You are on page 1of 12

RE-INTERPRETASI NAMA CANDI BOROBUDUR

Titi Surti Nastiti


Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jalan Raya Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510
titi.surti@kemdikbud.go.id

Abstract. Re-Interpretation the Name of Borobudur Temple. Borobudur temple is the largest
Mahāyana Buddhist temple in Indonesia built in the 8th century. The origin of the name Borobudur is
still debated until today, therefore it is necessary to review the origin of the name of Borobudur. Thera
are plenty of scholars from Indonesia and the Netherlands that hypothesised around the origin of the
name. A few scholars thought the name originated from the word boro which means monastery and
there is no agreement yet on the definitation of the word "budur". There are those who defined budur
as big, buddha, or hill. According to J.G. de Casparis, he theorised that Borobudur came from the
word bhūmisambhārabūdhara which means "hill of the accumulation of virtues on the ten stages of
Boddhisattva". If we look at it from the textual context budur is a name for a kind of palm tree and
tuak (a kind of wine) is also made from buḍur tree. There many places in Java that originated from
the name of a tree such as Jombang, Gebang, Kampung Rambutan, Kebon Nanas, so it can also be
theorised that budur is derived from the name of a tree that was made into a name of place. This
research used comparative methods with etymology approach. From this research we conclude that
Borobudur originated from two words boro and budur. Boro from vihara is monastery and budur is
the name of the village that was derived from the name of a tree, the budur tree. Therefore Borobudur
is name for a monastery located in Budur Village.
Keywords: Borobudur temple, Mahāyana Buddhist, Boro, Buḍur

Abstrak. Candi Borobudur merupakan candi Buddha Māhāyana terbesar di Indonesia yang
dibangun pada abad ke-8. Mengingat bahwa sampai sekarang nama Borobudur masih menjadi bahan
perdebatan, dirasakan perlu untuk mengkaji kembali mengenai asal-usul nama Borobudur. Banyak
sarjana Belanda dan Indonesia yang telah membuat hipotesis mengenai nama Borobudur. Beberapa
sarjana mengartikan kata boro dengan ‘biara’, sedangkan kata budur masih belum ada kesepahaman.
Ada yang mengartikannya ‘besar’, buddha berarti ‘bukit’ sehingga Borobudur bisa diartikan ‘biara
yang agung’, ‘kota Buddha’, dan ‘biara di atas bukit’. Namun, J.G. de Casparis mempunyai asumsi
yang berbeda. Ia menyebutkan bahwa Borobudur berasal dari kata bhūmisambhārabūdhara yang
artinya ‘bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisattwa’. Di pihak lain, dalam data tekstual
dikatakan bahwa budur adalah nama pohon sejenis palem dan nama tuak yang terbuat dari pohon
budur. Karena banyak nama tempat di Jawa yang memakai nama pohon, seperti jombang, gebang,
kampung rambutan, kebon nanas, kemungkinan besar budur adalah nama tumbuhan yang menjadi
nama tempat. Dalam penelusuran nama Borobudur dipakai metode komparatif dengan pendekatan
etimologi. Dari kajian ini diketahui bahwa nama Borobudur berasal dari dua kata, yaitu boro dan
budur. Boro berasal dari kata biara dan budur adalah nama desa yang diambil dari nama tumbuhan,
yaitu pohon budur. Dengan demikian, Borobudur dapat diartikan ‘biara yang terletak di Desa Budur’.
Kata Kunci: Candi Borobudur, Buddha Mahāyana, Boro, Buḍur

1. Pendahuluan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pada 1991,


Candi Borobudur adalah candi Buddha Candi Borobudur telah ditetapkan sebagai
Māhāyana terbesar di dunia yang terletak warisan dunia (world heritage) oleh UNESCO.
di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Candi Borobudur dibangun di sebuah bukit
Naskah diterima tanggal 29 Desember 2017, diperiksa 8 Maret 2018, dan disetujui tanggal 20 April 2018.

11
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

antara Bukit Dagi dan bukit kecil lainnya. Di Pada pertengahan sisi-sisi kaki candi terdapat
sebelah selatannya adalah Bukit Menoreh penampil. Bagian tengah candi, yang merupakan
dan di sebelah timurnya terdapat pertemuan badan candi, terdiri atas lima tingkat (undak),
Sungai Progo dan Sungai Elo. Candi Borobudur terpisah lorong yang merupakan selasar
berdenah bujursangkar dengan ukuran 123 berpagar langkan. Dinding tiap lorong yang
x 123 meter dengan tinggi sekarang tanpa mengitari tubuh candi setiap tingkatnya memuat
chattra (payung) tinggal 34,5 meter dari tinggi relief cerita Buddha. Bagian atas candi berupa
asli 42 meter (Soekmono 1976, 19; Ramelan batur bersusun tiga yang ukurannya mengecil,
2015, 100)1. Bangunannya berbentuk sepuluh dan denahnya bundar. Pada batur itu terdapat
tingkatan yang semakin ke atas semakin kecil, stūpa berjajar melingkar pada ketiga tingkat
dan puncaknya berupa stūpa besar. Bangunan dan dindingnya berlubang terawang dengan
itu terdiri atas kaki, badan, dan puncak yang bentuk belah ketupat. Di dalam stūpa terdapat
menggambarkan kamadhātu (manusia yang arca Buddha dalam posisi duduk. Stūpa yang
masih terikat oleh nafsu duniawi), rupadhātu terdapat di ketiga tingkat tersebut berjumlah 72
(manusia sudah mulai meninggalkan nafsu stūpa dengan rincian: pada tingkat pertama 32
duniawi, tetapi masih terikat oleh dunia), dan stūpa, tingkat kedua 24 stūpa, dan tingkat ketiga
arupadhātu (dunia tanpa rupa dan bentuk, 16 stūpa. Di atas ketiga tingkat itu terdapat stūpa
melambangkan keabadian). besar sebagai puncak candi (Soekmono 1976).
Kaki candi merupakan batur setinggi 4 Untuk menuju tiap tingkat terdapat tangga
meter yang diperkuat dengan tembok setebal pada tiap sisi bangunan. Tangga utama terletak
3 meter, dan tinggi 1,5 meter. Pada bagian pada sisi timur, tempat relief cerita dimulai.
kaki yang tertutup (hidden foot) terdapat 160 Bangunan Candi Borobudur dilengkapi pula
panel relief yang menggambarkan adegan dengan saluran-saluran air yang terdapat pada
Karmawibhangga (hukum sebab-akibat). tiap sudut dan tingkat. Ujung pancuran air berupa
makara yang dibentuk dan diukir sangat indah.
1 Ramelan ed. (2015, 100) menyebutkan tinggi Candi Borobudur
tanpa chattra adalah 31 meter. Relief yang dipahatkan ada yang merupakan

Foto 1. Candi Borobudur (Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

12
Re-Interpretasi Nama Candi Borobudur. Titi Surti Nastiti

cerita dan ada yang hanya berupa bidang hias, untuk menebang pohon, membakar semak,
semuanya berjumlah 1.460 panel. Relief cerita dan menggali tanah yang menutupi bangunan
yang dipahatkan adalah Karmawibhangga 160 (Soekmono 1976, 5; Nastiti 2014, 24). Pekerjaan
panel, Lalitawistara 120 panel, Awadāna dan Cornelius dilanjutkan oleh Hartamnn, kemudian
Jātaka 720 panel, Gaṇḍawyuha 388 panel, Ijzerman melakukan penggalian di bagian kaki
dan Bhadracharī 72 panel. Selain relief cerita, Borobudur yang tersembunyi dan menemukan
Borobudur juga diperindah oleh 504 arca relief Kharmawibhangga. Sebelum bagian
Dhyāni Buddha (lebih dari 300 tanpa kepala dan kaki tersebut ditutup, semua relief difoto oleh
43 hilang) (Soekmono 1976, 20; Kempers 1976, Kassian Cephas.
40). Candi Borobudur mulai serius dipikirkan
Menurut “Babad Tanah Djawi”, pada oleh Pemerintah Belanda untuk dipugar ketika
1709 atau 1710, seorang pemberontak terhadap G.G.W. Rooseboom dan H.P. Staal berkunjung ke
Kerajaan Mataram bernama Ki Mas Dana, lari Candi Borobudur pada 1899. Pada 1900 dibentuk
ke Bukit Budur. Ia dikepung, lalu ditangkap Borobudur Comissie yang beranggotakan tiga
oleh pasukan Pangeran Pringga-Laya, kemudian orang, yaitu J.L.A. Brandes, Van de Kamer, dan
dikirim ke Kartasura dan dihukum mati (Brandes Theodore van Erp. Komisi tersebut menetapkan
1901,79; Olthof 1941, 318; Anom 2005, 40). kebijakan “menyelamatkan dan melestarikan
Dalam cerita lain disebutkan seorang pangeran Monumen Borobudur”. Berdasarkan penetapan
dari Yogyakarta, pada 1758 mengunjungi itu, tahun 1907-1911 Candi Borobudur dipugar di
Borobudur untuk membuktikan bahwa orang bawah pimpinan van Erp (Sedyawati dan Nunus
yang mengunjungi seribu arca akan mati. Ia Supardi 2014, 50-51). Setelah itu, Pemerintah
yang dikenal sebagai seorang pembangkang Indonesia dengan bantuan UNESCO melakukan
ingin mengunjungi seorang kesatria yang pemugaran yang dimulai pada 1973 dan selesai
terkurung di dalam sangkar. Setelah tidak ada pada 1983. Hasilnya adalah Candi Borobudur
pertanda kepulangannya, Raja memerintahkan yang berdiri dengan megahnya seperti yang
pasukannya untuk membawa pulang anaknya, dapat dilihat sekarang.
hidup atau mati, Pangeran tersebut ditemui, Di balik kemegahan Borobudur, banyak
tetapi ia muntah darah, lalu meninggal dunia sarjana Belanda dan Indonesia yang telah
(Brandes 1901, 81; Soekmono 1976, 4-5; Miksic membuat hipotesis mengenai nama Borobudur.
1990, 17; Anom 2005, 40-41). Menurut Raffles, berdasarkan cerita penduduk
Pada 1814, ketika Sir Thomas Stamford desa di sekitar Borobudur, Borobudur berasal
Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapat dari kata boro dan budur. Budur artinya
informasi bahwa di Desa Bumisegara di dekat ‘purba’ sehingga, borobudur dapat diartikan
Magelang terdapat sebuah bangunan besar ‘boro purba’. Raffles sendiri menyebutkan
yang disebut Candi Borobudur. Karena tidak Borobudur berasal dari kata boro yang artinya
bisa mengunjunginya, Raffles memerintahkan ‘agung’ dan budur berasal dari kata buddha.
H.C. Cornelius untuk menyelidikinya dan Jadi, arti Borobudur adalah ‘Buddha yang
mengadakan pembersihan guna menampakan Agung’ (Raffles 1817, 29). Di sisi lain R.M.
kembali Candi Borobudur. Pada waktu itu yang Ng. Poerbatjaraka menerjemahkan boro dengan
terlihat hanya sebuah bukit yang tertutup oleh ‘biara’ (Poerbatjaraka 1919, 287; Stutterheim
semak belukar dan di sana-sini tampak susunan 1929, 13; 1956, 12; Soekmono 1976, 5).
batu (Soekmono 1976). Cornelius berhasil Pendapat itu didasarkan atas adanya nama tempat
menampakkan Candi Borobudur setelah dua yang diawali dengan kata boro, yaitu Boro-
bulan memperkerjakan 200 orang penduduk kidul yang artinya ‘Biara di Selatan’, kemudian

13
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

Stutterheim menambahkannya menjadi Boro- Moelyana Borobudur berasal dari kata Kamulān
siḍěngan. Baik Boro-kidul maupun Boro- Bhūmisambhara (Moelyana 2006).
siḍěngan agak jauh letaknya dari Borobudur Pendapat para sarjana yang telah
(Stutterheim 1929, 13; 1956, 12). Adanya nama dikemukakan sebelumnya memperlihatkan
tempat dengan memakai kata Boro disinggung bahwa arti nama Borobudur masih belum jelas
pula oleh Slametmulyana yang menyebutkan dan masih bisa diperdebatkan. Dalam tulisan
ada tiga desa di sekitar Gunung Menoreh, yaitu yang berjudul “Penemuan dan Penyelamatan
Boro Kulon, Boro Kidul, dan Boro Kali Bawang Candi Borobudur” dalam 2002 Tahun Penemuan
(Mulyana 2006, 207). Berdasarkan nama tempat Candi Borobudur (Nastiti 2014, 24-27), sepintas
yang memakai kata Boro yang disebutkan saya menyinggung tentang asal-usul nama
sebelumnya, diketahui bahwa Boro Kulon dan Borobudur. Setelah mencermati hipotesis
Boro Wetan adalah nama desa di Kecamatan tersebut dan dirasakan penting untuk menelusuri
Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. kembali asal-usul nama Borobudur, penelitian
Nama Boro Kidul tidak disebut sama sekali. ini bertujuan untuk mengangkat kembali
Di samping itu, ada juga Desa/Dukuh Boro di hipotesis mengenai arti kata Borobudur dengan
Kecamatan Kali Bawang, Yogyakarta. pendekatan etimologi dan ditambah dengan data
W.F..Stutterheim menyebutkan bah- arkeologis, yang dalam tulisan tersebut tidak
wa Borobudur berarti ‘biara di atas bukit’ dibicarakan sama sekali.
(Stutterheim 1929). Pendapatnya ini
berdasarkan kata buḍur yang berasal dari bahasa 2. Metode
Minangkabau buduā yang artinya ‘sedikit Untuk mengetahui asal-usul nama Candi
menonjol’ atau ‘bukit’ (Stutterheim 1956, 12- Borobudur yang terletak di Desa Borobudur,
14). Di pihak lain, J.L. Moens mengatakan nama Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang
Borobudur merupakan nama Jawa yang berasal ini dipakai pendekatan etimologi. Etimologi
dari kata bhārabudhūr dalam bahasa India adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang
Selatan yang artinya ‘kota’. Jadi, arti Borobudur mempelajari asal-usul dan perkembangan suatu
adalah ‘kota Buddha’ (Moens 1951, 33). Berbeda kata (Treffy 2003, 402). Etimologi berasal dari
dengan pendapat Stutterheim dan Moens, J.G. bahasa Yunani, étymos (arti sebenarnya adalah
de Casparis mengaitkan Candi Borobudur ‘sebuah kata’) dan lògos ‘ilmu’, yang secara
dengan prasasti Tri Tpusan yang berangka tahun harafiah berarti ‘ilmu yang mempelajari kata’.
764 Śaka (11 November 842). Dalam prasasti Dalam arkeologi etimologi ini sering
itu disebutkan Śrī Kahulunan meresmikan Desa dipakai untuk mengidentifikasi nama tempat,
Tri Tpussan menjadi sīma karena mempunyai umumnya didapatkan dari suatu prasasti atau
kewajiban memelihara bangunan suci kamūlan naskah Jawa Kuno. Banyak nama desa yang
bernama Bhūmi Sambhara (de Casparis 1950, disebutkan dalam prasasti atau naskah Jawa
74,.84). Berdasarkan prasasti tersebut, de Kuno masih dipakai sampai sekarang, misalnya
Casparis memperkirakan bahwa Borobudur Desa Pamotan dan Desa Pataan di Kecamatan
berasal dari bhūmisambhārabhūdhara dalam Sambeng, Kabupaten Lamongan. Pamotan
bahasa Sanskerta yang artinya ‘Bukit himpunan berasal dari kata pamwatān, yaitu prasasti
kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa’ (de Pamwatān yang berangka tahun 1042, sedang-
Casparis 1950). Pendapat de Casparis ini diikuti kan Pataan mengikuti nama desa yang dijadikan
oleh John N. Miksic yang menyebutkan bahwa sīma dalam prasasti Patakan yang berasal dari
kata Borobudur berasal dari bhumisambhara abad ke-11. Kedua prasasti tersebut dikeluarkan
[-bbudhara] (Miksic 1990) dan menurut Slamet oleh Raja Airlangga.

14
Re-Interpretasi Nama Candi Borobudur. Titi Surti Nastiti

Dalam mencari arti kata Borobudur, Terjemahan:


langkah awal adalah mencari kata boro dan 1. Demikianlah kasugatan kabajradharan
budur yang terdapat di dalam data tekstual, (bangunan suci Buddha Bajradhara),
terutama karya sastra dari masa Jawa Kuno, adalah sebagai berikut:
Śākabajra, Nadi Tada dan Mukuh,
baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin.
Sambang, Tajung, Iśānabajra,
Ternyata dalam bahasa Jawa Kuno, kata boro
Seperti juga Amṛtasabhā, Bangbangir,
tidak ada. Oleh karena itu, kata yang dicari Boddhimūla, Waharu,
hanya kata buḍur. Semua data tekstual yang Tāmpak Ḍuri, Paruha, Taṇḍara,
menyebut kata buḍur itu dikutip dari bahasa Kumudaratna, Nandināgara.
aslinya, Jawa Kuno, lalu diterjemahkan ke 2. Juga Wunngañjaya, Palaṇḍit, Tangkil,
dalam bahasa Indonesia agar diketahui arti dan Asah, Samīci, Apitahěn,
Nairañjana, Wijayawaktra, Magěněng,
konteksnya.
Poyahan, Balamasin,
Krat, Lěmah Tulis, Ratna Pangkaja,
3. Hasil dan Pembahasan Panumbangan, Kahuripan,
Dalam tulisan Raffles mengenai Candi dan Ketaki, Talaga-Jambala, Jungul,
Borobudur, History of Java, ia menyebutkan Wiṣṇuwāla, ditambah
3. yang lainnya (yaitu) Buḍur, Wirun,
bahwa Candi Borobudur terdapat di Distrik
Wungkulur dan Mananggung, Watukura,
Budur (Raffles 1817). Dikatakan bahwa Bajrāsana dan Pajambayan, Samalantěn,
budur itu adalah nama tempat. Nama budur Simapura,
sebagai nama tempat disebutkan dalam teks Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji,
“Nagarakṛtāgama” (1365) pupuh 77.1-3, Wangkali, dan Běru,
sebagai berikut: Lěmbah, Dalinan, Pangadwan adalah
(daerah perdikan) pertama yang
77. 1. nāhan muwaḥ kasugatan/ kabjadraḍaran ditetapkan.
akrameka wuwusěn,
i śākabajra ri nadī tada mwaṅ i mukuḥ ri
Dari kutipan tersebut jelas sekali
sāmban i tajuŋ, iśānabajra
lāwan taṅ amṛtasabha ri baŋbaṅiri bodḍi adanya wilayah yang dijadikan tanah perdikan
mula waharu, (sīma) bagi bangunan suci agama Buddha
tāmpak/ ḍuri paruha taṇḍare kumudaratna sekte Wajradhāra (kasugatan kabhajradharan
nandināgara. akrama), di antaranya adalah Buḍur. Buḍur
2. len taŋ wuṅañjayā palaṇḍit aṅkil asah iŋ disebutkan bersama-sama dengan Wirun,
samicyapitahěn,
Wungkulur, Mananggung, Watukura,
nairañjane wijayawaktra magněṅ i
poyahan/ bala masin, Bajrāsana, Pajamabayan, Samalantĕn,
ri krat lěmaḥ tulis i ratnapaṅkaja Simapura, Tambak, Laleyan, Pilanggu, Poh
panumbaṅan kahuripan Aji, Wangkali, Bĕru, Lĕmbah, Dalīnan,
mwaŋ keyaki talaga jambale juṅul i dan Pangadwan sebagai nama daerah yang
wiṣṇuwāla paměwěḥ termasuk tanah perdikan bangunan suci agama
3. len tekaŋ buḍur wwirun i wuṅkulur mwaṅ
Buddha yang pertama ditetapkan (Pigeaud
i manaṅguṅ i watukura,
bajrāsana mwaṅ i pajambayan/ ri 1960). Seperti dituliskan oleh Moens, F.D.K.
samalantěn iŋ simapurā, Bosch dalam Notulen K.B.G., 4 Maret 1920,
tambak laleyan i pilaṅgu poh aji ri mengidentifikasi Buḍur yang disebutkan
waṅkali mwaṅ i běru, kasugatan kabajradharan dalam teks
ḷmbaḥ dalīnan i paṅadwan ādi nika riŋ “Nāgarakṛtāgama” sebagai Candi Borobudur
pacaccan apagöḥ. (Pigeaud 1960, 59).
(Moens 1951, 335).

15
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

Berdasarkan uraian di muka, dapat di tempat tersebut. Di bagian tenggara bukit


disimpulkan bahwa Buḍur pada masa Majapahit terdapat pemakaman Islam dan di bagian barat
masih dipergunakan sebagai nama bangunan laut bukit ada rumah penjaga sekolah dan tempat
suci agama Buddha. Nama bangunan suci peristirahatan pemerintah. Satu-satunya jejak
mengikuti nama desa tempat bangunan suci pemukiman adalah tinggalan arkeologis yang
itu berada. Hal itu memperkuat pendapat ditemukan oleh Theodore van Erp pada 1911
Soekmono yang menyebutkan bahwa Candi berupa dua batu bata dan beberapa paku tembaga
Borobudur mulai benar-benar ditinggalkan sejak atau perunggu berbagai ukuran, dan umpak batu
penduduk sekitar beralih keyakinan pada agama berukir (Kempers 1976).
Islam pada abad ke-15. Setelah abad ke-15, Setelah Perang Dunia II, bangunan-yang
Borobudur sudah ditinggalkan sesuai dengan ada di sekitar Candi Borobudur dihancurkan,
cerita rakyat yang menyebutkan bahwa tempat termasuk di antaranya pesanggrahan yang terletak
itu sudah dianggap sebagai tempat angker. di halaman sebelah barat laut candi. Pada 1951-
Dalam “Babad Mataram”, misalnya, disebutkan 1952 Dinas Purbakala merencanakan untuk
bahwa Pangeran Monconagoro, putra mahkota mendirikan sebuah bangunan di lahan bekas
Kesultanan Yogyakarta, mengunjungi kesatria pesanggrahan yang didahului oleh ekskavasi.
yang terpenjara di dalam kurungan (arca Buddha Dari hasil ekskavasi ditemukan dua sisa pondasi
yang terdapat di dalam stūpa berterawang) yang bangunan bata. Sisa pondasi pertama berukuran
ada di dalam bangunan ini pada 1757, jatuh 29,5 x 24,5 cm dan sisa pondasi kedua berukuran
sakit dan akhirnya meninggal dunia (Soekmono 10.x.10.meter. Di samping itu, ditemukan
1976). umpak batu, pecahan mangkuk, fragmen arca
Seperti telah dikemukakan, Poerbatjaraka perunggu, dan genta perunggu berukuran
berpendapat bahwa arti kata boro adalah ‘biara’, besar, yang menurut Soekmono, merupakan
tetapi dibantah oleh Krom yang menyebutkan genta perunggu terbesar di Indonesia. Temuan
bahwa Borobudur bukanlah biara, melainkan tersebut memperkuat dugaan bahwa pondasi
stūpa. Meskipun demikian, menurut Krom yang ditemukan adalah pondasi biara dengan
berdasarkan perbandingan dengan stūpa yang gaya arsitektur kayu yang memiliki genta besar.
ada di India, biasanya stūpa tidak berdiri Selain sisa pondasi, ditemukan juga sebuah
sendiri, tetapi ada biara di dekatnya. Biara itu saluran air terbuka di ujung barat pondasi
berfungsi untuk tempat tinggal para biksu yang bangunan pertama mengarah ke arah barat
bertanggung jawab atas pemeliharaan tempat menuju lereng bukit (Mundardjito 2014, 64). Di
suci tersebut dan juga untuk menampung sekitar biara ditemukan sisa benda perunggu dan
peziarah dari tempat lain. Jika dilihat dari beberapa benda emas seperti cincin dan sebuah
besarnya Candi Borobudur, biara di dekat Candi lingga emas yang sekarang tidak diketahui lagi
Borobudur tentu cukup besar. Biara itu sekarang keberadaannya (Soekmono dalam Mundardjito
sudah tidak ada lagi jejaknya karena dibangun 2014,.64). Namun, Kempers meragukannya
dengan kayu (Krom 1920, 351; Stutterheim apakah biara ini dapat menampung semua
1956, 15). Namun, di mana tempat atau lokasi biksu dan peziarah bermalam. Oleh sebab itu, ia
biara itu masih belum diketahui. menduga masih ada bangunan lain yang dipakai
Menurut A.J. Bernert Kempers, ada sebagai biara di puncak Bukit Dagi di sebelah
kemungkinan biara tidak hanya satu dan barat laut (Kempers 1976, 15). Dugaan Kempers
terdapat di beberapa tempat di dekat Borobudur, ini didasarkan pada penemuan berupa sebuah
yaitu di bagian tenggara dan bagian barat bukit. raksasa penjaga yang sangat istimewa di lokasi
Akan tetapi, sulit untuk mengadakan ekskavasi itu, yang diberikan kepada Raja Siam ketika

16
Re-Interpretasi Nama Candi Borobudur. Titi Surti Nastiti

Gambar 1. Denah Pondasi Bangunan Wihara (Warna Merah) (Sumber: Mundardjito 2014)

berkunjung ke Borobudur (Soekmono 1972, 8; di sebelah tenggaranya ditemukan tiga buah


Kempers 1976, 5). Sayangnya, sampai sekarang guci dan sebuah piring keramik Cina dari masa
lokasi biara yang diperkirakan Kempers yang Dinasti Tang (Mundardjito 2014, 66-67). Pada
terletak di Bukit Dagi belum pernah diekskavasi. 1973-1974 diadakan ekskavasi oleh Proyek
Pada 1970 di lereng Candi Borobudur Restorasi Candi Borobudur. Hasilnya berupa
ditemukan sebuah wajra perunggu dan struktur bangunan dan juga temuan lainnya
sandaran arca (prabhāmaṇḍala) yang patah berupa pecahan gerabah dan pecahan keramik
pada bagian kiri bawah dan sekitar 70 meter Cina, serta gigi binatang. Berdasarkan temuan

Foto 2. Sandaran arca dan wajra perunggu yang ditemukan di lereng barat Candi Borobudur (Sumber: Soekmono 1972)

17
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

Foto 3. Stūpika dan Votive Tablet yang ditemukan di Candi Borobudur (Sumber: Nastiti)

tersebut, dapat diduga bahwa areal yang digali atau dhyanamudrā (Boechari 1982). Stūpika
berupa pemukiman. Selain ekskavasi, indikasi tanah liat ini biasa digunakan sebagai suvenir
adanya pemukiman di sekitar Candi Borobudur atau jimat para peziarah yang dipakai sebagai
tersingkap oleh buldoser yang digunakan persembahan (Kempers 1976). Orang Tibet
dalam pemugaran Candi Borobudur antara percaya bahwa seseorang bisa menjadi
tahun1971-1974. Temuannya, selain ribuan “penguasa kesepuluh bumi”, tahap tertinggi
pecahan gerabah, pecahan keramik, stūpika, dalam pencapaian seseorang yang bercita-cita
berupa struktur bangunan bata, balok-balok batu menjadi buddha dengan membacakan dharanī
yang telah dibentuk, juga sejumlah susunan batu tertentu di atas sebuah stūpika (Miksic 1990).
kali, fragmen arang, gigi, dan tulang binatang Stūpika dan votive tablet seperti ini ditemukan
(Mundardjito 2014). juga di beberapa tempat di Indonesia, yaitu
Salah satu temuan yang disebutkan di Palembang (Sumatra Selatan); Batujaya
sebelumnya, yang menarik perhatian adalah (Karawang, Jawa Barat); Jongke, Jatikalang
ditemukannya 2.307 stūpika dan 252 votive di Ungaran, Kalibening dekat Kalasan (Jawa
tablet, baik yang utuh maupun pecahan dibuat Tengah), Gumuk Klinting, Banyuwangi dan
dari tanah liat yang dikeringkan. Ukuran stūpika Pulau Bawean (Jawa Timur) dan Pejeng,
dan votive tablet bervariasi, tinggi stūpika Tatiapi, Pura Pegulingan (Bali) (Boechari 1982,
antara 4-13,5 cm, sedangkan votive tablet 92-93; Nastiti 2015, 122).
antara 6-12 cm. Selain stūpika dan votive tablet Pendapat Poerbatjaraka yang menye-
di dekatnya, ditemukan dua prasasti perak yang butkan bahwa boro artinya ‘biara’ menjadi
isinya sama dengan teks dharanī. Prasasti yang kuat dengan ditemukannya sisa-sisa pondasi
satu berukuran: panjang 10 cm dan lebar 1,5 cm, biara dari bata dan peralatan untuk pemujaan
yang bertuliskan sitakulā sitakulā sitakulā kaḍa agama Buddha, seperti mangkuk, genta, dan
kaḍa manda sūryya; sedangkan prasasti yang stūpika. Sekarang yang harus dicari adalah kata
satunya berukuran: panjang 7,5 cm dan lebar buḍur. Berdasarkan kamus Jawa Kuna, kata
1 cm, dengan bacaan: sitakulā takulā takulā buḍur mempunyai dua arti, dikelompokkan
nanda sūryya (Boechari 1982, 92-93) . Beberapa ke dalam jenis minuman keras, yaitu pertama
stūpika tersebut di antaranya bertulisan ye te ‘minuman keras terbuat dari pohon aren atau
mantra, sedangkan dalam votive tablet terdapat enau’ dan kedua adalah ‘sebangsa pohon enau’
figur Buddha dalam posisi duduk dengan beragai (Zoetmulder 2004, 139). Kata buḍur hanya
macam mudrā. Mudrā yang digambarkan ditemukan dalam empat naskah, “Ādiparwa”,
adalah witarkamudrā, abhayamudrā, “Calon Arang”, “Kidung Harṣa Wijaya”, dan
bhūmisparśamudrā/waramudrā, tetapi tidak “Kakawin Kāṇḍawawanadahana”. Tiga yang
satu pun dalam sikap dharmacakramudrā pertama, menuliskan buḍur sebagai salah satu

18
Re-Interpretasi Nama Candi Borobudur. Titi Surti Nastiti

jenis minuman keras, seperti yang dapat dilihat Arang” menuliskan kata buḍur adalah sebagai
dalam kutipan dari ketiga naskah itu. berikut:
Dalam teks “Ādiparwa” dituliskan “Mamisinggih pwa sang kanuruhan,
sebagai berikut: mojar muwah sang muniśwara, makon
“Mangke tambay ning brāhmaṇa ikang bhoga, umiweng sang kanuruhan.
tanpamangan daging iŋ celeŋ umah, Tan masowe datang ta ikang pupuṇḍutan:
tanpaṅinum surāpāna, surāpāna tok, sěkul, ulam, tampo, brěm, kilang
ngarannya sajöng salwir iŋ sinaŋgah lyan tekang srěbat-buḍur. Mabhojana
sajěŋ, twak, waragaŋ, badyag, twak iŋ tal, ta sira kanuruhan sarowangika kabeh,
budur, ling śāstra sangke bhagawān Śukra: ramya samānginum tok, kilang. Akulěm ta
Mohāt pāsyati durbuddiḥ. Kalingan ing sirang aśrama sawěngi. Eñjing pwa ken
śabda: ikang wwang awěrö de ning sajöng kanuruhan amiteng sang jatiwara, katuhur
durbuddhi, solah tan solahanya, ujar pwa sira mpu bakula” (Poerbatjaraka
tan ujaranya, sangke mohanyān warěg 1926, 124).
sajöng, magawe ahangkāra ning buddhi, Terjemahan:
yan hana sira brāhmaṇa mpu manginum
sajöng, makanimitta moha nira, ngūniweh Setujulah Sang Kanuruhan, berkata
amangan daging ning celeng umah, ya dengan Sang Muniśwara, (menyuguhkan)
abhakṣabhaksa ngaranya, ya apeyapeya makanan yang melimpah, memperlakukan
ngaranya, amangan camah anginum tamunya dengan baik Sang Kanuruhan.
wastu camah, adharma ngaranya, tan Tidak lama datang apa yang diminta: tuak,
dharma sang paṇḍita ikā (Juynboll 1906, nasik, lauk-pauk, tampo, brěm, kilang, dan
76). yang lainnya sampai srěbat-buḍur. Sang
Kanuruha menjamu Kanuruhan dengan
Terjemahan: teman-teman semuanya, senang meminum
Sekarang, yang pertama (larangan) dari tuak, kilang. Tidurlah ia di asrama
Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang semalam. Pagi-pagi Sang Kanuruhan
diternakkan, tidak minum minuman keras, berpamitan kepada Sang Jatiwara, ikut
surāpāna namanya minuman keras dan pula dengannya Mpu Bakula.
sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, “Kidung Harṣa Wijaya” 3.29
baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian
menuliskannya sebagai berikut:
(disebutkan dalam) kitab suci Bagawān
Śukra. Dituturkan dalam sabda: orang “Ndan rawuh panambhramī antyantālěp
mabuk oleh minuman keras menjadi dungu, adulur-dulur tumpěŋ awawayaŋ tadah
tingkah lakunya bukan tingkah lakunya, drawiṇa tan kari tok badeg śiwalan buḍur
perkataannya bukan perkataannya, lan mrěsi srěbat adulur lan arak arum”
hilang kesadaran (karena) kenyang (Berg 1931:98).
(minum) minuman keras, membuatnya
Terjemahan:
congkak budinya. Jika ada Brāhmaṇa
yang terhormat meminum minuman Kemudian datang minuman keras terus-
keras sehingga kehilangan kesadarannya. menerus bersama dengan tumpeng dalam
Begitu juga orang yang makan daging berbagai bentuk. Makanan, minuman
babi ternak, ya abhakṣabhaksa (makanan) keras tidak ketinggalan, tuak, badeg,
namanya, ya apeyapeya (minuman) siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama
namanya, memakan (makanan yang) dengan arak harum
kotor, minum (minuman yang kotor).
Tidak sesuai dengan dharma namanya, Titi Surti Nastiti telah mendaftar semua
tidak melakukan dharma pendeta itu.
jenis minuman keras yang ada dalam data
Adapun kutipan dalam teks “Calon tekstual, yaitu baḍyag/baḍĕg, buḍur, brĕm,

19
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

Foto 4. Pohon aren atau enau yang sedang disadap (kiri), diambil sadapannya (tengah), dan aren yang disadap dibawa
oleh penyadapnya (kanan) (Sumber: Nastiti)

jātirasa, kiñca, madya, māsawa/māstawa, arti Candi Borobudur adalah ‘biara yang ada
miñu, sajĕŋ, siddhu/sindhu, surā, tampo, twak/ di Budur’ sudah benar, dan budur mengacu
tok, dan waragaŋ (Nastiti 1989, 86). Beberapa pada nama tumbuhan sejenis aren/enau yang
jenis minuman keras itu masih dikenal sampai mungkin banyak tumbuh di tempat itu. Di
sekarang, seperti arak, tuak, dan brĕm. Satu- Indonesia nama tumbuhan yang menjadi
satunya naskah yang menyebutkan buḍur nama tempat sangat umum dijumpai, misalnya
sebangsa pohon aren didapatkan dari “Kakawin jombang (Taraxacum officinale Weber et
Kāṇḍawawanadahana” (Terbakarnya Hutan Winggers) atau Gebang (Corphya utan Lamk).
Kāṇḍawa), naskah yang sampai saat ini belum Contoh lainnya, di kota Jakarta banyak sekali
diterjemahkan dari Cod Kirtya No. 709. nama wilayahnya memakai nama tumbuhan,
Dalam teks disebutkan: 247. gumaway kuwwa- seperti Kampung Rambutan (Nephelium
kuwwana ....... hinatěpan těkap rwan iŋ buḍur lappaceum L.), Kebon Nanas (Ananas comosus
(membuat perumahan sementara ……. dengan (L) Merr.), Kebun Kacang (Arachis hypogaea
atap dari daun buḍur) (Zoetmulder 2004). L.), Kebun Pala (Myristica fragrans), Kemang
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa (Mangifera kemanga), Menteng (Baccaurea
buḍur adalah nama tumbuhan sejenis aren atau racemosa (Reinw.) Muell. Arg.), Bintaro
enau (Arenga pinnata [Wurmb] Merr.) yang (Cerbera manghas). Nama tersebut tidak asing
airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya bagi telinga warga masyarakat DKI Jakarta,
dijadikan atap rumah. Sampai saat ini masih yang sekarang mungkin tidak tahu lagi bahwa
ada penyadap air nira dari pohon aren. Air nira ada beberapa nama tempat berasal dari nama
tersebut ada yang dijual tanpa diolah sebagai tumbuhan.
minuman segar, atau diolah menjadi gula atau
tuak. Di Jawa minuman itu dijual tanpa diolah 4. Penutup
sebagai minuman segar yang biasa disebut Etimologi yang merupakan kajian asal-
sebagai air legen, sedangkan yang diolah pada usul suatu tempat ternyata dapat menelusuri
umumnya menjadi gula merah. Air nira yang nama Candi Borobudur yang selama ini masih
diolah menjadi nira sudah jarang ditemukan menjadi bahan perdebatan. Dengan pembuktian
meskipun masih ada yang membuatnya, dari kata boro dan buḍur, dapat diketahui bahwa
seperti di Tuban, Jawa Timur. Oleh karena itu, Borobudur berarti ‘biara di daerah Budur’. Boro

20
Re-Interpretasi Nama Candi Borobudur. Titi Surti Nastiti

artinya ‘biara’, yang dapat dibuktikan dengan Mundardjito. 2014. “Penggalian di Situs Candi
ditemukannya sisa-sisa bangunan yang berupa Borobudur Sebelum Mulai Direnovasi.”
In 200 Tahun Penemuan Candi
struktur bata di sekitar Borobudur dan temuan Borobudur, edited by Marsis Sutopo,
arkeologis lainnya yang menunjang suatu 64-76. Borobudur: Balai Konservasi
kegiatan untuk pemujaan agama Buddha, seperti Borobudur.
mangkuk, genta, dan stūpika. Kata buḍur adalah Nastiti, Titi Surti. 1989. “Minuman pada
nama tumbuhan sejenis palem, yang mungkin Masyarakat Jawa Kuno.” In Proceeding
dahulu banyak tumbuh di daerah itu, yang Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, II B,
83-95. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
kemudian dijadikan nama tempat. Indonesia.
-----------. 2014. “Penemuan dan Penyelamatan
Candi Borobudur.” In 200 Tahun
Daftar Pustaka Penemuan Candi Borobudur, edited by
Marsis Sutopo, 24-28. Borobudur: Balai
Anom, I.G.N. 2005. The Restoration of
Konservasi Borobudur.
Borobudur. Edited by I.G.N. Anom.
Paris: The United Nations Educational -----------. 2015. “Miniature Stūpa and a
Scientific and Cultural Organization. Buddhist Sealing from Candi Gentong,
Trowulan, Mojokerto, East Java.” In
Boechari. 1982. “Preliminary Report on
Buddhist Dynamics in Premodern and
Some Archaeological Finds Around the
Early Modern Southeast Asia, edited by
Borobudur Temple.” In Pelita Borobudur,
Christian Lammert, 120-137. Singapore:
Seri CC. Jakarta: Departemen Pendidikan
Institute of Sotheast Asian Studies.
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Olthof, W.L. 1941. "Babad Tanah Djawi."
Brandes, J.L.A. 1901. “Twee Oude Berichten
In Proza Javaansche Geschiedenis.
over de Baraboedoer.” Tijdschrift van Het
‘s-Gravenhage: M. Nijhoff.
Bataviaasch Genootschaap 44: 73-84.
Pigeaud, Th.G.Th. 1960. Java in the Fourteenth
de Casparis, J.G. 1950. Prasasti Indonesia I.
Century: A Study in Cultural History. The
Bandung: A.C. Nix & Co.
Nagara-Kertagama by Rakawi Prapañca
Juynboll, H.H. 1906. Ādiparwa. Oudjavaanch of Majapahit, 1365 A.D, Volume I. The
Prozageschrift. s‘Gravenhage: M. Nijhoff. Hague: Martinus Nijhoff.
Kempers, A.J. Bernet. 1976. Ageless Borobudur. Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1919. “Handelingen van
Buddhist Mistery in Stone Decay and En Eerste Congres Voor de Taal-, Land-
Restoration Mendut and Pawon Folklife En Volkenkunde van Java (Proceedings
in Ancient Java. UK: Fine Books Ltd. of the First Congress For Linguistics,
Geography and Ethnografy).” In . Solo.
Krom, N.J. 1920. Inleideing Tot de Hindoe
Javaansche Kunst, Volume I. -----------. 1926. “De Calon Arang.” Bijdragen
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Tot de Taal-, Land, En Volkenkunde 82:
110-180.
Miksic, John. 1990. Borobudur. Golden Tales
of the Buddhas. Berkeley-Singapore: Raffles, Sir Stamford. 1817. History of Java. 2
Periplus Editions. Volume. London: Cox Baylis.
Moens, J.L. 1951. “Barabudur, Mendut En Ramelan, Wiwin Djuwita Sudjana, ed. 2015.
Pawon En Hun Onderlinga Samenhang, Candi Indonesia. Seri Jawa. Jakarta:
I-II.” Tijdschrift Voor Indische Taal-, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya
Land-En Volkenkunde 84: 326-387. dan Permuseuman, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan
Moelyana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta:
dan Kebudayaan.
LkiS.

21
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 36 No. 1, Juni 2018 : 1-66

Sedyawati, Edi dan Nunus Supardi. 2014. Stutterheim, W.F. 1929. Tjandi Bara-Boedoer,
“Pemugaran Candi Borobudur Pertama Naam, Vorm, Bettekenis. Weltevreden:
Oleh Theodor van Erp.” In 200 Tahun Druk G. Koelf & Co.
Penemuan Candi Borobudur, edited by
-----------. 1956. Studies in Indonesian
Marsis Sutopo, 47-53. Borobudur: Balai
Archaeology. The Hague: Martinus
Konservasi Borobudur.
Nijhoff.
Soekmono. 1972. Pelita Borobudur, Seri A No.1.
Treffy, Diana. 2003. English Dictionary &
Jakarta: Proyek Pelita Restorasi Candi
Thesaurus. Edited by Diana et al. Treffy.
Borobudur, Departemen Pendidikan dan
21st Century. Glasgow, Great Britain:
Kebudayaan Republik Indonesia.
HarperCollins Publisher.
-----------. 1976. Chandi Borobudur. Assen/
Zoetmulder, P.J. 2004. Kamus Jawa Kuna.
Amsterdam: The Unesco Press.
Jakarta: PT Gramedia.

22

You might also like