You are on page 1of 13

DOI: 10.18196/ jmh.2018.0107.

111-123

VOL. 2 5 NO. 1 / JU N I 2 0 1 8

Rest orat ive Just ice: Paradigm a Baru


Peradilan Pidana
Hariman Satria

DATA NASKAH ABSTRACT


M asuk: 11 Agustus 2017
Diterim a: 2 Februari 2018
Direction of criminal justice in Indonesia is currently experiencing a shift
Terbit: 1 Juni 2018 from retributive to restorative-rehabilitative or daad-dader-strafrecht or model of
balance of interests. This is confirmed by Laws Number 11 of 2012 on Juvenile
KORESPONDEN PENULIS:
Fakultas Hukum Universitas
Justice System, which states in Article 6 to Article 8 that emphasizes the concept
M uham m adiyah Kendari. Jln. KH of restorative justice through diversion. Both of these concepts allow the settlement
Ahm ad Dahlan No. 10 Kendari, of children out of the criminal justice. However, not all criminal offenses commit-
93118. Em ail:
harim an85antikorupsi@gm ail.com
ted by children can be settled out of court (diversion) unless two conditions are
met: imprisonment for a criminal offense under seven years and is not a repetition
of criminal offenses (recidivism). The essences of restorative justice are three. First,
in the settlement of children, it is necessary that the offenders and their families
and victims and their families can sit together to discuss the settlement of issues
including reparations to victims (restitution in integrum). Second, the essence of
restorative justice is to give punishment to the offenders but the punishment is
didactic, in order to benefit to both of the perpetrator and the victims. This is in
line with an adagio “delinquens per iram provocatus puniri debet mitius”. Third,
regulation of a quo using two approaches which are victims and offenders media-
tion approaches as implemented in North America as well as approach that
emphasizes restitution and reparation (court based restitutive and reparative
measure), as practiced in the United Kingdom.
Keywords: Restorative Justice, Criminal Justice.

ABSTRAK
Arah peradilan pidana di Indonesia pada saat ini mengalami pergeseran
dari retributif ke restoratif-rehabilitatif atau daad-dader-strafrecht atau model
keseimbangan kepentingan. Hal ini terkonfirmasi melalui U ndang-
Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang dalam Pasal 6 jo Pasal 8 menekankan pada konsep keadilan restoratif
melalui diversi. Kedua konsep ini memungkinkan penyelesaian perkara
anak ke luar peradilan pidana. Namun demikian tidak semua tindak

111
pidana yang dilakukan oleh anak dapat diselesaikan di menguraikan bahwa ilmu hukum acara pidana (jus puniendi)
luar pengadilan (diversi) kecuali terpenuhi dua syarat mem pelajari perat uran-peraturan yang diciptakan oleh
yaitu tindak pidana diancam pidana penjara di bawah negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-
tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak undang hukum pidana (Atmasasmita, 2010:1). Dalam kosa
pidana (residivis). Inti dari keadilan restoratif yaitu:
kata lain kehadiran hukum acara pidana disebabkan oleh
Pertama , dalam penyelesaian perkara anak diupayakan
pelanggaran terhadap hukum pidana materil (jus peonale).
agar pelaku dan keluarganya serta korban dan
Hubungan ini kemudian dielaborasi lebih jauh oleh Moeljatno
keluarganya dapat duduk bersama untuk membicarakan
dengan mendefinisikan hukum pidana dalam tiga bagian
penyelesaian masalah termasuk pemulihan kepada
korban (restitution in integrum). Kedua , keadilan restoratif penting yakni pertama, menentukan perbuatan-perbuatan
hakikatnya adalah memberi hukuman kepada pelaku mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai
tetapi hukuman tersebut bersifat mendidik sehingga ancaman atau sanksi yang berupa pidana t ertentu bagi
memberi manfaat baik kepada pelaku maupun korban. barang siapa m elangg ar larangan t erseb ut . Kedua,
Hal ini sejalan dengan adugium delinquens per iram menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
provocatus puniri debet mitius. Ketiga , peraturan a quo telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Ketiga,
mediasi korban dan pelaku (victim offender mediation) menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat
seperti yang diterapkan di Amerika U tara serta dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
pendekatan yang menekankan pada ganti kerugian dan
melanggar larangan tersebut (M oeljatno, 2008:1).
pemulihan (court based restitutive and reparative measure),
Dalam bayangan penulis, merujuk pada argument asi
seperti yang dipraktikan di Inggris.
M oeljat no tersebut, hukum pidana terbagi menjadi dua
Kata Kunci: Restorative Justice, Peradilan Pidana.
bagian, yait u hukum pidana mat eril dan hukum pidana
formil. Hukum pidana materil berkaitan dengan poin pertama
I. PENDAHULUAN
dan kedua (perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang,
Bila dilihat dari temanya m aka tulisan ini pusarannya
yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang
terletak dua hal penting yaitu pertama, penegakan hukum
melakukan), sedangkan hukum pidana form il berkaitan
– peradilan pidana. Kedua, keadilan restoratif. Dengan kata
dengan poin ketiga (dalam hal apa kepada mereka yang
lain rasio logis yang hendak dipaparkan dalam tulisan ini
telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana
adalah seputar peradilan pidana. Berbicara tentang peradilan
dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
pidana tidaklah dapat dilepaskan dari penegakan hukum (law
dilaksanakan). Pendeknya pada butir pertama dan kedua,
enf orcement ). Sebab dalam konteks penegakan hukum
M oeljat no melukiskan ihw al perbuat an pidana yang
secara eksplisit t erkandung proses peradilan pidana.
dit etapkan dalam hukum pidana materil (jus peonale),
Sedangkan proses peradilan pidana hulunya adalah hukum
termasuk ancaman sanksi (penitentaire recht ) sedangkan
acara pidana at au hukum pidana form il, yang dalam
poin ketiga adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban
pembacaan Hazewinkel Suringa disebut sebagai jus puniendi
pidana melalui hukum pidana formil (jus puniendi). Atas
adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk
gagasan yang dikemukakan oleh Hazew inkel Suringa, van
menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana
Bem melen, Leo Polak dan M oeljat no t ersebut maka kita
(Hamzah, 2012:4). M enurut Leo Polak, hak negara dalam
dapat mengatakan bahw a hukum pidana pada dasarnya
jus puniendi ini dilaksanakan oleh aparatnya. Karena itu
terbelah dua yakni hukum pidana meteril (jus peonale) dan
hanya yang mempunyai hak m emerint ah yang dapat
hukum pidana formil (jus puniendi). Keduanya adalah satu
membuat kehendaknya dituruti dan berhak menjatuhkan
kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan satu sama lain.
pidana (Utrecht, 1986:150).
Secara legal normatif hukum acara pidana di Indonesia
M asih m en g enai jus p un ien di , van Bem m elen
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

112
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

Kit ab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Berdasarkan peraturan a quo kewenangan penegakan hukum Singkat kata, konsep keadilan restoratif yang ditempuh
dilaksanakan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan pada melalui diversi dalam peradilan anak adalah sebagai upaya
semua tingkatannya. Institusi-institusi hukum inilah yang untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang
berw enang meneyelenggarakan proses peradilan pidana, sedang menghadapi masalah hukum. Perlindungan hukum
sejak tahap penyidikan hingga tahap putusan di pengadilan. yang dimaksud adalah penyelesaian perkara anak dari proses
Nam un demikian akhir-akhir ini seiring perkembangan peradilan pidana, ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1
zaman, kita dapat menemukan proses peradilan pidana yang butir 1 UU SPP Anak). Dengan demikian kepada anak yang
berbeda dengan KUHAP. Dalam kosa kata lain terdapat pera- melakukan tindak pidana paradigma peradilannya berubah,
turan perundang-undangan yang mengatur sendiri (lex spe- semula diposisikan sebagai pelaku kejahatan seperti pada
cialis) ketentuan beracaranya termasuk penyelenggara pera- umumnya, tetapi melalui peraturan a quo – menempatkan
dilan pidananya. Salah satu peraturan yang menarik dicer- peradilan anak berbeda dengan orang dew asa. Anak yang
mati dan didiskusikan adalah Undang-Undang Nomor 11 melakukan tindak pidana hanya dianggap t ersesat (anak
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidan Anak (SPP Anak). nakal) sehingga perlu direhabilitasi. Hukuman terhadap anak
Peraturan a quo memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan yang melakukan tindak pidana harus lebih ringan dibanding-
KUHAP, bahkan boleh dikatakan memperkenalkan pranata kan dengan orang dewasa. Hal ini sejalan dengan adugium
hukum baru dalam peradilan pidana yakni diversi dan delinquens per iram provocatus puniri debet mitius.
keadilan restoratif (restorative justice). Suatu konsep yang Int inya peradilan pidana m engakom odasi t ujuan
berkembang yang melibatkan korban di dalamnya disebut pemidanan dari retributif ke restoratif. Dari pembalasan ke
restorative justice (Widow aty dan Fitriyanti, 2014: 3). pem ulihan at au gantu kerugian. Ide dasar inilah yang
Konsep diversi dan restorat ive justice tersebut adalah menjadi stimulan dalam peraturan a quo . M eskipun harus
konsep hukum yang sejak KUHAP diberlakukan tidak dikenal, dikatakan juga, bahw a tidak sem ua t indak pidana yang
tetapi pembentuk undang-undang menyadari sepenuhnya dilakukan oleh anak dapat dikenakan diversi atau restorative
bahw a harus ada pembedaan pendekatan dalam proses just ice. Paling tidak ada dua sayarat yang harus dipenuhi
peradilan pidana pada subjek-subjek atau adresat tertentu, bila merujuk pada Pasal 7 ayat (2) UU SPP Anak, yakni
seperti anak. Hal ini t erkonf irm asi jika mem baca dan pertama, perbuatan pidananya diancam pidana di bawah 7
memahami bagian menimbang peraturan a quo . Pertama, (tujuh) tahun. Kedua, bukan pengulangan tindak pidana
bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang (residivis). Tegasnya baik diversi maupun restorative justice
M aha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai adalah pranata baru dalam peradilan pidana Indonesia
manusia seutuhnya. Kedua, untuk menjaga harkat dan sehingga mem butuhkan kajian lebih lanjut dan kompre-
martabat nya, anak berhak mendapatkan perlindungan hensif. Atas dasar itulah penulis menuliskan gagasan yang
khusus t erutam a perlindungan hukum dalam sist em sederhana ini.
peradilan. Ket iga, Indonesia sebagai negara pihak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the II. RUM USAN M ASALAH
Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap Bagaimanakah kedudukan restorative justice bila dilihat
anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan dari optik peradilan pidana Indonesia?
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Keempat, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang III. PEM BAHASAN
Pen g ad i lan A nak sud ah t id ak sesuai lag i d en g an 1. Sistem Peradilan Pidana
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena Berbicara tentang sistem peradilan pidana tidaklah
belum secara komprehensif m emberikan perlindungan mungkin dilepaskan dari hukum acara pidana. Keduanya
kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga adalah berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di

113
sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab sistem know ledge of the kinds of interactions t hat are likely to
peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari take is essential for undert aking system improvement
sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh (Hiariej, 2010:7). Oleh karan itu M ichael Cavadino dan James
suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini Dignan menyebut sistem peradilan pidana sebagai a term
mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secara covering all those institut ion w hich respond officially to
garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri the commission of offences, not ably the police, prosecu-
yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya tion authorities and the court (Hiariej, 2010:7). Tegasnya
dan politik yang dianut (Atmasasmita, 2010:4). Law rence sistem peradilan pidana dimulai dari kepolisian, kejaksaan
F. Travis III menyebut sistem peradilan pidana sebagai the dan akhirnya di pengadilan.
int egrit ed criminal justice system begins w it h the det ec- M asih mengeni sistem peradilan pidana, dalam sistem
tion of crime, proceeds through investigat ion, arrest, ini- hukum anglo saxon dikenal dua terminologi yakni criminal
tial appearence before the court, charging (arraingment), justice process dan criminal justice system , keduanya diyakini
trial, sentencing, and posible revocation, and ends w ith terdapat perbedaan satu sama lain. Criminal justice process
discharge (Travis, 2012:37). Jadi sistem peradilan pidana berkenaan dengan proses kepada pelaku kejahatan yang
dimulai sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penahanan, dimulai pada tahap penyelidikan, sampai pelaku dihadapkan
penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan hingga tahap si sidang pengadilan. Ditegaskan oleh Joshua Dressler, crimi-
pelaksanaan hukuman. Dengan demikian lingkup sistem nal justice process is specialis commonly the investigatory
peradilan pidana berm ula dari kepolisian, kejaksaan, of f ender bef ore adjudicat ory (Dressler, 2 00 2:36 2).
pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan. Sedangkan criminal justice system dipandang sebagai
Tidak jauh berbeda dengan argumentasi Travis III ihwal hubungan keputusan antara lembaga dalam peradilan pidana.
sistem peradilan pidana adalah dikemukakan oleh M ardjono Secara gamblang disampaikan oleh Sanford H. Kadish, the
Reksodiputro yang mengatakan bahw a sist em peradilan criminal just ice system may be integrated in examining
pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri particular phases of criminal justice (investigation-prosecu-
dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan tion-ajudicative) and in interpreting the system as a whole
pemasyarakatan (Reksodiputro, 1993:1). Gagasan M arjono (Kadish, 1983:450).
ini kelihatanya masih melihat aparat penegak hukum sebagai Penjelasan lebih jauh tentang sistem peradilan pidana
bagian dari pencegahan kejahatan – perbuatan pidana, dikemukakan oleh Hebert L. Packer. Ia berkata that integrited
padahal dalam konteks sistem peradilan pidana tidak lagi criminal justice syst em, I call these t w o models the due
berbicara tentang pencegahan atau pengendalian kejahatan, process model and the crime control model. Crime con-
tet api penegakan hukum yang diakibatkan oleh suatu trol model is based on the proposition that the repression
perbuatan pidana melalui pendekatan sistem. Intinya sistem of criminal conduct is by far t he most important funct ion
peradilan pidana bekerja ketika telah terjadi perbuatan pidana to be perform ed by the crim inal process. Crime cont rol
bukan sebaliknya. model values are effiency, speed and finalty. Than due
M erujuk pada argument asi Travis III dan M arjono process model in this concept of legal guilt lies the expla-
Reksodiput ro tersebut kit a dapat mengat akan bahw a nation for the apprently quixotic persumption of innosence
perspektif sistem peradilan pidana, tidak hanya mencakup of w ich w e spoke earlier. A man w ho, after police investi-
satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi gation is charged w ith having commited a crime can hardly
negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak be said tobe presumptively innocent, if w hat w e mean is
hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja factual innosence (Packer, 1968:151-153).
kepada aparat penegak hukum yang lain. Feeney kemudian Dengan demikian dalam optik Packer sistem peradilan
menegaskan, w hat once criminal justice agency does likely pidana tedapat dua model yakni crime control model dan
to affect and be affected by other agencies and a detailed due process model. Crime control model memiliki 5 (lima)

114
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

karakteristik berupa: represif, efisiensi, presumption of guilt , untuk membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan
factual guilt dan informal fact finding. Sedangkan due pro- kejadian yang sesunggunya (Hiariej, 2010:5).
cess model juga memiliki 5 (lima) karakteristik berupa: Selanjut nya adalah stat us passage model. M odel ini
efektivitas, legal guilt , presumption of innocent , formal memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu proses
adjudicative dan preventive. Dalam crime control model penerimaan status bagi si terpidana oleh masyarakat yang
secara implisit mengutamakan kecepatan sehingga tingkah diw akili pengadilan. Ihw al status passage model ini, King
laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan berujar, this perspective stresses the function of the crimi-
sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Sedangkan nal court as institutions for denouncing the defendant, re-
dalam due process m odel diibaratkan seperti orang yang ducing his social status and promoting solidarity w ithin the
sedang melakukan lari gawang. Intinya kedua model tersebut community (Hiariej, 2010:6). Terakhir adalah power model
ada nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlaw anan. yang menekankan bahw a sistem peradilan pidana adalah
Packer mendikotomikan sistem peradilan pidana dalam instrumen dari (ruling class) golongan berkuasa yang
dua kategori tersebut, didasari oleh suatu fakta bahwa ada melakukan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok
perbedaan yang signifikan dalam pelaksanaan proses tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis minoritas.
kriminal. Karena itu kata Packer ada semacam ciri mendasar Sistem peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan
yang dapat membedakan antara crime control model dan yang berkuasa kendatipun terdapat perbedaan antara das
due process model. First, the crime cont rol model to the sollen dan das sein (Hiariej, 2010:6).
emphasize this adversary aspek of the process. The due Atas pem bedaan sistem peradilan pidana baik yang
process model tends t o make it cent ral. Second, in order dikemukakan oleh Packer maupun King t ersebut, Ben
to achieve t his high purpose, the criminal m odel requirs Em merson, Andrew Ashw ort h dan Alison M acdonald
that primary attention be pain to the efficiency w ith w ich mengatakan bahwa itu semua merupakan pembedaan yang
the criminal process operates to scren suspects determine klasik dalam sistem peradilan pidana. Pembedaan kedua
guilt and secure appropriate dispositions of prosoon con- m odel ini m erupakan hasil konf lik antara pem ikiran
victed of crime. Third, if the crime control model resembles konservatif dan liberal atau antara punishment dan reha-
an assembely line. The due process model look very much bilit at ion . Pem ikiran konservat if m enekankan p ad a
like an abstacle course. Fourth, t he persumpt ion of guilt, pentingnya memberikan hukuman kepada pelaku sebagai
as it operates in the crime control model (Packer, 1968:165- balasan atas kejahatan yang dilakukan. Sedangkan pemikiran
170). rehabilit ation beranggapan bahw a m eskipun pelaku
Kontestasi gagasan yang dikembangkan oleh Packer kejahatan telah m elanggar hukum tetapi ia diibarat kan
tersebut kemudian dilengkapi oleh M ichael King dengan sebagai orang yang tersesat sehingga harus direhabilitasi
menambahkan empat model lain yait u medical model, (Emmerson, Asw orth dan M acdonald, 2007:692). Dalam
bureaucratic model, status pasage model dan pow er model kosa kata lain, sesungguhnya hanya ada satu model peradilan
(Hiariej, 2010:5). Dalam medical model proses acara pidana pidana, kata John Graffit yakni the battle model. M odel ini
diibaratkan seperti mengobati orang sakit. Ditegaskan oleh digambarkan sebagai pertentangan atau pertarungan antara
King, the restoration of the defendant to a state of mental terdakwa melalui kuasa hukumnya melawan negara melalui
and social health w hereby s/he w ill be able to cope w ith aparatnya (Joyce, 2006:476).
the demands society makes oh him/her and refrain f rom Pendapat senada dikem ukakan oleh M uladi, yang
the conduct w hich causes further int ervention to be nec- mengkritik secara tajam keberadaan crime control model
essary. Bureaucratic model memandang sistem peradilan dan due process model. M enurut M uladi, crime control
pidana sebagai konf lik ant ara negara dan t erdakw a. model tidak cocok diterapkan sebab m engut am akan
Dikatakan demikian karena dengan aturan yang terbatas tindakan yang bersifat represif sehingga dikhaw atirkan
dalam beracara dan pembukt ian, negara bebas memilih berpotensi melanggar HAM , padahal hukum pidana lahir

115
dengan tujuan mencegah kesewenang-w enangan negara terpisah satu sama lain. Kedua, model yang dikemukakan
kepada warganya. Dengan kata lain melindungi HAM warga oleh M uladi, pada dasarnya relevan dan realist is bila
negara. Sed ang kan due p rocess m odel jug a t id ak dikorelasikan dengan perkembangan hukum pidana dan
sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti-authori- hukum acara pidana akhir-akhir ini. Harus diakui bahw a
tarian values. M odel yang cocok digunakan khususnya di KUHAP kita m asih t erlelu of fender oriented padahal
Indonesia adalah yang m engacu kepada daad-dader penderitaan korban jauh lebih dahsyat dan membutuhkan
strafrecht atau model keseimbangan kepentingan. M odel perhatian serius dari negara. Artinya belum seimbang
ini lebih realistik karena memperhatikan berbagai kepentingan perlakuan negara kepada pelaku dan korban kejahatan.
yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan Ket iga, ihw al crime control model dan due process
negara, kep ent ingan individu, kep ent ingan um um , model, keduanya tidak dianut secara ketat dalam praktik
kepentingan pelaku dan kepentingan korban kejahatan peradilan pidana kita. Pada satu sisi cenderung pada crime
(M uladi, 1995:15). control model, namun di sisi lain kelihatannya berkombinasi
Kembali pada pembagian sistem peradilan pidana yang dengan due process model. Sebagai contoh, asas presump-
d i k em b an g k an o l eh Pack er d an Ki n g , d al am tion of innocent tetap menjadi landasan normat if aparat
perkembangannya King menempatkan model-model sistem penegak hukum ketika memeriksa tersangka. Artinya,
peradilan pidana tersebut dalam dua pendekatan, yakni tersangka tetap dianggap tidak bersalah sampai ada putusan
participant approaches dan social approaches. Participant pengadilan yang inkracht . Tetapi secara formal KUHAP
approaches adalah sistem peradilan pidana dilihat dari sudut menegaskan dalam Pasal 17 bahw a penangkapan dan
pandang aparat penegak hukum, meliputi 3 model, yakni penahanan dilakukan terhadap seseorang yang “ diduga keras”
crime control model, due process model dan medical melakukan suatu tindak pidana. Itu artinya aparat penegak
model. Sedangkan social approaches adalah sistem peradilan hukum pada akhirnya menggunakan prinsip presumption
pidana dilihat dari sudut pandang masyarakat yang of guilt . Prinsip ini adalah salah satu ciri dari crime control
mencakup bureaucratic model, status passage model dan model.
pow er model. M enurut King, dalam participant approach,
ket iga model pert ama tersebut t elah mengident ifikasi 2. Memahami Restorative Justice
berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak James Dignan menguraikan sisi historis keadilan restoratif
hukum diberi kebebasan unt uk memilih mana yang akan (restorative justice), dengan mengatakan bahwa the term
digunakan. Ketiga model tersebut tidak ada satu model pun restorat ive justice is ussualy attributed to Albert Eglash
mengungguli yang lain, semuanya memiliki kelebihan (1977), w ho sought to differentiate between what he saw
masing-masing (Hiariej, 2010:7). as three distinct form s of crim inal just ice. The f irst is con-
Beradasarkan uraian tentang sist em peradilan pidana cerned w ith “ retributive justice” , in w ich the primary em-
tersebut, bila dihubungkan dengan hukum acara pidana di phasis is on punishing of fender for w hat they have done.
Indonesia, maka dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, The second relates to w hat he called “ distributive justice”
hukum acara pidana Indonesia pada dasannya tidak megenal in w ich the primary emphasis is on the rehabilitation of
integrated criminal justice system yang diungkapkan baik offenders. The third is concerned w ith “ restorative justice” ,
oleh Packer maupun King. Dalam KUHAP secara intrinsik w hich he broadly equated w ith the principle of restitution
telah ditetapkan kewenangan masing-masing aparat penegak (Dignan, 2005:94). Karena itu pembicaraan tentang restor-
hukum, m isalnya polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai ative justice tidak dapat dilepaskan dari seorang yang
penuntut dan hakim sebagai pemut us perkara pidana. bernama Albert Eglash yang pada tahun 1977 mem bagi
Dengan kata lain kit a m enggunakan asas diferensiasi tiga kategori peradilan pidana yakni retributive justice, dis-
fungsional (Satria, 2012:68). Artinya, masing-masing aparat tributive justice dan restorative justice. Singkatnya konsep
penegak hukum mem punyai tugas sendiri-sendiri dan restorative justice pertama kali diperkenalkan oleh Albert

116
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

Eglash. Joanna Shapland dengan mengutip argumentasi Marshall


N am u n d em ik i an jau h seb elu m A lb ert Eg l ash mendefinsikan restorative justice sebagai process whereby
mengemukakan gagasannya, peradaban dan tradisi Arab all the part ies w ith a stake in a particular offence come
Kuno, Yunani, Romawi Kuno dan Hindustan sebetulnya telah together to resolve collectively how to deal w ith the after-
mengenal keadilan restoratif khusus dalam kejahat an math of the offence and its implication for the future (von
penghilangan nyaw a. M eskipun pada saat it u t idak Hirsch, et.all, 2003:197). Keadilan restoratif adalah sebuah
menggunakan istilah keadilan restoratif tetapi paling tidak proses dimana para pihak (pelaku-korban) yang terlibat dalam
terdapat pendekatan restoratif. Demikian pula di kalangan kejahatan secara bersama-sama mengatasi tindakan tersebut
masyarakat Budha, Tao dan Konfusius yang jauh-jauh hari termasuk menyelesaikan dampaknya di masa mendatang.
telah mendorong keadilan restoratif dalam menyelesaikan Wayne R. LaFave menempatkan keadilan restoratif sebagai
masalah hukum mereka, melalui semboyan “ he who atones b ag i an d ar i t eo ri p em id anaan . LaFave kem u d i an
is f orgiven” art inya d ia yang m enebus, diam p uni. mengatakan, restorative justice its said, creates an avenue
Dit egaskan oleh John Braithw aite, restorat ive justice it to bring criminals and their victims together rather t han
grounding in traditions of just ice f rom the ancient Arab, keep them apart (LaFave, 2010:27). Dengan demikian
Greek, and Roman civilization, Indian Hindus, Taoist, and keadilan restoratif adalah berusaha membawa pelaku dan
Confucian that accepted a restorative approach even to korban kejahatan agar secara bersama-sama membahas
homicide, for whom “ he who atones forgiven” (Braithwaite, penyelesaian masalah mereka.
1998:323). Tegasnya kata Joshua Dressler, retorative justice empha-
Wesley Cragg mengaitkan kemunculan restorative jus- sizes the importance of elevating the role of crime victims
tice dengan teori retributif atau pembalasan dalam hukum and com munit y mem bers, holding offender directly ac-
pidana. M enuut Cragg teori pem balasan pada dasarnya count able to the people they have violeted, restoring the
kurang begitu berhasil dalam menekan terjadinya kejahatan. emotional and material losses of victim s, and providing a
Lebih parahnya lagi tidak mampu memperbaiki kerugian range of opportunities for dialogue, negotiation, and prob-
yang diderita oleh korban. Karena itu ada sebuah upaya lem solving, w hich can lead to a greater sense of commu-
untuk mengubah paradigma pemidanaan dari pembalasan nity saf ety, conflict resolution, and closure for all involved
menuju restoratif atau pemulihan (Cragg, 1992:138-140). (Drassler, 2002:1333). Jadi keadilan restotratif menekankan
Dalam perkembangannya konsep restorative justice tersebut pada pentingnya peran korban dan anggota masyarakat
terus berevolusi dengan berbagai istilah dan menjadi model untuk mendorong pelaku agar bertanggungjaw ab kepada
yang dominan dalam peradilan pidana pada sebagian besar korban, memulihkan kerugian emosional dan material
sejarah umat manusia dari segala bangsa (Braithw aite, ko rb an, m end oro ng d i alo g at au neg osiasi u nt uk
1998:324). Demikian pula John Braithw aite menyebut menyelesaikan masalah yang telah terjadi sehingga dapat
bahw a restorative justice pada awalnya dianggap sebagai menyelamatkan masyarakat dari konflik berkepanjangan.
model alternatif yang ditujukan untuk peradilan anak. Berkenaan dengan itu, Bazemore dan Walgrave kemudian
Dikatakan demikian karena model ini menitikberatkan pada mengemukakan tiga prinsip dalam keadilan restoratif. First,
keadilan dan kesejahteraan atau antara antara rehabilitasi it w ould seek to ensure that all parties are treat ed w ith
dan retribusi (Braithw aite, 2002:10). M enghukum pelaku equity, meaning that they and others in similar circumtances
kejahatan adalah penting dilakukan t etapi tidak boleh w ill feel that they are treated sim ilarly. Secondly, it w ould
melupakan upaya perbaikan pada m ental pelaku. Atas seek the statif ication of the victim, offender and commu-
gagasan ini Kathleen Daly menyebut restorative justice is a nit y. Thirdly, it w ould of fer legal prot ection of individuals
set of ideals about just ice t he assum es a generous, against unw arrant ed state action (Johnst one dan Ness,
emphatetic, supportive, and rational human spirit (Sullivan 2007:14). Argumentasi senada dikemukakan oleh Van Ness
dan Tifft, 2006:134). dan Strong yang mengidentifikasi tiga prinsip lain dalam

117
keadilan restoratif . First, justice requires that w e w ork to program es (program mediasi ant ara pelaku dan korban
heal victims, off ender and comm unities that have been kejahatan). Pendekatan ini diimplementasikan di w ilayah
injured by crime. Second, victim e, of fender and com mu- Amerika Utara. Third, conferencing initiatives (memprakarsai
nities should have the opport unity for active involvement pertemuan perundingan antara pelaku dan korban). M odel
in the justice process as early and as fully as posible. Third, ini diterapkan di w ilayah New Zealand – Selandia Baru
w e must rethink t he relative roles and responsibilities of (Braithw aite dan Strang, 2002:108). Fourt h, community
governm ent and com m unit y: in p rom ot ing just ice, reparation boards and panels (dew an dan panel komunitas
gouvernment is responsible for preserving a just order, and masyarakat), diterapkan dalam komunitas masyarakat
com munit y for establishing a just peace (Johnst one dan Skotlandia. Fif th, healing a sent encing circles artinya
Ness, 2007:15). perundingan pemidanaan, digunakan oleh masyarakat asli
Apabila mengacu pada definisi keadilan restoratif, berikut Kanada (Dignan, 2005:108)
prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya seperti yang Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada beberapa
diungkapkan oleh Bazemore dan Walgrave atau oleh Van hal yang dapat disimpulkan ketika berbicara tentang keadilan
Ness dan Strong di at as, kita akan mendapati adanya restoratif. Pertama, keadilan restoratif menekankan pada
p erg eser an p arad i g m a p em id an aan yan g sem u la upaya untuk mendorong pelaku agar memikirkan dan
menitikberat kan pada pembalasan – retributif menjadi memberi solusi (bertanggungjawab) atas kejahatan yang telah
pem ulihan – restorat if . Karenanya keadilan rest oratif dilakukannya kepada korban. Kedua, pihak pertama yang
berangkat pda beberapa nilai mendasar. First, restorative harus dipikirkan ketika terjadi kejahatan adalah korban sebab
justice is far more concerned about restortion of the victime korbanlah secara langsung merasakan akibat kejahatan
and victimized community than with ever more costly pun- tersebut. Ketiga, pelaku dan korban kejahatan selanjutnya
ishment of the offender. Second, restorative justice elevates dapat duduk bersama untuk mendiskusikan langkah-langkah
the importance of the vict im in the crim inal justice pro- yang dapat ditempuh guna memulihkan permasalahan yang
cess, through incrased involvement, input and services. terjadi (restitut io in integrum ). Keem pat , negara at au
Third, restorative justice requires that offenders be held pem erint ah harus m emast ikan bahw a proses pemulihan
directly accountable to the person and/or community that kepada korban berjalan sesuai kesepakatan bersama antara
they victimized. Fourt h, restorative just ice encourges the pelaku dan korban sehingga tidak menimbulkan konflik yang
ent ire community to be involve in holding the offender berkepanjangan. Kelima, masyarakat adalah menjadi bagian
accountable and promoting a healing response to the needs yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan keadilan
of victims and of fenders. Fifth, rest orative justice places restoratif antara pelaku dan korban. Komunitas masyarakat
greater emphasis on the offender acceepting responsibil- akan berperan penting untuk mendorong dan mendukung
ity for his or her behavior, and making amends w henever penyelesaian masalah dengan menekankan pada pemulihan
possible, than on the severity of punishment. Sixth, restor- atau perbaikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
ative justice recognizes a community responsibility for so- pelaku.
cial condition that contribute to offender behavior (Dressler, Selain keadilan restoratif (restorative justice) tersebut,
2002:1334). dalam literatur masih dikenal beberapa bentuk keadilan yang
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, maka lain, seperti keadilan masyarakat (community justice) yang
Jam es Dignan menaw arkan lima pendekatan (types of dikem ukakan oleh Todd R. Clear (Sulivan dan Tif f t ,
restortive justice approach), agar keadilan restoratif berhasil 2006:467); keadilan transisional (transitional justice) yang
dalam pelaksanaannya. First, court based restitutive and diprakarsai oleh Ruti G. Teitel (Teitel, 2000:163); dan keadilan
reparative measures (peradilan yang berdasarkan pada ganti transformatif (transformative justice) dipelopori oleh M . Key
kerugian dan pemulihan). M odel sepert i ini pert ama kali Harris (Sulivan dan Tifft, 2006:555). Diluar bentuk-bentuk
diterapkan di Inggris. Second, victime offender mediation keadilan tersebut masih ada dua bentuk keadilan lain yakni

118
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

keadilan korektif (corrective justice) dikemukakan oleh Ernest M iller, 2005:860). Briyan A. Garner memberi definisi yang
J. Weinrib (Weinrib, 2012:2); dan keadilan distributif serta lebih luas dengan mengatakan bahwa juvenile delinquency
keadilan prosedural (distributive justice and prosedural jus- is anti social behavior by a minor; behavior that w ould be
tice) diparkarsai oleh Kjell Tornblom dan Riel Verm unt criminally punishable if the actor were an adult but instead
(2007:1). Bahkan di abad modern ini, sekitar tahun 1971 is use punished by special law s pertaining only to minors-
seorang filosof dari Harvard University bernama John Raw ls also termed delinquen minor (Garner, 2004:884). Ada dua
menuliskan gagasannya dalam sebuah buku dengan judul hal yang dapat disim pulkan dari argum ent asi yang
A Theory of Justice dan Justice as Fairness. Kedua buku ini dikemukakan oleh Richard A. Wright dan J. M itchell M iller
menjadi literatur yang sangat memadai ketika membahas serta Briyan A. Garner tersebut . Pertama, juvenile delin-
teori keadilan terutama hubungannya dengan dasar-dasar quency adalah tindakan melanggar hukum – melaw an
filsafat politik guna mew ujudkan kesejahteraan masyarkat hukum yang dilakukan oleh anak (bukan orang dew asa)
(Rawls, 1999:2). Penjelasan lebih juah ihwal bentuk-bentuk yang kemudian dapat diadili pada pengadilan anak. Kedua,
keadilan tersebut akan penulis uraikan pada kesempatan yang perbuatan it u seharusnya sudah menjadi kejahatan bila
lain. dilakukan oleh orang dewasa tetapi karena dilakukan oleh
anak maka hanya dianggap sebagai kenakalan anak.
3 . Restorative Justice dalam Peradilan Anak di Bertalian dengan itu, Paul W. Tapan kemudian menyebut
juvenile delinquency is a person w ho has been adjudicated
Indonesia
as such by a court of proper jurisdiction thought he may
Ide keadilan restoratif pada dasarnya tidak dapat
be no dif f erent , up w ho are not delinquent (Tapan,
dipisahkan dari perbuatan pidana atau pelanggaran hukum
1994 :30). At as argum ent asi Tapan ini, m aka Rom li
yang dilakukan oleh seseorang terutama anak. Dalam hal
Atmasamita mengatakan bahwa istilah delinquency tidak
ini seorang anak (di baw ah umur) telah melakukan suatu
identik dengan istilah kenakalan dan istilah juvenile tidak
perbuatan yang mana perbuatan tersebut dikat egorikan
identik dengan istilah anak. Istilah juvenile delinquency lebih
sebagai pelanggaran ketent uan pidana sehingga harus
luas artinya dari pada istilah kenakalan ataupun istilah anak-
diproses hukum guna pertanggungjawaban pidana. Dengan
anak. Romli kemudian m enegaskan bahw a lebih tepat
kata lain anak sedang terlibat dalam suatu kejahatan, biasa
menggyunakan istilah kenakalan anak dari pada kejahatan
juga disebut sebagai delinkuen (Cloword dan Ohlin, 1988:2-
anak-anak. Bila diperhatikan lebih dalam penjelasan Romli
5). Istilah delinkuen berasal dari delinquency (Inggris) yang
tersebut, maka sebetulnya tidak terlalu mempengaruhi
berarti kenakalan anak atau kenakalan remaja (Soetedjo,
hakikat juvenile delinquency sebab telah diakui sejak aw al
2008:8). Sering pula disebut dengan istilah juvenile delin-
bahwa kenakalan anak dalam literatur disebut sebagai de-
quency yang artinya adalah sama dengan delinquency.
linquency – delinkuen. Jadi Romli hanya memberi penekanan
Nam un demikian diyakini bahw a delinquency lebih luas
secara psikologis ihwal pentingnya membedakan perlakuan
cakupannya dibanding juvenil delinquency. Delincuency
antar perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang dew asa
dapat berupa pelanggaran hukum positif (writen law ) tetapi
dan anak-anak. Bagi orang dew asa pelanggaran hukum
dapat juga hukum yang tidak tertulis (unw riten law ).
mutatis mutandis disebut sebagai kejahatan sedangkan bagi
Sedangkan juvenile delinquency dikonot asikan sebagai
anak-anak itu adalah kenakalan.
pelanggaran hukum yang tertulis atau positive law -w riten
Kem bali ke pembahasan t entang restorat ive justice,
law /rule (Cloword dan Ohlin, 1988:18).
ketika seorang anak melakukan pelanggaran hukum (juve-
Richard A. Wright dan J. M itchell M iller mendefinisikan
nile delinquency) m aka anak t ersebut akan m engalami
juvenile delinquency sebagai any action by someone des-
proses hukum. Proses tersebut tentunya akan berbeda dengan
ignated a juvenile (non adult) that would make such a young
orang dew asa. Pada saat ini di Indonesia proses peradilan
person subject to action by the juvenile court (Wright dan
pidana kepada anak diatur melalui Undang-Undang Nomor

119
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam pidana (Pasal 7 ayat (2) UU SPP Anak). Diversi tersebut
peraturan a quo memperkenalkan pranata baru peradilan dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
yang disebut dengan diversi dan keadilan restoratif. Diversi orang t ua/w alinya, korban dan/atau orang tua/w alinya
diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana berdasarkan pendekatan keadilan restoratif (Pasal 8 UU SPP
(Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak). Sedangkan keadilan restoratif Anak). Agar lebih akuntabel maka proses diversi tersebut
adalah penyelesaian perkara t indak pidana dengan wajib memperhatikan: kepentingan korban; kesejahteraan
melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban, dan dan tanggungjawab anak; menghindarkan stigma negatif;
pihak lain yang t erkait untuk bersama-sam a mencari penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat;
penyelsaian yang adil dengan menekankan pemulihan kepatutan, kesusilaan dan ketertibaan umum (Pasal 8 ayat
kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal (3) UU SPP Anak).
1 angka 6 UU SPP Anak). Intinya untuk mencapai rest or- Pal i n g t i d ak t er d ap at em p at h al yan g d ap at
ative justice maka dapat ditempuh melalui diversi. Diversi dipertimbangkan penyidik, penuntut umum dan hakim ketika
ini bersifat wajib dan dapat dimulai sejak tahap penyidikan, akan m elakukan diversi dalam perkara hukum yang
penuntutan hingga tahap pemeriksaan di sidang pengadilan melibatkan anak. Pertama, kategori tindak pidana. Kedua,
anak (Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak). umur anak. Ketiga, hasil penelit ian kemasyarakatan dari
Kay Pranis mengusulkan agar pelaksanaan diversi atau BAPAS. Keempat, dukungan lingkungan keluarga dan
keadilan restoratif (restorat ive justice) dapat terlaksana masyarakat (Pasal 9 ayat (1) UU SPP Anak). Jadi diversi tidak
dengan baik maka perlu ditempuh langkah-langkah berikut: serta merta diberikan dalam perkara hukum yang melibatkan
pertama, pelatihan dan informasi tentang keadilan restoratif anak tetapi harus berdasarkan empat pertimbangan tersebut.
dan model apa yang dapat diterapkan dalam masyarakat. Hal ini sangat penting sebab akan berpengaruh terhadap
Kedua, memberikan pendidikan secara mandiri kepada aparat kondisi psikologi dan sosial anak dan korban beserta
pelaksana keadilan restoratif tentang kondisi masyarakat keluarganya. Untuk itulah setiap diversi harus mendapatkan
tem pat akan dilasanakannya keadilan restoratif. Ketiga, persetujuan dari korban dan keluarganya. Namun demikian
mengidentifikasi pemimpin yang berkem ampuan dan dalam hal-hal tertentu diversi tersebut tidak membutuhkan
berpengaruh dalam masyarakat sekitarnya melalui informasi- lagi persetujuan korban dan keluarganya dengan sejumlah
inf ormasi at au catatan-cat atan mengenai orang-orang alasan, antara lain: tindak pidana berupa pelanggaran; tindak
tersebut. Keempat, memahami peran kelompok masyarakat pidana ringan; tindak pidana tanpa korban; nilai kerugian
yang memungkinkan dapat diajak bekerjasama. Kelima, korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
menjelaskan tanggungjaw ab masing-masing pihak yang (Pasal 9 ayat (2) UU SPP Anak).
terlibat dalam pelaksanaan keadilan restoratif (Pranis, Keberhasilan pelaksanaan diversi dalam peradilan anak,
1998:14). juga dipengaruhi oleh rekomendasi dari pembimbing
Adapun t ujuan diversi meliputi lima hal. Pertam a, kemasyarakatan berupa: pengembalian kerugian dalam hal
mencapai perdamaian ant ara korban dan anak. Kedua, ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan
menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. Ketiga, kembali kepada orang tua atau w ali, keikutsertaan dalam
menghindarkan anak dari proses perampasan kemerdekaan. pendidikan dan pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS
Keempat , mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. paling lama 3 (tiga) bulan, dan pelayanan masyarakat pal-
Kelima, at au yang terakhir adalah menanamkan rasa ing lama 3 (tiga) bulan. Putusan atau hasil kesepakatan diversi
tanggungjawab kepada anak (Pasal 6 UU SPP Anak). Syarat dapat berbentuk lima hal (Pasal 10 ayat (2) UU SPP Anak):
agar perkara pidana anak dapat dikenakan diversi ada dua 1. M encapai perdamaian antara korban dan anak,
yakni pertama, diancam dengan pidana penjara di bawah 2. M enyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,
tujuh tahun. Kedua, bukan merupakan pengulangan tindak 3. M eng hi nd ark an anak d ar i p r oses p eram p asan

120
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

kemerdekaan, secara substantif tidak semua perkara pidana yang dilakukan


4. M endorong masyarakat untuk berpartisipasi, oleh anak dapat dikenakan diversi atau keadilan restoratif,
5. M enanamkan rasa tanggungjaw ab kepada anak (Pasal melainkan harus sesuai dengan persyaratan dalam peraturan
11 UU SPP Anak). a quo. Ketiga, guna mencapai keadilan restoratif peran serta
Adakalanya perkara anak tidak dapat diselesaikan melalui korban atau keluarganya menjadi sangat menentukan.
proses diversi, misalnya karena tidak adanya kesepahaman Keempat, konsep diversi atau keadilan restoratif pada dasarnya
atau kesepakatan antara anak at au keluarganya dengan lebih condong mengakomodasi tujuan pemidanaan yang
korban atau ada kesepahaman tetapi tidak dilaksanakan. rehabilitatif-restoratif. Kelima, bila dihubungkan dengan tipe
Dalam hal demikian maka proses peradilan anak dilanjutkan pendekatan restoratif justice yang dikemukakan oleh James
ke persidangan untuk mendapatakan putusan hakim (Pasal Dignan, maka peraturan a quo menggunakan dua pen-
13 UU SPP Anak). dekatan yakni pendekatan mediasi korban dan pelaku (victi-
Secara implisit keadilan restoratif juga dapat dijumpai m offender mediation ) serta pendekatan peradilan yang
dalam RUU KUHP 2013. M eskipun t idak secara tegas berdasarkan pada ganti kerugian dan pemulihan (court based
menggunakan nomenklatur keadilan restoratif tetapi pada restitutive and reparative measure).
Pasal 116 RUU, dengan tegas membagi jenis pidana pada
anak berupa pidana verbal, pidana dengan syarat, pidana IV. KESIM PULAN
denda dan pidana pembatasan kebebasan. Dalam pidana Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa
verbal bentuknya bisa sanksi pidana teguran keras atau pidana hal yang dapat disimpulkan dalam tulisan ini. Pertama, ada
peringatan. Sedangkan pidana dengan syarat dapat berupa: pergeseran paradigma pemidanaan dari hukum pidana klasik
pembinaan di luar lembaga, pidana kerja sosial dan pidana ke hukum pidana modern. Perubahan tersebut dalam konteks
pengawasan. Konstruksi norma yang demikian menunjukan Indonesia dari ret ribut if ke rest it orat if , yang d alam
bahw a pem bentuk RUU KUHP kelihat annya berusaha pem bacaan M uladi disebut sebagai konsep daad-dader-
mendesain sanksi pidana anak dari yang paling ringan hingga strafrecht atau model keseimbangan kepentingan. Kedua,
yang paling berat. Sebab pidana pembatasan kebebasan dalam UU SPP Anak, aroma pergeseran itu sangat jelas terasa.
dit empatkan paling akhir dengan syarat yang signifikan, Anak yang melakukan tindak pidana, tidak mutatis mutan-
misalnya jika anak terlibat dalam tindak pidana berat atau dis di baw a dalam peradilan pidana tetapi dimungkinkan
tindak pidana lain dengan kekerasan. Dengan demikian sanksi unt uk diselesaikan diluar sidang pengadilan, m odel ini
pidana berat menjadi upaya terakhir yang dapat diterapkan disebut sebagai diversi. Pendeknya paradigma peradilan
kepada anak yang melakukan tindak pidana. Pendeknya RUU pidana, khusus dalam peradilan anak telah bergeser ke arah
KUHP pun berusaha mengakom odasi keadilan restoratif rest orat if . Ket iga, d alam penyelesaian perkara anak
dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh anak. diupayakan agar pelaku dan keluarganya serta korban dan
Kembali pada konsep keadilan restoratif dalam UU SPP keluarganya dapat duduk bersama untuk mem bicarakan
Anak, bila melihat proses tercapainya keadilan restoratif yang penyelesaian maslalah termasuk pemulihan kepada korban
ditempuh melalui diversi dalam peradilan anak sesuai dengan (restitution in integrum ). Konsep ini dim aknai sebagai
peraturan a quo, maka ada beberapa hal yang dapat keadilan restorat if. Keempat, guna mencapai keadilan
disimpulkan. Pertama, keadilan restoratif yang ditempuh restoratif peran serta korban atau keluarganya menjadi sangat
melalui diversi dalam peradilan anak sesungguhnya bukanlah menentukan. Kelima, keadilan restoratif hakikatnya adalah
pranata hukum baru dalam peradilan pidana sebab jauh memberi hukuman kepada pelaku tetapi hukuman tersebut
sebelum lahirnya UU sistem peradilan pidana anak, dalam bersifat mendidik sehingga memberi manfaat baik kepada
si st em h u k u m n eg ar a l ai n t el ah m en g en al d an p elaku m aup un korban. Keenam , perat uran a quo
memberlakukan keadilan restoratif seperti yang telah penulis menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan mediasi
uraikan pada bagian memahami keadilan restoratif. Kedua, korban dan pelaku (victim offender mediation) seperti yang

121
diterapkan di Am erika Utara sert a pendekat an yang 18 Mare 2010.
menekankan pada ganti kerugian dan pemulihan (court Johnstone, Gerry and Van Ness, Daniel W., 2007, Hand-
book of Restorative Justice, Willian Publishing, USA &
based restitutive and reparative measure), seperti yang
Canada.
dipraktikan di Inggris.
Joyce, Peter, 2006, Criminal Justice: An Introduction ro Crime
and The Criminal Justice System, Willian Publishing, USA
DAFTAR PUSTAKA and Canada.
Atmasasmita, Romli, 2010, Naskah Akademik Rancangan Kadish, Sanford H, 1983, Encyclopedia of Crime and Justice,
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana , Jurnal Polisi The Free Press Collier Macmillan Publisher, New York-
Indonesia, Edisi XIII/Jakarta. London.
________________________, 2010, Sistem Peradilan Pidana LaFave, Wayne R, 2010, Principles of Criminal Law (Second
Kontemporer, Kencana Pernada Media Group, Jakarta. Edition), West A Thomson Bussines, USA.
Braithwaite, John, 1998, Restorative Justice, dalam Michael Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi),
Tonry, The Handbook of Crime and Punishment, Oxford Rineka Cipta, Jakarta.
University Press, New York. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Badan
_____________________, 2002, Restorative Justice and Re- Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
sponsive Regulation, Oxford University Press, New York. Packer, Hebert L, 1968, The Limits of the Criminal Sanction,
Cloword, Richard A. and Ohlin, Lloyd E., 1988, Delin- Oxford University Press.
quency and Oportunity: Theory of Delinquen Gangs, The Strang, Heather and Braithwaite, John, Restorative Justice
Free Press Collier Macmillan Publishing, New York. and Family Violence, Cambridge University Press, Lon-
Cragg, Wesley, 1992, The Practice of Punishment: Toward a don-UK.
Theory of Restorative Justice, Routledge Taylor and Francis Pranis, Kay, 1998, Engaging The Community in Restorative
Group, London and New York. Justice: Balanced and Restorative Justice, Minesota Press,
Dennis Sulivan and Larry Tifft, Handbook of Restorative Florida.
Justice: A Global Perspective, Routledge, Taylor & Francis Rawls, John, 1999, A Theory of Justice (Revised Edition),
Group, London and New York. Harvard University Press, United States of America.
Dignan, James, 2005, Understanding Victim and Restorative Reksodiputro, Marjono, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indo-
Justice, Open University Press, New York. nesia, Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam
Dressler, Joshua, 2002, Encyclopedia of C rime and Justice: Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Penerimaan
Abortion-Cruel & Unusual Punishment (Volume 1), Gale Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada
Group Thomson Learning, New York. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
___________________, 2002, Encyclopedia of Crime and Satria, Hariman, 2012, Penerbitan SKPP oleh Kejaksaan Dalam
Justice: Juvenile Justice, Juvenile Court-Rural Crime (Volume Proses Peradilan Pidana , Genta Publishing, Yogyakarta.
III), Gale Group Thomson Learning, New York. Hirsch, Andrew von, Roberts, Julian, Bottoms, Anthony
Emmerson, Ben, Ashworth, Andrew and Macdonald, E, Roach, Kent and Schiff, Mara, Restorative Justice &
Alison, 2007, Human Rights and Criminal Justice (Second Criminal Justice: Competing or Reconcilable Paradigms, Hart
Edition), Thomson Sweet and Maxwell, Toronto. Publishing, Oxford and Portland Oregon, England.
Garner, Bryan A, 2004, Blacks Law Dictionary (Eight Edi- Soetedjo, Wagiati, 2008, Hukum Pidana Anak , Refika
tion), West Thomson Publishing, New York. Aditama, Bandung.
Hamzah, Andi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Tapan, Paul W, 1994, Juvenile Delinquency, McGraw Hill
& Perkembangannya , PT Sofmedia, Jakarta. Bokk, New York-London.
Harris, M. Key, 2006, Transformatif Justice: The Transforma- Teitel, Ruti G., 2000, Transnational Justice, Oxford Univer-
tion of Restorative Justice, Routledge, Taylor & Francis sity Press, New York.
Group, London and New York. Tornblom, Kjell dan Vermunt, Riel, 2007, Distributive Jus-
Hiariej, Eddy O.S, Asas Legalitas Dalam Hukum Aacara Pidana, tice and Procedural Justice: Research and Social Aplication,
disampaikan dalam seminar RU U KU HAP dalam Ashgate Publishing Limited, Hampshire-England.
tema: Problem dan Prospek RUU Hukum Acara Pidana Travis III, Lawrence F, 2012, Introduction Criminal Justice
Tim Pokja Nasional, Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, (Seventh Edition), Anderson Publishing, London.

122
VOL. 25 NO. 1
JUNI 2018

Utrech, E, 1986, Hukum Pidana 1: Suatu Pengantar Hukum


Pidana Untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum,
Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya.
Weinrib, Ernest J, 2012, Corrective Justice, Oxford Univer-
sity Press, New York.
Yeni W idowaty dan Fadia Fitriyanti, Membangun Model
Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Sebagai Korban
Pencema ra n Da n/ Ata u Perusak a n L ingkunga n Oleh
Korporasi Dengan Prinsip Restorative Justice, Jurnal Media
Hukum Vol 21, No 1 (2014)
Wright, Richard A and Miller, J. Mitchell, 2005, Encyclo-
pedia of Criminology (Volume 2), Routledge Taylor and
Francis Group, New York-London.

123

You might also like