You are on page 1of 15

TUGAS KELOMPOK

PENGGUNAAN OBAT SECARA BIJAK DALAM PELAYANAN


KEFARMASIAN

STUDI KASUS MR. LT

Disusun oleh :

Ida Ayu Made Erma Ariningsih 218122104

Ignatia Erlita Pramujayanti 218122105

Maria Cyrilla Iglesia Adi N. 218122107

Veronika Susi Purwanti R. 218122108

Y.B. Arya Primantana 218122109

Sr. M. Karla Sumiyem 218122111

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2021
HEART FAILURE AND DIABETES POLYPHARMACY CASE STUDY

LT is a 67-year-old white male presenting to your ambulatory care clinic for a CMR. He
says his wife tells him he is taking too many medications and he wants your help evaluating
his current regimen. According to his chart, his blood pressure has been within goal, but he
has been having trouble with heart failure as of late and was recently hospitalized. In the
last few months his blood sugars have been trending on the low end. His mood has been
stable. He complains of regular loose stools over the last couple months and that in addition
to his regular naproxen he has been needing his Advil PM more frequently. Lastly, he says
he’s been seeing commercials for Entresto, what can you tell him about that?

PMH: HTN, HFrEF, DMII, Hyperlipidemia, GAD, PTSD, Open-angle glaucoma,


Osteoarthritis,

Knee replacement (6 mos ago)

Medications :

1. Lisinopril 20mg po qday (6 years)


2. Metoprolol Tartrate 50mg po bid (4 years)
3. Chlorthalidone 50mg po qday (6 years)
4. Cartia XT 240mg po qday (4 years)
5. Lasix 40mg po bid 8am and 2pm x 2 weeks (started 1 week ago)
6. Metformin 1000mg po bid (7 years)
7. Glipizide 10mg po qday (6 years)
8. Januvia 100mg po qday (1 years)
9. Atorvastatin 40mg po qhs (7 years)
10. Duloxetine 60mg po qday (9 years)
11. Latanoprost 0.005% i gtt ou qhs (3 years)
12. Docusate/senna 50/8.6 ii po qam (6 mos)
13. Miralax 1 capful mixed in 4-8 oz of water po qday (3 years)
14. Naproxen 220mg po bid
15. Advil PM 2 caplets po qhs prn
16. Hx of Norco 5/325 due to knee replacement. (Stopped 3 mos ago)
17. Vitamin D3 25mcg po qday (1 year was told by a friend to help prevent Covid
18. Aspirin 81mg po qday (self-prescribed 2 years ago)
DESKRIPSI DIAGNOSA PASIEN

Berdasarkan diagnosa pasien atas nama Mr. LT, pasien mengalami gagal
jantung kongestif, hipertensi, diabetes melitus tipe II, hiperlipidemia, gangguan
kecemasan, trauma karena stres, glaukoma sudut terbuka, dan osteoarthritis.
Banyaknya keluhan dari pasien ini juga diiringi dengan banyaknya obat yang
dikonsumsi oleh pasien. Oleh karena itu perlu adanya telaah mengenai rasionalitas
dari obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien, perlu dilakukan telusur dari
beberapa permasalahan baik dari sisi penyakit pasien maupun obat-obatan yang
dikonsumsi pasien, serta rekomendasi yang dapat diberikan agar terapi pengobatan
pasien ini lebih rasional.

1. Gagal Jantung
Gagal jantung kongestif ini merupakan berhentinya kerja jantung untuk
memompa darah ke jaringan tubuh yang disebabkan oleh adanya kelainan
struktural maupun fungsional dari organ jantung. Beberapa gejala yang khas
ditandai dengan pasien mengalami kelelahan, sesak nafas, dan penumpukan
cairan di paru - paru (edema paru). (Wulandari, dkk., 2018). Hal ini disebabkan
adanya gangguan pada ventrikel kiri sehingga penyebabkan perubahan
outcome yang signifikan. Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan
gagal jantung kongestif yaitu adanya hepatomegali (pembesaran hepar) dan
edema tungkai (Mariyono & Santoso, 2007).

2. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan atau kondisi tekanan darah
sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik diatas 90 mmHg
(Yonata, dkk., 2016). Etiologi dari hipertensi dapat disebabkan karena obesitas,
resistensi insulin, kadar trigliserida yang tinggi dengan kolesterol yang rendah
(HDL) (Haris & Tambunan, 2009).

3. Diabetes Melitus tipe II


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakterristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Komplikasi mikrovaskular, makrovaskular, dan
neuropatik kronis dapat terjadi. DM tipe 2 merupakaan kasus paling banyak
90% dari kasus DM, ditandai dengan adanya resistensi insulin dan relatif
defisiensi insulin. (W, Wells; and Dipiro, 2000; PERKENI, 2019).
Kriteria diagnosis DM ditegakkan bila Pemeriksaan glukosa plasma
puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupn kalori minimaal 8 jam.
Atau Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥200 mg/dl. 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,4% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standaritazion Program (NGSP).
4. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah kondisi medis yang ditandai dengan peningkatan
satu atau lebih lipid plasma, termasuk trigliserida, kolesterol atau plasma
lipoprotein seperti LDL dan penurunan kadar HDL. Hiperlipidemia
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni primer dan sekunder.
Hiperlipidemia primer disebabkan oleh adanya kelainan genetik pada pasien.
sedangkan hiperlipidemia sekunder merupakan hiperlipidemia akhibar adanya
menyakit lain seperti hipotiroidisme, sindroma nefrotik, diabetes, dan
sindroma metabolik.
Gejala klinik dan keluhan pada hiperlipidemia tidak ada. manifestasi
klinik yang timbul biasanya merupakan komplikasi dari hiperlipidemia seperti
penyakit jantung koroner dan strok. Pasien dengan kadar Trigliserida tinggi
dapat menyebabkan pankreasitis akut gangguan kesadaran, perasaan sesak
napas dan lain lain. Pada pasien dengan kadar LDL tinggi dapat timbul arkus
kornea dan xantoma pada daerah tendon siku dan lutut.

5. Gangguan Kecemasan
Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi
kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan
proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada penyebabnya – yaitu bila
bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan (Nevid, dkk 2005).
Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai
dengan simtom-simtom fisik, seperti jantung yang berdebar-debar, nafas cepat,
nafas tersengal atau kesulitan bernafas, banyak mengeluarkan keringat, dan
terdapat rasa 6 lemas dan pusing (Nevid, dkk, 2005). Suatu diagnosis gangguan
panik didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
1) Mengalami serangan panik secara berulang dan tidak terduga (sedikitnya
dua kali).
2) Sedikitnya satu dari serangan tersebut diikuti oleh setidaknya satu bulan rasa
takut yang persisten dengan adanya serangan berikutnya atau merasa cemas
akan implikasi atau konsekuensi dari serangan (misalnya, takut kehilangan
akal „menjadi gila‟ atau serangan jantung) atau perubahan tingkah laku
yang signifikan (Nevid, dkk, 2005). Gangguan panik biasanya dimulai pada
akhir masa remaja sampai pertengahan usia 30-an tahun. Perempuan
mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan
gangguan panik (Nevid, dkk, 2005).

Dalam teori biologi, panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan


dalam sistem noradrenergic (neuron yang menggunakan norepinefrin sebagai
neurotransmitter). Penanganan biologis diberikan obat-obat anti panik.
Beberapa obatan tersebut menunjukkan keberhasilan sebagai penanganan
biologi bagi penderita gangguan panic. Obat-obatan tersebut mencakup
antidepresan (seperti Selective Serotonin Reuptake (SSRI), Serotonin and
Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI), Trisiklik, Monoamine Oxidase
Inhibitors (MAOIs), dan Noradrenaline and Specific Serotonergic
Antidepressants (NASSAr) dan benzodiazepine (seperti Alprazolam atau
Xanax).

6. Glaukoma sudut terbuka


Glukoma sudut terbuka merupakan penyakit yang terjadi ketika tekanan
intraokular mata meningkat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada saraf
optik di mata yang dapat mengakhibatkan penglihatan semakin menurun dan
pasien berisiko mengalami kebutaan (Mahabadi et al, 2020). Berdasarkan
diagnosis dokter, pasien LT tersebut mengalami glaukoma sudut terbuka.
Diperkirakan pasien LT mengalami glaukoma sudut terbuka sejak 3 tahun yang
lalu yang disebabkan oleh diabetes melitus yang dialami pasien sejak 7 tahun
yang lalu (American optometric Association, 2020). Hal tersebut dapat
dijelaskan melalui mekanisme saat kadar gula pada pasien tidak terkontrol akan
mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen dan akan membuat pembuluh darah
yang baru, menjalarnya pembuluh darah ke tempat keluarnya air mata dapat
menghambat keluarnya aliran air mata sehingga tekanan bola mata meningkat
dan memicu timbulnya glaukoma (Song et al, 2016).

7. Osteoarthritis
Osteoarthritis menurut American College of Rheumatology merupakan
sekelompok kondisi heterogen yang mengarah kepada tanda dan gejala sendi.
Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif dan progresif yang mengenai
dua per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5%
pada pria dan 70,5% pada wanita (Sumual AS, 2012). Penyakit ini
menyebabkan nyeri dan disabilitas pada pasien sehingga mengganggu aktivitas
sehari-hari. Jenis OAINS termasuk aspirin, ibuprofen dan naproxen adalah
obat yang sering digunakan pada penanganan penyakit ini. Namun,
penggunaan jangka panjang OAINS dapat menyebabkan masalah lambung
seperti ulkus dan pendarahan. Obat ini juga dapat meningkatkan risiko
serangan jantung dan stroke (Inawati, 2008).

8. Konstipasi/Sembelit
Konstipasi atau yang dikenal juga dengan sebutan sembelit adalah
kondisi sulit buang air besar, seperti tidak bisa buang air besar sama sekali atau
tidak sampai tuntas. Walaupun frekuensi buang air besar setiap orang bisa
berbeda-beda, seseorang dapat dinyatakan mengalami konstipasi jika buang air
besar kurang dari 3 kali dalam seminggu.Tidak terdapat informasi terkait
diagnosis oleh dokter bahwa pasien mengalami konstipasi, namun diduga
penggunaan obat pencahar pada pasien tersebut disebabkan oleh penyakit
diabetes yang dialami pasien. Pasien dengan diabetes memiliki resiko yang
tinggi terkena gangguan pada gastrointestinal.Sebanyak 75% pasien diabetes
memiliki gejala pada gastrointestinal, seperti mual, kembung, diare, sembelit,
mulas, serta disfagia, namun 60 % diantaranya mengalami sembelit/konstipasi
(Piper et al, 2017).
ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT MR. LT

1. Rasionalitas penggunaan Lisinopril


Berdasarkan kasus pasien LT pernah mengalami gagal jantung bahkan
sampai sempat dirawat di rumah sakit. Lisinopril diindikasikan untuk
pengobatan gagal jantung pada orang dewasa. Efek samping dari obat lisinopril
pada pasien dengan CHF diantaranya : pusing, diare, hipotensi, kelelahan, dan
sakit kepala. Fungsi ginjal pada pasien dengan pemakaian lisinopril disertai
dengan diuretik dilaporkan masih normal. (Rush, et. al, 1987), Dosis obat yang
digunakan saat ini adalah 4 x sehari 20 mg. Dosis ini sebaiknya diturunkan
menjadi maksimal 20 mg sampai 40 mg sehari sekali (FDA dosage).

2. Rasionalitas penggunaan Metoprolol Tartrate


Indikasi dari metoprolol dapat diberikan untuk pasien gagal jantung
kongestif. Dosis yang diberikan kepada pasien LT adalah 2 x sehari 50 mg.
Pasien sudah mengkonsumsi obat ini selama 4 tahun. Pemberian obat ini dengan
dosis tersebut sudah sesuai. Namun obat ini tidak bisa dihentikan
penggunaannya secara mendadak. (Micromedex)

3. Rasionalitas penggunaan Lasix


Pada pasien ini diberikan lasix 40 mg per oral 2 x sehari setiap jam 08.00
pagi dan 14.00 selama 2 minggu dimulai sejak seminggu yang lalu. Lasix dengan
zat aktif furosemide berfungsi sebagai diuretik. Diuretik ini dapat berfungsi
untuk mengatasi perburukan akibat gejala bradikardi saat diberikan metoprolol
dosis ganda. Lasix ini juga berfungsi untuk mengurangi retensi cairan dalam
paru akibat dari CHF. Dosis yang diberikan tersebut sudah tepat dengan tetap
melakukan monitoring terhadap tanda dan gejala sesak nafas. (Micromedex)

4. Rasionalitas penggunaan Cartia XT


Pasien sudah menggunakan Cartia XT (Diltiazem 240 mg) per oral 1 x
sehari selama 4 tahun. Obat antihipertensi ini juga dapat meredakan gejala nyeri
dada (Angina), takikardia supraventrikular paroksismal, serta fibrilasi atrium
(Medscape)

5. Rasionalitas penggunaan Chlorthalidone


Penggunaan Chlorthalidone 50 mg oleh pasien dengan regimen dosis per
oral 1 x sehari selama 4 tahun saat ini masih masuk dalam range dosis terapi
untuk hipertensi maupun heart failure. (Medscape)
6. Rasionalitas penggunaan Advil PM
Pasien menggunakan Advil PM (diphenhydramine 25 mg/ibuprofen 200
mg) bila perlu saja di malam hari sudah rasional. Efek sedasi untuk kondisi nyeri
ringan sampai moderat pasien dapat membantu jika pasien merasa terganggu
tidurnya (Medscape).

7. Rasionalitas penggunaan Duloxetine


Duloxetine sebagai antidepresan golongan selective serotonin dan
norepinephrine reuptake inhibitors, pereda rasa nyeri pada penderita diabetes,
serta dapat digunakan untuk mengatasi depresi dan gangguan kecemasan
(Medscape).

8. Rasionalitas penggunaan Naproxen


Naproxen sebagai anti inflamasi non steroid dapat meredakan nyeri,
bengkak akibat peradangan. Pasien menggunakan Naproxen 220 mg per oral 2
x sehari sesuai dengan dosis yang dianjurkan untuk kondisi nyeri yang sudah
stabil. Untuk nyeri akut dosis (Medscape).

9. Rasionalitas penggunaan Norco 5/325


Norco merupakan sediaan kombinasi hydrocordone 5 mg dan
acetaminophen 325 mg. Norco diindikasikan untuk mengontrol nyeri sedang
hingga berat, pengelolaan nyeri akut serta pengobatan simtomatik pilek dan
rinitis alergi. Hydrocodone juga dapat digunakan untuk management nyeri
sedang ke berat seperti pada pasien post operasi, trauma dan cancer. Kombinasi
hydrocodone dan acetaminofen pada beberapa penelitian jauh lebih efektif tanpa
perubahan signifikan pada efek samping. Dosis 1-2 tablet setiap 4-6 jam dengan
dosis maksimum 8 tablet perhari.
Penggunaan Norco pada Px LT untuk mengurangi nyeri pasca
replacement lutut, tidak diketahui dosis yang digunakan dan obat sudah
dihentikan tiga bulan lalu, kemungkinan karena pasien sudah tidak ada keluhan
lagi dengan lututnya setelah operasi enam bulan sebelumnya. Secara umum
penggunaan Norco sudah sesuai untuk kondisi setelah replacement lutut karena
lebih efektif tanpa perubahan signifikan pada efek samping

10. Rasionalitas penggunaan Aspirin 81 mg


Aspirin yang dikenal dengan asam asetilsalisilat (ASA) adalah obat yang
umum digunakan untuk pengobatan nyeri dan demam karena berbagai
penyebab. Asam asetilsalisilat memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik. Obat
ini juga menghambat agregasi trombosit dan digunakan dalam pencegahan
stroke pembekuan darah, dan infark miokard (MI)
Penggunaan aspirin 81 mg untuk pasien LT digunakan sebagai
antiplatelet karena riwayat gagal jantung. Menurut Bermingham, terapi aspirin
dosisi rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas secara
signifikan dalam jangka panjang.

11. Rasionalitas penggunaan Atorvastatin


Statin merupakan salah satu pilihan terapi untuk pasien hiperlipidemia,
yang memiliki mekanisme kerja mengurangi pembentukan kolesterol dihati
dengan menghambat secara kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA
reduktase.Terapi statin perlu diberikan pada pasien tersebut dengan tujuan untuk
membantu menurunkan kadar kolesterol total dan LDL pasien untuk mencegah
terjadinya resiko penyakit kardiovaskuler lain. Berdasarkan American Diabetes
Association (2018) statin intensitas tinggi harus diberikan pada pasien diatas 40
tahun dan memiliki satu atau lebih faktor risiko PKV seperti riwayat keluarga,
hipertensi, merokok, dislipidemia atau albuminuria. Berdasarkan informasi yang
didapatkan melalui kasus tersebut, pasien tersebut berusia 67 tahun dengan
penyakit penyerta diabetes, dislipidemia dan hipertensi, oleh karena itu
pemberian statin intensitas tinggi diperlukan pada pasien tersebut. Pemberian
terapi Atorvastatin 40 mg satu kali sehari setiap menjelang tidur pada pasien
tersebut sudah tepat karena atorvastatin 40 mg masuk ke dalam kelompok high
intensity statin.

12. Rasionalitas pengggunaan Latanoprost


Penggunaan terapi latanoprost 0,005% satu tetes sehari pada malam hari
sebagai terapi glukoma sudut terbuka pada pasien sudah tepat. Latanoprost
merupakan analog prostaglandin yang bekerja dengan meningkatkan arus keluar
uveosklera sehingga dapat mengurangi tekanan intra-okular pada hipertensi
okuler atau pada glaukoma sudut terbuka (Badan POM, 2021). Tujuan dari terapi
glukoma sudut terbuka adalah untuk mempertahankan visual dengan
mengurangi tekanan intra okular ke angka batas yang tidak menyebabkan
kerusakan syaraf optik yang lebih parah (<21mmHg / 2,8 kPa) (DiPiro et al,
2017).

13. Rasionalitas penggunaan miralax dan docusate


Tidak terdapat terapi yang spesifik untuk konstipasi kronis akibat
diabetes, namun pilihan pertama terapi yang diberikan adalah terapi non
farmakologi dengan seperti memperbanyak konsumsi air putih, menghindari
konsumsi kafein, mengkonsumsi serat dari buah dan sayur yang cukup. Apabila
dengan menggunakan terapi non farmakologi tidak dapat menunjukkan hasil
yang baik maka pilihan kedua untuk pasien adalah golongan laxative. Pilihan
terapi selanjutnya apabila dengan pilihan terapi kedua tidak mendapatkan hasil
adalah dengan menggunakan golongan synthetic macromolecule seperti
polietilen glikol (Prasad et al, 2016). Pada kasus tersebut pasien disarankan
untuk menggunakan terapi tunggal obat pencahar yakni miralax kemudian
pasien juga disarankan untuk melakukan terapi non farmakologi terapi obat
berlebih. Selain itu, penggunaan terapi non farmakologi juga dapat membantu
pasien menghindari ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat, mengingat obat
obatan yang diterima pasien sudah cukup banyak, serta usia pasien yang sudah
tua.

14. Rasionalitas penggunaan Vitamin D3


Vitamin D3 dihasilkan di kulit ketika 7-dehydrocholesterol berinteraksi
dengan penyinaran ultraviolet yang biasa ditemukan di sinar matahari.
Diindikasikan untuk pengobatan kondisi medis tertentu seperti rakhitis refrakter
(atau rakhitis resisten vitamin D), hipoparatiroidisme, dan hipofosfatemia
familial. Cholecalciferol juga sangat sering digunakan sebagai suplemen pada
individu untuk mempertahankan kadar vitamin D yang cukup dalam tubuh atau
untuk mengobati kekurangan vitamin D, serta berbagai kondisi medis yang dapat
terkait langsung atau tidak langsung dengan kekurangan vitamin D seperti
osteoporosis dan penyakit ginjal kronis.
Saat ini beberapa penelitian menunjukkan peran vitamin D dalam
mengurangi resiko infeksi saluran pernafasan virus akut dan pneumonia, bekerja
dengan cara menghambat replikasi virus dengan orimunomodulator
antiinflamasi. Oleh karena itu orang yang beresiko lebih tinggi mengalami
defisiensi vitamin D selama pandemi global harus mempertimbangkan
mengkonsumsi suplemen vitamin D3 untuk mempertahankan 25(OH)D yang
bersirkulaasi pada tingkat optimal (75-125 nmol/lter).
Konsumsi Vitamin D3 untuk pasien LT sebaiknya dilakukan pengecekan
terlebih dahulu kadar vitaman D dalam tubuh. Jikalau terdapat defisiensi vitamin
D, pasien disarankan untuk mengkonsumsi vitamin D3, dan pasien disarankan
untuk berjemur dibawah sinar matahari

15. Rasionalitas Penggunaan Metformin, Glipizide, dan Januvia


Mr. LT yg berusia 67tahun dan telah terdiagnosa DM tipe 2, dan dari
riwayat pengobatannya telah menggunakan metformin tablet 1000mg per oral
2x sehari selama 7 tahun terakhir ini, glipizide 100mg 4 x sehari selama 6 tahun
terakhir ini, serta januvia 100mg 4 x sehari selama 1 tahun terakhir ini. Saat ini
ada dari hasil riwayat pemeriksaan kadar gula darahnya cenderung rendah.
Muncul keluhan konstipasi dan glaukoma sudut mata. Perlu penyesuaian
kembali penggunaan obat ini. Dapat dimulai dengan penurunan dosis dan aturan
minum dengan interval 10 - 15 hari lalu dikontrol kadar gula darahnya agar tetap
berada dalam ambang normal.
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN YANG DIALAMI MR. LT DAN
PENYEBABNYA

Mr. LT menyatakan menurut istrinya dia sudah minum obat terlalu


banyak, dan pasien ini datang ke apoteker untuk minta bantuan apoteker
mengevaluasi regimen obat yang diminumnya sampai sekarang ini. Berdasarkan
obat yang digunakan pasien selama ini, masalah penggunaan obat yang dapat
dievaluasi adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan Anti Diabetes Oral (ADO) sebanyak tiga macam (Metformin,


Glipizide, Sitagliptin) tidak rasional. Sesuai algoritme terapi DM,
kombinasi terapi DM diberikan jika kadar Hba1C ≥ 7-8% atau kadar gula
darah puasa 10-13 mmol/L. Kombinasi terapi yang digunakan adalah
Metformin dengan salah satu agen ADO yang lain seperti kelas DPP-4
inhibitor /Metiglinid /SU/TZD/ Insulin. Follow up dengan Hba1C dilakukan
setiap 3-6 bulan. (PERKENI 2019). Pada kasus ini kadar gula darah
dikatakan mendekati nilai bawah dan kadar Hba1C tidak diketahui dan tidak
difollow up sehingga pemberian ADO kemungkinan tidak sesuai dengan
algoritme. Pasien dengan heart failure dan DM disarankan menggunakan
SGLT2 inhibitor.

2. Penggunaan obat gagal jantung dan hipertensi pada pasien ini ada beberapa
jenis yaitu Lisinopril, metoprolol, chlortalidone, dan Cartia XT. Pada
histotory diagnosa pasien tidak disebutkan pasien pernah mengalami angina
pektoris. Beberapa obat tersebut mempunyai fungsi yang hampir sama.
Dosis Lisinopril diatas dosis yang dianjurkan yaitu 20 mg sampai 40 mg
dengan frekuensi dosis 2 kali sehari. Pada pasien ini, frekuensi dosis yang
dikonsumsi adalah 4 kali sehari 20 mg.

3. Pasien mengatakan bahwa belakangan dia perlu minum Advil PM


(diphenhydramine 25 mg/ibuprofen 200 mg) lebih sering (sebelumnya
hanya bila perlu saja sesuai dosis yang dianjurkan). Perlu digali lebih lanjut
apakah pasien ini merasakan nyeri yang lebih sering sehingga memerlukan
obat tersebut untuk membantu mengurangi nyerinya. Jika pasien minum
Advil PM setiap hari sesuai aturan pakai yang dianjurkan, masih dapat
direkomendasikan dengan menambahkan saran agar lebih berhati-hati
dalam beraktivitas. Mengingat pasien dengan usia 67 tahun tersebut masih
dalam masa pemulihan pasca operasi penggantian lutut 6 bulan yang lalu.
REKOMENDASI PERBAIKAN TERAPI PASIEN

Sembilan tahun yang lalu Mr. LT mulai mengkonsumsi duloxetine sebagai


obat atas kecemasan yang yang dideritanya, dua tahun setelahnya Mr. LT juga
mengkonsumsi atorvastatin dan metformin sebagai obat atas sakit
kolesterol/hiperlipid dan diabetes. setahun kemudian Mr. LT juga kembali
menambah konsumsi obatnya karena menderita gagal jantung dengan obat
lisinopril. selain itu obat lain juga digunakan yaitu chlorthalidone untuk
hipertensinya dan glizipide untuk diabetesnya. jadi sejak enam tahun yang lalu Mr.
LT untuk sakit diabetesnya menggunakan dua obat sekaligus yaitu metformin dan
glizipide. dua tahun setelahnya atau mulai empat tahun yang lalu mr LT kembali
menambah obat hipertensi yang dikonsumsi dengan mulai mengkonsumsi obat
metoprolol tartat dan cartia XT sehingga sejak empat tahun yang lalu obat
hipertensi yang dia gunakan sebanyak tiga obat sekaligus setiap harinya. sejak tiga
tahun yang lalu kembali mr LT menambah konsumsi obatnya latanoprost dan
miralax untuk mengobati sakit glaukoma dan konstipasi sebagai akibat dari sakit
diabetesnya. kemudian sejak dua tahun yang lalu dia kembali menambah konsumsi
obatnya dengan juga mengkonsumsi aspirin untuk mengurangi rasa nyeri yang
dirasakannya. setahun yang lalu kembali mr LT menambah obat yang dia konsumsi
dengan mengkonsumsi januvia dan vit D untuk diabetesnya dan mencegah terkena
covid. jadi sejak setahun yang lalu untuk sakit diabetesnya dia mengkonsumsi 3
jenis obat sekaligus yaitu metformin, glizipide dan januvia. setengah tahun yang
lalu kembali dia menambahkan obat docusate untuk sakit konstipasinya sehingga
sejak 6 bulan lalu untuk obat pencahar mengkonsumsi 2 obat yaitu miralax dan
docusate. 3 bulan yang lalu dia menghentikan obat norco (tidak disebutkan sejak
kapan dia menggunakanya). terakhir dia mulai seminggu yang lalu kembali
menambah obat yang dikonsumsinya ketika mulai mengkonsumsi lasik. untuk obat
naproxen dan advil juga tidak diketahui sejak kapan mulai dikosumi. naproxen
digunakan untuk mengobati osteoporosis dan advil untuk nyeri dan antidepresan.
jadi sekarang total obat yang dikonsumsi oleh mr LT sebanyak 17 jenis obat dengan
rincian obat hipertensi 3 jenis, obat diabetes 3 jenis, obat kolesterol 1 jenis, obat
gagal jantung 2 jenis, obat kecemasan 2 jenis, obat osteoarthritis 1 jenis dan 1
vitamin, obat konstipasi 2 jenis dan obat glaukoma 1 jenis, obat nyeri 1 jenis.
Rekomendasi untuk pasien dengan riwayat 17 macam obat yang masih
digunakan selama ini untuk perbaikan terapi yang diberikan adalah sebagai berikut:

• Perlu dipertimbangkan pemberian satu obat pencahar saja (miralax /docusate) pada
pasien. Pasien disarankan untuk lebih banyak mengkonsumsi serat sayuran dan
buah serta mengkonsumsi air putih yang cukup. Penggunaan terapi non farmakologi
dapat menghindari ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat karena yang
diterima pasien sudah cukup banyak, serta usia pasien yang sudah tua.
• Perlu dipertimbangkan mengurangi obat antidiabetes oralnya dikarenakan kadar
gula darah dalam batas normal, perlu cek HbA1C
• Hubungi pasien setelah pengurangan penggunaan Anti Diabetik Oral (ADO), masih
konstipasi atau tidak
• Penggunaan obat gagal jantung dan hipertensi cukup banyak, perlu adanya
penyesuaian obat atau penurunan dosis obat yang digunakan. Frekuensi
penggunaan lisinopril sebaiknya disesuaikan dengan maksimal dosis dalam sehari
yang 40 mg. Jadi disarankan dosis lisinopril yang diberikan adalah dengan
frekuensi 2 kali sehari 20 mg.
• Pemberian metoprolol untuk pasien LT ini sudah berlangsung selama 4 tahun. Obat
ini juga merupakan obat yang diindikasikan untuk gagal jantung dan hipertensi.
Fungsi obat ini hampir sama dengan lisinopril namun mempunyai mekanisme kerja
yang berbeda. Namun jika akan digunakan salah satu, sebaiknya penghentian obat
ini tidak dilakukan mendadak, namun dengan menurunkan dosis dan frekuensi
secara bertahap. Selain itu, sebaiknya melakukan pengecekan tekanan darah secara
periodik.
• Penggunaan obat Lasix (Furosemide) sudah tepat. Obat ini hanya diberikan untuk
2 minggu. Disarankan setelah penggunaan obat ini dilakukan monitoring terhadap
tanda dan gejala yang muncul, seperti sesak nafas. Jika masih terjadi sesak nafas,
sebaiknya berkonsultasi ke dokter untuk pemeriksaan fisik dan klinis. Bila perlu
penggunaan obat lasix ini dapat dilanjutkan sampai gejala klinis berkurang dan
berhenti.
• Pasien akhir-akhir ini melihat iklan Entresto (Sacubitril 24 mg/Valsartan 26 mg)
dan mungkin mempertimbangakan untuk menggunakan obat tersebut. Berdasarkan
kondisi pasien saat ini, apakah pasien memerlukan tambahan obat Entresto tersebut.
Berdasarkan data bahwa tekanan darah pasien sesuai target terapi, namun pasien
baru keluar dari rumah sakit karena gagal jantung. Pasien dapat diusulkan kepada
dokter untuk diresepkan obat Entresto dengan catatan untuk diusulkan pengurangan
obat antihipertensi lainnya. Cartia XT dan lisinopril dapat diusulkan untuk
dikurangi. Mengingat Cartia XT (Diltiazem) dapat menghambat penyerapan
kalsium menjadi kurang disarankan untuk pasien dengan osteoarthritis yang
memerlukan tambahan asupan kalsium pada tulangnya. Selain itu Lisinopril juga
ada interaksi obat dengan Aspirin. Sesuai referensi, dinyatakan bahwa Entresto
diindikasikan untuk mengurangi risiko kematian kardiovaskular dan rawat inap
pada pasien gagal jantung kronis (CHF)
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2018. Cardiovascular Disease and Risk


Management: Standards of Medical Care in Diabetes. Diab Care.
Anonim, “Hydrocodone: Indication, Dosage, Side Effect, Precaution | MIMS
Indonesia.”
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/hydrocodone?mtype=generic
(accessed Sep. 21, 2021).
Anonim, “Hydrocodone: Uses, Interactions, Mechanism of Action | DrugBank
Online.” https://go.drugbank.com/drugs/DB00956 (accessed Sep. 21, 2021).
Anonim, “Hydrocodone-Acetaminophen Oral: Uses, Side Effects, Interactions,
Pictures, Warnings & Dosing - WebMD.”
https://www.webmd.com/drugs/2/drug-251/hydrocodone-acetaminophen-
oral/details (accessed Sep. 17, 2021).
Anonim, “Salicylic Acid (Aspirin) - StatPearls - NCBI Bookshelf.”
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519032/ (accessed Sep. 17,
2021).
B. Daniel, “Vitamin D: Production, Metabolism, and Mechanisms of Action -
Endotext - NCBI Bookshelf,” 2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278935/ (accessed Sep. 21,
2021).
Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2021. Analog Prostaglandin.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-11-mata/114-pengobatan-
glaukoma/analog-prostaglandin. Diakses pada 20 September 2021.
H. Arif and S. Aggarwal, “Salicylic Acid (Aspirin),” StatPearls, Jul. 2021,
Accessed: Sep. 21, 2021. [Online]. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519032/.
Haris, S., Tambunan, T., 2009, Hipertensi pada Sindrom Metabolik, Sari Pedeiatri,
Vol. 11(257)
MIMS, 2021. Glipizide.
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/glipizide?mtype=generic,
accessed 17 September 2021
th

MIMS, 2021. Metformin.


https://www.mims.com/indonesia/drug/info/metformin?mtype=generic,
accessed 17 September 2021
th

MIMS, 2021. Januvia. https://www.mims.com/indonesia/drug/search?q=Januvia,


accessed 17 Sept 2021
th

Inawati. Osteoartritis. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma


Surabaya;2008.
M. Bermingham et al., “Aspirin use in heart failure is low-dose therapy associated
with mortality and morbidity benefits in a large community population?,”
Circ. Hear. Fail., vol. 7, no. 2, pp. 243–250, 2014, doi:
10.1161/CIRCHEARTFAILURE.113.000132.
M. Habibi and P. Y. Kim, “Hydrocodone and Acetaminophen,” StatPearls, Jul.
2021, Accessed: Sep. 17, 2021. [Online]. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538530/.
Mahabadi, D., Foris, L.A., and Tripathy, K., 2020 . Open Angle Glaucoma.
American Optometric Association.
Mariyono, H.H., Santoso, A., 2007, Gagal Jantung, J. Feny Dalam, Vol. 8(3).
N. Al-Hashimi and S. Abraham, “Cholecalciferol,” StatPearls, Jan. 2021,
Accessed: Sep. 17, 2021. [Online]. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549768/.
N. Ali, “Role of vitamin D in preventing of COVID-19 infection, progression and
severity,” J. Infect. Public Health, vol. 13, no. 10, pp. 1373–1380, Oct. 2020,
doi: 10.1016/J.JIPH.2020.06.021.
Nevid, J.S, Rathus, S.A., & Greene B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta:
Erlangga.
PERKENI (2019) Pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
di Indonesia, Perkeni.
Perkumpulan Dokter Endokrinologi Indonesia, 2019. Pedoman Pengelolaan
Dislipidemia di Indonesia. PB PERKENI.
Piper, M.S., and Saad, R.J., 2017. Diabetes Mellitus and the Colon. Curr Treat
Options Gastroenterol. 15(4) 460-474.
Prasad, V.G.M., and Abraham, P., 2016. Management of Chronic Constipation in
Patients with Diabetes Mellitus. Indian Journal Gastroenterol. 36(1) 11-22
Sumual AS. Pengaruh Berat Badan Terhadap Gaya Gesek Dan Timbulnya
Osteoarthritis Pada Orang Di Atas 45 Tahun Di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Skripsi.Manado: Bagian Fisika Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado; 2012.
W, B. G., Wells; and Dipiro, J. T. (2000) Pharmacotherapy Handbook. 7nd Edition,
The Annals of Pharmacotherapy. doi: 10.1345/aph.10237.
Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., DiPiro, J.T., and DiPiro, C.V., 2017.
Pharmacotherapy Handbook. Tenth Edition. Mc Graw Hill Education
Wulandari, T., Nurmainah, Robiyanto, 2018, Gambaran Penggunaan Obat Pada
Pasien Gagal Jantung Kongestif Rawat Inap di Rumah Sakit Sultan Syarif
Mohamad Alkadrie Pontianak, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung
Pura Pontinak.
Yonata, A., Pratama, A.S.P., 2016, Hipertensi Sebagai Faktor Pencetus Terjadinya
Stroke, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

You might also like