You are on page 1of 23

INTERNALISASI NILAI-NILAI IMAN DAN TAQWA DALAM PEMBENTUKAN

KEPRIBADIAN MELALUI KEGIATAN INTRAKURIKULER


Oleh:
Ahmad Khomaini Syafeie
Dosen Pendidikan Agama Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon
syafeieahmad@yahoo.com

Abstract
Internalization of the values of iman and taqwa is a process experienced by someone
in accepting and making parts of ownership to plant sense textually from religion , as
revelation of Allah to achieve his personality steadily. The values of iman and taqwa having
become main highlights nowdays. The basic gap, in society of comman secondary education
between instructional material and the process of implementing the values of iman and taqwa
feels the effect dramatically. This ressearch conducted in Al Azhar Senior high School 5 in
Cirebon City by using teachers as research subject.
To avoid misunderstanding of the reserach problem, the writer just identifies research
problems on the variables such as tehnique used by teachers in internalizing the values of
iman and taqwa and obstacles faced by teachers in internalizing the values of iman and taqwa
to their students. In this research he wants to find out the learning signs in internalizing the
values of iman and taqwa through intracurricular activities.
This research done by using analytic-descriptive method with quantitative approach.
Meanwhile the steps to collect the data nedded in this research by using the technique of
interview, participative observation, documentation study and questionaire.
From the result of this research can be inferred that the techniques conducted by teachers in
internalizing the values of iman and taqwa are through intracurricular activity, such as (1)
praying before and after learning process is 75% in good category; (2) reciting Alquran 15
minutes in the first period before learning is 81,7% in excellent category and (3) bringing
learning subjects into iman and taqwa loading is 90% in excellent category.
The average of learners‟ respond based on procentation and category above is 82,2 %
in excellent category in internalizing iman and taqwa values conducted by teachers. On the
other hand, they must be careful of their effort because of being 17,8% of their students in
unstable mood. They need best treatment in improving their lack of things done by teachers.
This case indicates any obstacles faced by teacher in internalizing the values and
taqwa for students‟ personality through intracurricular activities. The obstacles obtained of
the activities based on survey, partcipative observation dan documentation are: (1) the
measure of class is not adequate; (2) The lack of comprehension of religion subject teachers
in bringing learning subjects into iman and taqwa loading; (3) society in which students play
is not conducive; and (4) destructive-negative mass media.

Keywords: internalization, iman and taqwa value, personality, intracurricular

A. Latar Belakang
Islam sebagai suatu agama yang mutlak kebenarannya harus menjadi pedoman
hidup dan kehidupan bagi setiap umat Islam, sehingga akan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Konsekuensi Islam sebagai agama yang
dianut, menuntut harus adanya upaya pewarisan nilai-nilai ajaran Islam, iman dan
taqwa (imtaq), dari satu generasi kepada generasi berikutnya, sehingga tetap
terpelihara sebagai pedoman hidup. Adapun sarana yang paling tepat adalah dengan
internalisasi nilai-nilai tersebut.
Proses internalisasi nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan di lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Sekolah merupakan wahana internalisasi nilai-nilai
imtaq bagi pelajar muslim, setelah lingkungan keluarga dan masyarakat, memberikan
kontribusi yang sangat berarti dalam pembentukan kepribadian seseorang. Namun
bagaimana upaya-upaya pelaksanaan internalisasi nilai-nilai imtaq bagi pelajar
muslim di sekolah, terutama di SMA yang siswanya berusia remaja. Karena masa
remaja atau adolosence (13 – 21 tahun) lazim dikenal sebagai masa percobaan
(Zakiyah Darazat, 1970:72). Remaja berada pada masa transisi yang sedang mencari
identitas dirinya, pikiran dan pendiriannya selalu berubah-ubah. Apabila remaja
memperoleh bimbingan dari orang dewasa dengan baik, maka mereka kelak akan
menjadi orang yang berguna bagi diri dan lingkungannya. Sebaliknya jika tidak,
mereka akan berada dalam kebimbangan. Akhirnya mereka akan terjerumus ke arah
negatif yang akan merugikan diri dan lingkungannya.
Kita merasa prihatin sekali mendengar kenakalan yang semakin meningkat,
baik dari segi kualitas maupun segi kuantitasnya. Hal ini dapat kita rasakan apabila
anak yang melakukan tindak kenakalan itu atau yang menimbulakan korban itu
dilakukan oleh seorang atau kelompok anak. Kita tidak boleh menumpukan kesalahan
pada anak, kita pun harus mawas diri, apa yang telah kita perbuat, mengapa anak
melakukan kenakalan, apa yang menyebabkan anak menjadi nakal, bagaimana kita
membimbing anak itu menjadi anak yang baik.
Dari kondisi di atas penulis terpanggil untuk mengadakan penelitian mengenai
bagaimana usaha guru dalam proses internalisasi nilai-nilai agama (Islam) bagi
pembentukan kepribadian siswa SMA (usia remaja). Disinyalir penanaman
kepribadian kepada peserta didik tersebut telah dan sedang dilakukan oleh para guru
namun belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Dapat diduga bahwa ada beberapa
hal yang belum diusahakan secara serius dan integral. Bahkan pengajaran PAI dan
pendidikan kewarganegaraan hanya sebagai konsumsi kognisi semata, kering dari
nilai-nilai kehidupan. Serta tidak melibatkan semua pihak dalam usaha tersebut.
Padahal usaha pembentukan kepribadian siswa bukan hanya tanggung jawab guru
PAI dan pendidikan kewarganegaraan. Melainkan tanggung jawab semua guru,
kepala sekolah, yayasan, orang tua murid, masyarakat dan pemerintah.
Dengan keterbatasan yang dimiliki peneliti dengan permasalahan yang
kompleks ini, penulis mengadakan penelitian dengan memfokuskan pada usaha guru
dalam menginternalisasikan nilai-nilai iman dan taqwa (imtaq) bagi pembentukan
kepribadian siswa di SMA ISLAM AL AZHAR 5 Kota Cirebon. Mengambil
penelitian di SMA tersebut dengan argumentasi bahwa SMA Islam 5 Kota Cirebon
adalah sekolah Islam yang kurikulumnya merupakan gabungan antara kurikulum dari
pemerintah dengan kurikulum Al Azhar. Kurikulum pemerintah dipandang sebagai
kurikulum yang berorientasi kepada pengembangan ilmu pengetahuan Dan teknologi
(iptek) sedangkan kurikulum Al Azhar itu sendiri merupakan kurikulum yang
mengacu pada peningkatan iman dan ketaqwaan (imtaq) yang didasarkan kepada
Alquran hadits Nabi Muhammad SAW. dalam proses pembentukan kepribadian siswa
dan siswinya. Guru di SMA Islam Al Azhar telah banyak membina kepribadian siswa,
karena dengan kepribadian dan tingkah laku yang baik akan membuktikan akhlaq
seseorang akan baik pula, sebab akhlaq yang baik merupakan cerminan dari perbuatan
dan pribadi manusia yang baik.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui usaha yang ditempuh guru dalam
menginternalisasikan nilai-nilai imtaq bagi pembentukan kepribadian siswa yang
dilakukan di SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon. Penelitian ini bertolak dari
pemikiran bahwa teori kepribadian muslim tergambar sebagai muslim yang
berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tingkah laku hidupnya, dan tanpa akhir
ketinggiannya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa batas ke dalamnya, dan
tanpa akhir ketinggiannya. Dia mampu menangkap makna ayat yang menyatakan”...
Aku akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Ku di ufuk langit dan
di dalam dirinya sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah itu benar”.
(Hamim al-Sajdah: 41) Kepribadian muslim seperti digambarkan di atas mempunyai
hubungan yang erat dalam suatu lingkungan yang meliputi Allah, alam dan manusia.
(Ramayulis, 1992: 292 – 293)
SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon adalah sebagai sekolah umum yang unik
di antara sekolah umum di kota Cirebon. Keunikan yang ada selain penggabungan
kurikulum, juga jam sekolah, seragam dan aktifitas interakurikuler dan
ekstrakurikulernya pun berbeda. Dengan keunikan tersebut penulis mengambil SMA
Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon sebagai tempat penelitan. Di lingkungan sekolah
tersebut para pelajar beraktifitas dan bersosialisasi melalui pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah dengan perpaduan iptek dan imtaq, diharapkan aspek
kepribadian peserta didik dapat terbina secara optimal, sehingga mereka tampil
sebagai pribadi utuh yang beriman dan bertaqwa, mampu hidup mandiri, karena
mereka memiliki pengetahuan, keterampilan dan kualitas sikap yang positif.

B. Tinjauan Teori
1. Pengertian dan Proses Internalisasi
Istilah internalisasi pada awalnya diterapkan dalam psikologi dalam bidang
psikoanalisis, sebagaimana diungkapkan oleh W.W. Meisner dalam bukunya
Internalzation Psychoanalysis sebagai berikut:
“A distillation of over a decade of work on the problem of internalization in
psychoanalisis. My exploration of internalization processes originally stemmed
from an interes in the problem itself and an awareness of the looseness and
dissatisfactory state of psychoanalitic formulation on the subject. More recently,
however, I have become convinced that the issue of internalization lies at the very
heart of contemporary psychoanalytic concerns”.
Berbicara masalah pengertian, Meissner dalam Hartmann and Loewenstein
mengemukakan:
“Internalization is defined specificallyin regulatory terms:”we would speak of
internalization when regulations that have taken place in iteraction with the
outside world are replaced by inner regulation”.
Schafer menjelaskan defenisi di atas dengan ungkapannya sebagai berikut:
“Internalization refers to all those processes by which the subject transfors real
or imaged regulatory interaction with his environment, into inner regulations and
characteristics”.
Schafer menekankan peran dan aktivitas subjek di dalam kerja transformasi.
Dia juga menunjukkan bahwa kualitas yang diinternalisasikan tidak selalu real
bisa juga apa yang dibayangkannya.
Loewal (1962: 489) berkomentar bahwa dia menggunakan istilah internalisasi
di sini sebagai istilah umum untuk proses transformasi tertentu terhadap hubungan
dan interaksi ke dalam perangkat psikis individu lain (inner relationship and
interaction).
Dan Dali Gulo (1982: 128) mengemukakan bahwa pengertian internalization
adalah penyatuan ke dalam pikiran atau kepribadian; pembuatan nilai-nilai;
patokan-patokan; ide-ide atau praktek-praktek dari orang lain menjadi bagian dari
diri sendiri.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia internalisasi adalah
penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan
keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan
dalam sikap dan prilaku. (Depdiknas, 2001: 439)
Dari ungkapan para ahli di atas tentang definisi internalisasi, maka dapat
disimpulkan bahwa internalisasi adalah suatu proses transformasi nilai-nilai yang
dimiliki seseorang kepada orang lain sehingga orang tersebut memiliki nilai-nilai
tersebut sebagai hasil dari proses internalisasi.
Dalam prosesnya internalisasi ini jelaslah bahwa lingkungan merupakan faktor
utama bagi terbentuknya internalisasi. Artinya proses internalisasi ini tidak akan
terbentuk tanpa adanya lingkungan yang sangat mempengaruhi dalam kehidupan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak
akan bisa lepas dari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Manusia
berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga kepribadian
individu, kecakapan-kecakapan individu beserta ciri-ciri kegiatannya baru akan
menjadi kepribadian (terinternalisasi dalam diri seseorang) apabila keseluruhan
psycho-physic berhubungan dengan lingkungannya. (Ahmadi, 1991 : 53) Dengan
kata lain internalisasi itu terbentuk apabila individu berhubungan dengan individu
lainnya, atau disebut interaksi sosial.
Interaksi sosial adalah merupakan interaksi antara manusia dengan manusia,
antara subyek dengan subyek. Dengan demikian dalam interaksi tersebut akan
terjadilah hubungan timbal balik, dimana satu sama lain saling mempengaruhi dan
dipengaruhi. Berdasarkan hal tersebut Kimball Young-Raymond dan W. Mack
yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1985 : 540) berpendapat bahwa interaksi
sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi
sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Jadi individu memerlukan
hubungan dengan lingkungannya yang dapat menggiatkanya, merangsang
perkembangannya, serta memberikan sesuatu yang ia perlukan. Sebagai akibat
dari interaksi tersebut timbullah norma-norma, ide-ide atau praktek-praktek dari
orang lain yang menjadi bagian dari dirinya, sehingga individu mematuhi norma-
norma tanpa adanya paksaan.
Wood Worth yang dikutip oleh Abu Ahmadi (1991 : 53) mengatakan bahwa
individu dalam melakukan hubungan dengan lingkungannya mengalami tiga
macam hubungan, yaitu: individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu
dapat menggunakan lingkungannya dan individu dapat menyesuaikan dengan
lingkungannya. Akibat dari ketiga hubungan tersebut, maka proses internalisasi
pun mengalami berbagai cara. Pertama adalah dengan cara individu
mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh identifikasinya. Artinya individu
mengambil alih patokan-patokan, ide-ide atau praktek-praktek dari tokoh
identifikasinya karena individu tersebut merasa bahwa ia setuju dengan prilaku
tokoh identifikasinya. Dalam proses yang pertama ini individu melakukan
hubungan dengan menggunakan lingkungan dan berusaha menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Kedua, dengan cara individu membentuk prilakunya
sendiri sebagai akibat hubungan timbal balik antara individu dengan
lingkungannya sehingga tanpa disadari individu membentuk ide-ide atau praktek-
praktek atau prilaku yang baru yang sebelumnya tidak dimiliki baik oleh individu
lainnya. Dalam proses yang kedua ini individu mengadakan hubungan
berpartisipasi dengan lingkungannya, atau bisa juga melakukan hubungan
menentang lingkungannya, kemudian berusaha menyesuaikan dengan
lingkungannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa lingkungan sangat mnentukan
kepribadian seseorang, disamping adanya pembawaan yang dimilikinya. Dengan
demikian maka jelaslah bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pembentukan kepribadian, oleh karena lingkungan akan baik apbila
pendidikan yang diberikan dalam lingkungan tersebut baik pula. Sebaliknya
lingkungan akan jelek apabila pendidikan yang diberikan dalam lingkungan
tersebut jelek pula.
Dalam hal tersebut di atas, Abu Ahmadi (1991: 55-56) menjelaskan bahwa
para ahli psikologi sosial meninjau tentang bagaimana pengaruh lingkungan
terhadap terhadap sikap perkembangan seseorang, apakah pengaruh tersebut
mutlak atau tidak. Berdasarkan hal ini, maka timbulah aliran empirisme yang
menganggap bahwa lingkungan adalah penentu pribadi manusia; aliran ini
menganggap bahwa faktor keturunan tidak ada sama sekali , oleh sebab itu
manusia memerlukan pendidikan. Kemudian aliran natifisme yang menganggap
bahwa pembawaan adalah penentu pribadi manusia; pribadi manusia seratus
persen ditentukan oleh pembawaan, sebab itu manusia tidak perlu diberi
pendidikan. Kemudian sebagai reaksi dari kedua aliran tersebut munculah aliran
konvergensi yang menyatakan bahwa kepribadian manusia itu ditentukan oleh
adanya faktor dari dalam (pembawaan) dan faktor luar (lingkungan).
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa proses internalisasi ini terjadi karena
adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut individu berusaha
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dengan cara mengidentifikasi
dirinya dengan lingkungannya, juga dengan cara ikut serta membentuk prilakunya
sendiri, sehingga individu menganggap bahwa norma-norma yang dipegangnya
adalah normanya sendiri; individu berprilaku sesuai dengan norma-norma agama
dan masyarakatnya tanpa adanya suatu paksaan, oleh karena norma-norma
tersebut telah mendarah daging dalam dirinya. Berdasarkan hal ini, maka nilai-
nilai Islam (Iman dan Taqwa) tersebut akan terinternalisasi manakala nilai-nilai
tersebut tumbuh dan berkembang dalam remaja muslim. Remaja yang islami
tersebut akan tumbuh melalui pendidikan yang berdasarkan kepada ajaran Islam,
yaitu iman dan taqwa (imtaq)

2. Konsep Nilai-nilai Iman dan Taqwa


Masalah niai-nilai dan moral merupakan bidang kajian yang sangat penting
dan kerapkali terabaikan. Meskipun kecenderungan masyarakat mulai melirik dan
menyadari betapa pentingnya masalah nilai dalam menghadapi tantangan dunia
global. Dimana setiap negara merekonstruksi nilai-nilai budaya mereka agar tidak
lekang dan melebur dalam situasi yang serba pluralistik. Demikian pula bangsa
Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang sangat peduli dan menjungjung tinggi
nilai-nilai ketimurannya, berupaya menempatkan dimensi religiusitas sebagai
landasannya.
Sumber nilai yang menjadi landasan kehidupan manusia dapat digolongkan
menjadi dua macam, nilai ilahi dan nilai insani. Nilai Ilahi adalah nilai yang
diperintahkan oleh Tuhan melalui para Nabi dan RasulNya, yang berbentuk iman,
taqwa, adil yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai Ilahi mengandung
kemutlakan (QS. 2 : 2) dan kebenaran abadi bagi kehidupan manusia serta tidak
berkecenderungan untuk merubah atau dirubah mengikuti selera hawa nafsu
manusia atau berubah sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat. Nilai ini
bersifat statis (QS 5:3; 6:115; 7:137; 11:119). Nilai Ilahi menjadi pedoman dalam
menjalankan agama.
Pada nilai Ilahi ini, tugas manusia adalah menginterpretasikan nilai-nilai itu,
sehingga manusia akanmampu menghadapi dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya. (Muhadjir, 1987 : 112) Agama adalah sumber Ilahi yang pertama dan
utama bagi penganutnya, dan agama mengandung nilai-nilai untuk
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. (Soelaeman, 1988 : 61)
Nilai insani merupakan nilai yang tumbuh dan berkembang sesuai kesepakatan
manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai insani bersifat
dinamis (QS. 84:19; 13:11; 8:53), sedangkan keberlakuan dan kebenarannya
bersifat relatif atau nisbi yang terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 10:36; 6:116).
Pada nilai insani, fungsi tafsir untuk lebih memperoleh konsep nilai itu, atau untuk
memperkaya isi konsep dan memodifikasi dan menggantikan dengan konsep baru.
(Muhadjir, 1987:114)
a. Hakikat Nilai
Hakikat adalah intisari, dasar, kenyataan yang sebenarnya (Depdiknas,
1996:335), kata nilai adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu value.
Kata value berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir
(Encyclopedia of real Estate Terms, 2002). Sebatas arti denotatifnya
valere, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Namun,
ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek atau
dipersepsi dari suatu sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di
dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada harga menurut
ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi, politik, maupun agama.
Perbedaan tafsiran tentang harga suatunilai lahir bukan hanya disebabkan
oleh perbedaan minat manusia terhadap hal yang material atau terhadap
kajian-kajian ilmiah, tetapi lebih dari itu, harga suatu nilai perlu
diartikulasikan untuk menyadari dan memanfaatkan makna-makna
kehidupan. (Rohmat Mulyana, 2004:7)
Sedangkan batasan nilai sering dirumuskan dalam konsep yang
berbeda-beda. Diantaranya menurut Gordon Allport (1964) seorang ahli
psikologi kepribadian menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang
membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Bagi Allport, nilai
terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Seperti ahli
psikologi pada umumnya, keyakinan ditempatkan sebagai wilayah
psikologis yang lebih tinggi dari wilayah lainnya seperti hasrat, motif,
sikap, keinginan dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik-
buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dari serentetan
proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan
perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif (Kupperman,
1983) Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagi faktor
eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Definisi ini lebih
mencerminkan pandangan sosiologi. Seperti sosiologi pada umumnya,
Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dari
kehidupan sosial, sebab dengan penegakkan norma seseorang justru dapat
merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan
merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian dari dalam proses
pertimbangan nilai (value judgement) adalah pelibatan nilai-nilai normatif
yang berlaku di masyarakat.
Definis yang berlaku umum dalam arti tidak memiliki tekanan pada
sudut pandang tertentu adalah definisi yang dikemukakan oleh Hans Jonas
yang menyatakan bahwa nilai adalah “The addressee of a yes”, sesuatu
yang ditunjukkan dengan perkataan „ya‟ kita. Nilai merupakan sesuatu
yang akan “diyakan” atau disetujui. Nilai selalu mengandung konotasi
positif, mengilustrasikan kebenaran, sebaiknya, dan seharusnya.
Sedangkan sesyatu yang membuat seseorang melarikan diri seperti
penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, atau apa yang
disebut dalam bahasa Inggris “non nilai” (disvalue), karena ada pula
sebagai sebagian filosof yang menggunakan istilah “nilai negatif”.
(Bertens, 1999) Definisi merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih
umum dan luas daripada dua definisi sebelumnya. Kata „ya‟ dapat
mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis maupun nilai patokan
normatif secara sosiologis. Demikian pula penggunaan kata alamat” dalam
definisi itu dapat mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan
individu maupun norma sosial.
Jack R. Fraenkel menyatakan nilai (value) adalah suatu ide atau konsep
tentang segala sesuatu yang berharga dalam kehidupan. Sebagamana
dinyatakan:
“A value is an idea-a concept-about what someone thins is important in
life. When a person values something, he or she seems it wortywhile-
worth having, worth doing, or worth trying to obtain. The study of values
usually is divided into the areas of aesthetic and ethics. Aesthetics refers to
the study and justification of human beings consider beautiful-what they
enjoy. Ethics refers to the study and ustification of conduct-how people
behave. At the base study of ethics is the question of morals-the reflective
consideration of what is right and wrong”. (Fraenkel, 1977: 6-7)
Menurut kamus besar bahasa Indonesia dalam entri nilai memiliki
berbagai makna dari kata nilai tersebut, yakni: (1) harga (dalam arti
taksiran harga); (2) harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang
lain); (3) angka kepandaian; (4) banyak sedikitnya isi, kadar, mutu; (5)
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; dan (6)
sesuatu yang menyempurnakan manusia dengan hakikatnya; etika dan ...
berhubungan erat. Nilai etik nilai bagi manusia sebagai pribadi yang utuh,
misalnya kejujuran, nilai yang berhubungan dengan akhlaq; nilai yang
berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan dan
masyarakat. (Depdiknas, 1998:783)
Definisi nilai yang lebih panjang dirumuskan oleh Kluchohn (Brameld,
1957). Ia mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang
sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang
diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan
tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak
implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian yang
lebih spesifik andaikata dikaji secara mendalam. Namun Brameld dalam
bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan hanya mengungkap
enam implikasi penting, yaitu: (1) nilai merupakan konstruk yang
melibatkan proses kognitif (logika rasional) dan proses katektik
(keterkaitan atau penolakan menurut kata hati); (2) nilai selalu berfungsi
secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi; (3)
apabila hal itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara
yang unik oleh individu dan kelompok; (4) karena kehendak tertentu dapat
bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya
disamakan (equated) daripada diinginkan, ia didefinisikan berdasarkan
keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai
keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial; (5)
pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks ketersediaan
tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends); dan (6) nilai itu ada, ia
merupakan fakta alam, manusia, budaya dan pada saat yang sama ia adalah
norma-norma yang telah disadari.
Kemudian, menurut Brameld, pandangan Kluchohn itu mencakup pula
pengertian bahwa sesuatu dipandang memiliki nilai apabila ia dipersepsi
sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah memiliki nilai
karena dipersepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk
memperolehnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Tidak
hanya materi atau benda yang memiliki nilai, tetapi gagasan dan konsep
juga dapat menjadi nilai, seperti: kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Kejujuran, misalnya, sebagai menjadi nilai bagi seseorang, apabila ia
memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam
pola pikir, tingkah laku, dan sikap.
Definisi nilai di atas merupakan beberapa dari sekian banyak definisi
nilai yang dapat dirujuk. Para filosof nilai yang bekerja dalam Union of
International Association (UIA, 2003) melaporkan 15 definisi nilai yang
berbeda. Jumlah definisi ini diperkirakan masih akan bertambah jika kita
merujuk pada sejumlah buku yang membahas secara khusus atau hanya
menyinggung persoalan nilai sebagai makna yang abstrak, bukan sebagai
harga suatu barang atau benda. Karena itu, memilih definisi untuk
menyalahkan definisi lain, tetapi hal itu tergantung dari sudut pandang
mana kita melihat dan keperluan apa yang kita butuhkan.
Karena itu, untuk kebutuhan pengertian nilai yang lebih sederhana
namun mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam definisi di
atas kita ambil definisi baru yang dikemukakan oleh Rohmat Mulyana
(2004) yaitu nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan
pilihan. Definisi ini dapat mewakili definisi di atas, walaupun ciri-ciri
spesifik seperti norma, keyakinan, cara, tujuan, sifat, dan ciri-ciri lain tidak
diungkapkan secara eksplisit.

b. Hakikat Iman
Menurut Abu Hayan (1978: 38) dalam tafsir al-Bahr al Muhith bahwa
iman dari segi bahasa diartikan sebagai pembenaran hati. Iman terambil
dari kata amn atau amanah yang berarti “keamanan/ketentraman”, sebagai
antonim dari “khawatir atau takut”. Dari akar kata ini (amn) terbentuk
sekian banyak kosa kata yang walaupun mempunyai arti yang berbeda-
beda namun pada akhirnya kesemuannya bermuara kepada makna “tidak
mengkhawatirkan/aman dan tentram”.
Ada dua pengertian iman, pertama, iman sebagai institusi, yaitu iman
yang merupakan bagian (paling pokok) daripada agama sendiri. Itulah
sebagai bentuk kepercayaan tertinggi dalam arti sesuatu yang diakui
sebagai benar, seperti rukun iman yang enam dalam agama Islam. Kedua,
dalam arti sikap jiwa. Iman yang merupakan anak kunci pembuka pintu
pustaka kebenaran tersebut ialah iman dalam arti yang kedua ini, yaitu
sikap jiwa sami’na wa atha’na: mendengar dan mengatakan “ya”! serta
menaati firman Ilahi dengan penuh kedirian, memusatkan segala
pengabdian hanya kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-
mata kepada-Nya. (Anshari, 1987:143)
Endang Saefudin Anshari melanjutkan penjelasannya bahwa iman
adalah yang paling pertama dan utama pula dalam beragama. Oleh karena
itu, beriman adalah yang paling pertama dan utama pula dalam beragama.
Bagi manusia-manusia seperti Prof. Dr. D. A. Tisna Amidjaja (Rektor
ITB) dan Prof. Garnadi Prawiro Sudirdjo (Rektor IKIP Bandung), Prof.
Baiquni, Prof. Bachtiar Rifa‟i, Jenderal Soedirman, Jenderal M. Sarbini,
Sastrawan Ajip Rosidi, H.B. Jassin dan Taufiq Ismail, bagi para almarhum
H.O.S. Tjakroaminoto, Ahmad Hassan, K.H. Ahmad Dahlan dan K.H.A.
Wahid Hasyim, bagi beliau-beliau itu semua [sekedar untuk menyebut
beberapa nama] Alquran banyak sekali berbicara. Apa sebab? Karena
antara beliau-beliau dengan Alquran terentang benang gaib yang
menghubungkan secara gaib pula, yaitu benang iman. Sebaliknya bagi
manusia-manusia yang tidak beriman, bagi mereka yang kafir (kafir
artinya menolak) Alquran yang ada dihadapannya, berikut terjemah dan
tafsirnya, tidak bicara apa-apa. Apa sebab? Karena antara mereka dengan
Alquran tiada terentang jembatan yang menghubungkan sama sekali. Obat
yang bagaimanapun mujarabnya tidak bermanfaat sedikitpun bagi si sakit
yang tidak percaya dan tidak mau memakan atau meminumnya., atau
menggunakannya. Apabila kita katakan bahwa agama itu adalah masalah
iman, itu bukan berarti bahwa agama tidak berurusan dengan, apalagi
mengabaikan akal pikiran. Agama berurusan dengan manusia dan
kemanusiaan seutuhnya. Manusia itu terbangun dari jasmani dan ruhani.
Ruhani manusia tersusun dari faktor-faktor priksa (pikiran), rasa (perasaan,
karsa (kemauan), intuisi dan fakultas-fakultas ruhani lainnya. Oleh karena
itu jelaslah, agama berurusan juga dengan akal pikiran. Akan tetapi,
bagaimana pun juga, agama pertama-tama adalah masalah iman; beragama
diawali dengan beriman. Akal pikiran dapat berperan untuk lebih
mengokohkan manusia mengenai agama yang telah dipeluknya itu, yang
semula diterimanya semata-mata dengan iman itu. Sekedar untuk
perbandingan baiklah kita renungkan kata-kata hikmah dari orang besar
(tokoh) dari agama lain. Anselmus Carterbury (1033 – 1109 M.), salah
seorang pendekar aliran skolastik berkata:”Fides quaerit intellectum”
(iman itu mencari pengertian; atau (Aku beriman supaya aku mengerti).
Sementara itu Santo Aurelius Augustinus (354 – 430 M.), seorang
pujangga gereja Katholik-Romawi, berkata:”Nisi crediritis, nisi
intelligitis” (Apabila kau tidak beriman, kau tidak akan mengerti).
(Anshari, 1987:144)
Iman merupakan bawaan (al-munazzalah/given) dan merupakan
potensi manusia. Sebagai bawaan, iman baru merupkan ‘ilm
(pengertian/pengetahuan) tentang Allah pada tingkat awan. Karena itu
setiap manusia mempunyai kepercayaan terhadap atau memiliki
pengetahuan tentang Tuhan (Allah), bahkan iblis atau syaithan pun
percaya terhadap adanya Allah. (Muhaimin, 2003:150) Dalam perspektif
Islam, iman bukan sekedar percaya kepada Allah, sebab ia belum tentu
tauhid, atau masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain-
lain sebagai peserta atau saingan (andad) Allah dalam keilahian. Tetapi
iman adalah juga pembebasan manusia dari belenggu paham syirik (tuhan
banyak) menuju ke tauhid., dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang
diungkapkan dengan kalimat al-nafy wa al – itsbat (nagasi-confirmasi)
atau La ilaha illa Allah. Negasi (al – nafy) atau La ilaha, yakni dimulai
dengan proses pembebasan dari belenggu kepercayaan hanya kepada yang
benar (Allah), Tuhan Yang Maha Esa. Dari situ dapat dipahami, bahwa
iman ternyata tidak sekedar percaya kepada Allah, tetapi mencakup pula
pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan
bagaimana kita bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia.
(Nurchalis Madjid, 1992:75) Di dalam Alquran Alkarim kita dijelaskan
bahwa : “Adapun orang-orang yang beriman, mereka mengetahui bahwa
itu kebenaran dari Rabb mereka (QS. Al Baqarah (2): 26). Dalam tafsir
“Al-Mizan” dijelaskan bahwa iman terhadap sesuatu berarti
pengertian/pengetahuan yang benat tentang sesuatu disertai dengan
kewajiban untuk mengamalkannya. Kalau belum mewajibkan dirinya
untuk mengamalkannya, berarti dia belum beriman walaupun di situ ada
pengertian/pengetahuan. Dengan demikian, tekanan iman adalah amal,
karena itu iman kepada Allah mesti dibarengi dengan sikap kita kepada-
Nya dalam bentuk ibadah (ritus) dan aktualisasinya dalam bentuk amal
saleh yang pada gilirannya membentuk kesalehan pribadi dan sosial (al-
Thabathaba‟i, 1983: 158)
Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk menghayati (memahami,
mendalami dan menyelami) agama, maka iman adalah faktor yang
pertama-tama dan terutama. Tanpa iman, maka agama tidak berbicara apa-
apa pada jiwa manusia. Hakikat keimanan orang-orang mukmin (yang
semurna imannya) antara lain dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat ayat 15:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sempurna imannya) antara
lain hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu, mereka berjihad pada jalan Allah dengan harta
dan jiwa mereka, mereka itulah orang-orang yang benar (sempurna
imannya)”. Ahmad Mudjab Mahalli (2002:47) mengatakan bahwa seorang
mukmin paripurna adalah seorang yang sempurna keimanannya baik lahir
maupun batin, dekat dengan Allah dan sayang terhadap sesama.

c. Hakikat Taqwa
Di dalam Munjid Fi al Lughah wa al-A’lam (1986:115) tercatat kata
“taqwa” terulang dalam Alquran lebih kurang sebanyak 17 kali, berasal
dari akar kata “waqaa-yaqiy-wiqayah”, yang berarti menjaga,
menghindari, menjauhi, takut, berhati-hati. Dilihat dari segi bahasa, orang
yang bertaqwa berarti orang yang menjaga diri dari kejahatan; orang yang
menghindari, menjauhi dan takut terjerumus pada perbuatan dosa; dan
orang yang berhati-hati. Dari sini dapat dipahami bahwa konotasi taqwa
lebih mengarah pada soal tanggung jawab dan kewajiban atau
kecenderungan pada jalan yang benar.
Muhammad Quraish Shihab (1992:59) di dalam tafsir Al-Amanah
menjelaskan bahwa kalau kita meneliti ayat-ayat Alquran, ternyata
perintah taqwa itu terulang-ulang sebanyak 79 kali, sedangkan obyek dari
taqwa ialah: Allah sebanyak 56 kali, neraka 2 kali, hari kemudian 4 kali,
fitnah/bencana 1 kali, tanpa obyek 1 kali (namun dipahami dari
konteksnya bahwa yang dimaksud adalah Allah). Adapun selebihnya 15
kali obyeknya bervariasi, seperti rabbakum, rabbakum al-ladzi
khalaqakum, al-ladzi amaddukum bimaa ta’lamun, amaddukum bi
an’aamin wa baniin, dan lain-lain. Tetapi bila diperhatikan ternyata
kalimat-kalimat tersebut berarti Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dari situ
dapat dipahami bahwa obyek perintah taqwa pada umumnya adalah Allah
SWT, perintah bertaqwa kepada-Nya kalau diterjemahkan secara harfiah
berarti: jagalah dirimu dari Allah; jauhilah Allah; hindarilah Allah; dan
lain sebagainya. Pengertian ini tentunya bukan maksud dari perintah
tersebut, karena tidak seorang pun yang dapat menghindari atau menjauhi
Allah. Yang dapat dihindari atau dijauhi oleh manusia adalah amarah-Nya,
azab-Nya atau hukuman-Nya. Atas dasar itulah, maka ulama tafsir
menyatakan bahwa pada ungkapan “bertaqwa kepada Allah” tersirat satu
kata, yakni “siksa atau hukuman”, sehingga maksud perintah bertaqwa
kepada Allah adalah hindarilah siksa atau hukuman Allah.
Menghindari siksa atau hukuman Allah antara lain dapat ditempuh
dengan “Imtitsal al-awamir wa ijtinab al-nawaahi” (menjalankan segala
sesuatu yang diperintahkann-Nya dan menjauhi atau menghindari segala
sesuatu yang dilarang-Nya). Istilah taqwa sering diartikan demikian. Hal
ini dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan (yaitu Allah). Rasa
takut ini pada mulanya ditimbulkan oleh keyakinan tentang adanya
siksaan, tetapi pada hakikatnya ia harus timbul karena ada yang menyiksa,
sehingga dengan demikian orang yang bertaqwa adalah yang menjaga
dirinya dari siksaan dan untuk itu ia harus memiliki pandangan dan
kesadaran yang tinggi dalam memahami dan menghayati sebab-sebab yang
dapat menimbulkan siksaan. (Muhaimin, 2003: 155)
Senada dengan pendapat tersebut apa yang dikemukakan oleh
Nurcholis Madjid (1992), bahwa istilah taqwa diartikan sebagai “God
consciousness”, kesadaran ketuhanan, yaitu kesadaran ini membuat kita
mengetahui dan meyakini bahwa dalam hidup ini tidak ada jalan
menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya terhadap tingkah laku kita.
Dengan kata lain, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup ini
mendorong kita untuk menempuh hidup mengikuti garis-garis yang
diridloi-Nya, sesuai dengan ketentuan-Nya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa siksaan Allah kepada makhluk-Nya
(manusia) terbagi dalam dua kategori, yaitu di dunia dan di akhirat.
Perintah-perintah Tuhan juga dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:
(1) perintah yang berkaitan dengan alam raya (misalnya Q.S. Fushilat: 11
dan lain-lain). Perintah ini kemudian menjelma menjadi hukum-hukum
alam (sunnatullah) yang dipatuhi oleh alam tanpa pilihan baginya untuk
membangkang dan menyimpang. Kepatuhan manusia dalam mengikuti
sunnatullah atau pelanggaran manusia terhadap sunnatullah , maka
ganjaran atau siksaan/hukumannya akan diperoleh dalam kehidupan dunia
ini. Seseorang yang bekerja keras dan penuh disiplin akan menerima
ganjaran di dunia berupa kesejahteraan dan kekayaan, sebaliknya yang
melanggarnya akan hidup dalam kesempitan dan kekurangan; (2) perintah
yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum-hukum syariat yang ditujukan
kepada manusia, baik perintah untuk berbuat maupun untuk tidak berbuat
(larangan), seperti: “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”. (Q.S. Al-
Baqarah:43) dan sebagainya. Kepatuhan manusia terhadap hukum-hukum
syariat atau pelanggarannya, pada hakikatnya ganjaran atau
siksaan/hukumannya akan diperoleh di akhirat.
Dengan demikian, taqwa kepada Allah mempunyai dua pengertian,
yaitu itba’u sunnatillah, dan itba’u syariatillah, dan sekaligus mempunyai
dua sisi, yaitu sisi duniawi (memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan
hukum-hukum alam), dan sisi ukhrawi (memperhatikan dan melaksanakan
hukum-hukum syariat). Dilihat dari pemahaman tersebut, maka istilah
imtaq (iman dan taqwa) yang selama ini dihadapkan dengan istilah iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi) pada dasarnya mengandung pengertian
yang dikotomis, karena dalam istilah imtaq sebenarnya tercakup
pengertian iptek (itba’u sunnatullah). Namun demikian, pernyataan itu
tidak sepenuhnya salah, karena perkembangan dan kemajuan iptek selama
ini agaknya telah meninggalkan imtaq dalam arti itba’u syariatillah atau
meninggalkan ajaran dan nilai-nilai Ilahi, sehingga mereka bermaksud
untuk mengintegrasikannya.
Quraish Shihab 1992) berpendapat bahwa memang kalau diperhatikan
arti taqwa (dalam perspektif Alquran) tersebut, seolah-olah ada kesan pada
kita bahwa motivasi bagi segala aktivitas manusia yang dituntut Alquran
adalah rasa takut dari siksaan/hukuman Tuhan, sedangkan motivasi yang
tertinggal dan belum terungkap adalah rasa cinta kepada-Nya. Dalam
khazanah pemikiran Islam, terutama dalam bidang tasawuf, sebagian
mereka ada yang menyatakan bahwa derajat taqwa adalah derajat minimal
yang diharapkan manusia, sedangkan yang lebih tinggi adalah ihsan.
Pendapat ini menurutnya diperkuat dengan memperhatian ayat-ayat
Alquran yang berbica tentang sifat-sifat manusia yang disukai Allah,
seperti al-muhsiniin (orang-orang yang melakukan ihsan), a;-Muttaqiin
(orang-orang yang bertaqwa), a;-Muqshithiin (orang-orang yang berlaku
adil), a;-Mutathohiriin (orang-orang yang bersuci), al-Mutawakkiliin
(orang-orang yang berserah diri, al-Tawwabiin (orang-orang yang
bertaubat), al-shabiriin (orang-orang yang sabar), dan lain sebagainya.
Taqwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh,
keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah, merasa takut
terhadap murka dan azab-Nya, dan selalu mengharap limpahan karunia
dan maghfirah-Nya. Atau sebagaimana didefinisikan oleh para alim ulama.
Taqwa hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-
larangan-Nya dan tidak kehilangan dalam perintah-perintah-Nya.
Sebagaian ulama lain mendefnisikan taqwa dengan mencegah diri dari
azab Allah dengan membuat amal shalih dan takut kepada-Nya dikala sepi
atau terang. (Nasih Ulwan, 2001:7)
Perhatian Alquran terhadap sifat tawa begitu besar. Perintah dan
sokongan untuk melaksanakannya pun banyak kita temukan dalam ayat-
ayat-Nya bahkan bila kita baca Alquran hampir setiap halaman pasti kita
temukan kata taqwa. Para sahabat dan salafus sholih yang memahami betul
tuntunan Alquran, mempunyai perhatian besar terhadap taqwa. Mereka
terus mencari hakikatnya, saling bertanya satu sama lain dan berusaha
untuk mendapatkannya.
Dalam suatu riwayat shahih disebutkan bahwa Umar bin Khattab ra.
Bertanya kepada Ubai bin Ka‟ab tentang taqwa. Ubai ra. menjawab,
“Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?” “Ya”, jawab
Umar. “Apa yang anda lakukan saat itu?” “Saya bersiap-siap dan berjalan
dengan hati-hati”. “Itulah taqwa”. (Nasih Ulwan, 2001:8)
Berpijak dari jawaban Ubai bin ka‟ab atas pertanyaan Umar bin
Khattab tersebut, Sayyid Qutb berkata dalan tafsir “Fizhilil Quran”, “Itulah
taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus,
selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan...jalan
kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan
dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala
sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang
tidak pantas untuk ditakuti...dan masih banyak duri-duri yang lainnya.
(Sayyid Qutb)
Cukuplah kiranya, keutamaan dan pengaruh taqwa merupakan sumber
segala kebaikan di masyarakat, sebagai satu-satunya cara untuk mencegah
kerusakan, kejahatan dan perbuatan dosa. Bahkan, taqwa merupakan pilar
utama dalam pembinaan jiwa dan akhlaq seseorang dalam rangka
menghadapi fenomena kehidupan. Agar ia bisa membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk dan agar ia sabar atas segala ujian dan cobaan.
Itulah hakikat taqwa dan itulah pengaruhnya yang sangat menentukan
dalam pembentukan pribadi dan masyarakat.

3. Kepribadian
Berbicara tentang kepribadian biasanya menyangkut banyak aspek seperti
kedirian, karakter, watak, ego, oknum, self, dan bahkan menyangkut identitas
bangsa. (Sukanto, 1985:142) Istilah “kepribadian” sering dijumpai dalam
beberapa literatur dengan berbagai ragam makna dan pendekatan. Sebagian
psikolog ada yang menyebut kepribadian dengan (1) personality (kepribadian)
sendiri, sedangkan ilmu yang membahas personality disebut The Psichology of
Personality atau Theory of Personality; (2) Character (watak, perangai)
sedangkan ilmu yang mempelajari ilmu ini disebut dengan The Psychology of
Character atau Characterology; dan (3) type (tipe), sedang ilmu yang membahas
tentang tipe disebut dengan Typelogy. (Malik B. Badri, 1986: 68-69) Ketiga
istilah tersebut yang tepat digunakan adalah istilah kepribadian. Selain ruang
lingkupnya jelas, istilah kepribadian juga mencerminkan konsep keunikan diri
seseorang.
Para ahli juga tidak sepakat dalam merumuskan batasan pengertian dari
kepribadian itu, maka definisi yang diketengahkan itu belum dapat
menggambarkan secara lengkap mengenai apa yang sebenarnya kepribadian itu.
Walaupun demikian umumnya mereka sependapat dan menyatu dalam titik temu
yang mengandung pengertian umum dari kepribadian, yaitu keseluruhan tingkah
laku yang tampak dalam ciri khas seseorang. Setiap tingkah laku yang
ditampilkan oleh kontitusinya (psikopisik) dalam kehidupan sehari-hari maka
tingkah laku ini yang dimaksud dengan kepribadian.
Sumadi Suryabrata (1990:1) menghimpun beberapa definisi kepribadian dari
beberapa ahli psikologi. Diantaranya adalah:
1) Allport: “Kepribadian adalah susunan yang dinamis di dalam sistim psiko-
fisik (jasmani rohani) seseorang (individu) yang menentukan perilaku dan
pikirannya yang berciri khusus”.
2) Mark A. May: “Apa yang memungkinkan seseorang berbuat efektif atau
memungkinkan seseorang mempunyai pengaruhi terhadap orang lain.
Dengan kata lain kepribadian adalah nilai perangsang sosial seseorang”.
3) Woodworth: “Kualitas dari seluruh tingkah laku seseorang”.
Pengertian yang diberikan oleh para ahli psikologi Barat pada
hakikatnya belum menyentuh permasalahan prilaku hidup manusia secara
keseluruhan, termasuk sikap dan prilaku keagamaan berdasarkan keimanan
dan ketaqwaannya. Teori kepribadian muslim dari para cendekiawan
muslim harus dapat mengungkapkan apa pengertian “kepribadian muslim”
dan tidak perlu menjiplak sarjana psikologi Barat karena mereka berteori
yang kreatif tetapi tidak komprehensif.
Untuk mengantisipasi teori psikologi Barat tersebut Fadhil Al-Djamaly
(1991:170) menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang
berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tingkah laku hidupnya, dan
tanpa akhir ketinggiannya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa
batas ke dalamnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Dia mampu menangkap
makna ayat yang menyatakan: “... Aku akan menunjukkan kepada mereka
tanda-tanda kebesaran-Ku di ufuk langit dan di dalam dirinya sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah itu benar”. (Q.S. Hamim al-
Sajadah:41)
Kepribadian yang digambarkan di atas mempunyai hubungan yang erat
dalam suatu lingkaran hubungan yang meliputi: (1) Allah, (2) Alam, dan (3)
Manusia. Dengan kepribadian muslim, manusia harus mengembangkan
dirinya dengan bimbingan petunjuk Ilahi, dalam rangka mengembangkan
tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, dan selalu melaksanakan
kewajiban sebagai hamba Allah melakukan pengabdian kepada-Nya.
Kepribadian seperti itu tidak ditemui dalam teori psikologi Barat, karena
psikologi barat banyak dipengaruhi oleh filsafat materialistis yang
menjadikan kekayaan benda menjadi tujuan hidup. Kalaupun ada mereka
menyebut Tuhan, agama dan keyakinan akan tetapi semuanya itu terpisah
dari pergaulan dan tata laksana kegiatan duniawi. Fungsi agama hanya
bersifat seremonial belaka.
Berangkat dari teori kepribadian di atas, Ramayulis (2004:293)
membagi kepribadian muslim tersebut kepada dua macam, yaitu: (1)
kepribadian kemanusiaan (basyariah) dan (2) kepribadian kewahyuan
(samawi). Ciri Kepribadian kemanusiaandibagi dua bagian, yaitu:
kepribadian individu dan kepribadian ummah. Kepribadian individu ialah
kepribadian yang meliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap dan
tingkah laku serta intelektual yang memiliki masing-masing secara khas
sehingga ia berbeda dengan orang lain. Menurut pandangan Islam memang
manusia mempunyai dan memiliki potensi yang berbeda (Al-farq Al-
fardiyah) yang meliputi aspek pisik dan psikis. Sebagaimana firman Allah
di dalam Alquran Surat Bani Israil ayat 22 yang artinya:”Perhatikanlah
bagaimana Kami lebihkan mereka sebagaian atas sebagian yang lain”.
Kepribadian ummah adalah kepribadian yang meliputi ciri khas
kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) yang meliputi
sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah
lainnya.mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk
mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi
maupun lainnya yang dapat memberi dampak negatif. Sebagaimana firman
Allah yang artinya: “Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa supaya saling mengenal...”. (Q.S. Al-Hujurat:13) Kepribadian
samawi (kewahyuan) yaitu corak kepribadian yang dibentuk melalui
petunjuk wahyu dalam kitab suci alquran, yang antara lain difirmankan
Allah yang artinya: “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-
Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
yang lain karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan; yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”.
Kepribadian muslim sebagai individu dan sebagai um.mah, terintegrasi
dalam bentuk suatu pola yang sama. Dalam hal ini dasar teori kepribadian
muslim, baik sebagai individu maupun sebagai suatu ummah yang satu,
terjadi suatu bentuk dikotomi yang terintegrasikan. Dikotomi terletak hanya
dalam pembagian saja, namun dalam dasar dan tujuan pembentukan
kuduanya terintegrasikan kepada dasar yang sama (Filsaft pendidikan Islam
yang bersumberkan Alquran dan Hadits), serta tujuan yang satu yaitu
menjadi pengabdi Allah SWT. yang taat, sesuai dengan firman_nya yang
artinya: “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka
menyembah-Ku”. (Q.S. Al-Dzariyat:56) “Itulah Dia Allah, Tuhanmu tiada
Tuhan kecuali Dia, Pencipta segala sesuatu oleh sebab itu sembahlah Dia”.
(Q.S. An-Nisa:103)
Pengintegrasian tersebut di atas sebenarnya yang menyebabkan
timbulnya kepribadian samawi/kewahyuan. Oleh karena itu menurut M.
Arifin mengutip pendapat Syaltut menyatakan bahwa karena kepribadian
perseorangan dan ummah belum dapat menjamin terwujudnya prilaku
mulia sesuai dengan tuntunan hidup duniawi ukhrawi. Oleh karena itu
diperlukan kepribadian samawi atau islami, dimana prilaku lahiriah dan
ruhaniah manusia berada di dalam nilai-nilai ketuhanan yang positif dan
konstruktif yang berorientasi kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat.
Disinilah nampaknya perbedaan pandangan antara teori kepribadian
Barat dengan teori kepribadian muslim. Mungkin hal ini disebabkan oleh
filsafat yang dianut oleh masing-masing berbeda, sehingga perbedaan dasar
menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan.
Dalam memberikan analisanya tentang akhlak yang berhubungan
dengan pembentukan kepribadiannya Ramayulis (2004:295) menngutip
pendapat Moh. Abdullah Darraz mengemukakan bahwa pendidikan akhlak
berfungsi sebagai pemberi nilai-nilai Islam. Dengan adanya nilai-nilai Islam
Islam itu dalam diri seseorang atau ummah akan terbentuk pulalah
kepribadiannya sebagai kepribadian muslim. Akhlak yang mulia
mengandung konotasi pengaturan hubungan yang baik antara hamba
dengan Allah, dengan sesamanya dan dengan makhluk lainnya. Selanjutnya
Jalaluddin (1964:10) menjelaskan bahwa pembentukan kepribadian muslim
sebagai ummah berjalan seiring. Tujuan utama pembentukan itu adalah
untuk merealisasikan diri dan ummah sebagai pengabdi Allah yang setia,
yang enjadi dasar dan tujuan yang akan dicapai.
Untuk memperjelas pembahasan kita dalam pembentukan kepribadan
muslim difokuskan pada upaya guru dalam pendidikan formal (sekolah)
dengan melalui proses internalisasi nilai-nilai iman dan taqwa (imtaq). Dan
bagaimanakah wujud pribadi muslim yang diharapkan sebagai hasil
internalisasi nilai-nilai iman dan taqwa? Wujud daripada hasil internalisasi
IMTAQ adalah terciptanya manusia-manusia yang berkepribadian muslim ,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berkepribadian
yang utuh dan sempurna, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas. Endang Saefudin Anshari (1986 :
133-135) mengatakan jika kita mengupas sebuah ayat Alquran yaitu surat
Al-Ashr ayat satu sampai tiga, dapat disimpulkan bahwa seorang muslim
harus mempunya lima komitmen terhadap Islam. Kelima komitmen tersebut
adalah: pertama, setiap muslim dan muslimat wajib meyakini
kesempurnaan dan kebenaran Islam sebagai satu sistem hidup, satu
kebulatan ajaran yang universal dan eternal, kemudian mereka istiqomah
dalam keimanannya dan selalu berusaha untuk meningkatkannya. Kedua,
setiap muslim dan muslimat wajib memperluas dan memperdalam ilmu
pengetahuan Islam dalam segala seginya sesuai dengan kemampuannya
dalam setiap kesempatan, terus menerus sampai ajal menjemput. Ketiga,
setiap umat Islam wajib memamnfaatkan iman, keyakinan dan ilmu
pengetahuannya dalam kehidupan dan penghidupan. Keempat, setiap umat
Islam wajib mendakwahkan Islam kepada sesamanya sesuai dengan
kemampuannya. Dan kelima, setiap umat Islam hendaknya bersabar dalam
menerima segala resiko sebagai konsekuensi dari keempat komitmen
sebelumnya dari segala rintangan, halangan dan gangguan baik dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wujud daripada pribadi
muslim adalah taqwa kepada Allah, berbudi pekerti luhur, berkepribadian
yang sempurna, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, serta sehat
jasmani dan ruhaninya. Manusia yang taqwa kepada Allah SWT.
maksudnya adalah orang yang takut dan cinta kepada Allah, hati-hati dan
waspada, menjaga diri dari segala sikap, tindakan dan perbuatan yang tidak
dirdloi oleh Allah SWT; melaksanakan segala perintah-Nya
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan kuantitatif.
Sedangkan langkah-langkah untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penelitian ini dengan menggunakan teknik wawancara, observasi partisipatif, studi
dokumentasi dan angket.
Untuk mendapatkan data yang dianalisa secara statitik, maka terlebih dahulu merubah
data dari kualitatif menjadi kuantutatif dengan memberikan nilai setiap item pada
alternatif jawaban. Setelah itu, nilai-nilai dari setiap item dijumlahkan secara
keseluruhan, sehingga memperoleh skor dari setiap jawaban masing-masing.
Sedangkan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan internalisasi yaitu mengambil
prosentasi yang memakai rumus:

F
--- X 100 =....%
N

Keterangan: F = Frekwensi jawaban


N = Jumlah responden
% = hasil

Adapun kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikannya sebagai penafsiran


data adalah:
100% = seluruhnya
90 - 90% = hampir seluruhnya
51 - 89% = sebagian besar
50% = setengahnya
40 - 49% = hampir setengahnya
20 - 39% = sebagian kecil
1 - 19% = sedikit sekali
0% = tidak ada sekali
(Wahyudin Syah: 1989:61)

Setelah diklasifikasikan dengan skala prosentase, maka penulis menggunakan


kategori klasifikasi yaitu: baik sekali, baik, cukup, kurang dan kurang sekali. Hal ini
mengacu pada pendapat Nasrun Harahap, dkk (1983:97) yaitu sebagai berikut:

A.
Baik sekali - berkisar antara 81 - 100%
B.
Baik - berkisar antara 61 - 80%
C.
Cukup - berkisar antara 41 - 60%
D.
Kurang - berkisar antara 21 - 40%
E.
Kurang sekali - berkisar antara 0 - 20%
(Nasrun Harahap, at al., 1983:97)

D. Temuan dan Pembahasan Penelitian


1. Model kurikulum SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon
Model kurikulum SMA Islam Al Azhar 5 kota Cirebon terdiri dari kurikulum
yang ada kaitannya dengan mata pelajaran atau dalam proses kegiatan belajar
mengajar yang disebut intrakurikuler dan kurikulum yang tidak ada kaitannya
dengan mata pelajaran dan dilakukan secara rutin yang disebut dengan
ekstrakurikuler.
Proses pembelajaran yang dikembangkan mengaitkan mata pelajaran dengan nilai
imtaq. Dengan cara pembelajaran yang demikian, keyakinan dan pemahaman
peserta didik terhadap materi yang sedang diajarkan semakin meningkat, yang
akhirnya dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan mereka.

Untuk mengetahui komposisi jumlah mata pelajaran dan jam pelajaran setiap
pekannya, penulis menggambarkannya dalam bentuk tabel berikut.

Tabel 1
Struktur Kurikulum SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon
JUMLAH JAM PELAJARAN
No. MATA PELAJARAN
KLS I KLS II III IPA III IPS
1 PENDIDIKAN AGAM
a. Alquran 2 2 2 2
b. Pendidikan Agama Islam 3 3 3 3
c. Bahasa Arab 2 2 2 2
2 PPKN 2 2 2 2
3 BAHASA DAN SASTRA
5 5 3 3
INDONESIA
4 SEJARAH NASIONAL/UMUM 2 2 2 2
5 BAHASA INGGRIS 4 4 5 6
6 PENDIDIKAN JASMANI DAN
2 2 - -
KESEHATAN
7 MATEMATIKA 7 7 9 3
8 ILMU PENGETAHUAN ALAM
a. Fisika 6 6 8 -
b. Biologi 4 4 8 -
c. Kimia 4 4 7 -
9 ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
a. Ekonomi/Akuntansi 3 3 - 10
b. Geografi - 2 - 6
c. Sosiologi - - - 6
d. Antropologi - - - 6
e. Tata Negara - - - 6
10 PENDIDIKAN KESENIAN 2 - - -
11 BIMBINGAN KONSELING 1 1 - -
JUMLAH 51 51 51 51

2. Internalisasi Nilai-nilai Imtaq dalam pembentukan Kepribadian Siswa SMA Islam


Al Azhar 5 Kota Cirebon Melalui Kegiatan Intrakurikuler
Upaya guru SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon dalam menginternalisasikan
nilai-nilai imtaq atau kegiatan di dalam kelas pada saat proses kegiatan belajar
mengajar, terdiri atas; (a) berdoa (ikrar) sebelum dan sesudah belajar; tadarus
Alquran; (c) mengaitkan materi pelajaran dengan imtaq.

Berdasarkan observasi partisipatif, wawancara dan angket, maka diperoleh data


keseluuhan tentang respon siswa terhadap upaya guru dalam menginternalisasikan
nilai-nilai iman dan taqwa (imtaq) bagi pembentukan kepribadian siswa melalui
kegiatan intrakurikuler dapat dilihat pada tabel rekapitulasi rata-rata keseluruhan.
Adapun data tersebut sebagai berikut:
Tabel 2
Rekapitulasi Tanggapan responden atas Usaha Guru dalam Menginternalisasikan
Nilai-Nilai Imtaq melalui kegiatan Intrakurikuler
JAWABAN
No INDIKATOR %
A B C
1 Berdoa sebelum dan sesudah belajar 75% 25% 0 100
Tadarus Alquran 15 menit pada jam
2 pertama sebelum kegiatan belajar 81,7% 18,3% 0 100
mengajar di kelas
Mengaitkan materi pelajaran dengan
3 90% 10% 0 100
muatan imtaq
Rata-Rata 82,2% 17,8% 0 100

Dari data tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa diperoleh 75% siswa yang selalu
berdoa sebelum dan sesudah belajar, ada 25% siswa yang kadang-kadang berdoa
sebelum dan sesudah belajar, dan 0% siswa yang tidak berdoa sebelum dan
sesudah belajar. Berdasarkan perolehan prosentase respon siswa terhadap kegiatan
berdoa sebelum dan sesudah belajar dapat dikategorikan baik bagi usaha guru
dalam menginternalisasikan nilai-nilai imtaq melalui kegiatan tersebut dalam
pembentukan kepribadian bagi siswa SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon.
Walaupun demikian hendaknya ditingkatkan lagi usaha tersebut karena masih ada
25% siswa yang belum konsisten melaksanakan kegiatan berdoa sebelum dan
sesudah belajar. Dengan usaha maksimal akan kepedulian guru terhadap aktivitas
berdoa bagi siswanya mudah-mudahan siswa akan menyadari pentingnya berdoa
dan mau melaksanakannya dengan penuh harap.

Berdasarkan tabel di atas juga diperoleh 81,7% siswa yang selalu melaksanakan
kegiatan tadarus Alquran 15 menit jam pertama sebelum kegiatan belajar
mengajar. Adapun siswa yang kadang-kadang melaksanakan kegiatan tadarus
Alquran tersebut berjumlah 18,3%. Dari perolehan data prosentase tersebut maka
usaha guru dalam menginternalisasikan nilai-nilai imtaq melalui kegiatan tadarus
alquran 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dalam pembentukan
kepribadian bagi siswa SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon dapat dikategorikan
baik sekali. Walaupun demikian bukan berarti guru harus berhenti dari upaya-
upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan itu. Lagi pula
keberhasilan itu bersifat sementara dalam artian tanpa kerja keras untuk
mempertahankan dan meningkatkan prosentase itu hal itu bisa jadi prosentase
keberhasilan itu akan menurun. Ada 18,3% siswa yang masih membutuhkan
perhatian dari guru dalam aktivitas tadarus Alquran 15 menit pada jam pertama
sebelum kegiatan belajar di kelas.

Berdasarkan tabel di atas juga dapat dijelaskan bahwa diperoleh 90% siswa yang
memahami dan meyakini ilmu yang dipelajarinya di dalam kelas dapat menambah
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan ada 10% siswa yang
menyatakan kadang-kadang dalam memahami dan meyakini ilmu yang
didapatinya di kelas dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT. Dari perolehan berdasarkan prosentase tersebut maka usaha guru dalam
menginternalisasikan nilai-nilai imtaq melalui kegiatan mengaitkan materi
pelajaran dengan muatan imtaq bagi siswa SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon
dapat dikategorikan baik sekali. Walaupun demikian masih ada 10% siswa yang
perlu diperhatikan guru dalam aktivitas mangaitkan materi pelajaran dengan
muatan imtaq. Hal ini dapat diduga keras bahwa ada dua hal yang
menyebabkanyaitu: keterbatasan guru dalam mengaitkan materi pelajaran dengan
muatan imtaq atau bisa juga siswa kurang memperhatikan.

Berdasarkan tabel rekapitulasi di atas dapat dijelaskan bahwa diperoleh 82,2%


siswa yang merespon upaya guru dalam menginternalisasikan nilai-nilai imtaq
melalui kegiatan intrakurikuler. Berdasarkan prolehan rata-rata prosentase dari
respon siswa tersebut maka dapat dikategorikan baik sekali. Walaupun demikian
tentunya usaha-usaha guru untuk mempertahankan dan meningkatkan seharusnya
terus dilakukan karena masih ada 17,8% siswa yang masih belum stabil atau tidak
konsisten dalam mengikuti kegiatan tersebut.

E. Simpulan dan Rekomendasi


1. Simpulan
a. Usaha guru dalam menginternalisasikan nilai-nilai iman dan taqwa dalam
pempentukan kepribadian siswa di SMA Islam Al Azhar 5 Kota Cirebon
melalui kegiatan intrakurikuler yang meliputi kegiatan berdoa sebelum dan
sesudah belajar, tadarus Alquran 15 menit jam pertama sebelum kegiatan
belajar mengajar dan mengaitkan materi pelajaran dengan muatan iman dan
taqwa (imtaq) dikategorikan sangat baik berdasarkan data respon siswa
diperolah 82,2%.
b. Kendala yang dihadapi oleh guru dalam menginternalisasikan nilai-nilai iman
dan taqwa dalam pembentukan kepribadian siswa di SMA Islam Al Azhar 5
Kota Cirebon melalui kegiatan intrakurikuler diantaranya kurangnya
pemahaman beberapa guru mata pelajaran non pendidikan agama Islam dalam
mengaitkan mata pelajaran dengan muatan iman dan taqwa.
2. Rekomendasi
a. Upaya sekolah dalam membentuk dan membeina kepribadian siswa
hendaknya dilakukan dalam berbagai cara salah satunya adalah
menginternalisasikan nilai-nilai iman dan taqwa dalam pembentukan
kepribadian melalui kegiatan intrakurikuler. Aktivitas ini sangat bermanfaat
bagi para siswa pada saat dibina dan masa yang akan datang dalam menjalani
hidup dan kehidupan mereka. Bekal nilai-nilai inilah yang dijadikan pedoman
bagi mereka dalam bertutur kata dan bertindak sehingga mereka benar-benar
bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang tua, masyarakat, bangsa dan agama.
b. Penelitian ini hanya sebatas internalisasi nilai-nilai iman dan taqwa dalam
pembentukan kepribadian melalui kegiatan intrakurikuler. Masih perlu
penelitian lanjutan melalui kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan
ekstrakurikuler, kegiatan program keagamaan dan kegiatan lainnya.

Daftar Pustaka
Ahmadi,Abu. .Psikologi Sosial .Jakarta:Cipta Rineka,Cetakan I.1991
Al-Djamaly, M. Fadhil..Ilmu Pendidikan Islam, Terjemahan;M. Arifin. Jakarta: Bumi Aksara
1991
Allport,GW..Pattern and Growth in Personality.New York:Holt, Rinchart and
WinstonInc.1964
Anshari,E.S. Ilmu, Filsafat dan Agama.. Surabaya:PT. Bina Ilmu 1987.
Badri, Malik B.,. Dilema Psikolog Muslim, Terjemahan; Siti Zaenab Lukfiati.. Jakarta:
Pustaka Firdaus 1986
Bertens,K. Etika, Seri filsafat Atmajaya15. Jakarta: PT. Gramedia 1999
Darazat,Zakiyah..Pembinaan Remaja. Jakarta :Bulan Bintang. 1992
Depdiknas,.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2001
Encyclopedia of real Estate Terms.. Definition of Value. Internet
http://www.detaalpha.co.uk/terms/value html.2002
Fraenkel, R.J.. How to Teach about Values: An analytic Approach. Bey Jersey: Printice Hall
Inc. Englewood Cliff. 1977
Gulo,Dali..Kamus Pschology.Bandung :Tonis. 1982
Harahap, Nasrun, at al..Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung :Sinar Baru. 1983
Hayan,Abu..Tafsir al Bahr al Muhith, Jilid I. Mesir : Dar al Fikr. 1978
Jalaluddin..Kepribadian Muslim; Palembang :Diktat. 1964
Kupperman,JJ..The Foundation of Morality.George, London: Allen and Unwin. 1983
Loewald,H..Internalization, Separation, Mourning and the Superego ; Pschoanalitic
Quarterly.journal of the American Psychoanalytic Association. 1962
Madjid,Nurcholis..Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina. 1992
Mahalli, Ahmad Mudjab..Membangun Pribadi Muslim. Yogyakarta: Menara kudus. 2002
Meissner,ww..Internalization in Psychoanalysis. New York :International. Inc. 1981
Muhadjir, Noeng.. Catatan dan Bahan Kuliah Tenologi Pendidikan di S2 IAIN.1987
Muhaimin.. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar. 2003
Mulyana, Rohmat.. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:Alfabeta. 2004
Munjid Fi al Lughah wa al-A’lam.. Libanon:al Maktabah al Syarqiyah.Beirut. 1986
Ramayulis..Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia. 2004
Shihab, Muhammad Quraish..Tafsir al-Amanah. Jakarta:Pustaka Kartini. 1992
Soekanto, M.N.Nafsiologi. Jakarta :Integsita Proses. 1985
Soelaeman,MI.. Suatu Telaah tentang Manusia Religi Pendidikan P2LPTK.1988.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta:Rajawali.1990
Syah, Wahyudin..Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung:Tarsito. 1989
UIA,.Human Values Project: Comments Overview .2003
Internet.http://www.uia.org/values/vacont hatm
Ulwan, Abdullah Nasih,.Tarbiyah Ruhiyah: Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa.
Jakarta:Gema Insani Press.2001

You might also like