You are on page 1of 11

MAJALAH SAINSTEKES 4 (2) : 033-042 (2017)

Strategi Penatalaksanaan Stomatitis Aftosa Rekuren pada Anemia


Defisiensi Besi (Laporan Kasus)

Treatment Strategies for Recurrent Apthous Stomatitis in Iron Deficiency


Anemia (Case Report)
Ahmad Ronal1,2, Siti Aliyah3
1
Faculty of Dentistry, Universitas YARSI
2
Resident in Department of Oral Medicine, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia
3
Academic Staff in Department of Oral Medicine, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia
E-mail: ahmad.ronal@yarsi.ac.id

KEYWORDS recurrent aphthous stomatitis, iron deficiency, anemia, management

ABSTRACT Recurrent aphthous stomatitis (RAS) is a type of lesion of the oral mucous
consisting of sudden acute, painful, being recurrent, non-infectious, non-
vesicular, and immunologically mediated. Chronic iron deficiency will result
in iron deficiency anemia which is one of RAS predisposing factors. To
ilustrate the complexity of RAS in iron deficiency anemia following the
treatment strategies. Case Report: Outpatient woman, thirty years old, not
married yet; came with painful aphthous on her tongue causing stiff tongue
sensation and difficult to speak. She has frequent aphthous since last two
months. Case Management: Diagnosis of RAS was derived from history and
clinical presentation whereas iron deficiency anemia condition was derived
from hematology examination. Patient has been instructed to increase iron
source diet and limit tea consumption. Chlorhexidine gluconate and bee
propolis were used as RAS medication. Ferro gluconate, ferrazone, and
ascorbic acid were delivered as iron deficiency therapy. RAS treatment in
iron deficiency anemia has to be considered both of RAS and iron deficiency
condition related to their correlation.

PENDAHULUAN infeksi human immunodeficiency virus


(HIV) (Shruthi dkk, 2013; Ghafoor dan
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) Khan, 2012).
merupakan lesi mukosa oral bercirikan Besi merupakan mikronutrien
kehilangan jaringan mukosa yang terjadi yang berperan pada pembentukan
tiba-tiba, disertai rasa sakit, terjadi hemoglobin sebagai molekul pembawa
berulang (rekurensi), non infeksius, non oksigen, dan juga sebagai unsur
vesikular, dan terkait imunologi pembentuk protein yang mengandung
(Rodriguez dkk, 2007; Boras dan Savage, besi, seperti sitokrom, xantin oksidase,
2007). Serangan SAR dapat ditimbulkan dan ribonukleotida reduktase (Provan,
oleh trauma lokal, stres, obat-obatan, 1999). Defisiensi besi diduga sebagai
perubahan hormonal, defisiensi vitamin salah satu faktor predisposisi SAR.
dan trace element serta mikronutrien, Porter, Scully, dan Flint (1988) pada
faktor imunologi, berhenti merokok, studi mereka memperlihatkan penderita
infeksi, faktor herediter dan genetik, SAR memiliki kadar feritin yang lebih
faktor mikroba, hipersensitivitas terhadap rendah dibandingkan dengan kelompok
makanan, defisiensi hematinik, dan
034 AHMAD RONAL, SITI ALIYAH

kontrol (Koybasi dkk, 2006; Porter dkk, kumur povidon iodin, dan konsumsi
1988), dimana pemeriksaan feritin suplemen makanan yang mengandung
merupakan pemeriksaan yang zinc dan vitamin B12. Perbaikan dirasakan
mencerminkan cadangan besi (Sacher setelahnya dengan kemunculan sariawan
dan McPherson, 2004). Bila berlanjut, hanya 1-2 buah setiap akan menstruasi.
keadaan defisiensi besi akan disertai Satu tahun yang lalu pasien merasakan
anemia yang disebut anemia defisiensi telah terbebas dari serangan sariawan,
besi (Abdulsalam dan Daniel, 2002). namun 2 bulan yang lalu sariawan muncul
National Health and Nutrition kembali setiap sebelum dan setelah
Examination Survey (NHANES) III menstruasi. Sariawan yang muncul
(1988-1994) di Amerika Serikat langsung berukuran besar dan butuh waktu
memperlihatkan pada usia di 12 tahun ke 1 minggu untuk sembuh. Pasien merasa
atas 14% wanita non-hamil dan kurang lemas saat sebelum kemunculan sariawan
dari 6% pria menderita anemia defisiensi dan saat akan sembuh.
besi (Broome dkk, 1998). Studi yang Saat ini pasien mengeluhkan
dilakukan oleh Aliyah (1993) pada 31 adanya sariawan yang muncul 1 minggu
pasien dengan diagnosis SAR yang lalu berjumlah 3 buah. Sariawan
memperlihatkan kadar besi serum (serum telah berusaha diobati dengan obat kumur
iron) yang rendah terdapat pada 6 pasien klorheksidin glukonat, multivitamin
yang kesemuanya wanita. Dari 6 pasien neurotropik, dan vitamin C. Riwayat
predisposisi yang berhasil diketahui ialah
tersebut, 3 diantaranya menderita anemia
adanya riwayat sariawan dari ibu pasien.
(Aliyah, 1993). Menstruasi dirasa cenderung terlambat
(mundur 1 minggu). Pasien berkerja di
bagian keuangan pada pagi hari dan
METODOLOGI mengajar les pada sore hingga malam
hari. Sayuran dan buah tidak dikonsumsi
Laporan kasus ini merupakan rutin setiap hari. Pasien tidak merokok
observasional terhadap sebuah kasus dan sering mengkonsumsi teh. Pasien
yang bertujuan memaparkan kompleksitas merasa memiliki riwayat sakit maag.
kasus SAR yang terjadi pada penderita Serangan sariawan yang kembali rutin ini
anemia defisiensi besi, berikut strategi menjadikan pasien khawatir.
terapi yang dilakukan dan latar Pada pemeriksaan terlihat ulser
belakangnya. pada mukosa bukal dan lateral lidah
(Gambar 1). Kebersihan rongga mulut
baik, tidak terlihat kalkulus gigi dan debri
ISI oral. Pasien didiagnosis stomatitis aftosa
rekuren (SAR) tipe minor. Terapi yang
diberikan pada kunjungan tersebut ialah
Pasien rawat jalan, wanita 30 instruksi untuk menghindari makanan
tahun, karyawati swasta, belum menikah; berbumbu tajam dan minuman bersoda,
datang ke poli Gigi dan Mulut RS Cipto mengupayakan makan secara teratur dan
Mangunkusumo (RSCM) divisi Penyakit seimbang, serta berupaya mengendalikan
Mulut dengan keluhan sariawan yang stres. Pasien juga diinstruksikan untuk
sangat sakit di lidah hingga lidah terasa melakukan pencatatan riwayat sariawan
kaku dan sulit berbicara. Pasien secara mandiri yang berupa tanggal dan
mengatakan bahwa dahulu sering lokasi kemunculan sariawan, intensitas
mengalami sariawan dan bahkan 6 tahun nyeri, tanggal perbaikan, obat atau
yang lalu muncul berjumlah 13 buah vitamin yang dikonsumsi, serta periode
secara bersamaan. Dahulu berbagai terapi menstruasi. Medikasi yang diberikan
telah dicoba, seperti minum susu, obat
STRATEGI PENATALAKSANAAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN PADA ANEMIA 035
DEFISIENSI BESI (LAPORAN KASUS)

ialah multivitamin mineral (1x/hari). hematologi rutin dan kunjungan


Pasien dikonsulkan untuk pemeriksaan

Gambar 1. Ulser dangkal pada lateral lidah kanan berukuran 7x7 mm (kiri) dan 4x6 mm pada
mukosa bukal kanan (kanan) dengan tepi eritema.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan hematologi untuk meningkatkan konsumsi makanan


pada kunjungan pertama dan sumber zat besi. Sekitar 3 minggu
ketiga. setelahnya, pasien datang kembali dengan
membawa hasil pencatatan riwayat
Pemeriksaan Minggu- Minggu-10 Rujukan sariawan. Pasien mengeluhkan pusing
1 kepala 1-2 jam setelah mengkonsumsi
Hb 9,8 g/Dl 10,6 g/Dl 12,0 –
multivitamin, sehingga setelah 5 hari
Ht 31,6 % 32,4 % 37,0 –
konsumsinya dihentikan dan pusing
Eritrosit 4,52 4,42 4,00 –
kepala hilang setelahnya. Keluhan juga
MCV 69,9 fL 73,4 fL 82,0 –
dirasakan saat mengkonsumsi kapsul
MCH 21,7 pg 24,0 pg 27,0 – suplemen besi berupa mual dan sendawa
MCHC 31,0 32,7 g/dL 32 – 36 selama ± 5 jam setelahnya. Terlihat ulser
Trombosit 323 276 150 – dangkal (2x2 mm) pada lateral lidah kiri
Leukosit 7,14 6,64 5,0 – dan pada mukosa bukal kiri (1x1 mm).
TIBC - 388 µg/dL 250 – Pasien diinstruksikan untuk
Feritin - 4,64 ng/mL 13 – mengkompres ulser dengan klorheksidin
RDW - 23,3% 11,5 – glukonat. Baru diketahui pasien memiliki
Keterangan : Terapi zat besi pada minggu 1-3 kebiasaan banyak mengkonsumsi teh
ialah kapsul fero glukonat 250 mg/hari dan pada sebanyak minimal 3 gelas per hari,
minggu 4-11 ialah sirup ferrazone 226 mg/hari. sehingga diinstruksikan untuk mengatur
jarak antara konsumsi teh dengan makan
berikutnya direncanakan 3 minggu besar atau suplemen zat besi. Disarankan
setelahnya. Hasil pemeriksaan juga untuk meningkatkan konsumsi
memperlihatkan penurunan nilai daging sebagai sumber zat besi.
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), mean Untuk mengurangi keluhan akibat
corpuscular volume (MCV), mean mengkonsumsi kapsul zat besi, suplemen
corpuscular hemoglobin (MCHC), dan zat besi yang sebelumnya diberikan
dalam sediaan kapsul diganti dengan
mean corpuscular hemoglobin
sediaan sirup (setiap 5 ml mengandung
concentration (MCHC) (Tabel 1). Pasien ferrazone (sodium feredetate) 113 mg,
didiagnosis menderita anemia mikrositik, vitamin B1, B2, B3, B6, dan biotin) (2x5
sehingga diberikan kapsul suplemen zat ml). Kunjungan berikutnya direncanakan
besi (fero glukonat 250 mg, mangan 6 minggu berikutnya dengan
sulfat, tembaga sulfat, asam folat, dan menyertakan lembar permintaan
sorbitol) (1x/hari) dan diinstruksikan
036 AHMAD RONAL, SITI ALIYAH

pemeriksaan hematologi rutin disertai membulat, nyeri, dikelilingi area eritema,


pemeriksaan total iron binding capacity dan juga muncul pada mukosa oral non-
(TIBC) dan feritin kepada pasien. keratin, yakni lateral lidah dan mukosa
bukal (Gambar 1). Berdasarkan diameter
Diagnosis dan Identifikasi Predisposisi ulser yang kurang dari 1 cm, maka
SAR disimpulkan bahwa SAR tersebut
Diagnosis SAR ditegakkan merupakan tipe minor.
berdasarkan pada riwayat klinis dan Predisposisi SAR yang berhasil
gambaran klinis. Tidak terdapat tes yang diidentifikasi antara lain adanya
spesifik, namun perlu untuk keterlibatan faktor keturunan, dimana ibu
menyingkirkan adanya kemungkinan pasien mengaku juga memiliki riwayat
penyebab lainnya yang dapat sariawan. Hal ini sejalan dengan studi
menyebabkan ulserasi oral yang rekuren, yang dilakukan oleh Miller, Garfunkel,
seperti sindroma Behcet, sindroma Ram, dan Ship (1980), yang
PFAPA (periodic fever, aphthous mengindikasikan peningkatan
stomatitis, pharyngitis, and adenitis), dan kecenderungan terjadinya SAR pada anak
infeksi HIV (Scully dan Porter, 2008). dengan orang tua yang juga memiliki
Karakteristik SAR ialah adanya ulserasi riwayat SAR (Koybasi dkk, 2006; Miller
berulang (rekurensi) pada mukosa oral dkk, 1980). Shohat-Zabarski, Kalderon,
tanpa disertai tanda-tanda adanya Klein, dan Weinberger (1992)
penyakit lainnya (Koybasi dkk, 2006). melaporkan bahwa lebih dari 42%
Ulserasi pada SAR tampak sebagai ulser penderita SAR memiliki hubungan
yang membulat, dangkal, dan nyeri kekerabatan garis pertama (first degree
(Koybasi dkk, 2006; Jurge dkk, 2006); relative) dengan penderita SAR lainnya
biasanya diselimuti oleh pseudomembran (Koybasi dkk, 2006; Shohat-Zabarski
putih keabu-abuan dan dikelilingi margin dkk, 1992). Sedangkan studi lainnya oleh
yang kemerahan. SAR muncul pada Koybasi et al. (2006) menemukan
mukosa oral nonkeratin seperti pada tepi sebanyak 54,2% penderita SAR memiliki
lateral lidah, mukosa bukal, dan mukosa riwayat SAR dalam keluarga. Belum
labial (Koybasi dkk, 2006). dapat dipastikan apakah nilai yang tinggi
Berdasarkan karakteristik ini terkait dengan pengaruh genetik atau
ulserasinya, SAR diklasifikasikan atas status sosial yang serupa atau tradisi dan
minor (< 1 cm), mayor (> 1 cm), dan kebiasaan yang serupa antar anggota
herpertiformis (klaster ulser pinpoint keluarga (Koybasi dkk, 2006).
multipel yang dapat menyatu menjadi Penelusuran lebih lanjut pada
besar) (Koybasi dkk, 2006). SAR minor kasus, memperlihatkan pasien juga
merupakan salah satu ulserasi oral yang memiliki defisiensi hematinik, yakni
sering terjadi, diperkirakan penderitanya defisiensi besi yang diduga juga
sebanyak 15-20% penduduk dunia merupakan predisposisi SAR pada
(Fernandez dkk, 2006). Pada tipe ini pasien. Hal ini terlihat dari nilai feritin
diameter ulser berukuran kurang dari 1 yang jauh di bawah rentang normal
cm, bulat, berbatas jelas, sakit, dan (Tabel 1). Nilai ini disertai juga
sembuh dengan sendirinya dalam waktu penurunan nilai Hb, Ht, MCV, MCH, dan
10-14 hari tanpa diikuti jaringan parut MCHC. Kadar serum feritin yang rendah
(Koybasi dkk, 2006). disertai kadar Hb atau Ht yang rendah,
Pada kasus, riwayat rekurensi mengkonfirmasi diagnosis anemia
didapatkan dari anamnesis. Gambaran defisiensi besi. Serum feritin
lesi memperlihatkan gambaran khas dari merefleksikan cadangan besi, dimana 1
SAR, dimana terdapat ulser yang µg/L setara 8-10 mg cadangan besi
STRATEGI PENATALAKSANAAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN PADA ANEMIA 037
DEFISIENSI BESI (LAPORAN KASUS)

(Alton, 2005). Studi mengenai kadar pada defisiensi besi pada pasien.
feritin pada SAR menunjukkan hasil yang Kebiasaan konsumsi teh secara
beragam. Sebuah studi memperlihatkan berlebihan yang dimiliki pasien akan
96% pasien dengan riwayat SAR menghambat absorbsi besi non-heme
menderita defesiensi feritin. Studi yang (dari sumber non hewani), namun tidak
lain melaporkan 53% pasien dengan mempengaruhi absorbsi besi heme
anemia feritin moderat dan 47% pasien (sumber hewani). Hal ini terjadi akibat
dengan anemia feritin berat. Terdapat reaksi besi dengan tannin yang terdapat
juga hasil studi yang paradoks, dimana dalam teh, sehingga terjadi pembentukan
dari 10,5% pasien dengan riwayat SAR kompleks besi-tannin yang tidak larut
dan 31,5% subjek kontrol memiliki kadar (Gabrielli dan Sandre, 1995).
feritin yang rendah (Ghafoor dan Khan, Predisposisi SAR lainnya yang
2012). Hubungan antara SAR dan dapat diidentifikasi pada pasien ialah
defisiensi besi, mungkin dapat dijelaskan stres berupa stres fisik yang mungkin
sebagai berikut, bahwa mikronutrien timbul dari kegiatan sehari-hari pasien
seperti tembaga, besi, dan zinc diperlukan yang bekerja dari pagi hingga malam dan
oleh sistem imun untuk dapat berfungsi juga stres psikologis yang mungkin
dengan baik. Mikronutrien berperan pada timbul dari lamanya pasien menderita
pertahanan tubuh melalui fungsinya pada SAR yang belum kunjung sembuh.
barier fisik kulit/mukosa, imunitas Terapi SAR ialah simptomatik
selular, dan produksi antibodi. Sehingga dan umumnya berdasarkan empiris. Hal
defisiensi mikronutrien, misalnya besi, ini terutama bertujuan untuk mengurangi
akan menyebabkan disregulasi rasa sakit dan menghilangkan disabilitas
keseimbangan respon imunitas yang fungsional, menghambat reaksi
berujung pada terjadinya SAR (Shruthi peradangan akut, dan juga mengurangi
dkk, 2013). frekuensi dan derajat keparahan rekurensi
Setiap kondisi dimana asupan besi (Altenburg dkk, 2007). Namun demikian,
tidak memenuhi kebutuhan tubuh penting untuk mempertimbangkan
terhadap besi, akan menyebabkan adanya kemungkinan peranan faktor
defisiensi besi. Kondisi yang dapat sistemik (Scully dan Porter, 2008),
menyebabkan defisiensi besi antara lain seperti pada kasus diatas yakni defisiensi
masa pertumbuhan pada anak-anak, besi dan kondisi yang
kehilangan darah secara reguler akibat melatarbelakanginya. Pada kasus, edukasi
menstruasi, parasitosis kronik, gangguan pasien ditujukan pada keadaan SAR dan
gastrointestinal, diet atau kondisi lainnya keadaan defisiensi besi. Pasien
yang berhubungan dengan kehilangan diinstruksikan menghindari makanan
darah, seperti tumor, inflamasi, infeksi, berbumbu tajam dan minuman bersoda,
dan malformasi kongenital; juga dapat mengupayakan makan secara teratur dan
menyebabkan defisiensi besi (Shruthi seimbang, serta berupaya mengendalikan
dkk, 2013; Andrews, 2000). Pada kasus, stres. Pada pasien SAR, makanan yang
gangguan gastrointestinal diduga dicurigai oleh pasien berulangkali dapat
berperan pada defisiensi besi yang menyebabkan dan memperparah aftosa
terjadi. Dugaan ini terlihat dari harus dihindari. Secara umum, pasien
pengakuan pasien yang memiliki riwayat diinstruksikan untuk menghindari
sakit maag dan juga respon intoleransi makanan keras (misalnya roti kering),
terhadap kapsul fero glukonat yang kacang-kacangan (walnut, hazelnut, dan
diberikan, berupa mual dan sendawa lain-lain) termasuk juga coklat yang
selama 5 jam setelah mengkonsumsinya. mengandung kacang, makanan dan
Selain itu, diet juga mungkin berperan minuman asam (jus buah-buahan, jeruk,
038 AHMAD RONAL, SITI ALIYAH

tomat), makanan yang asin, makanan pasien atas keadaan yang dideritanya
berbumbu tajam (lada, cabai, kari), serta mengevaluasi efektivitas terapi yang
alkohol, dan minuman bersoda. Sebagai diberikan setelahnya. Terhadap keadaan
tambahan, pasien juga diinstruksikan defisiensi besi, pasien diinstruksikan
untuk menghindari produk pembersih untuk meningkatkan konsumsi makanan
mulut dan pasta gigi yang mengandung sumber zat besi. Diet kaya besi meliputi
sodium lauril sulfat, seperti yang juga daging, ikan, unggas, kacang lentil,
diinstruksikan kepada pasien pada kasus kacang kering, sayur-sayuran, buah
(Altenburg dkk, 2007). kering, dan molasses. Sumber besi heme
Edukasi SAR terhadap pasien dari hemoglobin dan mioglobin yang
juga dilakukan dengan mengamati hasil ditemukan pada daging, ikan, dan unggas
pencatatan riwayat sariawan yang dapat diabsorbsi dengan efektif oleh
dilakukan oleh pasien (Grafik 1). Hal ini reseptor di usus. Sedangkan
juga dapat mengkonfirmasi keterangan bioavailabilitas besi non-heme dari
yang diberikan oleh pasien saat tumbuh-tumbuhan, ditentukan oleh faktor
anamnesis. Pada grafik 1, terlihat bahwa diet yang dapat meningkatkan atau
pasien mengalami rekurensi SAR yang menghambat absorpsi besi. Disarankan
tinggi dan nyaris tidak pernah memiliki juga untuk membatasi konsumsi kopi,
hari bebas sariawan. Berbeda dengan teh, minuman berkarbonasi, makanan
keterangan yang diberikan pasien, terlihat rendah gizi, dan konsumsi susu yang
periode menstruasi tidak berhubungan berlebihan (lebih dari 4 cangkir per hari);
dengan SAR. Kisaran periode karena akan menghambat penyerapan
kesembuhan SAR ialah 3-9 hari dengan besi (Alton, 2005).
rata-rata 5,2 hari. Evaluasi ini dapat
dipergunakan untuk menginformasikan

Kemunculan SAR Harian

A
Intensitas Nyeri

B
C
D
E

Grafik 1. Terlihat lama kemunculan SAR beserta intensitas nyeri yang dirasakan pasien pada 5 lokasi SAR
yang berbeda (A, B, C, D, E) selama 24 hari. Intensitas nyeri dicatat menggunakan numerical pain
rating scale dengan skala 0-10 (0= tidak ada nyeri, 10=nyeri sangat hebat).21 Periode menstruasi
terjadi pada hari 1-7.
STRATEGI PENATALAKSANAAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN PADA ANEMIA 039
DEFISIENSI BESI (LAPORAN KASUS)

Terapi lokal dosis secara gradual, menggunakan dosis


besi yang lebih rendah, atau menggunakan
Terapi lokal yang diberikan pada pasien preparat besi dengan elemen besi lain yang
ialah preparat topikal, dan sediaan topikal lebih ditoleransi tubuh (Alton, 2005). Pada
merupakan medikasi utama yang kasus, intoleransi terjadi pada penggunaan
digunakan pada terapi SAR (Nolan dkk, fero glukonat, sehingga dilakukan
2006). Agen topikal yang digunakan ialah penggantian preparat besi dengan
klorheksidin glukonat, dimana pada ferrazone yang lebih dapat ditoleransi
beberapa studi terkontrol menunjukkan pasien.
adanya perbaikan pada insiden, durasi, dan Untuk memaksimalkan absorpsi,
keparahan ulserasi SAR atas penggunaan suplemen besi harus diminum tidak
klorheksidin (Altenburg dkk, 2007). bersamaan dengan susu, kopi, teh, atau
Klorheksidin bermanfaat dalam proses minuman berkarbonasi yang mengandung
penyembuhan luka dengan cara mencegah fosfat. Selain itu juga tidak dikonsumsi
infeksi sekunder dan pembentukan lapisan berdekatan dengan tetrasiklin, antasida,
coating putih yang berfungsi sebagai acid blocker, suplemen kalsium, atau
barier protektif (Kolahi dan Soolari, 2006). multivitamin. Multivitamin yang
Efek antiinfeksinya merupakan efek dari mengandung kalsium, fosfat, dan
bisbiguanida kationiknya yang berfungsi magnesium dapat mengganggu penyerapan
merusak membran sel bakteri. besi. Berdasarkan alasan tersebut,
Klorheksidin juga memiliki kemampuan suplemen besi dan mutivitamin sebaiknya
berikatan dengan jaringan keras dan dikonsumsi dalam waktu yang terpisah
jaringan lunak untuk kemudian dilepaskan (Alton, 2005).
secara berkala, sehingga memungkinkan Pada kasus, kebiasaan
aktivitas antimikrobanya untuk bertahan mengkonsumsi teh mendapat perhatian
dalam 6 jam atau lebih (Hill dan Moore, khusus terkait pemberian suplemen besi.
2004). Lapisan coating yang terbentuk, Suplemen besi merupakan garam fero non
diduga merupakan hasil protein saliva dan heme, sehingga konsumsi teh akan
serum yang telah terkoagulasi oleh menghambat efek terapi ikatan besi. Bila
klorheksidin (Kolahi dan Soolari, 2006). suplemen besi dikonsumsi bersamaan
dengan teh, maka akan terbentuk kompleks
Terapi Sistemik besi-tannin yang tidak larut, sehingga tidak
Terapi sistemik yang diberikan ditujukan dapat diabsorbsi. Jika konsumsi teh dalam
untuk memperbaiki keadaan anemia jumlah banyak ini tidak dihentikan, maka
defisiensi besi yang terjadi pada pasien, terapi suplemen besi menjadi tidak efektif
dan juga mempertimbangkan kondisi SAR. seperti kasus serupa yang dilaporkan oleh
Pada kasus, terapi besi yang Gabrielli dan Sandre (1995). Pada kasus
dikombinasikan dengan pengaturan diet tersebut, anemia defisiensi besi terjadi
untuk meningkatkan asupan besi disertai pada wanita 25 tahun dengan
vitamin C, diharapkan merupakan cara hipermenorrhea dan diet yang nampak
yang efektif untuk meningkatkan kadar Hb seimbang. Terapi suplemen besi yang
dan cadangan besi (Alton, 2005). dilanjutkan terapi siklus estroprogestinik
Suplemen besi diabsorbsi paling untuk mengurangi menstruasi; selama 5
efektif pada saat perut kosong. Bila tahun tidak menunjukkan hasil (nilai Hb)
intolerasi gastrointestinal terjadi (mual, yang konstan. Ketika dilakukan
sulit buang air besar, diare, sakit perut atau pemeriksaan yang lebih teliti, ternyata
kram), konsumsi suplemen bersamaan diketahui pasien mengkonsumsi teh secara
dengan makan atau saat waktu tidur dapat berlebihan hingga sebanyak 1,5 liter per
meringankan gejala. Efek samping juga hari dalam 3 tahun terakhir dan suplemen
dapat dikurangi dengan cara meningkatkan besi juga diminum dengan teh. Setelah
040 AHMAD RONAL, SITI ALIYAH

dilakukan penghentian konsumsi teh, 500 mg propolis lebah per hari dapat
barulah terapi menunjukkan perbaikan mengurangi rekurensi SAR dan juga
yang signifikan dan nilai Hb normal meningkatkan kualitas hidup pasien. Hasil
tercapai dalam 5 bulan (Gabrielli dan tersebut secara statistik signifikan, namun
Sandre, 1995). Pada laporan kasus ini, demikian besar sampel yang digunakan
kebiasaan konsumsi teh diketahui pada kecil (10 subjek penelitian dengan
kunjungan ke dua, dengan konsumsi teh perlakuan) (Samet dkk, 2007).
minimal 3 gelas per hari. Bila diasumsikan
1 gelas setara 250 mL, maka pasien PENUTUP
tersebut diperkirakan minimal
mengkonsumsi 750 mL teh per hari. Penatalaksanaan SAR pada penderita
Terdapat dua langkah utama anemia defisiensi besi perlu
penyerapan besi ke dalam darah: (1) mempertimbangkan kondisi SAR itu
penyerapan besi dari lumen ke dalam sel sendiri beserta kondisi defisiensi besi yang
epitel usus, dan (2) penyerapan besi dari terjadi disebabkan korelasi atas kedua
sel epitel usus ke dalam darah. Pemberian kondisi tersebut. Identifikasi atas
vitamin C pada kasus, ditujukan prediposisi SAR beserta kondisi yang
meningkatkan penyerapan besi pada sel dapat menyebabkan defisiensi besi perlu
epitel usus. Vitamin C berfungsi dilakukan dengan cermat. Edukasi pasien
mereduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi
dilakukan untuk menghindari predisposisi
fero (Fe2+), yang mana besi fero akan lebih
mudah diserap daripada besi feri SAR, menginformasikan keadaan yang
(Sherwood, 1996). dialami pasien, dan pengaturan diet
Pada kunjungan terakhir pasien penderita defisiensi besi. Terapi lokal
diberikan propolis lebah. Terapi ini ditujukan untuk mengurangi durasi dan
diberikan dengan tujuan mengurangi keparahan SAR. Terapi sistemik diberikan
rekurensi SAR yang tidak dapat dicapai berupa terapi suplemen besi yang dapat
dengan terapi topikal. Terapi sistemik disertai terapi rekurensi SAR.
lainnya, seperti kolkisin, kortikosteroid
sistemik, diaminodifenilsulfon, talidomid, DAFTAR PUSTAKA
azathioprin, metrotreksat, siklosporin A,
dan interferon alfa; terbukti dapat Rodrıguez M, Rubio JA, Sanchez R.
mengurangi rekurensi SAR, namun efek Effectiveness of Two Oral Pastes
samping obat yang mungkin terjadi for the Treatment of Recurrent
menjadikan pemakaiannya terbatas Aphthous Stomatitis. Oral
(Alterburg dkk, 2007). Propolis Diseases 2007;13:490-94.
merupakan terapi tradisional dan memiliki
Boras VV, Savage N. Recurrent Aphthous
flavonoid sebagai zat aktif. Flavonoid
sendiri secara in vitro terbukti memiliki Ulcerative Disease: Presentation
sifat antimikroba, anti radikal bebas, dapat and Management. Australian
meningkatkan sistem imun, dan juga Dental Journal 2007;52(1):10-15.
sebagai antioksidan. Flavonoid juga Shruthi L, Pushparaja S, Bhavna P. Role
memiliki efek positif terhadap ulser of Copper and Iron Deficiencies in
gastrointestinal dan hal ini juga menjadi Pathogenesis of Recurrent
pertimbangan dalam penggunaan propolis Aphthous Ulcer. Int Res J Pharm
pada kasus, karena adanya dugaan 2013;4(5):219-21.
gangguan gastrointestinal yang terjadi Ghafoor F, Khan AA. Association of
pada pasien. Studi yang dilakukan oleh Vitamin B12, Serum Ferritin and
Samet, Laurent, Susarla, dan Samet- Folate Levels with Recurrent Oral
Rubinsteen (2007) menunjukkan bahwa Ulceration. Pak J Med Res
2012;51(4):132-35.
STRATEGI PENATALAKSANAAN STOMATITIS AFTOSA REKUREN PADA ANEMIA 041
DEFISIENSI BESI (LAPORAN KASUS)

Provan D. Mechanisms and Management University of Toronto, Canada,


of Iron Deficiency Anaemia. 2006:1-4.
British Journal of Haemalology Miller MF, Garfunkel AA, Ram CA, Ship
1999;105 (Supplement 1):19-26. II. The Inheritance of Recurrent
Koybasi S, Parlak AH, Serin E. Recurrent Aphthous Stomatitis. Observation
Aphthous Stomatitis: Investigation on Susceptibility. Oral Surg Oral
of Possible Etiologic Factors. Med Oral Pathol 1980;49(5):409-
American Journal of 12.
Otolaryngology Head and Neck Shohat-Zabarski R, Kalderon S, Klein T,
Medicine and Surgery Weinberger A. Close Association
2006;27:229-32. of HLA-B51 in Persons with
Porter SR, Scully C, Flint S. Hematologic Recurrent Aphthous Stomatitis.
Status in Recurrent Aphthous Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Stomatitis Compared with Other 1992;74(4):455-8.
Oral Disease. Oral Surg Oral Med Alton I. Iron Deficiency Anemia. In: Stang
Oral Pathol 1988;66(1):41-4. J, Story M, editors. Guidelines for
Sacher RA, McPherson RA. Penyakit Sel Adolescent Nutrition Services.
Darah Merah. In: Hartanto H, Minneapolis: Center for
editor. Tinjauan Klinis Hasil Leadership, Education, and
Pemeriksaan Laboratorium. 11 ed. Training in Maternal and Child
Jakarta: EGC, 2004:67-108. Nutrition, Division of
Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Epidemiology and Community
Pengobatan dan Pencegahan Health, School of Public Health,
Anemia Defisiensi Besi. Sari University of Minnesota,
Pediatri 2002;4(2):74 - 77. 2005:101-08.
Broome CV, Marks JS, Dietz WH. Andrews NC. Iron Metabolism: Iron
Recommendations to Prevent and Deficiency and Iron Overload.
Control Iron Deficiency in the Annu Rev Genomics Hum Genet
United States. Atlanta: U.S. 2000;01:75–98.
Department of Health and Human Gabrielli GB, Sandre GD. Excessive Tea
Services Centers for Disease Consumption can Inhibit the
Control and Prevention (CDC), Efficacy of Oral Iron Treatment in
1998:1-29. Iron-Deficiency Anemia.
Aliyah S. Kadar Zat Besi Dalam Darah Haematologica 1995;80:518-20.
Pasien Stomatitis Aftosa Rekuren Altenburg A, Abdel-Naser MB, Seeber H,
di Klinik Penyakit Mulut RSCM Abdallah M, Zouboulis CC.
[Tesis]. Universitas Indonesia, Practical Aspects of Management
1993. of Recurrent Aphthous Stomatitis.
Scully C, Porter S. Oral Mucosal Disease: JEADV 2007;21:1019-26.
Recurrent Aphthous Stomatitis. Kahl C, Cleland JA. Visual Analogue
British Journal of Oral and Scale, Numeric Pain Rating Scale,
Maxillofacial Surgery and the McGill Pain Questionnaire:
2008;46:198-206. an Overview of Psychometric
Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Properties. Physical Therapy
Recurrent Aphthous Stomatitis. Reviews 2005;10:123-28.
Oral Diseases 2006;12:1-12. Fernandez Nolan A, Baillie C, Badminton J,
R, Tuckey T, Lam P, Allidina Rudralingham M, Seymour RA.
S, Sharifi S, Nia D. The Best The Efficacy of Topical Hyaluronic
Treatment for Aphthous Ulcers: Acid in the Management of
042 AHMAD RONAL, SITI ALIYAH

Recurrent Aphthous Ulceration. J and Implants. St Louis, Missouri:


Oral Pathol Med 2006 35:461–5. Mosby, 2004:276-87.
Kolahi J, Soolari A. Rinsing with Sherwood L. Sitem Pencernaan. In:
Chlorhexidine gluconate Solution Santoso BI, editor. Fisiologi
after Brushing and Flossing Teeth: Manusia: Dari Sel ke Sistem. 2 ed.
A Systematic Review of Jakarta: EGC, 1996:537-89.
Effectiveness. Quintessence Int Samet N, Laurent C, Susarla SM, Samet-
2006;37:605–12. Rubinsteen N. The Effect of Bee
Hill M, Moore RL. Locally Acting Oral Propolis on Recurrent Aphthous
Chemotherapeutic Agents. In: Rose Stomatitis: A Pilot Study. Clin
LF, Mealey BL, editors. Oral Invest 2007;11:143-47.
Periodontics: Medicine, Surgery,

You might also like