You are on page 1of 20

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi — 2

Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah Antara Kota Cirebon


dan Kabupaten Cirebon
Agung Firmansyah dan Kurnia Cahyaningrum Effendi — 4

Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Pelayanan Pendidikan pada Sekolah RSBI/SBI


Tatik Ekowati — 20

Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia


Lies Afroniyati — 37

Politisasi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Sekretariat Daerah


Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara
La Ode Wahiyuddin — 53

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi


Lily Sri Ulina Peranginangin — 66

Dukungan Target Group Terhadap Zoning Regulation


Susi Ridhawati dan Indri Dwi Apriliyanti — 79

Indeks — 95

Panduan untuk Penulis — 98


Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik
JKAP Vol 18 No 1 - Mei 2014
ISSN 0852-9213

Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah


Antara Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon

Agung Firmansyah
PNS di Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon
agungfirmansyah1984@gmail.com

Kurnia Cahyaningrum Effendi


Asisten Peneliti Magister Administrasi Publik UGM
kurnia.effendi@yahoo.com

Abstract
Since the establishment of regional autonomy era, boundary region becomes a very important issue in Indonesia. The local
governments here are encouraged to know how far their authority border is, especially in the area with the potential resources
that can support local revenue. Border conflict refers to conflicts between local governments in the same level who struggle for
regional boundaries, for example as occurred between Cirebon Regency and Cirebon City since 1988. Dissolution of long-
running border conflict resolution is related to the existing political economy at seven border points that are still disputed. The
problems that are studied here include the origin of boundary conflict area and the development of border areas of conflict
resolution. This research uses a descriptive method with qualitative approach and interactive model as data analysis technique.
The result shows that the duration of the conflict resolution mechanisms between the Cirebon City and Cirebon Regency has
been caused by resource factors, particularly in economic aspects of the seven points of the disputed border area. Basically,
origin/starting point of region boundary conflict was caused by the different interpretation towards the formation of the city/
regency, the unlisted boundaries of the area in the city/regency’s law forming, the policy alignment of the river, the difference
in base map reference, the lack of coordination between regional, the absence of regeneration of good leadership, and influence
of the development of Jakarta’s progress. In the process, conflict has become more complicated due to several factors which then
influence the form factor of high interest of regional egocentrism and interest for the electoral district board member, policy
factors such wrong interpretation of PP 35 of 1986 as a basic reference Cirebon City to expand its territory, and institutional
factors in local government structure in the form of the intervention of Parliament to bureaucratic officials in resolving the
conflict area boundary.
Key words: Area boundary, conflict, political economy, regional autonomy

Abstrak
Batas daerah menjadi isu yang sangat penting sejak era otonomi daerah berlangsung di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi
terdorong untuk mengetahui secara pasti batas-batas wilayah kewenangannya terutama yang memiliki potensi sumber daya
yang mendukung pendapatan asli daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Konflik batas daerah mengacu pada konflik
yang terjadi antara pemerintah daerah pada tingkatan yang sama dalam rangka perebutan batas daerah. Konflik batas
daerah antara Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon sudah berlangsung sejak tahun 1988. Berlarut-larutnya penyelesaian
konflik batas daerah ini berkaitan dengan ekonomi politik yang ada di tujuh titik batas yang masih disengketakan.
Permasalahan yang diteliti adalah asal mula/titik pangkal terjadinya konflik batas daerah dan perkembangan penyelesaian
konflik batas daerah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan analisis data yang
yang digunakan adalah model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lamanya penyelesaian konflik antara Kota
Cirebon dan Kabupaten Cirebon disebabkan oleh faktor sumber daya khususnya aspek ekonomi di tujuh titik batas daerah
yang disengketakan. Pada dasarnya asal mula/titik pangkal terjadinya konflik batas daerah ini disebabkan oleh perbedaan
penafsiran pembentukan kota/kabupaten, undang-undang pembentukan kota/kabupaten yang tidak mencantumkan batas-
batas daerahnya, kebijakan pelurusan sungai, perbedaan peta dasar acuan, tidak ada koordinasi antardaerah, ketiadaan
regenerasi kepemimpinan yang baik, dan pengaruh pembangunan DKI Jakarta. Konflik menjadi rumit karena dipengaruhi
beberapa faktor yaitu kepentingan, kebijakan, dan kelembagaan.
Kata kunci: Ekonomi politik, otonomi daerah, konflik batas daerah

4
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

I. PENDAHULUAN kota). Masih adanya beberapa titik batas


Batas daerah menjadi isu penting era otonomi yang belum tegas antara Kabupaten Cirebon
di Indonesia. Pemerintah daerah dituntut dan Kota Cirebon menunjukkan belum ada
berperan aktif dalam pemanfaatan sumber daya kesepakatan final antara kedua daerah ini.
di daerahnya. Kemampuan pemerintah daerah Dari 25 titik perbatasan yang disengketakan,
dalam mengoptimalkan sumber daya menjadi baru 18 titik yang disepakati oleh kedua belah
penentu keberhasilan menjalankan otonomi pihak hingga tahun 2010. Padahal kegiatan
daerah. Oleh karena itu, daerah-daerah menjadi penataan batas daerah telah dikoordinasikan
terdorong untuk mengetahui secara pasti dan diagendakan bersama dengan Kementerian
sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
terutama yang memiliki potensi sumber daya serta masing-masing stakeholder daerah yang
yang mendukung pendapatan asli daerah. berbatasan yakni Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon. Salah satu masalah belum dicapainya
Sampai tahun 2010, sebanyak 101 kesepakatan mengenai titik-titik batas antara
segmen batas daerah yang meliputi 4 provinsi, kedua daerah ini adalah bagian wilayah yang
94 kabupaten/kota diatur dalam tiga peraturan dimaksud dianggap memiliki nilai strategis oleh
menteri dalam negeri tentang batas provinsi kedua belah pihak.
dan 55 peraturan Menteri Dalam Negeri
tentang batas kabupaten/kota (www.dpr.go.id). Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan dipahami dari perspektif ekonomi politik
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat serta menjadi pemikiran dalam penelitian ini.
dan Daerah menjadi faktor strategis batas Pertanyaan mengapa penyelesaian konflik batas
daerah karena penentuan jumlah dana alokasi daerah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon
umum yang diberikan kepada pemerintah menjadi berlarut-larut menjadi penting untuk
daerah dipengaruhi luas wilayah daerah. Batas dikaji. Pertanyaan itu kemudian diturunkan
daerah memengaruhi dana pembagian hasil menjadi dua pertanyaan penelitian yaitu (1)
sumber daya alam. Bagaimana asal mula/titik pangkal terjadinya
konflik batas daerah antara Kota Cirebon
Kewenangan pemerintah daerah tidak boleh dan Kabupaten Cirebon; dan (2) Bagaimana
melampaui batas daerah yang ditetapkan dalam perkembangan penyelesaian konflik batas
peraturan perundang-undangan. Ketidakjelasan daerah antara Kota Cirebon dan Kabupaten
batas daerah akan mengakibatkan dua Cirebon?
kemungkinan negatif. Pertama, suatu bagian
wilayah dapat terabaikan oleh masing-masing Persoalan ini bisa dikarenakan oleh tarik-
pemerintah daerah karena merasa hal tersebut menarik kepentingan antaraktor sebagai akibat
bukan daerahnya. Kedua pemerintah daerah dari konsep ekonomi politik, atau disebabkan
menjadi saling melempar tanggung jawab oleh faktor lainnya dari konsep ekonomi politik
dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, tersebut.
termasuk pelayanan dan pembangunan di
bagian wilayah tersebut. Kedua, pemerintah II. TINJAUAN TEORI
daerah yang satu dapat dianggap melampaui II.1 Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik
batas kewenangan daerah yang lain. Ini Batas Wilayah dan Batas Daerah
mengakibatkan timbulnya potensi konflik
antardaerah bahkan juga menimbulkan dampak Rustiadi, et. al., (2006) mendefinisikan wilayah
politis di daerah perbatasan. sebagai unit geografis dengan batas-batas spe­
sifik tertentu. Komponen-komponen wila­yah
Dalam konteks otonomi daerah, kon­ tersebut saling berinteraksi secara fungsional
flik horizontal ini mengacu pada konflik sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat
antarpemerintah daerah dalam tingkatan yang fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
sama (antarprovinsi maupun antarkabupaten/

5
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

Komponen wilayah mencakup biofisik Pengertian ini merujuk pada pemikiran


alam, sumber daya buatan (infrastruktur), negara menjadi instrumen yang dimanfaatkan
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. individu atau kelompok dalam mendapatkan
Wilayah merujuk pada interaksi antar tujuan pribadi. Schattschneider dalam Caporaso
manusia dengan sumber daya-sumber daya dan Levine (2008) menambahkan negara
lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit adalah satu-satunya pihak yang berdiri lepas
geografis tertentu. Dalam perkembangan dari proses kelompok kepentingan sehingga
wilayah, pembangunan merupakan upaya dapat memandang keseluruhan proses itu dan
yang sistematik dan berkesinambungan untuk menentukan kepentingan masyarakat secara
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan keseluruhan.
berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian Dalam situasi seperti ini, negara meng­
aspirasi setiap warga yang paling humanistik. gunakan posisi istimewanya untuk berbicara
Anwar (2005) menunjukkan pemba­ atas nama kelompok yang tersingkir atau
ngunan wilayah dilakukan untuk mencapai memobilisasi bias dalam sistem karena tujuan
tujuan pembangunan wilayah yang mencakup negara adalah kepentingan nasional yang oleh
aspek pertumbuhan, pemerataan dan ke­ Krasner dalam Caporaso dan Levine (2008)
berlanjutan yang berdimensi lokasi dalam disebut sebagai pilihan-pilihan yang dibuat para
ruang dan berkaitan dengan aspek sosial pembuat keputusan dimana tujuan-tujuan dari
ekonomi wilayah. Namun, perlu diakui bahwa para pembuat keputusan ini bermacam-macam.
dalam pembangunan wilayah sebuah daerah, Weir dan Skocpol dalam Caporaso dan Levine
batas daerah sering menjadi persoalan karena (2008) memperjelas negara dapat memengaruhi
melibatkan multidimensi baik aspek legal, kebijakan mulai dari perubahan yang bersifat
teknis, sosial ekonomi maupun ekonomi inisiatif terhadap struktur organisasional hingga
politik. negara mampu melakukan transformasi secara
kreatif terhadap tuntutan-tuntutan kepentingan
pribadi.
II.2 Ekonomi Politik Berbasis Peran Negara
Di tengah dua kemungkinan terse­
Konsep ekonomi politik muncul bertujuan but, organisasi negara dapat dikatakan me­
membantu orang dalam memahami dan mengaruhi agenda dari kelompok masyarakat.
mengatasi perubahan dramatis dalam sistem Struktur negara berperan di dalam me­
pemuasan kebutuhan masyarakat. Dalam munculkan tuntutan masyarakat yang berusaha
pergeserannya, istilah ekonomi bergeser dicapai lewat bidang politik. Dalam tataran
menjadi ekonomi politik juga menunjukan operasionalnya, negara dan bagian-bagiannya
pergeseran pemahaman yang terjadi.1 Lebih sebagai satu kesatuan sistem yang dalam
lanjut, negara memainkan peranan sekunder penyelenggaraannya diatur secara yuridis for­
(Caporaso dan Levine, 2008). mal dan dijalankan aktor (elit)2 baik yang

1
Ekonomi berarti manajemen rumah tangga (dari bahasa Yunani “oikos = rumah”, “nomos = turan/hukum/cara
pengaturan”). Relevansi ekonomi adalah pada masyarakat yang memiliki kebutuhan yang hal-hal yang dapat
memuaskan kebutuhan tersebut diproduksi di dalam rumah tangga sendiri. Sedangkan ekonomi politik adalah
manajemen terhadap urusan ekonomi dalam sebuah negara (“politik” berasal dari kata “polis” yang berarti “kota/
negara”).
2
Teori elit memandang setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori: (1) sekelompok kecil manusia yang
berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan (2) sejumlah besar massa yang ditakdirkan
untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individu-individu superior yang berbeda
dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang berada dilingkaran kekuasaan
maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto dalam Varma (1987) membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga
kategori yaitu elit yang pemerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite), dan massa
umum (non-elite).

6
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

dipilih melalui mekanisme politik maupun suatu pertumbukan dua atau lebih pihak
yang menduduki jabatan-jabatan strategis yang masing-masing mencoba menyingkirkan
dalam proses kebijakan baik di pusat maupun pihak lawannya dari arena kehidupan bersama
daerah. atau setidak-tidaknya menaklukannya dan
Berkaitan dengan peran negara dalam mendegradasikan lawannya ke posisi yang lebih
otonomi daerah, konsep elit politik menjadi tersubordinasi (Wignjosoebroto, 2006).
penting. Noorsalim dalam Nurhasim (2005) Para sosiolog membedakan dua jenis
membaginya menjadi elit politik lokal konflik yaitu konflik yang bersifat destruktif,
dan elit non-politik lokal.3 Elite politik dan konflik yang bersifat fungsional. Konflik
berkaitan dengan kekuasaan berpengaruh fungsional menghasilkan perubahan atau kon­
pada pembuatan kebijakan pemerintah yang sensus baru yang bermuara pada perbaikan
dipengaruhi beberapa faktor: minat pada (Soetrisno, 2003). Konflik dapat dikelola agar
politik, pengetahuan dan pengalaman politik, tidak meruyak di luar kontrol. Agar bersifat
kecakapan dan sumber daya politik, partisipasi fungsional, konflik harus dikontrol melalui
politik, kedudukan politik serta kekuasaan berbagai cara. Cara yang lebih demokratik
politik (Philipus dan Aini, 2004). demi tercegahnya perpecahan dan penindasan
Menurut stratifikasi politik yang disusun atas yang lemah oleh yang kuat adalah cara
Putnam dalam Philipus dan Aini (2004), elit penyelesaian yang berangkat dari niat untuk
politik adalah mereka yang berada dekat dengan “take a little and give a little” dan didasari itikad
puncak piramida kekuasaan, yaitu (1) mereka yang baik untuk berkompromi (Soetrisno,
yang menempati strata kelompok pembuat 2003).
keputusan — menduduki jabatan resmi utama Pada hakikatnya, konflik batas daerah
yang secara langsung terlibat dalam pembuatan tercipta dari kompetisi memperebutkan akses
kebijakan; (2) kaum berpengaruh yaitu terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber
individu yang memiliki pengaruh langsung atau ekonomi dari aktor-aktor yang berkepentingan
implikasi kuat dalam proses kebijakan; dan (3) (Hadi, et. al., 2007). Pernyataaan ini selaras
aktivis yakni individu yang mengambil bagian bahwa pemerintah daerah akan merasa terancam
dalam kehidupan pemerintahan. kepentingan politik dan ekonominya bila gagal
mempertahankan sumber-sumber yang bisa
II.3 Konflik Batas Daerah dalam Ekonomi meningkatkan pendapatan daerah. Perasaan
Politik terancam ini pula yang menyebabkan daerah
rentan disulut konflik atau kesalahpahaman
Konflik identik dengan perbedaan pendapat, terhadap daerah lain (Zuhro, et. al., 2004).
persaingan dan pertentangan antar individu,
kelompok dengan kelompok, individu dengan Sianturi dan Nafsiah (2006) meng­
kelompok, dan antara individu atau kelompok ingatkan pokok persoalan batas daerah/wilayah
dengan pemerintah. Konflik terjadi antar di antaranya:
kelompok yang memperebutkan hal yang sama, 1. Kaburnya garis perbatasan akibat rusaknya
tetapi konflik akan selalu bertemu berbagai patok-patok di perbatasan antara kedua
tujuan (Surbakti, 1992)4. Konflik merupakan daerah di perbatasan.

3
Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan politik di eksekutif dan legislatif yang dipilih
melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik demokratis di tingkat lokal. Sedangkan elit non-politik
adalah seseorang yang menduduki jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkup masyarakat.
4
Dengan asumsi ini maka dibuat kategori tujuan konflik sebagai berikut : (1) pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan, dan (2) di satu pihak hendak mendapatkan
sedangkan di pihak lain berupaya keras mempertahankan apa yang dimiliki (Surbakti, 1992).

7
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

2. Pengelolaan sumber daya alam belum kelompok tertentu namun meninggalkan


ter­
koordinasi antardaerah sehingga me­ perselisihan. Kedua, faktor perorangan/
mungkinkan eksploitasi sumber daya alam kelompok, rasa frustrasi perorangan atau
yang kurang baik untuk pengembangan kelompok yang menciptakan rasa sakit hati
daerah dan masyarakat. yang mendalam. Ini sering dimanfaatkan elit
3. Kepastian hukum bagi suatu daerah dalam dengan memperlakukan perasaan seakan-
operasionalisasi pembangunan di wilayah akan merupakan nilai-nilai, kepentingan dan
perbatasan belum ada. kebutuhan pokok. Ketiga, faktor kebijakan
atau janji yang tidak ditepati ditambah dengan
4. Pengelolaan kawasan lindung lintas daerah kebijakan dan sikap memecah belah dari pihak
belum terintegrasi dalam program kerja pemerintah dan militer yang menimbulkan
sama antardaerah. kekecewaan, korupsi dalam pemerintahan
5. Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan maupun kekacauan dalam pengelolaan sumber
menjadi pemicu tingginya keinginan daya alam.
masyarakat setempat menjadi bagian Keempat, faktor kelembagaan dan
dari daerah tetangga yang lebih dapat struktur lokal memainkan peranan dalam
memperbaiki perekonomian masyarakat. merangsang konflik perebutan kekuasaan dan
Sebab, tingkat perekonomian di daerah persaingan untuk memperoleh sumber daya
tetangga lebih menjanjikan. dalam lembaga-lembaga setempat. Kelima,
6. Kesenjangan sarana dan prasarana wi­ faktor manajemen sumber daya, eksploitasi
layah antar kedua wilayah daerah yang sumber daya setempat oleh pemerintah pusat
sa­
ling bertetangga memicu orientasi per­ dan perusahaan-perusahaan asing menciptakan
ekonomian masyarakat. jurang antara kontrol wilayah menurut konsep
adat dan konsep modern dengan pembagian
7. Adanya masalah atau gangguan hubungan
wilayah. Keenam, faktor luar, LSM memainkan
antardaerah yang berbatasan akibat adanya
peran membangkitkan dan meningkatkan
peristiwa-peristiwa baik yang terkait
kesadaran politik rakyat yang berupa gerakan
dengan aspek keamanan, politik maupun
yang memperjuangkan ketidakadilan sehingga
pelanggaran dan eksploitasi sumber daya
menimbulkan konflik.
alam lintas batas daerah baik sumber daya
alam darat maupun laut. Adapun gejala konflik juga dapat
dibedakan melalui berbagai indikator: 1)
Di samping itu, Dwiyanto, et. al., (2003)
Gejala yang bersifat struktural dan melembaga,
mengungkap konflik antardaerah dipicu oleh
atau sering dianggap sebagai latar belakang
kewenangan pemerintah daerah untuk menggali
atau kondisi politik; 2) Gejala pemicu, yaitu
pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi
peristiwa tertentu yang menjadi katalis
serta eksploitasi sumber daya alam dengan
meletusnya konflik; dan 3) Gejala akselerator,
mengabaikan kepentingan jangka panjang dan
yaitu peristiwa atau perkembangan tertentu
generasi mendatang. Oleh karena itu, konflik
yang dapat meningkatkan suasana tegang
dalam penegasan batas daerah berdimensi
dan menonjolkan sisi paling rawan dalam
elitis. Para elit yang berkonflik mengarahkan
masyarakat (Pratikno, et. al., 2004).
kebijakan dengan kecenderungan membela
kepentingan tempat mereka berprofesi atau Penyelesaian konflik batas daerah
juga kepentingan akan kekuasaan mereka. senantiasa diupayakan agar tetap mengikuti
tata cara dan prosedur yang telah diatur dalam
Menurut Thung Ju Lan dalam Fortuna
berbagai peraturan perundang-undangan.
Anwar, et. al. (2005), terdapat faktor-faktor
Pentingnya mengindahkan ketentuan per­
penyebab konflik. Pertama, faktor sejarah,
undangan dimaksud, karena untuk menghindari
seperti perlakuan istimewa pemerintah kepada

8
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

Faktor perorangan/
Faktor sejarah kelompok
kepentingan

Faktor kelembagaan Faktor luar


lokal/struktur (organisasi non-
)pemerintah( pemerintah)

Faktor kebijakan

Faktor pengelolaan sumber daya

Diagram 1 Hubungan antar Faktor-Faktor Penyebab Konflik


Sumber: Fortuna Anwar, et. al., 2005.

tindakan melanggar hukum. Menurut Sarjita pasal 1 butir 1 Undang-Undang nomor 30


(2005), penyelesaian konflik dapat dilakukan tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
melalui dua cara, yaitu: (1) melalui jalur non Penyelesaian Sengketa/Konflik, arbitrase ada­
peradilan (perundingan/musyawarah atau lah cara penyelesaian suatu perkara perdata
negotiation, mediasi atau mediation, dan diluar peradilan umum yang didasarkan pada
arbitrase atau arbitran); dan (2) melalui jalur perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
pengadilan/litigasi. oleh para pihak yang bersengketa (Emirzon,
Menurut Dahrendorf (dalam Sarjita, 2000).
2005), bentuk-bentuk alternatif penyelesaian Keempat, musyawarah atau negotiation,
konflik ada empat. Pertama, konsiliasi. Dalam sebagai suatu upaya penyelesaian konflik para
bentuk ini konflik diselesaikan melalui pihak tanpa melalui proses peradilan. Tujuannya
parlemen atau kursi parlemen, kedua belah adalah mencapai kesepakatan bersama atas dasar
pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
atau bebas untuk mencapai kesepakatan.
Ekonomi politik dikaitkan dengan
Kedua, mediasi, yaitu kedua pihak sepakat
perhitungan untung rugi yang diikuti oleh
mencari nasihat dari pihak ketiga. Penyelesaian
kebijakan-kebijakan tertentu atau struktur
konflik melalui bentuk ini dilakukan atas
pembuatan keputusan tertentu. Dengan kata
kesepakatan kedua belah pihak yang berkonflik
lain, ekonomi politik dihubungkan dengan
Permasalahan akan diselesaikan melalui ban­
ilmu ekonomi dari kebijakan publik tetapi
tuan seseorang atau penasehat ahli maupun
dengan permasalahan politik mendasar tentang
melalui seseorang mediator. Pihak ketiga yang
siapa yang memperoleh, siapa yang kehilangan,
memberikan bantuan ini harus bersifat netral
dan bagaimana mereka kehilangan.
dan tidak memihak (independent). Mediator
berkewajiban melaksanakan tugas dan fung­ Perbedaan kepentingan, ideologi, historis,
sinya berdasarkan kehendak dan kemauan para maupun loyalitas para aktor/elit tentunya akan
pihak. berpengaruh terhadap arah kebijakan yang
akan diambil dalam penyelesaian konflik batas
Ketiga, arbitrase/arbitran, yaitu kedua
daerah tersebut, sehingga akhirnya hal tersebut
pihak bersepakat untuk mendapatkan ke­
akan berdampak pada lama atau cepatnya
putusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar/
mekanisme penyelesaian batas daerah tersebut.
penyelesaian bagi konflik. Sementara menurut

9
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

Diagram 2 Ekonomi Politik dalam Penyelesaian Konflik Batas Daerah


Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon
Sumber: Diolah dari Analisis Teoritik, 2011

III. METODE PENELITIAN


Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan dalam Moleong, 2006) Hal ini dimaksudkan
metode deskriptif yaitu sebagai prosedur untuk memahami konflik batas daerah
pemecahan masalah yang diselidiki dengan yang melibatkan aktor-aktor/elit-elit, serta
menggambarkan atau melukiskan keadaan faktor-faktor yang memengaruhi mekanisme
subjek atau objek penelitian pada saat penyelesaian konflik batas daerah yang
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak berlarut-larut. Dengan demikian dapat diambil
atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1991). kesimpulan kualitatif atas keseluruhan data dan
Metode deskriptif dapat pula diartikan sebagai informasi dengan cara membandingkan data
pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan informasi yang didapat dengan teori yang
(Nazir, 2003). ada.
Model pendekatan kualitatif adalah Teknik yang digunakan untuk mem­
prosedur penelitian yang menghasilkan data peroleh data adalah melalui wawancara
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan mendalam, observasi, dan studi dokumentasi.
dari orang-orang dan perilaku yang diamati Teknik analisis data digunakan mengikuti model
atau fenomena yang terjadi (Bogdan dan Taylor

10
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

interaktif, yaitu bergerak di antara perolehan 3. Rapat penelitian dokumen batas daerah
data, reduksi data, kemudian penyajian dan tanggal 12 April 2007 di Hotel Permata
penarikan kesimpulan/verifikasi (Huberman Bidakara Bandung. Hasil rapat tersebut
dan Miles, 1992 dalam Salim, 2001). berupa pembahasan terhadap peta dan
daftar koordinat yang merupakan hasil
pembahasan dari Tim Teknis Penyelesaian
IV. HASIL ANALISIS DAN DISKUSI Batas Daerah Kabupaten Cirebon dan
Kabupaten Cirebon berbatasan dengan wilayah Kota Cirebon, penentuan titik koordinat
lain, seperti dengan Kabupaten Indramayu dan di 25 titik batas daerah antara Kabupaten
Laut Jawa, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon, dan
Majalengka dan Cirebon dan Kabupaten Brebes. Kesepakatan terhadap 18 titik batas daerah
Kabupaten Cirebon telah berhasil mencapai dari 25 titik batas daerah yang ada. Namun,
kesepakatan batas daerah dengan daerah-daerah batas wilayah antara Kabupaten Cirebon
yang berbatasan tersebut kecuali dengan Kota dan Kota Cirebon mencapai yang belum
Cirebon. Sejak masa kepemimpinan Bupati selesai pada saat penelitian ini dilakukan
Drs. Dedi Supardi, MM., telah dilakukan mencakup 7 titik batas daerah
upaya penyelesaian konflik batas daerah yang 4. Koordinasi dan konsultasi rencana tindak
lebih komprehensif dan holistik. Pemerintah lanjut penyelesaian batas daerah antara
Kabupaten Cirebon mengambil inisiatif untuk Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon
melakukan penegasan batas daerah, termasuk bertempat di Balai Kota Cirebon tahun
menanggung biaya untuk pelaksanaannya. 2009. Hasil dari kegiatan ini adalah bahwa
Beberapa agenda yang telah dilaksanakan kegiatan penegasan batas daerah antara
antara lain: Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon
akan dilanjutkan pada tahun 2010 melalui
1. Rapat koordinasi tanggal 5 Januari 2007
kegiatan observasi pelacakan batas daerah
melibatkan Asisten I Bidang Pemerintahan
dan pemasangan Pilar Batas Utama (PBU)
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat,
di 18 titik batas daerah yang telah disepakati.
Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD)
Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Pro­ 5. Rapat koordinasi persiapan observasi
vinsi Jawa Barat, serta Kementerian pelacakan batas daerah dan pemasangan
Dalam Negeri dan Bakosurtanal yang pilar batas utama (PBU) di 18 titik batas
menghasilkan keputusan penetapan batas yang telah disepakati bertempat di Balai
daerah Kabupaten Cirebon dan Kota Kota Cirebon tanggal 28 Oktober 2010.
Cirebon harus segera dilaksanakan oleh Dari rapat tersebut diperoleh kesepakatan
TPBD Provinsi. pelaksanaan observasi pelacakan batas
daerah pada tanggal 9 November 2010
2. Rapat penelitian dokumen batas daerah
sampai dengan tanggal 11 November 2010.
tanggal 4 April 2007 di Gedung Negara
Bakorwil (BKPP) Cirebon dipimpin oleh 6. Pelaksanaan observasi pelacakan batas
Kepala Bakorwil (BKPP) Cirebon dan daerah antara Kabupaten Cirebon dan Kota
dihadiri TPBD Kabupaten Cirebon dan Cirebon tanggal 9 November 2010 sampai
Kota Cirebon memutuskan masing-masing dengan tanggal 11 November 2010 di 18
pemerintah daerah melakukan pertukaran titik batas daerah yang telah disepakati dan
peta hasil kajian daerah untuk dibahas lebih untuk sementara ditandai dengan patok
lanjut. kayu yang dicat berwarna merah.

11
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

Tabel 1 7 Titik Batas yang Belum Selesai

Sumber: Bagian Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Cirebon, 2011

7. Pelaksanaan pemasangan pilar batas utama faktor yang menyebabkan dan memengaruhi
(PBU) antara Kabupaten Cirebon dan lamanya mekanisme penyelesaian batas daerah
Kota Cirebon di 18 titik batas daerah yang telah diidentifikasi adalah sebagai berikut.
yang telah disepakati dan diobservasi yang
1. Faktor Sejarah
dilaksanakan pada tanggal 29 November
2010 sampai dengan tanggal 4 Desember Faktor sejarah dapat dianalisis melalui
2010. sejarah pembentukan kedua wilayah, kondisi
geografis dan mekanisme penyelesaian yang
Masing-masing pemerintah daerah
sudah dilakukan.
ini masih terlibat dalam penegasan batas
daerah yang mencakup titik koordinat dan a. Pembentukan Kabupaten Cirebon
wilayah mana menjadi kewenangan kedua dan Kota Cirebon
daerah yang berkonflik tersebut. Mekanisme Penetapan hari jadi Kabupaten Cirebon
penyelesaian konflik batas daerah Kabupaten dan Kota Cirebon berbeda satu sama
Cirebon dan Kota Cirebon dipengaruhi lainnya karena terdapat perbedaan
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. penafsiran awal mula wilayah Cirebon
Konflik batas daerah ini merupakan konflik terbentuk. Masing-masing daerah ber­
antarkelembagaan pemerintah daerah. Secara usaha menelusuri batas dan cakupan
historis, konflik ini sudah berlangsung lama wilayahnya berdasarkan sejarah pem­
sejak periode Bupati Suwendho (1988-1993) bentukannya. Sejarah itu diupayakan
dan Walikota Kumaedhi Syafrudin (1988- untuk dijadikan bahan perdebatan da­
1998) sampai dengan periode Bupati Dedi lam mekanisme penyelesaian konflik
Supardi (2003-sekarang) dan Walikota Subardi batas daerah. Hal ini juga diperdebatkan
(2003-sekarang).5 dalam mekanisme penyelesaian konflik
Dengan melihat setting konflik batas batas daerah Cirebon.6 Ketidakjelasan
daerah berlangsung tersebut, maka berbagai batas daerah berlangsung dalam waktu

5
Keterangan “sekarang” merujuk pada saat penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011.
6
Undang-Undang nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan Kabupaten Cirebon dan Undang-Undang nomor 16
tahun 1950 tentang Pembentukan Kota Cirebon. Keduanya tidak menyebutkan secara detail cakupan kewilayahan
dari daerah yang dibentuk maupun batas-batasnya serta tidak juga dilengkapi dengan peta daerah yang dimaksud.

12
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

yang relatif lama. Namun semenjak era c. Mekanisme Penyelesaian Konflik Batas
otonomi, batas wilayah menjadi salah Daerah yang Sudah Dilakukan
satu sumber persoalan walaupun bukan Mekanisme penyelesaian konflik batas
merupakan faktor dominan. daerah pada dasarnya sudah dilakukan
Persoalan mengemuka ketika dilak­ sejak tahun 1990 melalui pihak Bakorwil
sanakan kegiatan penegasan batas da­ (BKPP) Cirebon Provinsi Jawa Barat.
erah. Undang-undang pembentukan da­ Pelaksanaan pengukuran batas wilayah
erah ditentukan menjadi pedoman. dilakukan oleh Kantor Petanahan
Ke­­tidakjelasan undang-undang tersebut Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon
dalam menentukan batas-batas daerah dan pematokan tanda batas dilaksanakan
yang dibentuk, pada perkembangannya oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
menyebabkan masing-masing pihak men­ dan Kota Cirebon. Namun hasil dari
cari-cari referensi lain dalam me­nyelesaikan pelaksanaan pengukuran batas daerah
permasalahan batas dae­ rah. Referensi tersebut belum dilaksanakan timbang/
yang berbeda dapat menyebabkan serah terima antara kedua pemerintah
ketidaksepahaman antardaerah dalam daerah ini. Di samping itu, dalam
menentukan titik-titik batas selanjutnya. penentuan batas daerah yang dilakukan
b. Kesesuaian Kondisi Geografis oleh Bakorwil (BKPP) terdapat ke­
dengan Batas Yuridis keliruan.7 Pada tahun 2006, dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Da­
Undang-undang pembentukan kedua lam Negeri nomor 1 tahun 2006 tentang
wilayah yang bersangkutan memang Pedoman Penegasan Batas daerah maka
tidak mencantumkan batas daerah yang upaya penyelesaian semakin lebih
menjadi kewenangannya, namun pada komprehensif dan holistik.
dasarnya kedua daerah sudah sepakat
menata batas daerah berdasarkan batas Bakorwil (BKPP), Asisten I Pemerintah
alam. Seiring dengan berkembangnya Provinsi Jawa Barat, Bakosurtanal, Ke­
pembangunan dan proses gejala alam, mendagri, Jawatan Topografi dan ma­
batas dasar penataan batas daerah menjadi sing-masing kedua pemerintah daerah
kabur/tidak jelas. bersama menyelesaikan masalah batas
daerah tersebut. Pelaksanaan penyelesaian
Persoalan yang terjadi bukan sekadar batas melalui pelacakan batas daerah
persoalan teknis aplikasi batas yuridis ke berdasarkan batas alam dan titik-titik
bentuk fisik lapangan. Benturan tersebut koordinat sebanyak 25 titik batas daerah
terlihat pada aspirasi yang berbeda yang bermasalah. Namun sebelum adanya
pada rapat koordinasi dalam rangka tindak lanjut dari hasil pelacakan tersebut,
penegasan batas daerah dan belum dapat terjadi pergantian kepemimpinan Ba­
dipertemukan sehingga kesepakatan korwil (BKPP) dan Asisten I Provinsi Jawa
antara kedua pihak belum dapat tercapai Barat sehingga pelaksanaan penyelesaian
hingga sekarang. batas daerah yang seharusnya selesai pada
tahun 2007 kembali menjadi berlarut-
larut.

7
Sebelumnya, batas daerah antara Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon didasarkan atas batas alam berupa sungai.
Namun setelah adanya proyek pelurusan sungai, batas daerah tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Hasil
dari pelurusan sungai (Tuparev-Kedawung) tersebut yang kemudian dijadikan peta batas daerah oleh Bakorwil
(BKPP), sehingga wilayah yang sebelumnya masuk Kabupaten Cirebon menjadi wilayah Kota Cirebon atau pun
sebaliknya.

13
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

Pada akhir 2010, setelah kembali Masing-masing anggota dewan akan


dilakukan mediasi, disepakati 18 titik berusaha untuk mempertahankan daerah
batas daerah dari 25 titik batas daerah pemilihannya agar dapat memperoleh
yang bermasalah. Untuk sementara 7 titik suara untuk bisa duduk kembali menjadi
batas daerah yang belum selesai masih anggota dewan, meskipun daerah pe­
dalam proses penyelesaian antara kedua mi­lihannya masih dalam keadaan ber­
belah pihak sampai dengan saat ini sengketa. Kepentingan dapil ini yang
menyebabkan semakin tingginya aspirasi
2. Faktor Kepentingan
pihak DPRD Kota Cirebon untuk
Kepentingan dalam mekanisme penyelesaian mendapatkan wilayah tersebut. Ini terkait
konflik batas daerah ini mencakup loyalitas dengan kepentingan anggota DPRD da­
elit politik dan elit non-politik, dan ideologi lam perolehan suara pada saat pemilihan
elit politik terhadap adanya konflik batas legislatif daerah sehingga mekanisme
daerah. penyelesaian konflik batas daerah menjadi
a. Loyalitas Elit Politik dan Non Politik berlarut-larut.
Loyalitas dalam kasus batas daerah 3. Faktor Kelembagaan Lokal/Struktur
Cirebon merupakan loyalitas yang tinggi Peme­rintahan
yang ada dalam diri elit politik maupun Berkaitan dengan waktu mekanisme
elit non-politik masing-masing daerah. penyelesaian batas daerah, dapat dilihat
Konflik batas daerah terjadi karena adanya bahwa masing-masing pejabat birokrasi (elit
keinginan sepihak dari Kota Cirebon non-politik) kedua wilayah sudah bertindak
untuk memperluas wilayahnya dengan secara profesional dengan mengedepankan
mengambil sebagian wilayah Kabupaten argumentasi-argumentasi ilmiah berdasarkan
Cirebon. aturan dan bukti fakta-fakta di lapangan
Penyelesaian konflik batas daerah (batas alam yang ada). Namun yang menjadi
merupakan keinginan bersama kedua permasalahan utama adalah tekanan dari
belah pihak. Masing-masing pihak DPRD Kota Cirebon setiap sidang mengenai
berusaha menyelesaikan konflik ini secara batas daerah. Tekanan DPRD Kota Cirebon
profesional dengan melibatkan semua berasal dari keinginan mempertahankan
pihak yang memiliki kewenangan dan wilayah tertentu dalam pemilihan legislatif
kompeten dalam bidangnya masing- periode berikutnya.
masing (Kemendagri, Provinsi Jawa Barat, 4. Faktor Kebijakan
Bakosurtanal, dan Jawatan Topografi).
Perluasan wilayah Kota Cirebon yang
b. Ideologi Elit Politik didasarkan pada banyak kebijakan menjadi
Terdapat muatan politis dalam konflik pemicu konflik batas daerah dengan
batas wilayah ini, namun muatan politis Kabupaten Cirebon.8 Alasan perluasan
ini merujuk pada eksistensi masing- wilayah didasarkan pada analisis aspek so­
masing anggota dewan terhadap potensi sial budaya, sosial ekonomi, fisik, dan
suara pada daerah pemilihannya. perkembangan kota dan daerah hinterland

8
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 49 tahun 1989 tanggal 4 September 1989 tentang Pedoman
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Tingkat II, dan kebijakan pemerintah daerah Pemerintah Daerah Tingkat
I Jawa Barat yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur tanggal 31 Maret 1990 nomor 126/SK.466-
Bappeda/1990 tentang Pola Induk Pengembangan Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dalam jangka
panjang (25-30 tahun).

14
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

yang dilakukan Pemerintah Kota Cirebon pusat yang langsung mengeluarkan kebijakan
tahun 1994.9 dengan tidak melibatkan daerah yang akan
Analisis Sosial Budaya menunjukkan terkena dampak dari perluasan wilayah
masyarakat yang tinggal di perbatasan kedua tersebut.
daerah ternyata beraktivitas urban dan lebih 5. Faktor Sumber Daya
memanfaatkan fasilitas dan utilitas yang Sumber daya merupakan suatu nilai potensi
disediakan oleh Pemerintah Kota Cirebon. yang dimiliki suatu materi atau unsur tertentu
Di samping itu, muncul gagasan untuk merujuk kepada potensi pengembangan
menyatukan historis. Adat dan budaya ini wilayah sebagai salah satu pendukung roda
terpisahkan oleh batas wilayah administrasi perekonomian daerah dalam penyediaan
karena adanya kompleks sejarah.10 ruang bagi pembangunan. Faktor sumber
Analisis Sosial Ekonomi merujuk pada data daya merupakan faktor dominan sebagai
laju pertumbuhan ekonomi Kota Cirebon penyebab mekanisme penyelesaian konflik
berdasarkan harga konstan pada tahun 1992 batas daerah berlarut-larut. Sebab, secara
adalah sebesar 6,58 persen dengan kegiatan ekonomi, ketujuh titik batas yang masih
perekonomian yang beragam dan tidak disengketakan memiliki potensi ekonomi
dapat dipisahkan dari ketergantungannya yang tinggi.
kepada kota. Sementara Analisis Fisik 6. Faktor Luar
merujuk kepadatan penduduk Kota Cirebon
melebihi kepadatan ideal menurut standar Kelompok non-elit politik dalam kajian ini
WHO sehingga Pemerintah Kota Cirebon merujuk pada pendapat masyarakat terhadap
membutuhkan ruang fungsional lebih luas. konflik batas daerah. Perkembangan
Hal ini dikarenakan luas keseluruhan Kota pembangunan kota-kota besar khususnya
Cirebon adalah ± 3.735, 820 hektar.11 DKI Jakarta terhadap daerah hin­terland-nya
ternyata memengaruhi masyarakat dalam
Analisis Perkembangan Kota dan Daerah penyelesaian konflik batas wilayah di kedua
Hinterland menghasilkan Kota Cirebon daerah.
sebagai pusat wilayah pembangunan III
Cirebon yang merupakan muara dari
seluruh kegiatan dan pertumbuhan daerah II.3 Konflik Batas Daerah dalam
hinterland-nya. Keinginan Kota Cirebon Ekonomi Politik
untuk memperluas wilayahnya ini ternyata Berdasarkan temuan di atas, berbagai faktor
tidak dikoordinasikan terlebih dahulu de­ dalam mekanisme penyelesaian konflik batas
ngan Pemerintah Kabupaten Cirebon daerah dapat dibedakan menjadi tiga faktor.
un­tuk dibahas melalui DPRD masing-
Pertama, faktor latar belakang. Pada
masing. Pemerintah Kota Cirebon langsung
kasus ini faktor latar belakang merupakan titik
menyampaikannya kepada Pemerintah Pro­
pangkal masalah, dan menjadi alasan mula-
vinsi Jawa Barat dan Kementerian Dalam
mula timbulnya masalah konflik. Dengan
Negeri. Begitu juga dengan pemerintah
kata lain konflik masih berupa potensi yang

9
Proposal kebijakan perluasan wilayah tersebut yang dituangkan dalam Rencana Induk Kota (RIK) Cirebon tahun
1984-2004.
10
Astana (makam) Gunung Jati merupakan kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati terletak di Kecamatan
Gunungjati (Kabupaten Cirebon) mempunyai hubungan historis, adat dan budaya yang sangat erat dengan keraton-
keraton yang ada di Kota Cirebon.
11
Termasuk di dalamnya daerah aliran sungai (DAS) ± 815 hektar, wilayah peruntukan sempadan pantai ± 140 hektar,
dan daerah peruntukan mix farming dan konservasi ± 700 hektar. Dengan demikian luas efektif Kota Cirebon
adalah 2.080,20 hektar atau sekitar 56 persen dari luas keseluruhan.

15
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

dapat aktif maupun tidak tergantung perilaku berlarut-larut. Termasuk ke dalam golongan ini
aktor yang terlibat konflik selanjutnya. Faktor yaitu faktor kepentingan dan faktor kebijakan.
sejarah dan faktor luar merupakan faktor latar Ketiga, faktor akselerator, yaitu pe­
belakang. ristiwa atau perkembangan tertentu yang
Kedua, faktor pemicu yaitu peristiwa dapat meningkatkan suasana tegang dan
tertentu yang menjadi katalis meletusnya menonjolkan sisi paling rawan dalam
konflik. Faktor pemicu konflik yang dimaksud di masyarakat. Faktor ini merupakan sebab-sebab
sini adalah faktor langsung yang menyebabkan yang meningkatkan ketegangan perselisihan
peristiwa perselisihan yang lebih terbuka atau antara kedua belah pihak yang berkonflik atau
terjadinya aksi dan atau reaksi dari pihak-pihak faktor yang menyebabkan masing-masing pihak
yang terlibat konflik sehingga menyebabkan bersemangat mewujudkan aspirasinya. Adapun
mekanisme konflik batas daerah menjadi yang dapat digolongkan ke dalam faktor
akselerator ini yaitu faktor kepentingan, faktor

Tabel 2 Faktor-Faktor Penyebab dan Pengaruh Mekanisme Penyelesaian Konflik Batas Daerah

16
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

kelembagaan lokal/struktur pemerintahan dan DAFTAR PUSTAKA


faktor sumber daya. Secara detail, ketiga faktor
tersebut ditampilkan pada Tabel 2 di samping. Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan: Tinjauan Kritis.
Dari berbagai faktor yang ada, dapat P4Wpress. Bogor.
ditarik kesimpulan bahwa faktor dominan yang
memengaruhi lamanya mekanisme penyelesaian Anwar, Dewi Fortuna, Helene Bouvier, dan
konflik batas daerah adalah faktor sumber daya Glenn Smith R. 2005. Konflik Kekerasan
(potensi ekonomi). Faktor kepentingan turut Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Poli-
memengaruhi konflik batas daerah, namun tik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan
aspek ekonomi lebih dominan memengaruhi Obor Indonesia. Jakarta.
pertimbangan aktor-aktor elit dalam mengambil Caporaso, James A. dan David P. Levine. 2008.
keputusan/kebijakan penyelesaian konflik batas Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pela-
daerah atas tujuh titik batas daerah yang masih jar. Yogyakarta.
disengketakan.
Dahrendorf, Ralf. 1969. Conflict Group, Group
Conflict and Social Change. Structure and
V. PENUTUP Social Process: An Introductory Readers. Ed-
itor Peter dan Sonya Orleans. Allyn and
Konflik batas daerah antara Kabupaten Bacon. Boston.
Cirebon dan Kota Cirebon menguat sebagai
akibat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Dwiyanto, Agus, Riza Noer Arfani, dan Agus
Berbagai faktor saling berkaitan dan berperan Heruanto Hadna. 2003. Reformasi Tata
baik sebagai faktor latar belakang, faktor Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Pusat
pemicu maupun faktor akselerator. Ekonomi Studi Kependudukan dan Kebijakan
politik yang kental dalam konflik batas daerah UGM. Yogyakarta.
Cirebon merujuk pada tujuh titik batas yang Emirzon, Joni. 2000. Alternatif Penyelesaian
dipersengketakan karena potensi ekonomi Sengketa di Luar Pengadilan (Negosia-
yang ingin dioptimalkan oleh kedua belah si, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase). PT.
pihak. Untuk menyikapinya, pilihan kerja sama Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
daerah seharusnya menjadi alternatif kebijakan
Hadi, Syamsul, Andi Widjajanto, Rori Perma-
penyelesaian batas daerah bagi kedua belah
di Utomo, Nurul Rochayati, Suriyanto,
pihak di masa depan.
Suzanne Maria A, dan Wahyu Addinata.
Selain itu, penting untuk memahami 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Nega-
bahwa salah satu sebab terjadinya konflik batas ra, Konflik Lokal dan Dinamika Internasi-
daerah akibat kebijakan pemerintah pusat. onal. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Maka dari itu, setiap kebijakan pemerintah
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 246
pusat baik yang menyangkut pemerintahan
Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004
ataupun pembangunan di daerah hendaknya
Batas Wilayah Kabupaten Cirebon dengan
dikoordinasikan terlebih dahulu kepada
Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah).
masing-masing daerah sehingga kelak tidak
menimbulkan salah penafsiran terhadap Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian
kebijakan tersebut. Kualitatif. Edisi Revisi. Cet. XXII. PT.
Remaja Rosdakarya. Bandung.

17
Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18, No 1 - Mei 2014

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Philipus, Ng. dan Nurul Aini. 2004. Sosiologi
Bidang Sosial. Gadjah Mada University dan Politik. PT. Raja Grafindo Persada. Ja-
Press. Yogyakarta. karta.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Cetakan Pratikno, Amirudin dan Ari Ruhyanto. 2004.
Kelima. Ghalia Indonesia. Jakarta. Mengelola Dinamika Politik dan Sumber
Nurhasim, Moch. 2005. Konflik Antar Elit Poli- Daya Daerah. Edisi 2. Program S2 Poli-
tik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah. tik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD)
Pustaka Pelajar. Jakarta. UGM. Yogyakarta.

Pemerintah Kotamadya Cirebon. 1994. Propos- Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, dan
al Penataan/Perluasan Wilayah Administra- Dyah R. Panuju. 2006. Perencanaan dan
si Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon. Pengembangan Wilayah. Edisi Mei. Fakul-
Cirebon. tas Pertanian IPB. Bogor.

Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Peneli-
1/PDIDPRD/73 Penetapan Hari Jadi Ka- tian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian
bupaten Cirebon. 16 Januari 1973. Cire- Kualitatif. Edisi 2. Tiara Wacana. Yogya-
bon. karta.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Sarjita. 2005. Teknik dan Strategi Penyelesaian
Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Sengketa Pertanahan. Edisi Revisi. Tugu
Tingkat II Cirebon Dari Wilayah Kota- Jogja Pustaka. Yogyakarta.
madya Daerah Tingkat II Cirebon Ke Kota Sekretariat Daerah Kabupaten Cirebon. 2010.
Sumber. Lembaran Negara Republik Indo- Laporan Kegiatan Penegasan Batas Daerah
nesia Tahun 1979 Nomor 78. 2 Oktober Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat.
1979. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1986 Sianturi, Eddy M.T. dan Nafsiah. 2006. Strate-
Pembentukan Kecamatan Kramatmulya gi Pengembangan Perbatasan Wilayah
dan Darma di Kabupaten Daerah Tingkat Kedaulatan. http://www.balitbang.kem-
II Kuningan, Kecamatan Cimanggung dan han.go.id/?q=content/strategi-pengemban-
Ujung Jaya di Kabupaten Daerah Tingkat gan-perbatasan-wilayah-kedaulatan-nkri.
II Sumedang, Kecamatan Bojong dan Tegal- Soetrisno, Loekman. 2003. Konflik Sosial Studi
waru di Kabupaten Daerah Tingkat II Pur- Kasus Indonesia. Tajidu Press. Yogyakarta.
wakarta, Kecamatan Blanakan, Tanjung-
siang, Compreng, Patokbeusi, Cibogo dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
Cipunegara di Kabupaten Daerah Tingkat 650-1037 Perubahan Wilayah Kotamadya
II Subang, Kecamatan Pekalipan dan Pe- Daerah Tingkat II Cirebon. 1 Juli 1987.
nataan serta Perubahan Nama Kecamatan Jakarta.
di Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat 49 Tahun 1989 Pedoman Perubahan Batas
I Jawa Barat. Lembaran Negara Repub- Wilayah Kotamadya Tingkat II. 4 Septem-
lik Indonesia Tahun 1986 Nomor 51. 21 ber 1989. Jakarta.
Agustus 1986. Jakarta.
Surat Keputusan Gubernur Nomor 126/
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 SK.466-Bappeda/1990 Pola Induk Pengem-
Tahun 2006 Pedoman Penegasan Batas bangan Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I
Daerah. 12 Januari 2006. Jakarta. Jawa Barat. 31 Maret 1990. Jawa Barat.

18
Agung Firmansyah - Kurnia Cahyaningrum Effendi, Ekonomi Politik Penyelesaian Konflik Batas Daerah ...

Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Ting- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekua-
kat II Cirebon Nomor 826.05/SK.44- saan Kehakiman. Lembaran Negara Re-
Huk/1987 Penunjukan Panitia Pengum- publik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8.
pulan Data Hari Jadi Kabupaten Daerah 15 Januari 2004. Jakarta.
Tingkat II Cirebon. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pe-
Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Ting- nataan Ruang. Lembaran Negara Repub-
kat II Cirebon Nomor 003.3.05/ SK.240- lik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. 20
Huk/1988 Pembentukan Panitia Loka- April 2007. Jakarta.
karya Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat Varma, S.P. 1987. Teori Politik Modern. Rajawa-
II Cirebon. li Press. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 Pem- Wignjosoebroto, Soetandyo. 2006. Konflik:
bentukan Kabupaten dalam Lingkungan Masalah, Fungsi dan Pengelolaannya. Di-
Provinsi Jawa Barat. 18 Agustus 1950. skusi Pengelolaan dan Antisipasi Ancaman
Yog­yakarta. Konflik di Jawa Timur. Dewan Pakar
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 Provinsi Jawa Timur. 14 Juni. Jawa Timur.
Pembentukan Daerah Kota Kecil Dalam Zuhro, Siti R., Tri Ratnawati, dan Lili Romli.
Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa 2004. Konflik & Kerja sama Antardaerah:
Tengah dan Jawa Barat, dan Dalam DIY. Studi Pengelolaan Hubungan Kewenangan
Berita Negara Republik Indonesia Tahun Daerah dan Antardaerah di Jawa Timur,
1950 Nomor 45. 14 Agustus 1950. Yog- Bangka, Belitung, dan Kalimantan Timur.
yakarta. Pusat Penelitian Politik-LIPI. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 Peru-
bahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17
Tahun 1950 tentang Perubahan Kota-Kota
Besar dan Kota-Kota Kecil di Jawa.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pe-
merintahan Daerah. Lembaran Negara Re-
publik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60.
7 Mei 1999. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Ar-
bitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengke-
ta. Lembaran Negara Republik Indone-
sia Tahun 1999 Nomor 128. 12 Agustus
1999. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pe-
merintahan Daerah. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125. 15 Oktober 2004. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Per-
imbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 126. 15 Oktober 2004. Jakarta.

19
PANDUAN UNTUK PENULIS

Redaksi Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP) mengundang pembaca untuk
mengirimkan tulisan untuk dimuat di jurnal ini. Ketentuan penulisan naskah adalah sebagai
berikut.
1. Naskah dapat berupa hasil penelitian, artikel berisi pemikiran dan penilaian terhadap buku,
yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.
2. Naskah harus asli, bukan jiplakan, dan tidak mengandung unsur plagiarisme.
3. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris baku dengan intisari dalam Bahasa
Inggris DAN Bahasa Indonesia. Intisari tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah
kunci (keyword).
4. Naskah berupa ketikan asli atau soft copy dengan panjang antara 15 sampai 25 halaman. Dike-
tik di kertas ukuran A4, Times New Roman font 12, spasi ganda.
5. Judul diusahakan cukup informatif dan tidak terlalu panjang, judul yang terlalu panjang harus
dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
6. Naskah ditulis dengan sistematika jelas yaitu Pendahuluan, Tinjauan Teori, Metode Peneli-
tian, Hasil Analisis dan Diskusi, Penutup (terdiri dari Kesimpulan dan Saran). Penomoran
sistematika menggunakan huruf Romawi.
7. Naskah ditulis dengan menggunakan pedoman ilmiah (judul, karangan, judul tabel, daftar
pustaka, kutipan, dll), mengikuti panduan pengutipan yang benar.
8. Penulisan daftar pustaka mengikuti aturan APA-Harvard, ditulis dalam urutan abjad secara
kronologis:
a. Untuk buku: nama pengarang. tahun terbit. judul. edisi. nama penerbit. tempat terbit.
Contoh:
Hicman, G.R dan Lee, D.S. 2001. Managing Human Resources in The Public Sectors: A
Share Responsibility. Harcourt Collage Publisher. Forth Worth.
b. Untuk karangan dalam buku: nama pengarang. tahun. judul karangan. judul buku. nama
editor. halaman permulaan dan akhir karangan.
Contoh:
Mohanty, P. K. 1999. Minicapality Decentralization and Governance: Autonomy, Ac-
countability and Participation. Decentralization and Local Politics. Editor S.N. Jan and
P.C. Marthur. Sage Publication. New Delphi. 212-236.
c. Untuk karangan dalam jurnal/majalah: nama pengarang. tahun. judul karangan. judul jur-
nal/majalah. volume(nomor). halaman permulaan dan halaman akhir karangan.
Contoh:
Dwiyanto, Agus. 1997. Pemerintahan yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel: Kontrol atau
Etika?. JKAP. 1(2): 1-4.
d. Untuk karangan dalam pertemuan: nama pengarang. tahun. judul karangan. nama per-
temuan. tempat pertemuan. waktu.
Contoh:
Utomo, Warsito. 2000. Otonomi dan Pengembangan Lembaga di Daerah. Seminar Nasi-
onal Professional Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pelayanan Publik. Jurusan Adminis-
trasi Negara, FISIPOL UGM. Yog­yakarta. 29 April 2000.
KETENTUAN BERLANGGANAN

Kami ingin mengajak Anda untuk menjadi pelanggan Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik
(JKAP). JKAP terbit dua kali setahun dengan harga satuan Rp40.000,- (belum ongkos kirim).
Hubungi kami di (0274) 563825, isi dan fax form di bawah ini beserta bukti pembayaran ke
(0274) 589655 atau kirim melalui e-mail ke igpa@ugm.ac.id. Pembayaran dapat ditransfer ke Bank
Mandiri Cabang UGM No. Rek. 1370092054119.

Paket Langganan Harga Langganan Pulau Harga Langganan


Jawa Luar Pulau Jawa
1 tahun Rp80.000,- Rp80.000,-
(gratis ongkos kirim) (diskon ongkos kirim 50%)
2 tahun Rp160.000,- Rp160.000,-
(gratis ongkos kirim) (diskon ongkos kirim 50%)
3 tahun Rp320.000,- Rp320.000,-
(gratis ongkos kirim) (diskon ongkos kirim 50%)

Ya, Saya mau menjadi pelanggan JKAP.


Nama : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
Instansi : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
Jabatan : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
Alamat : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
E-mail : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
Telepon : (Rumah) …………..…………..…………..…………..…………..…………..
(Kantor) …………..…………..…………..…………..…………..…………..

Pesan Sekarang.
Transfer ke Bank Mandiri No. Rek. 1370092054119
Dari Bank : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
No. Rekening : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….
Tgl/bln/thn : …………..…………..…………..…………..…………..…………..………….

You might also like