You are on page 1of 12

PERKAWINAN “PADA GELAHANG” SERTAASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA

WARISANNYA DI BALI
(The “On The Gelaw” Marriage and The Legal Aspect of The Distribution of Heritage in Bali)

Komang Satya Trisdayana


Law Faculty of Dwijendra University

ABSTRACT
Religious diversity adopted by the people of Indonesia will color the implementation of the Marriage
Law. In many areas, especially for Hindus in Bali, the implementation of marriage will also be marked by
the enactment of customary law, in addition to being difficult to separate between adat and religion,
marriage law is also strongly influenced by family law which is still controlled by customary law. The
concept of sekala-niskala is a concept that cannot be separated from the life of religious Balinese people,
who always maintain harmonious relations between the real world (sekala) and the unseen world
(niskala) in every aspect of their lives, including in marriage. The marriage system according to Hindu
law contained in the Book of Manudharmasastra we compare it to the ‘marriage system found in
indigenous peoples in Bali, then we will see there are similarities between the marriage system according
to Hindu law with the existing marriage system in the customary law community in Bali. The problems in
writing this paper are as follows: What is the state of marriage in Bali? In relation to family law,
especially marriage, Tabanan Regency is relatively “more advanced”, compared to other districts in
Bali. One example, marital marriage. The main factor behind the wedding couple and their families
agreeing to hold a marriage at Geldhang is the concern of the inheritance left by their parents, whether in
the form of responsibilities or obligations (swadharma) or rights (swadikara), no one takes care of and
continues. The government is expected to make rules or guidelines in the implementation of marriage in
gelahang so that it becomes knowledge that can be used as a guide for couples who are getting married.
Keywords: marriage law; gelahang; bali; inheritance

ABSTRAK
Keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia akan mewarnai pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan. Pada banyak daerah, khususnya bagi Umat Hindu di Bali, pelaksanaan perkawinan juga
akan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, di samping karena antara adat dan agama sulit dipisahkan,
hukum perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat.
Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali
yang relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia
gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Sistem perkawinan
menurut hukum Hindu yang terdapat dalam kitab Manudharmasastra kita bandingkan dengan ’sistem
perkawinan yang terdapat pada masyarakat adat di Bali, maka akan kita lihat ada persamaan antara sistem
perkawinan menurut hukum Hindu dengan sistem perkawinan yang ada pada masyarakat hukum adat di
Bali. Adapun permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut Bagaimanakah keadaan
perkawinan pada gelahang di Bali? Dalam hubungan dengan hukum keluarga, khususnya perkawinan,
Kabupaten Tabanan terbilang relatif “lebih maju”, dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di
Bali. Salah satu contoh, perkawinan nyentana. faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin
dan keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan pada geldhang adalah adanya kekhawatiran warisan
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik yang berwujud tanggung jawab atau kewajiban (swadharma)
maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan. Pemerintah dirahapkan membuat
peraturan atau pedoman dalam pelaksanaan perkawinan pada gelahang agar menjadi sebuah pengetahuan
yang dapat dijadikan pegangan para pasangan yang akan melangsungkanpernikahan.
Kata kunci: hukum perkawinan; gelahang; bali; harta waris
PENDAHULUAN sudah menjadi istilah teknis yang dipergunakan
Sejak dikeluarkannya menghormati dalam peraturan-peraturan adat yang disebut dengan
keanekaragaman kondisi sosial budaya masyarakat awig-awig, terutama awig-awig desa pakraman (dulu
Indonesia. Melalui Pasal 2 Ayat (1), pelaksanaan disebut: desa adat). Di samping itu, di dalam
perkawinan khususnya yang berkaitan dengan masyarakat ditemukan pula istilahistilah yang
sahnya perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun mempunyai makna sama dengan perkawinan, seperti
1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut alakirabi, pewarangan, dan seterusnya. Perkataan
Undang-Undang diserahkan pengaturannya menurut ”kawin” sendiri dalam bahasa sehari-hari lebih
hukum Perkawinan), berbagai peraturan umum disebut nganten, mesomahan, atau mekurenan
pelaksanaannya mulai dibuat, seperti halnya sebagai istilahistilah yang umum digunakan
Peraturan Pemerintah masing-masing agama dan dikalangan jaba, sementara dikalangan triwangsa
kepercayaannya. Dengan demikian keanekaragaman istilah yang lazim dipergunakan adalah merabian,
agama yang dianut masyarakat Indonesia akan mekerab atau mekerab kambe. Dalam masyarakat
mewarnai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. adat di Bali, perkawinan tidak hanya dipandang
Pada banyak daerah, khususnya bagi Umat Hindu di sebagai suatu perbuatan hukum yang bersifat
Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan diwarnai duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan
oleh berlakunya hukum adat, di samping karena dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga
antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan
perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh hukum sebagai perbuatan berlaku bagi umat Hindu di
keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat. Indonesia, tidak di Bali, tetapi Undang-undang suatu
Sistem kekeluargaan purusa (patrilineal) yang dianut unifikasi terkecuali bagi umat Hindu bahwa adalah
dalam hukum adat keluarga di Bali (dresta Nomor 9 perlu pula dicatat Perkawinan ternyata hukum yang
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- unik karena masih menghargai dan hukum yang
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bersifat sekala-niskala umumnya dirumuskan dengan
yang merupakan peraturan terpenting dalam rangka jelas dalam awig-awig desa pakraman, khususnya
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, beberapa dalam Pasal (pawos) yang secara khusus membahas
peraturan penting lainnya telah dikeluarkan untuk prihal perkawinan (indik pawiwahan). Contohnya
melengkapi Undang-undang Perkawinan ini, antara adalah Pawos 77 Awigawig Desa Pakraman Tumbak
lain Keputusan Menteri Dalam Negeri Tanggal 1 Bayuh, Badung (1992) yang menyatakan sebagai
Oktober 1975 Nomor 22a Tahun 1975 tentang berikut :
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor ”Pawiwahan inggih punika patemining purusa
Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Keputusan kadulurin upasaksi sekala -niskala”
Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tanggal 25 Februari Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi
1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
Penyelenggaraan Catatan Sipil, Peraturan Pemerintah masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa
Nomor 10 Tahun 1983 tanggal 21 April 1983 tentang menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalamsetiap aspek
Negeri Sipil. kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah
Didalam suatu masyarakat, bangsa dan sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya
negara, hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga
melekat dan menyatu dalam diri hukum. Artinya, hak dan masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan
dan kewajiban diatur oleh hukum. dengan betara-betari (roh leluhur) yang bersemayam
Keseluruhan peraturan-peraturan di bidang di sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Hyang
perkawinan tersebut dapat dipandang sebagai hukum Widhi, sebagaimana dapat dimaknai dari konsep tri
perkawinan nasional yang berlaku untuk seluruh upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan bhuta saksi)
wilayah dan warga negara Indonesia. Berdasarkan dalam pengesahan perkawinan. Pengertian demikian
hal tersebut maka asas-asas dan materi undang- sangat sejalan dengan prinsip yang dianut oleh
undang tersebut secara otomatis Bali) sangat penting Undang-undang Perkawinan. Dalam Pasal 1
pengaruhnya hukum perkawinan bagi umat Hindu Undang-undang tersebut dengan jelas dinyatakan
Pengaruh tersebut sangat jelas tampak bentuk-bentuk bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
perkawinan yang pada terhadap di Bali. terhadap seorang pria dengan seorang perempuan sebagai
akhirnya berpengaruh terhadap status suami istri dan suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
anakanak dalam keluarga. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal Ketuhanan Yang Maha Esa”.
dengan istilah pawiwahan. Istilah ini umumnya Masyarakat Bali yangkehidupannya dituntun
oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang bercorak bermasyarakat.
religious Hinduistis, selalu berusaha bersikap Berdasarkan Manusmreti (Manudharma-
seimbang terhadap alam sekitarnya. sastra), perkawinan umat Hindu itu bersifat religi-
Di dalam agama Hindu sumber keterangan us dan obligator (mengikat), hal ini dihubungkan
tentang persoalan-persoalan yang mengenai dunia dengan adanya kewajiban bagi seseorang untuk
dan manusia terdapat di dalam kitab yang disebut mempunyai keturunan laki-laki (purusa/putrika)
kitab Weda, yang menurut keyakinan umat Hindu
agar anak tersebut dapat menyelamatkan orangtu-
isinya diwahyukan oleh dewa yang tertinggi kepada
anya dan neraka. Jadi perkawinan hukumnya wajib
para resi, para brahmana dan para guru, yang setelah
menurut hukum Hindu.
berabad-abad kemudian dibukukan di dalam kitab
Weda tersebut. Menurut Manudharmasastra (disingkat: M) III:
Tujuan lain dari pernikahan menurut ajaran 20 dan 21, dikenal ada delapan cara perkawinan
Hindu adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu 1) Brahma wiwaha; perkawinan dengan cara
sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda penyerahan seorang putri kepada seorang pria
perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang ahli Weda (M.III: 27).
yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. 2) Daiwa wiwaha; penyerahan seorang putri
Pembukuan kitab Weda tersebut terjadinya kepada Pendeta yang diundang untuk
tidak sekaligus melainkan secara bertahap, yaitu melakukan upacara (M.III:28).
tahap pertama adalah pembukuan kitab weda yang
disebut kitab Weda Samhita - yang berisi 3) Arsa wiwaha; penyerahan seorang gadis untuk
manteramantera, kedua adalah kitab Weda Brahmana dikawinkan setelah menerima sapi/ lembu dua
- berisi peraturan-peraturan dan kewajibankewajiban pasang sesuai dengan peraturan dan kitab suci
keagamaan, terutama yang mengenal korban, dan (M.III:29).
ketiga adalah pembukuan bagian Weda yang disebut 4) Prajapati wiwaha; penyerahan putri oleh
Upanisad – berisi keteranganketerangan yang seorang ayah setelah kedua mempelai
mendalam mengenai asal mula alamsemesterserta dinasehati dengan Ayat “semoga kamu
segala isinya,terutama tentang manusia dan berdua melakukan kewajibanmu berdua” dan
keselamatan-keselamatannya. Jangka waktu setelah memberikan penghormatan kepada
turunnya wahyu pertama hingga pembukuan yang mempelai laki-laki (M.III:30).
terakhir sekitar 1500 tahun, yaitu antara tahun 2000
5) Asura wiwaha; yaitu bila mempelai laki-laki
SM sampai tahun 500 SM.
menerima wanita calon isterinya setelah
Rumusan agama (Dharma) menurut Hindu
terlebih dahulu ia memberikan harta sebanyak
meliputi pengertian hukum (Rta atau Dharana). Jadi
dalam agama Hindu, hukum itu adalah Dharma dan yang ia mampu kepada mertuanya dan kepada
Dharma adalah hukum. Dengan demikian segala calon isterinya sendiri sesuai dengan
tingkah laku umat Hindu balk secara pribadi maupun kemampuannya sendiri (M.III:31).
secara kolektif haruslah mengikuti Dharma, yaitu 6) Gandhara wiwaha; perkawinan yang
peraturan yang mengatur tingkah laku manusia9 . didasarkan hubungan suka sama suka antara
Selain Weda, umat Hindu masih mengenal berbagai wanita dengan pria yang dicintainya
kitab lagi diantaranya adalah kitab Sastra dan akhlak (M.III:32).
seperti Ramayana dan Mahabrata, dan kitab syariat 7) Raksasa Wiwaha; pengambilan wanita
yaitu Martudharmasastra. Manudharmasastra ini dengan kekerasan dari rumahnya, setelah
merupakan himpunan hukum-hukum Hindu yang keluarganya dibunuh atau dianiaya dan harta
telah banyak disalin dan digubah dalam berbagai bendanya dirusak (M.III:33).
bentuk Kitab Sastra (ilmu) yang membahas masalah
hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu, 8) Paisaca wiwaha; yaitu bila seorang laki- laki
termasuk hukum perkawinan umat Hindu, yang dengan diam-diam memperkosa gadis yang
diuraikan dalam buku II dan III. sedang tidur, mabuk atau tak sempurna
Kitab hukum Manudharmasastra atau pikirannya (M.III:34).
Manusmreti terdiri dari 12 bab atau 12 buku, isinya Kedelapan cara perkawinan itu tidak
terdiri dan berbagai macam peraturan hukum yang semuanya boleh dilakukan menurut hukum agama,
mengatur baik bidang keagamaan, keperdataan, karena di antaranya ada yang membawa pahala dan
hukum pidana, doktrin maupun acaranya. Kitab ini ada yang dosa bila dilakukan (M.III:20).
dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam tata Bila sistem perkawinan menurut hukum
kehidupan keagamaan maupun tata kehidupan Hindu yang terdapat dalam kitab Manudharmasastra
kita bandingkan dengan ‘sistem perkawinan yang keturunan kerena putra beliau yaitu Sang Jaratkaru
terdapat pada masyarakat adat di Bali, maka akan berketetapan hati untuk nyukla brahmacari (tidak
kita lihat ada persamaan antara sistem perkawinan kawin selama hidup). Mengetahui nasib roh
menurut hukum Hindu dengan sistem perkawinan leluhurnya yang demikian, akhimya Sang Jaratkaru
yang ada pada masyarakat hukum adat di Bali. memutuskan untuk kawin, sehingga roh leluhurnya
Perkawinan mepadik di Bali mempunyai kesamaan dapat menuju alam sorga setelah ia mempunyai
dengan cara perkawinan Brahma wiwaha, Daiwa putra yang bernama Sang Astika (Ngurah Adhi,
wiwaha, Arsawiwaha, sedangkan perkawinan 1972). Dalam bahasa sehari-hari kepercayaan
rangkat mempunyai kesamaan dengan Gandharwa mengenai pentingnya peranan keturunan (cucu) laki-
wiwaha dan perkawinan malegandang mempunyai laki untuk membebaskan roh leluhur dari kawah
persamaan dengan sistem Raksasa wiwaha dan neraka ini sering dikemukakan dengan ungkapan ”i
Paisaca wiwaha. cucu nyupat i kaki”.
Dasar diharapkan perkawinan perkawinan Salah satu fase penting hidup manusia dalam
relegius dalam suatu perkawinan dapat bermasyarakat adalah perkawinan. Dikatakan
mengokohkan lembaga itu sendiri sehingga tujuan penting karena, perkawinan dapat mengubah status
dapat dicapai. Tujuan perkawinan seperti ditegaskan hukum seseorang. Semula dianggap “belum
dalam Pasal 1 di atas adalah terbentuknya keluarga dewasa” dengan dilangsungkannya perkawinan,
yang kekal dan bahagia. Istilah ”kekal” dapat dapat menjadi “dewasa” atau yang semula dianggap
dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya anak muda (deha) dengan perkawinan akan menjadi
terjadi sekali dalam hidup ini sehingga diharapkan suami istri (alaki-rabi), dengan berbagai
perkawinan tidak putus di tengah jalan karena konsekuensi yuridis dan sosiologis yang
perceraian. Keluarga ”bahagia” diakui merupakan menyertainya.
rumusan yang masih abstrak dan relatif, sebab Demikian pentingnya perkawinan itu
ukuran yang dipakai oleh masing-masing orang bisa sehingga baru dapat dilangsungkan setelah berbagai
berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah persyaratan yang ditentukan dalam hukum negara
masyarakat yang relegius, tentu ukuran standar yang (dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
bisa digunakan adalah keluarga ideal menurut ajaran Perkawinan) maupun hukum adat (dalam hal ini
agama dan kepercayaan yang dianut. Menurut hukum adat Bali), dipenuhi oleh calon pengantin,
kepercayaan umat Hindu di Bali, adanya keturunan baik dalam hubungan dengan bentuk perkawinan
yang lahir dari perkawinan sangatlah penting maupun tata cara melangsungkannya. Apabila
sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan persyaratan yang ditentukan tidak dipenuhi, akan
penting dari perkawinan. Dalam masyarakat Bali, muncul masalah seperti: perkawinan tidak diakui
keturunan terutama anak laki-laki, sangat oleh masyarakatnya, perkawinan dapat dibatalkan
didambakan oleh setiap pasangan suami istri sebab atau batal demi hukum.
dari anak lakilakilah digantungkan harapan-harapan,
Dalam hubungan dengan tata cara
seperti menjadi penerus generasi; mengganti
melangsungkan perkawinan, hukum adat Bali
kedudukan bapaknya dalam masyarakat kalau sudah
mengenal dua cara, yaitu: (1) Perkawinan yang
kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa);
dilangsungkan dengan cara memadik (meminang)
memelihara dan memberi nafkah jika orang tuanya
dan (2) perkawinan yang dilangsungkan dengan cara
sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama
ngerorod (lari bersama). Bentuk perkawinan yang
(seperti: ngaben, dan lain-lain); serta selalu astiti-
umum dilaksanakan, yaitu perkawinan biasa dan
bhakti (menyembah) kepada leluhur yang
perkawinan nyentana.
bersemayam di sanggah atau merajan (Tim Peneliti,
FH Unud,1991). Dalam perkawinan biasa, si gadis
meninggalkan rumahnya dan diajak ke rumah
Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat
keluarga pengantin laki-laki. Hal ini sesuai dengan
kuat dianut suatu kepercayaan bahwa keberadaan
sistem kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu
keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangatlah
patrilenial (kebapaan). Sesuai namanya perkawinan
penting untuk membebaskan roh leluhur (pitara) dari
biasa, perkawinan ini dilaksanakan dalam suasana
kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam
biasa. Dalam arti, seorang lakilaki berasal dari satu
surga. Kepercayaan ini tampaknya diilhami dari
keluarga yang terdiri dari beberapa orang anak laki-
kisah yang diceritrakan dalam Kitab Adiparwa
laki dan perempuan, melangsungkan perkawinan
Dalam kitab tersebut diceritrakan mengenai dengan seorang gadis yang berasal dari satu
nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang hampir jatuh ke keluarga yang juga terdiri dari anak laki-laki dan
kawah neraka akibat beliau tidak mempunyai perempuan.
Kalau terjadi hal yang sebaliknya, satu melangsungkan perkawinan pada gelahang. Itulah
keluarga terdiri dari beberapa anak perempuan, antara lain yang melatarbelakangi diadakannya
maka salah seorang anak perempuannya, akan penelitian pendahuluan ini. Dari uraian diatas
“dikukuhkan” statusnya menjadi “laki-laki”. Anak penulis mengangkat permasalahan dalam penulisan
perempuan yang berstatus laki-laki ini dikenal makalah ini adalah sebagai berikut Bagaimanakah
dengan sebutan sentana rajeg. Kalau seorang sentana keadaan perkawinan pada gelahang di Bali?
rajeg melangsungkan perkawinan dengan seorang METODEPENELITIAN
laki-laki yang berasal dari keluarga yang terdiri dari
Metode yang dipergunakan dalam penelitian
beberapa orang anak laki-laki, dia tidak
ini adalah metode deskriptif analitis dengan
meninggalkan rumahnya dan ikut suaminya,
pendekatan utamanya yuridis normatif. Deskriptif
melainkan suaminyalah yang ikut istrinya dan
analitis berarti menggambarkan dan melukiskan
berstatus seperti perempuan (predana) di rumah
sesuatu yang menjadi obyek penelitian secara kritis
istrinya. Perkawinan ini dikenal dengan perkawinan
melalui analisis yang bersifat kualitatif. Oleh karena
nyentana.
yang ingin dikaji berada dalam ruang lingkup ilmu
Sesudah pilihan bentuk perkawinan dan cara hukum, maka pendekatan normatif tersebut,
melangsungkan perkawinanditentukan, kemudian meliputi: asas-asas hukum, sinkronisasi peraturan
dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara perkawinan perundang-undangan, termasuk usaha penemuan
sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali hukum inconcreto.
dan penyelesaian administrasi perkawinan sesuai
Di dalam suatu penelitian yuridis normatif,
dengan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
maka penggunaan pendekatan perundang-undangan
Perkawinan untuk mendapatkan akte perkawinan,
(statute approach) adalah suatu hal yang pasti.
otentik bahwa perkawinan telah sesuai aturan yang
Dikatakan pasti, karena secara logika hukum,
berlaku.
penelitian hukum normatif didasarkan pada
Sejalan dengan kemajuan program Keluarga penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum
Berencana (KB) yang diperkenalkan sejak awal yang ada. Meskipun misalnya penelitian dilakukan
tahun 1970-an, banyak pasangan suami istri yang karena melihat adanya kekosongan hukum, namun
hanya dikaruniai satu orang anak saja, lakilaki atau kekosongan hukum tersebut dapat diketahui, karena
perempuan17 . Apabila anak perempuan satu- sudah adanya norma-norma hukum yang
satunya ini, bermaksud melangsungkan perkawinan mensyaratkan pengaturan lebih lanjut dalam hukum
dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari positif.
keluarga yang hanya memiliki satu anak laki-laki,
PEMBAHASAN DANANALISIS
muncul pertanyaan, bentuk perkawinan mana yang
harus mereka pilih? Bentuk Perkawinan Pada Gelahang di Bali
Memilih perkawinan biasa, keluarga Perkawinan termasuk hukum keluarga.
perempuan pasti keberatan, karena keluarga ini akan Hukum keluarga adalah keseluruhan normanorma
ditinggalkan oleh satu-satunya anak perempuan hukum, tertulis maupun tidak tertulis, yang
yang dimiliki. Kalau memilih perkawinan nyentana, mengatur hubungan kekeluargaan, baik yang
keluarga laki-laki pasti juga tidak akan setuju, diakibatkan oleh hubungan darah maupun perbuatan
karena keluarga ini akan ditinggalkan oleh satu- hukum tertentu.
satunya anak laki-laki yang dimiliki. Perbuatan hukum yang dimaksud seperti,
Berdasarkan sejumlah kasus yang ditemui perkawinan, pengangkatan anak, dan lainlain.
dapat diketahui bahwa permasalahan di atas Hubungan kekeluargaan antara lain berisi kewajiban
diselesaikan dengan melangsungkan perkawinan dan hak dalam kehidupan berkeluarga, seperti
pada gelahang atau perkawinan negen ayah. Dalam kewajiban dan hak anak terhadap orang tua atau
hal ini pasangan suami istri tidak melangsungkan sebaliknya. Norma-norma hukum tidak tertulis
perkawinan biasa dan juga tidak melangsungkan dalam peraturan aturan perundangundangan yang
perkawinan nyentana, melainkan memilih bentuk mengatur hubungan kekeluargaan disebut hukum
“perkawinan alternatif di luar dua bentuk adat keluarga.
perkawinan yang secara tradisional dikenal dalam Eksistensi hukum adat keluarga dalam
hukum adat Bali. masyarakat adat Bali, masih sangat kuat. Artinya
Bentuk perkawinan pada gelahang memang masih diakui dan diikuti oleh masyarakat adat Bali,
belum lazim dikenal dalam masyarakat adat Bali di luar yang telah diatur oleh Undang-undang
atau umat Hindu. Walaupun demikian, dalam Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
kenyataannya sejumlah keluarga telah Agak sulit memahami keberadaan hukum
keluarga bagi masyarakat adat Bali atau umat Hindu anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan
di Bali, tanpa memahami sistem kekeluargaan bagi yang lebih utama dibandingkan anak perempuan.
umat Hindu di Bali. Demikian pula halnya kalau Akibatnya, pasangan suami istri yang belum
ingin memahami perkawinan tata cara pelaksanaan dikaruniai anak laki-laki sering “merasa” belum
dan bentuk perkawinannya. Oleh karena itu, memiliki keturunan. Penting juga disebutkan bahwa
pembahasan pada Bab II ini akan diawali dengan klan (soroh) dalam masyarakat Bali yang cendrung
uraian mengenai sistem kekeluargaan bagi mengarah ke sistem kasta atau wangsa, pada masa
masyarakat adat Bali yang beragama Hindu. lalu sangat mempengaruhi hukum adat di Bali,
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam seperti tercermin dari adanya larangan perkawinan
suatu masyarakat adalah kunci untuk dapat antarwangsa yang disebut asupundung dan
memahami persoalan yang menjadi ruang lingkup anglangkahi karangulu, yang pada tahun 1951 telah
hukum keluarga, terutama dalam hubungan dengan dihapuskan.
perkawinan dan waris. Sistem kekeluargaan di sini Beberapa pertanyaan penting yang patut dijawab
diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, dalam hubungan dengan sistem kekeluargaan
sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang patrilineal (kapurusa) dianut oleh masyarakat adat di
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. Bali, antara lain: (1) Apakah yang dapat dijadikan
Dapatlah disebut bahwa sistem kekeluargaan landasan filosofis untuk menjastifikasi dianutnya
meliputi prinsip-prinsip dasar garis keturunan yang sistem kekeluargaan patrilenial (kapurusa) oleh umat
dapat menjelaskan batas-batas hubungan seseorang Hindu? (2) Bagaimana kitab suci Hindu mengatur
dengan orang-orang yang mempunyai hubungan tentang sistem kekerabatan? (3) Bagaimana hukum
darah dengannya. Hindu mengatur tentang sistem kekerabatan? (4)
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam Apakah sistem kekerabatan patrilenial (kapurusa)
masyarakat di Indonesia dangat beragam, yang selama ini dikenal dalam hukum adat Bali dan
disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial awig-awig desa pakraman di Bali, dijiwai oleh
budaya masyarakat Indonesia, baik dilihat dari etnis, ketentuan kitab suci Hindu, hukum Hindu ataukah
agama, dan lain-lain. Faktor inilah yang karena sengaja dimunculkan dan dipertahankan
menyebabkan sulitnya pembentukan hukum untuk kepentingan mempertahankan kelangsungan
keluarga yang bersifat nasional21 . Secara umum klan (soroh) yang cenderung mengarah ke sistem
dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga sistem kasta atau wangsa?.
kekeluargaan, yaitu: Dalam masyarakat adat Bali, perkawinan dikenal
1. Sistem kekeluargaan patrilineal. Berdasarkan dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, nganten,
sistem ini, keturunan dilacak dari garis bapak, makerab kambe, pewarangan, dll. Perkataan
seperti di Batak, Nias, Sumba, Bali. “kawin” sendiri dalam bahasa seharihari disebut
nganten dan makerab kambe, yang hakikatnya sama
2. Sistem kekeluargaan matrilineal. Menurut
dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam
sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari
undang-undang perkawinan. Menurut Undang-
garis ibu, sehingga anak yang lahir dari
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan akan mendapatkan garis
perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin
kekeluargaan dari garis ibunya, seperti yang
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
terjadi di Minangkabau, Sumatra Barat.
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
3. Sistem kekeluargaan parental. Dalam sistem (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
kekeluargaan ini, garis keturunan dilacak dari Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-undang Nomor
dua pihak (bilateral), yaitu baik dari garis ibu 1 Tahun 1974 Pasal 1).
maupun garis bapak, sehingga sistem ini juga
Mengemukakan bahwa perkawinan menurut
disebut sistem kekeluargaan keibu-bapaan.
umat Hindu adalah ikatan antara seorang laki-laki
Sistem kekeluargaan ini dianut oleh masyarakat
dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam
Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lain-lain.
rangka mengatur hubungan seks yang layak guna
Masyarakat adat Bali menganut sistem mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam rangka
kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih menyelamatkan arwah orang tuanya.
dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah
Sesudah melangsungkan perkawinan pasangan
kapurusa atau purusa24 . Sebagai konsekuensi
suami istri ini disebut alakirabi, masomahan, atau
dianutnya sistem kekeluargaan tersebut, maka dalam
makurenan. Kuren, somah, rabi, dapat berarti suami
suatu perkawinan, si istri akan masuk dan menetap
atau istri. Suami disebut juga raka dan istri biasanya
dalam lingkungan keluarga suaminya dan seorang
dipanggil rai. Rakarai dapat berarti suami istri.27
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan pada gelahang, dapat diketahui bahwa
Nomor 1 Tahun 1974, dapat diketahui dari belum sepenuhnya warga masyarakat di Bali
ketentuan Pasal 1, yang menyebutkan bahwa tujuan memahami perbedaan antara perkawinan yang
perkawinan adalah “.... membentuk keluarga (rumah dilangsungkan dengan cara memadik, bentuk
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan perkawinan nyentana dan bentuk perkawinan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa”. gelahang.
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah Ada beberapa informan yang ditemui
untuk mendapatkan anak (keturunan) guna dapat menganggap bahwa perkawinan yang dilangsungkan
menebus dosa-dosa orang tuanya. Uraian tentang dengan cara meminang (memadik) dianggap sama
pentingnya mempunyai anak, dapat diketahui dari dengan perkawinan pada gelahang. Hal ini
ketentuan Pasal 161 Buku IX Manawa didasarkan atas kenyataan perkawinan itu
Dharmasastra. Dalam penjelasan Pasal ini diuraikan dilangsungkan secara baik-baik dengan semangat
bahwa anak diumpamakan sebagai perahu yang duwenang sareng atau pada gelahang yang secara
akan mengantar seseorang yaitu roh yang sedang harfiah berarti “milik bersama”.
menderita di neraka, dan untuk menyelamatkan itu Sejatinya tidak demikian adanya. Memadik
seorang anak dengan segala akibatnya harus (meminang) menunjuk kepada salah satu cara
mempunyai putra dan bila tidak berputra harus melangsungkan perkawinan menurut hukum adat
menggantikannya dengan anak yang lain. Keluarga Bali di samping cara ngerorod (lari bersama),
yang menderita di akhirat adalah roh-roh leluhur sedangkan perkawinan nyentana dan perkawinan
yang terkatung-katung di neraka sebelum dilakukan pada gelahang menunjuk kepada bentuk
pitra yadnya oleh cucu atau putranya. perkawinan.
Berdasarkan definisi tentang perkawinan dan Ketidaksamaan pemahaman ini menyebabkan
tujuan perkawinan seperti dikemukakan di atas beberapa kali peneliti ini merasa “rugi” (kaceluag)
dapat dikemukakan bahwa hubungan perkawinan dalam menelusuri objek penelitian. Maksud hati
sesungguhnya bukan sekadar hubungan yang terjalin menemui pasangan suami istri yang melangsungkan
karena didasari atas rasa saling mencintai antar perkawinan pada gelahang, ternyata yang ditemui
seorang laki-laki dengan seorang wanita, melainkan pasangan suami istri yang melangsungkan
adalah masalah agama dan masalah hukum, baik perkawinan biasa yang dilaksanakan dengan cara
hukum adat maupun hukumnasional. meminang (memadik), seperti yang dialami
Keturunan sangat penting keberadaannya dalam beberapa kali oleh teman kami I Ketut Widia di
satu keluarga, karena terkait dengan penerusan Kabupaten Buleleng, Jemberana dan Tabanan.
tanggung jawab orang tua dan leluhur, baik berupa Paling sering terjadi adalah bentuk perkawinan
kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara). nyentana yang dianggap bentuk perkawinan pada
Itu sebabnya keluarga yang menghadapi tanda-tanda gelahang. Hal ini disebabkan antara lain karena
kaputungan (tidak mempunyai keturunan), akan umumnya masyarakat belum memahami perbedaan
mengusahakan berbagai cara yang sah menurut antara tanggung jawab moral dan tanggung jawab
hukum adat Bali, untuk mengatasi masalah tersebut. yuridis pasangan pengantin keluarganya
Cara mengatasi masalah tersebut antara lain dengan masingmasing. terhadap Hubungan keluarga yang
mengangkat anak (ngangkat sentana), mengukuhkan terjadi karena perkawinan, apa pun bentuknya dan
salah seorang anak perempuannya menjadi sentana bagaimana pun cara melangsungkannya, tidak
rajeg atau dengan melangsungkan perkawinan pada menghapuskan hubungan moral dan hubungan
gelahang. kekeluargaan (pasidikaran), di antara orang yang
Selain itu juga sudah diuraikan bahwa bentuk melangsungkan perkawinan dengan keluarganya.
perkawinan berbeda dengan cara melangsungkan Secara moral mereka tetap bertanggung jawab atas
perkawinan. Perkawinan pada gelahang yang keluarganya, tetapi secara yuridis (hukum) mungkin
menjadi objek penelitian ini, bukan cara masih bertanggung jawab atau bisa jadi tidak lagi
melangsungkan perkawinan, melainkan termasuk bertanggungjawab, tergantung dari bentuk
salah satu bentuk perkawinan yang relatif jarang perkawinan yang dipilih.
dilaksanakan di Bali, karena bentuk perkawinan ini Dalam hal memilih bentuk perkawinan nyentana
hanya dilaksanakan manakala calon pasangan suami (kawin nyeburin), secara yuridis pihak laki-laki
istri tidak mungkin melangsungkan perkawinan tidak lagi bertanggung jawab terhadap keluarga
biasa atau perkawinan nyentana. asalnya, tetapi secara moral dia tetap bertanggung
Berdasarkan pengalaman melakukan penelitian jawab terhadap keluarganya (saudara dan orang tua
terhadap sejumlah keluarga yang melangsungkan di rumah asalnya), sepanjang hal itu dilakukan tanpa
merugikan pihak keluarga istrinya. Sementara itu di mendengar seorang warga Desa Tamanbali pernah
rumah istrinya, dia memiliki tanggung jawab moral melangsungkan perkawinan serupa perkawinan pada
dan tanggung jawab yuridis untuk melanjutkan gelahang. Setelah didatangi alamat yang ditunjukan,
segala kewajiban (swadharma) yang secara ternyata keluarga yang dimaksud sepertinya enggan
tradisional dijalani oleh keluarga istrinya. Tanggung untuk memberi keterangan.
jawab serupa juga diteruskan oleh anak-anaknya Keengganan memberikan keterangan yang
yang dilahirkan kemudian. diperlukan adalah salah satu kesulitan dalam
Ketidaksamaan pemahaman inimenyebabkan mendapatkan data yang akurat mengenai jumlah
beberapa kali penulis harus gigit jari. Maksud dan perkawinan pada gelahang di Bali, karena dalam
tujuan bertemu pasangan suami istri yang kenyataannya memang tidak semua pasangan suami
melangsungkan perkawinan pada gelahang, tetapi istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang
yang ditemui ternyata pasangan suami istri yang bersedia memberikan keterangan seperti apa adanya.
melangsungkan perkawinan nyentana. Hal ini Bahkan di antara 28 perkawinan pada gelahang yang
dialami oleh Ketut Sudantra di Desa Pakraman diketahui dan sempat dihubungi secara langsung,
Kerobokan (Badung), Wayan Sugiarta di Desa ada 2 keluarga yang sama sekali tidak bersedia
Pakraman Gianyar (Gianyar), Wayan P. Windia di berbicara dan berusaha mengalihkan perhatian
Desa Pakraman Bongkasa (Badung) dan Desa ketika diminta informasi mengenai bentuk
Pakraman Bumbungan (Klungkung). perkawinannya. Ada juga yang dan meneruskan
Dalam hubungan dengan hukum keluarga, warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena
khususnya perkawinan, Kabupaten Tabanan sesuatu sebab tertentu seperti: sakit yang tidk
terbilang relatif “lebih maju”, dibandingkan dengan mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan
kabupaten lainnya yang ada di Bali. Salah satu atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa
contoh, perkawinan nyentana. Di tempat lainnya di (kawin keluar).
Bali, sulit dapat ditemui satu keluarga yang telah Terdapat dua cara melangsungkan perkawinan
dikaruniai anak laki, melangsungkan perkawinan yang lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat
nyentana (perkawinan kaceburin) bagi anak Bali, yaitu (1) perkawinan dengan cara memadik
perempuannya, tetapi di Kabupaten Tabanan, yang (meminang) dan (2) perkawinan dengan cara
begini bisa saja terjadi. Menurut Ketut Sudantra, ngerorod (lari bersama). Berdasarkan data yang
dosen hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud, berhasil dikumpulkan dapat diketahui semua
“perkawinan semacam ini bahkan bukan hanya bisa, perkawinan pada gelahang yang ditemui dalam
melainkan biasa”. penelitian ini, dilangsungkan dengan cara memadik
Di tempat lainnya di Bali, sulit dibayangkan (meminang).
seorang perempuan yang bernama “I Gusti Ayu”, Tata cara melangsungkan pepadikan maupun
melangsungkan perkawinan kaceburin, oleh seorang pihak yang terlibat dalam memadik, hampir sama
laki-laki yang bernama “IWayan”, tetapi di dengan proses pepadikan dalam perkawinan biasa
Kabupaten Tabanan, yang begini pernah terjadi. Di atau perkawinan nyentana, dengan beberapa
tempat lainnya di Bali, sulit dibayangkan seorang pembicaraan tambahan berupa kesepakatan
laki-laki yang bernama “I Ketut”, melangsungkan tambahan terkait dengan pelaksanaan upacara
perkawinan nyentana (perkawinan nyeburin), ke perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan)
dalam lingkungan keluarga perempuan yang yang dilahirkan di kemudian hari.
bernama “Ida Ayu”, tetapi di Kabupaten Tabanan, Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai
yang begini pernah terjadi. Berdasarkan fakta-fakta tata cara yang sudah lazim berjalan seperti dihadiri
tersebut, menjadi tidak aneh kalau perkawinan pada oleh kedua calon mempelai beserta keluarganya dan
gelahang paling banyak dilangsungkan di Kabupaten perangkat pimpinan (prajuru) adat dan dinas pada
Tabanan. masing-masing banjar adat atau desa adat, serta ada
Benarkah di Kabupaten Bangli sama sekali tidak upacara tertentu pada tempat meminang (memadik)
ada warga masyarakat yang melangsungkan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Pembicaraan
perkawinan pada gelahang? Berdasarkan dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan
penelusuran penulis di Kantor Dinas Kependudukan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak dan
dan Catatan Sipil Kabupaten Bangli, dapat diketahui terakhir melibatkan keluarga yang lebih -luas serta
bahwa memang benar demikian adanya. Tidak disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan) banjar
diperoleh informasi mengenai adanya perkawinan atau desa pakraman masing-masing. Materi
pada gelahang. Salah seorang karyawan di pembicaraan tambahan mengenai pelaksanaan
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangli mengaku upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak
(keturunan) yang dilahirkan dikemudian hari, dapat b. Kesepakatan Keluarga
dijelaskan sebagai berikut. Adanya kesepakatan calon pengantin dan
a. Upacara Perkawinan keluarganya bahwa mereka akan melangsungkan
Telah dijelaskan pada Bab II bahwa dalam hal perkawinan pada gelahang, merupakan salah satu
melangsungkan perkawinan biasa, keluarga laki-laki unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan
relatif lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga yang dimaksud. Rintisan ke arah tercapainya
perempuan, karena upacaranya dilangsungkan di kesepakatan biasanya telah dimulai secara informal
tempat kediaman pengantin laki-laki. Sebaliknya oleh orang tua masing-masing, semasa calon
dalam melangsungkan perkawinan nyentana, pengantin masih berstatus berpacaran (magelanan).
keluarga perempuan relatif lebih sibuk karena Apabila peluang dianggap terbuka, barulah
berbagai hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan dilanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal,
terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan di pada waktu pembicaraan antar orang tua kedua
tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung belah pihak. Kesepakatan yang didapat pada waktu
jawab keluarga perempuan, sementara keluarga laki- pembicaraan informal ini diteruskan dalam
laki hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian pertemuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan
upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara pepadikan (peminangan). Disaksikan keluarga yang
perkawinan menurut agama Hindu dan hukum adat lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru) banjar
Bali. atau desa pakraman. Prosesnya seperti itu sehingga
beralasan semua perkawinan pada gelahang yang
Dalam hal melangsungkan perkawinan pada
menjadi objek penelitian, dilangsungkan dengan
gelahang, kesibukan tampak di kedua belah pihak,
cara memadik (meminang) dan tidak ada yang
baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan.
dilangsungkan dengan cara ngerorod (lari bersama).
Hal ini disebabkan karena semua pasangan
pengantin yang memilih bentuk perkawinan pada Lebih dari itu, kesepakatan keluarga mengenai
gelahang sepakat melangsungkan upacara bentuk perkawinan pada gelahang yang dipilih, tata
perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. cara melangsungkannya, tanggung jawab
Di tempat kediaman suami dan di tempat kediaman (swadharma) para pihak di kemudian hari terhadap
istri, pada hari yang sama. Soal di tempat mana keluarga dan orang tua masing-masing, serta
dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan,
kesepakatan kedua belah pihak beserta keluarganya. pada umumnya disampaikan secara lisan dengan
Ada yang melangsungkan upacara di tempat disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar
kediaman suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan masing-masing. Hanya beberapa keluarga saja yang
dengan upacara yang sama di tempat kediaman istri, membuat kesepakatan yang dituangkan dalam
atau sebaliknya, di tempat kediaman istri lebih pada bentuk perjanjian atau pernyataan tertulis.
pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari Setiap pasangan suami istri yang melangsungkan
yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama di perkawinan pada gelahang, mempunyai cara
tempat kediaman suami. Kecuali perkawinan yang tersendiri dalam merumuskan dan mengungkapkan
dilangsungkan pasangan I Wayan Tusti Adnyana, kesepakatan tentang konsekuensi yang menyertai
S.Sn,Banjar Babahan Penebel,Tabanan dengan Ni pelaksanaan perkawinan tersebut.Bagaimanapun
Wayan Rupmini, Banjar Anyar Perean, Tabanan, cara mengemukakan atau merumuskan, pada
pada tahun 1999. Upacara pertama dilaksanakan di prinsipnya kesepakatan yang dibuat kedua belah
rumah istri, dan tiga minggu kemudian, barulah pihak, baik lisan maupun tertulis, mengandung
dilaksanakan di rumah suami. substansi yang sama bahwa perkawinan pada
Semua pasangansuami istri yang melangsungkan gelahang dilangsungkan dengan maksud agar
perkawinan pada gelahang, tidak melanjutkannya keluarga kedua belah pihak memiliki keturunan
dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat (anak cucu), yang nantinya diharapkan dapat
pemujaan keluarga (sanggah). Selain itu, semua mengurus dan meneruskan warisan yang
pasangan suami istri yang melangsungkan ditinggalkan oleh orang tua kedua belah pihak, baik
perkawinan pada gelahang, juga merumuskan yang berwujud tanggung jawab (swadharma)
kesepakatan keluarga mengenai masa depan maupun berupa hak (swadikara), dalam hubungan
kehidupan pasangan suami istri ini, pada waktu dengan parhyangan, paawongan dan palemahan
dilaksanakannya pembicaraan meminang dalam keluarga dan masyarakat.
(memadik). Mengenai bentuk dan substansi pokok KESIMPULAN
kesepakatan keluarga yang dimaksud, tampak Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan
seperti diuraikan di bawah ini. dapat diketahui bahwa faktor utama yang
melatarbelakangi pasangan pengantin dan DAFTARKEPUSTAKAAN
keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan Dharmayudha, I Made Suastawa. “Laporan
pada gelahang adalah adanya kekhawatiran warisan Penelitian,” 1992.
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik yang
Djaksa, Gde. “Hubungan Perkawinan Menurut
berwujud tanggung jawab atau kewajiban
Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut
(swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Fakultas
yang mengurus dan meneruskan. Munculnya
Hukum Universitas Indonesia, 1976.
kekhawatiran tersebut didasarkan atas dua hal.
Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak Hadiwidjojo, Harun. Sari Filsafat India, 1985.
tunggal di rumahnya masing-masing. Kedua, adanya Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional.Jakarta:
keyakinan bahwa saudaranya yang lain, tidak Tintamas, 1982.
mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan Di
ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu Indonesia. Djambatan, 1990.
sebab tertentu seperti: sakit yang tidak mungkin Kom, VE. Hukum Adat Kekeluargaan Di Bali
disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau (Diterjemahkan Dan Diberikan CatatanCatatan Oleh
karena sudah melangsungkan perkawinan biasa I Gde Wayan Pangkat). Denpasar:),Biro
(kawin ke luar). Tidak semua pasangan suami istri Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum
yang melangsungkan perkawinan pada gelahang dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana
bersedia mengemukakan keadaan sesungguhnya dari Denpasar, 1978.
perkawinan yang mereka pernah langsungkan.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.
Kalau pun mereka bersedia memberikan keterangan,
Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
namun tetap tidak bersedia kalau perkawinan yang
2006.
mereka langsungkan dipublikasikan, baik untuk
keperluan ilmiah maupun yang lainnya. Adanya Muhaimin. “Kedudukan Kearifan Lokal Dalam
kenyataan tersebut menyebabkan jumlah Penataan Ruang Provinsi Bali.” Penelitian Hukum
perkawinan pada gelahang yang dijadikan objek De Jure 18, no. 1 (2018): 63.
penelitian, kurang sesuai dengan kenyataannya yang “Penetapan Tersangka Tanpa Batas Waktu.”
terjadi dalam masyarakat. Di antara 28 pasangan Penelitian Hukum De Jure 20, no. 2 (2020): 279.
suami istri yang diketahui melangsungkan Panetja, Gde. Asupundung, 1951.
perkawinan pada gelahang, 2 pasangan sama sekali
Pudja, Gde. Pengantar Tentang Perkawinan
tidak bersedia diwawancarai, 18 pasangan bersedia
Menurut Hukum Hindu. Jakarta: Mayasari, 1984.
diwawancarai tetapi menolak untuk dipublikasikan
Soepomo, R. Bab-Bab Tentang Hukum Adat.
dan hanya 8 pasangan suami istri yang rela
Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
dipublikasikan atau dimunculkan dalam laporan
penelitian. Soerjono Sekanto, Sri Mamudji. Penelitian
Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1985.
SARAN
Sondjaya, Atja. Pembagian Harta Warisan
Pemerintah setempat membuatkan semacam
Menurut Masyarakat Adat Bali. Jakarta: Mahkamah
peraturan atau panduan dan penjelasan tentang
Agung RI, 2011.
pernikahan pada Gelahang, agar menjadi sebuah
pengetahuan yang dapat dijadikan pegangan para Sudantra, I Ketut. “Hukum Adat II.” Denpasar,
pasangan yang akan melangsungkan pernikahan 1989.
ataupun sebagai informasi yang dapat Sudantra, Ketut I. “Hukum Perkawinan Bagi
menghilangkan rasa keraguan ketika akan Umat Hindu Di Bali.” Last modified 2016. http://
melangsungkan pernikahan. sudantra.blogspot.co.id/2011/09/hukumperkawinan.
UCAPANTERIMAKASIH html, .
Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan Undhiksa. “Bentuk Perkawinan Matriarki Pada
untuk para pembimbing dalam penulisan Karya Masyarakat Hindu Bali Ditinjau Dari Perspektif
Tulis ini sehingga dapat maksimal dalam metode Hukum Adat Dan Kesetaraan Gender.” lmu Sosial
maupun substansi, serta rekan peneliti lain yang dan Humaniora 5, no. 1 (2016): 8.
memberikan masukan dan saran dalam proses Windia, Wayan. Catatan Populer Tentang
penulisan, serta instansi Badan Penelitian dan Hukum Keluarga Perspektif Hukum Adat Bali.
Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Denpasar: Mamitra Ngalang, 2004.
Hukum dan HAM tempat Peneliti melaksanakan Windia, Wayan P. “Gerakan Pemuda Pada Era
tugas sebagai Peneliti Bidang Hukum. 1980-an Yang Senantiasa Mengkampanyekan
Program Keluarga Berencana (KB) Adalah Gerakan
Pemuda Zero Population Grouth (ZPG).” Program
KB Yang Dikampanyekan Yaitu: Tunda Usia
Perkawinan,TundaYangSenantiasaMengkampanyek
an Program Keluarga Berencana (KB) Adalah
Gerakan Pemuda Zero Population Grouth (ZPG).

You might also like