You are on page 1of 8

Jurnal Anestesiologi Indonesia

LAPORAN KASUS
Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia Esophagus dan Atresia
Esofagus
Anesthesia Management Patient with Esophageal Atresia/Tracheoesophageal
Fistula

Fadli Armi Lubis*, Hasanul Arifin*


* Bagian Anestesi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSU Haji Adam Malik , Medan
Korespondensi/correspondence: fadliarmilubis@yahoo.co.id

ABSTRACT

Background: Esophageal atresia is a congenital medical condition (birth defect)


which affects the digestive tract. Congenital anatomical defect is caused by an
abnormal embryological development of esophageal fistula forming tracheoesofageal.
Surgical repair is the definitive treatment for EA and TEF. Due to fistula, the airway
tract is altered and the anesthesiologist should face a unique challenge on its
management

Case : A baby boy, admitted to hospital with main complaint vomitus after breastfed.
Physical findings shown as crackles on breath sound. Intubation using awake
technique. During operation, hemodynamic was stable, maintanance with sevoflurane
MAC 1%, fentanyl 4 µg/hr, and rocuronium 0,5 mg/hr. When desaturation occured, we
stop the operation, we check the tube in place, gave adequate ventilation, after a while
the saturation rises and then the operation procedure continued. However, anastomose
of esophagus could not be done because the distance between the defect was too far.
Duration of the operation was about 4 hours. Awake intubation technique was used.
Hemodynamic was stable during surgery, and found TEF type C. After surgery patient
was taken cared in NICU and 3 days later the patient died.

Summary: Good anesthetic management using "awake intubation" and good


ventilation is a chosen technique in this case. The operation lasted 4 hours with stable
hemodynamics. However, because the operation did not successfully correct the
defect, then the postoperative outcome were futile.

Keyword: Anesthesia management, congenital anomaly, tracheoesophageal fistula

ABSTRAK

Pendahuluan : Atresia esofagus adalah suatu kondisi medis bawaan ( cacat lahir )
yang mempengaruhi saluran pencernaan . Cacat bawaan anatomi disebabkan oleh
perkembangan embrio abnormal fistula esofagus membentuk tracheoesofageal . Bedah
perbaikan adalah pengobatan definitif untuk EA dan TEF . Karena fistula , saluran
napas diubah dan ahli anestesi harus menghadapi tantangan unik pada manajemen

Volume V, Nomor 3, Tahun 2013 217


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kasus : Seorang bayi laki-laki , masuk rumah sakit dengan keluhan utama muntah
setelah disusui . Temuan fisik ditemukan ronki basah kasar pada suara napas .
Intubasi menggunakan teknik intubasi sadar . Selama operasi , hemodinamik stabil ,
maintanance dengan sevofluran MAC 1 % , fentanil 4 mg / jam , dan rocuronium 0,5
mg / jam . Durasi operasi adalah sekitar 4 jam . Hemodinamik stabil selama operasi ,
dan menemukan TEF tipe C. Ketika desaturasi terjadi , kami menghentikan sejenak
operasi, kami memeriksa posisi ETTat , memberikan ventilasi yang cukup , setelah
beberapa saat saturasi naik dan kemudian operasi dilanjutkan . Meski demikan
anastomose esofagus gagal dilakukan karena jarak antara cacat itu terlalu jauh .
Setelah pasien operasi diambil dirawat di NICU dan 3 hari kemudian pasien
meninggal.

Ringkasan: Manajemen anestesi baik menggunakan " intubasi sadar " dan ventilasi
yang baik adalah teknik yang dipilih dalam kasus ini . Operasi berlangsung 4 jam
dengan hemodinamik stabil. Namun, karena operasi tidak berhasil memperbaiki cacat
tersebut , maka hasil pasca operasi kurang baik.

Kata Kunci: Manajemen anestesi, kelainan kongenital , fistula trakeoesofageal

PENDAHULUAN

Fistula trakheoesofagus merupakan tetralogy of fallot, atrial septal defect,


kelainan kongenital yang terjadi sekitar atrioventricular canal, coartasio aorta
1 dalam 4000 kelahiran hidup, lebih dari dan arcus aorta.
85 % disertai dengan atresia oesofagus.
Kecenderungan abnormalitas penyerta
Cacat bawaan dari sudut anatomis
lebih banyak pada kasus atresia
disebabkan oleh perkembangan embrio
oesofagus tunggal dan lebih sedikit pada
yang abnormal oleh karena adanya
kasus fistula trakheoesophagus tunggal.
fistula esofagus membentuk
Kelainan penyerta yang paling banyak
tracheoesofageal fistel. Perbaikan dari
terjadi pada fistula trakheoesophagus
segi pembedahan adalah pengobatan
dan atresia esophagus dapat diingat
definitif untuk kelainan ini. Pembedahan
dengan singkatan VACTERL1,2 yaitu
umumnya dilakukan dalam waktu 24
Vertebra, Anorektal, Cardiac, Tracheal,
hingga 72 jam pada neonatus sehat.
Esophageal, Renal, dan Limb
Keterlambatan dalam melakukan koreksi
atresia oesophagus dapat meningkatkan KASUS
resiko aspirasi.Berdasarkan hasil
penelitian sekitar 70 % kebanyakan bayi Seorang bayi laki-laki, 14 hari, berat
yang mengalaminya, memiliki paling badan 2200 gr, dibawa ke rumah sakit
tidak satu abnormalitas lain. Hampir 20 dengan keluhan utama muntah setelah
– 25 % disertai dengan penyakit jantung diberikan ASI (air susu ibu).
bawaan, meliputi ventricular septal Pemeriksaan fisik dijumpai adanya ronki
defect, patent ductus arteriosus, pada suara pernapasan. Analisa gas

218 Volume V, Nomor 3, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

darah laboratorium pH: 7,33 / pCO2: inkomplit dari tangkai trakeoesophagus


42,8 / pO2: 63,5 / Bic: 22,4 / Tot.CO2: menimbulkan defek pada septum
23,7 / BE: -3,3 / SpO2: 92, 8%. trakeoesophagus dan kegagalan septum
Laboratorium lain dalam batas normal. trakeoesophagus untuk membagi foregut
Temuan radiologi: Atresia esofagus menjadi esophagus dan trakea sehingga
proksimal dengan fistel trakeoesofageal terjadilah fistula trakeoesophagus. Proses
dan dijumpai aspirasi pneumonia. pemisahan ini dimulai dari bagian bawah
Ekokardiografi: struktur jantung dan karina kemudian berlanjut kearah atas.
fungsi normal. Pasien direncanakan Dalam 26 hari kehamilan, trakea dan
untuk elektif torakotomi. Pasien di esophagus seharusnya telah terpisah
premedikasi dengan 0,1 mg sulfas secara total hingga setinggi laring.
atropin. Intubasi menggunakan teknik Rujukan yang paling sering digunakan
“awake intubation”. Selama operasi untuk klasifikasi fistula trakeoesophagus
hemodinamik stabil, pemeliharaan dibedakan menjadi tipe I hingga II, tipe
dengan sevofluran MAC 1%, fentanyl 4 IIIA, IIIB dan IIIC. Tipe I atresia
µg/ jam, dan rocuronium 0,5 mg/jam. esophagus murni dengan tidak ada
Bila desaturasi, operasi dihentikan hubungan sama sekali dengan trachea
sementara dan diberikan ventilasi. terjadi sebanyak 8% dari kasus, Tipe II
Operasi berlangsung 4 jam dan pasien dikenal dengan tipe “H” terjadi 4%
ditransfer ke NICU untuk perawatan kasus.
lanjutan.
Tipe IIIA yaitu atresia esophagus dan
PEMBAHASAN fistula yang berhubungan dengan
proksimal esophagus dengan trachea,
Beberapa kesulitan ditemukan selama
terjadi hanya 1 %, tipe IIIB adalah
manajemen anestesi termasuk ventilasi
atresia esophagus dan fistula distal
tidak efektif karena selang endotrakeal
esophagus ke trachea terjadi 75%-80%,
ditempatkan di fistula, dilatasi lambung,
merupakan tipe yang paling sering
komorbid penyakit paru-paru yang
terjadi. Tipe IIIC yaitu terjadi 2 fistula
sudah ada dari aspirasi sebelumnya dan /
yang terjadi pada proksimal dan distal
atau sindrom gangguan pernapasan
esophagus pada trachea, terjadi 2%
prematuritas, dan adanya anomali yang
kasus1,2,5.
terkait, terutama jantung. Manajemen
anestesi berfokus pada ventilasi paru- Pada pasien dengan fistula
paru tanpa ventilasi fistula. Teknik ini tracheoesophagus, pengelolaan airway
meliputi intubasi trakea dan dan ventilasi adalah masalah yang sangat
menghindari pelumpuh otot dan krusial. Ventilasi yang tidak efektif dapat
ventilasi positif yang berlebihan sampai disebabkan karena pemasangan pipa
fistel terkoreksi. endotrakheal (ETT) pada fistula atau
diatasnya, obstruksi lumen ETT dengan
Pada fistula trakeoesophagus, fusi yang
timbunan mucus atau gumpalan darah,

Volume V, Nomor 3, Tahun 2013 219


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. Gambaran skematis tipe atresia esofagus

atau adanya kebocoran yang luas akibat udara dalam usus yang masuk melalui
penyegelan yang tidak mencukupi. fistel. Resiko aspirasi dapat terjadi pada
Malposisi ETT juga dapat menyebabkan penggunaan kontras untuk memeriksaan
pelebaran lambung dan aspirasi yang fistel sehingga hanya dilakukan bila
kemudian muncul, distensi lambung disgnosis belum jelas. Idealnya
juga dapat mengganggu ventilasi. Selain pemberian kontras dilakukan dengan
itu penyakit paru berat yang telah ada bantuan bronkoskopi sehingga adanya
sebelumnya baik dari aspirasi isi aspirasi dapat segera diketahui.
lambung atau respirasi distress Pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan
syndrome (ARDS) akibat prematuritas. bila bayi sudah cukup stabil dan dapat
Patofisiologi dari anomali yang terkait, ditransfer ke ruang tindakan. 2
khususnya anomali jantung. Dan yang
Bronkoskopi rigid secepatnya sebelum
terakhir pertimbangan prematuritas yaitu
koreksi pembedahan sangat berguna
hipoglikemia, hipokalsemi, berat lahir
untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
rendah, apnea/bradikardi dan anemia1,3.
posisi fistula. Hal tersebut juga
MANAJEMEN PREOPERATIVE memungkinkan oklusi fistula dengan
balon kateter Fogarty, yang dipasang
Penegakan diagnosis fistula
dengan bronkoskopi melalui fistula ke
trakeoesofageal ditegakkan secara klinis
esophagus. Oklusi yang yang cukup pada
dan radiologis. Pada rontgen thorax,
fistula memperkecil kemungkinan
bayangan radioopak orogastic tube
distensi lambung dan memungkinkan
dapat terlihat di proksimal esophagus,
positive pressure ventilation (PPV)
sedangkan pada pemeriksaan foto polos
intraoperatif. 3
abdomen dapat menunjukkan adanya

220 Volume V, Nomor 3, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Evaluasi adanya penyakit paru serta jantung.


derajatnya perlu dilakukan preoperatif,
Untuk mengurangi resiko aspirasi dapat
khususnya untuk mencari adanya
dilakukan dengan cara : menghentikan
pneumonia aspirasi dan distres respirasi
pemberian makan secara oral (NPO),
yang berkaitan dengan prematuritas.
bayi diposisikan semi-upright dan
Pemeriksaan rongent thorak dapat
kantung esophagus atas lendirnya di
menunjukkan adanya infiltrat.
suction terus menerus.2,3
Echocardiografi dapat mengetahui
Bila terjadi distress pernafasan dan
adanya kelainan jantung mayor yang
hipoksemia muncul sebelum operasi
sangat mempengaruhi survival dan akan
tanpa etiologi yang jelas (sebagian besar
berdampak pada pengelolaan anestesi.
disebabkan karena aspirasi) maka
tujuan lain adalah untuk melihat
intubasi trachea merupakan pilihan yang
keberadaan arcus aorta right-sided (5%)
harus segera dilakukan dan ventilasi
disebelah kanan yang akan mengetahui
mekanik mungkin diperlukan. Kegagalan
posisi dan pendekatan pembedahan
nafas dapat diakibatkan oleh aspirasi
dilakukan pada sisi yang berlawanan
pulmoner, ARDS, distensi lambung atau
dengan arcus aorta. Posisi left lateral
gagal jantung kongestif, EET harus hati-
decubitus untuk torakotomi kanan
hati dipasang untuk menghindari distensi
(torakotomi kiri untuk situs inversus).
lambung dan aspirasi. Oksigenasi yang
Pemeriksaan foto vertebra harus
cukup dan ventilasi serta menghindari
dilakukan untuk menyingkirkan
distensi lambung. NG-tube dengan
abnormalitas vertebra terutama bila
ukuran sebesar mungkin (10Fr) untuk
direncanakan untuk pengelolaan nyeri
menghindari distensi lambung, karena
secara epidural. USG ginjal dilakukan
bila terjadi distensi akan mengakibatkan
untuk menyingkirkan abnormalitas
tekanan aliran udara tinggi yang akan
seperti hidronefrosis. Pemeriksaan
menurunkan functional residual capacity
laboratorium yang dilakukan adalah
(FRC) sehingga dapat terjadi gangguan
darah lengkap, analisa gas darah arteri
ventilasi, oksigenasi dan meningkatkan
dan elektrolit serta pengambilan sampel
kemungkinan aspirasi. Lakukan
untuk pemeriksaan golongan darah
penghisapan pipa lambung secara
untuk cross-macth. Koreksi asidosis
kontinyu.
respiratorik dan metabolik yang
terjadi,target yang akan dicapai adalah Berikan oksigen sungkup 100% , nafas
pH >7,4 dan PaCO2 < 30 mmHg8 spontan. Jangan lakukan ventilasi positif
dengan face-mask, karena akan
Antibiotik untuk terapi aspirasi
menyebabkan distensi lambung dan
pneumonia harus diberikan secara tepat.
memperberat kompresi paru ipsi maupun
Ampixillin dan gentamisin dapat
kontralateral serta kompresi
diberikan sebagai profilaksis pada
mediastinum. Bila terjadi distress nafas
pasien yang memiliki resiko pada

Volume V, Nomor 3, Tahun 2013 221


Jurnal Anestesiologi Indonesia

atau sianosis, maka harus segera beresiko terjadinya hipotermi. Untuk


dilakukan intubasi sadar (awake mengurangi rangsangan simpatis dapat
intubation) dan kontrol nafas dengan digunakan opioid (fentanyl)1,2.5
relaksan dan sedasi. Usahakan tercapai
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
saturasi oksigen 95-98%.
Akses intravena harus sudah terpasang
Penempatan ETT yang cukup dengan
sebelum induksi, jalur kedua dapat
ujung melampaui pembukaan fistula
dipasang setelah pasien teranestesi. Bila
pada trakhea diatas carina, setiap
diperlukan untuk total parenteral nutrisi
perubahan posisi pasien (misalnya
pada bayi dapat juga dipasang akses
supinasi ke lateral) penempatan ETT
vena central. Arteri line untuk BGA dan
harus selalu diperiksa ulang karena
monitoring hemodinamik dapat dipasang
antara fistula, tepi ETT dan karina
di NICU atau diruang operasi. 3
jaraknya pendek, hal ini dilakukan untuk
menghindari distensi yang masif dan Elektrokardiogram, Saturasi oksigen, end
ruptur lambung dan nafas dipertahankan tidal CO2 dan rectal temperatur harus
tetap spontan sampai fistula diligasi atau digunakan sebagai monitor. Prekordial
gastrostomi selesai.2,3,8 stetoskop diletakkan pada aksila sebelah
kiri untuk memonitoring suara nafas dan
Akses vena perifer dan centralis melalui
kemungkinan ETT tergeser selama
v. Jugularis interna atau subclavia.
memposisikan pasien dan pembedahan,
Cairan infus yang diberikan harus
kedua precordial stetoskop ditempatkan
mengandung gula selama operasi.
diatas lambung untuk mengetahui bila
D10/0,2 NS diberikan intravena dengan
fistula terventilasi. Sasaran utama
menggunakan infus yang dikontrol
intubasi pada bayi adalah memberikan
dengan baik untuk menghindari
pertukaran oksigen yang adekuat dengan
terjadinya hipoglikemia. Insensible
sedikit tekanan positif pada paru
water losses diperkirakan 3-4 mL/kg/
sehingga atelektasis dan distensi pada
jam dan diganti dengan cairan isotonik.
abdoment tidak terjadi. Tekanan positif
Urin output normalnya 1 mL/kg/jam
dengan masker harus dihindari, dengan
namun akan sulit bila bayi berat lahir
cara pertama pertahankan bayi tetap
normal.
bernafas spontan sampai fistula diligasi,
Hypothermia akan meningkatkan perdalam agent inhalasi dengan aksis
konsumsi oksigen, temperatur pernafasan untuk meminimalisasi
lingkungan dipertahankan tepat yaitu 30 atelaktasis. Awake intubasi atau induksi
C- 40 C. Ruang operasi harus dijaga dengan inhalasi tanpa pelumpuh otot
kehangatannya, begitu juga dengan merupakan teknik yang dianjurkan,
cairan irigasi bedah dan darah harus namun harus diperhatikan kemungkinan
dihangatkan sebelum digunakan, hal ini peningkatan tekanan intracranial atau
sangat penting karena neonatus sangat perdarahan intraventrikular pada bayi

222 Volume V, Nomor 3, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

prematur. Intubasi dengan awake dapat operasi untuk meminimalisasi resiko


diberikan 0,5 – 1 μg/kg fentanil dan 25 – tekanan pada sutura line. Namun sekitar
50 μg/kg midazolam. Topikal anestesi 30% akan reintubasi untuk
dengan spray pada lidah, laring dan membersihkan sekresi. Tracheomalasia
vocal cord tidak lebih dari 5 mg/kg dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas
lidocain (1,0%). Penghisapan lendir yang mengharuskan untuk segera
pada kontong esophagus proksimal dilakukan reintubasi. Beberapa anak
sebelum induksi.4 memiliki gangguan pada paru yang
berasal dari prematuritas atau aspirasi
Pada kasus dimana bronkoskopi tidak
pneumoni. Pemberian narkotik untuk
dikerjakan, untuk mengkonfirmasi ETT
nyeri dapat menjadi hipoventilasi. Jika
dapat digunakan dengan cara lain,
pasien tetap terintubasi setelah operasi,
setelah induksi intubasi mainstem
analgetik dengan narkotik merupakan
kanan yang disengaja dapat diikuti
pilihan yang tepat. Fentanil 10-20 μg/
withdrawal perlahan ETT sehingga
kgbb dengan muscle relaxant dapat
suara nafas terdengar disisi kiri, namun
menstabilkan hemodinamik dan
penggunaan ETT bermanset tidak dapat
memberikan efek analgesia selama
meminimalisasi resiko distensi lambung
periode post operasi. Analgetik dapat
maupun aspirasi, untuk mengkonfirmasi
juga diberikan melalui caudal cateter
posisi ETT dapat digunakan visualisasi
yang dapat mencapai dermatom thorak
fibroptik langsung. Sirkuit yang terpilih
dengan pemberian intermitten
digunakan pada operasi ini low
bupivacain (1-2 mL dari 0,125%
compression volume anesthesia
ditambah epinefrin 1:200.000) diberikan
breathing circuit (lingkaran sistem
setiap 6-8 jam atau syring pump
absorpsi vs Mapleson vs sirkuit bain).7
chloroprocain (1,5%) ditambah fentanil
Monitoring selama durante operasi (0,4 μg/mL) , untuk memastikan posisi
sangat penting selama operasi fistula dari kateter dapat digunakan
tracheosophagus. Monitoring non fluoroscopy, dimana tindakan ini harus
invasif dapat berupa : temperatur,EKG, dilakukan oleh ahli regional anestesi
prekordial stetoskop (pada kedua hemi pada anak yang berkompeten.2,6
thorak), blood pressure, SpO2, urin
Komplikasi awal yang terjadi setelah
output. Monitoring invasif dapat berupa
repair FTE dapat berupa kebocoran pada
right radial arterial line, CVC (internal
anastomosis, terjadi sekitar 15%, selain
jugular), differential oxymetri, End tidal
itu esophagus dismotiliti dan
CO2 (ET-CO2).4
gastroesophagus refluk disease (GERD)
MANAJEMEN POSTOPERATIF dapat terjadi. Tracheomalacia terjadi
postoperatif dan paralisis dari pita suara
Beberapa ahli bedah lebih menyukai bila telah dilaporkan. Komplikasi-
pasien diekstubasi langsung di ruang komplikasi lain atelectasis, tracheal

Volume V, Nomor 3, Tahun 2013 223


Jurnal Anestesiologi Indonesia

compression, pulmonary aspirasi dan Artusio’s Anesthesiology Problem-Oriented


Patient Management. 6th ed. Philadelphia :
recurrent esophageal stricture. 3 Lippicot Willian & Wilkins; 2008 .p. 105-14.

KESIMPULAN 3. Miller.D Ronald, Eriksson I Lars. Fleisher.


Alee, Young L William, Wiere-Krunesia
Seorang bayi laki-laki, 14 hari, berat Jeammine, Pediatric Anesthesia. In Miller’s
Anesthesia 7th ed. San Fransisco ;
badan 2200 gr, datang ke rumah sakit Elsevier;2010 .p.2590-1.
dengan keluhan utama muntah setelah
4. Morgan Edward, Mikhail S. Maget, Murray J.
diberikan ASI (air susu ibu). Michael, Pediatric Anesthesi, In Clinical
Manajemen anestesi yang baik Anesthesiology, 4th ed. San Francisco ;
McGraw-Hill; 2006 .p. 941-2.
menggunakan “intubasi sadar” dan
ventilasi yang baik merupakan pilihan 5. Bready.LL, Rasch K Deborah, Ratnamurthy
S. Rajam. Tracheoesophageal Fistula. In
pada kasus ini. Operasi berlangsung 4 Decision Making in Anesthesiology. 4th
jam dengan hemodinamik stabil. ed.Texas ; Mosby Elsevier; 2007.p.368-9.

6. Lönnqvist PA, Morton NS. . Postoperative


Analgesia in Infants and Children. Br J
Anaesth. 2005 Jul;95(1):59-68 .
DAFTAR PUSTAKA
7. Conacher ID. Anaesthesia and
1. Holzman.S.Robert. Kang Bhavandefl Veenu, Tracheobronhial Stenting for Central Airway
Koka V. Babu. The Forgut and Chest In. Obstruction in Adults. Br J Anaesth. 2003 ;
Pediatric Anesthesia. Philadelphia, Lippicoth 47(3) : 176-7.
Willian & Wilkins; 2008 .p. 383-9.
8. Davis.N, Madden B.P, Sheth A, Crerar.
2. Yao.F. Funsun, Malhotra Vinod, Fontes.L. Gilbert.J. Airway Management of Patients
Manuel, Jacques H. Seharoun. with Tracheobronhial stent. British Journal of
Tracheoesophageal Fistula. In: Yao & Anaethesia. 2006 ; 96 (1) : 132-5

224 Volume V, Nomor 3, Tahun 2013

You might also like