You are on page 1of 15

Implementasi Kajian Fiqih dalam Masyarakat

Aldin Albirruni
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati , Indonesia

Aran Dwi Putra


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati , Indonesia

Aulia Dewi Oktafiani


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati , Indonesia

Penulis untuk korespondesi:


Penulis Satu
Alamat: Jl. Kancil IX Blok E No.123, Sertajaya, Kec. Cikarang
Tim, Bekasi, Jawa Barat 17530
Email: arandwiputra@gmail.com
Implementasi Kajian Fiqih dalam Masyarakat

Abstrak

In social life, of course, it always experiences developments and changes continuously so that in
studying the law of sharia fiqh, one must also adapt to the current situation and of course it can
be accepted among the wider community. In formulating a new law, of course, experts perform
ijtihad in deciding a case that is not discussed in the Al Quran or Hadith on the condition that it
uses common sense and careful consideration so that the implementation of the law can be
accepted by the public. This means that society must apply fiqh studies to social life which is the
result of developing fiqh studies so that there is an application here to show that Islamic law can
adapt to the times. The text or arguments of Islamic law are limited in nature, while legal issues
in society are not limited. The culture and social life of the community are constantly developing.
In the current era of globalization, the understanding and stipulation of law in fiqh cannot be
separated from the source texts of Islamic teachings such as the Al-Quran and the Prophet's
Hadith as well as in the context of empirical facts in the life of the Muslim community. These two
aspects are taken into consideration even though the position and portion are not necessarily the
same. As a divine teaching, of course the text is put forward rather than the context, but
forgetting the context is not the right action because basically Islamic law was revealed for the
benefit of humans so that they are happy in the world and the hereafter.

Didalam kegidupan bermasyrakat tentunya selalu mengelami perkembangan dan perubahan


secara terus menerus sehingga dalam mengkaji hukum syariat fiqih pasti harus menyesuaiken
juga dengan keadaan sekarang dan tentunya dapat diterima dikalangan masyarakat luas. Dalam
merumuskan suatu hukum baru tentunya para ahli berijtihad dalam memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang supaya pelaksanaan hukum bisa diterima masyarakat public. Artinya
masyarakat harus menerapan kajian fiqih pada kehidupan sosial yang merupakan hasil dari
kajian fiqih yang berkembang supaya adanya penerapan disini untuk menunjukka bahwa syariat
islam dapat beradaptasi oleh perkembangan zaman. Teks atau dalil-dalil hukum Islam sifatnya
terbatas, sementara persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat tidak terbatas. Budaya dan
kehidupan sosial masyarakat senantiasa berkembang. Pada zaman globalisasi sekarang ini
pemahaman dan penetapan hukum dalam fikih tidak dapat dipisahkan dari teks-teks sumber
ajaran Islam seperti Al-Quran dan Hadits Nabi juga konteks yang berupa fakta empiris dalam
kehidupan masyarakat muslim. Kedua aspek ini menjadi konsiderasi meskipun posisi dan
porsinya tidak mesti sama. Sebagai ajaran samawi tentu teks lebih dikedepankan daripada
konteks, tetapi melupakan konteks sama sekali bukanlah tindakan yang benar karena pada
dasarnya hukum Islam diturunkan untuk kepentingan manusia agar mereka bahagia di dunia dan
akhirat.

Kata-kata Kunci
Fiqih, syariah, masyarakat, budaya, implementasi.
Pendahuluan

Allah menciptakan manusia untuk hidup bersama sehingga terbentuk kehidupan sosial
masyarakat yang saling memiliki rasa ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, lalu
membentuk suatu budaya di antara kelompok tersebut. Allah menciptakan manusia dalam
bentuk bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dalam rangka saling mengenal satu dengan yang
lain.
Pada mulanya budaya itu berasal dari hasil karsa, karya, dan rasa manusia yang
diejewantahkan secara ajek dan terus menerus. Karena sifatnya demikian, kehidupan sosial dan
budaya masyarakat di samping menunjukkan sisi kemapanan juga sisi perubahan yang
berkesinambungan, senantiasa berkembang dalam rangka mencapai kesempurnaannya. Suatu
budaya dan sosial masyarakat yang bersentuhan dengan budaya dan sosial masyarakat lain juga
menimbulkan perubahan. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya
penemuanpenemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan, intensitas konflik
terhadap nilai-nilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa
depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan dalam masyarakat.
Sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, Islam memandang perubahan
sebagai suatu realitas yang tidak dapat diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat
demi memudahkan semua hal untuk berubah secara benar dan aman. Agama Islam berjalan
bersama dan beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama Islam adalah mengawal
perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.1 Di sinilah sesungguhnya tugas
cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan
konteks yang melingku-pinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi, terutama
dalam hal-hal yang menyangkut fikih sosial dan budaya.
Berbagai ragam aliran fikih pada era klasik mencerminkan bentuk solusi konkret
problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-
problem itu. Inilah yang dimaksud oleh (Hanafi, 2003, pp. 160-177) dengan nilai praksis
pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih
senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.

1
Abdul Halim ‘Uways, Fiqh Statis Dinamis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 221.
Dalam rangka mewujudkan tatanan sosial yang ideal, pembidangan fikih harus sesuai dengan
dimensi kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, fikih terbagi menjadi fikih ibadah dan fikih
muamalah (meliputi fikih siyasah, jinayat, munakahat, dan sebagainya). Dalam batas tertentu,
pemahaman fikih masih cenderung legal-formal ketika berhadapan dengan kosmopolitanisme
kultur manusia. Akibatnya, manifestasi fikih dirasakan tidak aspiratif dalam menjawab
tantangan zaman. Jika diamati, kecenderungan terhadap wajah fikih belum responsif karena
peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem
kontemporer (An-na’im, 1994, p. 23).
Tulisan ini akan membahas tentang kajian penerapan fiqih dalam kehidupan masyarakat
sosial tentang dasar pemikiran dalam berfikih sejalan dengan perkembangan persoalan-
persoalan kehidupan masyarakat yang tidak terbatas dan sifatnya terus berkembang, sementara
dalil-dalil hukum yang sifatnya terbatas.

Tujuan dan Kegunaan Fiqih

Tujuan dari fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syari’at terhadap perbuatan dan
ucapan manusia. Karena itu, ilmu fiqih adalah tempat kembalinya seorang hakim dalam
keputusannya, tempat kembalinya seorang mufti dalam fatwanya, dan tempat kembali seorang
mukallaf untuk dapat mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan
perbuatan yang muncul dari dirinya2 Tujuan ilmu fiqh juga pada dasarnya adalah untuk mencapai
ridla Allah swt. karena ilmu fiqh merupakan kumpulan hukum yang dihasilkan melalui penalaran
yang serius oleh para ulama’ dari nilai-nilai syari’at. Oleh karena itu menjalankan fiqh berarti
kita menjalankan syari’at-Nya Harus diakui bahwa Ilmu fiqh hadir untuk memberikan
pencerahan dalam mengatasi problem kehidupan yang kita hadapi. Kemajuan teknologi,
kebudayaan, dan ilmu pengetahuan jelas akan menjadi tantangan tersendiri, karena itu ilmu fiqh
sangat berperan dalam memecahkan problem yang di hadapi manusia akibat kemajuan tersebut.
Karena fiqh itu adalah produk dari penggalian hukum syari’ah, maka sudah berangtentu
tujuannya adalah selaras dengan tujuan syari’ah.
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat islam untuk mempelajari fiqih ialah :
1. Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.

2
Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama) h. 2
2. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia
3. Kaum muslimin harus bertafaqquh baik dalam bidang aqaid dan akhlaq maupun dalam
bidang dan muamalat.

Adapun tujuan lain ilmu fiqh, yaitu:


1. Membimbing manusia dalam setiap kehidupan untuk dapat menjaga nilai-nilai ajaran
sesuai dengan maqashid al-syari’ah, baik yang menyangkut persoalan agama (al-din),
jiwa (al-nafs), harta (al-mal), keturunan (nasl), maupun akal (al-‘aql),
2. Mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan dalil secara terperinci yang telah
di gariskan oleh al-Qur’an dan Hadits, atau hasil ijtihad para ulama’ dan cendekiawan
muslim.
3. Membimbing kepada manusia untuk dapat bersikap i’tidal (adil), tawazun (seimbang),
tasamuh (toleransi).

Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntut manusia kepada kebaikan
dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari keutamaan fiqih,
karena fiqih, menunjukkan kita kepada sunnah Rasul serta memelihara manusia dari bahaya-
bahaya dalam kehidupan. Seseorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat
menjaga diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani musuh.3
Mempelajari Ilmu Fiqih besar sekali faedahnya bagi manusia. Dengan mengetahui ilmu
fiqih menurut yang dita’rifkan ahli ushul, akan dapat diketahui mana yang disuruh mengerjakan
dan mana pula yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang haram, mana yang halal, mana
yang sah, mana yang bathal dan mana pula yang fasid, yang harus diperhatikan dalam hal segala
perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus ditinggalkan. Ilmu Fiqih yang
juga memberi petunjuk kepada manusia tentang pelaksanaan nikah, thalaq, rujuk, dan
memelihara jiwa, harta benda serta kehormatan. Juga mengetahui segala hukum – hukum yang
berhubungan dengan perbuatan manusia. Dalam hal ini, ketika kita memiliki kemauan untuk
mempelajari ilmu fiqih, kita akan memperoleh setidaknya 7 Manfaat yang besar, yaitu:

1. Memenuhi Perintah Allah dan Rasul-Nya

3
Drs. H. Syafii karim, Fiqih- Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia) h. 55
Allah subhanahu wa Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya telah memerintahkan (baca:
mewajibkan) kita untuk belajar dan terutama mempelajari ilmu-ilmu agama. Ayat yang pertama
kali diperkenalkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu di gua Hira’
jelas-jelas mengindikasikan hal ini. (lihat Surat Al-‘Alaq)
Bacalah. Ketahuilah. Pahamilah. Pelajarilah.
Bahkan dalam banyak kesempatan Rasulullah turut mendoakan beberapa sahabat secara
khusus agar dipahamkan dalam mendalami ilmu agama. Seperti doa beliau terhadap ibnu Abbas;
“Ya Allah pahamkanlah ia dalam agama”. Maka memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya
dengan cara mempelajari ilmu-ilmu agama ini akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi diri kita.

2. Menyelesaikan Persoalan-Persoalan Agama

Seperti yang kita tahu bahwa ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari bagaimana hukum
suatu amalan dengan praktis. Di dalamnya juga ada kaidah-kaidah atau rumus yang telah disusun
oleh ulama-ulama terdahulu untuk memudahkan dalam penentuan hukum dan pencarian
solusinya. Misalnya ada salah satu kaidah fiqhiyah yang berbunyi, “Hukum Asal Dari Ibadah
Adalah Haram”, maka kaidah ini secara langsung telah menjawab pertanyaan tentang ibadah-
ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah. Jadi meskipun amalan tersebut tampak
sebagai suatu amalan ibadah, namun jika tidak ada perintahnya dari Allah maupun rasul-Nya,
maka hukumnya tetap sebagai status awal, yaitu haram untuk dilakukan. Nah, penentuan solusi
seperti ini bisa dilakukan jika kita memahami ilmu-fiqih.

3. Mendapatkan Kebaikan dan Peningkatan Level dari Allah

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim menyebutkan,
“Siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka akan dipahamkan ia di dalam urusan
agama.’’
Jika teorinya dibalik, maka alur teknisnya akan menjadi seperti ini:
Kita berusaha mempelajari ilmu agama, lalu pada akhirnya kita akan memahaminya.
Maka kebaikan dari Allah akan turun kepada kita. Selain itu Allah juga telah menjanjikan bahwa
untuk orang-orang yang memiliki ilmu berada beberapa derajat di atas orang-orang yang tidak
memiliki ilmu. Dan termasuk di dalam kebaikan ini adalah dimudahkan kita menuju surganya.
“Siapa yang meniti jalan di dalam menuntut ilmu agama, maka Allah akan memudahkan
jalannya menuju surga.” (Hadits riwayat imam Muslim).
4. Selamat dari Amalan Yang Sia-Sia

Amalan yang sia-sia berarti amalan tersebut tidak ada nilainya. Dan percuma meski kita
bersusah payah di dalam mengerjakannya. Rasulullah pernah menyatakan bahwa setiap amalan
yang tidak memiliki dasar hukumnya, maka amalan tersebut tertolak dan tidak bisa diterima.
Namun dengan memahami fiqih dan mengetahui dasar hukumnya, maka amalan yang kita
kerjakan menjadi bisa dipertanggung jawabkan.

5. Mencegah Perpecahan Umat

Sebuah perbedaan pendapat pada umat yang besar ini adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan. Perbedaan ijtihad dan cara pengambilan hukum bisa menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam menentukan hukum suatu amalan. Namun jika kita sama-sama memahami alur
di dalam ilmu fiqih ini, maka kita akan saling menghormati pendapat orang lain yang
berseberangan dengan pendapat kita dalam hal Ibadah maupun Muamalah.

6. Menunda Datangnya Kiamat

Meskipun datangnya kiamat tidak bisa diramalkan dan tidak mungkin berubah, namun
dengan banyaknya orang yang paham akan ilmu agama, menjadikan kita sedikit lega bahwa
kiamat kubro belum akan terjadi. Hal ini berdasarkan hadits yang dibawakan oleh imam Muslim,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ ِم ْن أَ ْش َرا ِط السَّا َع ِة أَ ْن يُرْ فَ َع ْال ِع ْل ُم َويَ ْثبُتَ ْال َج ْه ُل‬.
“Di antara tanda-tanda akan terjadinya Kiamat adalah hilangnya ilmu dan merajalelanya
kebodohan….dst”.
(Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath), dan
Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi
Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi).
Maka jika ada diantara keluarga kita yang tidak paham akan ilmu agama, sepatutnya kita
khawatir. Karena bisa jadi tanda-tanda kiamat dimulai dari sana.
7. Menjadi Benteng Dari Pemahaman-Pemahaman Yang Menyimpang

Mereka yang lemah di dalam ilmu agama akan mudah termakan isu dan terprovokasi oleh
gerakan-gerakan dan pemahaman-pemahaman yang mengatas namakan Islam, padahal
sebenarnya bukan. Kita akan menjadi boneka yang mudah disetir karena kita tidak memiliki
pegangan dan patokan di dalam beragama. Maka fiqih yang benar akan menjadikan kita
memiliki prinsip dasar yang kuat sehingga tidak mudah dibodohi oleh kelompok-kelompok yang
ingin menghancurkan Islam. Setelah kita mengetahui manfaat dari belajar ilmu fiqih, maka tentu
sudah tidak ada lagi alasan untuk menunda-nundanya. Di jaman digital seperti saat ini
mempelajari segala sesuatu – seperti halnya ilmu fiqih – sudah tidak sulit lagi.
Sebagaimana dikatakan Wahab Khallaf, tujuan dan manfaat mempelajari fiqh
adalah mengetahui hukum-hukum fiqh atau hukum-hukum syar’i atas perbuatan dan
perkataan manusia.4 Selanjutnya, setelah mengetahui, tujuannya agar hukum fiqh
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada artinya ilmu tentang hukum fiqh yang
tidak dipraktikkan dalam kehidupan. Ini selaras dengan nadlaman kitab Zubad:
‫فعالمبعلمولميعملنمعذبمنقبلعبادالوثن‬
Artinya: Adapun orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya. Maka ia akan diadzab
sebelum para penyembah berhala.5
Jadi maksud akhir yang hendak dicapai dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum syariat
kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun perkataannya. Dengan mempelajarinya
orang akan tahu mana yang diperintah dan mana yang dilarang, mana yang sah dan mana yang
batal, mana yang halal dan mana yang haram, dan lain sebagainya.6

Kajian Fiqih Sosial dan Budaya

ilmu fikih merupakan ilmu yang paling dinamis, karena ia menjadi petunjuk moral bagi
dinamika sosial yang selalu berubah dan kompetitif, ilmu fikih sangat rasional, karena fikih

4
Abd Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada), h. 14.
5
Ibnu Ruslan, Matan Zubad, (Berud: Dar al-Ma’rifah, tt), h4.
6
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar). (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2009) h. 10
merupakan ilmu iktisabi (ilmu yang dihasilkan berdasarkan observasi dan eksperimen), dan ilmu
fikih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi atau biasa disebut dengan amaliyah yang
bersifat praktis sehari-hari (Rofiq, 2004, p. 5).
Karena sifatnya yang reflektif, maka dalam kajiannya ilmu fiqih dibutuhkan kemampuan
kognitif untuk menjabarkan teks-teks agama yang bersifat ‘idealis’ ke dalam realitas sosial yang
empirik, dari dalil-dalil hukum ke dalam peristiwa-peristiwa yang belum ada hukumnya. Di
sinilah letak pentingnya ijtihad. Jadi, ijtihad sebenarnya merupakan proses berpikir filosofis
(mendalam) dalam rangka mendapatkan produk fikih. Menurut para ulama, karena fikih timbul
dari hasil ijtihad, maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk
fikih yang dikenal dengan ushûl al-fiqh dan qawâ’id alfiqhiyyah. Yang pertama dipahami oleh
para yuris Muslim sebagai bangunan prinsip dan metodologi investigatif yang dengannya aturan-
aturan hukum praktis memperoleh sumber-sumber partikularnya. Sedangkan yang kedua lebih
bercorak sebagai pedoman pengambilan hukum-hukum agama secara praktis, yang menentukan
bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang
melatarbelakangi suatu masalah yang tadinya sudah diputuskan telah mengalami perubahan.7
Dengan demikian, produk fikih merupakan sesuatu yang fleksibel dan elastis sehingga
dapat selalu up to date menghadapi perubahan sosial dan budaya masyarakat yang memang
senantiasa mengalami perubahan. Apa yang disebut dengan perubahan sosial dalam istilah
sosiologi, kapan dan di mana pun akan selalu terjadi, di setiap komunitas manusia. Karena
perubahan sosial dan budaya manusia begitu cepat dan melingkupi banyak aspek, maka
metodologi filosofis untuk kajian fikih sosial dan budaya tidak dapat dihindari.
Setidaknya ada tiga pendekatan filosofis terhadap fikih budaya dan sosial. Pertama,
pendekatan historis, yaitu hukum Islam yang sudah dipraktikkan umat Islam dalam sejarah,
bukan sematamata sebagai aturan hukum syariat. Ketika wahyu sudah turun ke bumi, pada saat
yang sama ia telah menjadi sejarah. Artinya, wahyu yang melahirkan aspekaspek normatif dalam
hukum Islam bukan muncul di ruang yang hampa, tapi disekelilingnya sudah ada suasana sejarah
yang melingkupi. Jika logika ini diteruskan, akan diperoleh kesimpulan bahwa historisitas bisa
melampui normativitas, bukan sebaliknya, norma-tivitas melampui historisitas. Pendekatan ini
telah digunakan oleh para Wali Songo ketika mereka menyebarkan Islam, termasuk di dalamnya
hukum Islam, di tanah Jawa. Hanya saja, dalam aplikasi penetapan hukum selama ini lebih
7
Ahmad Baso, “Melawan Tekanan Agama: Wacana Baru Pemikiran Fiqh NU” dalam Jamal D. Rahman (ed.),
Wacana Baru Fiqh Sosial: 7o Tahun Prof. KH.Ali Yafie (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 135.
menekankan pada normativitas melampaui historisitas, dalam artian bahwa realitas historis,
sosial, budaya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan normatif yang terdapat dalam teks Al-
Qur’an dan Hadits. Kalau pun terdapat kebebasan berpikir, kebebasan itu harus tetap tunduk
kepada teks dan tidak bisa melampui teks. Kita sering membaca jargon dalam fikih dan ushûl al-
fiqh bahwa yang harus diutamakan dalam penetapan hukum adalah maqâshid al-syarî·ah, tetapi
dalam praktiknya, perhatian utama dalam penerapan hukum adalah maqâshid al-lughghah. Hal
ini jelas mengabaikan sisi sosial dan budaya sebagai dasar pertimbangan.
Kedua, mempertimbangkan prinsipprinsip hukum Islam yang bersifat absolut dan
universial dalam menetapkan fikih sosial dan budaya. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana
dikemukakan oleh Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qath'î dan menjadi tolok ukur
pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan. 8 Prinsip-prinsip tersebut
diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah: 1) prinsip kebebasan dan
pertanggungjawaban individu (QS. alZalzalah [99]: 7-8); 2) prinsip kesetaraan derajat manusia di
hadapan Allah (QS. alHujurât [49]: 13 ); 3) prinsip keadilan (QS. al-Mâ'idah [5]: 8); 4) prinsip
persamaan manusia di hadapan hukum (QS. alMâ·idah [5]: 8); 5) prinsip tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain (QS. alBaqarah [2]: 279); 6) prinsip kritik dan kontrol sosial (QS. al-'Ashr
[103]: 1-3); 7) prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan (QS. al-Isrâ' [17]: 34);
8) prinsip tolong menolong untuk kebaikan (QS. al-Mâ'idah [5]; 2); 9) prinsip yang kuat
melindungi yang lemah (QS. al-Nisâ' [4]: 75); 10) prinsip musyawarah dalam urusan bersama
(QS. al-Syûrâ [42]: 38); 11) prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga (QS. al-Baqarah [2]:
187); dan 12) prinsip saling memperlakukan dengan ma'rûf antara suami dan istri (QS. al-Nisâ'
[4}: 19).
Ketiga, melakukan pemahaman yang seimbang antara pendekatan tekstual dan
kontekstual. Jika selama ini telah terjadi polarisasi dikotomis dalam memahami hukum Islam,
antara pendekatan tekstual pada satu sisi dan kontekstual pada sisi lain, maka problem tersebut
bisa dipecahkan dengan cara mengadakan penggabungan kedua metode atau perspektif tersebut
dalam satu wacana yang konprehensif dan holistik. Signifikansi dari pendekatan tekstual-
kontekstual ini, menurut Frederick M. Denny, terletak pada upaya yang seimbang antara
pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan

8
Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet. II (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 29-30.
pada sisi lain.9 Pendekatan tekstual menekankan signifikansi teks-teks sebagai fokus kajian
dengan merujuk pada sumber-sumber primer dari ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits.
Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik
secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain dari itu, kajian tekstual
juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainya sebagaimana tertuang dalam karya-karya para
intelektual dan ulama besar umat Islam terdahulu dan kontemporer. Sedangkan pendekatan
kontekstual dilakukan dengan melihat aspek historis, sosial, dan budaya ketika hukum (fikih)
Islam itu ditetapkan. Dengan memahami fikih secara tekstual-kontekstual, maka semua persoalan
sosial dan budaya akan dengan mudah dapat dipepecahkan tanpa adanya benturan ‘kepentingan’
antara teks hukum (Al-Qur’an dan Hadits serta produk-produk fikih) dengan realitas yang terjadi
di masyarakat yang senantiasa berkembang dan berubah dengan cepat.

Penerapan Fiqih Dalam Masyarakat

Masyarakat pada dasarnya berwatak dinamis dan tidak berkarakter statis. Oleh karena itu,
apa yang disebut perubahan sosial (social change), kapan dan di mana pun akan selalu terjadi
dalam setiap kehidupan. Sebagai implikasinya, setiap perubahan sosial baik cepat atau lambat
selalu menuntut perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya
bidang hukum dan perundangundangan yang merupakan salah institusi penting bagi kehidupan
manusia.
Tanpa kecuali, fikih atau hukum-hukum fiqhiyyah perlu bersifat responsif terhadap
perubahan dan perlu mengakomodasikan berbagai perubahan konteks sosial-budaya yang terjadi.
Fikih, yang disebutsebut memiliki daya elastis memberikan ruang gerak yang memadai bagi
kemungkinan terjadinya perubahan hukum dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Ungkapan
berikut mengisyaratkan hal itu: “Berubah dan berbedaannya fatwa itu sejalan dengan perubahan
zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat kebiasaan yang berlaku”.10

9
Frederick M. Denny, “Islamic Ritual, Perspectives and Theories” dalam Richard Martin (Ed.), Approaches to Islam
in Religious Studies (Tucson: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 63-77.
10
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi‘in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Juz 3, hlm. 11.
1. Relevansi Fikih dengan Realitas Sosial

Diakui atau tidak, fikih yang tersedia saat ini mempunyai sejumlah problematika,
antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya pembaharuan sehingga dengan
mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara fikih dengan realitas.11
Sikap akomodatif hukum Islam terhadap perubahan sosial sesuai dengan ungkapan:
(tidak diingkari terjadinya perubahan hukum disebabkan berubahnya waktu dan tempat).
Kaidah ini membawa konsekuensi, suatu kewajaran untuk mengganti hukum Islam
disesuaikan dengan perubahan masa dan pengaruh dari lingkungan masyarakat. Sifat adaptif
ini perlu melekat dalam proses ijtihad hokum Islam karena realita yang ada seringkali
menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum berjalan lebih dinamis
dan lebih cepat daripada perkembangan hokum itu sendiri.12

2. Fikih Sebenarnya Berdimensi Sosial

Fikih Islam adalah fikih yang hidup dan berkembang, yang akan bergumul dengan
persoalan-persoalan kekinian yang senantiasa meminta etik dan paradigma baru. Keluasan
kekayaan fikih adalah salah satu bukti dari ruang gerak dinamis itu.
Ia merupakan implementasi objektif dari doktrin Islam yang meskipun berdiri di atas
kebenaran mutlak dan kokoh, juga memiliki ruang gerak dinamis bagi perkembangan,
pembaharuan dan kehidupan sesuai dengan fleksibilitas ruang dan waktu. Bagi orang yang
mempelajari berbagai ikhtilaf, ketegangan-ketegangan bahkan konflik yang mengiringi
munculnya mazhab-mazhab fikih akan mengetahui bahwa semua itu merujuk pada perbedaan
tempat, waktu, situasi dan sosial budaya di mana hokum itu tumbuh.

3. Prinsip-prinsip Fikih Sosial

Menurut Ibnu Taimiyyah, tujuan utama dan pertama dengan kehadiran syari‘ah ialah
untuk mewujudkan kemaslahatan sesempurna mungkin dan menolak total mafsadah atau

11
Mun‘in A Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar hlm. 3.
12
Subhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri’ fi al- Islam, (Beirut: Dar al-‘Ilmi, 1961),
hlm. 220.
paling tidak menekannya seminimal mungkin. Tujuan utama syari‘ah untuk merealisasikan
kemaslahatan umum (li tahqiq al-masalih al-’ammah) didasarkan pada Q.S al-Anbiya: 107: ,
“Dan Aku tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
alam.”13
Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap syari‘ah memiliki dua tujuan. Pertama,
untuk membangun perilaku setiap individu muslim berdasarkan akidah, syari‘ah, dan akhlak.
Kedua, dapat merealisasikan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati
diri keadilan, persamaan dan kemitraan.14
Mempelajari fiqih berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara
mendalam. Dengan itu kita tahu aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tangung
jawab manusia terhadap tuhannya, hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan
bermasyarakat mengetahui cara bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, warisan
dan lain-lain.
Mempelajari ilmu fiqih juga berguna sebagai patokan untuk brsikap dalam menjalani
hidup dan kehidupan dengan mengetahui figh kita tahu perbuatan wajib, sunnah, mubah,
makruh, haram, sah, batal. Dengan memahami ilmu figh kita brusaha untuk bersikap dan
bertingkah laku menuju pada rizha allah. Oleh karena itu mempelajari ilmu fiqh adalah
fardhu ain bagi setiap umat islam.
Pemahaman tentang penerapan fiqih sebagai suatu sistem hukum yang dapat diterapkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah penting dilakukan kepada masyarakat.
Dewasa ini, ada banyak kesalahpahaman dalam diri masyarakat tentang pengertian fiqih dan
syariat yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Islam yang terdiri atas aqidah, akhlaq
dan syariat sejak awal keberadaanya merupakan agama yang mengajarkan kepada kedamaian
dan keselamatan untuk seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), namun di sebagian
orang beranggapan Islam merupakan agama yang mengajarkan kekerasan, diskriminatif,
ketidakmodernan yang melahirkan asumsi islamo-phobia di beberapa negara, khususnya
negara-negara wilayah barat. Isu syariat sering dijadikan momok yang mengancam suatu

13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Depag RI, 1985),
hlm. 508.
14
Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual, dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 5.
negara berkembang menjadi tidak maju dan tidak modern, hal ini sangatlah tidak dibenarkan
dan tidak berlandaskan pada suatu argumen yang kuat.

Kesimpulan

Fiqih merupakan bentuk hukum syari’at atas perbuatan dan ucapan manusia. Tujuan ilmu fiqh
juga pada dasarnya adalah untuk mencapai ridla Allah swt. karena ilmu fiqh merupakan
kumpulan hukum yang dihasilkan melalui penalaran yang serius oleh para ulama’ dari nilai-
nilai syari’at. Oleh karena itu menjalankan fiqh berarti kita menjalankan syari’at-Nya Harus
diakui bahwa Ilmu fiqh hadir untuk memberikan pencerahan dalam mengatasi problem
kehidupan yang kita hadapi. Kemajuan teknologi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan jelas akan
menjadi tantangan tersendiri, karena itu ilmu fiqh sangat berperan dalam memecahkan problem
yang di hadapi manusia akibat kemajuan tersebut. Karena fiqh itu adalah produk dari
penggalian hukum syari’ah, maka sudah tentu tujuannya adalah selaras dengan tujuan syari’ah.
Ilmu fikih merupakan ilmu yang paling dinamis, karena ia menjadi petunjuk moral bagi
dinamika sosial yang selalu berubah dan kompetitif, ilmu fikih sangat rasional, karena fikih
merupakan ilmu iktisabi (ilmu yang dihasilkan berdasarkan observasi dan eksperimen), dan
ilmu fikih adalah ilmu yang menekankan pada aktualisasi atau biasa disebut dengan amaliyah
yang bersifat praktis sehari-hari.
Masyarakat juga pada dasarnya dinamis dan tidak berkarakter statis. Oleh karena itu, apa
yang disebut perubahan sosial (social change), kapan dan di mana pun akan selalu terjadi dalam
setiap kehidupan. Sebagai implikasinya, setiap perubahan sosial baik cepat atau lambat selalu
menuntut perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya bidang
hukum dan perundangundangan yang merupakan salah institusi penting bagi kehidupan manusia.
Tanpa kecuali, fikih atau hukum-hukum fiqhiyyah perlu bersifat responsif terhadap
perubahan dan perlu mengakomodasikan berbagai perubahan konteks sosial-budaya yang
terjadi. Fikih, yang disebutsebut memiliki daya elastis memberikan ruang gerak yang memadai
bagi kemungkinan terjadinya perubahan hukum dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.
Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu: “Berubah dan berbedaannya fatwa itu sejalan dengan
perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat kebiasaan yang berlaku”.
Daftar Pustaka

Drs. H. Syafii karim. 2001. Fiqih- Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia
Idri. 2012. Pengenalan Metodologi Filosofis Dalam Kajian Fikih Budaya Dan Sosial.
KARSA. Vol. 20 No. 2

Islami, I, Ulfah, N, dan Fadli K. 2018. Penyuluhan Penerapan Ilmu Fiqih Dalam
Hukum Islam Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Nasional Bagi Siswa-Siswi
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Jakarta. Jurnal Bakti Saintek: Jurnal
Pengabdian Masyarakat Bidang Sains dan Teknologi. Vol. 2 No. 1

Prof. Abdul Wahab Khalaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A. 2009. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Yulianto. 2017. Mabadi’ Asyroh Nalar Fikih Sosial Ali Yafie. Shahih. Vol. 2. No 1
Zubaedi. 2006. Membangun Fikih Yang Berorientasi Sosial: Dialektika Fikih Dengan
Realitas Empirik Masyarakat. Al-Jami‘ah, Vol. 44, No. 2

https://ensiklopedifiqih.com/pelajari-fiqih-anda-akan-mendapat-7-manfaat-ini/ (diakses
pada tanggal 16 April 2021)

You might also like