You are on page 1of 68

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

An 8 years old boy came to emergency room with chief complain skin look
yellowish since 4 days ago. Fever since 6 days ago, high, intermittent, no chills, no
sweating, and not accompanied by seizure. Previously, no history of intermittent
fever. Skin look yellowish since 4 days ago, initially in the eyes then spread to all of
the body. Micturition was dark yellow like tea colour since 1 day ago, amount was
normal. He had nausea, no vomiting. Decreased of appetite. He often look tired. No
history of consumption drugs and herb. No history of getting blood transfusion and
injection. He didn’t suffer from jaundice previously. No family members or
neibourhood or classmates suffer from jaundice.

Social economic history: poor hygiene and environment sanitation.

Physical examination: alert, moderately ill. Blood pressure: 90/60 mmHg. Pulse rate:
100x/minute. Temperature: 37,7⁰C. Respiratory rate: 20X/minute. Body weight: 22
kg. Body height: 116 cm. Skin was icteric. Eyes: Conjunctive was not anaemic, sclera
was icteric. Abdomen liver palpable 1/2 – 1/3, sharp edge, flat surface. Spleen was not
palpable. Intestinal sound was normal.

Laboratory findings:

Blood: Haemoglobin: 11g/dl, White Blood Cells: 7300/mm3 , Haematocrit: 38 vol%,


platelet count: 200.000/mm3

Urine: protein (-), glucose (-), leucocyte 0-1, erythrocyte 0-1, bilirubin (++),
urobilinogen (+).

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Demam intermiten: Suhu tubuh turun ke tingkat yang normal selama beberapa
jam dalam satu hari. 
2. Sklera ikterik: Suatu gejala perubahan pada sklera, membran mukosa dan kulit
mejadi kuning sebagai akibat dari kenaikan konsentrasi bilirubin.

1
3. Bilirubin: Suatu pigmen berwarna kuning yang berasal dari perombakan heme
dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel.
4. Jaundice: Kondisi perubahan warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan selaput
lendir, akibat pengendapan jaringan pigmen bilirubin yang meluas.
1.3 Kata Kunci
1. Laki-laki 8 tahun
2. Kulit dan sklera berwarna kekuningan
3. Demam tinggi, intermiten, kejang (-), berkeringat (-), menggigil (-)
4. Urin berwarna kuning gelap seperti teh sejak 1 hari
5. Mual, tidak muntah
6. Nafsu makan menurun
7. Pasien nampak letih
8. Riwayat obat, transfusi, injeksi, dan keluarga dengan penyakit kuning tidak ada
9. Kebersihan dan sanitasi lingkungan buruk
10. Kondisi sadar, sakit sedang
11. Palpasi hati ½ - 1/3, batas tajam, permukaan datar
12. Limpa tidak terpalpasi
13. Bising usus normal
14. Hemoglobin: 11g/dl, leukosit: 7300/mm3 , hematokrit: 38 vol%, trombosit:
200.000/mm3
15. Urin: protein (-), glukosa (-), leukosit 0-1, eritrosit 0-1, bilirubin (++),
urobilinogen (+)
1.4 Rumusan Masalah
Anak laki-laki 8 tahun mengalami ikterus sejak 4 hari yang lalu, demam, dan tidak
nafsu makan serta pada pemeriksaan urine ditemukan urobilinogen dan bilirubin yang
berlebihan.

2
1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis
Anak laki-laki 8 tahun mengalami hepatitis virus akut, namun untuk menegakkan
diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang serologi.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Anatomi dan Fisiologi
a) Hepar
b) Kandung empedu
2. Hepatitis
a) Definisi
b) Epidemiologi
c) Etiologi
d) Patofisiologi
e) Klasifikasi
f) Diagnosis banding
g) Prognosis
h) Komplikasi
i) Edukasi dan pencegahan
3. Ikterus Fisiologi

3
a) Definisi
b) Gejala klinis
c) Klasifikasi
d) Diagnosis
e) Patofisiologi
4. Jelaskan:
a) Koledokotiasis
b) Kolangitis
5. Interpertasi:
a) Hasil pemeriksaan fisik
b) Hasil pemeriksaan laboratorium
6. Pemeriksaan faal hati
7. Hubungan terjadinya demam, lemas, dan penurunan nafsu makan pada pasien
8. Studi kasus higiene dan sanitasi buruk pada kasus
1.8 Data Tambahan
Protein total: 4,9 mg/dl, albumin: 2,7 mg/dl, globulin: 2,2 mg/dl. Bilirubin total 23,66
mg/dl, bilirubin indirect (I): 3 mg/dl, bilirubin direct (II) 20,66. SGOT: 198 mg/dl,
SGPT: 76 mg/dl.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Hepar
A. Anatomi
a) Lapisan Peritoneum Hati
Hati dibungkus oleh suatu kapsul jaringan ikat, yang juluran-julurannya
menginfiltrasi ke dalam hati. Juluran-juluran ke dalam tersebut membawa
pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan saraf di dalamnya. Bagian terbesar
permukaan hati di luar kapsul jaringan ikat dan dilapisi oleh Peritoneum iscerale
yang mengkilat seperti cermin. Hanya area nuda, yang bervariasi, nampak kasar
sebagai zona bebas peritoneum, karena permukaannya dibentuk oleh jaringan ikat
kapsul. Di Area nuda, yaitu di luar pelapis peritoneum, V. hepaticae (biasanya
tiga) meninggalkan hati. Ini merupakan keistimewaan, bila dibandingkan dengan
semua organ intraperitoneal lainnya, yang vena dan arterinya selalu berjalan di
dalam struktur "Meso-". Pada hati, yang berjalan hanya di Mesohepaticum (=
Lig.hepatoduodenale) adalah arteri pemasok dan V.portae hepatis pemasok
beserta Ductus choledochus, sedangkan vena-vena yang mengalirkan darah vena
(drainase) tidak ikut berjalan di dalam struktur "Meso-" itu. Pada peralihan dari
Peritoneum visceral ke parietal di sisi dan terlihat sebagai "ligamen" (Lig.
coronarium). Alas jaringan ikat fibrosa ini berbentuk runcing memanjang pada
pinggir kiri lobus kiri hati (Appendix fibrosa hepatis).1

Gambar 1[1]
Anatomi Hati

5
b) Facies Diaphragmatica dan Facies Visceralis
Dari arah ventral, terdapat dua lobi yang dapat kita kenali, yaitu Lobus
hepatis dexter yang lebih besar dan Lobus hepatis sinister yang lebih kecil.
Antara kedua lobus itu, terdapat Lig.falciforme hepatis, yang bersama dengan
Lig,teres hepatis berfungsi sebagai "Mesohepaticum" ventrale dan berjalan
menuju ke dinding perut depan.

Gambar 2[1]
Facies Diaphragmatica dari Arah Ventral

Sementara itu, jika dilihat dari arah kaudal, terdapat dua dari empat lobus
hati, yaitu Lobus caudatus dan Lobus quadratus hepatis. Facies visceralis juga
mengandung Porta hepatis ("gerbang hati") untuk keluar masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfatik, saluran empedu, dan saraf (Ductus hepaticus
communis, A.hepatica propria, V.portae hepatis). Bedanya, Lig. hepatoduodenale
segera dapat dilihat dengan jelas dari tepi irisan Peritoneum viscerale di sekeliling
trias pembuluh itu. Ligamen itu bersama dengan Lig.hepatogastricum berfungsi
sebagai "Mesohepaticum" dorsale untuk hati dan secara topografis merupakan
komponen Omentum minus. Indentasi organ organ sekitar yang banyak
jumlahnya pada permukaan hati hanya dapat dikenali dengan baik pada organ
yang telah difiksasi secara kimiawi. Kandung empedu dekat sekali menempel
pada Facies visceralis, fundusnya menyembul di pinggir bawah hati, dan lehernya
mengarah kepada Porta hepatis, yang menyambungkan kandung empedu dengan
saluran empedu ekstrahepatis.1

6
Gambar 3[1]
Facies Diaphragmatica dari Arah Kaudal
B. Fisiologi
Hati adalah organ kelenjar terbesar dengan berat kira-kira 1200-1500
gram. Terletak di abdomen kuadran kanan atas menyatu dengan saluran bilier dan
kandung empedu. Hati menerima pendarahan dari sirkulasi sistemik melalui arteri
hepatika danmenampung aliran darah dari sistem porta yang mengandung zat
makanan yang diabsorbsi usus. Secara mikroskopis, hatitersusun oleh banyak
lobulus dengan struktur serupa yang terdiri dari hepatosit, saluran sinusoid yang
dikelilingi oleh endotel vaskuler dan sel kupffer yang merupakan bagian dari
sistem retikuloendotelial.2

Selain itu, hati memiliki peran sangat penting dalam metabolisme glukosa
dan lipid, membantu proses pencernaan,absorbsilemak dan vitamin yang larut
dalam lemak, serta detoksifikasi tubuh terhadap zat toksik.Interpretasi hasil
pemeriksaan uji fungsi hati tidak dapat menggunakan hanya satu parameter tetapi
menggunakan gabungan beberapa hasil pemeriksaan, karena keutuhan sel hati
dipengaruhi juga faktor ekstrahepatik.2

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh; organ ini
dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam sistem
pencernaan adalah sekresi garam empedu, yang membantu pencernaan dan
penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi yang tidak berkaitan
dengan pencernaan, termasuk yang berikut:3

1. Pemrosesan metabolik kategori-kategori utama nutrien (karbohidrat, protein, dan


lemak) setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna.

7
2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormone serta obat dan
senyawa asing lain
3. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah,yang mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kokesterol dalam darah
dan angiotensinogen yang penting dalam SRAA yang mengonservasi garam
4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin
5. Mengaktitkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan ginjal
6. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag residen.
7. Menyekresi hormon trombopoietin (merangsang produksi trombosit), hepsidin
(menghambat penyerapan besi dari usus), faktor pertumbuhan mirip insulin-1
(merangsang pertumbuhan)
8. Memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi
9. Mengekskresi kolesterol dan bilirubin. Bilirubin adalah produk penguraian yang
berasal dari destruksi sel darah merah tua

Meskipun memiliki beragam fungsi kompleks ini, tidak banyak


spesialisasi ditemukan di antara sel-sel hati. Setiap sel hati, atau hepatosit,
melakukan beragam tugas metabolik dan sekretorik yang sama (hepato artinya
"hati"; sit artinya "sel"). Spesialisasi ditimbulkan oleh organel-organel yang
sangat berkembang di dalam setiap hepatosit. Satu-satunya fungsi hati yang tidak
dilakukan oleh hepatosit adalah aktivitas fagosit yang dilaksanakan oleh
makrofag residen yang dikenal sebagai sel Kupffer.3

Untuk melaksanakan beragam tugas ini, susunan anatomik hati


memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari dua
sumber; darah arteri yang datang dari jantung dan darah vena yang datang
langsung dari saluran cerna. Seperti sel lain, hepatosit menerima darah arteri
segar melalui arteri hepatika, yang menyalurkan oksigen dan metabolit-metabolit
darah untuk diproses oleh hati. Darah vena juga masuk ke hati melalui sistem
porta hati, suatu koneksi vaskular unik dan kompleks antara saluran cerna dan
hati. Vena-vena yang mengalir dari saluran cerna tidak langsung menuju ke vena
kava inferior, vena besar yang mengembalikan darah ke jantung. namun, vena-
vena dari lambung dan usus masuk ke vena porta hati, yang membawa produk
yang diserap dari saluran cerna langsung ke hati untuk diproses, disimpan, atau
didetoksifikasi sebelum produk-produk ini memperoleh akses ke sirkulasi umum.

8
Di dalam hati, vena porta kembali bercabang-cabang menjadi anyaman kapiler
(sinusoid hati) untuk memungkinkan terjadinya pertukaran antara darah dan
hepatosit sebelurn darah mengalir ke dalam vena hepatika, yang kemudian
menyatu dengan vena kava inferior.3

Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus,


yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal mengelilingi satu vena sentral dan
dibatasi oleh vaskuler dan saluran empedu. Di setiap enam sudut luar lobulus
terdapat tiga pembuluh: cabang arteri hepatika, cabang vena porta hati, dan
duktus biliaris. Darah dari cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari
perifer lobulus ke ruang kapiler luas yang disebut sinusoid yang berjalan di antara
jeJeran sel hati ke vena sentral seperti jari-jari roda sepeda. Sel Kupffer melapisi
bagian dalam sinusoid serta menelan dan menghancurkan sel darah merah usang
dan bakteri yang melewatinya dalam darah. Hepatosit-hepatosit tersusun antara
sinusoid dalam lempeng-lempeng yang tebalnya dua sel, sehingga masing-masing
tepi lateral menghadap ke kumpulan darah sinusoid. Vena sentral di sernua
lobulus hati menyatu untuk membentuk vena hepatika, yang mengalirkan darah
keluar dari hati. Saluran tipis pengangkut empedu, kanalikulus biliaris, berjalan di
antara sel-sel di dalarn setiap lempeng hati. Hepatosit terus-menerus
mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis ini, yang mengangkut empedu ke
duktus biliaris di tepi lobulus. Duktus-duktus biliaris dari berbagai lobultrs
menyatu untuk akhirnya membentuk duktus biliaris komunis, yang mengangkut
empedu dari hati ke duodenum. Setiap hepatosit berkontak dengan sinusoid di
satu sisi dan kanalikulus biliaris di sisi lain.3

2.1.2 Kandung Empedu


A. Anatomi

Gambar 4[4]
Letak Kandung Empedu dalam Anatomi Hati

9
Kantung empedu adalah kantung kecil di permukaan inferior hati yang
menyimpan empedu. Kandung empedu berbentuk seperti buah pir yang terletak
di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus kanan dan lobus
kiri hati. Panjangnya kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan kapasitas normal sekitar
35-50 ml. Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan
bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan
tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari
kandung empedu.4,5

Terdapat tiga tunik membentuk dinding kandung empedu: (1) mukosa


bagian dalam terlipat menjadi kerut yang memungkinkan kantong empedu
mengembang; (2) muskularis eksterna, yang merupakan lapisan otot polos yang
memungkinkan kandung empedu berkontraksi; dan (3) selubung luar serosa.
Duktus sistikus (cystic duct) menghubungkan kantong empedu ke duktus biliaris
komunis (common bile duct).4

Gambar 5[1]
Anatomi Kandung Empedu

Jika dilihat dari ventral-kaudal di tepi hati sebelah kanan depan didesak ke
atas dan kandung empedu dilepaskan dari tempatnya (Fossa vesica biliaris) dan
ditarik ke kanan. Peritoneum di daerah Porta hepatis dan Lig.hepatoduodenale
dibuka. Supaya terlihat lebih jelas, saraf, lintasan limfatik, dan kelenjar limfe
direseksi (menurut Lanz dan Wachsmut). Sembilan puluh lima persen (95%)
trauma saluran empedu ekstrahepatis terjadi intraoperatif, paling sering pada

10
cholesistektomi. Identifikasi struktur-struktur anatomis secara tepat harus menjadi
pusat perhatian tehnik operasi, terutama pada pengangkatan kandung empedu
secara minimal-invasif (cholesistektomi laparoskopis). Karena itu, hendaknya
segitiga Calot yang terletak di antara A.cystica, Ductus cysticus, dan Ductus
hepaticus communis harus ditampilkan lebih dahulu sebelum memotong
A.cystica dan Ductus cysticus. Untuk keperluan itu, fundus kandung empedu
dipegang dengan klem dan ditarik ke arah kanan atas. Dengan demikian, segitiga
Calot terbuka dan struktur-struktur yang akan dipotong harus dibebaskan melalui
preparasi, diligasi dengan clips.1

Gambar 6[1]
Kandung Empedu dan Duodenum diiris Terbuka

Gambar di atas menunjukkan bahwa permukaan mukosa kandung empedu


berupa lipatan-lipatan yang tersusun menyerupai jala. Di antara lipatan-lipatan
tersebut, mukosa dapat terindentasi menjadi kripta-kripta yang dalam, tempat
bakteria bisa berkembang biak (bahaya radang kandung empedu). Bagian utama
kandung empedu adalah Corpus vesicae biliaris, yang beralih melalui corong
kandung empedu (Infundibulum vesicae biliaris) menjadi leher kandung empedu
(Collum vesicae biliaris). Collum ini bermuara ke dalam saluran kandung empedu
(Ductus cysticus), yang lalu bermuara secara ujung-ke-sisi (end- to-side) ke
dalam Ductus hepaticus communis, yang berasal dari gabungan Ductus hepaticus
dexter dan sinister. Saluran empedu terbesar (hasil pertemuan aliran dari Ductus
cysticus dan Ductus hepaticus communis) kemudian dinamai Ductus
choledochus. Pada duktus ini, seringkali bermuara Ductus pancreaticus, sehingga
kedua saluran mengalirkan sekret pencernaannya melalui Papilla duodeni major
(Papilla Vateri) ke dalam Duodenum. Di sini, selain Papilla duodeni major, masih

11
diperlihatkan Papilla duodeni minor yang terletak di sebelah kranial. Saluran
pankreas yang menuju ke Papilla duodeni minor (Ductus pancreaticus
accessorius) menyilang di depan saluran empedu.1

B. Fisiologi

Sekretin yang dilepaskan dari duodenum merangsang sekresi empedu,


terutama dengan meningkatkan kandungan ion air dan bikarbonat pada empedu.
Kolesistokinin yang dilepaskan dari duodenum menstimulasi kantong empedu
untuk berkontraksi dan sfingter saluran empedu dan ampula hepatopankreas
untuk rileks. Pada tingkat yang lebih rendah, stimulasi parasimpatis melalui saraf
vagus menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Dengan demikian, sejumlah
besar empedu terkonsentrasi bergerak cepat ke dalam duodenum.4

Gambar 7[4]
Kontrol Sekresi dan Pelepasan Empedu

Garam empedu juga meningkatkan sekresi empedu melalui sistem umpan


balik positif. Lebih dari 90% garam empedu diserap kembali di ileum dan dibawa
dalam darah kembali ke hati, di mana garam tersebut berkontribusi untuk sekresi

12
empedu lebih lanjut. Hilangnya garam empedu dalam feses dikurangi dengan
proses daur ulang ini.4

2.2 Hepatitis
2.2.1 Definisi
Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti penggunaan alkohol yang berlebihan, autoimun, obat-
obatan, atau racun. Namun, penyebab hepatitis yang paling sering adalah karena
infeksi virus dan disebut sebagai hepatitis virus. Di Amerika Serikat, jenis virus
hepatitis yang paling umum adalah Hepatitis A, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Jenis
virus hepatitis lainnya adalah hepatitis D dan E dan lebih jarang ditemui.6
2.2.2 Epidemiologi
a) Hepatitis A
Secara historis, jumlah infeksi virus hepatitis A (HAV) akut sangat rendah
di negara-negara berpenghasilan tinggi di mana hampir tidak ada peredaran virus
meskipun proporsi tinggi orang dewasa yang rentan terhadap infeksi dan negara-
negara berpenghasilan rendah di mana kondisi sanitasi yang buruk
mengakibatkan beberapa orang dewasa yang rentan (kebanyakan sudah terinfeksi
sebagai anak-anak ketika gejalanya tidak terlalu parah). Namun, perubahan
demografis mengakibatkan gelombang baru infeksi HAV di mana terjadi
distribusi kekayaan yang tidak merata, migrasi skala besar, globalisasi makanan,
dan urbanisasi / kepadatan penduduk. Meningkatnya populasi tunawisma dan
penggunaan narkoba di negara-negara berpenghasilan tinggi telah memberikan
pengaturan berpenghasilan rendah di negara-negara berpenghasilan tinggi.7
Di negara berkembang di mana HAV masih endemis seperti Afrika,
Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV
hampir mencapai 100% pada anak berusia 10 tahun. Di Indonesia, prevalensi di
Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35%-45% pada usia 5 tahun dan
mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua, pada umur 5 tahun
prevalensi anti HAV mencapai 100%. Di negara maju, prevalensi anti HAV pada
populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada
negara berkembang.8
b) Hepatitis B

13
Diperkirakan terdapat 292 juta orang terinfeksi virus hepatitis B kronis
(HBV), sesuai dengan prevalensi 3,9% pada tahun 2016. Hanya 3,5% dari seluruh
infeksi HBV ada di negara berpenghasilan tinggi dan sisanya di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Faktor risiko terbesar untuk infeksi HBV
kronis adalah penularan perinatal, yang dapat dicegah dengan persalinan dan
vaksinasi 3 dosis, pemberian hepatitis B immunoglobulin (HBIG) pada bayi, dan
pengobatan antivirus pada ibu dengan viral load tinggi. Penularan horizontal
(seksual, paparan darah yang terkontaminasi, penggunaan narkoba suntikan) juga
merupakan faktor risiko, tetapi kebanyakan orang dewasa yang terpajan HBV
menyembuhkan infeksi secara spontan.7
c) Hepatitis C
Survey epidemiologi memperkirakan terdapat 170 juta pengidap HCV
kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara
0,5%-25%. Di Indonesia, prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai
3,37%. Dari pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%,
Surabaya 2,3%, Medan 1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%,
Mataram 0,5%, Manado 0,5%, Makassar 1%, dan Banjarmasin 1%.8
d) Hepatitis D
Virus Hepatitis D (HDV) hanya menginfeksi orang yang sudah terinfeksi
HBV karena virus itu membutuhkan virus HBV untuk replikasi. Diperkirakan
bahwa HDV ditularkan dari ibu ke anak selama persalinan serta melalui kontak
dengan darah dan cairan tubuh. Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang
terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi
HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi tinggi di Amerika
Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan beberapa di Kepulauan
Pasifik.7,8
e) Hepatitis E
Infeksi HEV paling umum terjadi di Asia dan Afrika, di mana akses ke air
bersih dan sanitasi yang layak dapat dibatasi. Hanya sebagian kecil dari mereka
yang terinfeksi infeksi HEV mengalami gejala.7
f) Hepatitis G
HGV adalah virus yang ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada
penderita penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat
secara intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan

14
secara vertikal dari ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal.
HGV tidak mampu menembus plasenta. Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor
dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di negara tropis dan sub-tropis
prevalensi antara 5-10%. Tingginya prevalensi HGV/VGB-C di daerah tropis dan
subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar
penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT serum normal.8

Tabel 1[7]
Epidemiologi Hepatitis Virus

2.2.3 Etiologi
Sering kali, hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D, dan E.
Sementara itu, tidak jelas apakah virus Hepatitis G patogen pada manusia atau
tidak. Hepatitis A, B, C, dan D adalah endemic di Amerika Serikat dengan virus
hepatitis A, B, dan C yang menyebabkan 90% virus hepatitis akut di Amerika Serikat
dan Hepatitis C menjadi penyebab paling umum dari hepatitis kronis.9
a) Hepatitis A
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer
dengan bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk golongan
pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat menimbulkan
hepatitis pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus tidak memiliki
mantel, hanya memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen
virus hepatitis A.10
Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini
disebut viral protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma
sel hati. Virus hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh
dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan
di tinja berasal dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya,

15
melalui sel saluran empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil
dan tidak rusak dengan perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu
60ºC selama ± 1 jam. Stabil pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap
pH asam dan asam empedu memungkinkan VHA melalui lambung dan
dikeluarkan dari tubuh melalui saluran empedu.10
b) Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm
memiliki lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60
sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan diameter 17
– 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan jumlahnya lebih banyak dari
partikel lain. (2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri
dari komponen selubung. (3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari
genom HBV dan berselubung, diameter 42 nm.11
Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1) Surface
antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu
sebelum terjadinya gejala klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan
nukleokapsid virus hepatitis B. (3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat
dengan jumlah partikel virus yang merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B.11
c) Hepatitis C
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal
berselubung glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang
dapat diproduksi secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini
dikarenakan HCV merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada satu
serotipe yang dapat diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang
bervariasi di seluruh dunia, misalnya genotipe 6 banyak ditemukan di Asia
Tenggara.12
Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar
residu 3000 asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiiri atas protein
struktural. Protein selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi dan sisa dua
pertiga dari poliprotein terdiri atas protein nonstruktural (dinamakan NS2, NS3,
NS4A, NS4B, NS5 B) yang terlibat dalam replikasi HCV. Replikasi HCV sangat
melimpah dan diperkirakan seorang penderita dapat menghasilkan 10 trilion virion
perhari.12,13

16
d) Hepatitis D
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang
merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion
VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single stranded
dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein di
kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan small (S)
Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB.
Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen HBsAg. Komponen
HBsAg yang mendominasi adalah small HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi
seperti ini sangat berbeda dengan proporsi yang terdapat pada VHB. Selain
menjadi komponen utama dinding VHD, HBsAg juga diperlukan VHD untuk
transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi virion VHD tetapi
secara langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD.10
e) Hepatitis E
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia
hanya terdiri atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama. Genome
RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein struktural
dan protein non-struktural yang terlibat pada replikasi HEV. Virus dapat menyebar
pada sel embrio diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi pada hepatosit.13
2.2.4 Patofisiologi

Hepatitis virus disebabkan terutama oleh virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C


(VHC), D (VHD) dan E (VHE).14
a) Hepatitis A
VHA sangat kecil, tidak berkapsul, berupa rantai tunggal RNA picorna virus.
Virus ini sampai ke hati dari makanan terkontaminasi yang masuk melalui saluran
cerna, terjadi replikasi di sel hati, kemudian virus akan dikeluarkan melalui empedu
dan tinja. Virus itu sendiri tidak bersifat toksik atau merusak sel hati. Telah diketahui
bahwa kerusakan sel hati yang terinfeksi lebih disebabkan oleh aktivitas sistem imun
yang diperantarai sel T. Antibodi imunoglobulin M (IgM) menyerang VHA yang ada
di dalam darah pada saat timbulnya gejala.Deteksi terhadap antibodi IgM VHA
merupakan alat diagnostik yang terbaik pada penyakit ini. Antibodi IgG bersifat

17
persisten hingga fase penyembuhan dan menjadi pertahanan tubuh primer untuk
terjadinya reinfeksi. Di Amerika Serikat prevalensi individu dengan seropositif
terlihat semakin meningkat sesuai dengan usia, mencapai 40% pada mereka dengan
usia 50 tahun.14
b) Hepatitis B
HBV menginfeksi dan mereplikasi sebagian besar dalam hepatosit (Gbr. 4).
Inisiasi infeksi adalah proses multistep dan melibatkan pengikatan daerah determinan
yang sangat konformasi (a) dari glikoprotein HBsAg ke proteoglikan sulfat heparan
pada permukaan sel; ini adalah reaksi pengikatan afinitas rendah yang dapat dibalik.
Selanjutnya, HBV berinteraksi dengan reseptor mayor spesifiknya, transporter asam
empedu hati sodium taurocholate polipeptida pengangkut bersama (NTCP), dengan
afinitas tinggi melalui protein HBsAg (L) yang besar (dikodekan oleh pre - S1) virus,
memicu virus internalisasi. Daerah interaksi antara NTCP dan protein pra-S1 telah
dipetakan, memungkinkan rancangan obat rasional masa depan untuk memblokir
masuknya virus.15
Setelah masuk, genom rcDNA diangkut ke dalam nukleus dan diubah menjadi
DNA sirkuler tertutup kovalen (cccDNA) menggunakan respons perbaikan DNA sel
inang. Molekul HBV cccDNA berasosiasi dengan histon H3 dan H4 dan protein non-
histon, membentuk minikromosom virus yang khas; status asetilasi histon H3 dan H4
secara langsung mendorong aktivitas transkripsi dari HBV cccDNA, sedangkan
metilasi H4 menekan transkripsi cccDNA. Pregenomic RNA (pgRNA) diekspor dari
nukleus dan membentuk template untuk transkripsi balik dari mana dua untai DNA
HBV terbentuk. PgRNA juga berfungsi sebagai template translasi untuk protein inti
dan polimerase. Kompleks replikasi partikel inti yang mengandung pgRNA dan HBV
polimerase berkumpul di sitosol mengikuti pengikatan polimerase ke struktur 5 loop
batang-lingkaran (ε) di pgRNA. Peristiwa pengikatan menginduksi reaksi
pengemasan, yang menghasilkan pembentukan nukleokapsid imatur di mana terjadi
transkripsi balik pgRNA; genom rcDNA bermerek ganda melingkar dihasilkan setelah
proses multistep kompleks dari lapisan dasar dan pergeseran templat di dalam
nukleokapsid.15
Untuk keluar dari sel, kapsid yang mengandung genom HBV mengikat protein
permukaan HBV di retikulum endoplasma (ER) dan ditranslokasi di UGD sebelum
keluar dari hepatosit melalui jalur sekretori. Sebuah minoritas nukleokapsid (~ 10%)
membungkus genom linier beruntai ganda. Genom HBV linier beruntai ganda adalah
18
prekursor yang efisien untuk integrasi DNA HBV ke dalam genom sel inang.
Produksi DNA linier untai ganda meningkat dengan perkembangan penyakit hati,
termasuk dalam perkembangan HCC34, yang berhubungan dengan integrasi virus
menjadi peristiwa tumorigenik. Karena integrasi DNA HBV biasanya hanya
menyisakan seluruh HBsAg ORF yang utuh, ini memiliki implikasi untuk mencapai
hilangnya HBsAg terapeutik. Ciri khas replikasi HBV adalah sekresi partikel subviral
HBsAg yang sangat berlebih ke dalam darah, terutama dalam bentuk vesikel bola
yang diselimuti 17-25nm. Selain itu, penerjemahan ORF precore dapat
mengakibatkan adanya protein sekretori yang diperlukan untuk pembentukan
kronisitas, antigen hepatitis B e (HBeAg; diproduksi oleh pemrosesan protein
precore), dalam serum selama fase infeksi tertentu.15

Gambar 8[15]
Siklus Replikasi HBV dan Marker Virus
c) Hepatitis C
Perlekatan virus melibatkan dua amplop glikoprotein, E1 dan E2,
apolipoprotein hadir di permukaan lipoviropartikel dan beberapa molekul permukaan
sel (Gbr. 4). Glikosaminoglikan dan reseptor LDL tampaknya terlibat dalam
pengikatan sel awal berafinitas rendah. Kemudian, E1-E2 berinteraksi dengan CD81
dan anggota kelas B reseptor pemulung 1, sedangkan claudin 1, okludin dan mungkin

19
molekul lain, seperti claudin 6 atau claudin 9, reseptor faktor pertumbuhan epidermal
atau reseptor ephrin tipe A2, diperlukan untuk entri sel47. Kompleks multi-reseptor
ini memediasi pengambilan dan menentukan spesifisitas organ dan spesies.
Glikoprotein amplop E2 mengandung daerah hipervariabel yang berperan sebagai
epitop netralisasi imunodominan. Antibodi terhadap daerah hipervariabel dalam
serum pasien bersifat protektif. Namun, variabilitas HCV yang tinggi dengan spesies
semu virus yang berbeda pada pasien yang sama sejauh ini mencegah pengembangan
vaksin profilaksis yang berhasil berdasarkan protein virus ini. Kompleks reseptor-
HCV tampaknya terkait dengan persimpangan yang rapat, yang memungkinkan
transmisi sel-sel langsung. Setelah penempelan, masuknya HCV ke dalam sel
menghasilkan endositosis yang dimediasi klathrin, diikuti oleh fusi antara membran
virus dan endosom, yang mengarah pada pelepasan nukleokapsid ke dalam
sitoplasma. Glikoprotein amplop E1 diyakini sebagai fusogen (glikoprotein yang
memfasilitasi fusi sel).16
Pelepasan nukleokapsid virus membebaskan RNA genom untai positif ke
dalam sitosol, di mana ia berfungsi sebagai mRNA untuk sintesis poliprotein HCV.
Kawasan NKT 5ʹ yang belum diterjemahkan berisi situs entri ribosom internal, yang
mengontrol terjemahan kerangka baca terbuka NKT. Poliprotein prekursor besar yang
dihasilkan diterjemahkan pada membran retikulum endoplasma di mana peristiwa
pemrosesan berlangsung, menghasilkan tiga protein struktural dan tujuh protein non-
struktural. Setidaknya dua peptidase seluler inang (signalase dan signal peptide
peptidase) diperlukan untuk pemrosesan protein struktural HCV, sedangkan dua
peptidase virus (NS2 dan NS3 / 4A) terlibat dalam pemrosesan protein non-struktural
HCV. Protein virus tetap terkait dengan membran intraseluler setelah diproses.16
Replikasi dikatalisis oleh protein NS5B. Protein NS5A dan domain helikase-
NTPase dari NS3 memainkan peran regulasi penting dalam replikasi virus. NS5A
bertindak sebagai dimer dengan saluran dasar yang terlibat dalam pengikatan RNA.
Domain I dan domain II protein NS5A diperlukan untuk replikasi HCV di kompleks
replikasi. Keadaan fosforilasi NS5A memodulasi keseimbangan antara replikasi dan
tahap selanjutnya dari siklus hidup NKT. Helikase NS3 memiliki peran penting dalam
memisahkan untaian RNA yang baru lahir dan templat, melepaskan struktur sekunder
RNA dan menggantikan protein pengikat RNA. NS4B adalah protein membran
integral dengan peran dalam penyusunan ulang membran yang diinduksi oleh protein

20
HCV, yang mengarah pada pembentukan 'jaringan membran' atau kompleks replikasi
yang mendukung dan memisahkan replikasi HCV.16
RNA genom untai positif berfungsi sebagai templat untuk sintesis perantara
replikasi untai negatif. Kemudian, RNA untai negatif berfungsi sebagai templat untuk
menghasilkan banyak untaian polaritas positif yang selanjutnya digunakan untuk
penerjemahan poliprotein, sintesis perantara replikasi atau pengemasan baru menjadi
partikel virus baru. Berbagai faktor inang juga telah terbukti memiliki peran
fungsional penting dalam siklus hidup NKT. Cyclophilin A (juga dikenal sebagai
peptidylprolyl isomerase A) mengikat NS5A dan NS5B, sehingga mendorong
perubahan konformasi yang diperlukan untuk replikasi HCV yang efisien.
MicroRNA122 (miR122), miRNA spesifik hati yang melimpah, mengikat dua situs
yang dilestarikan di tempat masuk ribosom internal, yang diperlukan untuk replikasi
HCV yang efisien dan stabilisasi RNA. Faktor dan jalur inang lain yang terlibat dalam
replikasi HCV, seperti fosfatidylinositol 4kinase IIIα atau jalur biosintesis kolesterol
dan asam lemak. Pembentukan partikel virus diawali oleh interaksi inti dan protein
NS5A dengan RNA genom dalam tetesan lipid sitoplasma. HCV menggunakan jalur
produksi VLDL pada tahap perakitan selanjutnya dan untuk dirilis.16

Gambar 9[16]
Siklus Hidup Virus Hepatitis C
d) Hepatitis D

21
VHD merupakan virus RNA yang unik di mana kemampuan replikasinya tidak
lengkap; VHD dapat menginfeksi manusia hanya apabila virus ini diselubungi oleh
HBsAg, walaupun secara taksonomi berbeda dengan VHB. Penggandaan VHD
secara absolut bergantung adanya koinfeksi dengan VHB. Infeksi hepatitis delta dapat
melalui dua mekanisme (1) koinfeksi akut terjadi setelah terpapar pada serum yang
mengandungi VHB dan VHD; (2) super infeksi terjadi pada individu carrier VHB
kronik yang kemudian terinfeksi oleh VHD. Koinfeksi dapat terjadi ketika VHB
sudah cukup Iama keberadaannya dan telah memproduksi HBsAg dalam jumlah yang
cukup untuk membentuk virion VHD sehingga di dalam darah carrier terdapat VHB
dan VHD, telah diketahui pula bahwa pada sebagian besar penderita koinfeksi dapat
sembuh dan virus dapat tereliminasi dengan sendirinya. Sebaliknya sebagian besar
penderita super infeksi menunjukkan progresifitas yang cepat hingga lanjut menjadi
hepatitis kronik berat dalam waktu 4-7 minggu kemudian.14
2.2.5 Klasifikasi
A. Hepatitis Akut dan Kronik
Hepatitis kronik, didefinisikan sebagai hepatitis yang memperlihatkan tanda
tanda klinis, perubahan biokimia dan bukti serologik yang berkelanjutan atau
hilang timbul selama lebih dari 6 bulan, histologi hati memperlihatkan tanda
inflamasi dan nekrosis. Walaupun sebagian besar penyebab kondisi ini adalah virus
hepatitis, namun masih banyak penyebab lain misalnya reaksi autoimun, obat atau
toksin, penyakit Wilson dan defisiensi α1-Antitripsin (AAT).17
Terminologi hepatitis akut dan kronik dapat membingungkan , sejak
terminologi hepatitis dipergunakan untuk beberapa penyakit hati yang berbeda dan
dengan pola kerusakan hati yang berbeda. Sebagai contoh hepatitis dideskripsikan
sebagai kerusakan sel hati dengan gambaran histologis yang spesifik ditandai
dengan adanya inflamasi, apabila bersifat kronik ditemukan jaringan parut.
Hepatitis akut dan kronik dibedakan atas lamanya penyakit dan pola kerusakan hati
yang ditimbulkannya. Hepatitis virus diklasifikasikan berdasar jenis virus
hepatotropik yang merupakan penyebabnya antara lain hepatitis tipe A, B, C, D
dan E. Dikarenakan semua bentuk hepatitis baik yang penyebabnya virus hepatitis
atau autoimun dan penyakit hati oleh obat atau toksin memperlihatkan pola
kerusakan jaringan hati yang sama, maka pertama-tama yang harus diperhatikan
adalah deskripsi garis besar kerusakan hati yang tampak kemudian dicari korelasi
klinikopatologis yang spesifik untuk masing-masing penyebabnya.17

22
Perbedaan antara hepatitis akut dan kronik didasarkan pada pola kerusakan
jaringan dan berat ringannya radang. Pada hepatitis akut sering memperlihatkan
sedikit reaksi sel-sel radang namun banyak sel hatiyang mati, sedangkan pada
hepatitis kronik yang terjadi adalah kebalikannya.17
B. Hepatitis Virus
a) Hepatitis A
Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal dari empedu yang
dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran empedu
dan dari sel epitel usus. Penularan hepatitis A terjadi secara faecal-oral yaitu
melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh virus hepatitis A. Untuk
kelompok homoseksual amat mungkin cara penularan adalah fecal-anal-oral.
Ditinjau dari kelompok umur, makin bertambah usia making tinggi
kemungkinan sudah memiliki antibody secara alamiah terjadi baik setelah
terinfeksi dengan bergejala maupun yang asimtomatik.10
Hepatitis A merupakan penyakit yang terutama menyerang anak dan
dewasa muda. Pada fase akut hepatitis A umumnya 90% asimtomatik atau
bentuk yang ringan dan hanya sekitar 1% yang timbul ikterus. Pada anak
manifestasinya sering kali asimtomatk dan anikterik.10
Antigen hepatitis A dapat ditemukan dalam sitoplasma sel hati segera
sebelum hepatitis akut timbul. Kemudian, jumlah virus akan menurun setelah
timbul manifestasi klinis, baru kemudian muncul IgM anti HAV spesifik.
Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi karena viremia yang terjadi dalam waktu
sangat pendek dan terjadi pada masa inkubasi. Serngan antigen virus hepatitis A
dapat ditemukan dalam tinja 1 minggu setelah ikterus timbul. Kerusakan sel hati
disebabkan oleh aktifasi sel T limfosit sitolitik terhadap targetnya, yaitu antigen
virus hepatitis A. Pada keadaan ini ditemukan HLA-Restricted Virus specific
cytotoxic CD8+ T Cell di dalam hati pada hepatitis virus A yang akut.
Gambaran histologis dari sel parenkim hati yaitu terdapatnya nekrosis sel hati
berkelompok, dimulai dari senter lobules yang diikuti oleh infiltrasi sel limfosit,
makrofag, sel plasma, eosinofil, dan neutrofil. Ikterus terjadi sebagai akibat
hambatan aliran empedu karena kerusakan sel parenkim hati, terdapat
peningkatan bilirubin direct dan indirect dalam serum. Peningkatan SGPT
memberi petunjuk adanya kerusakan sel parenkim hati lebih spesifik daripada
peningkatan SGOT, karena SGOT juga akan meningkat bila terjadi kerusakan

23
pada myocardium dan sel otot rangka. Juga akan terjadi peningkatan enzim
laktat dehidrogenase (LDH) pada kerusakan sel hati.10
Pada Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan dibantu
dengan sarana penunjang pemeriksaan laboratorium. Anamnesa : gejala
prodromal, riwayat kontak. Pemeriksaan jasmani : warna kuning terlihat lebih
mudah pada sclera, kulit, selaput lendir langit-langit mulut, pada kasus yang
berat (fulminant). Didapatkan mulut yang berbau spesifik (foeter hepaticum).
Pada perabaan hati membengkak, 2 sampai 3 jari di bawah arcus costae,
konsistensi lunak, tepi tajam dan sedikit nyeri tekan. Perkusi pada abdomen
kuadran kanan atas, menimbulkan rasa nyeri dan limpa kadang-kadang
membesar, teraba lunak. Pemeriksaan laboratorium : tes fungsi hati (terdapat
peninggian bilirubin, SGPT dan kadangkadang dapat disertai peninggian GGT,
fosfatase alkali), dan tes serologi anti HAV, yaitu IgM anti HAV yang positif.10

Gambar 10[10]
Skema Gambaran Klinis dan Laboratorium Khas dari Virus Hepatitis A

Pada pemeriksaan laboratorium yaitu dengan timbulnya gejala, maka


anti-HAV akan menjadi positif. IgM anti-HAV adalah subkelas antibody
terhadap HAV. Respons inisial terhadap infeksi HAV hampir seluruhnya adalah
IgM. Antibodi ini akan hilang dalam waktu 3-6 bulan. IgM anti-HAV adalah
spesifik untuk diagnosis dan konfirmasi infeksi hepatitis A akut. Infeksi yang
sudah lalu atau adanya imunitas ditandai dengan adanya anti-HAV total yang
terdiri atas IgG anti-HAV dan IgM antiHAV. Antibodi IgG akan naik dengan
cepat setelah virus dieradikasi lalu akan turun perlahan-lahan setelah beberapa

24
bulan. Petanda anti-HAV berguna bagi penelitian epidemiologis dan status
imunitas.Sementara itu, tidak ada tatalaksana yang khusus untuk HAV.10,18
b) Hepatitis B
Berdasarkan laporan epidemiologi, Hepatitis kurang lebih 400 juta orang
di dunia terinfeksi oleh HBV, dan sekitar 170 juta orang bermukim di Asia
pasifik. Daerah endemik infeksi adalah China, dimana sekitar 93 juta orang
terinfeksi , Indonesia merupakan peringkat ketiga setelah China dan India,
dengan prevalensi 5-17%.19,20

Gambar 11[10]
Persebaran Hepatitis A
Laporan HBsAg positif di Indonesia belum ada, tetapi yang sudah
dilaporkan adalah penelitian di sentral pendidikan. Sebagai contoh adalah
laporan penelitian yang dilakukan di Talang Kabupaten Solok, dari 250 orang
yang diperiksa dengan teknik rapid, ternyata 19,5% adalah HBsAg positif.
Didaerah lain juga dilakukan penelitian, yaitu Pulau air Lombok, didapatkan
10,6% pengidap HBsAg. Walaupun insiden masing-masing daerah berbeda,
insiden pembawa virus di Indonesia cukup tinggi dan diduga mencapai sekitar
1,75 juta orang.19,21
Virus Hepatitis B menyerang sel hati, seperti terlihat pada Gambar 1
diatas. Mekanisme terjadinya hepatitis akut, kronik atau karsinoma
hepatoseluler diawali oleh kerusakan sel hepar. Untuk terjadinya karsinoma
hepatoselular belum diketahui secara pasti, dari beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa faktor penderita (umur, jenis kelamin, faktor genetik,
imunologik) serta respon imun seluler terhadap antigen VHB terlibat dalam
klirens virus dan bertanggung jawab atas terjadinya karsinoma.19,21,22,23

25
Gambar 12[19]
Siklus replikasi Virus Hepatitis B
Virion Virus Hepatitis B berikatan dengan reseptor permukaan dan
masuk kedalam sel hati. Partikel core virus pindah ke nukleus sel hati, genom
keduanya membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA) sebagai
cetakan untuk transkripsi messenger RNA (mRNA), Enzim polimerase VHB
bertindak sebagai enzim reverse transcriptase (RT), untuk mensintesis DNA
virus yang baru. Proses respon imun tubuh dalam mengeliminasi HBV juga
dimediasi oleh interferon gamma (IFN-γ), merupakan protein asam yang labil,
dihasilkan oleh sel T CD4 dan sel tipe lain, seperti natural killer cells, sel T CD8
dan makrofag. Adanya polimorfisme pada IFN-γ, ternyata berhubungan erat
dengan progresifitas penyakit, peningkatan enzim transferase dan viral load
HBV Dewasa ini, terapi terhadap HBV banyak digunakan IFNα, yang
diperkirakan dapat menurunkan replikasi dari HBV. (Tam, 2014), terapi yang
lain ada juga menggunakan varian interferon γ.19,24
Patofisiologi hepatitis B dibagi atas 5 fase, fase pertama adalah imun
toleran, ditandai oleh sistem imun menghambat replikasi VHB, dimana HBV
DNA, HBeAg, dan HBsAg dilepaskan dan dapat dideteksi dalam serum. Kedua
adalah fase imun reaktif, pada fase ini HBeAg positif, kadar alanine transferase
(ALT) meningkat, Anti HBc IgM mulai diproduksi, HBV DNA, HBeAg dan
HBsAg semakin banyak. Fase ketiga adalah replikasi menurun, HBV DNA
rendah, HBeAg negatif, tetapi HBsAg masih ada, fase ini dikenal sebagai
inactive carier state, dimana berisiko (10- 20%) untuk reakktivasi menjadi aktif

26
kembali, fase keempat adalah HBeAg negatif, tetapi pada fase ini, virus yang
mengalami mutasi pada precore, regio promoter core dari genom tetap aktif
melakukan replikasi, sehingga komplikasi/kerusakan hepar terus berlanjut. fase
kelima adalah HBsAg negatif, replikasi virus berhenti, tetapi VHB masih
berisiko ditularkan, karena berada dalam reaktifase.19,20
Orang yang terinfeksi virus hepatitis B lebih dari 65% asymptomatis,
selebihnya berupa gejala ringan menyerupai flu,(demam, lemah pada badan,
mual, muntah, sampai nyeri sendi dan berat badan menurun), Infeksi yang
tersembunyi dari penyakit ini membuat sebagian orang merasa sehat dan tidak
menyadari bahwa mereka terinfeksi dan berpotensi menularkan virus tersebut
kepada orang lain. selanjutnya muncul gejala akut, seperti urin kuning gelap,
feses tidak berwarna, nyeri perut dan kuning19,25
Kemajuan teknologi amplifikasi menggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR), dengan kemudahan yang ditawarkan seperti sensitifitas,
kecepatan dalam menganalisis genom dan rekayasa genetik, kemudahan untuk
mengisolasi gen target, semakin memberikan banyak informasi data sekuen, dan
dapat diperoleh di berbagai database publik, serta dapat diakses oleh setiap
orang yang membutuhkannya secara bebas. Virus Hepatitis B ditemukan dengan
banyak variasi mutasi, adanya mutasi pada gen polymerase ini berpengaruh
terhadap pemberian terapi, sering terjadi resistensi terhadap anti viral yang
diberikan, sehingga kerusakan hepar semakin progresif akibat replikasi virus
yang resisten terhadap obat yang diberikan. Virus Hepatitis B adalah genetik
blueprint dari virus, banyaknya partikel HBV DNA dalam darah
mengindikasikan berapa banyak virus yang diproduksi di hepar.19,26
Pengukuran HBV DNA disebut juga viral load, yang diukur dalam
International Unit per mililiter atau IU/mL. Intrpretasi hasil HBV DNA adalah
kecil dari 300 IU/mL, disebut infeksi inaktif, level moderat adalah 300-
10.000IU/mL, dan lebih dari 100.000 IU/mL, disebut level tinggi.Deteksi HBV
DNA dengan menggunakan PCR dapat dilakukan dengan berbagai macam
sistem, diantaranya dengan memakai darah yang dikeringkan di kertas saring
tanpa memakai darah yang banyak. PCR juga dapat mendeteksi adanya carier
HBV, dapat juga dengan memakai primer yang berbeda-beda.19,27

c) Hepatitis C

27
Infeksi hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang
merupakan RNA beruntai tunggal dari genus Hepacivirus dalam family
Flaviviridae. HCV memiliki diameter 30- 60nm dan panjang genom 10kb yang
terdiri dari 3011 asam amino dengan 9033 nukleotida. Sruktur genom HCV
terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang memberi kode pada polipeptida
yang termasuk komponen struktural terdiri dari nukleokapsid (inti/core),
envelope (E1 dan E2), serta bagian non struktural (NS) yang dibagi menjadi
NS2, NS3, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b. Pada kedua ujung terdapat daerah
non coding (NC) yang pendek yaitu daerah 51 dan 31 terminal yang sangat stabil
dan berperan dalam replikasi serta translasi RNA.28,29,30

Gambar 13[28]
Genom Virus Hepatitis C
Nukleokapsid digunakan untuk deteksi antibodi dalam serum pasien.
Karakteristik HCV yang paling penting adalah adanya variasi sekuens
nukleotida, Genetik HCV yang heterogen secara garis besar dibagi menjadi
genotip dan quasispesies. Telah diidentifikasi 6 genotip HCV dengan beberapa
subtype yang diberi kode dengan huruf. Genotip yang paling sering ditemukan
adalah genotip 1a, 1b, 2a, dan 2b. genotip 1,2, dan 3 dengan subtipenya masing-
masing merupakan genotip yang tersebar diseluruh dunia, genotip 4 dan 5 di
Afrika, dan genotip 6 terutama di Asia. Genotip 3a lebih banyak terjadi pada
pemakaian obat terlarang intravena. Quasispesies menunjukkan heterogenisitas
populasi HCV pada seseorang yang terinfeksi HCV, yang terjadi akibat sifat
HCV yang mudah mengadakan mutasi.28
HCV dapat ditularkan melalui beberapa cara seperti parenteral, kontak
familial, transmisi seksual, dan transmisi vertikal. Penularan utama HCV ialah
melalui jalur parenteral. Penyebab 80% pasien dengan hepatitis kronik paska
transfusi adalah hepatitis C. Penularan juga dapat melalui pasien yang
mengalami hemodialisis atau transplantasi organ. Pada anak penularan secara

28
vertikal dapat terjadi dari ibu kepada anak yang dikandungnya walaupun jarang
dan sampai saat ini masih belum jelas mekanismenya. Risiko transmisi vertikal
tersebut berhubungan dengan tingginya titer RNA HCV pada ibu, genotip HCV,
dan adanya HIV. Penularan melalui ASI sangat jarang terjadi.28,30,31
Infeksi kronis dari HCV tergantung dari infeksi non sitopatik terhadap
sel hati dan respon imunologis dari pejamu. Limfosit T dan sitokin yang
berperan sebagai imunomodulator diperkirakan merupakan respon pejamu yang
penting terhadap HCV. Sitokin berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh
dengan cara membatasi replikasi virus. Hepatitis C lebih resisten terhadap efek
hambatan sitokin tersebut sehingga peran sitokin lainnya lebih nyata
menyebabkan kerusakan hati. 28,32,33
Pada kasus akut masa inkubasi sekitar 7 minggu yaitu antara 2-30
minggu. Anak atau dewasa yang terkena infeksi biasanya tidak menunjukkan
gejala dan apabila ada gejalanya tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah,
anoreksia, dan penurunan berat badan, sehingga dikatakan diagnosis akut ini
sangat jarang. Perubahan histologi pada biopsi hati relatif ringan. Pasien
hepatitis C akut yang sembuh, RNA HCV tidak ditemukan lagi dalam beberapa
minggu dan nilai ALT akan kembali normal. Sekitar 85% pasien hepatitis C
akut akan berkembang menjadi kronis. Sebagian besar penderita tidak sadar
terhadap penyakitnya selain gejala yang minimal dan tidak spesifik seperti lelah,
mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatal, dan penurunan berat
badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala ekstrahepatik yang dapat
mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Pada
kebanyakan kasus hepatitis C gejala klinis akan hilang tetapi RNA HCV tetap
positif dan nilai ALT tetap tinggi atau berfluktuasi.28,34

29
Gambar 14[28]
Serologi pada hepatitis c akut dan kronik
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam
2 atau 3 dekade. Prevalensi terjadinya bervariasi antara 20-30% bahkan ada
yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai timbulnya
komplikasi akibat sirosis. Risiko terjadinya karsinoma hepatoselular pada
penderita sirosis karena hepatitis C kronik diperkirakan sekitar 1-4%.
Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma
hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. 8,28
Pemeriksaan serologi digunakan untuk menemukan antibodi terhadap
antigen HCV dengan menggunakan cara ELISA (enzyme linked immunosorbant
assay) dan RIBA (recombinant immunoblot assay). Selain itu, Amplifikasi
deretan asam nuleotida HCV dengan cara PCR merupakan cara untuk
mendeteksi adanya virus. PCR dapat mendeteksi adanya RNA HCV pada 1-3
minggu setelah inokulasi virus, merupakan baku emas untuk diagnosis HCV.
Hilangnya RNA HCV dari serum berhubungan dengan sembuhnya penyakit,
sedangkan adanya viremia yang persisten menunjukkan perjalanan penyakit
yang kronik.28,29
Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan
infeksi HCV akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa
laporan tetapi tidak berskala besar, bukan penelitian multisenter, dan bukan uji
klinis. Dari laporan tersebut didapatkan sustained virologic response berkisar
33%- 45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon orang dewasa.
Kemungkinan penyebabnya adalah penyakit masih pada stadium awal, tidak ada

30
faktor yang memperberat penyakit, dan dosis interferon relatif lebih tinggi. Atau
mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan bukan uji
klinis sehingga terjadi artefak statistik. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga
kali dalam seminggu. Dosis ribavirin adalah 8,12, atau 15 mg/kg BB perhari.
Pada penderita hepatitis C kronis yang mengalami koinfeksi dengan HIV,
konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung lebih
progresif, maka pemberian pegylated interferon bersama ribavirin diharapkan
dapat memberikan hasil yang lebih baik.8,18
d) Hepatitis D
Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan resiko infeksi HBV
(koinfeksi atau superinfeksi). Tranmisi virus ini mirip dengan HBV yaitu
melalui darah, permukosal, perkutan parenteral, seksual dan perinatal walaupun
jarang. Pada saat terjadi superinfeksi, titer VHD serum akan mencapai puncak,
sekitar 2-5 minggu setelah inokulasi, dan akan menurun setelah 1-2 minggu
kemudian.35

Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang


merupakan virus unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion
VHD hanya berukuran kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single
stranded dan kira-kira 60 kopi antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis
protein di kode oleh VHD. Antigen Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan
small (S) Virion VHD mempunyai kapsul terdiri atas protein yang dihasilkan
oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid dan seluruh komponen
HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small HBsAg kira-kira
sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan proporsi yang
terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding VHD, HBsAg
juga diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan
melindungi virion VHD tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi
VHD.35
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar.
Masih diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung
terhadap hepatosit. Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi
pertumuhan sel, karena replikasu VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel
inang. Diduga kerusakan hepatosit pada hepatitis D akut terjadi akibat jumlah

31
HDAg-S yang berlebihan di dalam hepatosit. VHB juga berperan penting
sebagai kofaktor yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit yang lebih
lanjut.36

Infeksi VHD hanya terjadi bila bersama-sama denagn infeksi VHB.


Gambaran klinis secara umum dapat dibagi menjadi: koinfeksi, superinfeksi dan
laten. Disebut koinfeksi bila infeksi VHD terjadi bersama-sama secara simultan
dengan VHB, sedangkan superinfeksi bila infeksi VHD terjadi pada pasien
infeksi kronik VHB. Koinfeksi akan dapat menimbulkan baik hepatitis akut B
maupun hepatitis akut D. Sebagian besar koinfeksi VHB dan VHD akan sembuh
spontan. Kemungkinan menjadi hepatitis kronik D kurang dari 5%. Masa
inkubasi hepatitis akut D sekitar 3-7 minggu. Keluhan pada masa preikterik
biasanya merasa lemah, tak suka makan, mual, keluhan-keluhan seperti flu. Fase
ikterus ditandai dengan feses pucat, urine berwarna gelap dan bilirubin serum
meningkat. Keluhan kelemahan umum dan mual dapat bertahan lama bahkan
pada fase penyembuhan. Superinfeksi VHD pada hepatitis kronik B biasanya
akan menimbulkan hepatitis akut berat, dengan masa inkubasi pendek, dan kira-
kira 80% pasien akan berlanjut menjadi hepatitis kronik D. Hepatitis kronik D
akibat superinfeksi biasanya berat, progresif, dan sering berlanjut menjadi
sirosis hati.10

Penegagakan diagnosis bisa secara serologis:37

1) Infeksi melalui darah.


2) Pasien HBsAg positif dengan:
i. Anti HDV dan atau anti HDV RNA sirkulasi (pemeriksaan belum
mendapat persetujuan)
ii. IgM anti HDV dapat muncul sementara.
3) Koinfeksi HBV/HDV
i. HBsAg positif
ii. IgM anti HBc positif o Anti HDV dan atau HDV RNA
4) Superinfeksi
i. HBsAg positif
ii. IgG anti HBc positif
iii. Anti HDV dan atau HDV RNA

32
5) Titer anti HDV akan menurun sampai tak terdeteksi dengan adanya
perbaikan infeksi.

Tata laksana:37

1) Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan
menyebabkan dehidrasi.
2) Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat dan tidak ada
rekomendasi diet khusus. Bisa makan pagi dengan porsi yang cukup besar
merupakan makanan yang paling baik ditoleransi. Hal penting lainnya
menghindari konsumsi alcohol selama fase akut
3) Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari
4) Pembatasan aktivitas sehari-hari tergantung dari derajat kelelahan dan
malaise.
5) Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis D. Kortikosteroid tidak
bermanfaat.
6) Obat-obat tidak perlu harus dihentikan
e) Hepatitis E
Tanda dan gejala khas HEV adalah, ikterus, anoreksia, sakit perut,
demam, mual, muntah, dan pembesaran hati. Jarang, hepatitis E akut dapat
menyebabkan hepatitis fulminan dan gagal hati akut dan akhirnya kematian.
Hepatitis fulminan lebih sering terjadi selama kehamilan, terutama selama
trimester ketiga.38
Diagnosis hepatitis E pada pemeriksaan serologis dengan metode ELISA
seperti anti-HEV, IgG dan IgM anti-HEV dan PCR serum dan kotoran untuk
mendeteksi HEV-RNA serta immunofluorescent terhadap antigen HEV di
serum dan sel hati.36

33
Tabel 2[17]
Jenis Virus, Bentuk, dan Cara Infeksinya
C. Hepatitis Autoimun
Hepatitis autoimun adalah penyakit hati kronik yang menunjukkan
gambaran histologis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus kronik.
Perjalanan penyakit ini dapat terlihat tenang namun bisa juga berat dan biasanya
merespons secara dramatis terhadap terapi imunosupresif. Gambaran khasnya
adalah:[17]
• Didominasi oleh wanita (70%)
• Tidak adanya bukti serologis infeksi virus
• Peningkatan serum Ig-G (kadarnya lebih besar dari 2,5 g/dL)
• Titer autoantibodi tinggi pada 80% kasus
• Keberadaannya bersama-sama dengan penyakit autoimun lain mencapai 60%
dari pasien, penyakit autoimun lain yang dapatterjadi bersama-sama, antara lain
artritis reumatoid, tiroiditis, sindrom Sjogren, dan kolitis ulseratif.

Hepatitis autoimun dapat dibagi dalam beberapa subtipe berdasarkan


autoantibodi yang dihasilkan, akan tetapi kepentingan klasifikasi ini dalam
penatalaksanaan klinis tidak jelas. Pada kebanyakan pasien ditemukan antibodi
antinukleus/antinuclear antibodies (ANA) yang beredar, antiantibodi otot polos
/anti smooth muscle antibodies (ASMA), antibodi microsomal liver/kidney, dan
atau anti-soluble liver/ pancreas antigen. Antibodi ini dapat dideteksi dengan
imunofIuoresensi atau tes immunosorhent enzim-linked. Diyakini efektor utama
kerusakan seI pada hepatitis autoimun adalah sel T helper CD4 +. Hepatitis
autoimun dapat bermanifestasi klinis ringan sampai hepatitis kronik yang parah.
Respons terhadap terapi imunosupresif biasanya dramatis, meskipun demikian

34
remisi penuh penyakit ini tidak dimungkinkan. Berisiko menjadi sirosis dan
sebagai penyebab kematian berkisar 5%.[17]

2.2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding hepatitis A, yaitu ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut,
dan sirosis hepatis. Sedangkan diagnosis banding hepatitis B, yaitu perlemakan hati,
penyakit hati oleh karena obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis alkoholik,
obstruksi akut traktus biliaris.[39]
Seringkali yang membawa pasien hepatitis ke perhatian medis adalah ikterus
klinis, yang merupakan hiperbilirubinemia yang bereaksi campuran atau terkonjugasi
(langsung). Infeksi simtomatik menyebabkan kulit ikterik dan selaput lendir. Hati
biasanya membesar dan lembut saat palpasi dan perkusi. Bisa ada splenomegali dan
limfadenopati. Gejala ekstrahepatik lebih mudah terlihat pada infeksi HBV dan HCV
(ruam, artritis). Tanda-tanda klinis dari sensorium yang berubah dan hyperreflexivity
harus dicari dengan hati-hati, karena mereka menandai onset ensefalopati dan ALF.
Diagnosis banding bervariasi dengan usia presentasi. Pada periode bayi baru lahir,
infeksi adalah penyebab umum hiperbilirubinemia terkonjugasi; penyebab infeksi
adalah agen bakteri (Escherichia coli, Listeria, Syphilis) atau salah satu dari virus
nonhepatotropik (HSV, enteroviruses, CMV). Penyebab metabolik dan anatomi
(tirosinemia, atresia bilier, bentuk genetik kolestasis intrahepatik, dan kista
koledochal) harus selalu disingkirkan. Di masa kanak-kanak nanti, obstruksi
ekstrahepatik (batu empedu, kolangitis sklerosis primer, patologi pankreas), kondisi
inflamasi (hepatitis autoimun, rheumatoid arthritis, penyakit Kawasaki, disregulasi
imun), gangguan infiltratif (keganasan), toksin dan obat-obatan, gangguan
metabolisme (penyakit Wilson, fibrosis kistik), dan infeksi (EBV, varicella, malaria,
leptospirosis, sifilis) harus disingkirkan.40
2.2.7 Prognosis
Prognosis hepatitis A baik dan pasien dapat sembuh sempurna. Kurang dari
0,4% dari kasus yang dilaporkan di AS bersifat fatal. Angka kematian akibat hepatitis
fulminan berkisar antara 0,1%-0,2%. Kematian dikaitkan dengan umur penderita arau
apabila ada penyakit hepatitis kronik lain terutama hepatitis kronik C. Pada hepatitis B
akut, sekitar 95–99% pasien akan sembuh sempurna. Pasien yang lanjut usia dan
disertai dengan kelainan medis lain dapat mengalami penyakit yang berkelanjutan dan
dapat menderita hepatitis berat. Prognosis buruk tampak jika pada penderita

35
ditemukan asites, edema perifer, dan ensefelopati hepatik. Tambahan lainnya, Waktu
protrombin yang memanjang, kadar albumin serum yang rendah, hipoglikemia, dan
tingginya kadar bilirubin serum mengnandakan penyakit hepatoseluler yang berat.
Pasien dengan tanda klinis dan hasil laboratorium seperti ini perlu mendapatkan
tindakan medis yang segera. Angka kematian pada hepatitis A dan B sangat rendah
( sekitar 0.1%) tapi meningkat sebanding dengan peningkatan usia dan penyakit medis
lain yang menyertai. Pada pasien dengan hepatitis B yang dirawat di rumah sakit,
angka kematiannya 1%. Hepatitis C pada fase akut tampak lebih ringan dibandingkan
dengan hepatitis B dan lebih sering anikterik. Kematian jarang terjadi, meskipuin
prosentase tingkat kematian tidak diketahui secara pasti. Pada wabah hepatitis A
karena pencemaran air di India dan Asia, angka kematian sekitar 1–2% dan meningkat
menjadi 10–20% pada wanita hamil. Pasien yang terinfeksi hepatitis B akut dan
hepatitis D menurut penelitian tidak memiliki angka kematian yang lebih tinggi
dibandingkan pasien yang hanya terinfeksi hepatitis B akut saja; namun pada wabah
yang terjadi diantara pengguna narkoba suntikan (IDU), dimana terjadi infeksi HBV
dan HDV secara simultan, angka kematian telah meningkat menjadi sekitar 5%. Pada
pasien hepatitis B kronis dengan superinfeksi HDV, terjadi peningkatan pada
kemungkinan terjadinya hepatitis fulminan dan kematian. Meskipun angka kematian
hepatitis D secara pasti belum diketahui, pada karier hepatitis B, superinfeksi HVD
telah meningkatkan angka kematian lebih dari 20%.41
2.2.8 Komplikasi
A. Hepatitis Virus
Komplikasi virus hepatitis termasuk infeksi kronis dengan hepatitis aktif
kronis, nekrosis hati akut atau subakut, sirosis, gagal hati, karsinoma
hepatoseluler pada pasien dengan infeksi hepatitis B atau C. Penderita infeksi
hepatitis B berisiko tinggi mengalami infeksi kronis. Selain itu, pasien juga
berisiko tinggi mengembangkan karsinoma hepatoseluler, yang bertanggung
jawab atas 45% kanker hati primer di seluruh dunia. Sekitar 1% pasien juga dapat
mengembangkan gagal hati fulminan, dan angka kematian sekitar 80% pada
pasien tersebut.9
Sekitar 75 hingga 85% pasien yang terinfeksi hepatitis C akhirnya
mengembangkan infeksi kronis dan sekitar 20% dari pasien tersebut akhirnya
mengembangkan sirosis dan akhirnya karsinoma hepatoseluler.Sirosis yang
berkembang dari infeksi hepatitis C adalah penyebab utama transplantasi hati di

36
Amerika Serikat. Sirosis sendiri dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antara
lain ensefalopati hepatik, hipertensi portal, asites, peritonitis bakterial spontan,
perdarahan varises, sindroma hepatorenal, dll.9
Penderita infeksi hepatitis C kronis juga berisiko tinggi mengalami
komplikasi ekstrahepatik termasuk krioglobulinemia yang dapat berujung pada
ruam, vaskulitis, dan glomerulonefritis sekunder akibat pengendapan kompleks
imun di pembuluh kecil, limfoma non-Hodgkin, sialadenitis limfositik fokal,
tiroiditis autoimun, porfiria cutanea tarda, lichen planus, dll. Peritonitis bakterial
spontan, perdarahan varises, sindroma hepatorenal, dll. Pasien yang mengalami
infeksi hepatitis C kronis juga berisiko tinggi mengalami komplikasi
ekstrahepatik termasuk krioglobulinemia yang dapat menyebabkan ruam,
vaskulitis, dan glomerulonefritis sekunder akibat pengendapan kompleks imun di
pembuluh kecil, limfoma non-Hodgkin, sialadenitis limfositik fokal, tiroiditis
autoimun, porphyria cutanea tarda, lichen planus, dll.9
B. Hepatitis Autoimun
Komplikasi hepatitis autoimun mirip dengan komplikasi hepatitis virus,
atau pasien dapat mengembangkan penyakit hati stadium akhir dengan sirosis,
yang dapat menyebabkan komplikasi seperti asites, ensefalopati hepatik,
koagulopati, perdarahan varises, hipertensi portal, dan malnutrisi
parah. Karsinoma hepatoseluler dapat terjadi tetapi tidak sesering yang terlihat
pada pasien dengan infeksi hepatitis B atau C. Beberapa pasien dapat
mengembangkan sirosis bilier primer dan akhirnya berkembang menjadi
karsinoma hepatoseluler.9
C. Pengobatan Komplikasi Hepatitis
Pasien yang mengalami sirosis dan komplikasinya berkali-kali
memerlukan pemantauan ketat dengan rawat inap dan perawatan darurat. Pasien
dengan perdarahan varises memerlukan resusitasi segera, perlindungan jalan
napas, endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi pita pada varises. Banyak pasien
membutuhkan pemberian somatostatin atau octreotide. Pasien dengan
ensefalopati hepatik biasanya diberikan rifaximin atau laktulosa sebagai pasien
rawat jalan dan memerlukan pemantauan ketat. Memburuknya ensefalopati
melibatkan rawat inap. Pasien-pasien ini biasanya dijaga dengan diet rendah
protein.9

37
Pasien dengan koagulopati berat memerlukan pemberian vitamin K dan
transfusi trombosit jika perlu. Pasien dengan asites diobati dengan diuretik,
kontrol asupan garam makanan,dan mungkin perlu sering paracentesis dengan
penggunaan albumin intravena intermiten. Beberapa pasien mengalami peritonitis
bakterial spontan dan membutuhkan antibiotik. Sebagian besar pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit yang sering karena komplikasi sirosis, dan
kualitas hidup mereka berubah secara signifikan. Pasien yang mengembangkan
karsinoma hepatoseluler mungkin memerlukan kemoterapi, terapi radiasi, dan
transplantasi hati.9
2.2.9 Edukasi dan Pencegahan
Edukasi pasien adalah kunci untuk mencegah dan mengendalikan hepatitis,
terutama hepatitis virus dan alkohol. Pasien yang memiliki virus hepatitis harus
mendapatkan pendidikan tentang pentingnya tindak lanjut rutin dan pentingnya
memantau perkembangan penyakit dan perkembangan komplikasi. Mereka harus
belajar tentang pentingnya kebersihan pribadi, termasuk sering mencuci tangan.
Orang yang bepergian ke daerah endemik harus dinasehati untuk tidak minum air
yang tidak diolah atau menelan kerang atau makanan laut mentah, dan buah-buahan
dan benar-benar harus selalu dimakan setelah dimasak atau setelah dikupas. Pasien
yang menderita hepatitis A sebaiknya tidak menangani makanan untuk orang lain
sampai mereka berhenti menularkan virus. Pasien harus menerima instruksi untuk
tidak membagikan artikel apa pun, termasuk sikat gigi, pisau cukur, atau jarum yang
berpotensi terkontaminasi dengan air liur, air mani, atau darah. Semua pasien harus
menghindari penggunaan agen hepatotoksik, termasuk alkohol dan asetaminofen.
Pasien yang mengalami perkembangan penyakit dengan penyakit hati harus segera
dirujuk ke ahli gastroenterologi atau ahli hepatologi. Pasien dengan gambaran
kerusakan hati yang meliputi fibrosis hati, sirosis, karsinoma hepatoseluler, dan
gambaran hipertensi portal harus dipantau dengan laboratorium rutin.9

Semua wanita hamil harus menjalani skrining untuk infeksi hepatitis B dan
infeksi HIV. Jika hasilnya positif infeksi hepatitis B, ibu dan bayi baru lahir harus
ditangani dengan tepat. Neonatus yang lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B harus
diberikan vaksinasi hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir untuk mencegah
penularan virus. Terkadang ibu perlu dirawat secara aktif selama kehamilan, juga
tergantung pada viral load dan status HIV-nya.9

38
Petugas kesehatan harus mempertahankan praktik pengendalian infeksi yang
ketat, dan mereka yang berisiko tertular infeksi virus hepatitis C harus diberikan
pendidikan kesehatan, pengujian, dan pengobatan yang sesuai sesuai kebutuhan.
Penyedia layanan kesehatan harus dapat mengidentifikasi individu yang berisiko dan
menguji mereka untuk infeksi hepatitis C. Orang-orang ini termasuk orang yang
memiliki riwayat penggunaan narkoba suntikan, orang yang terinfeksi HIV, orang
dengan pajanan melalui darah terhadap virus hepatitis C, dan petugas layanan
kesehatan tertentu.9

Pasien dengan hepatitis autoimun harus diuji untuk penyakit autoimun lainnya
dan harus dirujuk pada awal penyakitnya ke ahli gastroenterologi atau ahli hepatologi.
Rujukan ke spesialis lain seperti endokrinologi atau reumatologi diperlukan jika
dokter menemukan bukti gangguan autoimun lain selama pemeriksaan. Pasien harus
mendapat nasihat tentang pentingnya efek samping pengobatan, termasuk
kortikosteroid, karena banyak dari mereka memerlukan pengobatan jangka panjang.9

Pasien yang berisiko mengembangkan hepatitis alkoholik atau yang sudah


memiliki hepatitis alkoholik harus dididik tentang tidak sama sekali dari alkohol dan
tentang konsekuensi kesehatan yang serius dari penggunaan alkohol yang
berkelanjutan. Pasien harus dirujuk ke program rehabilitasi dan harus didorong untuk
hadir secara teratur.9

A. Hepatitis A
Upaya preventif umum ini mencakup upaya perbaikan sanitasi yang tampak
sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini memberikan
dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif dalam memotong
rantai penularan hepatitis A.42
Pencegahan secara khusus dengan imunisasi. Cara pemberian imunisasi
yaitu secara pasif dan aktif. Imunitas secara pasif diperoleh dengan memberikan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh
atau baru saja mendapat vaksin. Kekebalan ini tidak akan berlangsung lama karena
akan dimetabolisme oleh tubuh. Pencegahan ini dapat digunakan segera pada
mereka yang telah terpapar kontak atau sebelum kontak (pada wisatawan yang
ingin pergi ke daerah endemis). Pemberian dengan menggunakan HB-Ig (Human
Normal Imunoglobulin), dosis yang dianjurkan adalah 0,02 mL/kg BB, diberikan

39
dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu setelah kontak, dan berlaku untuk
2 bulan. United States Public Health Advisory Committee menganjurkan bagi
mereka yang melakukan kunjungan singkat kurang dari 2 bulan, dosis HB-Ig 0,02
mL/kg BB, sedangkan bagi mereka yang berpergian lebih lama dari 4 bulan,
diberikan dosis 0,08 mL/kg BB Bagi mereka yang sering berpegian ke daerah
endemis, dianjurkan untuk memeriksakan total anti-HAV. Jika hasil laboratorium
yang didapat positif, tidak perlu lagi pemberian imunoglobulin, dan tentu saja bila
hasil laboratorium negatif sebaiknya diberikan imunisasi aktif sehingga kekebalan
yang akan didapat tentu akan lebih bertahan lama.42
B. Hepatitis B
Pencegahan umum hepatitis B berupa uji tapis donor darah dengan uji
diagnosis yang sensitif, sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis
digunakan secara individual, dan untuk pasien dengan HVB disediakan mesin
tersendiri. Jarum disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum.
Pencegahan untuk tenaga medis yaitu senantiasa menggunakan sarung tangan.
Dilakukan penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara
bergantian, perilaku seksual yang aman. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari
pemakaian alat yang dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), dan berhati-hati
dalam menangani luka terbuka. Melakukan skrining ibu hamil pada awal dan pada
trimester ketiga kehamilan, terutama ibu yang berisiko tinggi terinfeksi HVB. Ibu
hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir, bayi diimunisasi
aktif dan pasif terhada HVB. Melakukan skrining pada populasi risiko tinggi
tertular HVB (lahir di daerah hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan
seks berganti-ganti, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga dari pasien HVB kronis,
dan yang berkontak seksual dengan pasien HVB).11

Imunisasi untuk HVB dapat aktif dan pasif. Untuk imunisasi pasif
digunakan hepatitis B immuneglobulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara
cepat untuk jangka waktu terbatas yaitu 3-6 bulan. Pada orang dewasa HBIg
diberikan dalam waktu 48 jam setelah terpapar VHB.11

Imunisasi aktif diberikan terutama kepada bayi baru lahir dalam waktu 12
jam pertama. Vaksinasi juga diberikan pada semua bayi dan anak, remaja, yang
belum pernah imunisasi (catch up immunization), individu yang berisiko terpapar
VHB berdasarkan profesi kerja yang bersangkutan, orang dewasa yang berisiko

40
tertular VHB, tenaga medis dan staf lembaga cacat mental, pasien hemodialisis
(imunisasi diberikan sebelum terapi dialisis dimulai), pasien yang membutuhkan
transfusi atau produk darah secara rutin, pada penyalahgunaan obat, pada
homoseksual dan biseksual, pekerja seks komersial, orang yang terjangkit penyakit
akibat seks (STD), heteroseksual dengan pasangan berganti-ganti, kontak serumah
dan kontak seksual dengan pengidap HVB, populasi dari daerah dengan insidensi
tinggi VHB, calon transplantasi hati. Untuk mencapai tingkat serokonversi yang
tinggi dan konsentrasi anti-HBs protektif (10 mIU/ml), imunisasi diberikan 3 kali
dengan jadwal 0, 1, 6 bulan.43

C. Hepatitis C
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HVC. Usaha-usaha yang
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi yaitu melakukan skriningdan
pemeriksaan terhadap darah dan organ donor, mengiaktivasi virus dari plasma dan
produk-produk plasma, mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk
mengontrol infeksi dalam setting pekerja kesehatan, termasuk prosedur sterilisasi
yang benar terhada alat medis dan dentis, dan mempromosikan perubahan tingkah
laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan unutk mengurangi penggunaan
berlebihan obat-obat suntik dan penggunan cara penyuntikan yang aman, serta
konseling untuk menurunkan risiko pada IDU dan praktek seksual.43
D. Hepatitis D
Pencegahan terhadap HVD hanya efektif terhadap mereka yang masih
mungkin dicegah dari infeksi HVB, artinya yang dapat dicegah hanya koinfeksi
HVD dan HVB, sedangkan untuk mencegah superinfeksi hingga saat ini belum
ditemukan cara yang efektif. Saat ini masih dilakukan penelitian terhadap vaksinasi
dengan HDAg-S.43
E. Hepatitis E
Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien hepatitis E dapat
bersifat proteksi, akan tetapi efektifitas dari immunoglobulin yang mengandung
anti HEV masih belum jelas. Pengembangan immunoglobulin titer tinggi sedang
dilakukan. Vaksin HEV sedang dalam penelitian klinis pada daerah endemik.43
F. Hepatitis G
Pasien penerima transplantasi atau sering mendapatkan transfusi, pengguna
narkoba suntikan, pasien hemodialisis, dan laki-laki yang berhubungan seks

41
dengan laki-laki merupakan kelompok yang berisiko lebih tinggi. Namun, saat ini
tidak tersedia vaksin untuk hepatitis G.9
2.3 Ikterus Fisiologi
2.3.1 Definisi
Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan
sklera berwarna kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan
membrana mukosa, karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga
hiperbilirubinemia. Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin
dalam darah pada bayi atau anak >5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup bulan
dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar
bayi, kondisi ini merupakan suatu hal yang fisiologis.44

2.3.2 Gejala Klinis


Ikterus dapat ada pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat selama
masa neonatus, bergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya
mulai dari muka dan ketika kadar serum bertambah, turun ke abdomen dan kemudian
kaki. Bayi baru lahir akan tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira kira 6
mg/dl6 . Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada
BBL menurut kramer adalah ”dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang, hidung, dada, lutut.45

Tabel 3[45]

Penilaian Ikterus Menurut Kramer

42
Contoh 1: kulit bayi kuning di kepala, leher, dan badan bagian atas berarti
bilirubin kira-kira 9 mg/dl. Contoh 2: kulit bayi kuning seluruh badan sampai kaki dan
tangan, berarti jumlah bilirubin ≥ 15 mg/dl7.45
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat
pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai
ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi. Bilirubin merupakan
zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang memungkinkan darah
mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (sel darah merah) yang
dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan). Proses pemecahan
tersebut menghasilkan hemoglobin menjadi zat heme dan globin.45
Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas
atau indirect. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun, sulit larut dalam
air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin
indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi
baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas
tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses
pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar. Ikterus akibat pengendapan bilirubin
indirek, pada kulit cenderung tampak kuning-terang atau oranye, ikterus pada tipe
obstruktif (bilirubin indirek) kulit tampak kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini
biasanya hanya terlihat pada ikterus yang berat. Bayi dapat menjadi lesu dan nafsu
makan jelek. Tanda-tanda kern ikterus jarang muncul pada hari pertama ikterus.45

Ciri dari Ikterus Fisiologi adalah Warna kuning akan timbul pada hari ke-2
atau ke-3, dan tampak jelas pada hari ke 5-6, dan menghilang pada hari ke-10. 2) Bayi
tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa. 3) Kadar blirubin serum pada bayi
cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada
hari ke-14.45

2.3.3 Klasifikasi
Adapun ikterus dibagi menjadi 3 tipe yaitu ikterus fisiologis, ikterus patologis,
dan kren icterus.
1. Ikterus fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan

43
yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8
mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari
diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada
bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi
selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.46
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan bertahan
lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan fototerapi
pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran
fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin.46
2. Ikterus patologis
Ikterusi ini mempunyai dasar patologis dan kadar bilirubinnya mencapai nilai
hiperbilirubinemia. Dasar patologis ini misalnya jenis bilirubin saat timbulnya dan
menghilangnya ikterus dan penyebabnya. Ikterus yang kemungkinan menjadi
patologik atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia ialah:47
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan
12,5% pada neonatus cukup bulan
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis)
5) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 2000 gram yang
disebabkan karena usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan
pada remaja, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, syndrome
gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas darah.
3. Kren Ikterus
Kren mengacu pada ensefalopati bilirubin yang berasal dari deposit. Ensefalopati
bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa
cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Kren ikterus bisa terjadi pada bayi tertentu tanpa
disertai jaundis klinis, tetapi umumnya berhubungan langsung pada kadar bilirubin
total dalam serum.47,48

44
2.3.4 Diagnosis

Investigasi penyakit kuning pada bayi atau anak yang lebih tua harus
mencakup penentuan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi dan terkonjugasi.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat menunjukkan peningkatan produksi,
hemolisis, penurunan pengeluaran hati, atau perubahan metabolisme bilirubin.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi mencerminkan penurunan ekskresi oleh sel parenkim
hati yang rusak atau penyakit saluran empedu, yang mungkin disebabkan oleh
obstruksi, sepsis, toksin, peradangan, dan penyakit genetik atau metabolik.49

The North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and


Nutrition telah menerbitkan algoritme untuk evaluasi penyakit kuning kolestatik pada
neonatus dan bayi muda. Bayi yang tampak baik dapat mengalami penyakit kuning
kolestatik. Atresia bilier dan hepatitis neonatal adalah penyebab tersering kolestasis
pada awal masa bayi. Atresia bilier menandakan prognosis yang buruk kecuali
teridentifikasi lebih awal. Hasil terbaik untuk gangguan ini adalah dengan
rekonstruksi bedah dini (usia 45-60 hari). Riwayat, pemeriksaan fisik, dan deteksi
hiperbilirubinemia terkonjugasi melalui pemeriksaan bilirubin total dan langsung
adalah langkah pertama dalam mengevaluasi bayi ikterus. Konsultasi dengan ahli
gastroenterologi pediatrik harus dilakukan sejak awal selama evaluasi.49

Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan di mana bilirubin serum


meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; Kadar bilirubin serum
lebih besar dari 12 mg/dI pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi
preterm; Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau;
Bilirubin dirck lebih besar dari I mg/dl.Kemungkinan patologis perlu dicari
penyebabnya, untuk membedakan diagnosis ikterus tergantung dari timbulnya
kapan.50

1. Ikterus yang timbul pada 24 jan pertama: Penyebab ikterus yang terjadi pada 24
jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain; Infeksi intrauterin (oleh
virus, toksoplasma, l ues dan kadang-kadang bakteri); Kadang- kadang oleh
defisiensi G-6-PD. Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Kadar bilirubin serum
berkala; Darah tepi lengkap; Golongan darah ibu dan bay;; Vji coombs;

45
Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsy hepar
bila perlu.50
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir ikterus timbul biasanya ikterus
fisiologis; Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga jika peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg)o/24 jam; Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
Polisitemia; hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain); Hipoksia; Sferositosis, eliptositosis
dan lain-lain; Dehidrasi asidosis; Defisiensi enzim eritrosit lainnya. Pemeriksaan
yang perlu dilakukan: Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat,
dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan peny aring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.50
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
lkterus ini timbul biasanya karena infeksi (sepsis); Dehidrasi asidosis; Difisiensi
enzim G-6-PD; Pengaruh obat; Sindrom Criggler-Najjar; Sindrom Gilbert.50
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya Ikterus ini timbul
karena obstruksi, Hipotiroidisme, "breast milk jaundice", Infeksi, Neonatal
hepatitis, Galaktosemia, Lain-lain. Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala, pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan penyaring G-6- PD, biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi,
pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengankemungkinan penyebab, dapat
diamnbil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah
observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan
tidak mempunyai potensi berkembang menjadi 'kernicterus'.50

2.3.5 Patofisiologi

Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dl. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari
ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan
penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dl selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-
14 mg/dl) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam 2-4 minggu, bahkan
mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga

46
akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu
juga dengan penurunannya, jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan
sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dl tanpa
disertai dengan kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat
kurang dari 2 mg/dl dan berkisar dari 1,4 sampai 1,9 mg/dl.51

Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme
heme-haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan
34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari
pelepasan hemoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum
tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase,
peroksidase) dan heme bebas.51

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan


orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi
baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn
over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat
(sirkulasi enterohepatik).51

Sementara untuk kondisi di mana terjadi ikterus non patologis dapat terjadi
lewat salah satu dari keempat mekanisme ini : over produksi, penurunan ambilan
hepatik, penurunan konjugasi hepatik, dan penurunan eksresi bilirubin ke dalam
empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik.50

1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah
tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati)
atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin tak
terkonjugasi meningkat dalam darah. Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut
dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi
bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan

47
peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus
hemolitik : Hemoglobin abnormal (cickle sel anemia hemoglobin), Kelainan
eritrosit (sferositosis heriditer), Antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi),
Obat-obatan.50
2. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari
albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti
asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.50
3. Penurunan konjugasi hepatik
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase.
Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler
Najjar II.50
4. Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau
obstruksi mekanik ekstrahepatik)

Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik


dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan
menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga
timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan: reaksi
obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hati oleh alkohol. ikterus pada trimester
terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, Ikterus
pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang
alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah: sumbatan batu
empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma
ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi.50

2.4 Jelaskan
2.4.1 Koledokolitiasis

Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan


suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Pada umumnya
komposisi utama batu adalah kolesterol. Letak batu di saluran empedu yaitu di :

48
saluran empedu utama atau di duktus choledochus (choledocholithiasis), di saluran
sistikus (sistikolitiasis) jarang sekali ditemukan dan biasanya bersamaan dengan batu
di dalam kandung empedu, dan di saluran empedu intrahepatal (intrahepatolitiasis)
atau hepatolitiasis.52,53
Di negara Asia prevalensi koledokolitiasis berkisar antara 3% sampai 10 %.
Berdasarkan data terakhir prevalensi koledokolitiasis di Negara Jepang 3,2%, China
10,7%, India Utara 7,1%, dan Taiwan 5,0%. Angka kejadian koledokolitiasis di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara. Di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2010-2011 didapatkan 101 kasus
kolelitiasai/koledokolitiasis yang dirawat.54,55
Penyebab koledokoliasis/kolelitiasis dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
Terdapat peningkatan kejadian yang progresif berhubungan dengan peningkatan usia
seseorang, dimana usia 40 tahun ke atas lebih beresiko dibanding usia dibawah 40
tahun sedangkan jenis kelamin perempuan lebih rentan dari pada pria yang
dipengaruhi oleh hormon endogen. Selain umur dan jenis kelamin, angka kejadian
koledokoliasis/kolelitiasis juga dipengaruhi oleh obesitas, kehamilan, intoleransi
glukosa, resistensi insulin diabetes mellitus, hipergliseridemia, pola diet, penyakit
kronis, dan faktor lainya.17,56
Koledokoliasis/kolelitiasis umumnya terjadi dikandung empedu, tetapi dapat
juga di saluran empedu ketika batu di kandung empedu bermigrasi, dan disebut
saluran empedu sekunder. Pasien yang memiliki batu di kandung empedu juga
memiliki tau disaluran empedu yaitu sekitar 10%-15%. Batu disaluran empedu dapat
juga terbentuk tanpa melibatkan kandung empedu, disebut batu saluran empedu
primer. Sebagian besar penyakit ini tidak bergejala hanya sedikit pasien yang
mengeluhkan nyeri dan nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri kolik.53

Pasien sering mengalami sakit perut bagian kanan dan mungkin mengalami
kekuningan pada kulit atau mata (ikterus). Pasien juga mungkin mengalami kotoran
berwarna tanah liat dan urin berwarna gelap. Jika batu tersangkut di saluran empedu
sedemikian rupa sehingga enzim dari pankreas juga tidak dapat mengalir ke usus
kecil, dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu, yang dapat menyebabkan nyeri
perut bagian kanan, tengah, dan kiri; mual; dan muntah. Jika kandung empedu
meradang, dapat menyebabkan acutecholecystitis. Jika ada infeksi saluran yang dilalui
empedu, itu menyebabkan kolangitis. Keduanya dapat menyebabkan sakit perut

49
sebelah kanan, mual, muntah, dan demam. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan
riwayat pasien, pemeriksaan fisik, tes darah, dan pencitraan abdomen (ultrasound dan
magnetic resonance imaging).57
Batu yang tersumbat biasanya menyebabkan nyeri, mual, dan muntah.
Kurangnya rasa sakit dengan adanya penyakit kuning dan tes hati yang abnormal
harus meningkatkan kekhawatiran untuk proses penyakit lain seperti hepatitis atau,
lebih jarang, saluran empedu atau kanker pankreas. 57
Tatalaksana koledokoliasis/kolelitiasis dapat berupa terapi non bedah dan
bedah. Dapat berupa lisis batu yaitu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik, dan
pengeluaran secara endoskopik dan kolesistektomi. Salah satu penanganan pada
pasien dengan permasalahan koledokoliasis /kolelitiasis adalah dengan kolesistektomi
ialah jenis operasi terbuka dan laparaskopi ialah operasi yang tidak memerlukan
sayatan yang besar dan dapat mempercepat penyembuhan dan hari rawatan, namun
pada pasien dengan koledokoliasis/kolelitiasis kolesistektomi bukanlah terapi
definitif.58,59

2.4.2 Kolangitis

Kolangitis akut, juga dikenal sebagai kolangitis asendens, adalah kondisi yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada pohon
bilier.  Koledocholitiasis adalah penyebab tersering, dengan batu penyebab infeksi di
saluran empedu yang menyebabkan obstruksi parsial atau lengkap dari sistem
empedu.  Diagnosis dibuat dengan presentasi klinis, hasil laboratorium yang
abnormal, dan studi pencitraan yang menunjukkan adanya infeksi dan obstruksi
bilier.60

Terapi medis awal bergantung pada resusitasi cairan dini dan cakupan
antibiotik yang sesuai. Keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan syok
septik. Bergantung pada jalur dan tingkat keparahan, prosedur drainase bilier dapat
dilakukan dengan bantuan sumber daya endoskopi dan bedah.  Kolangitis akut adalah
kondisi yang bisa disembuhkan jika ditangani dengan tepat. Namun, mortalitas bisa
cukup tinggi jika ada penundaan pengobatan yang signifikan. Ada berbagai jenis
kolangitis, termasuk kolangitis bilier primer, kolangitis autoimun terkait IgG4, dan
kolangitis sklerosis primer.60

50
2.5 Interpretasi
2.5.1 Hasil Pemeriksaan Fisik
 Tanda-Tanda Vital
Suhu normal (di dalam mulut) berkisar dari 36,6 ° C hingga 37,2 ° C (98 ° F
hingga 99 ° F). Suhu rektal biasanya lebih tinggi dan suhu ketiak dan timpani lebih
rendah dari suhu mulut.61

Tabel 4[61]
Rata-rata Temperatur Normal

Tabel 5[61]

Klasifikasi Demam

Pada anak-anak, kecepatan denyut nadi normal adalah 60-95 beats/min. Untuk
anak-anak, laju pernapasan normal adalah 14-22 breaths/min. Pada orang dewasa,
tekanan darah normal nilai sistolik 90-130 mm Hg dan nilai diastolik60-90 mm Hg.
Berdasrkan kasus pasien di peimcu didapatkan bahwa untuk tekanan darah, laju
pernapasan dan denyut nadi dalam batas normal. Sedangkan untuk suhu tubuh sudah
memasuki kategori demam.62
 Kulit Kuning dan Sklera Ikterik

51
Ketika kadar bilirubin serum naik menjadi sekitar dua kali batas atas normal,
bilirubin disimpan di jaringan tubuh. Hal ini kemudian menyebabkan perubahan
warna kuning pada kulit (penyakit kuning) dan, lebih dramatis, perubahan warna pada
sklera. Istilah umum ikterus skleral menyesatkan, karena bilirubin sebenarnya
disimpan di konjungtiva vaskular daripada sklera avaskular. Sklera (konjungtiva)
jarang dipengaruhi oleh perubahan pigmen lainnya. Faktanya, penyakit kuning adalah
satu-satunya kondisi yang menyebabkan sklera kuning. Penyebab lain dari perubahan
warna kuning pada kulit, tetapi di mana sklera tetap normal, adalah karotenaemia
(biasanya karena konsumsi karoten yang berlebihan, seringkali dari makan wortel
atau mangga secara berlebihan), acriflavine, fluoresceina dan konsumsi asam pikrat.61

Penyakit kuning mungkin disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan,


biasanya akibat kerusakan sel darah merah yang berlebihan (disebut anemia
hemolitik), bila penyakit ini dapat menghasilkan perubahan warna skleral kuning-
lemon pucat. Selain itu, penyakit kuning mungkin disebabkan oleh penyumbatan
aliran empedu dari hati, yang, jika parah, menghasilkan warna kuning tua atau oranye.
Tanda goresan mungkin menonjol karena rasa gatal yang terkait (pruritus). Penyebab
utama penyakit kuning lainnya adalah kegagalan hepatoseluler. Penyakit Gilbert juga
merupakan penyebab umum penyakit kuning. Ini menyebabkan sedikit peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi dan disebabkan oleh kekurangan enzim yang diturunkan
yang membatasi konjugasi bilirubin; ini memiliki prognosis jinak.61

 IMT
Pada kasus didapatkan berat badan 22 kg dan tinggi badan 116 cm. Jika
dilakukan perhitungan IMT didapatkan 16,35. Berdasarkan standar menteri kesehatan
pasien dalam staus gizi normal.
 Pemeriksaan Abdomen
Dalam keadaan normal pada anak Indonesia, hati masih dapat teraba sampai
berukuran 1/3 –1/3 dengan tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata dan tidak
terdapat nyeri tekan. Pembesaran hati diproyeksikan pada kedua garis ini dan
dinyatakan dengan berapa bagian dari kedua garis tersebut (misalnya 1/3-1/2) atau
dinyatakan dalam cm, dan akan lebih jelas apabila digambar secara skematis. Pada
anak didapatkan palpasi 1/2-1/3 livernya sehingga dapat disimpulkan bahwa anak
tersebut mengalami hepatomegali. 63
2.5.2 Hasil Laboratorium

52
A. Darah
 Hemoglobin
Nilai normal hemoglobin pria menurut Kementerian Kesehatan adalah 13 - 18
g/dL dengan standar internasional unit 8,1 - 11,2 mmol/L, sementara nilai normal
hemoglobin wanita menurut Kementrian Kesehatan adalah 12 - 16 g/dL dengan
standar internasional unit 7,4 – 9,9 mmol/L. Kadar hemoglobin pada pasien dalam
pemicu adalah 11g/dL. Hal menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pasien berada di
bawah kadar normal yang sudah ditetapkan oleh oleh Kementrian Kesehatan.
Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan
zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan dan
kehamilan.64
 Leukosit
Nilai normal leukosit menurut Kementerian Kesehatan adalah 3200 –
10.000/mm3 dengan standar internasional unit yaitu 3,2 – 10,0 x 109/L. Sementara
kadar leukosit pada pasien dalam pemicu adalah 7.300 mm3. Hal ini menunjukkan
bahwa kadar leukosit pasien berada dalam batas normal yang sudah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan.64
 Trombosit
Nilai normal trombosit menurut Kementrian Kesehatan adalah 170 – 380.
103/mm3 dengan standar internasional unit 170 – 380. 10 9/L. Sementara kadar
trombosit pada pasien dalam pemicu adalah 200.000/ ɥL. Hal ini menunjukkan bahwa
kadar trombosit pasien masih dalam kadar normal yang sudah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan.64
 Hematokrit
Nilai normal hematokrit pria menurut Kementerian Kesehatan adalah 40-50%,
sementara nilai normal hematokrit wanita menurut Kementrian Kesehatan adalah 35-
45%. Kadar hemoglobin pada pasien dalam pemicu adalah 38%. Hal menunjukkan
bahwa kadar hematokrit pasien berada di bawah kadar normal yang sudah ditetapkan
oleh oleh Kementrian Kesehatan di mana hal ini sejalan dengan kadar hemoglobin
pasien yang mengalami penurunan. Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia
(karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah
dan hipertiroid.64
B. Urinalisis

53
UA dapat digunakan untuk evaluasi gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi
hati, gangguan hematologi, infeksi saluran kemih dan diabetes mellitus. Urinalisis
dapat dilakukan sewaktu atau pada pagi hari. Kadar normal hasil urinalisis dapat
dilihat dalam tabel berikut.64

Tabel 6[64]
Parameter dan Nilai Normal Pemeriksaan Urinalisis

Hasil pemeriksaan urin pada pasien dalam pemicu menunjukkan protein (-),
glukosa (-). Tidak adanya kandungan protein menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami disebabkan multiple mieloma dan adanya protein Bence-Jones yang
mengindikasikan adanya suatu kelainan pada ginjal pasien. Sedangkan tidak adanya
glukosa dalam urin menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami glukosuria yang
mengindikasikan adanya penyakit diabetes.64
Sementara itu, nilai normal pemeriksaan sedimen pada urinalisis adalah
sebagai berikut.64

Tabel 7[64]
Nilai Normal Sedimen Urin

Hasil pemeriksaan pada pasien yakni kadar leukosit 0-1, eritrosit 0-1. Hal ini
termasuk dalam batas normal di mana mengindikasikan tidak adanya acute
pyelonephritis atau interstitial nephritis yang ditandai dengan peningkatan pada white

54
cell cast. Selain itu, kadar eritrosit dalam urin yang normal juga tidak
mengindikasikan adanya glomerulonefritis pada pasien.64
C. Uji Fungsi Sekresi
Salah satu fungsi hati utama adalah melakukan ekskresi bilirubin, fungsi hati
ini dapat terganggu apabila ada kerusakan fungsi hati. Gangguan ekskresi bilirubin ini
menyebabkan peningkatan atau penurunan kadar bilirubin serum. Salah satu penyebab
utama peningkatan bilirubin adalah virus hepatitis, virus hepatitis yang berada di
dalam hati menyebabkan kerusakan fungsi hati. Apabila kadar bilirubin dalam darah
meningkat dapat mengakibatkan peradangan atau kelainan lainnya dalam hati yang
mengganggu proses pembuangannya ke dalam empedu, penyumbatan saluran empedu
di luar hati oleh batu empedu atau tumor dan pemecahan sejumlah sel darah merah,
seperti yang kadang terjadi pada bayi baru lahir yang mengalami sakit kuning
(Penyakit Kuning).65
Kadar bilirubin total normal adalah ≤ 1,4 mg/dL sementara kadar bilirubin
langsung normal adalah ≤ 0,40 mg/dL. Sementara pada hasil pasien menunjukkan +2
di mana hal ini menunjukkan kadar bilirubin total pada pasien yakni ≥3 mg/dL.
Sementara itu, hasil pemeriksaan urobilinogen pasien yang (+) menunjukkan bahwa
pada urin pasien terdapat zat urobilinogen. Kadar urobilinogen normal berkisar antara
kisaran normal, yaitu 0,1-1,0 E.U./dL.66
D. Data Tambahan
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh
hati.Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi, hormon,
asam lemak, dan zat sampah dari tubuh.Apabila terdapat gangguan fungsi sintesis sel
hati maka kadar albumin serum akan menurun (hipoalbumin) terutama apabila terjadi
lesi sel hati yang luas dan kronik. Albumin memiliki rentang nilai normal yang besar
yaitu 3,5-5,3 g/dl sehingga penurunan ringan tidak terlalu terlihat. Pada pasien terlihat
mengalami penurunan kadar albumin serum.2
Globulin merupakan unsur dari protein tubuh yang terdiri dari globulin alpha,
beta, dan gama. Globulin berfungsi sebagai pengangkut beberapa hormon, lipid,
logam, dan antibodi. Pada sirosis, sel hati mengalami kerusakan arsitektur hati,
penimbunan jaringan ikat, dan terdapat nodul pada jaringan hati, dapat dijumpai rasio
albumin : globulin terbalik. Nilai rujukan untuk globulin normal adalah 2,8-3,2 g/dl.
Peningkatan konsentrasi protein total dan globulin diikuti dengan penurunan
konsentrasi albumin. Kadar globulin meningkat pada infeksi kronis, penyakit hati

55
(sirosis bilier, ikterus obstruktif), rheumatoid arthritis, leukemia, lupis, dan disfungsi
ginjal. Kadar globulin dapat menurun pada kasus anemia hemolitik akut. Pada pasien
terlihat kadar globulin menurun yang dapat diindikasikan akibat anemia hemolitik
akut.2
Pengukuran konsentrasi protein total dari serum merupakan pemeriksaan
laboratorium yang sangat penting dan ikut memberikan gambaran tentang keadaan
kesehatan umum seseorang. Pemeriksaan ini digunakan untuk pemantauan risiko
penyakit hati dan ginjal. Sampel yang digunakan pada pemeriksaan protein total,
albumin dan globulin biasanya adalah serum darah. Penurunan kadar protein total
dapat terjadi pada seseorang dengan keadaan malnutrisi, kelaparan, penyakit hepar
berat, kanker saluran gastrointestinal, gagal ginjal dan luka bakar berat. Peningkatan
kadar protein total bisa dikarenakan dehidrasi, muntah, diare, multiple myeloma,
sarkoidosis dan sindrom distres pernapasan. Dari tabel dibawah terlihat bahwa protein
total pasien mengalami penurunan.67

Tabel 8[2]

Nilai Normal Protein Total

Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah merah
oleh sel retikuloendotel. Akumulasi bilirubin berlebihandi kulit, sklera, dan membran
mukosa menyebabkan warna kuning yang disebut ikterus. Kadar bilirubin lebih dari 3
mg/dL biasanya baru dapat menyebabkan ikterus. Ikterus mengindikasikan gangguan
metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati, penyakit bilier, atau gabungan
ketiganya. Nilai normal bilirubin indirek adalah 0,3 - 1,1 mg/dL, sementara bilirubin
direk 0,1 - 0,4 mg/dL. Terlihat bilirubin direk dan indirek pasien meningkat.2

Pemeriksaan SGOT/SGPT adalah pemeriksaan untuk melihat adanya


kerusakan organ hati. Salah satu pemeriksaan biokimia hati yang biasanya digunakan
adalah pemeriksaan enzim golongan alanin aminotransferase (ALT) atau sering

56
disebut glutamate pyruvate transaminase. Jika terjadi kerusakan hati, enzim ALT
akan keluar dari sel hati menuju sirkulasi darah. Kadar normal ALT darah 5-35 U/L.
Aspartate aminotransferase or serum glutamic oxaloacetate transaminase (SGOT)
adalah enzim hepar yang membantu produksi protein. Enzim ini mengkatalisa transfer
suatu gugus amino dari aspartat ke α-ketoglutarat menghasilkan oksaloasetat dan
glutamat. Kadar normal ada pada kisaran 7-40 U/L. Enzim ini juga membantu dalam
mendeteksi nekrosis sel hepar, tapi dianggap petanda yang kurang spesifik untuk
kerusakan sel hepar sebab enzim ini juga bisa menggambarkan kelainan pada jantung,
otot rangka, otak, dan ginjal. Rasio serum AST dengan ALT bisa digunakan untuk
membedakan kerusakan hepar dari kerusakan organ lain. Terlihat pada pasien terjadi
peningkatan serum SGPT (ALT) dan SGOT (AST).67,68,69

2.6 Pemeriksaan Faal Hati[2]

Pemeriksaan fungsi hati diindikasikan untuk penapisan atau deteksi adanya


kelainan atau penyakit hati, membantu menengakkan diagnosis, memperkirakan
beratnya penyakit, membantu mencari etiologi suatu penyakit, menilai hasil
pengobatan, membantu mengarahkan upaya diagnostikselanjutnya serta menilai
prognosis penyakit dan disfungsi hati.
Jenis uji fungsi hati dapat dibagi menjadi 3 besar yaitu penilaian fungsi hati,
mengukur aktivitas enzim, dan mencari etiologi penyakit. Pada penilaian fungsi hati
diperiksa fungsi sintesis hati, eksresi, dan detoksifikasi.

1. Penilaian Fungsi Hati


A. Albumin
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh hati.
Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi, hormon, asam
lemak,dan zat sampah dari tubuh.Apabila terdapat gangguan fungsi sintesis sel hati
maka kadar albumin serum akan menurun (hipoalbumin) terutama apabila terjadi lesi
sel hati yang luas dan kronik. Penyebab lain hipoalbumin diantaranya terdapat
kebocoran albumindi tempat lain seperti ginjal pada kasus gagal ginjal, usus akibat
malabsorbsi protein, dan kebocoran melalui kulit pada kasus luka bakar yang luas.
Hipoalbumin juga dapat disebabkan intake kurang, peradangan, atau
infeksi.Peningkatan kadar albumin sangat jarang ditemukan kecuali pada keadaan
dehidrasi.

57
B. Globulin
Globulin merupakan unsur dari protein tubuh yang terdiri dari globulin alpha,
beta, dan gama. Globulin berfungsi sebagai pengangkut beberapa hormon, lipid,
logam, dan antibodi. Pada sirosis,sel hati mengalami kerusakan arsitektur hati,
penimbunan jaringan ikat,dan terdapat nodul pada jaringan hati, dapat dijumpai rasio
albumin : globulin terbalik. Peningkatan globulin terutama gamadapatdisebabkan
peningkatan sintesis antibodi, sedangkan penurunan kadar globulin dapat dijumpai
pada penurunan imunitas tubuh, malnutrisi, malababsorbsi, penyakit hati, atau
penyakit ginjal.
C. Elektroforesis Protein
Pemeriksaan elektroforesis protein adalah uji untuk mengukur kadar protein
serum dengan cara memisahkan fraksi-fraksi protein menjadi 5 fraksi yang berbeda,
yaitu alpha 1, alpha 2, beta, dan gamma dalam bentuk kurva. Albumin merupakan
fraksi protein serum yang paling banyak sekitar 2/3 dari total protein. Perubahan pola
pada kurva albumin tersering adalah penurunan kadar albumin atau hipoalbuminemia,
karena albumin memiliki rentang nilai rujukan yang besar maka penurunan ringan
tidak akan terlihat. Fraksi alpha 1 globlin hampir 90% terdiri dari alpha 1 antitrypsin
sisanya tersusun atas alpha 1 acid glycoprotein, alpha 1 antichymotrypsin, alpha
fetoprotein, dan protein pengangkut seperti cortisol binding proteindan thyroxine-
binding globulin.Alpha 1 globulin merupakan protein reaksi fase akut sehingga
kadarnya akan meningkat pada penyakit inflamasi, penyakit degenerative, dan
kehamilan.
D. Masa Protrombin (PT)
Pemeriksaan PT yang termasuk pemeriksaan hemostasis masuk ke dalam
pemeriksaan fungsi sintesis hati karena hampir semua faktor koagulasi disintesis di
hati kecuali faktor VII. PT menilai faktor I, II, V, VII, IX,dan Xyang memiliki waktu
paruh lebih singkat daripada albumin sehingga pemeriksaan PT untuk melihat fungsi
sintesis hati lebih sensitif. Pada kerusakan hati berat maka sintesis faktor koagulasi
oleh hatiberkurang sehingga PT akan memanjang.
Hal yang perlu diperhatikan ada beberpa faktor koagulasi yang tergantung
vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X. Pada obstruksi bilier terjadi hambatan cairan
empedu tidak sampai ke usus sehingga terjadi malabsorbsi lemak akibatnya kadar
vitamin yang larut dalam lemak vitamin A, D, E, K akan berkurang. Kekurangan
vitamin K menyebabkan sintesis faktor koagulasi yang tergantung vitamin K

58
berkurang sehingga PT memanjang, untuk membedakan penyebab pemanjangan PT
karena fungsi sintesis menurun atau karena kekurangan vitamin K dapat dilakukan
penyuntikan vitamin K parenteral, apabila 1-3 hari setelah penyuntikan vitamin K
parenteral PT menjadi normal berarti penyebab pemanjangan PT adalah kekurangan
vitamin K, apabila PT tetap memanjang artinya kemungkinan terdapat obstruksi
bilier.
E. Cholinesterase (CHE)
Pengukuran aktivitas enzim cholinesteraseserum membantu menilai fungsi
sintesis hati. Aktivitas cholinesterase serum menurun pada gangguan fungsi sintesis
hati, penyakit hati kronik, dan hipoalbumin karena albumin berperan sebagai protein
pengangkut cholinesterase. Penurunan cholinesterase lebih spesifik dibandingkan
albumin untuk menilai fungsi sintesis hati karena kurang dipengaruhi faktor-faktor di
luar hati.Pada hepatitis akut dan kronik cholinesterasemenurun sekitar 30%-
50%.Penurunan cholinesterase50%-70% dapat dijumpai pada sirosis dan karsinoma
yang metastasis ke hati. Pengukuran cholinesteraseserial dapat membantu untuk
menilai prognosis pasien penyakit hati dan monitoring fungsi hati setelah trasplantasi
hati.

2. Fungsi Eksresi
A. Bilirubin
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah merah
oleh sel retikuloendotel. Akumulasi bilirubin berlebihandi kulit, sklera, dan membran
mukosa menyebabkan warna kuning yang disebut ikterus. Kadar bilirubin lebih dari 3
mg/dL biasanya baru dapat menyebabkan ikterus. Ikterus mengindikasikan gangguan
metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati, penyakit bilier, atau gabungan
ketiganya.
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah usia 120
hari oleh sistem retikuloendotel menjadi heme dan globin. Globin akan mengalami
degradasi menjadi asam amino dan digunakan sebagai pembentukan protein lain.
Heme akan mengalami oksidasi dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi
menjadi biliverdin. Biliverdin reduktaseakan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma bilirubin tidak
terkonjugasi berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke dalam sel hati.
B. Asam Empedu

59
Asam empedu disintesis di hati dan jaringan lainseperti asam empedu yang
dihasilkan oleh bakteri usus, sebanyak 250-500 mg per hari asam empedu
dihasilkandan dikeluarkan melalui feses, 95 % asam empedu akan direabsorbsi
kembali oleh usus dan kembali ke dalam siklus enterohepatik.Fungsi asam empedu
membantu sistem pencernaan, absorbs lemak, dan absorbs vitamin yang larut dalam
lemak. Pada keruskan sel hati maka hati akan gagal mengambil asam empedusehingga
jumlah asam empedu meningkat. Pemeriksaan asam empedu sangat dipengaruhi oleh
makanan sehingga sebelum melakukan pemeriksaan asam empedu sebaiknya puasa
selama 8-12 jam.
C. Fungsi Detoksifikasi Ammonia
Pada keadaan normal di dalam tubuh ammonia berasal dari metabolism protein
dan produksi bakteri usus. Hati berperan dalam detoksifikasi ammonia menjadi urea
yang akan dikeluarkan oleh ginjal. Gangguan fungsi detoksifikasi oleh sel hati akan
meningkatkan kadar ammonia menyebabkan gangguan kesadaran yang disebut
ensefalopati atau koma hepatikum.
3. Pengukuran Aktivitas Enzim
A. Enzim Transaminase
Enzim transaminase meliputi enzim alanine transaminase (ALT) atau serum
glutamate piruvattransferase (SGPT) dan aspartate transaminase (AST) atau serum
glutamate oxaloacetate transferase (SGOT).Pengukuran aktivitas SGPTdan
SGOTserum dapat menunjukkan adanya kelainan sel hati tertentu, meskipun bukan
merupakan uji fungsi hati sebenarnya pengukuran aktivitas enzim ini tetap diakui
sebagi uji fungsi hati.
Enzim ALT/SGPT terdapat pada sel hati, jantung, otot dan ginjal.Porsi
terbesar ditemukan pada sel hati yang terletak di sitoplasma sel hati.AST/SGOT
terdapat di dalam sel jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, pankreas, limpa dan paru.
Kadar tertinggi terdapat did alam sel jantung. AST 30% terdapat di dalam sitoplasma
sel hati dan 70% terdapat di dalam mitokondria sel hati. Tingginya kadar AST/SGOT
berhubungan langsung dengan jumlah kerusakan sel. Kerusakan sel akan diikuti
peningkatan kadar AST?SGOT dalam waktu 12 jam dan tetap bertahan dalam darah
selama 5 hari.
B. Alkaline Phosfatase (ALP) dan Gamma Glutamyltransferase (GGT)
Aktivitas enzim ALP digunakan untuk menilai fungsi kolestasis. Enzimini
terdapat di tulang, hati, dan plasenta. ALP di sel hati terdapat di sinusoid dan

60
memberan salauran empedu yang penglepasannya difasilitasi garam empedu, selain
ituALP banyak dijumpai pada osteoblast. Kadar ALP tergantung umur dan jenis
kelamin. Aktivitas ALP lebihdari 4 kali batas atas nilai rujukanmengarah kelainan ke
arah hepatobilier dibandingkan hepatoseluler.
Enzim gamma GT terdapat di sel hati, ginjal, dan pankreas. Padasel hati
gamma GT terdapat di retikulum endoplasmiksedangkan di empedu terdapat di sel
epitel. Peningkatan aktivitas GGT dapat dijumpai pada icterus obstruktif, kolangitis,
dan kolestasis. Kolestasis adalah kegagalan aliran empedu mencapai duodenum.
4. Menentukan Etiokogi Penyakit Hati
A. Penyakit Hati Autoimun
Beberapa antibodidan protein tertentu dapat digunakan sebagai penanda
eteiologi dari penyakit hati autoimun seperti antinuclear antibody (ANA) untuk
hepatitis autoimun kronis, anti-smooth muscle antibodies (SMA) dan
antimitochondrial antibody (AMA) untuk sirosis hati, hepatitis autoimum kronis, dan
sirosis.
B. Keganasan Sel Hati
Pada keganasan sel hati dapat dipilih parameter alfafetoprotein (AFP) yaitu
suatu protein yang disintesis pada masa fetus, kadarpuncak AFP adalah usia janin 12-
16 minggu danmenurun segera setelah bayi lahir. Peningkatan AFP yang sangat tinggi
mengarah pada keganasan sel hati,tumor embriogenik ovarium, tumor embriogenik
testis, hepatoblastoma embriogenik, dan kanker gastrointestinal. Peningkatan
ringanAFPdapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti hepatitis akut dan kronis,
serta kehamilan.
C. Infeksi Virus Hepatitis
Hepatitis adalah inflamasi jaringan hati dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
protozoa, autoimun, obat-obatan, atau zat toksik. Diagnosis hepatitis virus sangat
ditentukan oleh penanda serologi dari bagian virus hepatitis.
2.7 Hubungan Terjadinya Demam, Lemas, dan Penurunan Nafsu Makan pada
Pasien
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke
dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,5°C). Demam
terajadi pada suhu > 37, 2°C, biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur
atau parasit), penyakit autoimun, keganasan , ataupun obat – obatan. Demam yang

61
terjadi pada kasus sendiri adalah akibat dari proses inflamasi sebagai bentuk
pertahanan tubuh terhadap virus hepatitis tersebut.70
Salah satu faktor di duodenum yang mempengaruhi laju pengosongan
lambung adalah lemak. Lemak paling efektif dalam memperlambat pengosongan
lambung karena lemak memiliki nilai kalori yang tinggi. Selain itu, pencernaan dan
penyerapan lemak hanya berlangsung di usus halus. Trigliserida sangat merangsang
duodenum untuk melepaskan kolesistokinin (CCK). Hormon ini menghambat
kontraksi antrum dan menginduksi kontraksi sfingter pilorus, yang keduanya
memperlambat pengosongan lambung.71
Oleh karena itu, bila pencernaan lemak terganggu akibat gangguan pada hati,
proses pengosongan lambung pun akan terhambat. Hal ini diakibatkan duodenum
yang semakin lama memproses lemak sehingga makanan dari lambung belum dapat
diteruskan ke dalam duodenum. Pasien pun menjadi tidak nafsu makan yang
menyebabkan berat badan menurun dan badan menjadi lemas.71
2.8 Studi Kasus Higiene dan Sanitasi Buruk
Higiene perseorangan memiliki hubungan dengan kejadian Hepatitis A.
Berdasarkan hasil penelitian, higiene perseorangan juga merupakan faktor risiko yang
menimbulkan kejadian Hepatitis A. Seseorang dengan higiene perseorangan yang
buruk, berisiko terkena Hepatitis A 5,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
seseorang yang memiliki higiene perseorangan yang baik. Terdapat signifikansi
hubungan (p = 0,016) antara higiene perseorangan pada host dengan kejadian
Hepatitis A, yang berarti higiene perseorangan berhubungan dengan kejadian
Hepatitis A. Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi
hepatitis A sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua,
diikuti konsekuensi timbulnya gejala klinis.8,72

62
BAB III
KESIMPULAN

Hipotesis diterima. Anak laki-laki 8 tahun mengalami hepatitis virus akut, namun
untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang serologi dan pemeriksaan
PCR.

63
DAFTAR PUSTAKA

1. Schunke M, Schulte E, Schumacher U. Atlas Anatomi Manusia Prometheus: Organ


Dalam (3 ed.). EGC; 2013. p.244-5.
2. Rosida A. Pemeriksaan laboratorium penyakit hati. Jurnal Berkala Kedokteran.
2016;12(1):123-131.
3. Sherwood L. Introduction to Human Physiology. 8th ed. AS: Cengage Learning; 2013.p.
640.
4. VanPutte CL, Regan JL, Russo AF. Seeley's essentials of anatomy & physiology.
McGraw-Hill; 2013.
5. Odd SM, Hunter JG. Gallbladder and Extra Hepatic Biliary System. Schwartz’s
Principles of Surgery; 2010.
6. Zuckerman AJ. Hepatitis Viruses. In: Baron S, editor. Medical Microbiology. 4th ed.
University of Texas Medical Branch at Galveston; Galveston (TX); 1996.
7. Razavi H. Global Epidemiology of Viral Hepatitis. Gastroenterology Clinics of North
America. 2020; 49(2): 179–189.
8. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1. Cetakan Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2012.
9. Mehta P, Reddivari AKR. Hepatitis. StatPearls [Internet]; 2020.
10. Noer SHM, Sundoro J. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi Pertama. Editor: H. Ali
Sulaiman. Jakarta: Jayabadi; 2007.
11. Pyrsopoulos N, Hepatitis B. URL: http;//www. emedicine.com/ped/topic982.htm
12. Lauer GM, Walker BD. Hepatitis C virus infection. N Engl J Med. 2001; 345(1):41-52.
13. Sanityoso A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
14. Vinay K, Abul K, Jon C. Buku Ajar Patologi Robbins. Ed. 9th. Philadelphia: Elsevier;
2013. p. 614-618.
15. Yuen MF, Chen DS, Dusheiko GM, Janssen HLA, Lau DTY, Locarnini SA, Peters MG,
Lai CL. Hepatitis B virus infection. Nature Reviews Disease Primers. 2018;4(2): 18035.
16. Manns MP, Buti MG, Pawlotsky JM, Razavi H, Terrault N, Younossi Z. Hepatitis C
virus infection. Nature Reviews Disease Primers. 2018;3(2):17006. 

64
17. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.
p.611-21.
18. Sanityoso A. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.
19. Yulia D. Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2019;8(4):247-254.
20. Lee WM. Hepatitis B virus infection: review articles. Medical progress. 2008;34:1733-
45.
21. Hadi S. Gastroenterologi. Edisi ke-2. Bandung: Penerbit Alumni; 2002. p. 487-516.
22. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2003. p.178.
23. Elgouhari HM, Tamimi TIAR, Carey WD. Hepatitis B virus infection: understanding its
epidemilogy, course, and diagnosis. Review. Cleveland Clinic Journal of Medicine.
2008; 75(12):881-9.
24. Hussain S, Jhaj R, Ahsan S, Ahsan M, Bloom RE, Jafri SM. Bortezomib induced
hepatitis B reactivation. Case Rep Med; 2014.
25. Tong S, Li J, Wands JR, Wen Y. Hepatitis B virus genetic variants: biological properties
and clinical implications. Emerging Microbes & Infections; 2013.
26. Ghany M, Perillo R, Li R, Belle SH, Janssen HLA, Terrault NA, et al. Characteristics of
adult in the hepatitis B research network in North America reflect their country of origin
and HBV genotype. Clin Gastroenterol Hepatol. 2015;13(1):183-92.
27. Zhang X, Zhang E, Pei R, Jiang M, Schlaak JF, Roggendorf, et al. Modulation of
hepatitis B virus replication and hepatocyte differentiation by MicrRNA-1. Hepatology.
2011;53(5):1476-85
28. Jurnalis YD, et al. Hepatitis C pada Anak. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2): 257-61
29. Zulkarnain Z. Tinjauan Multiaspek Hepatitis Virus C pada Anak. Dalam: Zulkarnain Z,
Bisanto J, Pujiarto PS, Oswari H, editor. Naskah lengkap pendidikan dokter
berkelanjutan ilmu kesehatan anak XLIII tinjauan komprehensif hepatitis virus pada
anak; Jakarta, Indonesia; 31 Mei 2000. Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2000. p. 57-72
30. Davison S, Boxall EH. Infective Disorders of the liver. Dalam: Kelly D. Diseases of the
liver and biliary system in children. Edisi ketiga. United kingdom. Blackwell Publishing;
2008

65
31. Ohto H, Terezawa S, Sasaki N, Hino K, Ishiwata C, Kako M, dkk. Transmission of
hepatitis C virus from mothers to infants. N Engl J Med. 1994; 330:744-50.
32. Halliday J, Klenerman P, Barnes E. Vaccination for Hepatitis C Virus. Expert Rev
Vaccines. 2011; 10(5):659-72.
33. Freeman AJ, Marinos G, French RA, Lloyd AR. Immunopathogenesis of hepatitis C
virus infection. Immunology and Cell Biology. 2001;79:515–36.
34. Neighbors J: The Diagnosis and Management of Hepatitis C: The Role of the Physician
Assistant. The Internet Journal of Academic Physician Assistants. 2007: 5(2)
35. Epidemiology and prevention of viral hepatitis A to E: an overview; 2001.
36. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. McGraw Hill; 2008
37. Lacey SR, Bernstein DR, Talavera F, et al. Hepatitis D. eMedicine specialties; 2005.
38. Sharifi-Mood B, Sharifi R. Hepatitis E Virus. Int J Infect. 2017 ; 4(2).
39. Indonesia ID. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.
40. Kliegman R, Stanton B, St. Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics. Edition 20. Phialdelphia, PA: Elsevier; 2016.
41. Dienstag JL, Isselbacher KJ. Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. McGraw Hill; 2008.
42. Martin A, Lemon SM. Hepatitis A virus. From discovery to Vaccines. Hepatology.
2006;45(2):164-172.
43. Epidemiology and prevention of viral hepatitis A to E:anoverview; 2001.
44. Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok A, Burroughs AK, Heathcote
EJ, editor. Sherlock's dissease of the liver and billiary system. Edisi ke-12: Blackwell
Publishing; 2011; 234−56.
45. Maulida LF. Ikterus Neonatorum. Profesi (Profesional Islam). Media Publikasi
Penelitian. 2013;10(1).
46. Mathindas S, et al. Hiperbilirubinia Pada Neonatus. Jurnal Biomedik. 2013;5(1):S4-10.
47. Marmi S. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar; 2015
48. Yuhanidz H, Saryono, dan Giyatmo. Efektifitas Fototerapi 24 Jam Dan 36 Jam Terhadap
Penurunan Bilirubin Indirect Pada Bayi Ikterus Neonatorum. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan. 2011;7(1):43-49.

66
49. Kliegman R, Stanton B, St. Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics. Edition 20. Philadelphia, PA: Elsevier; 2016.
50. Price, Sylvia A, Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. 6th
ed. Hartanto H, editor. Vol. 02. Jakarta: EGC; 2005.
51. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. Edisi
Pertama. Cetakan Ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
52. Gore-Levine. Choledocholithiasis. In : High-Yield Imaging Gastrointestinal. Elsevier
Inc; 2011.
53. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keempat - Jilid I. Jakarta. 2009.
54. Chang YN, Jang JY, Kwon W, Park JW, Kang MJ, Ryu JK, et al. Changes in
demographic features of gallstone disease: 30 years of surgically treated patients. Gut
and Liver Journal. 2013; 7(6): 719-24.
55. Girsang JH, Hiswani J. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan pada Tahun 2010-2011 [skripsi]. Universitas Sumatera
Utara; 2011.
56. Zainumi CM. Perbandingan Antara Skor Apfel dengan Skor Koivuranta terhadap
Prediksi Terjadinya Post Operative Nausea and Vomiting pada Anestesi Umum [skripsi].
Universitas Sumatera Utara; 2011.
57. Baiu I, Hawn MT. Choledocholithiasis. JAMA. 2018;320(14):1506.
58. Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsuhidajat R, Syukur A. Saluran empedu dan hati.
Jakarta: EGC. 2009.
59. Lane JD, Lomis N. Cholecystitis, acalculous. Jakarta : Divisi Hepatologi Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2015.
60. Virgile J, Marathi R. Cholangitis. StatPearls; 2020.
61. Talley NJ, O'Connor S. Clinical examination: a systematic guide to physical diagnosis.
Elsevier Health Sciences; 2013.
62. Melyana, Sarotama A. Implementasi PeringatanAbnormalitas Tanda-Tanda Vitalpada
Telemedicine Workstation. Jurnal UMJ. 2019; TNF-009:1-9.
63. Universitas Jenderal Soedirman. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman; 2019.
64. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Interpretasi Data Klinik; 2011.
65. Nuraini Df, Puspita E. Gambaran Hasil Pemeriksaan Bilirubin Total Pada Pasien
Hepatitis. Jurnal Insan Cendekia. 2017;5(1):56-60.

67
66. Makay F, Rambert GI, Wowor MF. Gambaran bilirubin dan urobilinogen urin pada
pasien tuberkulosis paru dewasa di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-
Biomed. 2016;4(2):1-6.
67. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2007.

68. Singh A, Bhat TK, Sharma OP. Clinical Biochemistry of hepatotoxicity. J Clinical
Toxicol 2011; S4 :001.
69. Boyer TD, Manns MP, Sanyal AJ. Zakim and Boyer's Hepatology: A textbook of Liver
Disease 6th ed. Philadelphia: Saunders. 2012
70. Hartini S. Pertiwi. Efektifitas kompres air hangat terhadap penunrunan suhu tubuh anak
demam usia 1 – 3 tahun di SMC RS Telogorejo Semarang; 2015.
71. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC. 2014.
72. Sasija DS, Satyabakti P. Hubungan Antara Higiene Perseorangan Dengan Kejadian
Hepatitis A pada Pelajar/Mahasiswa. Jurnal Berkala Epidemiolgi. 2014;2:3.

68

You might also like