You are on page 1of 6

ANGGOTA KELOMPOK : 1.

Azhar Safa Zain Kelas : Arsitektur 2020-A

2. M. Kamil Pasha T.

CANDI BOROBUDUR

Sumber : https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
[Konsep]

Dalam membuat video kami memilih menggunakan video narasi. Yang akan ditampilkan
dalam video untuk mendukung narasi adalah campuran antara foto dan video yang relevan
dengan narasi yang diambil dari sumber google dan youtube. Konsepnya yaitu ceritanya kami
menjadi tour guide yang akan memandu perjalan/trip ke Candi Borobudur namun secara daring
karena masih dalam keadaan pandemi. Di video, kami akan menjelaskan dari mulai sejarah
Candi Borobudur hingga bagaimana arsitektur candinya. Teknisnya masing-masing dari kami
akan membaca script secara bergantian setiap satu paragraf.

[Script]

Hello ... What’s up guys?

Today we will take a trip to one of the tourist attractions in Magelang, Central Java, which is
very well known in Indonesia and in the world. This tourist spot has been designated as a World
Heritage Site by UNESCO since 1991. Of course all of you already know where we are going,
right? Yep, that's Borobudur Temple, which is the largest Buddhist temple in the world. Eits,
because now it's still a pandemic period, just go online. But take it easy, I am Azhar Safa Zain
and my partner Kamil Pasha will be your tour guide ^^.

            Borobudur Temple is more precisely located on Jl. Badrawati, Borobudur Village,


Borobudur District, Magelang Regency, Central Java, about 15 km to the southwest of
Yogyakarta. The location of Barabudhur Temple is a small hill surrounded by Menoreh
mountains to the south, Mount Merapi and Mount Merbabu in the northeast, and Mount
Sumbing and G. Sindoro to the northwest.

Surely you are wondering, what does Borobudur mean? Based on the writings found on
several stones in Barabudhur Temple, experts argue that this temple was built around 780 AD,
during the reign of the kings of the Sanjaya House. And only completed around 830 AD, namely
during the reign of King Samaratungga of Wangsa Syailendra. It is said that the architect of this
temple is named Gunadharma, but no written information has been obtained about this figure.
In 950 AD, Barabudhur Temple was buried by the eruption of Mount Merapi lava and was only
rediscovered almost a thousand years later, in 1814 to be precise. The rediscovery of
Barabudhur Temple was due to Sir Thomas Stamford Raffles.

Barabudhur Temple stands on a hill that extends from east to west. This temple was
built of 47,500 m3 of andesite blocks, which are neatly arranged without adhesive, and covered
with a layer of 'vajralepa' putuh, as found in Kalasan and Sari temples. The Barabudhur building
is in the form of a pyramid with stairs going up on all four sides, namely the east, south, west,
and north. It is said that on the east side, under the foot of the temple, a way up the hill was
found. This underlies the assumption that Barabudhur Temple faces east and the main door is
on the east side.

The stairs leading to a higher level are equipped with a beautifully carved gate with a
kalamakara without a lower jaw above the threshold. At first the overall height of this ancient
building was 42 m, but after restoration it was only 34.5 m high. The base or base of the temple
is a square plan with an area of 123 x 123 m, equipped with a viewer that juts out on each side.
The whole building consists of 10 floors with an area of 15, 13 m2. Floor I to floor VII are
square, while floors VIII to floor X are circular.

Barabudhur Temple has no room for worship because this temple was built for
pilgrimage and to deepen knowledge about Buddha. The total wall area is 1500 m2, decorated
with 1460 relief panels, each 2 m wide. The number of Buddha statues, including those that
have been damaged, reached 504. These Buddha statues depict Buddha in various attitudes.

Barabudhur Temple symbolizes three levels in human life. The foot of the temple is
called Kamadhatu, symbolizing life in the mortal world, which is still filled with kama (desire and
lust). On the wall at the foot of the temple there are 160 Karmawibangga relief panels. Currently,
the relief cannot be seen because it is covered in overfill.

Then there is the body of the temple which consists of 5 levels, getting smaller and
smaller, with a square plan. At each level there is a wide enough veranda that surrounds the
temple body. The edge of the veranda is given a wall decorated with relief panels. The body of
the temple is called Rupadhatu, which means world of appearance. In this world, humans are
still attached to worldly life, but have started to try to control their desires and passions.

The roof of the temple which consists of three levels is called Arupadhatu, which means
a world without form. At this stage of life humans are free from desire and lust. The roof of the
temple is in the form of 3-tiered batur with a circular plan forming 3 arranged circles with the
same center as the stupas containing Buddha statues. In the circle at level I there are 32
stupas, at level II there are 24 stupas with diamond-shaped holes. The diamond-shaped hole
symbolizes any lingering lust. On level III there are 16 stupas with decorative square holes. This
square hole symbolizes the lust that has gone without a trace. The roof top is a very large stupa.
It is said that in this stupa there was a statue of the Adhi Buddha, the highest Dhyani Buddha in
Mahayana Buddhism.

In some places there is a drain called Jaladwara. The upper wall of the first level is
decorated with relief stories taken from the Lalitawistara Book, which tells the story of the
Buddha since descending from the Tusita heaven to earth. The lower wall is decorated with
reliefs of Jatakamala, the story of the life of Jataka and Avadana, who were manifested as
Bodhisattvas because of their good behavior in their past lives. The temple walls at level II are
decorated with reliefs from the Gandawyuha Book. Likewise, the hallway walls and fences at
level III and level IV. The story of Sudhana, who in his search for knowledge and truth met
Gandawyuha who taught about wisdom to achieve perfection in life.

Barabudhur Temple has undergone several renovations. The first restoration was
carried out during Dutch government from 1907 to 1911, under the leadership of Van Erp. In this
restoration priority is to restore the three roof terraces of the temple and its central stupa. The
second restoration lasted for ten years from 1973 to 1983 by the Indonesian government in
collaboration with UNESCO. Since the Arupadhatu level is still in good condition, only the lower
levels are restored, cleaned and returned to their original position.

Okay guys, our online trip was done. We hope you are enjoy during this trip, and thank
you for joining our trip in Borobudur Temple. Bye! See you later.
[Terjemahan]

Halo… Apa kabar kalian?

Hari ini kita akan jalan-jalan ke salah satu tempat wisata di Magelang, Jawa Tengah, yang sangat
terkenal di Indonesia maupun mancanegara. Tempat wisata ini sudah ditetapkan sebagai World
Heritage Site oleh UNESCO sejak tahun 1991, loh. Pasti kalian semua sudah tahu kan kemana kita akan
pergi? Yap, benar sekali. Candi Borobur,yang merupakan candi Buddha terbesar di dunia. Eits, karena
sekarang masih masa pandemi jalan-jalannya via daring saja ya. Tapi tenang saja, saya Azhar Safa Zain
dan rekan saya Kamil Pasha akan menjadi tour guide kalian^^.

Candi Borobudur ini lebih tepatnya terletak di Jl. Badrawati, Desa Borobudur, Kecamatan
Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 15 km ke arah Barat daya Yogyakarta. Lokasi
Candi Barabudhur merupakan bukit kecil yang dikelilingi oleh pegunungan Menoreh di sebelah selatan,
G. Merapi dan G. Merbabu di timur laut, serta G. Sumbing dan G. Sindoro di barat laut.

Pasti kalian bertanya-tanya, apa sih arti Borobudur itu? Berdasarkan tulisan yang terdapat di
beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun sekitar
tahun 780 M, pada masa pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya. Dan baru selesai sekitar tahun 830 M,
yaitu pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Konon arsitek candi ini
bernama Gunadharma, namun belum didapatkan informasi tertulis tentang tokoh ini.

Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur sempat terkubur oleh lava letusan G. Merapi dan baru
ditemukan kembali hampir seribu tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1814. Penemuan kembali
Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas Stamford Raffles.

Candi Barabudhur berdiri di atas bukit yang memanjang dari arah timur ke barat. Candi ini
dibangun dari balok batu andesit sebanyak 47,500 m3, yang disusun rapi tanpa perekat, dan dilapisi
dengan lapisan putuh 'vajralepa', seperti yang terdapat di Candi Kalasan dan Candi Sari. Bangunan
Barabudhur berbentuk limas bersusun dengan tangga naik di keempat sisi, yaitu sisi timur, selatan,
barat, dan utara. Konon di sisi timur, di bawah kaki candi, pernah ditemukan jalan naik ke atas bukit. Hal
itu mendasari dugaan bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur dan pintu utama adalah yang
terletak di sisi timur.

Tangga menuju ke tingkat yang lebih tinggi dilengkapi dengan gerbang yang berukir indah
dengan kalamakara tanpa rahang bawah di atas ambang pintu. Pada mulanya tinggi keseluruhan
bangunan kuno ini mencapai 42 m, namun setelah pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur
atau kaki candi berdenah bujur sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang
menjorok keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya mencapai 15, 13
m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi, sedangkan lantai VIII sampai dengan lantai X
berbentuk lingkaran.

Candi Barabudhur tidak mempunyai ruangan untuk tempat beribadah atau melakukan
pemujaan karena candi ini dibangun untuk tempat berziarah dan memperdalam pengetahuan tentang
Buddha. Luas dinding keseluruhan mencapai 1500 m2, dihiasi dengan 1460 panel relief, masing-masing
selebar 2 m. Jumlah Arca Buddha, termasuk yang telah rusak, mencapai 504 buah. Arca-arca Buddha
tersebut menggambarkan Buddha dalam berbagai sikap.

Candi Barabudhur melambangkan tiga tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi disebut
Kamadhatu, melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi kama (hasrat dan nafsu).
Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief Karmawibangga. Saat ini relief tersebut tidak dapat
dilihat karena tertutup urukan.

Kemudian ada tubuh candi yang terdiri atas 5 tingkat, makin ke atas makin mengecil, dengan
denah bujur sangkar. Di setiap tingkat terdapat selasar yang cukup lebar mengelilingi tubuh candi. Tepi
selasar diberi dinding yang dihiasi dengan panel-panel relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu, yang
berarti dunia rupa. Dalam dunia ini manusia masih terikat dengan kehidupan duniawi, namun sudah
mulai berusaha mengendalikan hasrat dan nafsu.

Atap candi yang terdiri atas 3 tingkat disebut Arupadhatu, yang berarti dunia tanpa rupa
(wujud). Pada tataran kehidupan ini manusia sudah terlepas dari hasrat dan nafsu. Atap candi berupa
batur bersusun 3 dengan denah bundar membentuk 3 lingkaran bersusun dengan pusat yang sama
dengan stupa-stupa berisi arca Buddha. Dalam lingkaran di tingkat I terdapat 32 stupa, di tingkat II
terdapat 24 stupa dengan lubang-lubang berbentuk wajik. Lubang berbentuk wajik melambangkan
adanya nafsu yang masih tersisa. Di tingkat III terdapat 16 stupa dengan lubang hiasan berbentuk
persegi. Lubang berbentuk persegi ini melambangkan nafsu yang telah lenyap tak bersisa. Puncak atap
merupakan sebuah stupa yang sangat besar. Konon dalam stupa ini dahulu terdapat arca Sang Adhi
Buddha, yaitu Dhyani Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahayana.

Di beberapa tempat terdapat saluran pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas
tingkat I dihiasi dengan relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan riwayat
Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi. Dinding bawah dihiasi dengan relief Jatakamala,
kisah kehidupan Jataka dan Avadana, yang diwujudkan sebagai Boddhisatwa karena perilakunya yang
baik dalam kehidupannya yang lalu. Dinding candi di tingkat II dihiasi relief dari Kitab Gandawyuha.
Demikan juga dinding dan pagar selasar di tingkat III dan tingkat IV. Kisah Sudhana yang dalam upayanya
mencari pengetahuan dan kebenaran telah bertemu Gandawyuha yang mengajari tentang kebijakan
untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup.

Candi Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan
pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan Van Erp. Dalam
pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras atap candi dan stupa pusatnya.
Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu tahun 1973 – 1983 oleh pemerintah
Indonesia bekerjasama dengan UNESCO. Karena tingkat Arupadhatu keadaannya masih baik, maka
hanya tingkat-tingkat di bawahnya saja yang di pugar, dibersihkan, dan dikembalikan pada posisi
semula.
Sumber : https://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_barabudhur

You might also like