Professional Documents
Culture Documents
Loss of Moral Legitimation Towards Public Leaders Due To Corruption in Indonesian
Loss of Moral Legitimation Towards Public Leaders Due To Corruption in Indonesian
ABSTRACK
Having some legitimacy is a reason that allows the government of this Indonesian state to be
built, and established. Legitimacy is a quality of law which is based on the acceptance of
decisions in the judiciary. If we examine it, legitimacy itself can be defined as to what extent
people are willing to accept and recognize the authority, decisions and policies taken by
their leaders. There are five existing legitimations, namely traditional legitimacy, ideological
legitimacy, personal quality legitimacy, procedural legitimacy and instrumental legitimacy.
However, of the various types of legitimacy, moral legitimacy is the most important and very
important role in the progress of the Indonesian state. Which is where the honesty and
sincerity of the government is demanded, therefore, if we want to be good leaders, we must
first instill a good, honest, trustworthy and just personality in order to be able to become a
good leader, capable of embracing moral legitimacy. Because all leaders should embrace
this moral legitimacy. Moral itself is linked to good and bad. Besides having an impact on
individuals, morals also have an impact on people. If a leader has good morals he will not
betray the people he leads, let alone corruption. However, if he has bad morals, then he will
not be able to be an honest and sincere leader of his people, only a repressive and corrupt
leader who loses his moral legitimacy.
ABSTRAK
Memiliki beberapa legitimasi adalah sebuah alasan yang memungkinkan pemerintahan
negara Indonesia ini dibangun, dan didirikan. Legitmasi adalah sebuah kualitas hukum yang
basisnya pada penerimaan keputusan dalam peradilan. Jika kita telaah, legitimasi sendiri
dapat diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan,
keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya. Terdapat lima legitimasi yang ada,
yaitu legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi, legitimasi
prosedural serta legitimasi instrumental. Namun, dari sekian jenisnya legitimasi, legitimasi
moral lah yang paling penting dan sangat berperan penting dalam kemajuan negara
Indonesia. Yang dimana kejujuran serta ketulusan pemerintah dituntut,oleh karena itu,
apabila kita ingin menjadi pemimpin yang baik maka haruslah terlebih dahulu menanamkan
kepribadian yang baik, jujur, amanah dan adil agar mampu menjadi seorang pemimpin yang
baik, yang mampu menganut legitimasi moral. Karena sudah seharusnya semua pemimpin
menganut legitimasi moral ini. Moral sendiri berkaitan dengan baik dan buruk. Moral juga
selain berdampak pada individu, ia juga berdampak pada orang banyak. Jika seorang
pemimpin memiliki moral yang baik dia tidak akan menghianati rakyat yang dipimpinnya
apalagi korupsi. Namun,jika dia bermoral buruk maka dia tidak akan mampu menjadi
pemimpin yang jujur dan tulus terhadap rakyatnya, hanya akan menjadi pemimpin yang
represif dan korup yang kehilangan legitimasi moralnya.
Legitimasi merupakan hal yang sangat penting dan menjadi pembahasan dimana Plato
dan Aristoteles menyatakan bahwa negara memerlukan legitimasi yang mutlak untuk untuk
mendidik rakyat dengan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral ini terbentuk dari pribadi individu
masing-masing.
Legitmasi adalah sebuah kualitas hukum yang basisnya pada penerimaan keputusan
dalam peradilan. Jika kita telaah, legitimasi sendiri dapat diartikan seberapa jauh masyarakat
mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan dan kebijakan yang diambil oleh
pemimpinnya. Jika berbicara soal legitimasi, maka pembahasannya adalah antara pemimpin
dan masyarakat yang dipimpin dan yang terpenting adalah keputusan masyarakat untuk
menerima atau menolak kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pemimpinnya.
Legitimasi moral sangat diperlukan untuk membangun karakter dan kepribadian yang
jujur serta tulus pada sosok pemimpin. Karena, suatu pemerintahan tidak akan berjalan
dengan baik apabila hanya sekadar mendapatkan legitimasi politis yang sesuai dengan
konstitusi, tapi pemimpinlah yang harus memiliki moral yang baik bagi rakyatnya maupun
jabatan yang didudukinya. Seorang pemimpin apabila ia bermoral buruk maka tidak akan
disegani atau dihormati oleh rakyatnya. Kesimpulannya, menjadi pemimpin harus bisa
mengayomi, memiliki kejujuran yang kuat serta transparansi terhadap rakyatnya.
Pada saat ini, banyak sekali kita temukan penyelewangan moral oleh pemimpin
rakyat, dimana mereka kehilangan legitimasi moralnya. Yang seharusnya para tokoh politik
ini menjadi panutan bagi rakyatnya, justru memberi contoh yang buruk dan tidak pantas
untuk ditiru. Para pemimpin yang hanya memikirkan kesenangan pribadi dan melupakan
kewajiban serta amanah yang dipegangnya, melakukan korupsi dimana mana meraup dan
menggelapkan uang rakyat yang seharusnya dikelolah dengan baik dengan output yang
diharapkan rakyat. Mereka tidak berfikir bahwa Tindakan dan perbuatannya itu akan
menjadi bom waktu dikemudian hari, akan merugikan diri sendiri di saat ini dan di masa yang
akan datang. Mereka akan kehilangan legitimasi moralnya dan kurang bahkan tidak akan
dipercaya lagi untuk mengemban tanggung jawab dalam memimpin rakyat di masa
mendatang.
Oleh sebab itu, penyelewengan terhadap tuntutan rakyat harus ditindak tegas, melihat
akan merugikan orang banyak, dimana seharusnya rakyat mendapatkan perlindungan dan
kesejahteraan hidup. Pemimpin yang kehilangan legitimasi moralnya adalah pemimpin yang
gagal dalam bertanggung jawab terhadap rakyatnya.
METODE PENELITIAN
PEMBAHASAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali keberagaman, mulai dari
Suku, Ras, Bahasa, Adat istiadat, Agama dan sebagainya. Hal ini sangat berpotensi
menimbulkan perpecahan antar warga negara. Maka dari itu, kita memiliki ideologi Pancasila
dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Yang
merupakan suatu penguat persatuan bagi bangsa Indonesia untuk bahu membahu untuk
membangun serta mempertahankan kesucian bumi nusantara dari Tindakan-tindakan kotor
yang dapat membuat perpecahan dan mencoreng nama bangsa.
Namun di era Globalisasi ini, sudah nampak tak ternilai lagi bahwa mayarakat
Indonesia menjunjung tinggi hakikat yang terkandung dalam ideologi dan semboyan negara
kita tersebut. Moral yang diajarkan dari keduanya nampaknya sudah termakan oleh doktrin
budaya barat yang menggerogoti bangsa Indonesia sejak era rezim Orde baru. Saat ini,
Indonesia tengah mengalami krisis moral pada putra putri bangsa. Banyak yang tidak
menyadari bahwa sejatinya moral sangat berpengaruh terhadap peradaban bangsa, jati diri
bangsa bahkan identitas bangsa tersebut di mata dunia.
Perlu kita ketahui, bahwa hancurnya bangsa-bangsa besar hampir secara umum dilatar
belakangi oleh krisis moral dan nilai-nilai luhur budayanya. Yang lebih mengenaskannya
lagi, hilangnya moral dari sosok para pemimpin di negara tersebut. Di Indonesia sendiri,
bukalah hal baru apabila mendengar kata “Korupsi”. Korupsi sudah sejak lama ada di
Indonesia bahkan sejak negeri ini masih dijajah. Kita ambil salah satu contoh yang hampir
setiap orang mengetahui kasus ini, yakni korupsi oleh mantan presiden kedua Repblik
Indonesia, yaitu Seoharto. Korupsi yang menyebakan demo besar besaran bahkan tercatat
sebagai tiga demo paling parah dan besar di Indonesia. Karena contoh buruk tersebut, ia
dipaksa turun dari jabatannya sebagai presiden. Hal ini sebagai contoh bahwa krisis
legitimasi moral pada sosok pemimpin merugikan orang banyak.
Padahal seorang pemimpin harus menjadi pemimpin yang melindungi dan
mengayomi rakyatnya. Tetapi beda dengan di Indonesia masih banyak sekali pemimpin yang
memiliki moral yang tidak seharusnya dimiliki oleh pemimpin. Rapuhnya moral di Indonesia
seperti membuat bahwa seolah-olah korupsi adalah sesuatu hal yang wajar untuk dilakukan,
terkikisnya rasa kemanusiaan terhadap sesama apalagi terhadap rakyat kecil sangat
menyedihkan. Maraknya korupsi yang mereka lakukan merupakan cerminan bahwa moral
Indonesia sudah jatuh dibawah titik terendah. Korupsi tentunya mempengaruhi semua
masyarakat, karena dana yang mereka ambil untuk kepentingan mereka sendiri adalah dana
untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Namun, untuk saat ini, tak ada lagi bencana moral yang paling dahsyat dan
menghebohkan kecuali perilaku tak terpuji yang sehari-hari terjadi di lingkungan para wakil
rakyat kita, dari tingkat pusat (DPR RI) hingga DPRD di daerah- daerah. Menonton video
porno, menjadi calo anggaran, suap, saling fitnah,dan kasus yang paling marak adalah
Korupsi yang sudah menjadi produk sehari-hari dari para anggota parlemen kita. Tugasnya
utamanya sebagai law-maker atau pembuat undang-undang pun akhirnya terabaikan. Bahkan
yang lebih menyesakkan lagi, tak sedikit undangundang yang dihasilkan para wakil rakyat
kita kualitasnya jauh di bawah standar.
Maraknya kasus korupsi oleh para tokoh politisi hampir setiap hari memenuhi lembar
koran dan layar kaca. Dana yang mereka makan tidak sedikit jumlahnya, bahkan sangat
berdampak bagi keberlangsungan hidup orang banyak. Namun, meski demikian hukum
pidana yang ada di negeri ini tidaklah setara dengan dampak yang disebabkan oleh Tindakan
menjijikan tersebut. Bahkan sel tahanan tempat koruptor ditahan saja sekelas apartemen. Hal
itu yang membuat para mantan narapidana kasus koruptor tidak jera meski telah diadili.
Mereka menganggap remeh karena terlalu ringannya hukuman bagi koruptor di negara
Indonesia ini. Krisis moral di Indonesia ini sangat sulit di kendalikan, Selain itu, sistem
politik yang terjadi di Indonesia membuat orang di perbudak oleh nafsu kekuasaan, yang
berujung pada penghalalan segala cara untuk mewujudkan segala ambisinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, semenjak diterapkannya Pilkada
pada tahun 2005 hingga saat ini, KPK telah menangkap sebanyak 300 kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi.
Salah satu contoh kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin daerah adalah korupsi
yang dilakukan oleh mantan Gubernur Jambi Zumi Zola. Yang tercatat sebagai tersangka
kasus dugaan suap terhadap Pengesahan Rencana Anggaran Pendapatan Daerah (RAPBD)
Provinsi Jambi tahun anggaran 2018 yang tentu saja hal ini menguntungkan baginya dan
oknum lain serta merugikan bagi rakyatnya.
Gubernur merupakan seorang pemimpin yang berkewajiban untuk mewakili
rakyat dalam memimpin daerah. Pemimpin yang lupa atas kewajibannya akan
memiliki sikap tamak dan tidak mementingkan kepentingan rakyatnya. Seharusnya sebagai
seorang wakil rakyat, dia harus menjalankan amanah dari rakyatnya. Seperti saat
mereka mengutarakan visi misinya pada kampanye yang dilakukannya. Keadaan seperti
inilah yang terus terusan terjadi yang membuat keadaan politik di Indonesia semakin buruk,
legitimasi moral yang di seharusnya dijunjung justru dikotori oleh sifat tamak untuk
menguntungkan diri sendiri. Janji janji yang diumbar saat kampanye tidak terwujud dengan
baik,hal tersebut yang membuat masyarakat kecewa dan mengubur dalam dalam
kepercayaannya terhadap wakil rakyatnya, hal ini pula yang membuat masyarakat tidak
jarang menolak kebijakan atau keputusan yang dibuat pemerintahnya, karena mereka menilai
hal tersebut mungkin saja hanya menguntungkan bagi pemimpinnya dan merugikan untuk
mereka.
Jika kita sebutkan hukum untuk para koruptor , di dalam Undang Undang yang
berlaku, bunyinya seperti berikut.
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Namun, pada realita prakteknya, sepanjang tahun 2019 hukuman pelaku korupsi rata-
rata hanya 2 tahun 7 bulan saja, berdasarkan catatan Indonesian Corruption Watch (ICW).
ICW sendiri adalah sebuah Lembaga non-pemerintah yang yang memiliki misi untuk
mengawasi dan melaporkan kepada publik tentang Tindakan Tindakan korupsi yang terjadi di
negara Indonesia ini.
"Nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram jika
Mahkamah Agung tetap mempertahankan tren vonis ringan kepada terdakwa kasus korupsi,"
kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu (30/9/2020).
ICW juga mencatat, kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2019 sebesar Rp 12
triliun namun pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya
Rp 750 miliar. Menurut Kurnia, hukuman ringan yang dijatuhkan Mahkamah Agung tersebut
mempunyai tiga implikasi serius. Pertama, hal itu menegasikan nilai keadilan bagi
masyarakat sebagai pihak yang terdampak korupsi. Kedua, vonis ringan meluluhlantakkan
kerja keras penegak hukum yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. Ketiga,
menjauhkan efek jera, baik bagi terdakwa maupun masyarakat.
Jika kita berbicara soal dampak dari korupsi itu sendiri, mungkin tidak akan terhitung
jumlahnya. Namun, intinya akan merugikan. Baik merugikan diri sendiri di masa yang akan
dating maupun orang lain. Bagi negara, akan memperlambatnya pertumbuhan ekonomi,
sebenarnya ekonomi Indonesia ini memang tumbuh, tapi lamban. Tercatat, dari kuartal
pertama sampai kuartal ketiga tahun 2017, ekonomi nasional tumbuh di sekitar 5 persen.
Bisa jadi, lemahnya pertumbuhan ekonomi beberapa waktu ini merupakan dampak dari
merebahnya kasus korupsi di Indonesia.
Sebagai sebuah ukuran keberhasilan, RoI dipakai untuk mengevaluasi efisiensi sebuah
investasi atau untuk membandingkan tingkat efisiensi dari beberapa investasi yang berbeda.
Sebelum berinvestasi, investor terlebih dahulu melakukan riset bahkan kajian yang
komprehensif tentang tingkat prediktabilitas, yang antara lain dapat diukur dari faktor
keamanan, stabilitas, kebijakan-kebijakan strategis pemerintah, termasuk kepastian
penegakan hukum di sebuah negara.
Untuk itu, diperlukan sebuah "ekosistem" yang bersih dan sehat dalam sebuah negara
agar menjadi menarik di mata investor. Salah satu faktor yang sangat berpotensi merusak
"ekosistem" yang baik tersebut adalah korupsi, karena di negara yang tingkat korupsinya
tinggi pasti menyebabkan ketidakstabilan usaha yang berujung pada sebuah kondisi di mana
investor sulit untuk memprediksi tingkat RoI.
Pertama, melakukan pembinaan perilaku anti korupsi kepada seluruh elemen lembaga dan
kementerian. Reformasi birokrasi sudah waktunya dilaksanakan oleh lembaga dan
kementerian sehingga aspek mental birokrat terhindar dari perilaku koruptif.
Kedua, sistem anggaran dengan menggunakan e-budgetting sepertinya perlu
diimplementasikan di seluruh daerah. Sistem tersebut dinilai dapat menimbulkan dampak
positif transparansi pemerintahan. Selain mampu meningkatkan kepercayaan (trust) publik
kepada pemerintah, e-budgetting juga andal digunakan mengelola anggaran yang lebih baik.
Ketiga, memutus rantai pelayanan publik. Rantai pelayanan publik yang terlalu panjang
selama ini menimbulkan munculnya aksi pungut liar, misalkan dengan integrasi pelayanan
publik. Dengan melakukan pemutusan alur pelayanan publik, selain dapat memudahkan,
korupsi pungutan liar diharapkan dapat diminimalisir.
Keempat, menciptakan iklim investasi yang aman bagi investor. Sebab, apabila iklim
investasi tidak nyaman, sedikit banyak akan memengaruhi kepercayaan investor untuk
menanamkan modalnya. Belum lagi, sulitnya prosedur berinvestasi menimbulkan kerugian
investasi, karena mereka harus menggelontorkan sejumlah uang.
Ini baru empat saja, sebetulnya masih banyak lagi solusi yang mampu meredam
tindak korupsi di negara ini. Inefisiensi dan efektivitas perekonomian sejatinya bakal
tercipta, asalkan korupsi dapat dikurangi. Kalau bisa dilenyapkan. Sebab, menurut Dewi
(2002), bila saja Indonesia dapat menekan tingkat korupsi sampai serendah tingkat korupsi di
Jepang, Indonesia akan mampu menembus pertumbuhan ekonomi hingga 6,37 persen. Lebih
lanjut, bila Indonesia sanggup menekan tingkat korupsi hingga serendah Malaysia, ekonomi
Indonesia bisa diperkirakan tumbuh hingga menyentuh 10,68 persen.
PENUTUP
Meskipun legitimasi moral hanya bersifat pendukung, dan tidak tercatat secara
konstitusi seperti legitimasi politisi dan legitimasi konstitusional. Namun, legitimasi moral
adalah hal yang sangat diperlukan dalam memimpin sebuah masyarakat. Karena sebagai
manusia, mereka ingin diperlakukan sebagaimana semestinya. Memiliki pemimpin yang adil,
jujur dan amanah adalah sebuah impian bagi setiap masyarakat. Melalui artikel ini, penulis
ingin menyampaikan bahwa salah satu modal untuk menjadi pemimpin yang dipercaya oleh
masyarakat adalah moral, legitimasi moral diatas segalanya. Pemerintahan akan berjalan
terpincang-pincang apabila sosok pemerintahnya buruk dalam menjalankan roda pemerintah.
Tindakan korupsi selain sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara
juga menghambat pertumbuhan, perkembangan dan keberlangsungan pembangunan nasional
bahkan tingkat kebahagiaan masyarakat . Perlu dicatat, bahwa melemahnya kekuatan suatu
negara untuk berdiri, salah satunya adalah korupsi. Tindakan tindakan busuk yang dilakukan
oleh para petinggi politik, yang sudah menggerogoti tubuh Lembaga Lembaga negara.
Korupsi sudah seperti hal yang biasa saja, awalnya hanya sedikit sedikit lama lama membukit
hingga defisit.
Seharusnya kita semua juga para petinggi politik dan pemimpin negeri ini, belajar dari
sejarah yang terjadi pada tahun 1997/1998 pada masa rezim orde baru dimana negara
Indonesia mengalami krisis moneter akibat dari Korupsi besar-besaran. Namun, tampaknya
mereka para pelaku tidak mengindahkan kejadian buruk tersebut. Mengapa demikian, salah
satu faktor yang membuat mereka tidak jera adalah hukum yang berlaku. Hukuman dan
sanksi bagi para koruptor yang terlalu ringan (bahkan negara memperingan lagi) membuat
mereka terus melakukannya.
Dampaknya yang luar biasa terhadap perekonomian negara, sudah seharusnya diberi
hukum yang tegas, harus diberantas demi mewujudlan masyarakat sejahtera dan Makmur
berdasarkan cita cita bangsa ini yaitu Pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
DAFTAR PUSTAKA