You are on page 1of 53

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI TERHADAP UPAYA

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS BUAH-BUAHAN


DAN SAYURAN LOKAL PASCA ACFTA
(Metode Ekonometrika Sebagai Suatu Cara Pengambilan Keputusan
dan Kebijakan Perdagangan Internasional)
By:
Singagerda, Faurani Santi1
Nursanti, Tinjung Desy2

Abstract
This paper explained an economic study in international trading after Asian China
Free Trade Area (ACFTA) implementation using an econometrics model.
On this paper, dometic fruits and vegetables as a part of holticulture commodities are
used as an object of the research, where the analysis include model identification, predicting
model, validating model, and economic policy simulation; hence 3 SLS is using to get a
parameter value to predict and support the simulation of results.
The result showed that an explanatory variable (total production) in the model can
explain, the model behavior for 73.46 %, while F statistics 4.69 , which means that
explanatory variable affect the endogenous variable (total export, total import, and Gross
domestic Product) simultaneously and significantly.
At the end, the paper conclude that the research is representative enough to explain
the phenomenon of domestic fruits and vegetables market comparing to the interntional
market, preferably from China fruits and vegetables commodities. Therefore, some of
implications for policy are identified as well, such as (1) improvement of competitiveness
domestic holticulture products which include in export tax subsidy, banking credit systems,
standardization and labeling product, cost efficiency, physically and non-physcically
infraturucture , complement products, and linkage programme which support the
competitiveness; (2) development of agribusiness area through the central area of production
and industrial area production; and (3) campaign of local product
Keyword: International trading, simultaneously, and domestic commodities.

1
Student’s of Doctorate Program, Economic of Agriculture, Bogor Agriculture University

2
Economic and Management Lecturer in Binus University, Jakarta
1
1. Latar Belakang

Sudah hampir enam tahun terhitung sejak tanggal 4 November 2004


ditandatanganinya Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation atau
kerja sama ekonomi negara-negara Asean dengan China dalam bentuk Asean-China Free
Trade Area (ACFTA) di Phnom Pen, Kamboja. Perjanjian kerjasama ini tentunya
mempunyai tujuan yang sangat ideal, mengingat China adalah negara yang mempunyai
pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia sekarang ini. Dengan jumlah penduduk 1,2 miliar
ditambah dengan penduduk Asean sekitar 500 juta jiwa maka menjadi sekitar 1,7 miliar
penduduk yang sangat besar di dua kawasan ini dan diprediksikan merupakan pasar empuk
produk dan jasa bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Mulai 1 Januari 2010 ACFTA diberlakukan dan sejak itulah dunia usaha dan industri
mulai mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi kerangka kerjasama dalam Asean
China Free Trade Agreement (ACFTA). Jika keberadaan ACFTA dilihat dari sisi positif,
maka pada dasarnya perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sangat bermanfaat bagi
suatu negara yang terlibat karena terjadi proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara
kawasan, akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan juga perlu menjadi perhatian. Salah
satu dampak negatif yang dikhawatirkan terkait dengan bagaimana daya saing produk dalam
negeri terhadap membanjirnya produk-produk China yang mana selama beberapa tahun ke
belakang (sebelum berlakunya ACFTA) sudah sangat banyak membanjiri pasar di dalam
negeri, sehingga menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai
secara efisien.
Hubungan perdagangan bilateral Indonesia China sendiri sebetulnya cukup bagus.
Selama ini setelah pelaksanaan ACTFA, Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan
China. Bila dibandingkan surplus perdagangan sebelum penandatanganan perjanjian ini rata-
rata hanya mencapai US$ 608 pertahun, sedangkan setelah pelaksanaan perjanjian naik
menjadi US$ 1.160 pertahun, atau hampir dua kali lipat. Di samping itu tercatat peningkatan
share perdagangan Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan
Indonesia pada era pelaksanaan ACFTA, di mana rata-rata share total perdagangan
Indonesia-China terhadap Total Perdagangan Semua Negara dengan Indonesia sebelum
ACFTA 6,87 persen, meningkat menjadi 9,40 persen pada pasca ACFTA. Atau dapat
dikatakan telah terjadi pergeseran share sebesar 2,53 persen total perdagangan Indonesia-
negara lain beralih ke Indonesia-China pada era ACFTA. Pada ekspor terjadi pergeseran

2
share sebesar 2,29 persen dan impor sebesar 2,81 persen beralih ke China pada era
pelaksanaan ACFTA.
Sementara itu menurut data BKPM, perkembangan realisasi investasi China ke
Indonesia sebelum dan sesudah ditanda tanganinya ACFTA dapat dilihat dari realisasi
investasi China ke Indonesia, dengan rata-rata jumlah investasi yang masuk pada era
pelaksanaan ACFTA sebanyak 14,67 proyek pertahun, hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah investasi sebelum pelaksanaan ACFTA yang rata-rata hanya sebesar sebesar 7,67
pertahun. Walau demikian, dari nilai investasi tidak terjadi peningkatan yang signifikan
dimana rata-rata realisasi investasi China di Indonesia pada era ACFTA sebesar US$ 35,17,
tidak jauh berbeda dibanding sebelum pelaksanaan ACFTA yang besarnya US$ 32,43
(sumber: Departemen Perdagangan, 2009).
Tabel 1. Perkembangan Total Ekspor Indonesia (Sebelum dan Sesudah ACFTA) dalam ribuan
USD
Perdagangan Migas Non Migas Total
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
ACFTA ACFTA ACFTA ACFTA ACFTA ACFTA
Ekspor 954 2,794 2,815 5,146 3,770 7,940
Impor 563 1,001 2,598 5,779 3,162 6,780
(Sumber: Departemen Perdagangan, 2009)

2. Perumusan Masalah
Berbagai pendapat dikemukakan mengenai dampak dari pelaksanaan ACFTA yang
merupakan salah satu bagian dari kebijakan liberalisasi perdagangan. Sebagian pihak
meyakini bahwa liberalisasi perdagangan akan mampu menciptakan dampak positif bagi
setiap negara, sebagian lagi meyakini bahwa liberalisasi perdagangan dunia hanya akan
menguntungkan negera maju dan akan merugikan negara miskin. 
Pembuktian bahwa liberalisasi perdagangan menguntungkan setiap negara
ditunjukkan antara lain oleh Holst and Melo, 1991 (dalam Widjaja, 2000). Sebaliknya,
pembuktian bahwa negara berkembang dirugikan oleh liberalisasi perdagangan antara lain
ditunjukkan oleh Devaragan (1990). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan
liberalisasi perdagangan di negara-negara Afrika melalui berbagai perubahan terms of trade
mendorong peningkatan impor yang lebih tinggi daripada ekspor sehingga menyebabkan
terjadinya neraca perdagangan yang negatif yang dibiayai dengan meningkatnya pinjaman
asing.

3
Pembebasan tarif impor pada beberapa negara Asean termasuk Indonesia dipandang
cukup menakutkan, terutama untuk sebagian pengusaha, petani, dan pelaku ekonomi
terutama yang bergerak di sektor pertanian untuk jenis komoditas holtikultura khususnya.
Menurut mereka bahwa pembebasan tarif tersebut akan mengancam daya saing produk-
produk holtikutura (khususnya sayuran dan buah-buahan domestik), karena dengan
pembebasan tersebut, jelaslah semakin banyak dan membanjirnya produk holtikultura (baik
sayur maupun buah-buahan) masuk ke Indonesia, padahal seperti diketahui, sebelum
diberlakukannya ACFTA komoditas-komoditas tersebut sudah cukup banyak membanjiri
pasar domestik, bahkan mengalahkan dominasi komoditas sayuran dan buah-buahan lokal.
Dengan membanjirnya produk komoditas di pasar domestic ditambah dengan harganya yang
ternyata relatif murah jika dibandingkan dengan produk lokal, tentu saja akan mengurangi
daya saing produk-produk domestik tersebut.
Melihat berbagai masalah yang diperkirakan akan muncul, perlu ditemukan suatu
jawaban apakah ACFTA dapat menguntungkan semua anggota, atau hanya menguntungkan
sekelompok negara saja dalam hal ini adalah China. Salah satu indikator yang dapat
merefleksikan dampak ACFTA adalah kinerja neraca perdagangan dari setiap negara-negara
anggota.
Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana dampak kebijakan ekonomi
terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran local
pasca diberlakukannya ACFTA?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan
ekonomi terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran lokal,
sehingga secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kondisi perdagangan komoditas sayuran dan buah-buahan local di
Indonesia
2. Menganalisis bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan
perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal
3. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan ekonomi
terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal setelah
diberlakukannya ACFTA

4
4. Fakta-Fakta Kesiapan Dalam Menghadapi ACFTA

Adapun tujuan dari ACFTA yang sebenarnya adalah meliberalisasi perdagangan


barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja
sama ekonomi yang saling menguntungkan, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang
lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil
pertanian, termasuk sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan buah-buahan semuanya
dikelompokkan dalam EHP (Early Harvest Programme)3. Kerjasama ini mempunyai target
mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010
akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya
produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara Asean maupun dari
China ke Indonesia mengingat sekarang ini sudah banyak produk China yang ikut
meramaikan pasar dalam negeri. Perlu dipertimbangkan apabila produk–produk tersebut tidak
dapat bersaing karena tingginya biaya (high cost) maupun inefisien, sehingga pertanyaan
yang muncul dalam benak adalah “Bagaimana sesungguhnya peta kesiapan industri dalam
negeri menghadapi pemberlakuan ACFTA?” dan “Bagaimana kesiapan dunia usaha dalam
menghadapi ACFTA?”
Sementara itu, produk Indonesia lain yang siap mengikuti kesepakatan FTA
diantaranya industri-industri yang berbasis sumber daya alam seperti industri minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) dan industri pertambangan. Akan tetapi sangat bertolak
belakang dengan industri dan produk-produk lainnya, khususnya indutri dan produk non
migas lainnya seperti pertanian dan holtikultura, pangan, jasa, telekomunikasi dan
manufaktur, kecemasan begitu besar mulai dialami oleh para pelaku ekonomi di bidang
tersebut, mengingat produk yang ada tidak mampu menyaingi produk dan industri China
yang masuk ke dalam negeri selama ini, hal ini terbukti dari semakin membanjirnya produk-
produk tersebut di pasar dalam negeri mengalahkan produk lokal.
Dari sisi daya saing industri, hal ini menunjukkan Indonesia masih ada masalah dalam
menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, terutama dengan China. Permasalahan daya
saing muncul karena Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar, baik pada

3
Early Harvest Programme, suatu program untuk mempercepat implementasi ACFTA dimana tarif most
Favored Nation (MFN) sudah dapat dihapus untuk beberapa kategori komoditas tertentu. MFN adalah status yag
diberikan kepada suatu negara oleh negara lain dalam suatu hubungan perdagangan. Status ini memberikan
kepada suatu negara keuntungan dalam perlakukan perdagangan dalam bentuk (misalnya) tarif rendah atau
kuota impor yang lebih tinggi. Negara dengan status MFN harus memperoleh perlakuan dagang yang sama dari
negara pemberi status, (http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html)
5
tataran makro dan mikro industri, serta kondisi infrastruktur Indonesia yang buruk, sehingga
menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai secara efisien.
Dari sisi produksi dan integrasi ekonomi, terdapat kelemahan mendasar dalam
kemampuan produksi barang jadi, setengah jadi dan komponen yang menandakan kerapuhan
struktur industri dalam negeri. Hal itu antara lain disebabkan karena keterbatasan pasokan
bahan baku dan energi, ketergantungan impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi
yang tidak optimal, kelemahan penerapan standardisasi, hingga penguasaan pasar domestik
yang lemah.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tantangan Indonesia dalam mempersiapkan
perdagangan bebas ACFTA, tidak hanya berasal dari aspek daya saing industri, tetapi juga
bersumber dari masalah kesiapan infrastruktur lunak seperti perangkat hokum, misalnya
terkait lembaga anti dumping, safeguard, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan
standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan).

5. Konsep Daya Saing


Menurut Porter dalam Arief (2009) konsep daya saing yang dapat diterapkan dalam level
nasional tidak lain adalah produktivitas yang didefinisikan sebagi nilai output yang dihasilkan
oleh seorang tenaga kerja. Oleh Bank Dunia, produktivitas juga dinyatakan sebagai besaran
laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.
Sedangkan Institute Management Development (IMD) menyatakan bahwa daya saing
nasional merupakan bentuk kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam
rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan
agregativitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan
tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial sehingga negara dalam hal ini mampu
menciptakan daya saing domestik dan global melalui peranannya menciptakan iklim yang
kondusif bagi ekonomi nasional.
Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing suatu negara oleh Arief
(dalam bukunya Model-model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah, 2010) adalah sebagai berikut:
1. Cakupan daya saing lebih luas dan tidak sebatas produktivitas dan efisiensi saja.
2. Pelaku ekonomi (economic agent) berada dalam suatu sistem ekonomi yang
bersinergi.

6
3. Sasaran peningkatan daya saing suatu perekonomian bermuara pada
meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk.
4. Hakikat daya saing adalah kompetisi. Oleh karena itu, daya saing tidak akan
pernah terjadi pada suatu perekonomian tertutup.
Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa keunggulan daya saing ditentukan oleh
empat faktor pokok dan dua faktor penunjang. Empat faktor produksi yang merupakan faktor
pokok terdiri dari kondisi produksi (production condition), kondisi permintaan pasar
(demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting
industries) serta strategi perusahaan, struktur perusahaan dan rivalitas (strategy, structure,
and rivalry). Adapun dua faktor penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan
pemerintah (role of government).

6. Faktor Daya Saing4 dan Fakta-Faktanya Terhadap Perkembangan Ekspor


Indonesia

Pada kenyataannya terlepas dari argumentasi mengenai pro dan kontra ACFTA,
pemerintah masih punya banyak 'pekerjaan rumah' yang belum selesai berkaitan dengan
export chain. Lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC)
masih tertinggi di ASEAN. Hal ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang
dinilai memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya
ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan
perijinan baik di pusat maupun daerah. Program 100 hari kabinet belum secara signifikan
mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi. Ketiga, masalah struktural yang dihadapi
industri kita belum tuntas digarap secara serius. Industri Indonesia menghadapi masalah
masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk
seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen. Masalah lainnya mencakup lemahnya
penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang
jahit” dan “tukang rakit”, rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum
terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar,
kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam
kondisi mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan
Sumatra. Keempat, Kementrian Perdagangan dan Perindustrian perlu menyelamatkan produk

4
Impian di Balik FTA Asean-Tiongkok, Mudrajad Kuncoro, Investor-Indonesia.com, 2010
7
Indonesia yang lemah daya saingnya. Studi Tri Widodo tentang “Dynamic Comparative
Advantages in the ASEAN+3” dalam Journal of Economic Integration edisi September 2009
perlu dijadikan perhatian. Studi ini menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif
kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah di
masa lalu. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang yang disebabkan
oleh: (1) ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk
tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam; (2) penanaman modal asing
langsung (FDI) Jepang yang masuk ke ASEAN mengikuti pola “angsa terbang” sehingga
terjadi perubahan spesialisasi dari produk berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga
kerja trampil dan teknologi/litbang. Selain itu, pemerintah harus proaktif menyelesaikan
kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-China. April 2006, perusahaan eksportir buah-
buahan nasional PT Friendship Prima melayangkan keluhan adanya penolakan ekspor produk
papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, dengan alasan bahwa Indonesia hanya
diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. China menawarkan konsesi bebas
bea masuk atas produk cocoa powder Indonesia ke China (turun dari 15% yang berlaku saat
ini). Sebagai kompensasinya, China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan
preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder (turun dari 5% yang berlaku saat ini).
Singkatnya, ACFTA menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang. Tinggal
bagaimana pemerintah bersama Kadin bergandengan tangan menjawab tantangan yang belum
terpecahkan. Dalam setiap perjanjian, baik multilateral maupun bilateral, akan selalu ada
pengaman yang diterapkan masing-masing negara. Bentuknya bisa dalam safeguard,
fleksibilitas, atau pengecualian yang mengamankan adanya potensi kerugian. Jadi terkait
dengan hal itu, semestinya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu safeguard dan instrumen
lainnya dengan baik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dalam kerangka
ACFTA akan meningkatkan volume perdagangan Asean-China, tetapi apakah Indonesia
dapat memanfaatkan peningkatan volume perdagangan tersebut secara optimal? Itulah
kenyataan dan fakta yang harus dihadapi setelah diberlakukan ACFTA saat ini.

7. Dampak ACFTA Terhadap Produk Pertanian Dalam Negeri

Pengalaman menghadapi berbagai perubahan kondisi yang dinamis mulai dari


dampak resesi ekonomi pada awal 1980-an, krisis moneter 1997/1998, krisis energi dan
pangan pada 2006-2007, dan belakangan krisis keuangan global yang terjadi mulai
8
pertengahan 2008, seharusnya mampu menciptakan pebisnis Indonesia menjadi lebih
tangguh, yang tidak lagi panik menghadapi dinamika ekonomi global termasuk pelaksanaan
liberalisasi perdagangan seperti ACFTA, meski tidak pula harus pasrah terhadap ketentuan
liberalisasi yang berlaku, seperti yang dirasakan oleh para petani terhadap produk pertanian
yang dihasilkan dalam Early Harvest Package (EHP) pada 2004-2006 yang lalu. Apakah
ACFTA akan memberikan dampak sistemik terhadap aktivitas ekonomi masyarakat
ketimbang masalah perubahan pasar global dan isu-isu domestik seperti ketersediaan energi,
bahan baku, pembiayaan, nilai tukar, pungutan, dan perlindungan persaingan lainnya?
Terlepas dari apakah keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA merupakan strategi untuk
memperluas ekspor dan investasi atau keterpaksaan. Tetapi secara umum, terlihat ada
kegamangan pelaku bisnis dalam menghadapi kebijakan kerja sama perdagangan tersebut.
ACFTA diprakarsai dalam pertemuan para Kepala Negara Asean dan China di Bandar
Seri Bengawan Brunei Darussalam 6 November 2001, maka setahun kemudian, November
2002 di Pnhom Penh Kamboja, para Kepala Negara tersebut menandatangani pembentukan
ACFTA yang ditetapkan selama 10 tahun.
Setelah itu ditetapkan skema dan jadwal penurunan tarif yang terdiri dari: (1) Early
Harvest Package of products 2004-2006, (2) Normal Track 2005-2010, dan (3) Sensitive
Track. Pada 1 Januari 2010 merupakan tahap akhir jadwal liberalisasi Normal Track terhadap
2528 komoditas dari tarif 5% menjadi 0%, sehingga rata-rata tarif yang berlaku untuk impor
dari China menjadi 2,9%.
Salah satu kerangka Agreement on Comprehensive Cooperation Between ACFTA
adalah mengenai cakupan produk yang masuk dalam Early Harvest Program (EHP) ACFTA
mengenai penurunan tarif pada produk-produk pertanian seperti hewan hidup, daging dan
produk daging olahan, ikan, produk susu, produk hewan lainnya, pohon hidup, sayuran
dikonsumsi, buah-buahan dikonsumsi, dan kacang-kacangan, juga berdampak bagi
kelangsungan produk-produk sejenis yang dihasilkan dalam negeri.
Ini berarti lagi-lagi daya saing produk dalam negeri dipertanyakan, mampukah produk
lokal bersaing dengan produk China tersebut, meskipun mungkin masih terlalu prematur
untuk menilainya, akan tetapi selama beberapa tahun ke belakang (sebelum diberlakukan
ACFTA) produk-produk China tersebut di atas sudah banyak sekali membanjiri pasaran
dalam negeri, mengalahkan produk dan komoditas dalam negeri, baik dari segi kualitas,
kuantitas, maupun harga (yang menjadi unggulan dari produk-produk China).

9
Dari tabel 2 terlihat bagaimana dampak free trade area Asean-China terhadap jumlah
ekspor impor barang dalam negeri, di mana secara garis besar dengan kenaikan TOT (term of
trade) yang disebabkan oleh harga ekspor yang lebih dibandingkan dengan harga impor,
menyebabkan jumlah impor di Indonesia lebih tinggi daripada ekspor, implikasinya adalah
Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing melalui perbaikan iklim investasi yang
lebih kondusif.
Tabel 2. Dampak Free Trade Area dalam Skema Asean-China Terhadap Ekspor (qxw),
Impor (qiw), Output (qo), dan Harga Domestik (ppd).
Deskripsi Sektor Ekspor Impor Output Harga
Domestik
Paddy -0,570 38,978 -0,39 0,43
Wheat -3,586 0,162 -2,768 0,651
Ceral gain nec 5,023 5,621 -0,031 0,583
Vegetables, Fruits, Nuts 3,333 0,899 0,055 0,578
Oilseeds 5,421 -22,935 -0,326 0,495
Sugar cane, sugar beat 23,331 0,982 -11,076 -3,673
Plant based fibers -0,148 5,549 0,777 0,295
Crops nec 3,226 0,896 0,841 0,890
Catles, sheep, goats, horses 1,515 1,742 0,077 0,536
Animal Production nec 3,769 0,082 0,316 0,558
Raw milk -3,738 2,059 0,110 -0,480
Wool, silk, worm cocoons -3,975 1,772 0,093 0,295
Forestry 7,330 3,487 -0,459 -0,010
Fishing 1,944 9,327 0,157 -1,302
Coal -0,620 25,928 0,460 0,348
Oil -0,507 1,410 0,534 -0,201
Gas -0,785 25,928 0,603 0,074
Mineral nec 0,016 1,410 -0,671 0,844
Meat cattle, sheep, goat 0,221 2,286 -0,225 0,649
Meat Product nec -6,997 5,486 0,467 1,079
Vegetable oil and fats 0,556 2,257 0,426 0,847
Dairy product 0,749 1,741 -0,380 0,639
Processed rice 0,691 23,525 -0,363 0,569
Sugar 4,998 20,711 -11,927 -1,664
Food Product nec 0,251 4,992 -0,167 0,761
Beverage and Tobacco product 25,252 10,301 0,951 -0,378
Textiles 7,603 9,384 0,775 -0,316
Wearing apparel -1,433 8,571 -2,004 0,197
Leather product -3,781 6,678 -2,960 0,760
Wood Product -1,735 6,001 -1,352 0,990
Paper Prod, Publishing 2,776 2,295 1,115 0,675
Petroleum, coal prod 2,738 2,014 -0,339 0,273
Chemical, rubber, plastic prod 7,596 4,627 1,243 0,684
Ferrous metals 1,496 7,682 0,169 0,896
Metals nec 1,231 1,283 -2,017 0,660
10
Metals nec -2,413 1,308 -1,961 0,805
Motor vehicle and parts 0,856 12,390 -0,476 0,406
Transport equipment 15,187 2,684 2,115 0,489
Electronic equipment -2,404 2,991 -1,48 0,645
Machinery and Equipent 4,403 2,361 3,552 0,250
Manufacture products 4,256 2,120 1,711 0,324
Electricity -1,357 10,06 -2,674 0.479
Water -4,938 2,420 -0,00-4 0,913
Construction -2,478 2,507 1,219 0,620
Trade 3,590 1,757 0,145 1,016
Transport -2,742 1,494 0,063 0,759
Sea transport -1,244 1,032 0,358 0,892
Air transport 0,835 0,566 0,054 0,254
Communication -4,473 2,232 -0,606 1,177
Financial services -4,469 2,215 0,063 1,153
Insurance -4,138 1,554 -0,215 1,074
Business services 3,607 1,083 -0,577 1,000
Recreation and other services -3,941 1,952 -0,190 1,029
Public adm/defence/health/education -3,956 1,924 -0,179 1,010
Dweelings 0,084 0,084 0,107 1,290
Sumber: Rina Oktaviani, Ph.D dkk (2009)

Di lain pihak, manfaat dari ACFTA bagi sektor pertanian dapat dilihat sebagai
berikut: (a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea
masuk di negara China yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerjasama investasi;
(c) kerjasama ekonomi melalui kerjasama peningkatan capacity building. Dengan kata lain
meskipun masih banyak ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran diantara kalangan usahawan
dalam negeri dalam menghadapi ACFTA, jika kita mampu mengambil hikmahnya adalah
selain ancaman yang muncul akan tetapi dibalik itu semua ternyata terdapat peluang yang
cukup besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor dan investasi di China jika industri ini
mampu meningkatkan daya saing5. Selain itu juga diperlukan kemampuan untuk merespon
penawaran yang begitu cepat melalui manajemen rantai (supply chain) yang efisien untuk
memenuhi keinginan konsumen melalui peningkatan kualitas, ketepatan waktu, harga yang
kompetitif, dan jumlah yang tepat.

8. Dampak ACFTA Bagi Perdagangan Produk-Produk Holtikultra Dalam Negeri

Pada kenyataannya berdasarkan laporan Kadin disebutkan bahwa dampak dari


ACFTA yang diberlakukan 1 Januari lalu khususnya untuk produk pertanian cukup berat
5
Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean –China Terhadap Ekonomi Makro dan
Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor
11
terutama bagi produk hortikultura Indonesia. Tanpa ACFTA, produk buah dan sayur asal
Indonesia sudah begitu terdesak oleh produk sejenis asal China, terutama jeruk. Produk dari
Negeri Tirai Bambu ini telah membanjiri pasar Indonesia. Sayangnya, konsumen dalam
negeri justru mencintai produk impor itu yang harganya jauh lebih murah.
Konsumen lokal seolah tidak memperhatikan bagaimana proses pengadaan buah-
buahan asal China tersebut dilakukan kendati Badan Karantina Kementerian Pertanian
menyatakan produk buah asal China sudah disimpan selama setahun. Produk itu merupakan
buah yang tidak laku dijual di dalam negeri, sehingga dijual murah, dan dibeli oleh importir
asal Indonesia. Produk tersebut, meski sudah setahun disimpan, tetapi masih digemari karena
harganya murah dan sesuai dengan kocek mayoritas masyarakat Indonesia, yang daya belinya
masih rendah6.
Laporan departemen Pertanian juga menyatakan bahwa selama ini banyak produk
buah-buah asal negara China yang masuk ke Indonesia sudah dalam kondisi tidak bagus
karena telah lama dipanen sehingga harganya sangat murah. Selain kualitasnya rendah,
sejumlah faktor yang dinilai menjadikan produk buah-buahan asal China bisa dijual murah
antara lain adanya subsidi dari negara, dan dumping. Meskipun di lain pihak sejak beberapa
tahun terakhir Indonesia sudah mengekspor buah hasil pertanian Indonesia ke China. Negara
itu meminta Indonesia mengekspor buah tertentu, karena jenis buah tersebut tidak ada di
China. Secara umum, kualitas buah dan hasil pertanian Indonesia lainnya tidak kalah dengan
hasil pertanian negara lain. Untuk lebih mempersiapkan lagi pemberlakuan perdagangan
bebas, diperlukan peningkatan kualitas hasil pertanian, sehingga para petani dan masyarakat
umum bisa percaya diri kalau hasil pertanian Indonesia benar-benar bagus atau tidak kalah
dengan hasil pertanian negara lain. Selain itu, Indonesia harus tetap mewaspadai taktik dan
'trik' perdagangan China dimana pada tahun 2006, misalnya, melalui perusahaan eksportir
buah-buah nasional PT Friendship Prima yang melayangkan complain adanya penolakan
ekspor produk papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, alasannya Indonesia hanya
diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Pada konsultasi bilateral RI - China
di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak China atas penolakan
ekspor buah-buahan tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena
instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang 7. Padahal, sebagaimana diketahui,
produk buah-buahan yang masuk dalam kerangka EHP ACFTA maka sejak 1 Januari 2004

6
Lestari, Diena,. 2010. Produk Hortikultura di Bawah Bayangan Keterpurukan. Bisnis Indonesia

7
Produk hortikultura di bawah bayangan keterpurukan,Bisnis Indonesia, 2010
12
tarif bea masuknya sudah turun. Secara formal, Direktorat Jenderal Hortikultura mengajukan
surat resmi kepada Departemen Perdagangan c.q. Direktorat Regional selaku focal point
Indonesia. Kendati pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian siap memperketat
tindakan kontrol terhadap produk buah-buah asal China yang masuk ke Indonesia, seperti
menerapkan SNI wajib dan mendorong para petani menanam produk hortikultura sesuai
dengan asas good agricultural practices (GAP), tetapi ada hal yang tetap harus diingat dari
fenomena tersebut, maka perlu dicarikan formulasi yang tepat dalam menghadapi produk-
produk buah dan sayuran impor yang masuk ke Indonesia, khususnya daya saing produk
lokal terhadap produk buah dan sayur impor. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing
ini adalah melalui pembinaan kepada petani yang selama ini masih dirasakan belum optimal,
khususnya di tingkat daerah. Bahkan pemerintah pusat, misalnya, menuding selama ini peran
pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih sangat kurang. Padahal, dalam
era otonomi daerah, program pendampingan sudah sepenuhnya dilimpahkan oleh pemda.
Dalam konferensi pers baru-baru ini yang dilakukan oleh Dewan Hortikultura Indonesia
menyarankan untuk melakukan penerapan SNI wajib (meski sudah terlambat). Jika hal
tersebut dilakukan, sementara instrumen pendukung lainnya seperti infrastruktur jalan,
pelabuhan tidak dibenahi, produk pertanian-tidak hanya hortikultura-tidak akan efisien dan
mampu bersaing dengan produk impor. Selain itu juga dikatakan bahwa pembenahan sektor
pertanian khususnya hortikultura tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian
Pertanian, tapi juga dari institusi yang lain8.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Sayuran dan Buah-Buah Indonesia-China

Komoditi Neraca Perdagangan


Tahun Buah Sayuran Total (Indonesia-China)non migas
2004 153 139.3 292.3 8,706,064.20
2005 206.1 175.8 381.9 12,505,216.30
2006 225.8 171.9 397.7 14,980,466.40
2007 279.9 122.4 402.3 18,233,389.80
2008 302.1 264.3 566.4 26,883,672.60
2009 230.7 246.7 477.4 22,567,793.70
Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)
Tabel 4. Perkembangan Import Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia-China

Komoditi Neraca Perdagangan


Tahun Buah Sayuran Total (Indonesia-China)non migas
2004 216.4 109.3 325.7 8,706,064.20
8
Produk hortikultura di bawah bayangan keterpurukan,Bisnis Indonesia, 2010

13
2005 217.5 127.4 344.9 12,505,216.30
2006 327.8 190.6 518.4 14,980,466.40
2007 435.4 245.1 680.5 18,233,389.80
2008 452 292.7 744.7 26,883,672.60
2009 549.5 275.8 825.3 22,567,793.70
Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)

9. Metodologi Pengukuran Dampak ACFTA Terhadap Daya Saing Produk Buah-


Buahan dan Sayuran.
Seperti diketahui bahwa ACFTA memberikan dampak positif maupun negatif bagi
perkembangan perdagangan nasional khususnya di sektor pertanian, melalui konsep
comparative advantage di mana hubungan perdagangan antar negara dapat terjadi apabila
negara yang melakukan hubungan dagang masing-masing memiliki keunggulan-keunggulan
tertentu dalam menghasilkan dan memproduksi barang/jasa. Besarnya pengaruh dan dampak
kebijakan tarif sangat mempengaruhi perkembangan perdagangan dan produksi secara
keseluruhan.
Studi empiris mengenai seberapa besar dampak kebijakan ekonomi yang diambil oleh
pemerintah terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buaha-buahan lokal dalam
rangka meningkatkan daya saing pasca ditandanganinya ACFTA, kali ini akan dibahas secara
kuantitatif di mana penelitian ini menggunakan data time series. Adapun model ekonomi
yang diterapkan dalam penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan fenomena ekonomi yang
terjadi berkaitan dengan kondisi perdagangan internasional setelah diberlakukannya ACFTA.

Dalam model yang digunakan terdapat empat model persamaan yaitu:

1) TP = a0 + a1X - a2M + a3 GDP+ a4 ER + a5 T

2) GDP = b0 + b1INF + b2 CG + b3 CT + b4 NP

3) X = c0 + c1Xsb*ER - c2 T

4) M = d0 + d1Msb*ER – d2 T

Di mana diketahui:

Xsb: eksport buah dan sayur,


NPsb= neraca perdagangan ekspor buah dan sayur,
M= import buah dan sayur,
NP= neraca perdagangan total
14
X = total ekspor,
M= total import
INF= inflasi
ER = exchange rate
T = pajak
CT = konsumsi rumah tangga
CG = Konsumsi pemerintah
TP = total perdagangan

Sebagai variabel endogen adalah: TP, GDP, X, dan M. Sedangkan variabel eksogen terdiri
dari: CT, CG, ER, Xsb, Msb, NPsb, NP, dan INF.

Model dapat diartikan sebagai suatu penjelasan dari suatu fenomena nyata sebagai
suatu sistem atau proses yang sistematis (Koutsoyiannis, 1977). Labys (1973) menjelaskan
lebih lanjut bahwa model suatu komoditas merupakan penjelasan formal dari suatu pasar
domestik dan industri yang mencakup masalah ekonomi, kebijakan dan kelembagaan.
Suatu model merupakan representasi atau penyederhanaan dari fenomena aktual yang
ada didunia nyata (Intriligator, 1980). Untuk menyederhanakan fenomena tersebut dikenal
bentuk model aljabar. Model aljabar merupakan suatu model yang mampu mempresentasikan
keadaan dunia nyata atau fenomena dengan menggunakan berbagai sistem persamaan.
Suatu fenomena disederhanakan agar dapat melakukan estimasi yang akurat atas
perilaku dan fenomena. Model pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu
fenomena ekonomi adalah salah satu model ekonometrika.
Menurut Suharyono (1996) suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria di
bawah ini :
1. Kriteria ekonomi (menyangkut tanda dan besar parameter)
2. Kriteria statistik (menyangkut uji statistik)
3. Kriteria ekonometrika (mencakup asumsi ekonometrika)
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu 1969-
2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari instansi terkait seperti Badan Pusat
Statistik, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Bank Indonesia, Bank Dunia, FAQ,
ASKINDO, dam Departemen Pertanian maupun dari berbagai informasi-informasi lain
seperti jurnal-jurnal perkebunan, ekonomi dan hasil penelitian terdahulu serta internet. Data
yang digunakan merupakan data tahunan dan merupakan agregrasi secara nasional.

15
Sedangkan secara umum, analisa data digunakan untuk menjawab permasalahan yang
muncul dan mencapai tujuan yang ditetapkan serta dilakukan melalui beberapa tahapan
analisis. Adapun tahapan analisis tersebut mencakup: (1) identifikasi model, (2) metode
pendugaan model, (3) validasi model, dan (4) simulasi kebijakan ekonomi.
Setelah tahap perumusan model, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk
menduga model dalam bentuk persamaan simultan dengan melakukan identifikasi model
(Koutsoyiannis, 1977). Identifikasi berhubungan dengan masalah estimasi model. Jika suatu
persamaan tidak teridentifikasi (under identified), maka tidak ada teknik ekonometrika yang
dapat dilakukan untuk pendugaan semua parameter. Jika persamaan teridentifikasi secara
tepat (exactly identified), maka teknik yang paling tepat digunakan adalah Indirect Least
Square (ILS), sedangkan jika teridentifikasi secara berlebihan (over identified) maka berbagai
teknik dapat digunakan seperti Two Stage Least Squares (2SLS), Three Stage Least Squares
(3SLS), Limited Information Maximum Likehood (LIML) dan Full Information Maximum
Likehood (FIML). Identifikasi dilakukan dengan mengikuti dua syarat yaitu syarat keharusan
(order condition) dan syarat kecukupan (rank condition). Syarat keharusan terpenuhi jika
jumlah peubah predeterminan yang dikeluarkan dari persamaan yang diperiksa lebih besar
atau sama dengan jumlah peubah endogen yang di masuk-kan dalam persamaan tersebut
dikurangi satu.
Rumusan identifikasi model berdasarkan order condition adalah sebagai berikut :
(K-M) ≥ (G-1)
Di mana,
K = total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah
Pre-determined
M = jumlah peubah endogen dan oksigen yang termasuk dalam suatu
persamaan tertentu dalam model.
G = total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam
model.
Jika (K-M) lebih besar dari (G-1), maka suatu persamaan dalam model teridentifikasi
berlebih; jika (K-M) sama dengan (G-1) , maka persamaan tersebut teridentifikasi secara
tepat; sedangkan jika (K-M) lebih kecil dari (G-1), maka persamaan tersebut tidak
teridentifikasi.
Sementara itu, syarat kecukupan (rank condition) untuk suatu persamaan dapat diidentifikasi
adalah jika dan hanya jika mungkin membentuk sekurang-kurangnya satu determinan tidak

16
nol dari (G-1) susunan dan koefisien-koefisien struktural peubah yang dikeluarkan dari
persamaan yang diperiksa tersebut.
Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 4 persamaan atau 4
peubah endogen (G) dan 9 peubah eksogen. Sedangkan untuk pendugaan model digunakan
model persamaan simultan dengan kondisi setiap persamaan yang teridentifikasi terlebih
dahulu, maka pendugaan parameternya dapat menggunakan beberapa metode yang ada
seperti 2SLS, 3SLS, LIML, dan FIML. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan
penelitian, yaitu untuk mendapatkan koefisien peubah dari persamaan struktural secara
simultan. Pendugaan parameter secara simultan akan membantu simulasi kebijakan secara
tepat dan efisien. Metode yang dipilih untuk memperoleh nilai parameter dugaan pada model
perkembangan dan ekspor kakao di Indonesia adalah 3SLS. Metode 3SLS memberikan
pendugaan parameter struktural yang lebih efisien secara asimptotis dibandingkan metode
2SLS, karena dalam metode 3SLS digunakan informasi penuh berupa penggunaan kolerasi
unsur galat dalam persamaan struktural (Intriligator, 1980).
Alasan-alasan mengapa memilih metode 3SLS adalah:
1. Metode ini cocok digunakan untuk mengestimasi parameter model
ekonometrika simultan yang teridentifikasi berlebih (over identified).
2. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode 2 SLS, karena dalam
pendugaannya digunakan lebih banyak informasi dibandingkan metode 2SLS
3. Metode ini lebih sederhana dibandingkan metode FIML.
Sedangkan kelemahan metode 3SLS adalah membutuhkan jumlah data pengamatan
yang lebih besar dari peubah predeterminan dan pengetahuan yang lengkap mengenai
spesifikasi seluruh model. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penseleksian peubah yang
digunakan dalam pendugaan tahap pertama, yaitu dengan membuang sementara peubah yang
tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, kemudian dimasukkan kembali bila
ternyata tidak mempengaruhi keragaan peubah penjelas yang telah dimasukkan terlebih
dahulu.
Estimasi nilai parameter dalam persamaan-persamaan ekonometrika tersebut
dilakukan dengan menggunakan program computer SAS/ETS (Statistical Analysis System
Econometric Rime Series).
Uji kolerasi serial dengan menggunakan Durbin-Watson statistic tidak valid untuk
model persamaan simultan jika model mengandung lagged endogenous variables. Untuk

17
menguji apakah model mengalami kolerasi serial atau tidak digunakan Durbin h Statistik
(Pindyck dan Rubinfeld, 1991).

…………………………………………………(53)

Di mana,
h = angka Durbin h Statistik
T = jumlah pengamatan contoh

var = varians dari koefosien lagged endogenus variables

DW = nilai statistik Durbin-Watson

Jika nilai T (var lebih besar dari satu, maka uji statistic Durbin h tidak valid. Jika

statistik Durbin h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami
korelasi.
Dalam penelitian ini juga digunakan suatu validasi model yang dilakukan untuk
mengetahui apakah model tersebut cukup valid untuk simulasi kebijakan atau tidak. Dalam
validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi maka
dilakukan dengan menggunakan RMSE (Root Mean Square Error), RMSPE (Root Mean
Square Precent Error) dan U-theil (Theil’s Inequqlity Coefficent) (Pindyck dan Rubinfeld,
1991).
Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi
digunakan R² (koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U, serta makin besar R²
maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0, maka
pendugaan model sempurna. Sebaliknya jika U=1, maka pendugaan model naïf.
Nilai statistik tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

RMSE = ……………………………………………….(54)

18
RMSPE = ……………………………………………….(55)

U = ….…………….……………………….(56)

Di mana,

= Nilai simulasi dasar

= Nilai aktual observasi

n = Jumlah periode simulasi


Dari hasil validasi tersebut, pada akhirnya penulis dapat melakukan suatu simulasi
yang digunakan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap peubah-peubah endogen.
Analisis simulasi diterapkan pada periode 1988-2009 karena lebih lengkap dan terjamin.
Analisis ini mencakup periode yang sudah lampau, sehingga simulasi ini dinamakan simulasi
historis. Dengan demikian alternatif kebijakan ekonomi yang disimulasi adalah sebagai
berikut :
1. Kenaikan harga barang-barang (inflasi) sebesar 15 persen.
Naiknya harga barang-barang di dalam negeri diasumsikan akan mempengaruhi daya
beli dan daya saing produksi komoditas buah-buahan dan sayuran lokal. Hal ini dipicu
oleh naiknya harga pupuk, dan biaya transportasi yang akan mempengaruhi harga
komoditas tersebut sekaligus biaya produksi. Berdasarkan kondisi ini maka akan
dicoba skenario kenaikan harga rata-rata sebesar 15 persen.
2. Depresiasi nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar (USD) sebesar 18 persen.
Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan nilai tukar
rupiah melemah sampai dengan 18 persen. Skenario ini dilakukan untuk melihat
pengaruh penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terhadap
ekspor buah dan sayuran Indonesia.
3. Penurunan Nilai Ekspor Buah dan Sayuran sebesar 20 persen akibat globalisasi
perdagangan dan kebijakan perdagangan semenjak diberlakukannya ACFTA.

19
4. Pembebasan Tarif Perdagangan (T=0) baik ekspor maupun impor sebagai
konsekuensi dan komitmen dari pelaksanaan kesepakatan free trade area, di mana
masing-masing anggota negara yang menandatanganinya harus berkomitmen dalam
membebaskan tarif dari barang/jasa yang masuk ke suatu negara anggota yang
menandatangani kesepakatan.

10. Hasil Pendugaan Model

Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² sistem cukup tinggi
yaitu mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat
menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 23.54
persen diterangkan oleh peubah-peubah di luar model. Secara keseluruhan statistik F
mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara
bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah endogen,
digunakan uji statistik t.

Hasil statistik t menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara
individu tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen jika menggunakan taraf nyata
atau α sebesar 5 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel yaitu menggunakan α
yang lebih besar hingga 15 persen, maka sebagian besar peubah penjelas dalam setiap
persamaan perilaku berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Taraf nyata yang
digunakan dalam penelitian ini adalah A merupakan taraf nyata α sebesar 5 persen, B
merupakan taraf nyata α sebesar 10 persen, C merupakan taraf nyata α sebesar 15 persen .
Pengujian uji statistik DW pada model persamaan simultan yang mengandung lag merupakan
hal yang tidak valid, maka untuk menguji apakah terjadi autokorelasi atau tidak digunakan uji
statistik Durbin h. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model yang
digunakan dalam penelitian ini cukup representatif dalam menjelaskan fenomena-fenomena
perdagangan sayur dan buah lokal di pasar domestik dan pasar dunia.

8.1. Total Perdagangan

Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total
ekspor (X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan
Pajak Perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari
peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total perdagangan disajikan pada

20
table 5 berikut. Tabel. 5. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total
Perdagangan (TP)
Elastisitas
Parameter T for H0 Jk pendek Jk panjang
Peubah
dugaan Parameter=0
Intersep 16885031
Ekspor Total 25.4817 -0.27 0.032 0.15
Impor Total -94.2654 -0.89 -0.73 -0.58
GDP 69.40472 0.87 -0.22 0.36
ER 321.3292 0.68 0.12 0.09
Total Pajak Perdagangan 26.22723 3.05 A -0.08 -0.18
R² = 0.59456 Fhit = 4.69
Dari tabel di atas, terlihat secara keseluruhan R square yang diperoleh adalah sebesar
0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak Perdagangan yang berpengaruh secara
signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan nilai parameter sebesar 26.23
berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan nilai
perdagangan sebesar 26.23 rupiah per-kg.
Sementara nilai parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan
adalah 25.48 yang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000
rupiah per-kg akan menaikkan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg.
Hal ini disebabkan karena dengan naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total
perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak
secara signifkan. Sesuai dengan teori dikatakan bahwa total perdagangan suatu negara
merupakan jumlah keseluruhan barang-barang yang diekspor dikurangi dengan
barang-barang yang diimpor. Apabila nilai ekspor lebih besar dibanding dengan nilai
impor, menunjukkan bahwa negara tersebut mengalami surplus pada neraca
perdagangan dan sebaliknya apabila nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor,
maka dapat dikatakan negara tersebut mengalami defisit perdagangan sehingga neraca
perdagangannyapun mengalami defisit. Pada penelitian ini diketahui bahwa untuk
parameter peubah total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang
mana menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan
menyebabkan terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg.
Nilai parameter peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40
yang menandakan bahwa dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah
akan menyebabkan kenaikan GDP sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter
peubah nilai tukar (ER) terhadap total perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa
21
jika nilai tukar IDR menguat sebesar 1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan
total perdagangan sebesar 321.33 rupiah per-kg.
Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsif (respon
positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar
0,032 dan 0.15. Ini menunjukkan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan
menyebabkan terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan
akibat semakin tingginya penawaran komoditas sayur dan buah lokal di luar negeri
yang menyebabkan nilai total perdagangan akan ikut meningkat.
Dalam jangka pendek dan jangka panjang total impor responsif terhadap total
perdagangan di mana elastisitas yang diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nilai impor sayur dan buah lokal akan
menyebabkan terjadinya penurunan nilai total perdangangan secara keseluruhan
sebesar nilai tersebut.
Sebaliknya pada parameter peubah GDP terlihat memiliki respon yang negatif
dalam jangka pendek sebesar -0.22 yang menunjukkan dalam jangka pendek apabila
nilai perdagangan mengalami penurunan maka akan berpengaruh juga terhadap
penurunan total GDP. Hal ini disebabkan karena nilai perdagangan tersebut
mengalami defisit sehingga berpengaruh pada total GDP secara keseluruhan. Walau
demikian dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total perdagangan
mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan yang
disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan
pembebasan tarif ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian
ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36 sehingga penawaran akan komoditas
sayur dan buah lokal di luar negeri akan ikut meningkat.
Nilai tukar IDR terhadap USD dalam jangka pendek maupun panjang
memiliki respon yang positif terhadap nilai total perdagangan. Ini berarti jika nilai
tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka nilai total perdagangan
Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah terhadap USD,
dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
adalah sebesar 0.12 dan 0.09 yang menunjukkan bahwa para petani dalam hal ini akan
cenderung meningkatkan produksinya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
ekspor komoditas sayur dan buah (secara tidak langsung petani akan cenderung
berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya sesuai dengan standar

22
yang telah ditentukan oleh negara-negara tujuan ekspor). Hal ini tentu saja akan
menciptakan daya saing bagi produk komoditas tersebut.
Pajak perdagangan (pajak ekspor dan impor) dalam jangka pendek maupun
jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki respon yang negatif yaitu sebesar
0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan nilai impor pajak akan
menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika dianalisa kenaikan pajak
tersebut cenderung akan menurunkan nilai ekspor. Apabila dilihat dari sisi nilai
impornya kenaikan pajak impor tersebut tentu saja sangat berguna bagi daya saing
komoditas lokal di dalam negeri karena terbukti dalam beberapa tahun terakhir ini
saja sudah sangat banyak sayuran dan buah impor yang masuk dan membanjiri pasar
domestik (bahkan mematikan daya saing petani sayur dan buah lokal didalam negeri).
Akan tetapi jika dilihat dari sisi ekspor tentu saja hal ini sangatlah menghambat bagi
para petani dan khususnya para eksportir, karena dengan kenaikan pajak ini tentu saja
akan mengurangi daya saing produk/komoditas sejenis di negara lain, sehingga akan
berpotensi menurunkan nilai ekspor sayur dan buah secara khusus dan total ekpor
secara keseluruhan.
8.2. Gross Domestic Product
Dari model diperoleh bahwa GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi
Pemerintah (CP), Konsumsi Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP). Secara
rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubah-peubah yang mempengaruhi
nilai total perdagangan disajikan pada tabel 6 sebagai berikut.
Tabel. 6. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi GDP
Elastisitas
Parameter T for H0 Jk pendek Jk panjang
Peubah
dugaan Parameter=0
Intersep 33031.71 6.94
Inflasi -335.979 -1.26 -0.162 -0.008
CP 0.011746 0.21 0.56 0.92
CT -0.00282 -0.67 -0.082 -0.133
NP -0.52519 -1.81B 0.018 0.11

R² = 0.35089 Fhit = 2.3

Tabel di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan R square dari persamaan model
tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukkan terdapat hubungan antara

23
variabel dependen terhadap variabel independen meskipun hanya sebesar 0.35089
atau 35 persen, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (eksogen).
Nilai parameter peubah inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan
menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun
jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi mengalami respon yang negatif yaitu
sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek dengan kenaikan tingkat inflasi akan
menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar 0.162 dan GDP akan turun sebesar
0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi. Hal ini disebabkan karena dengan
naiknya harga-harga barang dalam negeri akan memicu peningkatan konsumsi baik
konsumsi pemerintah maupun konsumsi rumah tangga sehingga akan mengurangi
pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah akan menaikkan GDP
sebesar 0.011746. Dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah akan
merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada tabel di mana
dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk
jangka panjang. Dengan kata lain kenaikan konsumsi pemerintah (dalam hal ini
merupakan konsumsi pemerintah dalam rangka meningkatkan pembangunan) akan
merespon secara baik terhadap kenaikan GDP secara keseluruhan. Hal ini terjadi
karena umumnya konsumsi pemerintah tersebut berkaitan dengan investasi dalam
negeri yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan perbaikan infrastruktur
sehingga dapat meningkatkan taraf pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah
sebesar -0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi rumah tangga naik maka
kedua variabel akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan
dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah
sebesar 0.082 dan 0.133, yang dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif
antara GDP dengan konsumsi rumah tangga (CT). Ini juga berarti apabila terjadi
kenaikan pada konsumsi rumah tangga (CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan
GDP yang mungkin salah satunya disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-
barang komoditas (inflasi) di dalam negeri sehingga menyebabkan semakin besarnya

24
uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengkonsumsi barang dan
berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
Begitu pula dengan parameter penduga Neraca perdagangan (NP) terhadap
GDP yang merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari
tabel diperoleh angka sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan defisit
neraca perdagangan (impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan
GDP secara keseluruhan (sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa
yang dihasilkan di dalam negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang
elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.018 dan 0.11. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsif antara Neraca
Perdagangan dengan GDP, di mana dengan semakin membaiknya posisi neraca
perdagangan (nilai ekspor lebih besar dari impor) akan mempengaruhi peningkatan
GDP dan ini berarti bahwa pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya produk barang dan jasa yang dihasilkan.
Salah satu kenaikan ekspor tersebut adalah disebabkan semakin meningkatnya daya
saing produk lokal di luar negeri yang memicu para petani maupun eksportir lebih
meningkatkan kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
pasar luar negeri.

8.3. Total Ekspor


Dari model diperoleh bahwa Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan
sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan
total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari
peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 7 berikut.
Tabel. 7. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor
Elastisitas
Parameter T for H0 Jk pendek Jk panjang
Peubah
dugaan Parameter=0
Intersep 26155.74 4.28
Xsb*ER 0.000048 1.57 0.22 0.34
T 0.097921 3.37 A 0.036 0.072

R² = 0.73249
Fhit = 26.01

25
Secara keseluruhan diperoleh R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar
73.25 persen. Nilai parameter peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf
nyata sebesar 15 persen, hal ini cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan
ekspor sayur dan buah lokal sebesar 1000 rupiah per kg akan meningkatkan total
ekspor sebesar 48 rupiah per kg. Sedangkan untuk jangka pendek dan jangka panjang
nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup responsif antara Total ekspor (X) dan total ekspor buah dan sayuran
dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD (Xsb*ER), di mana baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang peningkatan nilai ekspor buah dan sayuran lokal akan
meningkatkan total ekspor secara keseluruhan. Ini berarti bahwa dengan semakin
meningkatnya daya saing komoditas sayur dan buah lokal bagi kebutuhan luar negeri
akan mendorong peningkatan ekspor komoditas tersebut sekaligus mampu
menyumbang peningkatan ekspor secara keseluruhan.
Begitu pula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X),
diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar
1000 rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah
per-kg dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap kemampuan daya saing produk lokal akan tetapi kenaikan pajak
tersebut justru ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia
(impor). Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas
pajak terhadap ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini
memungkinkan bahwa dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor
terhadap komoditas tertentu) akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga
penawaran produk/komoditas sayur dan buah lokal tidak terpengaruh oleh kenaikan
pajak tersebut.

8.4. Total Impor (M)


Dari model diperoleh bahwa Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan
sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan
total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari
peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 8
Tabel. 8. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor
Peubah Parameter T for H0 Elastisitas
dugaan Parameter=0 Jk pendek Jk panjang
26
Intersep 20204.57 5145.121
Msb*ER 1.495E-6 0.000048 0.038 0.012
T 0.102744 0.059818B 0.175 0.28

R² = 0.63281
Fhit = 16.37
Dari tabel diatas diperoleh R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen,
dengan nilai parameter peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6,
yang berarti bahwa dengan kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan
menyebabkan kenaikan impor sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka
pendek dan jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012
yang menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara
tertentu (misal China) akan menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor
sebesar nilai tersebut, dan juga menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri
terhadap komoditas sayur dan buah akan meningkat apabila penawaran komoditas
tersebut juga meningkat sebagai akibat membanjirnya produk-produk tersebut di
dalam negeri dengan harga murah. Apabila dikaitkan dengan daya saing terhadap
komoditas dalam negeri tentu saja akan menjadi suatu ancaman yang sangat serius
(karena berpotensi mematikan usaha petani dan menurunkan produksi terhadap
komoditas tersebut).
Pada parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara
statistik sebesar 0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk
1000 rupiah per-kg komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor
sebesar 0.102744. Hal ini terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor
yang menyebabkan harga komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga
sebelum kenaikan pajak. Dengan kata lain kondisi tersebut tentu saja akan mematikan
daya saing produk lokal terhadap produk-produk impor yang nasuk ke dalam negeri.
Begitu pula secara jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas sebesar 0.175 dan
0.28 yang menunjukkan hubungan yang cukup responsif antara pajak dan total impor
di mana dengan adanya pembebasan tarif (apabila ACFTA tersebut diberlakukan)
akan mempengaruhi daya saing produk/komoditas lokal terhadap komoditas impor
yang harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

8.5. Validasi Model


27
Validasi model diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku
data aktual yang digunakan di dalam model. Validasi statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah RMSPE untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah
endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau
seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persentase Selain itu, digunakan koefisien U
Theil untuk mengevaluasi kehandalan model untuk digunakan dalam analisis simulasi
kebijakan. Suatu pendugaan model dikatakan baik apabila nilai RMSE (Root Mean Square
Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan U Theil (Theill Inequality
Coefficient) semakin kecil. Di mana nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U sama dengan 0
maka pendugaan model adalah sempurna dan bila U sama dengan 1 maka pendugaan model
sangat buruk (Theil, 1965 dalam Tri Imido Sematoto, 2004).
Model yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi selama 28 tahun terakhir
dengan menggunakan nilai RMSE, RMSPE, dan U yang disajikan dalam tabel 9 dan hasil
evaluasi berdasarkan kriteria tersebut menjelaskan bahwa dari 4 persamaan yang membentuk
model diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 9. Validasi model Daya Saing Produk Buah dan Sayuran Lokal
Peubah Endogen RMSE RMSPE U R²

Total Perdagangan (TP) 11234.5 70.5194 0.2592 0.3477


GDP 3026463 13.0906 0.0750 0.5026
Total ekspor (X) 15070.6 30.3376 0.1196 0.7325
Total Impor (M) 14610.1 34.3469 0.1603 0.6328

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 4 persamaan yang membentuk model terdapat 3
persamaan atau 75 persen diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara
itu berdasarkan sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki
nilai U diatas 0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21
tersebut adalah Total Perdagangan (TP).

8.6. Simulasi Analisis Daya Saing Produk Buah dan Sayur


8.6.1. Dampak Kenaikan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen
Tabel 10. Dampak Kebijakan Tingkat Inflasi sebesar 15 persen Terhadap Peubah-peubah Endogen
Nilai Rata-rata
Peubah Endogen Satuan Simulasi dasar Simulasi scenario 1 Perubahan

28
Total
Perdagangan (TP) 1000/ton 18695 18127.9 -0.030334314
GDP 1000 19868997 19827732 -0.002076854
Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 56910.7 0.001220943
Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.2. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR Terhadap USD sebesar 18 persen Terhadap
Peubah-peubah Endogen
Tabel 11. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR sebesar 18 persen Terhadap Peubah-peubah
Endogen
Nilai Rata-rata
Peubah Endogen Satuan Simulasi dasar Simulasi scenario 1 Perubahan
Total
Perdagangan (TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582
GDP 1000 19868997 20217589 0.017544519
Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 56910.7 0.001220943
Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.3. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap Peubah-
peubah Endogen
Tabel 12. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap
Peubah-peubah Endogen
Nilai Rata-rata
Simulasi Simulasi
Peubah Endogen Satuan dasar scenario 1 Perubahan

Total Perdagangan
(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582
GDP 1000 19868997 19866875 -0.0001068
Total ekspor (X) IDR/KG 45473.1 56910.7 0.251524528
Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 40029.8 3.74735E-05

8.6.4. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap Peubah-


peubah Endogen
Tabel 13. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap
Peubah-Peubah Endogen
Peubah Endogen Satuan Nilai Rata-rata Perubahan
29
Simulasi Simulasi
dasar scenario 1

Total Perdagangan
(TP) 1000/ton 18695.0 18691.9 -0.00016582
GDP 1000 19868997 17210530 -0.133799758
Total ekspor (X) IDR/KG 56841.3 38393.2 -0.324554505
Total Impor (M) IDR/KG 40028.3 20600.2 -0.485359108

9. Implikasi Kebijakan Dalam menghadapi ACFTA

9.1. Implikasi Kredit Perbankan Dalam Menghadapi Dampak ACFTA

Sudah menjadi stigma, bahwa produk China yang variatif dan berdaya saing luar
biasa tinggi karena produktivitas SDM yang didukung infrastruktur, pembiayaan murah, dan
penguasaan sumber energi yang tangguh selalu mencari celah untuk membanjiri pasar dunia.
Ketika aggregat demand dunia merosot sebagai dampak krisis keuangan global 2008,
produk-produk China melakukan pelarian pasar ke negara yang konsumsinya tinggi seperti
Indonesia termasuk dengan menerapkan skema konsinyasi atau bayar belakangan dan kredit.
Bagi China yang penting produknya laku dipasaran.
Jika diamati dengan saksama, produk China umumnya hanya masuk ke segmen pasar
menengah ke bawah dan mudah menyingkirkan produk UMKM dosmetik terutama buah-
buah dan hortikultura lainnya, perikanan, makanan minuman, obat-obatan, jamu-jamuan,
kosmetik, pakaian jadi, alas kaki, mebel, keramik, hingga barang kerajinan.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi untuk meningkatkan efektivitas dan optimalisasi
pelaksanaan program dan kebijakan tersebut seperti yang lahir dari Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi dan Pemberdayaan UMKM (Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan
Inpres 5/2008), Kebijakan Counter cyclical, dan Kebijakan Debottlenecking. Akan tetapi
masalah yang tidak pernah berkembang adalah pembiayaan perbankan untuk pembiayaan
modal kerja dan investasi. Tidak jelas apakah risiko usaha di Indonesia begitu menakutkan
ataukah ada kelemahan entrepreneurship para bankers Indonesia dibandingkan dengan begitu
mudahnya sektor riil di China dan negara tetangga kita memperoleh kredit. Untuk menarik
bank masuk ke sektor tertentu perlu intervensi anggaran pemerintah, seperti mengambil risiko
dengan penjaminan atau pemberian subsidi suku bunga. Kebijakan-kebijakan tadi sangat
memerlukan kecepatan sinergi dan komando lapangan yang mengawasi dan mengevaluasi
efektivitasnya terhadap penguatan sektor riil.
30
Salah satu permasalahan mengapa produk-produk lokal tidak dapat bersaing dengan
produk-produk China adalah kemampuan dari para pelaku-pelaku ekonomi yang
memproduksi barang yang setara dan bersaing dalam harga. Karena pada umumnya para
pelaku ekonomi China mampu membaca situasi suatu negara dengan tingkat konsumsi tinggi
tetapi daya belinya rendah. Dengan kenyataan tidak adanya dukungan dari dunia perbankan
dalam menggerakkan ekonomi sektor riil, karena suku bunga pinjaman kepada pelaku-pelaku
bisnis dalam negeri masih dirasakan sangat tinggi, hal ini ditandai dengan tingginya kredit
yang belum dicairkan nasabah (undisbursed loan) di sektor perdagangan pada tahun 2009
yang menunjukkan adanya kelesuan di dunia perdagangan dalam negeri. Ada beberapa alasan
mengapa sektor perbankan cukup enggan untuk terlibat dalam menggerakkan sektor riil
tersebut. Pertama, kondisi perdagangan yang tidak menguntungkan, hal ini biasa dilakukan
dengan cara melihat kapasitas daya beli masyarakat yang rendah yang berarti pesimisme dari
pemerintah terhadap daya beli masyarakat dan terhadap perdagangan internasional juga
cukup mempengaruhi pemerintah. Selain itu juga kecenderungan pedagang yang memiliki
kebiasaan untuk menunggu melonjaknya permintaan juga ikut berpengaruh karena
mengharapkan keuntungan besar dari lonjakan permintaan tersebut. Masalahnya, perjanjian
itu secara keseluruhan dapat menahan pengusaha untuk mencairkan kredit. Pedagang akan
cenderung menahan kredit itu. Di sisi lain, perbankan pun bakal cenderung bersikap hati-hati
dalam menyalurkan kreditnya.
Selain masalah perdagangan. kredit yang tidak tercairkan itu juga dapat disebabkan
karena proyek infrastruktur yang tertunda. Kemudian, sejumlah pengusaha beralih ke bentuk
pinjaman lain yang dinilai lebih dapat bersaing. Bank Indonesia mengumumkan perjanjian
kredit perbankan dengan nasabah yang belum dicairkan sepanjang 2009 mencapai Rp 250
triliun, di mana sebagian besar kredit yang tidak dicairkan itu berasal dari sektor
perdagangan9.
Hal itu bertolak belakang sekali dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah China
dalam menggerakkan ekonomi sektor riil-nya. Perhatian pemerintah China terhadap industri-
industri kecil dan menengah di China sangatlah besar, terbukti pemerintah China telah
mengeluarkan paket subsidi bunga bagi perbankan yang mendukung industri kecil dan
menengah di negara tersebut, sehingga para pebisnis dan pelaku ekonomi kecil dan
menengah di China merasa terbantu dan dimudahkan dalam kendala permodalan. Berbeda
dengan kondisi di Indonesia, di mana suku bunga pinjaman dirasakan masih sangat timggi
dan sangat tidak kompetitif. Suku bunga Indonesia masih sekitar 13%-15%, sementara negara
9
Bank Indonesia, 2009
31
Asean termasuk China sudah 3%-5%, bahkan untuk kredit usaha kecil seperti kredit usaha
rakyat (KUR) penetapan suku bunga sangat tinggi sekitar 22%-24%. Jelas di sini terlihat,
bagaimana kesuksesan produk-produk China terjadi, dukungan yang kuat dari pemerintah
baik regulasi perdagangan, regulasi perbankan, dan infrastruktur menjadi salah satu faktor
utama. Mestinya hal inilah yang harus ditiru oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, hal ini
bukan hanya merupakan perkerjaan rumah yang ditujukan kepada Departemen Perdagangan
dan Industri saja tetapi juga merupakan pekerjaan rumah berupa dukungan dan koordinasi
antar departemen yang terkait termasuk dalam hal ini bank sentral dan lembaga-lembaga
negara lainnya (seperti kepolisian, kejaksaan, departemen PU), BUMN, Kadin, dan pihak
swasta lainnya.

9.2. Implikasi Perbandingan Tingkat Harga Akibat Adanya Hambatan Hambatan


Bisnis
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu implikasi penyebab dari
ketidakmampuan bersaing produk-produk lokal dalam negeri terhadap produk-produk China
yang masuk dikarenakan tidak adanya dukungan dari sektor perbankan dalam menggerakkan
ekonomi kerakyatan (mikro) di Indonesia. Adapun penghambat lainnya yang dapat disinyalir,
mengapa produk lokal tidak mampu bersaing dengan produk China dapat dilihat pada tabel
14 dibawah ini.
Tabel 14. Tingkat Penghambat Bisnis Indonesia-China (dalam persentase)
No Jenis Persentase Tingkat Hambatan
Indonesia China
1. Akses Finansial 7,8 16,8
2. Efisiensi Birokrasi Pemerintah 23,2 11,1
3. Aturan Pajak NA 9,6
4. Instabilitas Kebijakan 9,0 8,5
5. Kekurangan Infrastruktur 14,8 8,5
6. Korupsi 8,7 7,4
7. Kekurangan SDM ahli NA 7,8
8. Tarif Pajak 6,8 7,1
9. Inflasi 6,1 5,8
10. Peraturan Tenaga Kerja 7,1 NA
11. Regulasi Tukar Rupiah 5,2 NA
Sumber: E. Gumbira-Said, Dampak dan Peluang ACFTA Pada Kinerja Agribisnis dan
Agroindustri Indonesia, 2010
Dari tabel terlihat bahwa, dibandingkan dengan China, ternyata Indonesia rata-rata
memiliki tingkat penghambat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat penghambat
di China, kecuali pada efisiensi birokrasi pemerintah (yaitu sebesar 23,2 persen), meskipun
32
demikian faktor penghambat dari efisiensi birokrasi pada kenyataannya masih dirasakan
sangat kurang dan belum berdampak besar bagi perkembagan industri dan perdagangan di
Indonesia. Hal ini terbukti dari sebagian besar pernyataan di kalangan usahawan yang selalu
mengeluhkan pelayanan birokrasi pemerintahan sehingga menyebabkan adanya ekonomi
biaya tinggi yang berasal dari berbagai pungutan yang dikenakan bagi pelaku-pelaku bisnis di
Indonesia. Pungutan-pungutan tersebut menyebabkan para pelaku bisnis cenderung
mengambil langkah mudah dengan cara menaikkan harga produk yang lebih tinggi dibanding
dengan produk China, meskipun terkadang produk tersebut memiliki tingkat kualitas yang
sama bahkan terkadang jauh lebih baik dari produk China.

10. Kesimpulan dan Saran


10.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Upaya
Peningkatan Daya Saing Sayur dan Buah Lokal Pasca ACFTA, maka dapat disimpulkan
beberapa hal:
1) Perdagangan Indonesia mengalami masalah dalam daya saing baik produksi maupun
besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.
Lemahnya dayasaing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi seperti: (1) biaya pengurusan kontainer di pelabuhan (THC) masih
tertinggi di ASEAN ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan,
(2) adanya biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor baik itu
ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat
maupun daerah, (3) masalah struktural yang dihadapi industri yang belum tuntas digarap
secara serius seperti masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara,
dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen, masalah lain
seperti lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi, rendahnya produktivitas tenaga
kerja industry, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai
dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan, dan masih
terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra, (4) adanya perubahan
keunggulan komparatif kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan
komparatif yang rendah dimasa lalu.
2) Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R² system cukup rendah yaitu
mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat
33
menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 27.54
persen diterangkan oleh peubah-peubah diluar model. Secara keseluruhan statistik F
mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara
bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah
endogen.
3) Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total ekspor
(X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan Pajak Perdagangan
(T). R quare yang diperoleh adalah sebesar 0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak
Perdagangan yang berpengaruh secara signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan
nilai parameter sebesar 26.23 berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per- kg
akan meningkatkan nilai perdagangan sebesar 26 rupiah per-kg. Sementara nilai
parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan adalah sebesar 25.48 ini
menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000 rupaih per-kg akan
menaikan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg. Ini berarti dengan
naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total perdagangan baik dalam negeri
maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak secara signifkan. Parameter peubah
total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang mana menunjukan
bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan
terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg. Nilai parameter
peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40 yang menandakan bahwa
dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah menyebabkan kenaikan GDP
sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter peubah nilai tukar (ER) terhadap total
perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa jika nilai tukar IDR menguat sebesar
1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan total perdagangan sebesar 321.33 rupiah
per-kg. Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsive (respon
positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar 0,032
dan 0.15 ini menunjukan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan menyebabkan
terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan akibat semakin
tingginya penawaran komoditas sayur dan buah local di luar negeri yang menyebabkan
nilai total perdagangan pun akan ikut meningkat. Dalam jangka pendek dan jangka
panjang total impor responsive terhadap total perdagangan dimana elastisitas yang
diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang menunjukan bahwa dengan meningkatnya
nilai impor sayur dan buah local menyebabkan terjadinya penurunan nilai total

34
perdangangan secara keseluruhan sebesar nilai tersebut. Sebaliknya pada parameter
peubah GDP terlihat memiliki repon yang negative dalam jangka pendek sebesar -0.22
yang menunjukan dalam jangka pendek apabila nilai perdagangan mengalami penurunan
maka akan berpengaruh juga terhadap penurunan total GDP, hal ini disebabkan karena
nilai perdagangan tersebut mengalami deficit sehingga berpengaruh pada total GDP
secara keseluruhan. Sebaliknya dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total
perdagangan mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan
yang disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan
pembebasan tariff ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian
ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36. Nilai tukar IDR terhadap USD dalam
jangka pendek maupun panjang memiliki respon yang positif terhadap nilai total
perdagangan ini berarti jika nilai tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka
nilai total perdagangan Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah
terhadap USD , dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang adalah sebesar 0.12 dan 0.09 Pajak Perdagangan (pajak ekspor dan impor)
dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki
respon yang negatif yaitu sebesar 0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan
dan nilai impor pajak akan menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika
kita anlisakan bahwa dengan kenaikan pajak tersebut cenderung akan menurunkan nilai
ekspor.
4) GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi Pemerintah (CP), Konsumsi
Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP) dimana R square dari persamaan model
tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukan terdapat hubungan antara variabel
dependent terhadap variabel independent meskipun hanya sebesar 0.35089 atau 35
persen, dan sisanya dipengaruhi oleh factor-faktor lain (eksogen). Nilai parameter peubah
inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang menunjukan bahwa jika terjadi
kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta
rupiah. Dan dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi
mengalami respon yang negative yaitu sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek
dengan kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar
0.162 dan GDP akan turun sebesar 0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi.
Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746 yang
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah maka akan menaikan

35
GDP sebesar 0.011746. Dan dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah
akan merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada table dimana
dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk jangka
panjang. Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah sebesar -
0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi ruah tangga naik maka kedua akan
menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.082 dan 0.133; dimana dalam
hal ini dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif antara GDP dengan konsumsi
rumah tangga (CT) ini juga berarti apabila terjadi kenaikan pada konsumsi rumah tangga
(CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP yang mungkin salah satunya
disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-barang komoditas (inflasi) didalam negeri
sehingga menyebabkan semakin besarnya uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat
untuk mengkonsumsi barang dan berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat
secara keseluruhan. Parameter penduga Neraca perdagangan (NP) terhadap GDP yang
merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari tabel diperoleh
sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan deficit neraca perdagangan
(impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan GDP secara keseluruhan
(sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam
negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah
sebesar 0.018 dan 0.11; kondisi tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
culup responsive antara Neraca Perdagangan dengan GDP.
5) Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai
tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan total pajak perdagangan (T),
dengan R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar 73.25 persen. Nilai parameter
peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf nyata sebesar 15 persen, hal ini
cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan ekspor sayur dan buah local sebesar
1ooo per kg akan meningkatkan total ekspor sebesar 48 rupiah per kg Sedangkan untuk
jangka pendek dan jangka panjang nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsive antara Total ekspor (X)
dan total ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD
(Xsb*ER. Dan ini berarti bahwa dengan semakin meningkatnya daya saing komoditas
sayur dan buah local bagi kebutuhan luar negeri mendorong peningkatan ekspor
komoditas tersebut sekaligus mampu menyumbang peningkatan ekspor secara

36
keseluruhan. Begitupula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X),
diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar 1000
rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah per-kg
dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan
terhadap kemampuan daya saing produk local akan tetapi justru dengan kenaikan pajak
tersebut ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia (impor).
Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas pajak terhadap
ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini memungkinkan bahwa
dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor terhadap komoditas tertentu)
akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga penawaran produk/komoditas
sayur dan buah local tidak terpengaruh oleh kenaikan pajak tersebut.
6) Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai
tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan total pajak perdagangan (T),
dengan nilai R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen, dengan nilai parameter
peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6, yang berarti bahwa dengan
kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan kenaikan impor
sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka pemdek dan jangka panjang
elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012 menunjukkan bahwa dengan
adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara tertentu (missal China) akan
menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor sebesar nilai tersebut, dan juga
menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri terhadap komoditas sayur dan buah akan
meningkat apabila penawaran komoditas tersebut juga meningkat sebagai akibat
membanjirnya produk-produk tersebut didalam negeri dengan harga murah. Pada
parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara statistic sebesar
0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk 1000 rupiah per-kg
komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor sebesar 0.102744. ini
terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor yang menyebabkan harga
komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga sebelum kenaikan pajak. Diketahui
juga jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas adalah sebesar 0.175 dan 0.28 yang
menunjukkan terdapat hubungan yang cukup respionsive antara pajak dan total impor
dimana dengan adanya pembebasan tariff (apabila ACFTA tersebut diberlakukan) akan
mempengaruhi daya saing produk/komoditas local terhadap komoditas impor yang
harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.

37
7) Terdapat 4 persamaan yang membentuk model, terdapat 3 persamaan atau 75 persen
diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara itu berdasarkan
sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki nilai U diatas
0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21 tersebut
adalah Total Perdagangan (TP).
8) Simulasi dilakukan dengan 4 skenario, dimana untuk scenario ke-1 yaitu berupa kenaikan
tingkat inflasi sebesar 15 persen maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18127.9), GDP
(19827732), X (56910.7), dan M (40029.8). Skenario 2 yaitu Depresiasi IDR Terhadap
USD sebesar 18 persen, maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18691.9), GDP
(20217589), X(56910.7), dan M(40029.8). Skenario 3 yaitu penurunan nilai Ekspor Sayur
dan Buah sebesar 20 persen, maka perubahannya akan diperoleh nilai rata-rata untuk TP
(18691.9), GDP (19866875), X (56910.7), dan M (40029.8). Sedangkan untuk scenario ke-
4 adalah kebijakan pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0), sehingga perubahan
rata-rata diperoleh sebagai berikut: TP (18691.9), GDP (17210530), X(38393.2), dan
M(20600.2)

10.2. Saran
Adapun saran-saran yang bisa diberikan dalam tulisan ini adalah:
A. Peningkatan daya saing produk
Pemerintah dan para pelaku usaha agrisbisnis Indonesia dituntut untuk dapat
meningkatkan daya saing komoditas khususnya untuk produk sayuran dan buah-buah,
sehingga produknya dapat bersaing dengan produk-produk dari China yang masuk ke
Indonesia.
Adapun usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing tersebut adalah:
1. Pemberian Subsidi untuk barang-barang yang akan diekspor berupa pemberian
insentif pajak.
2. Perbaikan Sistem Kredit Perbankan, melalui pemberian kredit dengan suku bunga
yang rendah.
3. Pemberian standarisasi dan label kepada jenis buah dan sayuran yang masuk ke
Indonesia, dimana peningkatan ekspor produk buah-buah Indonesia perlu diiringi penerapan
standar nasional karena negara pengimpor mulai memperketat aspek kesesuaian dengan
standar internasional.
4. Efisiensi Cost

38
Terhadap biaya-biaya dan kendala-kendala yang dianggap tidak mendukung
peningkatan volume perdagangan ekspor, termasuk dalam hal ini peraturan-peraturan (baik
perpu maupun perda) maupun penidaktegasan terhadap pungutan-pungutan liar yang
mempengaruhi daya saing produk (baik harga maupun kualitas)
5. Pemantapan infrastruktur (baik yang soft maupun hard)
Yang bisa mendukung daya saing produk baik kualitas, harga, dan jumlah; seperti:
aturan-aturan dan regulasi dalam negeri dan luar negeri, transportasi, promosi, listdaik,
komunikasi, dan lain-lain.
6. Mengembangkan komoditas/produk non komplementer potensial
Seperti buah-buah tropik eksotik (mangga, nenas, pisang, durian, manggis, rambutan,
papaya), sayuran tropika khusus (kacang panjang, kangkung, nangka, labu siam, ikan tangkap
(kerapu, hiu, pari, tuna, teri), rumput laut, dan makanan olahan khas Indonesia.
7. Konsep Kemitraan
Untuk memfasilitasi petani dengan penguatan modal, kualitas produk, dan pemasaran,
maka perlu dibangun suatu pola kemitraan. Penguatan modal dilakukan berdasarkan
pengembangan kawasan. Penekanannya pada jumlah petani yang mendapatkan modal, petani
yang bermitra, dan jumlah komoditas yang diusahakan. Sementara mengenai fasilitas
kemitraan, pemerintah harus mampu membantu penataan rantai pasokan (management
supply chain). Untuk lebih meningkatkan kemitraan, pemerintah akan menerbitkan peraturan
pemerintah karena memang belum ada yang mengatur kemitraan di bidang hortikultura.
Selama ini kemitraan diserahkan kepada petani langsung atau pengusaha yang punya model
sendiri. Konsepnya akan ditawarkan kepada pelaku usaha.
Sesungguhnya model kemitraan tergantung jenis komoditasnya. Pada kentang
misalnya, perusahan benih membantu penyediaan benih dan modal kepada petani. Lalu
petani menanam kentang sesuai varietas yang sudah disiapkan perusahaan tersebut dan sesuai
dengan permintaan pabrik. Nanti ketika panen, pabrik membeli hasil produksinya.

B. Pengembangan kawasan agribisnis holtikultura


Berdasarkan komoditas dan jenis-jenis usaha tani melalui sentra-sentra produksi dan
industri hortikultura diwilayah-wilayah tertentu.

C. Kampanye Kecintaan Produk dalam negeri disemua kalangan

39
Melalui upaya penggalakan program penggunaan dan kecintaan terhadap produk
dalam negeri. Dengan program ini diharapkan masyarakat dapat ikut berperan serta dalam
meningktkan daya saing produk dalam negeri, melalui upaya penggunaan produk dalam
negeri, kecintaan dan kebanggaan terhadap produk dalam negeri, sekaligus memberi
kesempatan yang besar bagi produk dalam negeri untuk menguasai pangsa pasar di negeri
sendiri. Sehingga secara langsung produk dalam negeri dapat bersaing dalam kualitas dan
produknya terhadap membanjirnya produk-produk luar.

DAFTAR PUSTAKA

Curry, F.E. 2001. Memahami Ekonomi Internasioanal. World Trade Press, Jakarta.
40
Debirtin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics, Macmillan Publishing Company
New York.
Dornbusch, R.dan S. Fischer. 1987. Makro Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Handarson, J.M. dan R.E. Quant. 1980. Micro Economic Theory: A Mathematical
Approach, Mc Graw-Hill. International Stududen Edition. Singapura.
Intriligator, M.D. 1980. Econometric models, Techniques and Applications. Prentice-Hall
Inc New Delhi.
Junaidi. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kindleberger, C.P. dan D.H. lindert. 1982. Internacional Economics. Richard D. Irwin Inc,
Massachusetts.
Koustsoyiannis, 1997. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometrics Methods, Second Edition. The Machmillan press Ltd, London.
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld.2000, Internacional Economics: Theory and Policy. Fifth
Edition. Addison-Wesley Publishing Company, New York.
Labys, W.C. 1973. Dinamic Comodity Models: Specipicatio, Estimation and Simulation.
Mass D.C Heath and Company, Lexington.1975. Qualitative Model of Commodity
Markets. Balinger Publishing Company, Cambrige.
Lindert, P.H. Ekonomi Internasional. Edisi Kesembilan. Bumi Aksara, Jakarta.
Lolowang, T.F.1999. Analisis Penawaran dan Permintaan kakao Indonesia di pasar
domestic dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Indonesia Policy Briefs,. 2010,. Memulihkan Daya Saing,. World Bank Report
Irawadi, Putra, Edy,. 2009. Sinergi Penguatan Sektor Riil. Bisnis Indonesia
Kamar Dagang dan Industri,. 2010,. Bukti-Bukti Pemikiran Perdagangan Indonesia 2019-
2014, Kadin.
Kuncoro Mudrajad,. 2010,. Impian di Balik Asean-Tiongkok,. Investorindonesia,com
Lestari, Diena,. 2010. Produk Hortikultura di Bawah Bayangan Keterpurukan. Bisnis
Indonesia
Lijun, Sheng,. 2003. China –Asean Free Trade Area: Origins, Development, and Strategic
Motivation,. ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series
No. 1
Medalla, M.,Erlinda and Balboa, D,. Jenny,. 2007. The Impact of Asean-China FTA Early
Harvest Program: The Case of Philipines with Focus on Short-Run Effects on the
Algiculture Sector. Research Paper Series No. 01. Philipine Institute For
Development Studies
Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean –China Terhadap
Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor
Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld.1991. Econometrics Model and Economic Forecasts.
Third Edition,. McGraw-Hill Inc, SIngapura.
Ragimun. 2010. Sebelum dan Seudah ACFTA. Sinar Harapan

41
Saefuddin, A.M. 2000. Pasar ekspor Pertanian Indonesia Era Liberalisasi Perdagangan.
Makalah disampaikan pada Pengukuhan Guru besar tetap Ilmu Pemasaran Pertanian,
Fakultas Pertanian Djuanda, Bogor.
Sudaryanto, 2000. Arah kebijakan distribusi perdagangan beras dalam mendukung
ketahanan Pangan: Aspek perdagangan luar negri. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Sudaryanto, T.dan P.U. hadi.2000. Dampak liberaliasasi Perdagangan pada komoditas
Agribisnis Indonesia. Makalah disampaikan pada Agro Expo, Jakarta.
Theil, H. 1965. Economic Forecast and Policy. Second Edition. North-Hollad Publishing
Company, Amsterdam.World Bank. 1993. Price Prospects for Major Primary
Commodities. 1990-2005 Vol JJ, The World bank, Washington D.C.
Wattanapruttipaisan, Thitapha,. 2003. Asean-China Free Trade Area: Advantages,
Challenges, and Implications for the Newer Asean Member Countries. Asean
Economics Bulletin vol 20.
Widodo, Tri,. 2009. Dynamic Comparative Advantages in the ASEAN+3, Journal of
Economic Intergration
Wijaya, A. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia:
Suatu Pendekatan Makroekonometrika. Disertasi doktor. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zuhud, A,. M,. Ervizal,. 2010. Tujuh Belas Jurus untuk Menanggulangi Krisis dan
Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) dan Dunia Global (sebuah
pengembangan dari pemikiran Dr. Hidayat Nataatmadja), Institut Pertanian Bogor.
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56349
http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/719-sektor-ukm-dapat-fasilitas-kredit-ekspor.html
www.CSIS.or.id
http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=1035
http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html
www.spi.or.id
www.bsn.go.id
www.deptan.go.id
www.bps.go.id
www.depdag.go.id

Lampiran-Lampiran

The SAS System

42
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable TP

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 5 2.351E14 4.703E13 4.69 0.0079

Error 16 1.604E14 1.002E13    

Corrected Total 21 4.051E14      

Root MSE 3165735.53 R-Square 0.59456

Dependent Mean 19868997.3 Adj R-Sq 0.46786

Coeff Var 15.93304    

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t|


Estimate

Intercept 1 16885031 2536441 6.66 <.0001

X 1 25.4817 94.91370 -0.27 0.7918

M 1 -94.2654 105.5350 -0.89 0.3850

GDP 1 69.40472 79.59843 0.87 0.3961

ER 1 321.3292 475.0814 0.68 0.5085

T 1 26.22723 8.595745 3.05 0.0076

T signifikan pada taraf nyata 5%

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

43
Model PERSAMAA

Dependent Variable GDP

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 1.4936E9 3.7339E8 2.30 0.1011

Error 17 2.763E9 1.6253E8    

Corrected Total 21 4.2566E9      

Root MSE 12748.7498 R-Square 0.35089

Dependent Mean 18694.9786 Adj R-Sq 0.19815

Coeff Var 68.19344    

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t|


Estimate

Intercept 1 33031.71 5563.455 5.94 <.0001

INF 1 -335.979 261.8323 -1.28 0.2166

CG 1 0.011746 0.055752 0.21 0.8356

CT 1 -0.00282 0.004176 -0.67 0.5089

NP 1 -0.52519 0.290170 -1.81 0.0880

NP signifikan pada taraf nyata 10 persen

The SAS System


The SYSLIN Procedure
44
Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable X

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 1.368E10 6.8409E9 26.01 <.0001

Error 19 4.9966E9 2.6298E8    

Corrected Total 21 1.868E10      

Root MSE 16216.5609 R-Square 0.73249

Dependent Mean 56841.3409 Adj R-Sq 0.70434

Coeff Var 28.52952    

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t|


Estimate

Intercept 1 26155.74 6113.642 4.28 0.0004

Xsb*ER 1 0.000048 0.000030 1.57 0.1330

T 1 0.097921 0.029062 3.37 0.0032

T signifikan pada taraf nyata 5 persen dan Xsb*ER pada taraf nyata 15 persen

45
The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA

Dependent Variable M

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 8.0929E9 4.0465E9 16.37 <.0001

Error 19 4.696E9 2.4716E8    

Corrected Total 21 1.279E10      

Root MSE 15721.3101 R-Square 0.63281

Dependent Mean 40028.3091 Adj R-Sq 0.59415

Coeff Var 39.27548    

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard Error t Value Pr > |t|


Estimate

Intercept 1 20204.57 5145.121 3.93 0.0009

Msb*ER 1 1.495E-6 0.000048 0.03 0.9753

T 1 0.102744 0.059818 1.72 0.1021

T singifikan pada taraf nyata 10 persen dan Msb*Er pada taraf nyata 10 persen

46
The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA
Dependent Variable TP

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 2.351E14 4.703E13 4.69 0.0079


Error 16 1.604E14 1.002E13
Corrected Total 21 4.051E14

Root MSE 3165735.53 R-Square 0.59456


Dependent Mean 19868997.3 Adj R-Sq 0.46786
Coeff Var 15.93304

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 16885031 2536441 6.66 <.0001


X 1 25.4817 94.91370 -0.27 0.7918
M 1 -94.2654 105.5350 -0.89 0.3850
GDP 1 69.40472 79.59843 0.87 0.3961
ER 1 321.3292 475.0814 0.68 0.5085
T 1 26.22723 8.595745 3.05 0.0076

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA
Dependent Variable GDP

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 4 1.4936E9 3.7339E8 2.30 0.1011


Error 17 2.763E9 1.6253E8
Corrected Total 21 4.2566E9

Root MSE 12748.7498 R-Square 0.35089


Dependent Mean 18694.9786 Adj R-Sq 0.19815
Coeff Var 68.19344

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 33031.71 5563.455 5.94 <.0001


INF 1 -335.979 261.8323 -1.28 0.2166
CG 1 0.011746 0.055752 0.21 0.8356
CT 1 -0.00282 0.004176 -0.67 0.5089
NP 1 -0.52519 0.290170 -1.81 0.0880

47
The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA
Dependent Variable X

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 2 1.368E10 6.8409E9 26.01 <.0001


Error 19 4.9966E9 2.6298E8
Corrected Total 21 1.868E10

Root MSE 16216.5609 R-Square 0.73249


Dependent Mean 56841.3409 Adj R-Sq 0.70434
Coeff Var 28.52952

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 26155.74 6113.642 4.28 0.0004


A 1 0.000048 0.000030 1.57 0.1330
T 1 0.097921 0.029062 3.37 0.0032

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model PERSAMAA
Dependent Variable M

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 2 8.0929E9 4.0465E9 16.37 <.0001


Error 19 4.696E9 2.4716E8
Corrected Total 21 1.279E10

Root MSE 15721.3101 R-Square 0.63281


Dependent Mean 40028.3091 Adj R-Sq 0.59415
Coeff Var 39.27548

Parameter Estimates

Parameter Standard
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 20204.57 5145.121 3.93 0.0009


B 1 1.495E-6 0.000048 0.03 0.9753
T 1 0.102744 0.059818 1.72 0.1021

48
1. Scenario 1 = INF naik 15%
The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4
Endogenous 4
Parameters 17
Equations 4
Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M


Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979)
c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744)
a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723)
Equations TP GDP X M

Scenario 1 = INF naik 15%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 2.15E-16
Maximum Iterations 1
Total Iterations 22
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22
Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

1. Skenario 1 : Inflasi Naik 15 persen

Scenario 1 = INF naik 15%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18127.9 8730.4


TP 22 22 19868997 4392182 19827732 3041877
X 22 22 56841.3 29823.6 56910.7 25568.0
M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -567.1 19.3885 8662.6 58.6119 11234.5 70.5194 0.3477


TP 22 -41265.5 1.6562 2042319 9.2775 3026463 13.0908 0.5026
X 22 69.3389 6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378 0.7325
M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2621E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.23 0.77 0.4821 0.2592
TP 22 9.159E12 0.71 0.00 0.00 1.00 0.19 0.81 0.1489 0.0750

49
X 22 2.2712E8 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.2359 0.1196
M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.4803 0.48 0.11 0.76 0.12 0.45 0.44 2.3972 0.6329
TP 21 0.0194 0.53 0.00 0.27 0.72 0.00 0.99 0.9608 0.4652
X 21 0.0407 0.43 0.00 0.35 0.65 0.01 0.99 1.0367 0.4971
M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0.00 0.99 0.9494 0.4590

2. Skenario 2 , Depresiasi IDR Terhadap USD 18 persen


Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4
Endogenous 4
Parameters 17
Equations 4
Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M


Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979)
c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744)
a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723)
Equations TP GDP X M

Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 2.16E-16
Maximum Iterations 1
Total Iterations 22
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22
Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

Scenario 2 = ER naik 18%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4


TP 22 22 19868997 4392182 20217589 3207227
X 22 22 56841.3 29823.6 56910.7 25568.0
M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

50
Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509


TP 22 348591 3.5905 2109118 9.9205 3056275 13.9110 0.4927
X 22 69.3389 6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378 0.7325
M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563
TP 22 9.341E12 0.71 0.01 0.00 0.99 0.14 0.84 0.1504 0.0749
X 22 2.2712E8 0.86 0.00 0.00 1.00 0.08 0.92 0.2359 0.1196
M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483
TP 21 0.0211 0.53 0.04 0.29 0.67 0.01 0.95 1.0010 0.4653
X 21 0.0407 0.43 0.00 0.35 0.65 0.01 0.99 1.0367 0.4971
M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0.00

3. Skenario 3, Ekspor turun 20 persen


Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4
Endogenous 4
Parameters 17
Equations 4
Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M


Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979)
c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744)
a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723)
Equations TP GDP X M

Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

Solution Summary

Variables Solved 4
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 2.15E-16
Maximum Iterations 1
Total Iterations 22
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22
Solved 22

51
Variables Solved For GDP TP X M

Scenario 3 = X turun 20%

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4


TP 22 22 19868997 4392182 19866875 3035256
X 22 22 45473.1 23858.9 56910.7 25568.0
M 22 22 40028.3 24677.9 40029.8 19632.3

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509


TP 22 -2122.1 1.8709 2057455 9.3802 3034708 13.1808 0.4999
X 22 11437.6 33.2186 11831.2 34.1931 17363.0 49.7396 0.4452
M 22 1.4725 8.2393 9881.7 26.1707 14610.1 34.3489 0.6328

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563
TP 22 9.209E12 0.71 0.00 0.00 1.00 0.19 0.81 0.1493 0.0751
X 22 3.0147E8 0.86 0.43 0.08 0.48 0.01 0.56 0.3398 0.1533
M 22 2.1346E8 0.80 0.00 0.00 1.00 0.11 0.89 0.3127 0.1603

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483
TP 21 0.0197 0.53 0.01 0.28 0.72 0.00 0.99 0.9663 0.4663
X 21 0.1301 0.43 0.58 0.22 0.20 0.03 0.39 1.8539 0.5825
M 21 0.0805 0.52 0.00 0.29 0.71 0

4. Skenario 4 Tidak ada tariff perdagangan (T=0)


T=0

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 4
Endogenous 4
Parameters 17
Equations 4
Number of Statements 4

Model Variables GDP TP X M


Parameters(Value) a0(16885031) b0(33031.71) c0(26155.74) d0(20204.57) a1(-25.4817) b1(-335.979)
c1(0.000048) d1(1.5E-6) a2(-94.2654) b2(0.011746) c2(0.097921) d2(0.102744)
a3(69.40472) b3(-0.00282) a4(321.3292) b4(-0.52519) a5(26.22723)
Equations TP GDP X M

T=0

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= BAWANG

52
Solution Summary

Variables Solved 4
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 3.4E-16
Maximum Iterations 1
Total Iterations 22
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 22
Solved 22

Variables Solved For GDP TP X M

T=0

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev

GDP 22 22 18695.0 14237.1 18691.9 8435.4


TP 22 22 19868997 4392182 17210530 547884
X 22 22 56841.3 29823.6 38393.2 8616.6
M 22 22 40028.3 24677.9 20600.2 353.1

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

GDP 22 -3.1231 26.2326 8635.1 57.7438 11206.8 69.4819 0.3509


TP 22 -2658468 -10.3054 2843699 11.4008 4798202 17.7147 -.2503
X 22 -18448.1 -21.3057 20017.7 28.7658 29815.6 33.6585 -.0471
M 22 -19428.1 -34.8545 20417.1 41.8126 30761.4 45.9168 -.6278

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 22 1.2559E8 0.59 0.00 0.00 1.00 0.26 0.74 0.4809 0.2563
TP 22 2.302E13 0.60 0.31 0.18 0.51 0.61 0.08 0.2360 0.1278
X 22 8.8897E8 0.76 0.38 0.21 0.41 0.48 0.13 0.4668 0.2890
M 22 9.4626E8 0.76 0.40 0.34 0.26 0.60 0.00 0.6583 0.4569

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

GDP 21 0.5467 0.46 0.14 0.75 0.11 0.44 0.41 2.5575 0.6483
TP 21 0.0451 0.22 0.34 0.25 0.41 0.00 0.66 1.4631 0.6914
X 21 0.1432 0.37 0.52 0.28 0.20 0.05 0.43 1.9447 0.7152
M 21 0.3215 0.28 0.61 0.16 0.23 0

53

You might also like