You are on page 1of 22

1

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Hemodialisis Sustained Low-Efficiency Dialysis:
Indikasi dan Penatalaksanaannya
I Made Arya Winangun1, I Gde Raka Widiana2
1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Univeritas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
2
Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Univeritas
Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
Korespondensi: I Made Arya Winangun/081337682660/
arya_winangun77@yahoo.com

ABSTRACT
Acute kidney injury (AKI) and chronic kidney disease (CKD) are still a global health
burden with an increasing number of events every year. The global incidence of AKI
reaches 21.6% with a mortality rate of 23.9%. AKI is associated with the need for renal
support therapy by 4-5%. AKI that persists in a long period can lead to CKD. The
global prevalence of CKD in 2016 ranged from 11-13% with a prevalence of CKD
stage 5 was around 1%. CKD are associated with economic burdens, increase risk of
cardiovascular disease and mortality. One of treatments to prevent morbidity and death
in AKI and CKD is through hemodialysis. Sustained low-efficiency dialysis (SLED) is
a form of conventional hemodialysis but with an extended dialysis duration for 6-12
hours per dialysis session. In SLED, there is a decrease in blood flow, decrease in
dialysate flow and increase in dialysis duration to reduce the excess of fluid more safely
with more stable hemodynamic conditions. SLED provides results that are almost the
same as 24 hours continuous hemodialysis in patients with unstable hemodynamics but
with more an affordable cost. Understanding the use and mechanism of SLED is
important to manage patients with AKI and CKD in unstable hemodynamic conditions.
Keywords: AKI, CKD, hemodialysis, SLED.

1
2

PENDAHULUAN
Gangguan ginjal akut (GGA) dan penyakit ginjal kronik (PGK) masih menjadi beban
kesehatan di dunia dengan angka kejadian yang terus meningkat setiap tahunnya.
Angka insiden GGA secara global mencapai 21,6% dengan angka mortalitas 23,9%.1
Di daerah Asia Timur, angka insiden GGA sebesar 14,7% dengan angka mortalitas
36,9%.1 Angka prevalensi GGA bervariasi dari 1% sampai 66%.2 Hoste dkk
menyebutkan pada tahun 2015, prevalensi GGA di Asia Tenggara yaitu 31%.2 GGA
dapat menggambarkan kondisi dari suatu kompikasi penyakit yang serius.3,4 GGA
diasosiasikan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan perlunya terapi
pengganti ginjal sebanyak 4-5%.3,5,6 Keadaan GGA yang berlangsung lama pun dapat
berujung pada kondisi PGK.
PGK secara global pada tahun 2016 memiliki prevalensi berkisar antara 11-
13% dengan mayoritas pasien berada pada PGK stadium 3.7 Angka prevalensi PGK
stadium 5 di dunia pada tahun 2016 yaitu sebesar 1%.7 PGK diasosiasikan dengan
meningkatnya beban ekonomi, berkurangnya kualitas hidup, meningkatnya risiko
kardiovaskular dan mortalitas.8-10 Salah satu penanganan yang dapat dilakukan untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas pasien GGA dengan penurunan fungsi ginjal yang
signifikan dan PGK stadium 5 yaitu melalui hemodialisis (HD).
Hemodialisis masih menjadi terapi yang sering dipergunakan dalam tatalaksana
gangguan ginjal selain dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal.9,11,12 Sekitar 2 juta
pasien menjalani hemodialisis di seluruh dunia, sedangkan di Indonesia sendiri
diperkirakan sekitar 15 ribu orang yang menjalani hemodialisis.9 Hemodialisis
merupakan pelayanan kesehatan dengan karakteristik biaya tinggi, volume tinggi dan
dengan risiko yang tinggi.8 Hemodialisis didefinisikan sebagai proses pengubahan
komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran
semipermiabel (membran dialisis).9 Hemodialisis merupakan cara untuk mengganti
sebagian fungsi ginjal dengan membuang bahan-bahan seperti air dan toksin uremik
keluar tubuh.8
3

Hemodialisis dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu intermittent


hemodialysis (IHD), sustained low-efficiency dialysis (SLED) atau prolonged
intermittent renal replacement therapy (PIRRT) atau disebut juga dialisis hibrid,
dialisis peritoneal dan continous renal replacement therapy (CRRT). IHD merupakan
HD konvensional yang umum dan rutin dilakukan. IHD dilakukan intermittent yang
berarti lama dialisis 4 jam sebanyak 2-3 kali setiap minggu.4 CRRT merupakan dialisis
yang dilakukan secara berkelanjutan sampai dengan 24 jam.4 SLED disebut juga
dengan dialisis hibrid karena merupakan penggabungan antara teknik IHD dengan
CRRT.4 SLED serupa dengan IHD namun dengan lama dialisis yang diperpanjang
sampai 6-12 jam.4,13
SLED merupakan bentuk IHD dengan lama dialisis yang diperpanjang setiap
sesi dialisis disertai adanya penurunan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat
sehingga dapat mengurangi kelebihan cairan dengan lebih aman. SLED diindikasikan
pada pasien yang memerlukan dialisis dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil.3
Hemodinamik yang tidak stabil mencakup adanya penurunan tekanan darah,
penurunan mean arterial pressure (MAP) <65 mmHG, syok, penggunaan vasopressor
atau inotropik, gangguan fungsi jantung dengan berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel
kiri <35% dan adanya kejadian aritmia sebelum HD.3
SLED memiliki keuntungan dibandingkan IHD melalui kecepatan yang rendah
dalam mengeluarkan cairan dengan kontrol terhadap azotemia yang lebih baik, keadaan
hemodinamik yang dapat ditoleransi bahkan pada pasien kritis, keseimbangan asam
basa dan elektrolit yang lebih baik dan kadar kimia darah yang lebih stabil.13 Pada
peralatan dan sumber daya manusia yang tidak tersedia atau terbatas dalam
mengerjakan CRRT, SLED memberi keuntungan dan hasil yang hampir sama seperti
dialisis CRRT pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil namun dengan biaya
yang lebih terjangkau.13,14 Dengan demikian, pemahaman mengenai hemodialisis jenis
SLED, indikasi penggunaannya dan mekanismenya menjadi penting dalam tatalaksana
pasien GGA dan PGK yang memerlukan dialisis terutama dengan kondisi
hemodinamik yang tidak stabil.
4

GANGGUAN GINJAL AKUT


Gangguan ginjal akut merupakan kondisi penurunan laju filtrasi ginjal yang cepat.2
Berdasarkan Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) mendiagnosis
GGA derajat 1 yaitu peningkatan kreatinin ≥0,3 mg/dl dalam 48 jam atau 1,5-2 kali
lipat dari nilai dasar referensi atau produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam selama 6 jam. GGA
derajat 2 yaitu peningkatan kreatinin 2-2,9 kali dari nilai dasar referensi atau produksi
urin <0,5 ml/kgBB/jam selama 12 jam. GGA derajat 3 yaitu peningkatan kreatinin >3
kali dari nilai dasar atau peningkatan kreatinin ≥4 mg/dl atau telah memerlukan terapi
pengganti ginjal atau produksi urin <0,3 ml/kgBB/jam selama 24 jam atau anuria
selama 12 jam.2,4,6
Gangguan ginjal akut diasosiasikan dengan perlunya tindakan dialisis. Sekitar
4-5% pasien GGA memerlukan terapi pengganti ginjal.3 Hoste dkk menyebutkan
bahwa GGA pada pasien rawat inap yang bukan di ruang rawat intensif terjadi pada 1
dari 5 pasien dan memerlukan dialisis <10%, GGA pada pasien kritis terjadi pada 1
dari 3 pasien dan memerlukan dialisis 5-11%, dan GGA pada pasien sepsis terjadi pada
1 dari 2 pasien dan memerlukan dialisis sampai 15%.2 GGA dalam perawatan intensif,
biasanya disertai dengan gagal jantung, syok, gagal hati atau kondisi komorbid
lainnya.5 GGA pada perawatan intensif dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil
merupakan indikasi dilakukannya SLED atau CRRT.5,14 Pasien yang memerlukan
dialisis pada ruang rawat intensif dengan dialisis yang dilakukan melalui SLED atau
secara berkelanjutan pada CRRT disebutkan memiliki luaran yang lebih baik.5,14

PENYAKIT GINJAL KRONIK


Penyakit ginjal kronik merupakan proses patologis dengan etiologi yang beragam,
terjadinya penurunan fungsi ginjal yang progresif yang dapat berakhir dengan keadaan
gagal ginjal.11 Gagal ginjal merupakan keadaan klinis dengan penurunan fungsi ginjal
yang ireversibel dan pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.11 Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu
kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, dengan kelainan struktural atau
5

fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
gambaran kelainan patologis, tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam hal pencitraan.11 Kriteria lain yaitu meliputi LFG
yang kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa adanya
kerusakan ginjal.11
Penatalaksanaan PGK meliputi terapi spesifik terhadap penyakitnya,
pencegahan dan terapi terhadap komorbiditasnya, memperlambat progresivitas
perburukan penyakit ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,
dan terapi pengganti ginjal baik berupa dialisis ataupun transplantasi ginjal.11 Terapi
pada penyakit ginjal yang baik yaitu terapi terhadap penyakit dasarnya sebelum terjadi
penurunan LFG.11 Pada LFG yang sudah menurun 20-30%, terapi terhadap penyakit
dasarnya disebutkan sudah tidak terlalu bermanfaat.11 Terapi pengganti ginjal
dilakukan pada PGK stadium 5 atau LFG yang kurang dari 15 ml/menit yang dapat
dilakukan melalui suatu hemodialisis.11

JENIS-JENIS HEMODIALISIS
Hemodialisis secara umum dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu intermittent
hemodialysis, sustained low-efficiency dialysis atau prolonged intermittent renal
replacement therapy atau dialisis hibrid, dialisis peritoneal dan continous renal
replacement therapy. Pada IHD atau hemodialisis konvensional, difusi dan ultrafiltrasi
terjadi bersamaan dan dilakukan secara intermittent. Pada SLED, terjadi difusi dan
ultrafiltrasi dengan aliran darah dan dialisat yang pelan dan dilakukan secara
intermittent. Pada dialisis peritoneal dapat terjadi difusi dan ultrafitrasi dengan
intermitten atau terus-menerus. Pada CRRT, terjadi difusi dan atau ultrafiltrasi dengan
aliran darah dan dialisat yang pelan dan dilakukan secara terus-menerus.6 Dialisis yang
mencakup hemodialisis konvensional, dialisis hibrid dan dialisis peritoneal memiliki
prinsip dasar osmosis atau dialisis, sedangkan CRRT memiliki prinsip dasar filtrasi
atau konveksi.4 Jenis-jenis dari hemodialisis dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok seperti yang tertera pada tabel 1.
6

Tabel 1. Jenis-jenis hemodialisis.4


Intermittent (<12 jam/hari) Continous (24 jam)
Intermittent hemodialysis (IHD) Dialisis peritoneal
Dialisis hibrid Continous renal replacement therapy (CRRT)
Extended daily dialysis Slow continous ultrafiltration
(EDD) (SCUF)
Slow continous dialysis Continous arterio-venous hemofiltration
(SCD) (CAVH)
Sustained low-efficiency Continous veno-venous hemofiltration
dialysis (SLED) (CVVH)
Sustained low-efficiency daily Continous arterio-venous hemodialysis
dialysis (SLEDD) (CAVHD)
Sustained low-efficiency daily Continous veno-venous hemodialysis
dial-filtration (SLEDD-f) (CVVHD)
Continous arterio-venous hemodia-filtration
(CAVHDF)
Continous veno-venous hemodia-filtration
(CVVHDF)

Intermittent Hemodialysis
Intermittent hemodialysis atau disebut juga intermittent renal replacement therapy
(IRRT) merupakan dialisis konvensional yang rutin dilakukan. Dialisis dilakukan
intermittent yang berarti 4-5 jam setiap dialisis dengan 2-3 kali setiap minggunya.4
Teknik ini relatif mudah dilakukan dengan proses dialisis dan filtrasi yang efisien
karena waktu yang singkat <12 jam.4 IHD memiliki keuntungan yaitu pasien memiliki
waktu lebih banyak untuk mencari diagnosis, terapi dan intervensi di luar saat dialisis,
baik untuk hiperkalemia berat dan biaya yang relatif murah.6 Penggunaan heparin lebih
sedikit dibandingkan CRRT sehingga memiliki risiko rendah untuk perdarahan.4
Adekuasi dialisis dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi dialisis setiap hari
atau 5 kali/minggu dengan lama diperpanjang menjadi 4-8 jam yang kemudian dikenal
dengan extended daily dialysis (EDD).4
Kerugian IHD yaitu sulit dalam mengontrol hemodinamik atau dosis dialisis
yang dapat tidak mencukupi.6 Pada IHD, konsentrasi solut darah dan retensi air atau
natrium memiliki kondisi waktu yang tidak regular dengan nilai puncak tercatat
7

sebelum sesi HD dan rendah saat akhir HD.8 Proses dialisis dan filtrasi yang dilakukan
dalam waktu singkat dan bersamaan dapat memberi kerugian berupa hemodinamik
yang tidak stabil.4

Dialisis Hibrid
Dialisis hibrid atau disebut juga PIRRT merupakan penggabungan atau hibrid antara
teknik IHD dengan CRRT terutama continous veno-venous hemofiltration (CVVH).4
Dialisis hibrid disebut juga dengan PIRRT karena tindakan yang lebih dari 6 jam,
dilakukan intermittent atau tidak terus menerus selama 24 jam.4 Walaupun demikian,
nomenklatur PIRRT ini belum digunakan secara umum.4 Dialisis hibrid memiliki
keunggulan dibandingkan IHD terutama pada pasien dengan kondisi hemodinamik
yang tidak stabil. Pada dialisis hibrid, aliran dialisis atau Qd dan aliran darah atau Qb
diperlambat sehingga risiko ketidakstabilan hemodinamik dapat dikurangi dan durasi
dibuat lebih lama 6-12 jam sehingga tercapai efisiensi yang cukup.4 Keunggulan
dialisis hibrid dibandingkan CRRT yaitu dialisis yang tidak dilakukan selama 24 jam
sehingga pasien dapat memiliki waktu untuk dilakukan tindakan atau prosedur lain
selain saat dialisis.4 Dialisis hibrid mencakup extended daily dialysis (EDD), slow
continous dialysis (SCD), sustained low-efficiency dialysis (SLED), sustained low-
efficiency daily dialysis (SLEDD), dan sustained low-efficiency daily dial-filtration
(SLEDD-f).4,13
Extended daily dialysis pertama kali diperkenalkan oleh De Palma tahun 1969
untuk meningkatkan adekuasi dialisis.4 EDD dilakukan bila hemodinamik cukup stabil.
Teknik ini merupakan peningkatan dari IHD menjadi HD setiap hari atau 5x/minggu,
dengan lama 4 sampai 8 jam.4 Dialisis yang diperpanjang atau dilakukan setiap hari
disebutkan dapat mengurangi angka kematian pada PGK.4 Kecepatan Qd dan Qb dapat
normal dengan ultrafiltrasi yang diturunkan dengan lama dialisis diperpanjang untuk
mencapai target ultrafiltrasi.4 Teknik ini dipergunakan terutama bila memerlukan
proses dialisis ureum yang tinggi disamping proses filtrasi.4 Ultrafiltrasi dapat
diturunkan sehingga hemodinamik dapat lebih stabil.4
8

Sustained low-efficiency dialysis (SLED) merupakan bentuk IHD dengan


memperlambat aliran darah Qb dan aliran dialisis Qd dengan lama HD diperpanjang
menjadi 6-12 jam setiap sesi sehingga dapat mengurangi kelebihan cairan dengan lebih
aman.4,13 Teknik SLED mempunyai efisiensi yang mendekati CRRT.4 Pada SLED juga
dapat dilakukan profiling dari natrium, suhu, dan kadar bikarbonat dari cairan dialisat.
Efektivitasnya dan kestabilannya sejajar dengan CVVH.4 SLEDD merupakan SLED
yang dilakukan tiap hari sedangkan SLEDD-f menggunakan proses dialisis dan filtrasi
di dalamnya.

Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan terapi pengganti ginjal dengan filtrasi darah memakai
membran peritoneum yang bersifat semipermiabel.9 Dialisis peritoneal dapat berupa
intermittent peritoneal dialysis (IPD), continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD), dan
continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD).9
Dialisis peritoneal merupakan dialisis yang relatif mudah dibandingkan dialisis
yang lain, dapat mengurangi cairan tubuh yang berlebihan dan bermanfaat pada pasien
dengan hemodinamik yang kurang stabil karena dilakukan secara lama dan perlahan.4
Teknik ini juga lebih sedikit memakai heparin sehingga risiko perdarahan lebh kecil
dan dapat digunakan bila kesulitan dalam memasang kateter akses pembuluh darah.4
Pada kondisi adanya gangguan di rongga peritoneum seperti pasca pembedahan atau
gangguan lainnya, overhidrasi berat, hiperkalemia berat maka proses hemodialisis dan
hemofiltrasi dengan mesin dialisis lebih menguntungkan karena dapat dilakukan
dengan lebih cepat oleh mesin.4

Continous Renal Replacement Therapy (CRRT)


CRRT bermula dari CVVH yang diperkenalkan dan diperbaiki tekniknya oleh Bischoff
dengan menghubungkan vena femoralis ke vena besar lainnya menggunakan pompa
darah.4 Teknik ini dikenal dengan continous veno-venous hemofiltration (CVVH) dan
kemudian dikembangkan lagi dengan penambahan dialisis atau diafiltrasi menjadi
9

CVVHDF.4 CRRT memakai metode aliran darah yang berkesinambungan >24 jam dan
lambat. HD harian memiliki keunggulan dibandingkan IHD dan dialisis hibrid, yaitu
seperti berkurangnya risiko hipotensi yang terjadi dan risiko aritmia juga dapat
berkurang akibat berkurangnya perubahan kadar elektrolit yang cepat terurama pada
kalium darah.8 Berdasarkan KDIGO, pada kondisi GGA atau pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, penggunaan CRRT menyebabkan tingkat survival
yang lebih tinggi.
CRRT memberikan beberapa keuntungan yaitu lebih stabil secara
hemodinamik, aritmia yang lebih jarang, nutrisi yang lebih baik, kontrol cairan lebih
baik, kontrol biokimia darah lebih baik dan waktu rawat inap ICU lebih cepat.6 CRRT
biasanya digunakan pada pasien kritis dengan gagal ginjal yang memerlukan
hemodialisis dan hemofiltrasi.13 CRRT dapat digunakan pada edema paru, sepsis, gagal
multiorgan, acute lung injury, acute respiratory distress syndrome, nefropati akibat
kontras, intoksikasi toksin atau obat yang dapat terfiltrasi atau terdialisis dan juga dapat
digunakan pada anak-anak.13
CRRT juga mempunyai kerugian dalam pelaksanaannya. Pada CRRT,
hemofiltrasi terjadi secara lambat dan berkelanjutan selama 24 jam terus menerus
sehingga dapat terjadi kestabilan hemodinamik, namun akan memberikan kerugian
karena proses yang terjadi akan efektif bila filtrasi dilakukan >35 ml/menit.4 Proses
filtrasi ini kemudian menyebabkan banyaknya volume cairan pengganti yang
dibutuhkan atau menjadi sekitar >40 liter/hari yang menyebabkan biaya CRRT menjadi
sangat mahal.4 Kerugian CRRT lain yaitu risiko tinggi terjadinya perdarahan karena
penggunaan antikoagulan yang terus-menerus, imobilisasi yang lebih lama dan lebih
banyak terjadi masalah pada filter (ruptur atau penyumbatan oleh bekuan darah).6
Antikoagulan sitrat direkomendasikan pada CRRT karena banyaknya volume
antikoagulan yang diperlukan dan sitrat lebih dapat mengurangi risiko perdarahan
namun dengan harga yang masih lebih mahal dibandingkan dengan heparin.5
Perbandingan penggunaan antara jenis dialisis IHD, SLED dan CRRT tertera seperti
pada tabel 2.
10

Tabel 2. Perbandingan teknik dialisis IHD, SLED, dan CRRT.5,13


IHD SLED CRRT
Permeabilitas membran Bervariasi Bervariasi Tinggi
Antikoagulan Pendek Panjang Berkelanjutan
Kecepatan aliran darah 250-400 100-200 100-300
(ml/menit)
Kecepatan aliran dialisat 500-800 100 0-35
(ml/menit)
Filtrat (L per hari) 0-4 0-4 0-96
Cairan pengganti (L per hari) 0 0 0-90
Saturasi effluent (%) 15-40 60-70 85-100
Mekanisme pembersihan Difusi Difusi Difusi dan atau
larutan konveksi
Pembersihan urea (ml/menit) 180-240 75-90 17-67
Durasi (jam) 4-5, hari 6-12, hari >24,
berbeda berbeda berkelanjutan
Instabilitas hemodinamik Kurang baik baik Sangat baik
Konsentrasi serum dari obat Banyak Beberapa Sedikit
yang dapat dibersihkan dari berfluktuasi berfluktuasi berfluktuasi
ginjal
Kompatibel dengan volume Tidak Perlu sesi Paling
infus yang besar (seperti lebih lama kompatibel
nutrisi) atau tiap hari
Mobilisasi Lebih Bisa Tidak
kompatibel kompatibel kompatibel
bila dilakukan
pada sesi
malam hari
Harga + ++ ++++

CRRT mencakup slow continous ultrafiltration (SCUF), continous arterio-


venous hemofiltration (CAVH), continous veno-venous hemofiltration (CVVH),
continous arterio-venous hemodialysis (CAVHD), continous veno-venous
hemodialysis (CVVHD), continous arterio-venous hemodia-filtration (CAVHDF) dan
continous veno-venous hemodia-filtration (CVVHDF).4 Pada saat ini, kebanyakan
terapi memakai akses kateter vena sehingga istilah AV atau arteriovenous dan VV atau
venovenous dapat menjadi berlebihan dalam penggunaannya sehingga sudah jarang
digunakan.13
11

SCUF dipergunakan untuk mengurangi cairan tubuh yang berlebihan dengan


teknik hemofiltrasi.4 SCUF memakai ultrafiltrasi lambat <10 ml/menit atau <300
ml/jam dan secara berkesinambungan yang menyebabkan keadaan hemodinamik
stabil. SCUF hanya melakukan ultrafiltrasi tanpa cairan subsitusi.4 SCUF tidak
memerlukan dialisis, hanya pompa darah pada akses VV.4 Pada akses AV, tidak
diperlukan pompa darah karena darah mengalir akibat tekanan arteri, namun pada akses
VV, perlu pompa darah.4 Aliran Qb akan lambat pada akses AV namun dengan akses
VV aliran Qb dapat lebih cepat. SCUF umunya digunakan pada pasien di ICU dan pada
gagal jantung kongestif.13 Kerugiannya adalah tidak terjadi proses difusi atau
penjernihan darah.4
CVVH memiliki proses utama hemofiltrasi dengan waktu yang panjang 24 jam
sehingga hemodinamik lebih stabil.4 Teknik ini tidak memerlukan cairan dialisat.
CAVH jarang digunakan karena akses AV memberikan efisiensi yang kurang.4 Pada
CVVH dilakukan ultrafiltrasi yang tinggi atau dengan Qf 10-30 ml/menit sehingga
perlu cairan substitusi.4 Pada akses AV, Qb lambat maksimal 100 ml/menit sedangkan
akses VV Qb dapat lebih cepat >200 ml/menit.4 Ultrafiltrasi yang berkepanjangan ini
memerlukan cairan pengganti untuk mengganti cairan yang hilang. Kerugiannya yaitu
perlu cairan pengganti yang banyak, lebih sulit dan biaya yang tinggi daripada SCUF.4
CAVHD atau CVVHD memiliki proses utama dialisis dengan waktu yang
berkelanjutan. Difusi dan utrafiltrasi terjadi secara berkesinambungan, namun filtrasi
tidak terlalu banyak dilakukan sehingga hanya memerlukan sedikit cairan pengganti
dibandingkan dengan CAVH/CVVH atau CAVHDF/CVVHDF.13
CAVHDF atau CVVHDF dilakukan untuk membuang kelebihan cairan tubuh
namun dengan tambahan juga digunakan difusi untuk penjernihan darah.4 Proses difusi
terjadi dengan menggunakan cairan dialisat dengan Qd 10-15 ml/menit dan Qb 50-200
ml/menit.4 Diperlukan juga cairan substitusi untuk mengganti cairan yang hilang.
Aliran Qd dan Qb yang lambat dapat menjaga keadaan hemodinamik tetap stabil. Pada
akses AV, Qb lambat maksimal 100 ml/menit sedangkan akses VV Qb dapat dilakukan
lebih cepat >200 ml/menit.4 Ultrafiltrasi dapat dilakukan dengan Qf 15-30 ml/menit
12

sehingga juga memerlukan adanya cairan pengganti.4 Teknik ini memiliki kesulitan
paling tinggi dan harga paling mahal diantara teknik CRRT lainnya.4 Perbandingan
teknik dialisis diantara CRRT seperti tertera pada tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan teknik dialisis diantara CRRT.13
SCUF CAVH/ CAVHD/ CAVHDF/
CVVH CVVHD CVVHDF
Permeabilitas membran Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Antikoagulan berkelanju Berkelanju Berkelanju Berkelanju
tan tan tan tan
Kecepatan aliran darah 100-200 200-300 100-300 200-300
(ml/menit)
Kecepatan aliran dialisat 0 0 16-35 16-35
(ml/menit)
Filtrat (L per hari) 0-5 24-96 0-4 24-48
Cairan pengganti (L per hari) 0 22-90 0 23-44
Saturasi effluent (%) 100 100 85-100 85-100
Mekanisme pembersihan Konveksi Konveksi Difusi Difusi +
larutan (minimal) konveksi
Pembersihan urea (ml/menit) 1,7 17-67 22 30-60
Durasi (jam) Bervariasi >24 >24 >24

HEMODIALISIS SLED
Pada tahun 1944, Willem Kolff sukses melakukan dialisis pada pasien gangguan ginjal
yang kemudian mengawali dimulainya terapi hemodialisis.4 Pada tahun 1998, teknik
SLED pertama kali dilaporkan oleh Marshal dkk di Amerika Serikat yang melakukan
dialisis dengan teknik hibrid.4 Marshal dkk menggunakan mesin dialisis pada
umumnya, namun dengan memperlambat aliran darah dan aliran dialisat dengan
memperpanjang waktu dialisis. Dalam laporannya menyebutkan bahwa teknik SLED
ini mempunyai efektivitas yang mendekati teknik CRRT.4 SLED merupakan bentuk
IHD yang diperpanjang dengan lama mencapai 6-12 jam setiap sesi dengan penurunan
darah dan kecepatan aliran dialisat sehingga dapat mengurangi kelebihan cairan dengan
lebih aman.4,13
13

Keuntungan potensial dari SLED yaitu kondisi hemodiamik yang lebih stabil
dibandingkan IHD. Keuntungan lain yaitu kecepatan yang rendah dalam mengeluarkan
cairan dengan kontrol terhadap azotemia atau pembuangan solut atau toksin yang
hampir sama dengan IHD, perubahan kecil pada osmolaritas plasma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit yang lebih baik dan keadaan kimia yang lebih stabil.13 SLED
efektif dalam mengurangi cairan, dapat memfasilitasi nutrisi parenteral, pengobatan
intravena dan memiliki efek yang lebih sedikit pada tekanan intrakranial.13 SLED
memiliki keuntungan dan luaran yang sama dalam tatalaksana pasien hemodinamik
tidak stabil seperti pada teknik CRRT, namun dengan biaya yang lebih terjangkau.13
Kovacs dkk dalam sebuah meta analisis dan review sistematik menyebutkan
bahwa tidak ada perbedaan statistik yang bermakna mengenai pemulihan fungsi ginjal
pada GGA, hari yang diperlukan untuk pemulihan dan kejadian hipotensi antara SLED
dengan CRRT pada pasien di ICU.14 Kovacs dkk juga menyebutkan kedua modalitas
HD tersebut aman dan efektif dalam mengobati pasien GGA pada kondisi yang kritis.14

Indikasi Hemodialisis
Indikasi untuk terapi dialisis yaitu adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler seperti
edema paru, oligouria atau urin <200 ml/12 jam, anuria atau urin <50 ml/12 jam,
azotemia dengan urea >30 mmol/L atau BUN >100 mg/dl, ensefalopati uremik,
asidosis metabolik (pH <7,1) yang refrakter terhadap terapi bikarbonat, hiperkalemia
K >6,5 mmol/L refrakter terhadap restriksi diet atau dengan farmakologi, hiperkalemia
K >6 mmol/L dengan kelainan EKG, disnatremia berat Na >160 mmol/L atau Na <115
mmol/L, GGA derajat 3 dengan peningkatan kreatinin >3 kali dari nilai dasar atau
peningkatan kreatinin ≥4 mg/dl yang memerlukan terapi pengganti ginjal atau sudah
pada PGK stadium 5.4,5,9,13
Indikasi SLED serupa dengan indikasi pada HD konvensional namun dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Kondisi hemodinamik tidak stabil sering ditemukan
pada pasien di ICU yang kritis dengan kondisi yang bervariasi yang dapat berubah-
ubah setiap saat. SLED diindikasikan pada kondisi hemodinamik yang tidak stabil
14

seperti adanya penurunan tekanan darah, penurunan mean arterial pressure (MAP) <65
mmHG, syok, penggunaan vasopressor atau inotropik, gangguan fungsi jantung
dengan berkurangnya fraksi ejeksi ventrikel kiri <35% dan adanya kejadian aritmia
sebelum HD.3

Proses Hemodialisis
Hemodialisis pada prinsipnya yaitu memisahkan atau membersihkan darah melalui
suatu membran semipermiabel pada pasien dengan ganggun fungsi ginjal baik akut
maupun kronik.9 Hemodialisis terdiri dari 3 komponen, yaitu komponen darah,
komponen cairan pencuci (dialisat) dan ginjal buatan (dialiser).8 Darah yang keluar dari
pembuluh darah dengan kecepatan tertentu masuk ke mesin melalui pemompaan dan
mengalami dialisis. Darah yang bersih dan telah mengalami dialisis ini masuk ke
pembuluh vena kemudian mengalir di dalam tubuh.8 Prinsip hemodialisis yaitu bahan
terlarut atau solut suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan pemaparan
larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermiabel
(dialiser).8
Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi. Proses
transpor yang melewati membran adalah difusi (dialisis) dan konveksi (ultrafiltrasi).9
Difusi merupakan pergerakan zat terlarut melalui membran semipermiabel karena
perbedaan konsentrasi zat atau molekul.9 Pergerakan molekul ini terjadi dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah melewati membran.8 Hanya zat terlarut yang
tidak terikat protein yang dapat terdialisis atau melewati membran.9 Zat terlarut yang
dapat dikeluarkan yaitu molekul kecil seperti urea, kreatinin dan elektrolit.9
Peningkatan aliran darah atau Qb yang melalui dialiser dapat meningkatkan klirens dari
zat terlarut dengan berat molekul rendah dengan tetap mempertahankan gradien
konsentrasi yang tinggi.9 Difusi akan meningkat dengan meningkatnya suhu larutan
dan menurun pada molekul besar yang akan didifusi dengan lambat.9
Ultrafiltrasi merupakan aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi akibat
perbedaan tekanan osmotik dan hidrostatik.8,9 Ultrafiltrasi terjadi akibat perbedaan
15

tekanan positif pada kompartemen darah dengan tekanan negatif pada kompartemen
dialisat yang dihasilkan dari pompa dialisat atau transmembrane pressure (TMP).8,9
Air dan zat terlarut dengan berat molekul kecil dapat melewati membran
semipermiabel, sedangkan zat terlarut dengan berat molekul besar tidak akan melalui
membran semipermiabel.8,9 Dialiser memungkinkan terjadinya transfer solut dan air
melalui membran semipermiabel. Metode konveksi ini banyak digunakan pada
gangguan ginjal akut karena dapat mengeluarkan cairan lebih banyak.9 Kecepatan
aliran darah Qb mempengaruhi klirens molekul kecil seperti urea, namun ultrafiltrasi
mempengaruhi klirens molekul besar seperti inulin.8 Kecepatan darah Qb yang tinggi
dapat bermanfaat bila dialiser memiliki luas permukaan yang besar.9 Kecepatan
ultrafiltrasi sebaiknya dibatasi tidak lebih dari 13 ml/kg/jam karena dihubungkan
dengan tingginya mortalitas dan morbiditas.8 Pada saat hemodialisis, difusi dan
ultrafiltrasi terjadi secara bersamaan dan dapat disesuaikan dengan kondisi klinis
pasien.9
Hemofiltrasi (HF) berbeda dengan hemodialisis dalam hal perubahan
komposisi darah.12 Ultrafiltrat menggunakan teknik konveksi dengan tekanan
hidrostatik dan membran high flux sehingga air dan zat terlarut sampai 20 kilodalton
dapat banyak keluar melalui membran dialiser.9,12 Ultrafiltrat digantikan oleh larutan
elektrolit atau cairan substitusi.9 Cairan substitusi umumnya mengandung komponen
kristaloid mayor dengan kadar yang fisiologis.12 Pasien menerima cairan
sebelum/predilusi atau setelah/pasca dilusi dialiser.9,12 Kecepatan pembuangan cairan
dan subsitusi cairan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.9 Terdapat beberapa teknik
hemofiltrasi seperti SCUF.9 Teknik HF biasanya digunakan melalui CRRT pada pasien
di ruang perawatan intensif.12
Hemodiafiltrasi merupakan penggabungan hemodialisis dengan kecepatan
transpor yang tinggi pada solut dengan berat molekul yang rendah melalui difusi dan
hemofiltrasi melalui transpor konveksi substansi yang tinggi.9 Teknik hemodiafiltrasi
masih mahal sehingga penggunaannya saat ini masih terbatas.9 Difusi menyebabkan
16

pembuangan solut dengan berat molekul kecil, sedangkan konveksi secara efektif
membuang komponen yang lebih besar seperti β2-mikroglobulin.9
Pada SLED, mekanisme umumnya yaitu difusi namun juga dengan ultrafiltrasi
dengan aliran darah dan dialisis yang pelan. Terjadi pergerakan zat terlarut melalui
membran semipermiabel karena perbedaan konsentrasi zat dan juga terjadi ultrafiltrasi
akibat perbedaan transmembrane pressure (TMP).9 Pada penggunaan dialiser high flux
dengan pori membran yang besar, maka ultrafiltrasi dapat membuang molekul yang
lebih besar.9,12

Penatalaksanaan Hemodialisis
Peralatan hemodialisis HD konvensional dapat digunakan pada SLED sepanjang
kecepatan aliran darah dan dialisat mendukung.13 Semua mesin yang dapat
memperlambat aliran darah Qb dan aliran dialisat Qd dapat dipergunakan pada SLED.4
Sirkuit SLED dan IHD tidak berbeda pada umumnya.

Gambar 1. Sirkuit pada hemodialisis.12 Sirkuit dan mesin pada SLED dapat
dipergunakan dari mesin HD konvensional sepanjang kecepatan
aliran darah dan aliran dialisis dapat diperlambat.
Dialiser yang digunakan pada umumnya sama dengan dialiser pada IHD.4
Dialiser yang efisien memiliki membran dialiser yang luas terlepas dari ukuran pori
membrannya dan dapat membuang molekul kecil namun hanya sedikit membuang
17

molekul besar.12 Kebanyakan membran dialiser memiliki luas permukaan 0,8-2,1 m2.10
Pori membran yang besar dapat menentukan gradien tekanan hidrostatik dan
mempengaruhi terjadinya konveksi.12 Dialiser high flux memiliki pori membran yang
besar dan dapat membuang molekul besar seperti β2-mikroglobulin.12 Mesin SLED
menjadi lebih baik bila dapat mengatur profil natrium dan bikarbonat pada cairan
dialisat dan suhu cairan dialisis yang berguna pada pasien tidak stabil dan tekanan
darah sistolik yang rendah.4 Komposisi cairan dialisat yang digunakan seperti yang
biasa digunakan pada hemodialisis konvensioanl dengan bikarbonat, yang
mengandung 3-4 mEq/liter kalium, 1,5-2,5 mEq kalsium dan 24-35 mmol/liter
bikarbonat.4
Mengawali dialisis biasanya dengan kecepatan aliran darah Qb 50 ml/menit
kemudian ditingkatkan menjadi 100 ml/menit sampai keseluruhan sirkuit terisi dengan
darah.13 Priming cairan pada dialiser atau tabung dapat diberikan ke pasien atau
dikeluarkan ke drain.13 Pada pasien yang tidak stabil, priming cairan biasanya diberikan
ke pasien untuk mempertahankan volume darah.13 Ketika sirkuit telah terisi dengan
darah, aliran darah dapat ditingkatkan sampai keadaan yang diinginkan. Aliran cairan
dialisis kemudian dapat dimulai.13
Dialisis pada umumnya memiliki kecepatan aliran darah sekitar 200ml/menit
dan kecepatan aliran dialisat 100-300 ml/menit.13 Pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil, aliran darah diatur antara 100-150 ml/menit dan aliran dialisis antara
100-300 ml/menit, namun beberapa merk mesin tidak dapat menurunan aliran dialisis
<300 ml/menit.4 Pasien HD pada umumnya dapat mentoleransi filtrasi sampai 0,35
ml/kgBB/menit atau 1 liter/jam tanpa mengalami gejala mual, keram atau hipotensi
walaupun variasi diantara pasien juga dapat terjadi.10 Pada kondisi hemodinamik tidak
stabil, profiling ultrafiltrasi dapat sangat rendah 0-100 ml/jam dan dinaikkan bertahap
bila hemodinamik lebih stabil.4 Semakin tidak stabil pasien, maka ultrafiltrasi dapat
semakin kecil setiap jamnya.4 Target ultrafiltrasi tergantung kebutuhan dan bila filtrasi
banyak maka dapat melakukan SLED tiap hari atau SLEDD.4 Besarnya Qd dan Qb
18

disesuaikan dengan kebutuhan dan kecepatan ultrafiltrasi juga disesuaikan dengan


hemodinamik pasien.4
Tidak ada studi yang khusus memberikan pedoman mengenai peresepan pada
SLED. Pedoman KDIGO merekomendasikan bahwa Kt/V mingguan minimal yaitu 3,9
bila menggunakan teknik PIRRT.10,13 Kt/V mingguan didefinisikan sebagai jumlah dari
dialisis yang diberikan setiap minggu. Biasanya pada SLED yang dilakukan selama 6-
12 jam, empat sampai tujuh kali per minggu, dosis seperti itu sudah dapat jauh
melampaui Kt/V 3,9 mingguan berdasarkan pedoman oleh KDIGO.13
Pada SLED memerlukan adanya profiling natrium, bikarbonat dan suhu
dialisat.4 Kadar natrium dialisat yaitu berkisar pada 140 mEq/L.8 Kadar natrium dialisat
normalnya dipertahankan konstan sepanjang dialisis, namun pengaturan natrium dapat
digunakan pada pasien yang tidak stabil untuk mempertahankan hemodinamik pasien
selama dialisis.8,12 Profil kadar natrium pada saat awal dialisis dapat diatur diatas
normal kemudian diturunkan secara bertahap selama sesi hemodialisis.8 Pengaturan
kadar natrium dan penurunan ultrafiltrasi dengan waktu hemodialisis yang lebih
panjang dapat mengurangi hipotensi intradialitik.8 Hal sebaliknya terjadi bila
pengaturan kadar natrium terlalu tinggi, dapat menyebabkan rasa haus dan pasien dapat
minum lebih banyak, meretensi air dan meningkatkan berat badan selama HD.8 Berat
badan kering merupakan berat badan paling rendah yang dapat ditoleransi pasien
setelah diaisis dengan gejala hipovolemia yang minimal.8
Pengaturan suhu dialisat biasanya dipertahankan antara 35oC-37oC.10
Pengaturan suhu dapat digunakan pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Pada
saat HD, temperatur inti pasien biasanya meningkat karena respon termoregulasi.12
Penurunan suhu ke 0,5oC di bawah temperatur inti pasien masih aman dan kondisi yang
relatif lebih dingin ini dapat meningkatkan stabilitas vaskular saat dialisis.10,12 Dialisat
yang lebih dingin pada 35,5oC sampai 36oC dapat menginduksi pelepasan katekolamin,
menyebabkan vasokonstriksi dan memperbaiki hipotensi.10,12 Suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan hemolisis dan denaturasi protein namun suhu yang rendah juga
19

menyebabkan pasien menggigil.8 Difusi akan meningkat dengan meningkatnya suhu


larutan dan menurun pada molekul besar yang akan didifusi dengan lambat.9
Akses vaskular menjadi penting untuk mendapatkan aliran darah yang cukup
besar. Berdasarkan KDIGO menyarankan akses vaskular pada pasien GGA melalui
vena jugularis interna kanan yang menyebabkan aliran langsung ke vena cava superior,
diiukuti akses melalui vena femoral, vena jugularis interna, dan yang terakhir vena
subklavia.10 Vena subklavia dapat dipergunakan namun bukan merupakan pilihan
utama.13 Akses vaskular berupa kateter intravena, graft atau fistula arteri-vena.9 Kateter
temporer noncuffed dapat dipilih karena insersi yang mudah pada pasien kritis dengan
GGA, namun dapat diganti sebaiknya dengan kateter cuffed tunneled karena risiko
infeksi lebih rendah dan dapat digunakan bila memerlukan dialisis jangka panjang.10
Antikoagulan diperlukan untuk mencegah pembekuan darah ekstrakorporeal
sehingga efektif dalam pengeluaran solut dalam dialiser dan mencegah kehilangan
darah pada sirkuit ekstrakorporeal.8 Antikoagulan dapat berupa unfractionated heparin
(UFH) atau low-molecular weight heparin (LMWH).9 Antikoagulan dapat diberikan
secara berkelanjutan melalui infus, bolus heparin berulang pada UFH atau bolus
LMWH tunggal.9 Heparin dapat diberikan dengan dosis bolus awal 50 unit/kg atau
500-2.000 unit IV kemudian dilanjutkan dengan infus berkelanjutan kecepatan 10-20
unit/kg/jam atau 500-1.000 unit/jam.8 Hentikan heparin 15-60 menit sebelum terminasi
dialisis.8,10 Pada pasien yang berisiko perdarahan dapat diberikan dosis heparin
minimal dengan bolus 500-1.000 unit IV dilanjutkan dengan 5-10 unit/kg/jam atau 500
unit/jam.8,10 Pemakaian heparin pun masih dapat menyebabkan pembekuan sebesar 17-
26%.4 LMWH memiliki berat molekul yang lebih rendah, waktu paruh yang panjang
dan risiko perdarahan yang lebih rendah dibanding heparin.8 Enoxaparin merupakan
salah satu LMWH yang umum dipakai dengan dosis tunggal 0,7-1,0 mg/kg tiap sesi
diaisis.8 Enoxaparin tidak memerlukan pemantauan seperti heparin.
SLED dapat dilakukan tanpa antikoagulan namun dapat menyebabkan
pembekuan darah sebesar 26-46% tergantung seberapa rendah alirannya.3,4 Pada
perdarahan aktif, heparin dapat tidak diberikan, maka pada awal sebelum dialisis
20

diberikan dahulu 2.000-5.000 unit heparin ke selang darah dan dialiser kemudian
membilasnya dengan 1 liter NaCl 0,9% yang bertujuan untuk melapisi selang darah
dan dialiser dengan heparin.8 Dialisis tanpa heparin juga dapat dilakukan dengan
membilas dialiser dengan 25-50 ml NaCl 0,9% tiap 15-30 menit dengan peningkatan
kecepatan aliran darah.8 Pada dialisis yang tanpa heparin, beberapa yang harus
diperhatikan yaitu heparin tidak diberikan saat priming, kecepatan aliran darah dibuat
setinggi mungkin, bolus cairan normal salin 100-250 ml setiap 15-30 menit ke jalur
arteri dan untuk mencegah kelebihan akibat penambahan cairan ini, maka penarikan
cairan ditambahkan sejumlah volume cairan normal salin yang diberikan.8 Menjaga
aliran darah pada kecepatan 200 ml/menit atau lebih tinggi dan menbatasi ultrafiltrasi
yang dapat mencegah hemokonsentrasi juga dapat mencegah pembekuan pada sistem
dialisis.10,13 Ketika heparin tidak digunakan, dialiser biasanya akan membeku dalam 8
jam.13 Seorang pasien yang sudah menggunakan antikoagulasi terapi sistemik untuk
indikasi lain dapat tidak memerlukan antikoagulasi tambahan.13

Komplikasi
Kondisi hemodinamik yang tidak stabil seperti hipotensi masih dapat terjadi selama
hemodialisis karena ultrafiltrasi dalam jumlah besar atau mekanisme kompensasi
pengisian vaskular (vascular filling) yang tidak adekuat, gangguan respon vasoaktif
dan otonom dan menurunnya kemampuan pompa jantung.9 Penanganan awal yang
dapat dilakukan untuk hipotensi atau mengembalikan volume sirkulasi darah yaitu
dengan menempatkan pasien pada posisi Trendelenburg, memberikan bolus normal
salin 0,9% 100 ml atau lebih bila diperlukan, memberikan atau menaikkan dosis
vasopressor dan mengurangi atau menghentikan ultrafiltrasi.12 Pencegahan hipotensi
dapat dilakukan dengan evaluasi berat badan kering dan modifikasi ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi bertahap dapat dilakukan kemudain dilanjutkan dengan dialisis,
mendinginkan dialisis selama dialisis berlangsung, dan menghindari makan berat
selama dialisis.9 Pemakaian dialisat bikarbonat saat ini dapat mengurangi insiden
kejadian hipotensi selama dialisis.9
21

SIMPULAN
SLED merupakan dialisis hibrid yang menggabungkan antara teknik IHD dengan
CRRT. SLED menyerupai bentuk IHD yang diperpanjang dengan lama 6-12 jam setiap
sesi dengan penurunan kecepatan darah dan kecepatan aliran dialisis sehingga dapat
menjaga hemodinamik dengan lebih stabil. Indikasi SLED serupa dengan indikasi HD
pada umumnya dengan keuntungan dapat diberikan pada kondisi hemodinamik yang
tidak stabil mencakup penurunan tekanan darah, penurunan MAP <65 mmHG, syok,
atau penggunaan vasopressor atau inotropik. Pada SLED umumnya terjadi difusi dan
ultrafiltrasi dengan aliran darah dan dialisis yang pelan. Penatalaksanaan pada SLED
meliputi pengaturan aliran darah dan aliran dialisis, ultrafiltrasi, profiling natrium,
bikarbonat, suhu dialisat dan pemberian antikoagulan yang disesuaikan dengan
hemodinamik dan kondisi setiap pasien. SLED memberikan keuntungan pada pasien
dengan hemodinamik tidak stabil dengan peralatan dan sumber daya manusia yang
tidak tersedia atau terbatas dalam mengerjakan CRRT, namun memberi luaran hasil
yang hampir sama seperti CRRT dengan biaya yang lebih terjangkau.

DAFTAR PUSTAKA
1. Susantitaphong P, Cruz DN, Cerda J, Abulfaraj M, Alqahtani F, Koulouridis I,
Jaber BL. World Incidence of AKI: A Meta-Analysis. Clin J Am Soc Nephrol.
2013;8:1482-1493.
2. Hoste EAJ, Kellum JA, Selby NM, Zarbock A, Palevsky PM, Bagshaw SM,
Goldstein SL, Cerda J. Chawla LS. Global Epidemiology and Outcomes of Acute
Kidney Injury. Nature. 2018;14:607-625.
3. Fatema K, Faruq MO, Hoque MM, Ahsan ASMA, Khanam PA, Ahmed F.
Hemodynamic Tolerability of Sustained Low Efficiency Dialysis in Critically Ill
Patients with Acute Kidney Injury. BIRDEM Medical Journal. 2017;6(2):84-90.
4. Roesli RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney
Injury) Edisi ke-2. Bandung: Puspa Swara; 2011. h. 1-166.
22

5. Ahmed AR, Obilana A, Lappin D. Renal Replacement Therapy in the Critical Care
Setting. Critical Care Research and Practice. 2019;1-11.
6. Markum HMS. Gangguan Ginjal Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi ke-6: Siti Setiati dkk (editors). Jakarta: InternaPublishing; 2014. h.
2168-2177.
7. Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, Hirst JA, Callaghan CAO, Lasserson DS, Hobbs
FDR. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease-A Systematic Review and
Meta-Analysis. Plos One. 2016;1-18.
8. Widiana IGR. Terapi Dialisis. Denpasar: Udayana University Pres; 2017. h. 12-
163.
9. Suhardjono. Hemodialisis: Prinsip Dasar dan Pemakaian Kliniknya dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi ke-6: Siti Setiati dkk (editors). Jakarta:
InternaPublishing; 2014. h. 2194-2204.
10. Yeun JY, Ornt DB, Depner TA. Hemodialysis dalam Brenner & Rector’s the
Kidney Tenth Edition: Skorecki dkk (editors). United States of America: Elsevier;
2016. h. 2058-2105.
11. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi ke-6: Siti Setiati dkk (editors) Jakarta: InternaPublishing; 2014. h. 2161-2167
12. Kotanko P, Kuhlmann MK, Levin NW. Hemodialysis: Principles and Techniques
dalam Comprehensive Clinical Nephrology: Floege J, Johnson RJ, Feehally J
(editors). United States of America: Elsevier Saunders; 2010. h. 1053-1059.
13. Teo BW, Messer JS, Chua HR, How P, Demirjian S. Continuous Renal
Replacement Therapies dalam Handbook of Dialysis Fifth Edition: Daugirdas JT,
Blake PG, Ing TS (editors). Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2015. h. 268-
301.
14. Kovacs B, Sullivan KJ, Hiremath S, Patel RV. Effect of Sustained Low Efficient
Dialysis Versus Continuous Renal Replacement Therapy on Renal Recovery after
Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit: A Systematic Review and Meta-
Analysis. Nephrology. 2017;22:343-353.

You might also like