You are on page 1of 52

PENGEMBANGAN KEMASAN AKTIF BERBAHAN DASAR KITOSAN

DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH

SKRIPSI

JUANDA SIANTURI
F 34050731

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
DEVELOPMENT OF CHITOSAN-BASED ACTIVE PACKAGING
AND GARLIC EXTRACT AS ACTIVE SUBSTANCE

Juanda Sianturi, Endang Warsiki, Titi Candra Sunarti


Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

ABSTRACT

The aim of this study was to compare the strength of the film made from chitosan and the
garlic extract with the conventional packaging (PP) and to apply the packaging to pack certain food
products, in this case shrimp crackers. The physical and mechanical packaging characteristics and
the comparation of the quality reduction between crackers storaged in chitosan film and crackers
storaged in PP were studied. The shrimp crackers were packaged in three different packages i.e plain
chitosan film, chitosan with garlic extract film, and PP plastic, then storaged for three days at room
temperature and 45°C. Results showed that PP had better physical and mechanical properties than
both of the chitosan films. PP had the best physical and mechanical properties, especially the
permeability aspect, followed by chitosan with garlic extract film and then chitosan film without
garlic extract. Instead of that, plain chitosan film and chitosan with garlic extract film can be sealed
easily as good as PP. That means that some part of the chitosan film properties is comparable with
PP. All of the shrimp crackers were degraded during three days of storage but the smallest quality
reduction occured in the shrimp crackers packed with PP plastic. So far, chitosan film resulted from
this study has good prospect as a material to substitute conventional packaging such as PP. In
addition, the effect of the drawback in permeability aspect could be reduced by adding inert gases,
adding secondary packaging, or sealing the product in vacuum condition.

Keywords : active packaging, biodegradable, chitosan, garlic extract, PP, storage


Juanda Sianturi. F34050731. Pengembangan Kemasan Aktif Berbahan Dasar Kitosan dengan
Penambahan Ekstrak Bawang Putih. Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Titi Candra
Sunarti. 2010

RINGKASAN

Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir dan kebutuhan yang terus meningkat
menyebabkan permintaan masyarakat akan teknologi atau terobosan baru semakin bertambah, tidak
terkecuali di bidang pangan. Ada kecenderungan bahwa masyarakat semakin peka terhadap isu
lingkungan sehingga produk-produk yang ramah lingkungan semakin disukai di masyarakat. Salah
satu terobosan dalam bidang pangan yaitu penggunaan kemasan aktif yang bersifat biodegradable.
Kemasan aktif menurut Ahvenainen (2003) adalah kemasan yang dapat mengubah kondisi makanan
yang dikemas untuk memperpanjang umur simpan atau untuk meningkatkan keamanan, sementara
tetap mempertahankan kualitas makanan yang dikemas. Salah satu contoh sifat aktif pada kemasan
yaitu sifat anti mikroba (AM) dimana kemasan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk
dan toksik sehingga dapat mencegah kerusakan produk yang diakibatkan oleh kegiatan
mikroorganisme. Sifat anti mikroba didapatkan dengan cara menginduksi bahan tertentu yang
memiliki sifat anti mikroba ke dalam bahan kemasan sehingga bahan kemasan yang dibuat akan
memiliki sifat anti mikroba.
Bahan aktif yang digunakan secara khusus pada penelitian ini adalah kitosan dan ekstrak
bawang putih. Kitosan (1,4-β-D-Glucosamine polymer) merupakan produk turunan dari polimer kitin,
yakni produk samping atau limbah dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan
rajungan, yang diperoleh dengan cara mengasetilasi kitin. Kedua bahan ini diketahui memiliki sifat
anti mikroba, mengandung anti oksidan dan juga edible sehingga aman digunakan karena tidak
menimbulkan migrasi zat kimia berbahaya dari bahan kemasan ke produk yang dikemas.
Kemasan aktif ini dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kemasan yang umum
digunakan saat ini yaitu plastik karena mempunyai beberapa kekurangan antara lain yaitu sifat plastik
yang sangat sulit untuk terurai secara alami sehingga mengakibatkan pencemaran. Kemasan aktif ini
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kemasan plastik yaitu memiliki sifat anti mikroba
dan mengandung anti oksidan sehingga dapat mengurangi penambahan bahan pengawet ke makanan
dan juga diharapkan dapat memberikan perlindungan tambahan berupa anti oksidan. Sifat bahan
tambahan yang digunakan juga biodegradable sehingga kemasan ini lebih ramah lingkungan.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kekuatan kemasan aktif berbahan kitosan dan
ekstrak bawang putih dengan plastik kemasan konvensional dan mengaplikasikan kemasan aktif untuk
mengemas produk pangan, yaitu kerupuk udang. Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap yaitu (i)
pembuatan film dari kitosan; (ii) uji pengaruh konsentrasi gliserol terhadap kekuatan seal film; (iii)
karakteristik fisis dan mekanis kemasan; dan (iv) aplikasi kemasan pada kerupuk udang.
Hasil pengujian terhadap film memberikan hasil bahwa penggunaan konsentrasi gliserol 0,5%
(v/v) menghasilkan film yang dapat dikelim dengan lebih baik apabila dibandingkan dengan larutan
film yang menggunakan konsentrasi gliserol 0,8% dan 1%. Hasil seal dari film yang menggunakan
konsentrasi gliserol 0,5% tidak lepas sewaktu ditarik sementara seal dari film yang menggunakan
konsentrasi gliserol 0,8% dan 1% lebih mudah terlepas dan lebih susah untuk dikelim.
Hasil pengujian terhadap sifat fisik dan mekanis dari ketiga jenis kemasan yang digunakan
menunjukkan bahwa film kitosan, film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dan plastik PP
memiliki ketebalan berturut-turut 0,182 mm, 0,202 mm dan 0,043 mm; nilai kekuatan tarik 4,569
N/mm², 3,409 N/mm² dan 172,368 N/mm²; elongasi 107,90%, 176,53% dan 60%; laju transmisi uap
air 132,29 g/m2/hari, 126,55 g/m2/hari dan 12 g/m2/hari; dan nilai transparansi 73,4%, 62,9% dan
81,6%. Hal ini menunjukkan bahwa film kitosan tersebut memiliki nilai kekuatan tarik dan elongasi
yang cukup baik tetapi memiliki nilai permeabilitas yang rendah. Kesimpulan yang diambil yaitu film
kitosan dapat dikembangkan untuk menjadi kemasan komersial tetapi karakteristik fisis dan mekanis
dari kemasan tersebut perlu ditingkatkan.
Hasil pengujian dari kerupuk udang yang dikemas dengan ketiga jenis kemasan yang diuji,
yaitu film kitosan, film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dan plastik PP menunjukkan
bahwa secara kualitatif film kitosan belum dapat digunakan sebagai kemasan pengganti kemasan
konvensional, dalam hal ini plastik polipropilena (PP). Kerupuk udang yang dikemas dengan film
kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih lebih cepat rusak daripada kerupuk
udang yang dikemas dengan plastik PP. Hal ini terbukti dari hasil tiga parameter yang diuji yaitu
kadar air, kerenyahan dan kadar asam lemak bebas. Kerupuk yang dikemas sama-sama mengalami
penurunan mutu selama tiga hari penyimpanan dengan penurunan mutu yang terkecil terjadi pada
kerupuk yang dikemas dengan plastik PP.
PENGEMBANGAN KEMASAN AKTIF BERBAHAN DASAR KITOSAN
DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
JUANDA SIANTURI
F 34050731

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Pengembangan Kemasan Aktif Berbahan Dasar Kitosan dengan
Penambahan Ekstrak Bawang Putih
Nama : Juanda Sianturi
NRP : F 34050731

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Endang Warsiki S.TP, M.Si) (Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si)
NIP : 19710305 199702 2 001 NIP : 19661219 199103 2 001

Mengetahui :
Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)


NIP : 19621009 198903 2 001

Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul


Pengembangan Kemasan Aktif Berbahan Dasar Kitosan dengan Penambahan
Ekstrak Bawang Putih adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010


Yang membuat pernyataan

Juanda Sianturi
F 34050731
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 April 1987 di Tarutung


dengan nama lengkap Juanda Holvritz Ginonggom Sianturi.
Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari
pasangan Sabar Sianturi dan Ratna Marbun. Riwayat
pendidikan penulis dimulai dari SDN Laeparira, SLTPN 1
Sidikalang, dan SMAN 1 Sidikalang. Penulis diterima sebagai
mahasiswa di IPB pada tahun 2005 melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006, penulis
masuk Mayor Departemen Teknologi Industri Pertanian
dengan Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa IPB,
penulis aktif sebagai anggota pada Komisi Kesenian, Persekutuan Mahasiswa
Kristen IPB dari tahun 2006 s.d. 2009. Penulis juga merupakan anggota dari
HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian) dari tahun 2006
s.d. 2008. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi
Pengemasan dan Transportasi pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis melaksanakan
kegiatan Praktik Lapangan di PT. PG. Candi Baru, Sidoarjo dengan judul
“Mempelajari Teknologi Pengemasan, Penyimpanan dan Distribusi di PT. PG.
Candi Baru”. Pada tahun 2009, penulis melakukan penelitian akhir dalam rangka
memperoleh gelar sarjana dengan judul “Pengembangan Kemasan Aktif Berbahan
Dasar Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang Putih”.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini ditulis
sebagai bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan skripsi ini dapat berlangsung dengan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan
arahan dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ir. Sugiarto, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukan demi
penyelesaian skripsi ini.
4. Kedua orangtua dan keempat saudara penulis yang telah memberikan doa dan dukungan yang
tak terhingga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Seluruh laboran di laboratorium TIN dan staf di UPT TIN atas bantuan selama penelitian dan
bantuan dalam mengurus urusan administrasi di kampus.
6. Asih dan Alien sebagai teman satu bimbingan yang selalu memberikan saran dan dorongan
kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.
7. Seluruh teman-teman TIN 42 atas kebersamaan dan perjuangan selama di departemen TIN
IPB.
8. Seluruh teman-teman penghuni Perwira 43 atas canda tawa dan kebersamaan selama lima
tahun di Bogor.
9. Tarra atas segala dorongan, bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna
baik bagi penulis dan pembacanya. Wassalam.

Bogor, November 2010

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 1
1.3 Ruang Lingkup ....................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengemasan Aktif .................................................................................................. 2
2.2 Kemasan Biodegradable ........................................................................................ 4
2.3 Polipropilena .......................................................................................................... 5
2.4 Kitosan ................................................................................................................... 6
2.5 Bawang Putih ......................................................................................................... 7
2.6 Parameter Pengujian Kerupuk ................................................................................ 8
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................ 10
3.2 Bahan dan Alat ....................................................................................................... 10
3.3 Metode Penelitian ................................................................................................... 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Film ...................................................................................................... 13
4.2 Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Gliserol terhadap Kekuatan
Sealing Plastik ........................................................................................................ 15
4.3 Karakteristik Fisis dan Mekanis Kemasan ............................................................. 17
4.4 Aplikasi Kemasan pada Kerupuk Udang ............................................................... 22
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 27
5.2 Saran ....................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 28
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 31

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk perikanan yang
digunakan pada berbagai smart packaging .......................................................... 4
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap karakteristik film ................................... 17
Tabel 3. Perbandingan nilai sifat fisis dan mekanis ketiga jenis kemasan yang
digunakan ............................................................................................................ 22

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Skema proses pembuatan larutan film kitosan .................................................. 11
Gambar 2. Penampakan dari kedua jenis film : (A) film tanpa penambahan ekstrak
bawang putih; (B) film dengan penambahan ekstrak bawang putih .................. 13
Gambar 3. Film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1% .................. 15
Gambar 4. Hasil seal film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1% .. 16
Gambar 5. Nilai ketebalan kemasan yang digunakan ......................................................... 18
Gambar 6. Nilai kekuatan tarik kemasan yang digunakan ................................................. 19
Gambar 7. Nilai elongasi kemasan yang digunakan ........................................................... 19
Gambar 8. Nilai WVTR kemasan yang digunakan ............................................................ 20
Gambar 9. Nilai transparansi kemasan yang digunakan ..................................................... 21
Gambar 10. Kadar air kerupuk udang selama penyimpanan ................................................ 23
Gambar 11. Nilai kerenyahan kerupuk udang selama penyimpanan .................................... 24
Gambar 12. Kadar asam lemak bebas kerupuk udang selama penyimpanan ....................... 25

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Prosedur analisis ............................................................................................... 32
Lampiran 2. Data nilai ketebalan (mm) kemasan................................................................... 35
Lampiran 3. Data nilai kekuatan tarik dan elongasi kemasan ............................................... 36
Lampiran 4. Data nilai transparansi (% T) kemasan ............................................................. 37
Lampiran 5. Data perubahan karakteristik kerupuk udang selama penyimpanan .................. 38

vii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin mutakhir dan kebutuhan yang terus meningkat
menyebabkan permintaan masyarakat akan teknologi atau terobosan baru semakin bertambah, tidak
terkecuali di bidang pangan. Ada kecenderungan bahwa masyarakat semakin peka terhadap isu
lingkungan sehingga produk-produk yang ramah lingkungan semakin disukai di masyarakat. Salah
satu terobosan dalam bidang pangan yaitu penggunaan kemasan aktif yang bersifat biodegradable.
Kemasan aktif menurut Ahvenainen (2003) adalah kemasan yang dapat mengubah kondisi makanan
yang dikemas untuk memperpanjang umur simpan atau untuk meningkatkan keamanan, sementara
tetap mempertahankan kualitas makanan yang dikemas. Salah satu contoh sifat aktif pada kemasan
yaitu sifat anti mikroba (AM) dimana kemasan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk
dan toksik sehingga dapat mencegah kerusakan produk yang diakibatkan oleh kegiatan
mikroorganisme. Sifat anti mikroba didapatkan dengan cara menginduksi bahan tertentu yang
memiliki sifat anti mikroba ke dalam bahan kemasan sehingga bahan kemasan yang dibuat akan
memiliki sifat anti mikroba.
Bahan aktif yang digunakan secara khusus pada penelitian ini adalah kitosan dan ekstrak
bawang putih. Kitosan (1,4-β-D-Glucosamine polymer) merupakan produk turunan dari polimer kitin,
yakni produk samping atau limbah dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan
rajungan, yang diperoleh dengan cara mengasetilasi kitin. Kedua bahan ini diketahui memiliki sifat
anti mikroba, mengandung antioksidan dan juga edible sehingga aman digunakan karena tidak
menimbulkan migrasi zat kimia berbahaya dari bahan kemasan ke produk yang dikemas.
Kemasan aktif ini dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kemasan yang umum
digunakan saat ini yaitu plastik karena mempunyai beberapa kekurangan antara lain yaitu sifat plastik
yang sangat sulit untuk terurai secara alami sehingga mengakibatkan pencemaran. Kemasan aktif ini
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kemasan plastik yaitu memiliki sifat anti mikroba
dan mengandung antioksidan sehingga dapat mengurangi penambahan bahan pengawet ke makanan
dan juga diharapkan dapat memberikan perlindungan tambahan berupa antioksidan. Sifat bahan
tambahan yang digunakan juga biodegradable sehingga kemasan ini lebih ramah lingkungan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memproduksi dan membandingkan kekuatan kemasan aktif
berbahan kitosan dan ekstrak bawang putih dengan plastik kemasan konvensional serta
mengaplikasikan kemasan aktif untuk mengemas produk pangan, yaitu kerupuk udang.

1.3. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bahan dasar utama kitosan sebagai bahan untuk
membuat film dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai bahan aktif. Film tersebut kemudian
akan digunakan untuk mengemas produk yaitu kerupuk udang dan dibandingkan dengan penggunaan
kemasan lain yang umum digunakan untuk membungkus kerupuk yaitu Polipropilena. Pengujian yang
dilakukan terhadap kemasan aktif meliputi ketebalan, kekuatan tarik dan persen pemanjangan
(elongasi), laju transmisi uap air, dan transparansi. Pengujian yang dilakukan terhadap kerupuk udang
meliputi kadar air, kerenyahan dan kadar asam lemak bebas.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengemasan Aktif

Pengemasan mempunyai peran yang signifikan dalam rantai pasok makanan dan merupakan
bagian yang penting baik pada pengolahan makanan dan keseluruhan rantai pasok makanan.
Pengemasan makanan harus memenuhi berbagai fungsi dan persyaratan. Fungsi kemasan yang paling
mendasar adalah kemasan dapat mempermudah distribusi. Kemasan melindungi makanan dari kondisi
lingkungan,seperti cahaya, oksigen, kelembaban, mikroba, tekanan mekanis dan debu. Fungsi dasar
lainnya adalah untuk menyediakan tempat untuk informasi bagi pembeli dan memberikan
kenyamanan bagi konsumen, contohnya mudah dibuka dan dapat ditutup kembali. Persyaratan dasar
suatu kemasan yaitu mudah dipasarkan, mempunyai harga yang sesuai, kemampuan teknis (contohnya
dapat digunakan pada mesin pengemasan otomatis dan dapat dikelim), dapat berhubungan langsung
dengan makanan, berefek rendah terhadap lingkungan dan dapat didaur ulang atau digunakan kembali.
Sebuah kemasan harus memenuhi semua persyaratan tersebut secara efektif dan ekonomis. Beberapa
fungsi dan persyaratan tersebut dapat saling bertentangan sehingga pengemasan modern harus
dioptimisasi dan terintegrasi secara efektif dengan rantai pasok makanan (Ahvenainen, 2003).
Menurut Ahvenainen (2003), pengemasan modern dapat dibagi menjadi dua yaitu pengemasan
aktif (active packaging) dan pengemasan cerdas (intelligent packaging). Actipak Project yang
dibentuk pada tahun 1999-2001 di Eropa mencoba merumuskan definisi pengemasan aktif dan
pengemasan cerdas seperti di bawah ini.
i. Pengemasan aktif (active packaging)
Pengemasan aktif bertujuan untuk mengubah kondisi makanan yang dikemas untuk
memperpanjang umur simpan atau untuk meningkatkan keamanan, sementara tetap
mempertahankan kualitas makanan yang dikemas. Kondisi makanan dalam kemasan dipengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu proses fisiologis (contohnya respirasi buah dan sayuran segar), proses
kimia (contohnya oksidasi lemak), proses fisika (contohnya pembusukan pada roti), aspek
mikrobiologi (kerusakan karena mikroba) dan serangan hama (contohnya serangga). Teknik dalam
sistem pengemasan aktif dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu sistem penyerap, sistem pelepas,
dan sistem lainnya.
a. Sistem penyerap
Sistem penyerap mengeluarkan komponen yang tidak diinginkan seperti oksigen,
karbon dioksida, etilen, kelebihan air, polutan dan beberapa komponen lainnya. Sistem
penyerap oksigen biasa digunakan pada keju, daging, makanan cepat saji, roti, kopi, teh,
kacang dan susu. Sistem penyerap karbon dioksida biasa digunakan pada daging sapi kering,
kopi kering dan daging unggas kering. Sistem penyerap etilen biasa digunakan pada buah-
buahan seperti apel, pisang, mangga, mentimun, tomat, alpukat dan sayur-sayuran seperti
wortel dan kentang. Sistem penyerap uap air biasa digunakan pada daging, ikan, unggas, roti
dan potongan buah dan sayur. Sistem penyerap polutan biasa digunakan pada jus buah, ikan,
makanan berminyak (contohnya keripik kentang, biskuit dan sereal), dan bir. Polutan yang
dapat dihilangkan yaitu bau tidak sedap, amina dan aldehida. Sistem penyerap lain yaitu sistem
penyerap sinar ultra violet biasa digunakan pada minuman, sementara sistem penyerap laktosa
dan sistem penyerap kolesterol biasa digunakan pada susu dan produk turunannya.

2
b. Sistem pelepas
Sistem pelepas melepaskan atau menambahkan bahan tertentu seperti karbon dioksida,
antioksidan dan bahan tambahan makanan ke makanan dalam kemasan atau ke bagian head-
space kemasan secara aktif. Sistem pelepas karbon dioksida biasa digunakan pada sayur-
sayuran, buah-buahan, daging, ikan dan unggas. Sistem pelepas etanol biasa digunakan pada
roti yang harus dipanaskan dan ikan kering. Sistem pelepas antimikroba tambahan biasa
digunakan pada daging, unggas, ikan, roti, keju, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sistem
pelepas SO2 digunakan pada buah-buahan. Sistem pelepas antioksidan biasa digunakan pada
makanan kering dan makanan berlemak. Sistem pelepas aroma dapat digunakan pada berbagai
jenis produk makanan. Sistem pelepas pestisida biasa digunakan pada makanan kering dalam
karung seperti tepung, beras dan biji-bijian lainnya.
Sistem penyerap dan sistem pelepas dapat berbentuk sachet, label atau film. Sachet
ditempatkan pada head-space kemasan sementara label ditempatkan pada bagian penutup
kemasan. Tetapi kontak langsung dengan makanan harus dicegah karena dapat merusak sistem
dan menyebabkan migrasi bahan kemasan.
c. Sistem lainnya
Sistem lainnya dapat dibedakan atas beberapa jenis antara lain pencegah panas, self-
heating cans and containers, self cooling cans and containers, kemasan dalam microwave, film
yang sensitif terhadap panas, film yang telah diradiasi sinar ultra violet dan film yang telah
dilapisi material tertentu.
ii. Pengemasan cerdas (smart packaging)
Pengemasan cerdas bertujuan untuk mengawasi kondisi makanan terkemas dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas makanan dalam kemasan sewaktu transportasi
dan penyimpanan. Pengawasan kondisi makanan dilakukan dengan menggunakan indikator yang
dibedakan atas indikator luar dan indikator dalam. Indikator luar adalah indikator yang diletakkan
di luar kemasan sementara indikator dalam adalah indikator yang ditempatkan di dalam kemasan,
dapat ditempatkan pada head-space kemasan atau ditambahkan pada penutup kemasan. Contoh
indikator luar yaitu indikator waktu, indikator suhu dan indikator pertumbuhan mikroba sementara
contoh indikator dalam adalah indikator oksigen, indikator karbon dioksida, indikator patogen dan
indikator pertumbuhan mikroba (Ahvenainen, 2003).
Menurut Suppakul et al., (2003), pengemasan aktif adalah sebuah konsep inovatif yang dapat
didefinisikan sebagai suatu jenis pengemasan dimana bahan kemasan, produk dan lingkungan
berinteraksi untuk memperpanjang umur simpan atau menjaga keamanan atau penampakan bahan,
sementara tetap menjaga kualitas dari produk tersebut. Hal ini khususnya sangat penting untuk produk
yang segar dan produk yang harus disimpan dalam waktu yang lama.
Day (2008) mendefinisikan pengemasan aktif sebagai suatu sistem kemasan yang sengaja
ditambahkan dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kemasan dalam menjaga atau
memelihara aspek kualitas, keamanan, dan sensori dari bahan pangan. Kemasan aktif memiliki
kemampuan untuk memerangkap atau menahan masuk oksigen, menyerap karbon dioksida, uap air,
etilen, flavor, bau, noda, mengeluarkan karbon dioksida, etanol, antioksidan, serta memelihara kontrol
suhu dan bertanggung jawab terhadap perubahan suhu.
Kemasan cerdas (smart packaging) menurut Robertson (2006) adalah kemasan yang memiliki
indikator baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan mampu memberikan
informasi tentang keadaan kemasan dan atau kualitas kemasan di dalamnya. Smolander (2008)
merangkum beberapa perkembangan dalam riset indikator kesegaran produk dari beberapa peneliti
smart packaging yang dapat dilihat pada Tabel 1.

3
Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk perikanan yang digunakan pada berbagai smart
packaging
Metabolit yang Produk indikator
Indikator Potensial dan Prinsip Sensor
dideteksi kesegaran komersial
DTN pada komponen volatil dari produk dalam
Gas-gas basa It’s Fresh™ (It’s Fresh!
kemasan bereaksi dan merubah warna dari pewarna
volatil Inc.)
indikator
Komponen
Reaksi dilihat berdasarkan perubahan warna
nitrogen volatil Fresh Taq (USA),
menggunakan pewarna sensitif pH atau dengan
(TMA, DMA, freshQ (USA)
sensor optik
amonia)
Test strip, biosensor elektrokimia berdasarkan
Produk degradasi
penentuan enzimatis, kontak langsung dengan Transia GmbH (Jerman)
ATP
makanan
DTN pada komponen volatil sulfur dari kemasan,
Freshness Guard
Komponen sulfur reaksi berdasarkan perubahan warna mioglobin, atau
Indicator (Finlandia)
perubahan warna lembaran perak skala nano

Pengemasan antimikrobial adalah salah satu jenis dari pengemasan aktif yang dapat menambah
umur simpan suatu produk dan memberikan perlindungan terhadap mikroba kepada konsumen.
Kemasan antimikrobial dapat menghambat, mengurangi, atau menghentikan pertumbuhan bakteri
patogen pada produk terkemas maupun kemasan itu sendiri. Kemasan tersebut dapat berperan sebagai
pembawa komponen antimikroba dan/atau sebagai komponen antioksidan yang berfungsi untuk
menjaga tetap tingginya konsentrasi bahan pengawet alami pada permukaan bahan makanan (Seydim
dan Sarikus, 2006).
Kelembaban relatif (RH) memiliki efek yang sangat signifikan terhadap sifat permeabilitas dari
kemasan. Bahan higroskopis lebih terpengaruh oleh uap air daripada bahan tidak higroskopis.
Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas. Hal ini sesuai dengan hukum
kinetik dimana ketika suhu meningkat, molekul memperoleh lebih banyak energi dan lebih mudah
bergerak menembus suatu matriks. Peningkatan suhu berbanding lurus dengan peningkatan
permeabilitas, tetapi berbeda untuk setiap jenis bahan (Cooksey, 2007).

2.2. Kemasan Biodegradable

Kemasan biodegradable diartikan sebagai kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat
dihancurkan secara alami. Istilah ‘biodegradable’ diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen
molekular dari suatu material untuk dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh
mikroorganisme hidup, sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat
dikembalikan ke biosfer (Gould et al., 1990). Kemasan biodegradable dapat dibuat dari bahan polimer
sintetis, polimer alami, dan campuran antara polimer alami dengan polimer sintetis (Cole, 1990).
Latief (2001) menyatakan bahwa ada tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar
dalam pembuatan kemasan biodegradable yaitu :
i. Campuran biopolimer dengan polimer sintetis. Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang
rendah dan biofragmentasi yang sangat terbatas.
ii. Poliester. Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus
Alcaligenes dan dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur, dan alga.

4
iii. Polimer pertanian. Polimer pertanian di antaranya yaitu cellophane, seluloasetat, kitin, dan
pullulan.
Kemasan dengan sifat anti mikroba sangat baik untuk digunakan sebagai kemasan bahan
makanan. Menurut Hancock (2001), keuntungan yang didapatkan dari penggunaan kemasan anti
mikroba sebagai kemasan bahan makanan yaitu :
1. Melindungi konsumen dari penyakit akibat bakteri patogen yang terdapat pada makanan.
2. Meningkatkan umur simpan dan menjaga kualitas makanan dengan cara mengurangi oksidasi
lemak dan ketengikan.
3. Tidak seperti wax coating, film berbasis protein dapat dibuat cukup berpori sehingga dapat
meningkatkan umur simpan pada buah.
4. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengaplikasikan penggunaan film pada produk,
antara lain dengan dibungkus, dicelup pada larutan film, dan menyemprotkan film ke produk. Sifat
hidrofilik dan hidrofobik pada jenis film yang berbeda menyebabkan film ini dapat diterapkan
pada berbagai jenis produk.
5. Edible films dengan penggunaan gliserol yang sedikit tidak menyebabkan perubahan rasa sehingga
lapisan yang menempel pada makanan dapat dimakan atau ikut diolah pada produk yang perlu
dimasak. Hal ini berpotensi untuk mengurangi masalah limbah plastik karena film ini juga
biodegradable.
Proses pembuatan kemasan biodegradable dari polisakarida dan protein umumnya
menggunakan plasticizer (pemlastis). Plasticizer merupakan bahan dengan berat molekul kecil
sehingga dapat bergabung ke dalam matriks protein dan polisakarida untuk meningkatkan sifat
fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Plasticizer meningkatkan volume bebas atau mobilitas
molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen antar rantai polimer. Komposisi, ukuran, dan
bentuk dari plasticizer mempengaruhi kemampuannya untuk mengganggu ikatan rantai hidrogen,
termasuk juga kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang mengandung
plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krochta, 2000).
Salah satu jenis plasticizer adalah gliserol. Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan
susunan molekul C3H8O3 yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Gliserol dalam kondisi
murni tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis. Gliserol bersifat
larut sempurna dalam air dan alkohol, serta dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil
asetat, dan dioxane), namun tidak bersifat larut dalam hidrokarbon. Berat molekul gliserol adalah
92,10, massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204°C (Winarno, 1987).
Penggunaan gliserol sebagai plasticizer lebih unggul karena tidak ada gliserol yang menguap
dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter (DEGMENT), etilena glikol (ET),
dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG) dan tetraetilena glikol. Hal ini terjadi karena titk didih
gliserol cukup tinggi jika dibandingkan dengan bahan pemlastis lainnya dan didukung dengan tidak
adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan baku plastik (Noureddini et al., 1998).

2.3. Polipropilena

Salah satu jenis kemasan adalah plastik. Plastik merupakan senyawa polimer dari turunan-
turunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi
polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung pada jumlah
molekul dan susunan atom molekulnya. Plastik terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti
bahan pengisi (filler), pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Syarief et al., 1989)
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan
kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya

5
terhadap uap air, CO2, dan O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran
plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Permeabilitas uap air dan gas, serta
luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas
permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987).
Produk kering (kerupuk) yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air.
Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu produk kering harus dikemas
dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi
tidak renyah dan teksturnya rusak. Plastik PP memiliki permeabilitas gas yang sedang ((23
cc/cm/cm2/cmHg)1011) dibandingkan LDPE ((80 cc/cm/cm2/cmHg)1011). Sifat PP yang lebih kaku
dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan plastik PP cocok
digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak
(Syarief dan Halid, 1993).
Menurut Syarief et al., (1989), polipropilena termasuk jenis plastik olefin dan merupakan
polimer dari propilen. Polipropilena telah dikembangkan sejak tahun 1950 dengan berbagai nama
dagang seperti bexphane, dynafilm, luparen, escon, olefane, dan profax. Beberapa sifat utama
polipropilena sebagai berikut :
i. Ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film,
serta tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku.
ii. Memiliki kekuatan tarik lebih besar dari polietilena Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk
murni pada suhu -30°C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan polietilena atau bahan lain
untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan.
iii. Lebih kaku dari polietilena dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan
distribusi.
iv. Permeabilitas gas dan uap air rendah.
v. Tahan terhadap suhu tinggi hingga 150°C sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus
disterilisasi.
vi. Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak
terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl.
vii. Pada suhu tinggi akan bereaksi dengan benzen, silken, tolue, terpentin, dan asam nitrat kuat.

2.4. Kitosan

Kitin dan kitosan adalah aminoglukopiranan yang dibentuk oleh N-asetiglukosamin dan
glukosamin. Kitin dan kitosan merupakan polisakarida yang termasuk dalam sumber daya terbarukan
dimana pada saat ini banyak dieksplorasi baik melalui penelitian akademik maupun penelitian
industri. Walaupun kitosan merupakan biopolimer yang terdapat secara alami pada beberapa spesies
jamur, sebagian besar produksi kitosan didasarkan pada pengolahan kitin yang banyak terdapat pada
hewan. Produksi kitosan pada umumnya dilakukan melalui urutan proses deproteinisasi,
demineralisasi dan deasetilasi secara kimia. Kondisi dan kualitas kitosan yang diproduksi tergantung
pada sumber kitin yang digunakan dan proses deasetilasi.
Kitin adalah polisakarida kedua terbanyak di bumi setelah selulosa. Kitin terdapat pada
berbagai organisme, terutama pada jamur dan artropoda, bahkan pada manusia. Jumlah kitin
bervariasi pada setiap organisme maupun organnya, berkisar antara sangat sedikit sampai 80% dari
fraksi organik. Jumlah kitin pada jamur dapat mencapai 45%, pada kutikula serangga sekitar 20-60%,
sementara jumlah kitin pada kutikula crustasea yang telah di-dekalsifikasi dapat mencapai 80%.
Jumlah kitin yang disintesis oleh organisme sangat besar tetapi tidak terakumulasi pada biosfer
karena kitin diuraikan oleh mikroorganisme yang menggunakan kitin sebagai sumber energi. Proses

6
penguraian kitin sangat berpengaruh pada proses metamorfosis dari artropoda, demikian juga pada
perkembangan berbagai organisme, termasuk vertebrata.
Banyak material yang dapat dibuat dari kitosan, termasuk film, membran semipermeabel, serat,
microcapsules, nanocapsules, dan pembuatan komposit dengan komponen inorganik. Kitosan
membentuk film apabila kitosan yang dilarutkan pada larutan asam laktat atau asam asetat ≤ 2%
(contohnya 1%) dikeringkan. Kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38 sampai 66 MPa,
kurang lebih dua kali lipat dari kekuatan tarik dari plastik polietilena.
Oligomer dari gugus glukosamin pada kitosan dengan derajat polimerisasi (DP) ≥ 30 memiliki
sifat antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif dan bakteri asam
laktat, dimana oligomer dengan DP yang rendah tidak memiliki sifat antimikroba. Oligomer kitosan
dengan nilai DP yang rendah merupakan nutrien bagi bakteri, sementara oligomer dengan nilai yang
lebih tinggi mempunyai sifat racun sebagai akibat dari sifat adhesi kitosan pada membran sel sehingga
proses penyerapan nutrien melalui membran sel mikroba menjadi terhambat (Peter, 2005).
Hasil dari sejumlah penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa kitosan dapat bersifat
pembunuh bakteri atau penghambat bakteri, atau bahkan dapat membantu pertumbuhan bakteri sesuai
dengan jenis bakterinya. Sejumlah hasil menunjukkan bahwa kitosan bersifat mencegah terhadap
pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen pada manusia dan bakteri perusak bahan pangan.
Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa kitosan menyebabkan perubahan
permukaan sel secara luas dan melapisi membran luar dengan sejenis struktur yang menyeluruh.
Kitosan menempel dengan membran luar yang menyebabkan hilangnya fungsi pelindung dari
membran. Sifat ini menyebabkan kitosan dapat digunakan untuk pelindung makanan. Aktivitas
kitosan akan meningkat dengan bantuan pengawet makanan tradisional seperti asam benzoat, asam
asetat dan sulfat.
Kitosan juga dapat menghambat pertumbuhan fungi. Efek anti fungi dari kitosan pada
pertumbuhan in vitro dari fungi patogen yang umum terdapat pada buah strawberry adalah
pengurangan radius pertumbuhan dari Botrytis cinerea dan Rhizopus stolonifer pada media, dengan
efek lebih besar apabila konsentrasinya dinaikkan. Infeksi jamur pada buah yang dilapisi kitosan dan
disimpan pada suhu 13°C mulai terlihat pada hari ke 5 sedangkan infeksi jamur pada perlakuan
kontrol (tanpa pelapisan) mulai muncul pada hari ke-1. Setelah penyimpanan selama 14 hari, lapisan
kitosan dapat mengurangi pembusukan buah strawberry oleh fungi sampai 60%.
Selain sifat antimikroba pada kitosan yang menghambat pertumbuhan mikroba secara
langsung, kitosan dapat mengakibatkan timbulnya pertahanan pada buah akibat reaksi enzimatis.
Kitosan meningkatkan produksi glukanohidrolase, komponen fenolik dan pembentukan senyawa
fitoaleksin yang memiliki sifat anti fungi, dan mengurangi produksi enzim pembusukan seperti
poligalakturonase dan pektin metil esterase (Muzzarelli dan Muzzarelli, 2007).
Laham dan Lee (1995) menyatakan bahwa PE-Chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih
tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji ketika berada di dalam tanah.
Suyatma et al. (2004) mencampur kitosan dengan polimer komersial polylactic acid dan memperoleh
hasil bahwa ketahanan laju udara pada film kitosan menjadi meningkat.
Lin dan Chuo (2004) menyatakan bahwa beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan
bahwa kitosan dan turunannya mempunyai berbagai aktivitas biologis seperti sifat anti mikrobial, anti
tumor, dan dapat membantu peningkatan ketahanan tubuh. Mereka membuktikan bahwa larutan
kitosan mengandung antioksidan yang dibuktikan dengan kemampuan larutan kitosan tersebut
mengurangi aktivitas radikal bebas seperti hidrogen peroksida, anion superoksida dan ion Cu2+ dengan
cara mengikat ion radikal bebas tersebut. Kim dan Thomas (2007) juga menyatakan bahwa
penambahan larutan kitosan 0,2%, 0,5%, dan 1,0% ke daging ikan salmon dapat mengurangi oksidasi

7
lemak. Mereka menyarankan kitosan untuk digunakan sebagai sumber antioksidan sehingga dapat
memperpanjang umur simpan dari produk yang mengandung lemak karena kitosan juga mempunyai
sifat anti mikroba.

2.5. Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum Linn) termasuk dalam famili Amaryllicedae. Bawang putih
mengandung minyak atsiri, kalsium, saltivine, sulfur, protein, lemak, karbohidrat, fosfor, besi, kalium,
selium, scordinin, serta vitamin A, B, dan C (Syamsiah dan Tajudin, 2006). Minyak esensial bawang
putih yang diperoleh dari distilasi uap terhadap umbi bawang putih terutama terdiri dari dialil disulfida
(60%), dialil trisulfida (20%), alil propil disulfida (16%), sejumlah kecil disulfida dan dialil
polisulfida yang dinamakan alisin (Seydim dan Sarikus, 2006).
Ekstrak bawang putih memiliki sifat penghambat terhadap mikroba jenis tertentu. Bakteri S.
aureus dan Bacillus cereus diketahui lebih sensitif terhadap film yang mengandung mikroba
dibandingkan dengan bakteri E. coli dan S. typhimurium. Sifat antibiotik dari 1 mg alisin (senyawa
pada bawang putih) diketahui setara dengan 15 IU penisilin (Seydim dan Sarikus, 2006).
Sifat antibakteri dan antifungi (terhadap beberapa jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif)
pada bawang putih disebabkan oleh alisin. Ajoene, senyawa organosulfur yang diperoleh dari bawang
putih, diketahui meningkatkan sifat anti malaria dari chloroquine terhadap bakteri P. berghei. Riset
lebih lanjut juga menunjukkan sifat penghambat dari ekstrak bawang putih terhadap Helicobacter
pylori, sejenis bakteri yang berperan dalam pembentukan kanker perut (Mazza dan Oomah, 1998).
Alisin merupakan senyawa sulfur, tidak terdapat pada umbi bawang putih yang utuh tapi dalam
bentuk asam amino non protein yaitu aliin (S-alil sistein sulfoksida) dan tidak memiliki sifat anti
mikroba. Pada saat umbi dihancurkan enzim aliinase akan mengkatalis aliin menjadi piruvat, amonia
dan asam alil sulfenik yaitu dua molekul yang secara spontan bereaksi membentuk alisin. Pada
distilasi uap dengan tekanan atmosfir, alisin terdekomposisi menjadi dialil thiosulfida dan sulfida-
sulfida lainnya. Alisin tidak tahan terhadap pemanasan dan tidak stabil dalam pelarut organik
(Dewick, 2003).
Hasil penelitian Kumar dan Berwal (1998) melaporkan bahwa bawang putih dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella
thypii, E. coli, dan Listeria monocynogenes. Karena itu bawang putih mempunyai potensi sebagai
pengawet makanan olahan.
Vaidya et al. (2008) menyatakan bahwa alisin yang terdapat dalam bawang putih berpengaruh
terhadap rasa dan bau dari bawang putih. Alisin juga dinyatakan mempunyai sifat antioksidan.
Aktivitas ini berupa pengikatan terhadap ion radikal bebas dari peroksida. Sifat anti mikroba ini
diperoleh dari asam sulfenik yang terbentuk dari dekomposisi alisin pada bawang putih.

2.6. Parameter Pengujian Kerupuk

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kerupuk diartikan sebagai makanan yang
dibuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, setelah dikukus disayat-sayat
tipis atau dibentuk dengan alat cetak, dijemur agar mudah digoreng. Kerupuk memiliki tekstur
berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk
kerupuk dan crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode
penyimpanan suatu produk pangan (Wirakartakusumah et al., 1989).
Perubahan yang terjadi pada produk setelah digoreng di antaranya adalah penguapan air,
kenaikan suhu produk yang mengakibatkan reaksi pencoklatan serta perubahan bentuk dan ukuran

8
produk yang digoreng. Keluarnya air dari bahan akan disertai penyerapan minyak goreng ke dalam
produk, serta terjadi perubahan densitas produk selama penggorengan (Supartono et al., 2000).
Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi Maillard.
Warna ini merupakan hasil reaksi dari gula dan protein yang terdapat di dalam makanan dan terjadi
terutama pada suhu tinggi (Ketaren, 1989).
Penggorengan kerupuk bertujuan untuk memanaskan kerupuk kering sehingga molekul air
yang masih terikat pada struktur kerupuk menguap dan menghasilkan tekanan uap yang
mengembangkan struktur kerupuk. Penggorengan juga bertujuan untuk memperoleh bahan pangan
goreng yang mempunyai aroma dan rasa yang menarik (Setiawan, 1998). Minyak goreng pada proses
penggorengan berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, penambah nilai gizi
dan kalori pada bahan pangan (Ketaren, 1989).
Makanan goreng umumnya memiliki struktur yang sama yaitu terdiri dari bagian hati (core),
lapisan luar hati (crust) dan lapisan terluar makanan goreng (outer zone surface). Bagian hati (core)
merupakan bagian makanan goreng yang masih mengandung air. Pada makanan tipis seperti keripik
bagian ini hampir tidak ada, yang ada hanya bagian crust. Lapisan luar hati (crust) merupakan hasil
dehidrasi pada proses penggorengan. Air yang hilang pada bagian luar akibat penguapan air akan diisi
oleh minyak. Bagian permukaan paling luar (outer zone surface) merupakan bagian paling luar
makanan goreng yang berwarna coklat kekuningan. Warna coklat merupakan hasil reaksi browning.
Warna permukaan paling luar tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu, dan lama
penggorengan (Ketaren, 1989).
Menurut Ketaren (1989) tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan yaitu
ketengikan oleh oksidasi, ketengikan oleh enzim, dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Berbagai jenis
minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal
ini dikenal sebagai reversion. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan dari reversion
ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat
sebagai katalisator pada proses oksidasi.
Peningkatan kadar air dapat meningkatkan laju reaksi deteriorasi dengan cepat. Makanan
kering mengalami kerusakan apabila menyerap uap air yang berlebih. Kerusakan ini cukup kompleks
karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi deteriorasi yang lain yang sensitif terhadap perubahan
aw. Penyerapan uap air ditandai dengan peningkatan kadar uap air. Peningkatan kadar air dapat
menyebabkan hilangnya kerenyahan (Arpah, 2001).
Arpah (2001) menyatakan bahwa kerenyahan merupakan suatu perubahan sifat fisik pada
bahan pangan akibat dari reaksi deteriorasi selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan seperti suhu. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut
dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau
bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluwarsa.
Katz dan Labuza (1981) melaporkan bahwa kerenyahan makanan kudapan menurun dengan
meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0,35-0,50 maka kerenyahannya, yang menjadi ciri
khas produk makanan ringan, menjadi hilang. Air akan melarutkan dan melunakkan matriks pati dan
protein yang ada pada sebagian bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik
termasuk kerenyahan. Laju penyerapan air juga dipengaruhi oleh kemampuan air menembus kemasan
plastik. Makin besar pori-pori plastik maka laju penyerapan air akan makin cepat. Laju penyerapan air
akan semakin kecil pada saat kerupuk hampir mencapai kondisi keseimbangan terhadap lingkungan.

9
III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengemasan, Laboratorium DIT dan Laboratorium


Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Laboratorium Departemen
Teknologi Hasil Hutan IPB, serta Laboratorium Kemasan dan Material Balai Pengujian Mutu Barang
Ekspor dan Impor Departemen Perdagangan, Jakarta. Penelitian dilakukan mulai Mei 2009 sampai
Juli 2010.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan antara lain kitosan, asam asetat, gliserol, aquades, ekstrak
bawang putih, alkohol, indikator PP, dan KOH. Produk yang dikemas di dalam plastik adalah kerupuk
udang yang telah digoreng. Kerupuk ini dibeli di Pasar Anyar, Bogor, kitosan didapatkan dari
Laboratorium Departemen THP, FPIK IPB, sementara ekstrak bawang putih diekstrak dari bawang
putih di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro).
Peralatan yang digunakan pada pembuatan kemasan aktif dan pengujian mutu produk terkemas
antara lain peralatan gelas, oven, pelat kaca, peralatan titrasi, hot plate magnetic stirrer, neraca digital,
dan termometer. Alat yang digunakan untuk uji sifat fisis dan mekanis film antara lain digital
thickness gauge, tensile strength and elongation tester strograph, moisture cupmeter dan
spektrofotometer visible. Plastik yang digunakan untuk mengemas kerupuk selama penyimpanan
adalah kemasan plastik polipropilena (PP).

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap yaitu (i) pembuatan film berbahan kitosan; (ii) uji
pengaruh konsentrasi gliserol terhadap kekuatan seal kemasan; (iii) uji sifat fisik dan mekanis
kemasan, dan (iv) aplikasi kemasan pada kerupuk udang.

3.3.1. Pembuatan film berbahan kitosan

Prosedur pembuatan film kitosan yang terbaik menurut Wardhani (2008) yaitu 3 g kitosan
dilarutkan dalam asam asetat 1% (v/v) sebanyak 96,5 ml lalu dipanaskan di atas penangas sambil
diaduk selama 60 menit sampai homogen. Suhu larutan dijaga tidak melebihi 50°C karena zat
antimikroba pada kitosan dikhawatirkan akan rusak pada suhu tinggi. Setelah larutan homogen maka
segera ditambah gliserol 0,5 ml yang berfungsi sebagai plasticizer. Larutan film lalu disimpan dalam
oven bersuhu 40°C selama 24 jam kemudian dituang ke atas cetakan pelat kaca secara merata dan
dikeringkan selama 24 jam di oven bersuhu 40°C. Diagram alir proses pembuatan dapat dilihat pada
Gambar 1.

10
Kitosan 3 g
Asam asetat 1%
96,5 ml
Pelarutan

Homogenisasi
selama 10 menit

Pemanasan 50°C
selama 60 menit
Gliserol 0,5 ml Ekstrak bawang putih
0 dan 1 ml

Larutan film

Pendinginan 40°C
selama 24 jam

Penuangan di pelat kaca

Pengeringan 40°C
selama 24 jam

Pelepasan film dari cetakan

Film kitosan

Gambar 1. Skema proses pembuatan larutan film kitosan

3.3.2. Uji pengaruh konsentrasi gliserol terhadap kekuatan seal plastik

Uji pengaruh konsentrasi gliserol terhadap kekuatan seal plastik dilakukan secara kualitatif
yaitu dengan membandingkan kekuatan seal dari plastik dengan cara disobek pada bagian seal-nya.
Plastik yang bagian seal-nya lebih kuat akan lebih tahan terhadap gaya tarik yang diberikan sehingga
bagianyang sobek adalah plastiknya sedangkan bagian seal-nya akan tetap utuh. Konsentrasi gliserol
yang diberikan adalah 0,5 %, 0,8 % dan 1 % (v/v).

3.3.3. Uji Fisik dan Mekanis Kemasan

Uji sifat fisik dan mekanis kemasan dilakukan untuk mengetahui kualitas kemasan yang
diproduksi dan membandingkan dengan kemasan konvensional yang telah ada saat ini. Uji yang
dilakukan meliputi ketebalan, kadar air film, kekuatan tarik dan persen pemanjangan (elongasi), laju
transmisi uap air, dan nilai transparansi plastik. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

11
3.3.4. Aplikasi kemasan pada kerupuk udang

Kemasan plastik yang diperoleh digunakan untuk mengemas produk olahan yaitu kerupuk
udang, kemudian produk tersebut disimpan selama jangka waktu tertentu untuk kemudian dianalisis
dan dibandingkan hasilnya dengan plastik kemasan konvensional yang banyak digunakan pada saat
ini. Produk yang digunakan adalah kerupuk udang karena produk ini mudah rusak sehingga mudah
untuk diamati. Produk disimpan selama tiga hari pada suhu ruang karena diperkirakan kerupuk udang
akan mengalami penurunan mutu yang signifikan setelah tiga hari. Kemasan plastik yang digunakan
sebagai pembanding adalah plastik PP karena plastik ini merupakan bahan yang paling umum
digunakan sebagai pengemas kerupuk udang. Kerupuk udang yang telah disimpan selama tiga hari
lalu diuji parameter mutunya untuk mengetahui efektivitas dari kemasan yang dibuat. Parameter yang
digunakan antara lain kadar air, ketengikan (kadar asam lemak bebas), dan nilai kekerasan untuk
mengetahui penerimaan panelis terhadap kerupuk udang yang telah disimpan selama tiga hari.
Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.

12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Film

Film yang dibuat pada riset ini dibuat dari kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih
sebagai bahan aktif. Kitosan dilarutkan dengan menggunakan asam asetat 1% sedangkan sebagai
plasticizer digunakan gliserol. Proses pembuatan film dilakukan sesuai dengan prosedur menurut
Wardhani (2008) dan Zainab (2009). Kitosan dilarutkan pada larutan asam asetat 1% pada suhu 50°C
selama 60 menit sambil dilakukan pengadukan sehingga larutan menjadi homogen dan kental.
Lembaran film didapatkan setelah larutan film dituangkan ke plat kaca berukuran 20 × 28 cm
dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 40°C selama 24 jam. Hasil film yang didapatkan untuk film
tanpa penambahan ekstrak bawang putih berwarna lebih terang. Hal ini terjadi karena ekstrak bawang
putih berwarna coklat gelap sehingga mempengaruhi warna film yang dibentuk. Penampakan dari
kedua jenis film tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penampakan dari kedua jenis film : (A) film tanpa penambahan ekstrak bawang putih;
(B) film dengan penambahan ekstrak bawang putih

Fessenden dan Fessenden (1995) menyatakan bahwa kitosan lebih mudah larut dalam asam
asetat 1-2%. Selama pencampuran akan reaksi antara kitosan dan asam asetat berupa ikatan hidrogen
dan gaya Van der Walls. Peter (2005) juga menyatakan bahwa kitosan membentuk film apabila
kitosan yang dilarutkan pada larutan asam laktat atau asam asetat ≤ 2% (contohnya 1%) dikeringkan.
Kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38 sampai 66 MPa, kurang lebih dua kali lipat dari
kekuatan tarik dari plastik polyethylene.
Muzzarelli dan Muzzarelli (2007) menyatakan bahwa hasil dari sejumlah penelitian sampai
saat ini menunjukkan bahwa kitosan dapat bersifat pembunuh bakteri atau penghambat bakteri, atau
bahkan dapat membantu pertumbuhan bakteri sesuai dengan jenis bakterinya. Sejumlah hasil
menunjukkan bahwa kitosan bersifat mencegah terhadap pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen
pada manusia dan bakteri perusak bahan pangan. Alexander dan Rhee (2005) juga menyatakan bahwa
oligomer dari gugus glukosamin pada kitosan dengan derajat polimerisasi (DP) ≥ 30 memiliki sifat
antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif dan bakteri asam laktat,
dimana oligomer dengan DP yang rendah tidak memiliki sifat antimikroba. Oligomer kitosan dengan

13
nilai DP yang rendah merupakan nutrien bagi bakteri, sementara oligomer dengan nilai yang lebih
tinggi mempunyai sifat racun sebagai akibat dari sifat adhesi kitosan pada membran sel sehingga
proses penyerapan nutrien melalui membran sel mikroba menjadi terhambat. Kitosan juga
mengandung antioksidan yang dapat membantu menambah umur simpan kerupuk. Kitosan ini dapat
mengikat radikal bebas antara lain hidrogen peroksida, anion superoksida dan ion Cu2+. Karena itu
film kitosan cocok digunakan untuk mengemas produk yang mengandung minyak atau lemak (Lin
dan Chuo, 2004; Kim dan Thomas, 2007).
Plasticizer yang digunakan dalam pembuatan film ini adalah gliserol. Menurut Noureddini et
al. (1998), gliserol mempunyai keunggulan sebagai plasticizer karena titik didih yang tinggi sehingga
tidak ada gliserol yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter
(DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG) dan tetraetilena
glikol. Hal ini didukung dengan tidak adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan
baku plastik. Gontard et al. (1993) juga menyatakan bahwa gliserol sangat kompatibel dengan film
hidrofilik seperti kitosan dan akan menghasilkan film yang lebih fleksibel, halus, dan tidak rapuh.
Bahan aktif, dalam hal ini ekstrak bawang putih, ditambahkan setelah larutan homogen dengan
tetap dilakukan pengadukan sampai ekstrak bawang putih tercampur secara merata. Pencampuran
ekstrak bawang putih dilakukan paling akhir karena dikhawatirkan bahan aktif yang terdapat pada
ekstrak bawang putih akan rusak apabila mengalami pemanasan dalam waktu lama karena pada
umumnya rempah-rempah sensitif terhadap pemanasan (Chen et al., 1985). Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Dewick (2003) yang menyatakan bahwa alisin yang terdapat pada bawang putih tidak
tahan terhadap pemanasan. Ekstrak bawang putih yang digunakan dihasilkan dari proses ekstraksi
menggunakan pelarut metanol. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Hasil
ekstraksi yang diperoleh berupa ekstrak kental.
Bawang putih juga diketahui mempunyai sifat antioksidan. Vaidya et al. (2008) menyatakan
bahwa alisin yang berpengaruh terhadap rasa dan bau dari bawang putih juga dinyatakan mempunyai
sifat antioksidan. Aktivitas ini berupa pengikatan terhadap ion radikal bebas dari peroksida. Sifat anti
mikroba ini diperoleh dari asam sulfenik yang terbentuk dari dekomposisi alisin pada bawang putih.
Sifat antioksidan ini diharapkan dapat meningkatkan umur simpan dengan cara mengurangi oksidasi
yang terjadi pada kerupuk.
Zainab (2009) menyatakan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih mempunyai
aktivitas penghambatan terhadap Salmonella dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 0,4% dan
0,6%. Ketika film tersebut diaplikasikan untuk mengemas produk pangan, yaitu bakso ikan, hasil
penelitian menunjukkan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih 6% dapat memperpanjang
umur simpan bakso sampai dua hari pada penyimpanan suhu ruang, sebanding dengan bakso yang
diberi bahan tambahan Sodium Tripolifosfat (STTP) 0,25%.
Pada permukaan film yang ditambah ekstrak bawang putih dapat terlihat adanya serat-serat
halus yang berasal dari ekstrak bawang putih. Hal ini diduga dapat mempengaruhi nilai kekuatan tarik
atau elongasi dari film tersebut. Film yang diperoleh juga mempunyai aroma yang khas sesuai dengan
bahan pembuatnya. Film tanpa penambahan ekstrak bawang putih berbau agak asam sebagai akibat
dari penggunaan asam asetat dan juga masih ada bau amis udang sebagai akibat dari penggunaan
kitosan sementara film dengan penambahan ekstrak bawang putih mempunyai bau agak asam dan
juga berbau bawang putih. Aroma dari ekstrak bawang putih akan mempengaruhi aroma dari bahan
kemasan yang dikemas sehingga dapat mempengaruhi penerimaan dari konsumen. Proses pembuatan
film ini tidak membutuhkan teknologi tinggi sehingga mudah diterapkan dalam skala kecil tetapi
diperlukan pengembangan atau desain alat produksi agar proses produksi film ini dapat diterapkan
dalam skala industri.

14
4.2. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Gliserol terhadap Kekuatan Sealing
Plastik

Gliserol yang dicampurkan ke larutan bervariasi yaitu 0,5%, 0,8% dan 1% (v/v). Perbandingan
karakteristik dari ketiga jenis film tersebut secara kualitatif disajikan pada Tabel 2. Perbedaan dari
ketiga jenis film tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 sementara penampakan dari hasil seal dari film
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

(a)

(b)

(c)
Gambar 3. Film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1%

15
Hasil seal

(a)

Hasil seal

(b)

Hasil seal

(c)
Gambar 4. Hasil seal film dengan konsentrasi gliserol : (a) 0,5%; (b) 0,8%; dan (c) 1%

16
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap karakteristik film
Konsentrasi gliserol (v/v) Tekstur kemasan Kelenturan kemasan Kekuatan seal
0,5% kasar kaku agak kuat
0,8% agak kasar agak kaku lemah
1,0% halus lentur lemah

Gambar 3 menunjukkan film yang dibuat dengan konsentrasi gliserol yang berbeda. Pada
Tabel 2 dapat dilihat bahwa film yang dihasilkan dengan konsentrasi gliserol 0,5% lebih kasar dan
kaku. Film yang dihasilkan dari larutan dengan konsentrasi gliserol 0,8 % lebih plastis dan lentur
tetapi teksturnya masih agak kasar sementara film yng dihasilkan dari larutan yang menggunakan
konsentrasi gliserol 1% teksturnya lebih halus dan lentur. Film yang telah diperoleh lalu dikelim untuk
melihat pengaruh gliserol terhadap kekuatan sealing film tersebut.
Pada Gambar 4 terlihat bahwa kekuatan seal setiap film berbeda. Pada film dengan
konsentrasi gliserol 0,5% terlihat bahwa jika kedua ujung film tersebut ditarik untuk membuka hasil
seal-nya maka film tersebut menjadi robek di bagian seal-nya. Sementara pada film dengan gliserol
0,8% dan 1% terlihat bahwa apabila kedua ujung film ditarik maka hasil seal-nya akan terlepas.
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil seal dari film dengan gliserol
0,5% lebih kuat dibandingkan dengan hasil seal dari film dengan gliserol 0,8% dan 1%. Hal ini
terbukti dari hasil seal film yang tidak terlepas walaupun ditarik. Apabila ditarik lebih kuat maka film
tersebut akan robek pada bagian seal-nya yang berarti bahwa nilai kekuatan seal-nya lebih besar dari
nilai ketahanan sobeknya.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi gliserol berpengaruh positif
terhadap sifat plastis dari film yang dihasilkan tetapi tidak berpengaruh positif terhadap kekuatan seal
dari film tersebut. Semakin besar konsentrasi gliserol yang digunakan maka film yang diperoleh
semakin plastis sementara kekuatan seal yang diperoleh semakin lemah. Atas kesimpulan ini maka
diputuskan untuk menggunakan film dengan konsentrasi gliserol 0,5% dalam penelitian selanjutnya.

4.3. Karakteristik Fisis dan Mekanis Kemasan

Salah satu fungsi utama kemasan yaitu melindungi produk dari kerusakan terutama kerusakan
karena faktor mekanis dan kerusakan yang disebabkan karena perpindahan uap air dan gas serta
mikroba. Karena itu maka pemilihan bahan yang digunakan sangat mempengaruhi fungsi kemasan
yang dihasilkan karena setiap bahan mempunyai karakteristik tertentu. Akan tetapi penambahan agen
antimikroba ke dalam kemasan dapat berakibat sebaliknya yaitu penurunan nilai fisik dan mekanis
dan perubahan sifat optis dari kemasan tersebut sehingga perlu diperhatikan kecocokan dari agen
antimikroba yang digunakan dan bahan utama pembuat kemasan tersebut (Ahvenainen, 2003).

4.3.1. Ketebalan

Ketebalan merupakan indikator kekuatan suatu bahan dimana bahan yang mempunyai
ketebalan lebih tinggi pada umumnya lebih kuat dan lebih tahan terhadap kerusakan akibat benturan
secara mekanis. Ketebalan film akan berpengaruh terhadap kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju
transmisi gas (Park et al., 1993). Hasil pengukuran dari ketebalan kemasan disajikan pada Gambar 5.

17
0.250

0.200

Nilai ketebalan (mm)


0.202
0.182
0.150

0.100

0.050
0.043
0.000
Film kitosan Film kitosan + EBP PP

Jenis Kemasan

Gambar 5. Nilai ketebalan kemasan yang digunakan

Gambar 5 menunjukkan bahwa film yang ditambah ekstrak bawang putih mempunyai
ketebalan yang lebih besar daripada film kitosan. Volume larutan yang dipakai untuk membuat kedua
jenis film dan luas cetakan sama yaitu 100 ml dan 20 × 28 cm2. Perbedaan ketebalan ini diduga karena
ekstrak bawang putih mengandung sejumlah senyawa seperti dialil disulfida, dialil trisulfida, alil
propil disulfida, sejumlah kecil disulfida dan dialil polisulfida yang dinamakan alisin (Seydim dan
Sarikus, 2006). Adanya senyawa-senyawa ini mengakibatkan total padatan yang terdapat pada film
yang ditambah ekstrak bawang putih menjadi lebih banyak daripada total padatan pada film.
Ketebalan PP yang digunakan jauh lebih kecil daripada ketebalan film kitosan. Hal ini terjadi
karena film yang diproduksi getas dan kekuatan tariknya kecil sehingga harus diproduksi lebih tebal
agar film tersebut tidak sobek.

4.3.2. Kekuatan Tarik dan Elongasi

Kekuatan tarik menunjukkan ukuran ketahanan film, yaitu regangan maksimal yang dapat
diterima sampel sebelum putus, sedangkan persen pemanjangan merupakan perubahan panjang
maksimum yang dialami film pada saat sampel sobek. Nilai kekuatan tarik sangat berpengaruh pada
kekuatan mekanis film. Semakin tinggi kekuatan tarik suatu kemasan maka semakin kuat pula
kemasan tersebut dalam menahan benturan dan semakin besar pula bobot yang dapat dibawa dalam
kemasan tersebut. Sementara nilai elongasi menentukan elastisitas dari kemasan tersebut. Semakin
besar nilai elongasi suatu kemasan maka semakin tinggi elastisitasnya.
Nilai kekuatan tarik dan nilai elongasi bersifat spesifik sesuai dengan jenis bahan yang
digunakan. Nilai kekuatan tarik dan nilai elongasi dari kemasan yang diuji disajikan pada Gambar 6
dan Gambar 7.

18
20
18
16

Nilai Kekuatan tarik (N)


17.237
14 × 10¹
12
10
8
6
4
4.569
2 3.409
0
Film kitosan Film kitosan + EBP PP●)

Jenis Kemasan

Gambar 6. Nilai kekuatan tarik kemasan yang digunakan


●)
Sumber : Benning (1983)

250

200
Nilai Elongasi (%)

150
176.530

100
107.897

50
60

0
Film kitosan Film kitosan + EBP PP●)

Jenis Kemasan

Gambar 7. Nilai elongasi kemasan yang digunakan


●)
Sumber : Benning (1983)

Film kitosan tanpa ekstrak bawang putih memiliki nilai kekuatan tarik lebih tinggi dari film
kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih. Hal ini diduga terjadi karena penambahan ekstrak
bawang putih menyebabkan film menjadi bersifat lebih liat tetapi mengurangi sifat kaku yang tadinya
terdapat pada film kitosan. Akibatnya yaitu film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih menjadi
lebih plastis tetapi lebih mudah putus.
Film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki nilai elongasi yang lebih besar dari
film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih. Hal ini diduga terjadi karena ekstrak bawang
putih yang ditambahkan yang berupa oleoresin akan mengisi ruang antar molekul daerah yang tidak
berbentuk pada struktur polimer dan akan meningkatkan kerapatan ruang antar molekul (Ahvenainen,
2003). Hal ini menyebabkan struktur yang terbentuk lebih padat sehingga film yang dihasilkan lebih
plastis. Kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dapat membentuk tekstur film yang baik karena

19
mempunyai kemampuan mengikat komponen air dan minyak (mengandung gugus OH dan atau gugus
NH₂) yang terdapat di dalam ekstrak bawang putih (Brzeski, 1987).
Benning (1983) menyatakan bahwa kekuatan tarik PP sebesar 172,368 N/mm2. Hal ini sangat
besar apabila dibandingkan dengan kekuatan tarik film kitosan dan film kitosan yang ditambah
ekstrak bawang putih yaitu sebesar 4,569 N/mm2 dan 3,409 N/mm2. Akibat dari nilai kekuatan tarik
yang rendah ini yaitu film kitosan yang diproduksi tidak dapat digunakan untuk mengemas produk
yang berbobot besar.

4.3.3. Laju Transmisi Uap Air (Water Vapor Transmission Rate)

Laju transmisi uap air merepresentasikan kemampuan suatu kemasan untuk menahan uap air
untuk masuk ke dalam kemasan. Nilai laju transmisi uap air (WVTR) disajikan pada Gambar 8.
160

140
Nilai WVTR (gr/m2/hari)

120 132.29
126.55
100

80

60

40

20
12
0
Film kitosan Film kitosan + EBP PP●)

Jenis Kemasan
Gambar 8. Nilai WVTR kemasan yang digunakan
●)
Sumber : Benning (1983)

Laju transmisi uap air dipengaruhi oleh aw, RH, suhu, ketebalan, jenis dan konsentrasi
plasticizer, dan sifat bahan pembentuk film. Semakin rendah nilai laju transmisi uap air maka film
tersebut semakin baik. Film yang terbuat dari bahan polisakarida merupakan polimer polar dan
mempunyai tingkat ikatan hidrogen tinggi karena mengandung gugus hidroksil, sehingga memiliki
laju transmisi uap air yang tinggi (Krochta et al., 1994).
Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai laju transmisi uap air pada film kitosan tanpa ekstrak
bawang putih lebih besar. Hal ini terjadi diduga karena ketebalan film yang lebih kecil dan kerapatan
molekul pada film yang ditambah ekstrak bawang putih lebih besar. Film kitosan yang ditambah
ekstrak bawang putih memiliki ketebalan yang lebih besar sehingga menyebabkan uap air lebih lama
untuk melewati kemasan karena jarak yang ditempuh menjadi lebih jauh. Selain itu menurut
Ahvenainen (2003) ekstrak bawang putih yang ditambahkan ke dalam film kitosan akan mengisi
ruang antar molekul daerah yang tidak berbentuk pada struktur polimer dan akan meningkatkan
kerapatan ruang antar molekul. Hal ini menyebabkan uap air menjadi lebih susah untuk melewati
kemasan. Menurut Krochta et al., (1994) ekstrak bawang putih mengandung minyak dan air.
Komponen minyak dan lemak mempunyai sifat perlindungan yang tinggi terhadap uap air sehingga
akan mengurangi sifat hidrofilik film kitosan. Karena itu uap air akan lebih susah untuk melewati
kemasan tersebut.

20
Uap air di dalam kemasan tidak disukai karena akan meningkatkan aw di dalam produk dan
memicu tumbuhnya mikroba yang pada akhirnya akan menurunkan umur simpan produk. Karena itu
kemasan yang baik adalah kemasan yang mempunyai nilai laju transmisi uap air rendah. Katz dan
Labuza (1981) menyatakan bahwa laju penyerapan air dipengaruhi oleh kemampuan air menembus
kemasan kemasan. Makin besar pori-pori kemasan maka laju penyerapan air akan makin cepat.
Perpindahan uap air dari lingkungan ke dalam kemasan dapat terjadi apabila nilai aw di dalam
kemasan lebih rendah daripada nilai aw lingkungan. Akan tetapi nilai perpindahan ini akan semakin
kecil apabila nilai aw produk sudah hampir sama dengan nilai aw lingkungan sehingga nilai transmisi
ini akan semakin kecil setiap hari.
Nilai laju transmisi uap air dari PP menurut Benning (1983) berkisar antara 10-12 g/m2/24 jam.
Nilai ini jauh lebih kecil daripada nilai transmisi uap air dari kedua film yang diproduksi. Perbedaan
ini terjadi karena permeabilitas film kitosan yang diproduksi tersebut yang sangat tinggi sehingga
mudah dilewati oleh uap air.

4.3.4. Transparansi

Transparansi adalah kemampuan suatu bahan untuk meneruskan cahaya. Parameter ini tidak
terlalu berpengaruh terhadap kualitas kemasan tetapi lebih berpengaruh kepada penampilannya dan
preferensi konsumen. Kemasan yang lebih transparan umumnya lebih disukai konsumen. Selain itu
kemasan yang lebih transparan juga lebih baik untuk menampilkan produk di dalam kemasan kepada
konsumen sehingga lebih berguna sebagai media promosi. Nilai transparansi kemasan disajikan pada
Gambar 9.

90.0

80.0
81.6
Nilai Transparansi (% T)

70.0
73.4
60.0
62.9
50.0

40.0

30.0

20.0

10.0

0.0
Film kitosan Film kitosan + EBP PP

Jenis Kemasan

Gambar 9. Nilai transparansi kemasan yang digunakan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai transparansi dari film kitosan yang ditambah ekstrak
bawang putih bernilai lebih besar. Hal ini terjadi karena ekstrak bawang putih yang ditambahkan
berwarna coklat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan warna larutan menjadi lebih gelap
sehingga film yang dihasilkan juga lebih gelap. Warna coklat ini didapatkan sewaktu pengeringan
bawang putih dimana warna bawang putih yang semula putih berubah menjadi coklat.
Nilai transparansi dari PP bernilai paling tinggi. Hal ini terjadi karena plastik PP yang
digunakan merupakan plastik bening sehingga lebih mudah untuk mengantarkan cahaya. Selain itu
plastik PP yang digunakan juga lebih tipis sehingga mempermudah cahaya untuk menembus kemasan

21
tersebut. Perbandingan nilai sifat fisis dan mekanis dari film kitosan tanpa penambahan ekstrak
bawang putih, film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih dan plastik PP disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3. Perbandingan nilai sifat fisis dan mekanis ketiga jenis kemasan yang digunakan

Film kitosan
Karakteristik kemasan Satuan Film kitosan PP
+ EBP

Ketebalan mm 0,182 0,202 0,043

Kuat tarik N/mm² 4,569 3,409 172,368a

Elongasi % 107,9 176,53 40-60a

Laju transmisi uap air g/m²/hari 132,29 126,55 10-12a

Transparansi % 73,4 62,9 81,6

Sumber :
a
: Benning (1983)

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa film kitosan tanpa penambahan ekstrak
bawang putih dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki sifat fisis dan mekanis
yang lebih jelek dari plastik PP kecuali pada nilai elongasi. Hal ini menunjukkan bahwa film AM dan
film AM yang ditambah ekstrak bawang putih belum cukup baik untuk digunakan sebagai kemasan
komersial karena selain biaya produksinya lebih besar, film ini juga masih mempunyai karakteristik
yang lebih jelek daripada PP, terutama parameter nilai laju transmisi uap air. Karakterisitik yang lebih
jelek ini mengakibatkan proses perlindungan yang diberikan kemasan kepada produk lebih lemah
sehingga produk lebih mudah rusak.

4.4. Aplikasi Kemasan pada Kerupuk Udang

Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan
mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan
produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat
diawali oleh hentakan mekanis. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan,
sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan (Arpah, 2001).
Produk yang digunakan sebagai bahan yang dikemas yaitu kerupuk udang. Kerupuk udang
dipilih karena mudah diuji, cepat rusak, dan berkadar air rendah karena film ini sangat mudah rusak
apabila terkena air. Kerupuk udang juga cocok digunakan sebagai bahan uji karena cocok untuk
menguji sifat permeabilitas film yang diproduksi. Parameter yang diuji yaitu kadar air, kekerasan
bahan, dan kadar asam lemak bebas. Parameter kadar air dan kekerasan dapat dibandingkan dengan
nilai permeabilitas film yang digunakan. Kerupuk udang yang telah digoreng dikemas dalam film
yang telah dikelim lalu disimpan pada suhu ruang dan suhu 45°C. Pengujian dilakukan setiap hari
selama tiga hari penyimpanan. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan hasil yang didapat
dengan kerupuk udang yang dikemas dengan plastik PP karena kemasan inilah yang umumnya
digunakan sebagai kemasan untuk kerupuk di pasaran.

22
4.4.1. Kadar Air

Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari makanan. Hal ini karena
faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat fisiko kimia, perubahan
kimia (browning non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis (Winarno dan
Jennie, 1984). Hasil pengujian dari kadar air kerupuk udang disajikan pada Gambar 10.

A B
10.0 10.0
Kerupuk Kerupuk
9.0 tanpa 9.0 tanpa
kemasan kemasan
8.0 8.0
7.0 Kemasan 7.0 Kemasan

Kadar Air (%)


Kadar Air (%)

PP PP
6.0 6.0
5.0 5.0
Film Film
4.0 Kitosan 4.0 Kitosan
3.0 3.0
2.0 Film 2.0 Film
Kitosan + Kitosan +
1.0 EBP
1.0 EBP
0.0 0.0
0 1 2 3 0 1 2 3
Lama Penyimpanan (Hari) Lama Penyimpanan (Hari)
Gambar 10. Kadar air kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar; (B) pada suhu
45°C

Kerupuk merupakan bahan kering yang bersifat higroskopis, yaitu mampu menyerap molekul
air dari lingkungannya dengan baik. Hal ini menyebabkan penurunan mutu kerupuk sangat
dipengaruhi oleh permeabilitas kemasannya karena permeabilitas kemasan akan sangat mempengaruhi
jumlah uap air yang dapat masuk ke dalam kemasan. Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar air dari
kerupuk yang disimpan pada suhu kamar meningkat setiap harinya, bahkan kerupuk yang dikemas
dengan film kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih memiliki nilai kadar air
berturut-turut 8,69% dan 8,68% pada hari ke-3. Nilai ini hampir sama dengan kadar air kerupuk yang
disimpan tanpa melalui pengemasan yaitu sebesar 8,99%. Hal ini dapat terjadi karena film tersebut
memiliki nilai permeabilitas yang tinggi, nilai transmisi uap air dari film kitosan dan film kitosan yang
ditambah ekstrak bawang putih berturut-turut adalah 132,29 g/m2/hari dan 126,55 g/m2/hari.
Sementara kerupuk yang dikemas dengan plastik PP memiliki nilai kadar air yang paling rendah. Hal
ini terjadi karena plastik PP mempunyai nilai permeabilitas yang rendah. Menurut Syarief dan Halid
(1993), sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE)
menjadikan plastik PP cocok digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya
kerupuk yang mudah rusak.
Gambar 10 juga menunjukkan bahwa kadar air kerupuk udang yang disimpan pada suhu kamar
cenderung lebih tinggi daripada kadar air kerupuk udang yang disimpan pada suhu 45°C. Hal ini
diduga terjadi karena kelembaban relatif dari tempat penyimpanan pada suhu 45°C cukup rendah
sehingga tidak terjadi perpindahan uap air dari lingkungan ke kerupuk. Hal ini menyebabkan kadar air
kerupuk tidak meningkat bahkan menurun karena kandungan air dari kerupuk justru berpindah ke
lingkungan.
Karakteristik film kitosan yang memiliki permeabilitas tinggi menyebabkan film ini sangat
lemah dalam melindungi produk terhadap penurunan kualitas akibat pengaruh kadar air. Untuk
mengurangi kemungkinan masuknya uap air dar lingkungan ke produk dapat dilakukan beberapa cara.

23
Cara yang pertama yaitu dengan menggunakan kemasan sekunder yang memiliki nilai permeabilitas
yang rendah untuk mencegah masuknya uap air ke produk. Cara yang kedua yaitu dengan
menambahkan gas yang bersifat inert, contohnya N2, ke dalam kemasan. Cara yang ketiga yaitu
mengemas kerupuk tersebut dalam kemasan vakum.

4.4.2. Kerenyahan

Kerenyahan merupakan parameter penting dalam menentukan mutu suatu bahan terutama
bahan kering atau yang mengalami proses penggorengan. Kerenyahan juga merupakan ciri khas dari
produk makanan ringan, contohnya kerupuk (Katz dan Labuza, 1981). Arpah (2001) menyatakan
bahwa kerenyahan merupakan suatu perubahan sifat fisik pada bahan pangan akibat dari reaksi
deteriorasi selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu. Tergantung
pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan
tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak dapat dikonsumsi
sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa. Hasil pengujian nilai kerenyahan disajikan pada
Gambar 11.

A B
4 4
Kerupuk Kerupuk
tanpa tanpa
3.5 kemasan
3.5
kemasan
Nilai Kerenyahan (N)
Nilai kerenyahan (N)

3 3
Kemasan Kemasan
2.5 PP 2.5 PP

2 2
Film Film
1.5 Kitosan 1.5 Kitosan

1 1
Film Film
0.5 Kitosan + 0.5 Kitosan +
EBP EBP
0 0
0 1 2 3 0 1 2 3

Lama Penyimpanan (hari) Lama Penyimpanan (hari)


Gambar 11. Nilai kerenyahan kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar; (B) pada
suhu 45°C

Parameter ini berhubungan erat dengan kadar air bahan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan
maka bahan tersebut semakin tidak renyah. Perubahan nilai kerenyahan terjadi karena adanya
perpindahan uap air dari lingkungan ke dalam kemasan sehingga parameter ini juga bergantung pada
nilai transmisi uap air kemasan yang dipakai. Nilai kerenyahan yang semakin tinggi mengakibatkan
diperlukan tenaga yang lebih besar untuk mematahkan bahan tersebut. Katz dan Labuza (1981)
menduga bahwa air melarutkan dan melunakkan matriks pati atau protein yang ada pada sebagian
besar bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan.
Nilai pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin besar nilai yang diperoleh maka
semakin besar gaya yang diperlukan untuk mematahkan kerupuk tersebut. Dapat diartikan bahwa
semakin tinggi nilai yang diperoleh pada pengujian tersebut maka kerupuk tersebut semakin tidak
renyah. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kerenyahan kerupuk cenderung meningkat
artinya yaitu kerupuk semakin tidak renyah selama penyimpanan.
Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai kerenyahan kerupuk udang semakin
menurun selama penyimpanan tetapi besar penurunan tersebut lebih besar pada kerupuk udang yang

24
disimpan pada suhu kamar. Hal ini dapat dipahami karena penurunan kadar air pada suhu kamar juga
lebih kecil daripada penurunan kadar air pada suhu 45°C.
Gambar 11 menunjukkan bahwa pada suhu kamar, penurunan nilai kerenyahan paling besar
terdapat pada kerupuk yang tidak dikemas. Hal ini terjadi karena memang penurunan kadar air yang
terbesar terdapat pada kerupuk yang tidak dikemas sebab udara tidak mendapat halangan untuk kontak
dengan produk. Sementara nilai kerenyahan yang paling kecil terdapat pada kerupuk yang dikemas
dengan plastik PP. Hal ini terjadi karena plastik PP merupakan kemasan yang paling rendah nilai
permeabilitasnya dibandingkan dengan film kitosan yang digunakan.
Gambar 11 menunjukkan bahwa penurunan nilai kerenyahan pada kerupuk yang disimpan
pada suhu 45°C lebih kecil daripada kerupuk yang disimpan pada suhu kamar. Hal ini terjadi karena
kadar air kerupuk terjaga pada suhu tersebut sehingga penurunan kerenyahannya juga kecil sehingga
dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang positif pada
kerenyahan bahan.

4.4.3. Kadar Asam Lemak Bebas

Kadar asam lemak bebas adalah nilai asam lemak bebas yang terdapat di dalam bahan.
Parameter ini digunakan untuk menguji bahan yang digoreng karena bahan yang digoreng
mengandung asam lemak yang berasal dari minyak goreng yang digunakan. Hasil pengujian kadar
asam lemak bebas disajikan pada Gambar 12.

A B
9.0 9.0
Kerupuk Kerupuk
tanpa tanpa
8.0 8.0
kemasan kemasan
7.0 7.0
Kadar ALB (%)

Kemasan
Kadar ALB (%)

6.0 6.0 Kemasan


PP PP
5.0 5.0
4.0 Film 4.0
Film
Kitosan
3.0 3.0 Kitosan

2.0 2.0
Film
1.0 Kitosan + 1.0 Film
EBP Kitosan +
0.0 EBP
0.0
0 1 2 3 0 1 2 3
Lama penyimpanan (hari) Lama penyimpanan (hari)
Gambar 12. Kadar asam lemak bebas kerupuk udang selama penyimpanan : (A) pada suhu kamar;
(B) pada suhu 45°C

Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas mengalami peningkatan selama
penyimpanan. Kerupuk yang dikemas pada film kitosan mengalami peningkatan kadar asam lemak
bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk yang dikemas dengan PP. Hal ini terjadi karena
permeabilitas film kitosan yang lebih besar daripada PP. Kerupuk yang dikemas di dalam PP
mempunyai kadar asam lemak yang paling kecil dibandingkan dengan kerupuk yang dikemas dengan
kemasan lain. Hal ini terjadi karena plastik PP mempunyai permeabilitas gas yang paling kecil
dibandingkan dengan film kitosan sehingga proses oksidasi terjadi lebih lambat. Oksigen yang akan
masuk ke dalam kemasan lebih mudah untuk masuk apabila permeabilitas gasnya besar sehingga
peluang untuk terjadinya proses oksidasi juga lebih besar.
Asam lemak bebas berasal dari asam lemak tidak jenuh pada bahan yang mengalami proses
oksidasi oleh oksigen. Asam lemak bebas ini tidak disukai pada bahan karena selain mengakibatkan

25
rasa dan bau tidak enak, proses oksidasi ini juga dapat menurunkan nilai gizi karena kerusakan asam
lemak esensial dalam lemak. Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan
bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal ini dikenal sebagai reversion. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengembangan dari reversion ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya
oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi (Ketaren,
1989). Secara umum proses ketengikan lebih mempengaruhi penerimaan konsumen. Bau tengik yang
dihasilkan oleh proses oksidasi ini dapat menyebabkan konsumen tidak menyukai produk tersebut.
Selain itu juga ada kemungkinan terjadinya perubahan rasa produk akibat proses oksidasi yang juga
mempengaruhi penerimaan konsumen.
Kitosan dan bawang putih diketahui mempunyai antioksidan yang dapat mengikat radikal
bebas. Antioksidan ini diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dengan mencegah terjadinya
proses ketengikan. Kadar asam lemak bebas dari kerupuk yang dikemas dengan film kitosan lebih
rendah dari kerupuk yang tidak dikemas tetapi masih lebih tinggi dari kadar asam lemak bebas dari
kerupuk yang dikemas dengan PP. Hal ini diduga karena permeabilitas dari film kitosan yang besar
sehingga walaupun film tersebut menghasilkan antioksidan tetapi proses oksidasi masih dapat terjadi.
Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya proses ketengikan adalah dengan
mencegah masuknya oksigen ke dalam kemasan sehingga proses oksidasi tidak terjadi. Ada beberapa
hal yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan kemasan sekunder yang bersifat kedap,
menambahkan gas inert ke dalam kemasan, atau mengemas produk dalam kondisi vakum.

26
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Secara umum, film kitosan memiliki karakteristik fisis dan mekanis yang lebih rendah dari PP.
Film kitosan memiliki nilai kekuatan tarik dan nilai transparansi yang lebih rendah daripada PP
dan nilai ketebalan, nilai elongasi, dan nilai WVTR yang lebih tinggi daripada PP. Film kitosan
yang diproduksi mempunyai elastisitas yang cukup baik dilihat dari nilai elongasi yang cukup
tinggi tetapi mempunyai permeabilitas yang sangat tinggi. Hal ini mengakibatkan kemasan yang
diproduksi mudah dilewati uap air sehingga kurang baik untuk digunakan mengemas produk yang
kering dan mudah rusak seperti kerupuk. Selain itu nilai kekuatan tarik yang kecil mengakibatkan
film kitosan ini tidak dapat digunakan untuk mengemas bahan yang bermassa besar.
2. Film kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih secara umum lebih baik daripada film
kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih. Film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang
putih memiliki nilai kekuatan tarik, nilai WVTR dan nilai transparansi yang lebih tinggi, dan
memiliki nilai ketebalan dan nilai elongasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan bahan yang
dikemas pada film kitosan tanpa penambahan ekstrak bawang putih lebih cepat rusak karena
permeabilitas yang lebih besar.
3. Film yang dihasilkan dapat dikelim dan digunakan untuk membungkus kerupuk walaupun
kekuatan seal-nya masih lemah. Hasil pengujian terhadap kerupuk udang yang dikemas dan
disimpan pada suhu kamar dan suhu 45°C menunjukkan bahwa kerupuk yang dikemas dengan
film kitosan dan film kitosan yang ditambah ekstrak bawang putih masih lebih cepat rusak
dibandingkan dengan kerupuk yang dikemas dengan PP.

5.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan adalah :


1. Pencampuran bahan lain dalam proses produksi film untuk memperbaiki sifat kemasan tersebut.
Bahan tersebut dapat berupa bahan alami atau bahan buatan seperti plastik PE atau plastik PP.
Pencampuran ini diharapkan dapat memperbaiki sifat fisis dan mekanis dan kemampuan teknis
(kemampuan untuk digunakan pada mesin pengemas otomatis dan kemampuan seal) dari film
tersebut.
2. Pengembangan atau disain alat produksi agar proses produksi film ini dapat diterapkan dalam
skala industri. Hal ini diperlukan karena alat yang digunakan dalam proses pembuatan film masih
sederhana dan berukuran kecil sehingga kurang efisien apabila diterapkan dalam skala industri.
3. Penggunaan kemasan sekunder yang bersifat kedap, penambahan gas inert ke dalam kemasan, atau
pengemasan kerupuk dalam kondisi vakum untuk mengantisipasi perpindahan uap air dari
lingkungan ke dalam kemasan.

27
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 1995. FDA Official Methods of Analysis. 16th
edition. Virginia : Inc. Arlington

[ASTM] American Society for Testing and Material. 1989. Annual Book ASTM Standards.
Philadelphia : ASTM

Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging. Dalam : Ahvenainen, R (ed). Novel Food
Packaging Techniques. Abington : Woodhead Publishing, pp 5-21

Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Bogor : Program Studi
Ilmu Pangan, Program Pasca Sarjana IPB

Benning, C. J. 1983. Plastics Film for Packaging. Lancaster, Pennsylvania : Technomic Publishing
Company, Inc.

Brzeski, M.M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5 : 31-33

Chen, H.C., Chang M.D., dan Chang T.J. 1985. Antibacterial properties of some spice plants before
and after heat treatment. Chin J of Microbio and Immunol 18 : 190-195

Cole, M.A. 1990. Biodegradable polymers. Preprints of Proceedings of ACS Division of Polymeric
Materials. J of Sci & Eng 63 : 877

Cooksey, K. 2007. Interaction of food and packaging contents. Dalam : C. L. Wilson (ed.). Intelligent
and Active Packaging for Fruits and Vegetables. Boca Raton, Florida : CRC Press, pp 187-199

Day, B.P.F. 2008. Active Packaging of Food. Dalam : Willey John (ed). Smart Packaging
Technologies for Fast Moving Consumer Goods. England : John Willey & Sons Limited, pp
75-96

Dewick, P. M. 2003. Medicinal Natural Product, A Biosynthetic Approach. 2nd edition. Chicester :
John Wiley & Sons

Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1995. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta : Erlangga

Gontard, N., S. Guilbert, dan J.L. Cuq. 1993. Water and glycerol as plasticizer affect mechanical and
water vapor barrier properties of edible wheat gluten film. J Food Sci 57 : 190-195

Gould, J.M., S.H. Gordon, L.B. Dexter, dan C.L. Swanson. 1990. Biodegradation of starch containing
plastic. Dalam : J. E. Glass dan G. Swift (eds). Agriculture and Synthetic Polymer
Biodegradability and Utilization. New York : American Chemical Society, pp 65-75

Hancock, S. 2001. Antimicrobial Packaging Film. www.uark.edu/admin/rsspinfo [15 April 2010]

Katz, E. E. dan T. P. Labuza. 1981. Effect of water activity on the sensory cripness and mechanical
deformation of snack food products. J Food Sci 46 : 403

Ketaren, S. 1989. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press

28
Kim, K. W. dan R. L. Thomas. 2007. Antioxidative activity of chitosans with varying molecular
weights. J Food Chem 101 : 308-313

Krochta, J. M., dan C. DeMulder-Johnston. 1997. Edible and biodegradable polymer films; challenges
and opportunities. J Food Tech 51(2) : 61-74

Kumar, M. dan J. S. Berwal. 1998. Sensitivity of food pathogens to garlic (Allium sativum L.). J Appl
Microbiol 84 : 213-215

Laham, M. dan C. Lee. 1995. Biodegradability of chitin and chitosan containing films in soil
environment. J of Polym and the Environ 3 : 31-36

Latief, R. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable.


http://www.hayati_ipb.com/users/rudyct/individu_2001/rindam_latief.html [15 April 2010]

Lin, H. Y. dan C. C. Chou. 2004. Antioxidative activities of water-solluble dissacharide chitosan


derivatives. J Food Res Int 37 : 883-889

Mazza, G. dan B. D. Oomah. 1998. Herbs, Botanical, and Teas. Boca Raton, Florida : CRC Press

Muzzarelli, R. A. A. dan C. Muzzarelli. 2007. Chitosan as a dietary supplement and a food technology
agent. Dalam : C. G. Biliaderis dan M. S. Izydorczyk (eds). Functional Food Carbohydrates.
Boca Raton, Florida : CRC Press, pp 215-248

Noureddini, H.S., W.R. Dailey, dan B.A. Hunt. 1998. Production of glycerol ether from crude
glycerol – the by-product of biodiesel production [papers]. Chemical and Biomolecular
Engineering Research and Publication

Park, J. W., R. F. Testin, V. J. Vergano, H. J. Park, dan C. L. Weller. 1996. Application of laminated
edible films to potato chip packaging. J of Food Sci 61 : 766-768

Peter, M. G. 2005. Chitin and chitosan from animal sources. Dalam : A. Steinbüchel dan S. K. Rhee
(eds). Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry (vol. 1). Weinheim : Wiley-VCH,
pp 115-208

Robertson, G.L. 2006. Food Packaging – Principles and Practice. Boca Raton, Florida : CRC Press

Seydim, A. C. dan G. Sarikus. 2006. Antimicrobial activity of whey protein based edible films
incorporated with oregano, rosemary and garlic essential oils. J Food Res Int 39 : 639-644.

Smolander, M. 2008. Freshness Indicators for Food Packaging. Dalam : Willey John (ed). Smart
Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. England : John Wiley & Sons., pp
75-96.

Sothornvit, R. dan J. M. Krochta. Plasticizer effect on mechanical properties of β-lactoglobulin films.


J Food Eng 50 (3) : 149-155

Suppakul, P., J. Miltz, K. Sonneveld, dan S. W. Bigger. 2003. Active packaging technologies with an
emphasis on antimicrobial packaging and its applications. J Food Sci 68 : 408-420

29
Suyatma, C., dan C. Tighzert. 2004. Mechanical and barrier properties of biodegradable films made
from chitosan and and poly lactic acid blends. J Polym and the Environ 12 : 1-6

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta : Arcan

Syarief, R., S. Sentausa dan S. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor : Laboratorium
Rekayasa Bioproses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Vaidya, V., K. U. Ingold dan D. A. Pratt. 2008. Garlic: source of the ultimate antioxidants - sulfenic
acids. J Ang Chem 48 : 157-160

Wardhani, S. K. 2008. Efikasi Kemasan Antimikroba Berbahan Kitosan [skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB

Winarno, F. G. 1987. Kimia Pangan. Jakarta : PT. Gramedia

Winarno, F.G. dan S.L.B. Jennie. 1984. Kerusakan Bahan. Jakarta : PT. Gramedia

Wirakartakusumah, M.A., D. Hermianianto, dan N. Andarwulan. 1989. Prinsip Teknik Pangan.


Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU
Pangan dan Gizi, IPB

Zainab, F. 2009. Pengembangan Kemasan Antimikrobial Berbahan Alami untuk Memperpanjang


Umur Simpan Produk [tesis]. Program Pascasarjana, IPB

30
LAMPIRAN

31
Lampiran 1. Prosedur analisis
1. Ketebalan (ASTM, 1989)

Ketebalan film diukur dengan alat digital thickness gauge di lima tempat yang berbeda, lalu
dicari nilai rataannya. Sampel yang akan diambil adalah tiga sampel untuk setiap jenis plastik.

= tempat pengukuran ketebalan film

2. Kekuatan tarik dan persen pemanjangan/elongasi (ASTM, 1989)

Contoh uji yang digunakan berukuran panjang 12 cm dan lebar 1,5 cm sebanyak tiga ulangan
untuk setiap jenis film. Nilai kekuatan tarik dihitung dengan menggunakan alat tensile strength
and elongation tester strograph. Nilai kekuatan tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum
pada saat film putus/pecah dan elongasi dihitung dari penambahan panjang film sampai film
putus/pecah. Satuan kekuatan tarik adalah N/mm2. Nilai kekuatan tarik diperoleh dengan rumus :

      


 

  

Nilai persen pemanjangan diperoleh dengan rumus :

   

   %  100%
  


3. Laju transmisi uap air (ASTM, 1989)

Metode ini digunakan untuk menentukan laju transmisi uap air film yang RH 75% pada suhu
gradien 25°C. Film diletakkan ke dalam tutup cawan lalu cincin karet untuk sealing diletakkan
ke dalam tutup dan perlahan disekrupkan pada cawan. Cawan ditimbang dengan ketelitian
0.0001 g kemudian diletakkan dalam humidity chamber dan kipas angin dijalankan. Setelah 24
jam cawan ditimbang kembali kemudian dikembalikan kembali ke dalam chamber dan
prosesnya diulang kembali. Pertambahan berat cawan dihitung, waktunya dicatat dari
penimbangan dan jumlah jam antara dua penimbangan. Setiap nilai WVTR diuji tiga kali
ulangan. Nilai WVTR setiap cawan dihitung dengan mempergunakan rumus :


!"#
$  

Keterangan : n = jumlah uap air


A = luasan film (cm2)
t = waktu (hari)

32
4. Transparansi

Pengukuran nilai transparansi film dilakukan dengan menggunakan alat Spektrofotometer


Visible. Alat dihubungkan dengan listrik lalu dipilih mode transmission dan dibiarkan selama 15
menit untuk pemanasan. Alat disetting pada panjang gelombang (λ) 480 nm. Blanko yaitu kuvet
kosong dimasukkan ke dalam cuvette holder lalu ditekan tombol A 0%/100% T sehingga layar
display menunjukkan angka 100,0. Kuvet lalu diisi dengan lembaran plastik yang telah dipotong
sesuai dengan ukuran kuvet dan dibaca persentase transmisi pada layar display. Setiap sampel
diukur tiga kali yang diambil dari tiga titik yang berbeda.

5. Penentuan kadar air (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 2-5 g ditimbang dan ditempatkan dalam cawan aluminium yang telah diketahui
bobotnya. Sampel tersebut dikeringkan dalam oven yang bersuhu 105°C selama 5-6 jam,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setiap jenis film diuji tiga kali ulangan.
Kadar air contoh dihitung dengan rumus kadar air basis basah sebagai berikut :

%& ' %(
 ) 100%
%&

Keterangan : m = kadar air (% basis basah)


X0 = bobot contoh awal (g)
Xi = bobot contoh akhir (g)
6. Penetapan kadar asam lemak bebas (AOAC, 1995)

Prinsip dari metode penetapan kadar asam lemak bebas adalah pelarutan contoh lemak dalam
pelarut organik yang dilanjutkan dengan titrasi KOH. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
menimbang sampel yang telah dihancurkan seberat 2-3 g. Sampel kemudian dilarutkan dalam 50
ml alkohol di dalam labu Erlenmeyer sambil diaduk. Langkah selanjutnya Erlenmeyer
dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, larutan diberi
beberapa tetes indikator PP (phenolphthalein). Langkah terakhir adalah titrasi sampel dengan
larutan KOH 0,1 N hingga timbul warna merah yang tidak berubah selama 15 detik. Setiap jenis
film diuji tiga kali ulangan. Kadar asam lemak dapat dihitung dengan rumus :

$    ,
  * ++
10

Keterangan : A = volume KOH untuk titrasi (ml)


N = normalitas KOH (0,1 N)
B = bobot molekul asam lemak dominan (dari minyak kelapa sawit sebagai asam
oleat = 282)
G = bobot contoh (g)

33
7. Uji kerenyahan

Uji kerenyahan dilakukan menggunakan alat Instron yang terdapat di laboratorium Departemen
THH, Fakultas Kehutanan, IPB. Nilai kerenyahan yang dibaca adalah nilai pada saat bahan
mulai retak/patah saat diberi tekanan. Setiap jenis kerupuk diuji tiga kali ulangan.

34
Lampiran 2. Data nilai ketebalan (mm) kemasan
Film kitosan

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rata-rata


1 0.180 0.131 0.175 0.238 0.177 0.180
2 0.160 0.180 0.162 0.156 0.165 0.165
3 0.172 0.187 0.211 0.206 0.225 0.200
Rata-rata 0.182

Film kitosan + Ekstrak Bawang Putih

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rata-rata


1 0.196 0.205 0.202 0.162 0.225 0.198
2 0.248 0.200 0.178 0.166 0.250 0.208
3 0.235 0.172 0.174 0.201 0.217 0.200
Rata-rata 0.202

Plastik PP

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Rata-rata


1 0.043 0.043 0.046 0.038 0.046 0.043
2 0.041 0.046 0.046 0.041 0.046 0.044
3 0.046 0.041 0.043 0.041 0.043 0.043
Rata-rata 0.043

35
Lampiran 3. Data nilai kekuatan tarik dan elongasi kemasan
Film kitosan

No Lebar (mm) Ketebalan (mm) Luas Sampel (mm²) Gaya ketika putus (N) Kekuatan tarik (N/mm²) Elongasi (%)
1 15 0.167 2.505 12.775 5.100 121.45
2 15 0.162 2.430 10.610 4.366 99.35
3 15 0.148 2.220 9.414 4.241 102.89
Rata-rata 5.100 121.45

Film kitosan + EBP

No Lebar (mm) Ketebalan (mm) Luas Sampel (mm²) Gaya ketika putus (N) Kekuatan tarik (N/mm²) Elongasi (%)
1 15 0.199 2.985 10.286 3.446 191.94
2 15 0.199 2.985 11.643 3.901 194.61
3 15 0.199 2.985 8.601 2.881 143.04
Rata-rata 3.901 194.61
36

36
Lampiran 4. Data nilai transparansi (% T) kemasan
Film kitosan

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata


1 73.6 72.9 71.4 72.6
2 76.4 76.4 75.7 76.2
3 71.2 71.7 71.4 71.4
Rata-rata 73.4

Film kitosan + Ekstrak Bawang Putih

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata


1 62.0 60.4 60.5 61.0
2 66.9 65.1 66.4 66.1
3 62.3 60.5 61.8 61.5
Rata-rata 62.9

Plastik PP

No Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata


1 81.7 82.7 83.0 82.5
2 82.9 80.9 80.9 81.6
3 81.0 80.2 81.5 80.9
Rata-rata 81.6

37
Lampiran 5. Data perubahan karakteristik kerupuk udang selama penyimpanan
Data nilai kadar air (%) kerupuk udang

Tidak dikemas Film kitosan Film kitosan + EBP Plastik PP


Hari ke-
suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C
0 3.94 3.94 3.94 3.94 3.94 3.94 3.94 3.94
1 6.49 3.03 6.80 3.65 7.08 4.95 3.81 3.06
2 7.73 2.93 7.32 3.40 7.04 3.14 5.23 3.13
3 8.99 3.37 8.69 2.86 8.68 2.80 4.84 3.21
Data nilai kerenyahan (N) kerupuk udang

Tidak dikemas Film kitosan Film kitosan + EBP Plastik PP


Hari ke-
suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C
0 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83 0.83
1 2.23 1.20 1.21 0.62 1.30 0.99 2.65 1.12
2 2.21 0.90 1.95 1.04 1.19 0.63 1.62 1.43
3 3.59 1.17 1.15 1.24 1.55 1.18 2.44 1.23
Data nilai kadar asam lemak bebas (%) kerupuk udang

Tidak dikemas Film kitosan Film kitosan + EBP Plastik PP


Hari ke-
suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C suhu kamar 45°C
0 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83
1 5.53 6.85 5.37 5.66 5.55 2.94 6.11 6.49
2 5.87 5.19 5.09 4.85 7.22 3.15 7.86 6.70
3 4.68 4.41 4.57 4.61 5.86 6.14 6.61 5.68
38

38

You might also like