Selatan. Dalam jangka pendek,
melekat menjadi bagian dari budaya terpilihnya Donald Trump sebagai presiden
bernegara dan bermasyarakat. Arus-arus Amerika diperkirakan menimbulkan riak-
besar ideologi dunia, agama-agama, dan riak ketidakpastian, terutama terkait dengan
teknologi produksi maupun gaya hidup komitmen Amerika untuk menopang
modern berdampingan dengan arus- dinamisme ekonomi yang selama ini
arus tradisional. Institusi politik demokrasi menyangga arsitektur hubungan politik
modern juga berdampingan dengan proses keamanan kawasan. Dalam jangka
politik konsensual seperti musyawarah menengah dan panjang, China dapat

14 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


memiliki ruang gerak yang lebih luas. untuk menjinakkan fenomena itu.
Namun kemampuan China mengolah Salah satu kekuatan gerakan radikal
ruang gerak itu untuk membangun hegemoni Islam adalah kemampuan mereka untuk
tampaknya akan sangat ditentukan pada menggunakan media sosial seperti Facebook
modalitas baru hubungan Amerika dengan dan Twitter. Seperti diketahui, media-mesia
rekan-rekannya di Asia Pasifik. Sebagai semacam itu memang menyudutkan
negara modern, China juga dituntut otoritas negara ke posisi yang lebih defensif.
untuk memanggul kewajiban-kewajiban Namun implikasi politik dari teknologi seperti
internasional. Sampai saat ini, paling jauh itu bersifat dua arah. Pemerintah Iran
kewajiban itu dipanggulnya melalui bantuan- menghadapi pemberontakan sosial melalui
bantuan ekonomi ke beberapa negara Asisa media sosial dengan mengidentifikasi para
Tenggara, Asia Tengah dan Afrika. Di masa pengritik dan sekaligus lingkaran sosialnya,
depan, China tidak saja dituntut untuk dapat sebelum pada akhirnya melanjutkan
menyelesaikan masalah Tibet dan Uyghur ke proses hukum. Rusia menggunakan
secara damai tetapi juga berbagai kewajiban media sosial untuk menyebar propaganda
kemanusiaan di tempat-tempat lain. Seperti sebagai serangan balik terhadap mereka
disarankan Agnew dan Codbridge, “negara yang menghujat kebijakan Presiden Putin,
nasional harus arif ditengah menguatnya misalnya dalam kasus tindakan militer
rezim liberalisme transnasional. Teritorialitas ke Krimea dan intervensi pada proses
saja tidak cukup kuat sebagai landasan suatu demokratik di Ukraina. Berbeda dengan
negara untuk memperoleh pengakuan dalam tradisi propaganda Stalinis yang tidak lebih
tatanan internasional”. Selain itu, “ada juga dari sekedar menabur kebenaran tunggal,
kewajiban internasional bagi mereka atas tentu menurut versi penguasa, Vladimir
wilayah di luar wilayah nasionalmya, paling Putin memecah perhatian publik dengan
tidak untuk menyelamatkan kehidupan, menyebar keraguan atas apa yang terjadi di
pelayanan umum, maupun kemanusiaan”.20 Krimea.
Selain itu, sama seperti Revolusi Islam Secara teoretis, kecenderungan itu
Iran (1978), the Arab Spring memperkuat menunjukkan bahwa perubahan geopolitik
arus transnasional Islam, meskipun bukan hanya bersifat progresif, tetapi juga
penetrasinya terbatas pada lapisan sosial akumulatif. Progresi maupun akumulasi
kemasyarakatan. Disamping pertikaian antar menjadi semakin kuat dengan teknologi
kekuatan menengah seperti Arab Saudi dan modern. Seperti halnya pengaruh teknologi
Iran, tiadanya model institusionalisasi politik mekanik yang mengawali Revolusi Industri,
Arab Spring itu menjadi pemerintahan yang ataupun teknologi kinetik yang membidani
otoritatif juga menyebabkan daya tembusnya perlombaan senjata, revolusi informasi
terhadap negara-negara Asia Tenggara mengikis nyaris habis ruang geografi. Namun
tidak terlalu kuat. Semangat demokrasi berbeda dari revolusi-revolusi sebelumnya,
yang semula menjiwai gerakan Arab Spring revolusi informasi menyediakan kesempatan
kini justru tenggelam dengan semangat yang sama bagi negara maupun non-
teokratisme agama dalam ISIS (Islamic negara untuk menguasai akses kepada
State of Iraq and the Levant). Di Indonesia, perubahan. Karena itu, khususnya dalam
fenomena ISIS memang memperuncing konteks pengelolaan politik internal, negara
politisasi Islam, tetapi juga membelah tetap dapat mempertahankan otoritasnya.
kelompok radikal Islam. Meskipun demikian, Dalam konteks hubungan internasional,
negara bukannya tidak memiliki opsi strategis maka batas sekaligus menjadi ruang untuk

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 15


saling memanggul kewajiban dan hak, Borders and Orders, Rethinking International
disamping sebagai ajang pertikaian.21 Batas Relations Theory (Minneapolis, MN:
geografis tidak lagi menjadi pemisah tetapi University of Minnesota Press 2001)
penghubung antar entitas sosial, ekonomi
Jean Paul Rodrigue, Claude Comtois
4
maupun politik.
dan Brian Slack, The Geograhy of Transport
Sebab itu, geostrategi dituntut untuk System (London: Routledge, 2006)
tidak sekedar responsif, tetapi antisipatoris. 5
Moreau Defarges. Introduction à la
Indonesia perlu merumuskan strategi
géopolitique (Introduction to geopolitics),
geopolitik (geostrategi) untuk dapat
collection “Points-Essais”, Le Seuil, 2e
meminimalisasi risiko dan sekaligus
édition, 2005.
optimalisasi peluang dari sejumlah
perubahan geopolitik. Bisa dipastikan, 6
Sam Tanenhaus, “From Vietnam
keharusan itu tidak cukup diperoleh dengan to Iraq; The Rise and Fall and Rise of the
tetap mengandalkan strategi ketahanan Domino Theory”, the New York Times, 23
nasional yang tumbuh karena kompleks Maret 2003
inferioritas, tetapi memerlukan juga strategi 7
Geoffrey Sloan, Geopolitics, geography
keamanan nasional yang dirancang untuk and Strategic History (London: Routledge,
mengintegrasikan instrumen-instrumen 2017), hal 31ff; lihat juga Zbigniew Brezinski,
kekuatan nasional. Tentu, tak bisa ditawar, Game Plan: A Geostrategic Framework for
penggunaan instrumen-instrumen itu the Conduct of the U.S.-Soviet Contest. (New
harus selalu berada dalam norma-norma York: Atlantic Monthly Press. 1986)
penyelenggaraan pemerintahan demokratik.
8
Brezinzki, hal 8 dan 117
9
Lihat Klaus Dodds, “Popular geopolitics
____________________________ and the war on terror”, E-International
relations, 10 May 2015 dan Sudhanshu
Tripathi, “Rising terrorism in West Asia may
Endnotes:
reshape geopolitical landscape”, Paper No
1
Beberapa rujukan bermanfaat dapat 6051, South Asia Policy Analys Group (1
diperoleh dalam Colin Flin, Introduction to January 2016); dan Rosa Ehrenreich Brooks,
Geopolitics (Routledge: 2011); Gearóid Ó “Failed state or the state as failure?”, The
Tuathail, Simon Dalby dan Paul Routledge University of Chicago Law Review 72, No 4
(editor), the Geopolitics Reader (London: (2005): hal. 1194
Routledge, 1998); Soren Scholvin, 10
Saul Bernard Cohen, Geopolitics:
Geopolitics: An overview of concept and
The Geography of International Relations
empirical examples from Internaitonal
(Rowman & Littlefield Publishers; Second
Relations (Helsinki: Finnish Institute for
Edition edition, 2008)
International Affairs, 2016).
Lihat Matthew Bey, Matthew Bey,
11
2
Lihat Henk van Houtum, “The
“Between geopiltics and technology”, Stratfor,
Geopolitics of Borders and Boundaries”
27 September 2016
dalam Geopolitics, 10:2005): 672–679
12
Kusnanto Anggoro, “Geopolitik,
David Newman, ‘Boundaries, Borders
3
pengendalian ruang laga dan strategi
and Barriers: Changing Geographic
pertahanan Indonesia” dalam Bantarto
Perspectives on Territorial Lines’, dalam
bandoro (Ed), Paradigma Baru Keamanan
Michael Albert et al. (eds), Identities,

16 Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29 | Maret 2017


Nasional (Jakarta: CSIS, 2005). 164-293.
13
Parag Khanna, Connectography: 21
Paula Benerjee, “Frontier and Border”,
Mapping the Future of Global Civilization dalam Ranabir Samaddar (Ed), Space,
(Random House, 2016) territory and the State: New Reading in
international politics (Heyderabad: Orient
14
Lihat Anthony Giddens, Runaway
Longman, 2002), khususnya hal, 31-35
world: How globalization is reshaping our
lives. London: Profile, 1996); Sedigheh
Babran, “Media, Globalization of Culture,
and Identity Crisis in Developing Countries”,
dalam Intercultural Communication Studies
XVII: 2, 2008; Nayef R.F. Al-Rodhan dan
Sara Kuepfer, Stability of States: The
Nexus Between Transnational Threats,
Globalization and Internal Resilience
(Geneva: Geneva Center for Security Policy,
2007)
15
BBC World, 26 November 2013.
16
Donald MacKenzie and Judy Wajcman
(Editor), The social shaping of technology.
2nd ed. (Buxkingham: Open University
Press, 1999)
17
Anggoro, ”Strategi Pertahanan
Kepulauan, Diplomasi Kelautan dan
Kekuatan Matra Laut Indonesia”, Jurnal
Diplomasi 1:2 (2009): hal. 59– 83.
18
Anggoro, “Menata ulang perencanaan
pertahanan negara”, Makalah untuk Rembuk
Nasional, Hotel Sahid, Jakarta, 24 Oktober
2016
19
Robert E. Hunter dan Khalid
Nadiri, Integrating instruments of power
and influence in national security (Santa
Monica: RAND Corpporaiton, 2006). Lihat
pembahasan terbaru dalam Craig W.
Mastapeterm, “The Instrument of National
Power: Achieving the Strategic advantage in
a changing world”, Master Thesis (Monterey,
CA: Naval Postgraduate School, December
2008)
20
John Agnew dan Stuart Corbridge,
Mastering Space: Hegemony, Territory and
International Political Economy (London and
New York: Routledge, 1995): khususnya hal

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 17


Illustrasi : google.com

Perubahan Geopolitik dan


Ketahanan Nasional:
Sebuah Penjelajahan Teoretikal
Kusnanto Anggoro, Ph.D.
Dosen Univesitas Pertahanan Indonesia

Abstrak

Technology has played an important role, even a driving force, in geopolitical changes
throughout history. Transportation, communication, information are always at the core
of inter-state exchanges such as trade and wars, as well as that of inter-cultural relations
amongst societal groups. Technology imposed geographic contraction, shortened distance,
and as such at the driving force for social harmony, political order, and national security.
In some cases, however, this technological nevessities whack the wall of conservative
strategic culture. Indonesia’s strategic culture seems to remain in the shadow of colonial
past and/or turbulence domestic during formatting years of the unitary state; and as
such strengthen geographic boundary as border rather than bridge to the outside world.
Geostrategic conception is therefore inward looking. Challenges abound. While nation
building is in essence a long term promotional approach, the challenges of state building
in the immediate future of Indonesia is to be a democratic yet responsive, anticipatory
state. Form strategic point of view, this requires efficient use national resources and
effective exercise of national instruments. Geopolitical changes pose serious challenges to
national resilience. A more creative and imaginative reconstitution of national resilience
policy, including its integration into national security policy, should enhance the likely for
Indonesia to survive, progress, and develop into a modern nation-state.

Key words: geopolitics, technology, national resilience, instrumnents of national power

Jurnal Kajian Lemhannas RI | Edisi 29| Maret 2017 5

You might also like