You are on page 1of 10

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP VISKOSITAS, KADAR

PROTEIN TERLARUT, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, DAN SENSORI KECAP


BUNGKIL WIJEN PUTIH SANGRAI DAN NON SANGRAI

THE EFFECT OF THE DURATION MOROMI FERMENTATION OF VISCOSITY,


SOLUBLE PROTEIN CONTENT, ANTIOXIDANT ACTIVITY, AND SENSORY OF ROASTED
AND NON ROASTED WHITE SESAME CAKE SAUCE

Reny Fajri Pratiwi1), Rohula Utami2), Edhi Nurhartadi2)


1)
Alumni Program Studi ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
2)
Staf Pengajar Program Studi ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the duration of fermentation effect to viscosity, soluble
protein content, antioxidant activity, and sensory of roasted and non roasted white sesame cake sauce, as well as
to determine the treatment that produces the best quality of sauce with the testing parameters. The research
design using Completely Randomized Design with duration of fermentation 0, 2, 4, 6, and 8 weeks white sesame
soy sauce roasted and non roasted. The results of moromi fermentation showed that the duration of fermentation
effect on 0 weeks to 8 weeks provided significant content, and the
antioxidant activity of roasted and non roasted sesame cake sauce. But this was not allowed by sensory
characteristics wich not provide significant difference. The largest viscosity was on 4 weeks fermentation which
has 977 cP, the soluble protein content on 6 weeks fermentation was 3.03% and 2.97%, the antioxidant activity
of moromi fermentation on 6 weeks was 6.96%/mg and 6.02%/mg. The treatment of moromi fermentation on 6
weeks was chosen as the treatment which provides the best product. The roasting treatment could give effect to
the result which the white sesame sauce roasted has viscosity and higher antioxidant activity than the other
treatment.
Keywords: Fermentation, Moromi, Roasting, Sauce, White sesame cake
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi moromi terhadap
viskositas, kadar protein terlarut, aktivitas antioksidan, dan sensori dari kecap bungkil wijen putih sangrai dan
nonsangrai, dan untuk mengetahui perlakuan yang menghasilkan kecap dengan kualitas terbaik dari parameter
pengujian yang dilakukan. Perancangan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu lama
fermentasi 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu kecap bungkil wijen putih sangrai dan nonsangrai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh lama fermentasi moromi dari 0 sampai 8 minggu memberikan perbedaan yang
nyata pada 5% terhadap viskositas, kadar protein, antioksidan kecap bungkil wijen sangrai dan
nonsangrai. Namun untuk sensori tidak begitu memberikan perbedaan yang nyata. Hasil yang didapat viskositas
terbesar pada fermentasi 4 minggu sebesar 977 cP, kadar protein terlarut pada fermentasi 6 minggu sebesar 3,03
% dan 2,97 %, aktivitas antioksidan pada fermentasi moromi 6 minggu sebesar 6,96%/mg dan 6,02%/mg.
Perlakuan lama fermentasi moromi 6 minggu dipilih sebagai perlakuan lama fermentasi moromi yang
menghasilkan kecap yang terbaik. Untuk perlakuan penyangraian, pada penelitian ini memberikan pengaruh,
dimana pada kecap bungkil wijen putih sangrai memberikan viskositas, dan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi dibandingkan tanpa penyangraian
Kata kunci : Bungkil wijen putih, Fermentasi, Kecap, Moromi, Sangrai

PENDAHULUAN dalam Utama (2010) produksi wijen di Jawa


Tengah pada tahun 2004 adalah 1.105,21 ton.
Kebutuhan bumbu atau seasoning di
Varietas biji wijen putih banyak digunakan
masyarakat semakin banyak dan
oleh masyarakat, karena mudahnya
berkembang, salah satunya yaitu kecap.
ketersediaannya di pasaran, dan menjadi
Awalnya kecap dibuat dengan menggunakan
varietas lokal yang banyak dibudidayakan
kedelai baik kedelai hitam maupun kedelai
warga. Wijen biasanya digunakan untuk
kuning/putih. Pengembangan kecap banyak
pembuatan minyak. Dari pengepresan dalam
dilakukan pada bahan-bahan lain, untuk
pembuatan minyak dihasilkan bungkil wijen.
menambah variasi kecap.
Menurut Utama (2010) protein bungkil wijen
Rata-rata produksi wijen Indonesia
mempunyai kadar asam glutamat tinggi
cukup besar, yaitu berkisar pada 400 kg/ha
dibandingkan protein terigu yang kaya asam
(Tirtosuprobo, 2009). Menurut BPS (2007)

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012 96


amino prolin dan glutamat. Dimana Alat
kandungan protein yang tinggi pada bungkil Alat yang digunakan untuk pembuatan
wijen menjadikan salah satu faktor penting kecap bungkil wijen putih yaitu mesin
dalam pembuatan kecap. penggiling, mesin pengepres, timbangan, alat
Proses pembuatan kecap bungkil wijen tumbuk, gelas ukur, panci, kompor, serbet,
atau yang biasa disebut dengan kecap wijen sendok kayu, tampah, dan toples. Sedangkan
sama dengan pembuatan kecap lain yaitu alat untuk analisis yaitu tabung reaksi, pipet
dengan proses fermentasi. Pada dasarnya ukur, erlenmeyer, corong, sentrifuge,
fermentasi yang digunakan dalam pembuatan spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu,
kecap yaitu fermentasi koji dan fermentasi vortex, timbangan analitik, Viscosimeter
moromi. Pada tahap fermentasi koji Brookfield.
dilakukan oleh kapang yang berlangsung
selama 2-3 hari (Setiawati, 2006). Sedangkan Tahapan Penelitian
fermentasi moromi yaitu fermentasi oleh Pembuatan Minyak Wijen Sangrai dan
bakteri dalam larutan garam. Non Sangrai
Lama fermentasi moromi merupakan
Biji wijen putih yang telah kering
salah satu penentu mutu dalam kecap yang
selanjutnya mengalami 2 macam perlakuan,
berkaitan dengan pemecahan senyawa
yaitu dengan penyangraian menggunakan
peptida menjadi asam-asam amino dan
alat sangrai selama 15-20 menit pada suhu
amoniak, yang erat kaitannya dengan aroma
180oC, dan tanpa penyangraian. Selanjutnya
dan rasa yang baik dari kecap yang
kedua bahan tersebut masing-masing
dihasilkan. Perlakuan biji wijen sangrai dan
mengalami pengepressan, kemudian
non sangrai akan mempengaruhi juga
diperoleh minyak, serta ampas dari biji
terhadap kecap yang dihasilkan.
wijen. Ampas wijen tersebut disebut bungkil
Penelitian ini bertujuan untuk
wijen, sehingga dari perlakuan diperoleh
mengetahui pengaruh lama fermentasi
bungkil wijen putih sangrai dan bungkil
moromi terhadap karakteristik viskositas,
wijen putih nonsangrai
kadar protein terlarut, aktivitas antioksidan,
serta sensori dari kecap bungkil wijen putih Pembuatan Kecap
sangrai dan nonsangrai. Penelitian yang Bungkil wijen putih sangrai dan non
dilakukan diharapkan menjadi tambahan sangrai masing-masing mengalami
pengembangan dalam pembuatan kecap pengukusan selama 15 menit. Selanjutnya
wijen yang dapat diaplikasikan untuk pendinginan selama 30 menit. Setelah proses
perbaikan mutu kecap. pendinginan selesai, ragi tempe Raprima
yang sebelumnya telah dicampur dengan
METODE PENELITIAN
tepung kanji di inokulasikan pada bungkil.
Kemudian pemeraman selama 3 hari.
Bahan
Selanjutnya dihasilkan koji. Koji yang telah
Bahan utama yang digunakan yaitu dihasilkan mengalami perendaman dengan
bungkil wijen putih yang didapatkan dari biji larutan garam 20%. Dengan perhitungan 250
wijen putih. Biji wijen putih diperoleh dari g koji membutuhkan air sebanyak 1 liter.
Pasar Legi. Bahan pembantu yang digunakan Masing-masing koji bungkil wijen sangrai
adalah ragi tempe merk Raprima, tepung dan non sangrai mengalami perendaman
kanji, gula Jawa dan garam. Bahan kimia dalam larutan garam yang telah dibuat.
yaitu larutan Lowry A (larutan folin ciocalteu Selanjutnya pemeraman dengan variasi
dan aquades (1:1)), larutan Lowry B (100 ml waktu 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu. Setelah
larutan 2% Na2CO3 dalam NaOH 0,1 ml, 1 pemeraman sesuai waktu yang ditentukan
ml CuSO4.5H2O 1%, dan 1 ml Na-K-tartrat selanjutnya penyaringan untuk diambil
2%), larutan standar BSA atau kasein 300 cairannya. Cairan tersebut disebut dengan
µg/ml. Bahan kimia yang digunakan untuk moromi. Cairan moromi tersebut mengalami
uji aktivitas antioksidan yaitu DPPH penambahan gula dan garam. Selanjutnya
(Diphenyl picrylhydrazyl) dan Metanol. perebusan dengan suhu 850C selama 30-90

97 Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012


menit, sesuai dengan banyaknya bahan yang didapatkan pada viskositas ini belum dapat
akan dibuat menjadi kecap. Setelah matang menyimpulkan lama fermentasi
cairan kental tersebut kita sebut sebagai mempengaruhi viskositas dari kecap yang
kecap manis yang selanjutnya dilakukan dihasilkan, hal itu perlu dilakukan pengkajian
analisis viskositas, kadar protein terlarut, lebih lanjut, karena banyak faktor yang
aktivitas antioksidan, dan sensori kecap mempengaruhi kekentalan dari kecap yang
bungkil wijen putih yang dihasilkan. dihasilkan. Nugraheni (2008) menyatakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap
Analisis
keragaman viskositas akhir kecap adalah
Analisis viskositas menggunakan alat proses pengolahan yaitu tingkat panas yang
viscosimeter Brookfield. Analisis protein digunakan saat memasak kecap, pengadukan,
terlarut menggunakan metode Lowry dalam dan lama proses pemasakan.
Sudarmadji, dkk (1996). Aktivitas Untuk perlakuan penyangraian dari
antioksidan dalam kecap bungkil wijen putih hasil yang didapatkan memberikan
dianalisis menggunakan DPPH (Subagio, 5%
dkk., 2002) dengan sedikit modifikasi yaitu kecuali pada lama fermentasi 4 minggu,
sampel sebanyak 0,1 gram diencerkan dimana perlakuan penyangraian memiliki
dengan 10 ml methanol. Kemudian divortex tingkat viskositas yang lebih tinggi
dan selanjutnya disentrifus dengan kecepatan dibandingkan dengan kecap wijen dengan
5000 rpm selama 5 menit. Kemudian diambil perlakuan tanpa penyangraian. Hal itu
1 ml filtrat ditambah 0,5 ml larutan DPPH dimungkinkan karena penyangraian dapat
0,7 mM dan ditambahkan 3,5 ml methanol. merubah komponen kimia dari biji wijen,
Sensori menggunakan uji kesukaan dengan sehingga menimbulkan padatan-padatan
panelis yang tidak terlatih (Kartika, 1998). terlarut pada bahan yang menyebabkan
Analisis statistik dengan SPSS menggunakan viskositas naik.
ANOVA. Jika terdapat perbedaan antar
sampel maka dilanjutkan dengan uji beda Protein Terlarut
nyata menggunakan analisis Duncan Dari Tabel 2 menunjukkan pengaruh
Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat lama fermentasi moromi memberikan
perbedaan yang nyata pada signifikansi
5%, dimana semakin lama fermentasi
moromi, kadar protein terlarut semakin
HASIL DAN PEMBAHASAN
meningkat yaitu fermentasi 0 minggu sampai
dengan fermentasi 6 minggu, namun pada
Viskositas
fermentasi 8 minggu terjadi penurunan kadar
Menurut Nugraheni (2008) berdasarkan protein terlarut. Peningkatan kadar protein
klasifikasinya kecap termasuk dalam cairan selama fermentasi moromi dikuatkan dengan
dengan aliran non-newtonian. Dengan kata pernyataan Rahayu (2005) yang menyatakan
lain viskositasnya berubah dengan adanya bahwa peningkatan kadar protein selama
perubahan gaya gesekan antar permukaan fermentasi moromi menunjukkan bahwa
cairan dengan dinding. Berdasarkan Tabel 1 protein kompleks mengalami proteolisis oleh
lama fermentasi moromi 0 minggu sampai enzim protease menjadi fraksi-fraksi peptida
dengan 4 minggu menunjukkan peningkatan yang lebih pendek dan asam-asam amino,
viskositas kecap yang dihasilkan, namun sehingga meningkatkan kadar protein
pada fermentasi 6 minggu sampai 8 minggu terlarut.
mengalami penurunan. Pengaruh lama Kadar protein terlarut paling tinggi
fermentasi pada penelitian kecap bungkil yaitu pada fermentasi moromi 6 minggu.
wijen putih ini memberikan perbedaan yang Penurunan kadar protein terlarut pada
5% terhadap fermentasi moromi 8 minggu kemungkinan
viskositas kecap bungkil wijen putih yang disebabkan pemecahan protein lebih lanjut
dihasilkan. Viskositas yang paling tinggi oleh bakteri asam laktat menghasilkan asam
yaitu pada fermentasi 4 minggu. Hasil yang amino dan peptida yang digunakan sebagai

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012 98


Tabel 1. Besar Viskositas Kecap Bungkil Wijen sangrai dan Nonsangrai dengan Berbagai
Lama Fermentasi
Viskositas (cP)
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 355aA 610Ba 977cA 602,5bA 535bA
Wijen Putih Nonsangrai 233,75aB 680Db 877,5eA 515cB 357,5bB
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan

Tabel 2. Kadar Protein Terlarut Kecap Bungkil Wijen Putih Sangrai dan Nonsangrai dengan
Perlakuan Lama Fermentasi Moromi
Kadar Protein Terlarut (%)
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 1,80aA 2,23 bA
2,55 dA
2,97eA 2,4cA
Wijen Putih Nonsangrai 1,82aA 2,25bA 2,57dA 3,03eA 2,43cA
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan

sumber nitrogen untuk pertumbuhan hidup antioksidan yang terjadi pada kecap bungkil
mikroba. Bakteri asam laktat harus memiliki wijen selama fermentasi diduga disebabkan
sistem proteolitik agar dapat menghidrolisis oleh pemecahan-pemecahan protein menjadi
protein pada susu kedelai menjadi asam peptida dan asam amino yang terjadi selama
amino yang diperlukan untuk pertumbuhan fermentasi moromi. Menurut Rosida (2009)
(Nisa dkk., 2008). Perlakuan pendahuluan jumlah asam amino yang digunakan lebih
yang dilakukan terhadap biji wijen putih banyak memberikan aktivitas antioksidan
yaitu disangrai dan tidak disangrai lebih besar. Pokorny and Korczak (2001)
berdasarkan anlisis anova dengan menjelaskan bahwa asam amino dapat
5% tidak menunjukkan beda menciptakan efek sinergis dengan
nyata yang signifikan diantara keduanya. Hal antioksidan fenolik dan berperan sebagai
itu dikarenakan ternyata proses penyangraian senyawa kelator sehingga dapat
sampai 180oC yang dilakukan dalam meningkatkan aktivitas antioksidannya.
penelitian ini belum menunjukkan perbedaan Selain itu adanya lama fermentasi
akan menghasilkan enzim yang dapat
kadar protein pada kecap bungkil wijen. memecah senyawa fenolik dalam bungkil
wijen sehingga meningkatkan aktivitas
Aktivitas Antioksidan
antioksidannya. Hasil yang didapatkan lama
Antioksidan didefinisikan sebagai fermentasi 6 minggu memiliki aktivitas
senyawa yang mampu menunda, antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan
memperlambat, atau menghambat reaksi fermentasi yang lain. Penurunan antioksidan
oksidasi (Nihlati, 2008). Berdasarkan Tabel pada fermentasi 8 minggu diduga
3, semakin lama fermentasi moromi pada mengakibatkan senyawa antioksidan maupun
kecap bungkil wijen sangrai dan non sangrai fenolik dari bungkil wijen putih sudah
memperlihatkan terjadinya peningkatan bereaksi sebagai antioksidan melawan asam
aktivitas antioksidan secara signifikan pada yang semakin banyak dihasilkan mikrobia
fermentasi 0 minggu sampai 6 minggu, dalam proses fermentasi moromi.
namun pada fermentasi moromi 8 minggu Pengaruh perlakuan pendahuluan biji
mengalami penurunan. Menurut Rosida wijen sangrai dan non sangrai juga
(2009) senyawa yang berperan sebagai memberikan perbedaan yang nyata pada
antioksidan pada moromi dan kecap manis 5%. Hasil yang didapatkan
terutama disebabkan oleh senyawa produk menunjukkan aktivitas antioksidan kecap
reaksi Maillard. Peningkatan aktivitas bungkil wijen sangrai lebih tinggi daripada

99 Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012


Tabel 3. Aktivitas Antioksidan Kecap Bungkil Wijen Sangrai dan Nonsangrai dengan
Berbagai Lama Fermentasi Moromi
Aktivitas Antioksidan (%/mg)
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 5,1503aA 5,866Ba 6,5882dA 6,9641eA 6,3333Ca
Wijen Putih Nonsangrai 3,9816aB 4,7446bB 5,4394cB 6,0184dB 5,3576cB
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan
.

Tabel 4. Karakteristik Sensori Warna Kecap Bungkil Wijen Sangrai dan Nonsangrai
dengan Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi Moromi
Tingkat Kesukaan Warna
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 3,15aA 3,45 aA
3,45 aA
3,39aA 3,09aA
Wijen Putih Nonsangrai 3,30 abA 3,62 bA
2,97 aB
3,27abA 3,21aA
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan
Skala Nilai: 1) Sangat Tidak Suka; 2) Tidak Suka; 3): Netral; 4)
Suka; 5) Sangat suka.

kecap bungkil wijen nonsangrai. Hal itu bisa fermentasi 0 minggu dan 6 minggu. Untuk
dimungkinkan karena adanya peningkatan perlakuan penyangraian pada kesukaan
kandungan sesamol pada biji wijen selama warna tidak menunjukkan perbedaan yang
penyangraian. Hasil penelitian dari 5% antara kecap
Purnamawati (2011) menunjukkan total fenol bungkil wijen sangrai dan nonsangrai.
pada minyak wijen dari biji wijen yang
Aroma
disangrai mengalami peningkatan seiring
dengan tingginya suhu dan lama waktu Pada tahap fermentasi akan terbentuk
penyangraian. Hal ini diduga berkaitan aroma dan flavor dengan adanya campuran
dengan meningkatnya kandungan sesamol beberapa senyawa pembentuk flavor yang
pada minyak. Kandungan sesamol meningkat terbentuk selama proses fermentasi
59 kali dibandingkan minyak wijen tanpa (Wulandari, 2008). Aroma kecap dipengaruhi
penyangraian. oleh senyawa alkohol dan senyawa aromatik
yang dihasilkan oleh khamir selama
Sensori fermentasi moromi. Selain itu penambahan
Warna garam dalam proses fermentasi moromi
menyebabkan kecap yang dihasilkan
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan
mempunyai rasa dan aroma yang baik
pada kecap bungkil wijen sangrai, adanya
(Purwoko, 2007).
perlakuan lama fermentasi tidak memberikan
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan
pengaruh lama fermentasi tidak memberikan
5% pada penilaian kesukaan warna dari
perbedaan yang nyata terhadap aroma kecap
panelis. Warna yang dihasilkan didominasi
bungkil wijen putih nonsangrai yang
dari warna gula merah yaitu coklat
dihasilkan. Untuk kecap bungkil wijen
kemerahan. Sedangkan pada kecap bungkil
sangrai pengaruh lama fermentasi
wijen non sangrai, lama fermentasi
memberikan perbedaan terhadap aroma dari
memberikan perbedaan yang nyata pada
kecap bungkil wijen sangrai. Hasil yang
warna kecap yang dihasilkan. Kecap bungkil
didapatkan menunjukkan pada kecap bungkil
wijen nonsangrai dengan lama fermentasi 2
wijen sangrai lama fermentasi 4 minggu
minggu memiliki kesukaan warna lebih
memiliki kesukaan terhadap aroma lebih
tinggi dibandingkan fermentasi yang lain,
tinggi dibandingkan dengan perlakuan
namun hal itu tidak berbeda nyata dengan
fermentasi yang lain. Namun hal itu tidak
kecap bungkil wijen nonsangrai lama

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012 100


Tabel 5. Karakteristik Sensori Aroma Kecap Bungkil Wijen Sangrai dan Nonsangrai
dengan Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi Moromi
Tingkat Kesukaan Aroma
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 3,27abA 3,00aA 3,48bA 3,15abA 3,03aA
Wijen Putih Nonsangrai 3,09aA 3,06aA 3,15aA 3,15aA 3,21aA
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan
Skala Nilai: 1) Sangat Tidak Suka; 2) Tidak Suka; 3): Netral;
4) Suka; 5) Sangat suka.

Tabel 6. Karakteristik Sensori Rasa Kecap Bungkil Wijen Sangrai dan Nonsangrai dengan
Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi Moromi
Tingkat Kesukaan Rasa
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 3,39bA 3,09 abA
3,15 abA
3,15abA 2,85aA
Wijen Putih Nonsangrai 3,18bA 3,24 bA
2,7 aA
2,91abA 3,03abA
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan
tidak ber Skala Nilai: 1) Sangat Tidak Suka; 2) Tidak Suka; 3): Netral; 4)
Suka; 5) Sangat suka.

berbeda nyata dengan kecap fermentasi 0 memberikan meaty flavor (gurih) dan enzim
minggu dan fermentasi 6 minggu. Aroma -amilase,
kecap dari penelitian ini didominasi oleh amiloglukosidase dan maltase yang berperan
aroma dari gula yang menutupi aroma lain pada rasa manis. (Badriah, 2007).
seperti alkohol yang dihasilkan dari Dari hasil didapatkan bahwa kecap
fermentasi. Semakin lama proses fermentasi bungkil wijen sangrai dengan perlakuan lama
aroma yang dihasilkan akan menjadi lebih fermentasi 0 minggu memiliki nilai
baik. Perlakuan penyangraian pada penelitian kesukaan terhadap rasa lebih tinggi
kecap bungkil wijen ini tidak memberikan dibandingkan dengan fermentasi yang lain,
perbedaan yang nyata pada signifikansi 5% namun hal tersebut tidak berbeda nyata
terhadap kesukaan panelis pada aroma yang dengan sampel kecap fermentasi 2 minggu,
dihasilkan dari kecap bungkil wijen putih. fermentasi 4 minggu dan fermentasi 6
minggu. Untuk kecap bungkil wijen
Rasa
nonsangrai, kecap dengan fermentasi 2
Rasa dari kecap dapat dipengaruhi oleh minggu memiliki kesukaan rasa lebih tinggi
adanya komposisi gula dan senyawa volatil dibandingkan kecap perlakuan lain, namun
dari gula yang digunakan (Apriyanto dan hal itu tidak berbeda nyata dengan kecap
Wiratma, 1997). Berdasarkan Tabel 6 dapat bungkil wijen non sangrai fermentasi 0
dilihat bahwa pengaruh lama fermentasi 0 minggu, 6 minggu dan 8 minggu.
minggu sampai 8 minggu memberikan Kecenderungan panelis menyukai rasa yang
5% didominasi rasa manis. Untuk perlakuan
terhadap sensori rasa dari kecap bungkil sangrai dan nonsangrai dalam pembuatan
wijen putih yang dihasilkan. Menurut kecap bungkil wijen putih tidak memberikan
Wulandari (2008) pada umumnya sampel perbedaan yang nyata antara kedua jenis
dengan umur 0-2 bulan belum menunjukan kecap terhadap sensori rasa dari panelis.
adanya tanda-tanda aroma dan rasa yang
khas. Semakin lama fermentasi moromi rasa Overall (Keseluruhan)
yang ditimbulkan akan semakin gurih. Ada Penilaian overall merupakan penilaian
dua macam enzim yang berperan untuk kesukaan terhadap semua pengujian secara
menghasilkan flavor kecap pada fermentasi keseluruhan dari warna, aroma, dan rasa
kapang yaitu enzim protease yang yang dimaksudkan untuk mengetahui tingkat

101 Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012


Tabel 7. Karakteristik Sensori Overall Kecap Bungkil Wijen Sangrai dan Nonsangrai
dengan Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi Moromi
Tingkat Kesukaan Overall
Fermentasi Moromi (Minggu)
0 2 4 6 8
Wijen Putih Sangrai 3,39aA 3,24aA 3,30aA 3,27aA 3,09aA
Wijen Putih Nonsangrai 3,33bA 3,36bA 2,85aB 3,03abA 3,18abA
Keterangan : huruf abjad kecil untuk perbandingan secara horizontal, dan huruf abjad besar untuk perbandingan secara
vertikal, dan angka yang diikuti huruf abjad yang sama pada masing-masing perbandingan menunjukkan
1) Sangat Tidak Suka; 2) Tidak Suka; 3): Netral; 4)
Suka; 5) Sangat suka.

penerimaan panelis terhadap kecap bungkil Pada parameter viskositas, lama


wijen putih sangrai dan nonsangrai. fermentasi moromi yang memberikan
Karakteristik sensori overall ditunjukkan viskositas paling tinggi yaitu pada fermentasi
pada Tabel 7. 4 minggu, dan perlakuan pendahuluan biji
wijen yaitu penyangraian. Untuk parameter
Berdasarkan Tabel 7 tingkat
kadar protein terlarut, perlakuan lama
penerimaan panelis untuk keseluruhan
fermentasi moromi 6 minggu memberikan
penerimaan overall diketahui bahwa kecap
kadar protein terlarut yang tertinggi dan
bungkil wijen putih sangrai dengan perlakuan
untuk perlakuan sangrai dan nonsangrai
lama fermentasi tidak memberikan perbedaan
keduanya tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata pada kecap yang dihasilkan.
yang nyata terhadap kadar protein terlarut
Penilaian berkisar antara netral-suka.
kecap bungkil wijen yang dihasilkan. Untuk
Sedangkan pada kecap bungkil wijen
parameter aktivitas antioksidan, lama
nonsangrai, perlakuan fermentasi
fermentasi moromi 6 minggu memberikan
memberikan perbedaan yang nyata terhadap
aktivitas antioksidan yang tertinggi
overall dari kecap yang dihasilkan, dimana
dibandingkan dengan lama fermentasi yang
fermentasi moromi 2 minggu memiliki nilai
lain, serta untuk perlakuan sangrai
lebih tinggi dibandingkan yang lain, namun
memberikan aktivitas antioksidan yang lebih
hal itu tidak berbeda nyata dengan kecap
tinggi.
bungkil wijen non sangrai fermentasi 0
Untuk parameter sensori, dari segi
minggu, 6 minggu dan 8 minggu. Penilaian
warna dari hasil yang didapatkan perlakuan
yang diberikan juga berkisar netral-suka.
lama fermentasi moromi 2 minggu memiliki
Untuk perlakuan penyangraian tidak
kesukaan tertinggi terhadap warna kecap
memberikan perbedaan yang nyata pada
bungkil wijen putih, namun hal itu tidak
overall dari kecap bungkil wijen putih yang
berbeda nyata dengan kecap lama fermentasi
dihasilkan
moromi 0 minggu dan 6 minggu, dan untuk
Penentuan Perlakuan Kecap Terpilih penyangraian dan nonpenyangraian tidak
memberikan perbedaan yang nyata. Untuk
Pada dasarnya pemilihan suatu proses segi aroma, lama fermentasi moromi 4
dilakukan untuk mengetahui perlakuan yang minggu memiliki kesukaan lebih tinggi
memberikan hasil lebih baik dari hasil yang terhadap aroma kecap bungkil wijen putih,
didapatkan. Berdasarkan penelitian ini namun tidak berbeda nyata dengan kecap
memberikan alternatif beberapa perlakuan fermentasi 0 minggu dan fermentasi 6
yang dipandang memberikan hasil yang baik minggu, dan perlakuan sangrai maupun
yang dapat memberikan rekomendasi nonsangrai juga tidak memberikan perbedaan
perlakuan proses untuk pembuatan kecap yang nyata pada aroma yang dihasilkan.
selanjutnya. Pemilihan didasarkan pada Untuk segi rasa, lama fermentasi moromi
pertimbangan perlakuan lama fermentasi yang lebih tinggi yaitu 0 minggu, 2 minggu,
moromi dan perlakuan pendahuluan biji 4 minggu, dan 6 minggu, serta perlakuan
wijen yang menghasilkan kecap dengan nilai sangrai dan nonsangrai tidak memberikan
lebih tinggi dikeseluruhan parameter uji yang perbedaan yang nyata terhadap rasa dari
dilakukan. kecap yang dihasilkan. Untuk segi overall

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012 102


dari kecap bungkil wijen ini, lama fermentasi 3. Perlakuan penyangraian memberikan
moromi yang memiliki overall lebih tinggi perlakuan yang terpilih dari kecap
yaitu 0 minggu, 2 minggu, 6 minggu, dan 8 bungkil wijen putih dilihat dari
minggu, serta perlakuan sangrai dan non viskositas, kadar protein, antioksidan
sangrai juga tidak memberikan perbedaan dan sensori yang lebih tinggi
yang nyata pada overall dari kecap yang dibandingkan kecap nonsangrai yang
dihasilkan. Dari uraian tersebut dihasilkan. Dan perlakuan lama
menyimpulkan kesukaan sensori secara fermentasi moromi 6 minggu dipilih
keseluruhan, dimana didapatkan perlakuan sebagai perlakuan lama fermentasi
lama fermentasi moromi yang memiliki moromi yang menghasilkan kecap
sensori lebih tinggi di tiap segi sensori yaitu bungkil wijen putih yang memiliki nilai
fermentasi moromi 6 minggu dan 0 minggu, tertinggi dari parameter kadar protein
serta perlakuan sangrai dan nonsangrai yang terlarut, antioksidan dan sensori kecap
menunjukkan tidak beda nyata. yang dihasilkan.
Dari parameter-parameter yang
Saran
didapatkan tersebut, dapat disimpulkan
perlakuan lama fermentasi moromi 6 minggu Saran yang dapat diberikan dalam penelitian
dipilih sebagai perlakuan lama fermentasi ini antara lain:
moromi yang menghasilkan kecap bungkil 1. Perlu dilakukan penelitian lanjut terkait
wijen terpilih dengan penilaian tertinggi dari lama fermentasi moromi lebih dari 8
parameter yang ada dibandingkan dengan minggu terhadap kadar protein dan
lama fermentasi yang lain. Sedangkan antioksidan, serta sensori dari kecap
perlakuan pendahuluan biji wijen yaitu bungkil wijen putih yang dihasilkan.
sangrai dipilih sebagai perlakuan 2. Adanya penelitian terkait standar SNI
pendahuluan biji wijen yang memberikan kecap pada kecap bungkil wijen putih
viskositas, kadar protein, antioksidan dan dengan lama fermentasi 6 minggu.
sensori tertinggi. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait senyawa flavour non volatil pada
KESIMPULAN DAN SARAN kecap bungkil wijen yang memberikan
rasa gurih dalam kecap wijen.
Kesimpulan
Berdasarkan dari penelitian yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan, antara DAFTAR PUSTAKA
lain:
1. Pengaruh lama fermentasi moromi Andesta, Edi. 1987. Mempelajari Pengaruh
memberikan perbedaan yang nyata pada Pengeringan Koji dan Lama Waktu
Inkubasi Terhadap Efektlvitas
antioksidan kecap bungkil wijen sangrai Fermentasi Moromi Pada Proses
dan nonsangrai. Namun untuk sensori Pembuatan Kecap. Skripsi. Fakultas
tidak begitu memberikan perbedaan Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
yang nyata. Semakin tinggi lama Bogor. Bogor.
fermentasi moromi semakin besar Apriyanto, dan Wiratma, E. 1997. Pengaruh
aktivitas antioksidan dan kadar protein Jenis Gula Terhadap Sifat Sensori dan
terlarut kecap bungkil wijen putih yang Komposisi Kimia Kecap Manis. Buletin
dihasilkan sampai tingkat lama Teknologi dan Industri Pangan Vol
fermentasi tertentu. VIII. No. 1
2. Perlakuan penyangraian biji wijen
memberikan perbedaan yang nyata pada Badriah, E.L. 2007. Pembuatan Kecap
viskositas serta antioksidan kecap Keong Mas (Pomacea canaliculata L.)
bungkil wijen yang dihasilkan, namun Secara Fermentasi Koji Dan
tidak berbeda nyata pada kadar protein Penambahan Ekstrak Nanas (Ananas
terlarut serta sensori yang dihasilkan. comosus (L) Merr). Naskah Publikasi.

103 Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012


Jurusan Biologi. Fakultas MIPA. Thesis. Program Pasca Sarjana.
Unversitas Sebelas Maret. Surakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
BSN. 1999. Kecap Kedelai, SNI 01-3543- Rahayu, A., Suranto, dan Tjahjadi, P. 2005.
1999. Jakarta: Badan Standarisasi Analisis Karbohidrat, Protein, dan
Nasional. Lemak pada Pembuatan Kecap
Lamtoro Gung (Leucaena
Handajani, S, Amanto, B., Manuhara, G.J.
leucocephala) Terfermentasi
2006. Kajian Aktivitas Antioksidan
Aspergillus oryzae. Bioteknologi 2 (1):
Serta Rendemen Minyak Wijen Dengan
14-20. ISSN: 0216-6887
Variasi Proses Pendahuluan.
http://p4gkm.lppm.uns.ac.id/download/ Rosida, Dedin F. 2009. Aktivitas Antioksidan
penelitian/prof-ir-sri-handajani-ms- Fraksi-Fraksi Moromi, Kecap Manis
phd/. Diakses pada tanggal 10 Dan Model Produk Reaksi Maillard
November 2011. Berdasarkan Berat Molekul.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/han
Kartika, Bambang, Pudji Hastuti dan Wahyu
dle/123456789/22426/2009dfr_abstract
Supartono. 1988. Pedoman Uji
.pdf. Diakses pada tanggal 5 November
Inderawi Bahan Pangan. UGM Press.
2011.
Yogyakarta.
Setiawati, Budi. 2006. Kedelai Hitam
Koswara S. 1997. Mengenal Makanan
Sebagai Bahan Baku Kecap Tinjauan
Tradisional Bagian 1. Hasil Olahan
Varietas Dan Lama Fermentasi
Kedelai. Buletin Teknologi dan
Terhadap Mutu Kecap. Jurnal-Jurnal
Industri Pangan Volume VIII No. 2.
Ilmu Pertanian Vol 2. No. 2.
Nihlati, I., Rohman, A., Hertiani, T. 2011.
Subagio, A., Siti H., Wiwik S.M, dkk. 2002.
Daya Antioksidan Ekstrak Etanol
Kajian Sifat Fisikokimia dan
Rimpang Temu Kunci [Boesenbergia
Organoleptik Hidrolisat Tempe Hasil
pandurata (Roxb.) Schlecth] Dengan
Hidrolisis Protease. Jurnal Teknologi
Metode Penangkapan Radikal DPPH
dan Industri Pangan, Vol XIII No. 3.
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Fakultas
Farmasi, Universitas Gadjah Mada. Sudarmadji S., Haryono B., dan Suhardi.
Yogyakarta. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty Yogyakarta.
Nisa, F.M., Joni K., Ruth, C. 2008. Viabilitas
Yogyakarta.
Dan Deteksi Subletal Bakteri Probiotik
Pada Susu Kedelai Fermentasi Instan Suprapti. 2010. Pengaruh Penyangraian Biji
Metode Pengeringan Beku (Kajian Kakao Terhadap Mutu dan Cita Rasa
Jenis Isolat Dan Konsentrasi Sukrosa Bubuk Cokelat.
Sebagai Krioprotektan). Jurnal www.bsn.go.id/files/348256349/.../Bab
Teknologi Pertanian Vol 9 No 1. %2010.pdf. Diakses pada tanggal 1
Juni 2012.
Nugraheni, Mutiara. 2008. Teknologi
Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tirtosuprobo. 2009. Pengembangan
Tahu Untuk Pembuatan Kecap Ampas Tanaman Wijen (Sesamum indicum L.)
Tahu. Inotek. Volume 12. Di Kabupaten Sukoharjo.
http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/i
ef Korczak. 2001.
mages/wijen07/pengembangan%20tana
Preparation of Natural Antioxidants.
man%20wijen.pdf. Diakses pada
Antioksidan in Food 311-330.
tanggal 25 November 2011.
Purnamawati, L. 2011. Penyangraian Wijen
Utama, H. 2010. Kajian karakteristik kimia,
(Sesamum indicum L.) : Tinjauan
dan sensoris bumbu masak berbahan
Terhadap Yield Minyak Wijen,
baku bungkil wijen (Sesamum indicum)
Komponen Bioaktif, Dan Aplikasinya
dengan variasi lama fermentasi serta
Untuk Sintesis Lemak Margarin.

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012 104


suhu pengeringan. Skripsi. Fakultas
Pertanian, UNS. Surakarta.
Wulandari, A.G. 2008. Pengaruh Lama
Fermentasi Moromi Terhadap
Kualitas Filtrat Sebagai Bahan Baku
Kecap. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

105 Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, Vol. V, No. 2, Agustus 2012

You might also like