You are on page 1of 13

Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

PERKAWINAN “PADA GELAHANG” SERTA ASPEK HUKUM PEMBAGIAN


HARTA WARISANNYA DI BALI
(The “On The Gelaw” Marriage and The Legal Aspect
of The Distribution of Heritage in Bali)

Evi Djuniarti
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta
evi_djuniarti@yahoo.com

Tulisan Diterima: 01-07-2020; Direvisi: 28-07-2020; Disetujui Diterbitkan: 14-08-2020


DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.459-471

ABSTRACT
Religious diversity adopted by the people of Indonesia will color the implementation of the Marriage Law. In
many areas, especially for Hindus in Bali, the implementation of marriage will also be marked by the enactment
of customary law, in addition to being difficult to separate between adat and religion, marriage law is also
strongly influenced by family law which is still controlled by customary law. The concept of sekala-niskala is a
concept that cannot be separated from the life of religious Balinese people, who always maintain harmonious
relations between the real world (sekala) and the unseen world (niskala) in every aspect of their lives, including
in marriage. The marriage system according to Hindu law contained in the Book of Manudharmasastra we
compare it to the ‘marriage system found in indigenous peoples in Bali, then we will see there are similarities
between the marriage system according to Hindu law with the existing marriage system in the customary law
community in Bali. The problems in writing this paper are as follows: What is the state of marriage in Bali?
In relation to family law, especially marriage, Tabanan Regency is relatively “more advanced”, compared
to other districts in Bali. One example, marital marriage. The main factor behind the wedding couple and
their families agreeing to hold a marriage at Geldhang is the concern of the inheritance left by their parents,
whether in the form of responsibilities or obligations (swadharma) or rights (swadikara), no one takes care
of and continues. The government is expected to make rules or guidelines in the implementation of marriage
in gelahang so that it becomes knowledge that can be used as a guide for couples who are getting married.
Keywords: marriage law; gelahang; bali; inheritance

ABSTRAK
Keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia akan mewarnai pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan. Pada banyak daerah, khususnya bagi Umat Hindu di Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan
diwarnai oleh berlakunya hukum adat, di samping karena antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum
perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat. Konsep
sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang relegius,
yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam
setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Sistem perkawinan menurut hukum Hindu yang
terdapat dalam kitab Manudharmasastra kita bandingkan dengan ’sistem perkawinan yang terdapat pada
masyarakat adat di Bali, maka akan kita lihat ada persamaan antara sistem perkawinan menurut hukum Hindu
dengan sistem perkawinan yang ada pada masyarakat hukum adat di Bali. Adapun permasalahan dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut Bagaimanakah keadaan perkawinan pada gelahang di Bali?
Dalam hubungan dengan hukum keluarga, khususnya perkawinan, Kabupaten Tabanan terbilang relatif “lebih
maju”, dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di Bali. Salah satu contoh, perkawinan nyentana.
faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan
pada geldhang adalah adanya kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik yang berwujud
tanggung jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus

459
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

dan meneruskan. Pemerintah dirahapkan membuat peraturan atau pedoman dalam pelaksanaan perkawinan
pada gelahang agar menjadi sebuah pengetahuan yang dapat dijadikan pegangan para pasangan yang akan
melangsungkan pernikahan.
Kata kunci: hukum perkawinan; gelahang; bali; harta waris

PENDAHULUAN menghormati keanekaragaman kondisi sosial


budaya masyarakat Indonesia. Melalui Pasal 2
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Ayat (1), pelaksanaan perkawinan khususnya
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang berkaitan dengan sahnya perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-Undang
diserahkan pengaturannya menurut hukum
Perkawinan), berbagai peraturan pelaksanaannya
masing-masing agama dan kepercayaannya.
mulai dibuat, seperti halnya Peraturan Pemerintah
Dengan demikian keanekaragaman agama yang
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
dianut masyarakat Indonesia akan mewarnai
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Pada
1974 tentang Perkawinan, yang merupakan
banyak daerah, khususnya bagi Umat Hindu di
peraturan terpenting dalam rangka pelaksanaan
Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan diwarnai
Undang-undang Perkawinan, beberapa peraturan
oleh berlakunya hukum adat, di samping karena
penting lainnya telah dikeluarkan untuk
antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum
melengkapi Undang-undang Perkawinan ini,
perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh hukum
antara lain Keputusan Menteri Dalam Negeri
keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat.
Tanggal 1 Oktober 1975 Nomor 22a Tahun 1975
Sistem kekeluargaan purusa (patrilineal) yang
tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian
dianut dalam hukum adat keluarga di Bali (dresta
pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan
Bali) sangat penting pengaruhnya terhadap
Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun
hukum perkawinan bagi umat Hindu di Bali.
1974, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983
Pengaruh tersebut sangat jelas tampak terhadap
tanggal 25 Februari 1983 tentang Penataan dan
bentuk-bentuk perkawinan yang pada akhirnya
Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan
berpengaruh terhadap status suami istri dan anak-
Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
anak dalam keluarga.
tanggal 21 April 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil1. Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal
dengan istilah pawiwahan. Istilah ini umumnya
Didalam suatu masyarakat, bangsa dan
sudah menjadi istilah teknis yang dipergunakan
negara, hak dan kewajiban merupakan sesuatu
dalam peraturan-peraturan adat yang disebut
yang melekat dan menyatu dalam diri hukum.
dengan awig-awig, terutama awig-awig desa
Artinya, hak dan kewajiban diatur oleh hukum2.
pakraman (dulu disebut: desa adat). Di samping
Keseluruhan peraturan-peraturan di bidang itu, di dalam masyarakat ditemukan pula istilah-
perkawinan tersebut dapat dipandang sebagai istilah yang mempunyai makna sama dengan
hukum perkawinan nasional yang berlaku untuk perkawinan, seperti alakirabi, pewarangan, dan
seluruh wilayah dan warga negara Indonesia. seterusnya. Perkataan ”kawin” sendiri dalam
Berdasarkan hal tersebut maka asas-asas dan bahasa sehari-hari lebih umum disebut nganten,
materi undang-undang tersebut secara otomatis mesomahan, atau mekurenan sebagai istilah-
berlaku bagi umat Hindu di Indonesia, tidak istilah yang umum digunakan dikalangan jaba,
terkecuali bagi umat Hindu di Bali, tetapi sementara dikalangan triwangsa istilah yang
perlu pula dicatat bahwa Undang-undang lazim dipergunakan adalah merabian, mekerab
Perkawinan ternyata adalah suatu unifikasi atau mekerab kambe.
hukum yang unik karena masih menghargai dan
Dalam masyarakat adat di Bali, perkawinan
tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan
1 Ketut I Sudantra, “Hukum Perkawinan Bagi Umat hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka,
Hindu Di Bali,” last modified 2016, http://sudantra.
blogspot.co.id/2011/09/hukum-perkawinan.html, . melainkan juga berkaitan dengan kehidupan
2 Muhaimin, “Penetapan Tersangka Tanpa Batas dunia gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan
Waktu,” Penelitian Hukum De Jure 20, no. 2 (2020): (suci). Konsep perkawinan sebagai perbuatan
279.

460
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

hukum yang bersifat sekala-niskala umumnya di dalam kitab Weda tersebut5.


dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa Tujuan lain dari pernikahan menurut ajaran
pakraman, khususnya dalam Pasal (pawos) yang Hindu adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
secara khusus membahas prihal perkawinan (indik yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu
pawiwahan). Contohnya adalah Pawos 77 Awig- sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda
awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh, Badung perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga
(1992) yang menyatakan sebagai berikut3: yang berlangsung sekali dalam hidup manusia6.
”Pawiwahan inggih punika patemining Pembukuan kitab Weda tersebut terjadinya
purusa pradana, malarapan patunggalan tidak sekaligus melainkan secara bertahap, yaitu
kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala tahap pertama adalah pembukuan kitab weda yang
-niskala” disebut kitab Weda Samhita - yang berisi mantera-
Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi mantera, kedua adalah kitab Weda Brahmana
yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan - berisi peraturan-peraturan dan kewajiban-
masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa kewajiban keagamaan, terutama yang mengenal
menjaga keharmonisan hubungan antara dunia korban, dan ketiga adalah pembukuan bagian
nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap Weda yang disebut Upanisad – berisi keterangan-
aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. keterangan yang mendalam mengenai asal mula
Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak alam semester serta segala isinya, terutama tentang
hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, manusia dan keselamatan-keselamatannya7.
keluarga dan masyarakat (banjar), melainkan juga Jangka waktu turunnya wahyu pertama hingga
berurusan dengan betara-betari (roh leluhur) yang pembukuan yang terakhir sekitar 1500 tahun, yaitu
bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala, antara tahun 2000 SM sampai tahun 500 SM8.
dan Hyang Widhi, sebagaimana dapat dimaknai Rumusan agama (Dharma) menurut Hindu
dari konsep tri upasaksi (manusa saksi, dewa saksi meliputi pengertian hukum (Rta atau Dharana).
dan bhuta saksi) dalam pengesahan perkawinan. Jadi dalam agama Hindu, hukum itu adalah
Pengertian demikian sangat sejalan dengan prinsip Dharma dan Dharma adalah hukum. Dengan
yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan. demikian segala tingkah laku umat Hindu balk
Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dengan secara pribadi maupun secara kolektif haruslah
jelas dinyatakan bahwa: ”Perkawinan ialah ikatan mengikuti Dharma, yaitu peraturan yang mengatur
lahir batin antara seorang pria dengan seorang tingkah laku manusia9.
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan Selain Weda, umat Hindu masih mengenal
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbagai kitab lagi diantaranya adalah kitab
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Sastra dan akhlak seperti Ramayana dan Maha-
Maha Esa”. brata, dan kitab syariat yaitu Martudharmasastra.
Masyarakat Bali yang kehidupannya dituntun Manudharmasastra ini merupakan himpunan
oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang bercorak hukum-hukum Hindu yang telah banyak disalin
religious Hinduistis, selalu berusaha bersikap dan digubah dalam berbagai bentuk Kitab Sastra
seimbang terhadap alam sekitarnya4. (ilmu) yang membahas masalah hukum yang
Di dalam agama Hindu sumber keterangan berlaku bagi masyarakat Hindu, termasuk hukum
tentang persoalan-persoalan yang mengenai dunia perkawinan umat Hindu, yang diuraikan dalam
dan manusia terdapat di dalam kitab yang disebut buku II dan III10.
kitab Weda, yang menurut keyakinan umat Hindu
isinya diwahyukan oleh dewa yang tertinggi 5 Harun Hadiwidjojo, Sari Filsafat India, 1985.
kepada para resi, para brahmana dan para guru, 6 Undhiksa, “Bentuk Perkawinan Matriarki Pada
Masyarakat Hindu Bali Ditinjau Dari Perspektif
yang setelah berabad-abad kemudian dibukukan Hukum Adat Dan Kesetaraan Gender,” lmu Sosial
dan Humaniora 5, no. 1 (2016): 8.
7 Ibid.
3 Sudantra, “Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu 8 Ibid.
Di Bali.” 9 Gde Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut
4 Muhaimin, “Kedudukan Kearifan Lokal Dalam Hukum Hindu (Jakarta: Mayasari, 1984).
Penataan Ruang Provinsi Bali,” Penelitian Hukum 10 Gde Djaksa, Hubungan Perkawinan Menurut
De Jure 18, no. 1 (2018): 63. Hukum Hindu dengan Perkawinan Menurut

461
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

Kitab hukum Manudharmasastra atau antara wanita dengan pria yang dicintainya
Manusmreti terdiri dari 12 bab atau 12 buku, isinya (M.III:32).
terdiri dan berbagai macam peraturan hukum yang 7) Raksasa Wiwaha; pengambilan wanita
mengatur baik bidang keagamaan, keperdataan, dengan kekerasan dari rumahnya, setelah
hukum pidana, doktrin maupun acaranya. Kitab keluarganya dibunuh atau dianiaya dan harta
ini dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam bendanya dirusak (M.III:33).
tata kehidupan keagamaan maupun tata kehidupan 8) Paisaca wiwaha; yaitu bila seorang laki- laki
bermasyarakat.
dengan diam-diam memperkosa gadis yang
Berdasarkan Manusmreti (Manudharma- sedang tidur, mabuk atau tak sempurna
sastra), perkawinan umat Hindu itu bersifat religi- pikirannya (M.III:34)12.
us dan obligator (mengikat), hal ini dihubungkan
Kedelapan cara melakukan perkawinan itu
dengan adanya kewajiban bagi seseorang untuk
tidak semuanya boleh dilakukan menurut hukum
mempunyai keturunan laki-laki (purusa/putrika)
agama, karena di antaranya ada yang membawa
agar anak tersebut dapat menyelamatkan orangtu-
pahala dan ada yang dosa bila dilakukan
anya dan neraka Put11. Jadi perkawinan hukumnya
(M.III:20)13.
wajib menurut hukum Hindu.
BilasistemperkawinanmenuruthukumHindu
Menurut Manudharmasastra (disingkat: M)
yang terdapat dalam kitab Manudharmasastra kita
III: 20 dan 21, dikenal ada delapan cara perkawinan
bandingkan dengan ‘sistem perkawinan yang
yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
terdapat pada masyarakat adat di Bali, maka akan
1) Brahma wiwaha; perkawinan dengan cara kita lihat ada persamaan antara sistem perkawinan
penyerahan seorang putri kepada seorang menurut hukum Hindu dengan sistem perkawinan
pria yang ahli Weda (M.III: 27). yang ada pada masyarakat hukum adat di Bali.
2) Daiwa wiwaha; penyerahan seorang putri Perkawinan mepadik di Bali mempunyai
kepada Pendeta yang diundang untuk kesamaan dengan cara perkawinan Brahma
melakukan upacara (M.III:28). wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsawiwaha, sedangkan
3) Arsa wiwaha; penyerahan seorang gadis perkawinan rangkat mempunyai kesamaan dengan
untuk dikawinkan setelah menerima sapi/ Gandharwa wiwaha dan perkawinan malegandang
lembu dua pasang sesuai dengan peraturan mempunyai persamaan dengan sistem Raksasa
dan kitab suci (M.III:29). wiwaha dan Paisaca wiwaha14.
4) Prajapati wiwaha; penyerahan putri oleh Dasar relegius dalam suatu perkawinan
seorang ayah setelah kedua mempelai diharapkan dapat mengokohkan lembaga
dinasehati dengan Ayat “semoga kamu perkawinan itu sendiri sehingga tujuan
berdua melakukan kewajibanmu berdua” dan perkawinan dapat dicapai. Tujuan perkawinan
setelah memberikan penghormatan kepada seperti ditegaskan dalam Pasal 1 di atas adalah
mempelai laki-laki (M.III:30). terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia.
5) Asura wiwaha; yaitu bila mempelai laki- Istilah ”kekal” dapat dimaknai bahwa perkawinan
laki menerima wanita calon isterinya diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup ini
sehingga diharapkan perkawinan tidak putus
setelah terlebih dahulu ia memberikan harta
sebanyak yang ia mampu kepada mertuanya di tengah jalan karena perceraian. Keluarga
dan kepada calon isterinya sendiri sesuai ”bahagia” diakui merupakan rumusan yang masih
dengan kemampuannya sendiri (M.III:31). abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai
oleh masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi
6) Gandhara wiwaha; perkawinan yang karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang
didasarkan hubungan suka sama suka relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan
adalah keluarga ideal menurut ajaran agama dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Skripsi pada kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, umat Hindu di Bali, adanya keturunan yang lahir
1976, hlm. 41
11 Gde Djaksa, “Hubungan Perkawinan Menurut
Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut 12 Ibid.hlm. 25-26
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974” (Fakultas 13 Ibid.hlm. 24
Hukum Universitas Indonesia, 1976). 14 Ibid.hlm 27-28

462
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

dari perkawinan sangatlah penting sehingga dapat (dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
dikatakan menjadi salah satu tujuan penting dari Perkawinan) maupun hukum adat (dalam hal ini
perkawinan. Dalam masyarakat Bali, keturunan hukum adat Bali), dipenuhi oleh calon pengantin,
terutama anak laki-laki, sangat didambakan oleh baik dalam hubungan dengan bentuk perkawinan
setiap pasangan suami istri sebab dari anak laki- maupun tata cara melangsungkannya. Apabila
lakilah digantungkan harapan-harapan, seperti persyaratan yang ditentukan tidak dipenuhi, akan
menjadi penerus generasi; mengganti kedudukan muncul masalah seperti: perkawinan tidak diakui
bapaknya dalam masyarakat kalau sudah kawin oleh masyarakatnya, perkawinan dapat dibatalkan
(menjadi kerama banjar atau kerama desa); atau batal demi hukum.
memelihara dan memberi nafkah jika orang Dalam hubungan dengan tata cara
tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara melangsungkan perkawinan, hukum adat Bali
agama (seperti: ngaben, dan lain-lain); serta mengenal dua cara, yaitu:15
selalu astiti-bhakti (menyembah) kepada leluhur (1) Perkawinan yang dilangsungkan
yang bersemayam di sanggah atau merajan (Tim
dengan cara memadik (meminang) dan (2)
Peneliti, FH Unud,1991).
perkawinan yang dilangsungkan dengan cara
Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat ngerorod (lari bersama). Bentuk perkawinan
kuat dianut suatu kepercayaan bahwa keberadaan yang umum dilaksanakan, yaitu perkawinan
keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangatlah biasa dan perkawinan nyentana.
penting untuk membebaskan roh leluhur (pitara) Dalam perkawinan biasa, si gadis
dari kawah neraka dan mengantarkannya
meninggalkan rumahnya dan diajak ke rumah
menuju alam surga. Kepercayaan ini tampaknya keluarga pengantin laki-laki. Hal ini sesuai
diilhami dari kisah yang diceritrakan dalam Kitab
dengan sistem kekerabatan yang dianut di Bali,
Adiparwa. Dalam kitab tersebut diceritrakan
yaitu patrilenial (kebapaan). Sesuai namanya
mengenai nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang perkawinan biasa, perkawinan ini dilaksanakan
hampir jatuh ke kawah neraka akibat beliau tidak dalam suasana biasa. Dalam arti, seorang laki-
mempunyai keturunan kerena putra beliau yaitu laki berasal dari satu keluarga yang terdiri dari
Sang Jaratkaru berketetapan hati untuk nyukla beberapa orang anak laki-laki dan perempuan,
brahmacari (tidak kawin selama hidup). melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis
Mengetahui nasib roh leluhurnya yang demikian, yang berasal dari satu keluarga yang juga terdiri
akhimya Sang Jaratkaru memutuskan untuk dari anak laki-laki dan perempuan.
kawin, sehingga roh leluhurnya dapat menuju
alam sorga setelah ia mempunyai putra yang Kalau terjadi hal yang sebaliknya, satu
bernama Sang Astika (Ngurah Adhi, 1972). keluarga terdiri dari beberapa anak perempuan,
Dalam bahasa sehari-hari kepercayaan mengenai maka salah seorang anak perempuannya, akan
pentingnya peranan keturunan (cucu) laki-laki “dikukuhkan” statusnya menjadi “laki-laki”. Anak
untuk membebaskan roh leluhur dari kawah perempuan yang berstatus laki-laki ini dikenal
neraka ini sering dikemukakan dengan ungkapan dengan sebutan sentana rajeg. Kalau seorang
”i cucu nyupat i kaki”. sentana rajeg melangsungkan perkawinan dengan
seorang laki-laki yang berasal dari keluarga yang
Salah satu fase penting hidup manusia dalam terdiri dari beberapa orang anak laki-laki, dia
bermasyarakat adalah perkawinan. Dikatakan tidak meninggalkan rumahnya dan ikut suaminya,
penting karena, perkawinan dapat mengubah melainkan suaminyalah yang ikut istrinya
status hukum seseorang. Semula dianggap “belum
dan berstatus seperti perempuan (predana) di
dewasa” dengan dilangsungkannya perkawinan,
rumah istrinya. Perkawinan ini dikenal dengan
dapat menjadi “dewasa” atau yang semula perkawinan nyentana.
dianggap anak muda (deha) dengan perkawinan
akan menjadi suami istri (alaki-rabi), dengan Sesudah pilihan bentuk perkawinan dan cara
berbagai konsekuensi yuridis dan sosiologis yang melangsungkan perkawinan ditentukan, kemudian
menyertainya. dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara
perkawinan sesuai dengan agama Hindu dan
Demikian pentingnya perkawinan itu
hukum adat Bali dan penyelesaian administrasi
sehinggabarudapatdilangsungkansetelahberbagai
persyaratan yang ditentukan dalam hukum negara
15 Ibid.hlm 29

463
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

perkawinan sesuai dengan ketentuan UU dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk berikut Bagaimanakah keadaan perkawinan pada
mendapatkan akte perkawinan, sebagai bukti gelahang di Bali?
otentik bahwa perkawinan telah dilangsungkan
sesuai aturan yang berlaku.16 METODE PENELITIAN
Sejalan dengan kemajuan program Keluarga Metode yang dipergunakan dalam penelitian
Berencana (KB) yang diperkenalkan sejak awal ini adalah metode deskriptif analitis dengan
tahun 1970-an, banyak pasangan suami istri pendekatan utamanya yuridis normatif. Deskriptif
yang hanya dikaruniai satu orang anak saja, laki- analitis berarti menggambarkan dan melukiskan
laki atau perempuan17. Apabila anak perempuan sesuatu yang menjadi obyek penelitian secara
satu-satunya ini, bermaksud melangsungkan kritis melalui analisis yang bersifat kualitatif.
perkawinan dengan seorang laki-laki yang juga Oleh karena yang ingin dikaji berada dalam ruang
berasal dari keluarga yang hanya memiliki satu lingkup ilmu hukum, maka pendekatan normatif
anak laki-laki, muncul pertanyaan, bentuk tersebut, meliputi: asas-asas hukum, sinkronisasi
perkawinan mana yang harus mereka pilih? peraturan perundang-undangan, termasuk usaha
Memilih perkawinan biasa, keluarga penemuan hukum inconcreto.18
perempuan pasti keberatan, karena keluarga Di dalam suatu penelitian yuridis normatif,
ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak maka penggunaan pendekatan perundang-
perempuan yang dimiliki. Kalau memilih undangan (statute approach) adalah suatu hal
perkawinan nyentana, keluarga laki-laki pasti yang pasti. Dikatakan pasti, karena secara logika
juga tidak akan setuju, karena keluarga ini akan hukum, penelitian hukum normatif didasarkan
ditinggalkan oleh satu-satunya anak laki-laki yang pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan
dimiliki. hukum yang ada. Meskipun misalnya penelitian
Berdasarkan sejumlah kasus yang ditemui dilakukan karena melihat adanya kekosongan
dapat diketahui bahwa permasalahan di atas hukum, namun kekosongan hukum tersebut dapat
diselesaikan dengan melangsungkan perkawinan diketahui, karena sudah adanya norma-norma
pada gelahang atau perkawinan negen ayah. hukum yang mensyaratkan pengaturan lebih lanjut
Dalam hal ini pasangan suami istri tidak dalam hukum positif19.
melangsungkan perkawinan biasa dan juga tidak
melangsungkan perkawinan nyentana, melainkan PEMBAHASAN DAN ANALISIS
memilih bentuk “perkawinan alternatif di luar dua
bentuk perkawinan yang secara tradisional dikenal Bentuk Perkawinan Pada Gelahang di Bali
dalam hukum adat Bali. Perkawinan termasuk hukum keluarga.
Bentuk perkawinan pada gelahang memang Hukum keluarga20 adalah keseluruhan norma-
belum lazim dikenal dalam masyarakat adat norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis,
Bali atau umat Hindu. Walaupun demikian, yang mengatur hubungan kekeluargaan, baik
dalam kenyataannya sejumlah keluarga telah yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun
melangsungkan perkawinan pada gelahang. perbuatan hukum tertentu.
Itulah antara lain yang melatarbelakangi Perbuatan hukum yang dimaksud seperti
diadakannya penelitian pendahuluan ini. Dari perkawinan, pengangkatan anak, dan lain-
uraian diatas penulis mengangkat permasalahan lain. Hubungan kekeluargaan antara lain berisi
kewajiban dan hak dalam kehidupan berkeluarga,
16 Atja Sondjaya, Pembagian Harta Warisan Menurut seperti kewajiban dan hak anak terhadap orang
Masyarakat Adat Bali (Jakarta: Mahkamah Agung
RI, 2011).
tua atau sebaliknya. Norma-norma hukum tidak
17 Wayan P. Windia, “Gerakan Pemuda Pada Era 1980-
an Yang Senantiasa Mengkampanyekan Program
Keluarga Berencana (KB) Adalah Gerakan Pemuda 18 Sri Mamudji Soerjono Sekanto, Penelitian Hukum
Zero Population Grouth (ZPG).,” Program KB Yang Normatif (Jakarta: Rajawali, 1985).
Dikampanyekan Yaitu: Tunda Usia Perkawinan, 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kedua.
Tunda Kelahiran Anak Pertama, Jarangkan Kelahiran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
Anak Dan Stop Dua Anak, Laki Perempuan Sama 20 I Ketut Sudantra, “Hukum Adat II” (Denpasar,
Saja (Bali, 1980). 1989).

464
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

tertulis dalam peraturan aturan perundang- kekeluargaan dari garis ibunya22, seperti
undangan yang mengatur hubungan kekeluargaan yang terjadi di Minangkabau, Sumatra Barat.
disebut hukum adat keluarga. 3. Sistem kekeluargaan parental23. Dalam
Eksistensi hukum adat keluarga dalam sistem kekeluargaan ini, garis keturunan
masyarakat adat Bali, masih sangat kuat. Artinya dilacak dari dua pihak (bilateral), yaitu baik
masih diakui dan diikuti oleh masyarakat adat dari garis ibu maupun garis bapak, sehingga
Bali, di luar yang telah diatur oleh Undang-undang sistem ini juga disebut sistem kekeluargaan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. keibu-bapaan. Sistem kekeluargaan ini
Agak sulit memahami keberadaan hukum dianut oleh masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
keluarga bagi masyarakat adat Bali atau Kalimantan, dan lain-lain.
umat Hindu di Bali, tanpa memahami sistem Masyarakat adat Bali menganut sistem
kekeluargaan bagi umat Hindu di Bali. Demikian kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih
pula halnya kalau ingin memahami perkawinan dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah
tata cara pelaksanaan dan bentuk perkawinannya. kapurusa atau purusa24. Sebagai konsekuensi
Oleh karena itu, pembahasan pada Bab II ini dianutnya sistem kekeluargaan tersebut, maka
akan diawali dengan uraian mengenai sistem dalam suatu perkawinan, si istri akan masuk dan
kekeluargaan bagi masyarakat adat Bali yang menetap dalam lingkungan keluarga suaminya
beragama Hindu. dan seorang anak laki-laki dipandang mempunyai
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam kedudukan yang lebih utama dibandingkan anak
suatu masyarakat adalah kunci untuk dapat perempuan. Akibatnya, pasangan suami istri yang
memahami persoalan yang menjadi ruang lingkup belum dikaruniai anak laki-laki sering “merasa”
hukum keluarga, terutama dalam hubungan dengan belum memiliki keturunan.
perkawinan dan waris. Sistem kekeluargaan di sini Penting juga disebutkan bahwa klan (soroh)
diartikan sebagai cara menarik garis keturunan, dalam masyarakat Bali yang cendrung mengarah
sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang ke sistem kasta atau wangsa, pada masa lalu
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. sangat mempengaruhi hukum adat di Bali, seperti
Dapatlah disebut bahwa sistem kekeluargaan tercermin dari adanya larangan perkawinan
meliputi prinsip-prinsip dasar garis keturunan antarwangsa yang disebut asupundung dan
yang dapat menjelaskan batas-batas hubungan anglangkahi karangulu, yang pada tahun 1951
seseorang dengan orang-orang yang mempunyai telah dihapuskan25.
hubungan darah dengannya. Beberapa pertanyaan penting yang patut
Sistem kekeluargaan yang berlaku dalam dijawab dalam hubungan dengan sistem
masyarakat di Indonesia sangat beragam, kekeluargaan patrilenial (kapurusa) yang
disebabkan karena kemajemukan kondisi sosial dianut oleh masyarakat adat di Bali, antara
budaya masyarakat Indonesia, baik dilihat dari lain: (1) Apakah yang dapat dijadikan landasan
etnis, agama, dan lain-lain. Faktor inilah yang filosofis untuk menjastifikasi dianutnya sistem
menyebabkan sulitnya pembentukan hukum kekeluargaan patrilenial (kapurusa) oleh umat
keluarga yang bersifat nasional21. Secara umum Hindu? (2) Bagaimana kitab suci Hindu mengatur
dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga sistem tentang sistem kekerabatan? (3) Bagaimana hukum
kekeluargaan, yaitu: Hindu mengatur tentang sistem kekerabatan? (4)
1. Sistem kekeluargaan patrilineal. Berdasarkan Apakah sistem kekerabatan patrilenial (kapurusa)
sistem ini, keturunan dilacak dari garis bapak,
seperti di Batak, Nias, Sumba, Bali. 22 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di
Indonesia (Djambatan, 1990).
2. Sistem kekeluargaan matrilineal. Menurut 23 R Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta:
sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak Pradnya Paramita, 1977).
dari garis ibu, sehingga anak yang lahir dari 24 VE Kom, Hukum Adat Kekeluargaan Di Bali
perkawinan akan mendapatkan garis (Diterjemahkan Dan Diberikan Catatan-Catatan
Oleh I Gde Wayan Pangkat) (Denpasar: ), Biro
Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
21 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Udayana Denpasar, 1978).
Tintamas, 1982). 25 Gde Panetja, Asupundung, 1951.

465
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

yang selama ini dikenal dalam hukum adat Bali perahu yang akan mengantar seseorang yaitu roh
dan awig-awig desa pakraman di Bali, dijiwai oleh yang sedang menderita di neraka, dan untuk
ketentuan kitab suci Hindu, hukum Hindu ataukah menyelamatkan itu seorang anak dengan segala
karena sengaja dimunculkan dan dipertahankan akibatnya harus mempunyai putra dan bila tidak
untuk kepentingan mempertahankan kelangsungan berputra harus menggantikannya dengan anak
klan (soroh) yang cenderung mengarah ke sistem yang lain. Keluarga yang menderita di akhirat
kasta atau wangsa? adalah roh-roh leluhur yang terkatung-katung di
Dalam masyarakat adat Bali, perkawinan neraka sebelum dilakukan pitra yadnya oleh cucu
dikenal dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, atau putranya.
nganten, makerab kambe, pewarangan, dll. Berdasarkan definisi tentang perkawinan dan
Perkataan “kawin” sendiri dalam bahasa sehari- tujuan perkawinan seperti dikemukakan di atas
hari disebut nganten dan makerab kambe, yang dapat dikemukakan bahwa hubungan perkawinan
hakikatnya sama dengan perkawinan sebagaimana sesungguhnya bukan sekadar hubungan yang
diatur dalam undang-undang perkawinan. terjalin karena didasari atas rasa saling mencintai
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 antar seorang laki-laki dengan seorang wanita,
tentang Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai melainkan adalah masalah agama dan masalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan hukum, baik hukum adat maupun hukum nasional.
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan Keturunan sangat penting keberadaannya
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dalam satu keluarga, karena terkait dengan
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa penerusan tanggung jawab orang tua dan leluhur,
(Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1). baik berupa kewajiban (swadharma) maupun
Mengemukakan bahwa perkawinan menurut hak (swadikara). Itu sebabnya keluarga yang
umat Hindu adalah ikatan antara seorang laki-laki menghadapi tanda-tanda kaputungan (tidak
dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam mempunyai keturunan), akan mengusahakan
rangka mengatur hubungan seks yang layak guna berbagai cara yang sah menurut hukum adat Bali,
mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam untuk mengatasi masalah tersebut. Cara mengatasi
rangka menyelamatkan arwah orang tuanya26. masalah tersebut antara lain dengan mengangkat
Sesudah melangsungkan perkawinan anak (ngangkat sentana), mengukuhkan salah
pasangan suami istri ini disebut alakirabi, seorang anak perempuannya menjadi sentana
masomahan, atau makurenan. Kuren, somah, rajeg atau dengan melangsungkan perkawinan
rabi, dapat berarti suami atau istri. Suami disebut pada gelahang.
juga raka dan istri biasanya dipanggil rai. Raka- Selain itu juga sudah diuraikan bahwa bentuk
rai dapat berarti suami istri.27 Tujuan perkawinan perkawinan berbeda dengan cara melangsungkan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan. Perkawinan pada gelahang
dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1, yang yang menjadi objek penelitian ini, bukan cara
menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah melangsungkan perkawinan, melainkan termasuk
“.... membentuk keluarga (rumah tangga) yang salah satu bentuk perkawinan yang relatif jarang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang dilaksanakan di Bali, karena bentuk perkawinan
Maha Esa”. ini hanya dilaksanakan manakala calon pasangan
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu suami istri tidak mungkin melangsungkan
adalah untuk mendapatkan anak (keturunan) perkawinan biasa atau perkawinan nyentana.
guna dapat menebus dosa-dosa orang tuanya. Berdasarkan pengalaman melakukan
Uraian tentang pentingnya mempunyai anak, penelitian terhadap sejumlah keluarga yang
dapat diketahui dari ketentuan Pasal 161 Buku IX melangsungkan perkawinan pada gelahang, dapat
Manawa Dharmasastra. Dalam penjelasan Pasal diketahui bahwa belum sepenuhnya warga
ini diuraikan bahwa anak diumpamakan sebagai masyarakat di Bali memahami perbedaan antara
perkawinan yang dilangsungkan dengan cara
26 Pudja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut memadik, bentuk perkawinan nyentana dan bentuk
Hukum Hindu. Hlm. 15 perkawinan pada gelahang.
27 Wayan Windia, Catatan Populer Tentang Hukum
Keluarga Perspektif Hukum Adat Bali (Denpasar:
Mamitra Ngalang, 2004).

466
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

Ada beberapa informan yang ditemui istrinya. Sementara itu di rumah istrinya, dia
menganggap bahwa perkawinan yang memiliki tanggung jawab moral dan tanggung
dilangsungkan dengan cara meminang (memadik) jawab yuridis untuk melanjutkan segala kewajiban
dianggap sama dengan perkawinan pada gelahang. (swadharma) yang secara tradisional dijalani oleh
Hal ini didasarkan atas kenyataan perkawinan itu keluarga istrinya. Tanggung jawab serupa juga
dilangsungkan secara baik-baik dengan semangat diteruskan oleh anak-anaknya yang dilahirkan
duwenang sareng atau pada gelahang yang secara kemudian.
harfiah berarti “milik bersama”. Ketidaksamaan pemahaman ini menyebabkan
Sejatinya tidak demikian adanya. Memadik beberapa kali penulis harus gigit jari. Maksud
(meminang) menunjuk kepada salah satu cara dan tujuan bertemu pasangan suami istri yang
melangsungkan perkawinan menurut hukum adat melangsungkan perkawinan pada gelahang, tetapi
Bali di samping cara ngerorod (lari bersama), yang ditemui ternyata pasangan suami istri yang
sedangkan perkawinan nyentana dan perkawinan melangsungkan perkawinan nyentana. Hal ini
pada gelahang menunjuk kepada bentuk dialami oleh Ketut Sudantra di Desa Pakraman
perkawinan. Kerobokan (Badung), Wayan Sugiarta di Desa
Ketidaksamaan pemahaman ini Pakraman Gianyar (Gianyar), Wayan P. Windia
menyebabkan beberapa kali peneliti merasa di Desa Pakraman Bongkasa (Badung) dan Desa
“rugi” (kaceluag) dalam menelusuri objek Pakraman Bumbungan (Klungkung).
penelitian. Maksud hati menemui pasangan suami Dalam hubungan dengan hukum keluarga,
istri yang melangsungkan perkawinan pada khususnya perkawinan, Kabupaten Tabanan
gelahang, ternyata yang ditemui pasangan suami terbilang relatif “lebih maju”, dibandingkan
istri yang melangsungkan perkawinan biasa yang dengan kabupaten lainnya yang ada di Bali. Salah
dilaksanakan dengan cara meminang (memadik), satu contoh, perkawinan nyentana. Di tempat
seperti yang dialami beberapa kali oleh teman lainnya di Bali, sulit dapat ditemui satu keluarga
kami I Ketut Widia di Kabupaten Buleleng, yang telah dikaruniai anak laki, melangsungkan
Jemberana dan Tabanan. perkawinan nyentana (perkawinan kaceburin)
Paling sering terjadi adalah bentuk bagi anak perempuannya, tetapi di Kabupaten
perkawinan nyentana yang dianggap bentuk Tabanan, yang begini bisa saja terjadi. Menurut
perkawinan pada gelahang. Hal ini disebabkan Ketut Sudantra, dosen hukum adat Bali di Fakultas
antara lain karena umumnya masyarakat belum Hukum Unud, “perkawinan semacam ini bahkan
memahami perbedaan antara tanggung jawab bukan hanya bisa, melainkan biasa”28.
moral dan tanggung jawab yuridis pasangan Di tempat lainnya di Bali, sulit dibayangkan
pengantin terhadap keluarganya masing- seorang perempuan yang bernama “I Gusti Ayu”,
masing. Hubungan keluarga yang terjadi melangsungkan perkawinan kaceburin, oleh
karena perkawinan, apa pun bentuknya dan seorang laki-laki yang bernama “IWayan”, tetapi di
bagaimana pun cara melangsungkannya, tidak Kabupaten Tabanan, yang begini pernah terjadi. Di
menghapuskan hubungan moral dan hubungan tempat lainnya di Bali, sulit dibayangkan seorang
kekeluargaan (pasidikaran), di antara orang yang laki-laki yang bernama “I Ketut”, melangsungkan
melangsungkan perkawinan dengan keluarganya. perkawinan nyentana (perkawinan nyeburin),
Secara moral mereka tetap bertanggung jawab ke dalam lingkungan keluarga perempuan yang
atas keluarganya, tetapi secara yuridis (hukum) bernama “Ida Ayu”, tetapi di Kabupaten Tabanan,
mungkin masih bertanggung jawab atau bisa jadi yang begini pernah terjadi.29 Berdasarkan
tidak lagi bertanggungjawab, tergantung dari fakta-fakta tersebut, menjadi tidak aneh kalau
bentuk perkawinan yang dipilih. perkawinan pada gelahang paling banyak (8)
Dalam hal memilih bentuk perkawinan dilangsungkan di Kabupaten Tabanan.
nyentana (kawin nyeburin), secara yuridis pihak Benarkah di Kabupaten Bangli sama
laki-laki tidak lagi bertanggung jawab terhadap sekali tidak ada warga masyarakat yang
keluarga asalnya, tetapi secara moral dia tetap
bertanggung jawab terhadap keluarganya (saudara
dan orang tua di rumah asalnya), sepanjang hal 28 Desa Pakraman Cepaka, n.d.
29 I Made Suastawa Dharmayudha, “Laporan
itu dilakukan tanpa merugikan pihak keluarga Penelitian,” 1992.

467
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

melangsungkan perkawinan pada gelahang? dan perangkat pimpinan (prajuru) adat dan dinas
Berdasarkan penelusuran penulis di Kantor Dinas pada masing-masing banjar adat atau desa adat,
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten serta ada upacara tertentu pada tempat meminang
Bangli, dapat diketahui bahwa memang benar (memadik) sesuai dengan ajaran agama Hindu.
demikian adanya. Tidak diperoleh informasi Pembicaraan dimulai dari kedua calon pengantin,
mengenai adanya perkawinan pada gelahang. dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua
Salah seorang karyawan di Pemerintah Kabupaten belah pihak dan terakhir melibatkan keluarga
(Pemkab) Bangli mengaku mendengar seorang yang lebih -luas serta disaksikan oleh prajuru
warga Desa Tamanbali pernah melangsungkan (perangkat pimpinan) banjar atau desa pakraman
perkawinan serupa perkawinan pada gelahang. masing-masing. Materi pembicaraan tambahan
Setelah didatangi alamat yang ditunjukan, ternyata mengenai pelaksanaan upacara perkawinan dan
keluarga yang dimaksud sepertinya enggan untuk keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan
memberi keterangan. dikemudian hari, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Keengganan memberikan keterangan yang a. Upacara Perkawinan
diperlukan adalah salah satu kesulitan dalam Telah dijelaskan pada Bab II bahwa dalam
mendapatkan data yang akurat mengenai jumlah hal melangsungkan perkawinan biasa, keluarga
perkawinan pada gelahang di Bali, karena dalam laki-laki relatif lebih sibuk dibandingkan
kenyataannya memang tidak semua pasangan dengan keluarga perempuan, karena upacaranya
suami istri yang melangsungkan perkawinan pada dilangsungkan di tempat kediaman pengantin
gelahang bersedia memberikan keterangan seperti laki-laki. Sebaliknya dalam melangsungkan
apa adanya. Bahkan di antara 28 perkawinan perkawinan nyentana, keluarga perempuan
pada gelahang yang diketahui dan sempat relatif lebih sibuk karena berbagai hal yang
dihubungi secara langsung, ada 2 keluarga yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan
sama sekali tidak bersedia berbicara dan berusaha pelaksanaan upacara perkawinan di tempat
mengalihkan perhatian ketika diminta informasi kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab
mengenai bentuk perkawinannya. Ada juga yang keluarga perempuan, sementara keluarga laki-laki
dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian
orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan
seperti: sakit yang tidk mungkin disembuhkan, upacara perkawinan menurut agama Hindu dan
tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah hukum adat Bali.
melangsungkan perkawinan biasa (kawin keluar).
Dalam hal melangsungkan perkawinan
Terdapat dua cara melangsungkan pada gelahang, kesibukan tampak di kedua belah
perkawinan yang lazim dilaksanakan berdasarkan pihak, baik keluarga laki-laki maupun keluarga
hukum adat Bali, yaitu (1) perkawinan dengan cara perempuan. Hal ini disebabkan karena
memadik (meminang) dan (2) perkawinan dengan semua pasangan pengantin yang memilih
cara ngerorod (lari bersama). Berdasarkan data bentuk perkawinan pada gelahang sepakat
yang berhasil dikumpulkan dapat diketahui semua melangsungkan upacara perkawinannya (upacara
(28) perkawinan pada gelahang yang ditemui byakaonan) di dua tempat. Di tempat kediaman
dalam penelitian ini, dilangsungkan dengan cara suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang
memadik (meminang). sama. Soal di tempat mana dilaksanakan lebih
Tata cara melangsungkan pepadikan dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua
maupun pihak yang terlibat dalam memadik, belah pihak beserta keluarganya. Ada yang
hampir sama dengan proses pepadikan dalam melangsungkan upacara di tempat kediaman
perkawinan biasa atau perkawinan nyentana, suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan
dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau
kesepakatan tambahan terkait dengan pelaksanaan sebaliknya, di tempat kediaman istri lebih pada
upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari
(keturunan) yang dilahirkan di kemudian hari. yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama
Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai di tempat kediaman suami. Kecuali perkawinan
tata cara yang sudah lazim berjalan seperti dihadiri yang dilangsungkan pasangan I Wayan Tusti
oleh kedua calon mempelai beserta keluarganya Adnyana, S.Sn, Banjar Babahan Penebel, Tabanan

468
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

dengan Ni Wayan Rupmini, Banjar Anyar Perean, Setiap pasangan suami istri yang
Tabanan, pada tahun 1999. Upacara pertama melangsungkan perkawinan pada gelahang,
dilaksanakan di rumah istri, dan tiga minggu mempunyai cara tersendiri dalam merumuskan dan
kemudian, barulah dilaksanakan di rumah suami. mengungkapkan kesepakatan tentang konsekuensi
Semua pasangan suami istri yang yang menyertai pelaksanaan perkawinan tersebut.
melangsungkan perkawinan pada gelahang, tidak Bagaimana pun cara mengemukakan atau
melanjutkannya dengan melaksanakan upacara merumuskan, pada prinsipnya kesepakatan yang
mapejati di tempat pemujaan keluarga (sanggah). dibuat kedua belah pihak, baik lisan maupun
Selain itu, semua pasangan suami istri yang tertulis, mengandung substansi yang sama bahwa
melangsungkan perkawinan pada gelahang, juga perkawinan pada gelahang dilangsungkan dengan
merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa maksud agar keluarga kedua belah pihak memiliki
depan kehidupan pasangan suami istri ini, pada keturunan (anak cucu), yang nantinya diharapkan
waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang dapat mengurus dan meneruskan warisan yang
(memadik). Mengenai bentuk dan substansi pokok ditinggalkan oleh orang tua kedua belah pihak,
kesepakatan keluarga yang dimaksud, tampak baik yang berwujud tanggung jawab (swadharma)
seperti diuraikan di bawah ini. maupun berupa hak (swadikara), dalam hubungan
dengan parhyangan, paawongan dan palemahan
b. Kesepakatan Keluarga
dalam keluarga dan masyarakat.
Adanya kesepakatan calon pengantin dan
keluarganya bahwa mereka akan melangsungkan KESIMPULAN
perkawinan pada gelahang, merupakan salah satu
unsur penting dapat dilangsungkannya perkawinan Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan
yang dimaksud. Rintisan ke arah tercapainya dapat diketahui bahwa faktor utama yang
kesepakatan biasanya telah dimulai secara melatarbelakangi pasangan pengantin dan
informal oleh orang tua masing-masing, semasa keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan
calon pengantin masih berstatus berpacaran pada geldhang adalah adanya kekhawatiran
(magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka, warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik
barulah dilanjutkan dengan pembicaraan yang yang berwujud tanggung jawab atau kewajiban
lebih formal, pada waktu pembicaraan antar (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak
orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang ada yang mengurus dan meneruskan. Munculnya
didapat pada waktu pembicaraan informal ini kekhawatiran tersebut didasarkan atas dua hal.
diteruskan dalam pertemuan formal, yaitu pada Pertama, calon pasangan suami istri adalah anak
waktu melangsungkan pepadikan (peminangan). tunggal di rumahnya masing-masing. Kedua,
Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat adanya keyakinan bahwa saudaranya yang lain,
pimpinan (prajuru) banjar atau desa pakraman. tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan
Prosesnya seperti itu sehingga beralasan semua yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena
perkawinan pada gelahang yang menjadi objek sesuatu sebab tertentu seperti: sakit yang tidak
penelitian, dilangsungkan dengan cara memadik mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan
(meminang) dan tidak ada yang dilangsungkan atau karena sudah melangsungkan perkawinan
dengan cara ngerorod (lari bersama). biasa (kawin ke luar). Tidak semua pasangan
Lebih dari itu, kesepakatan keluarga suami istri yang melangsungkan perkawinan
mengenai bentuk perkawinan pada gelahang yang pada gelahang, bersedia mengemukakan
dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung keadaan sesungguhnya dari perkawinan yang
jawab (swadharma) para pihak di kemudian hari mereka pernah langsungkan. Kalau pun mereka
terhadap keluarga dan orang tua masing-masing, bersedia memberikan keterangan, namun tetap
serta keberadaan anak-anak (keturunan) yang tidak bersedia kalau perkawinan yang mereka
dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara langsungkan dipublikasikan, baik untuk keperluan
lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat dan ilmiah maupun yang lainnya. Adanya kenyataan
keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa tersebut menyebabkan jumlah perkawinan pada
keluarga saja yang membuat kesepakatan gelahang yang dijadikan objek penelitian, kurang
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau sesuai dengan kenyataannya yang terjadi dalam
pernyataan tertulis. masyarakat. Di antara 28 pasangan suami istri

469
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

yang diketahui melangsungkan perkawinan pada Hukum Fakultas Hukum dan Pengetahuan
gelahang, 2 pasangan sama sekali tidak bersedia Masyarakat Universitas Udayana Denpasar,
diwawancarai, 18 pasangan bersedia diwawancarai 1978.
tetapi menolak untuk dipublikasikan dan hanya 8 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.
pasangan suami istri yang rela dipublikasikan atau Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media
dimunculkan dalam laporan penelitian. Group, 2006.
Muhaimin. “Kedudukan Kearifan Lokal Dalam
SARAN Penataan Ruang Provinsi Bali.” Penelitian
Pemerintah setempat membuatkan semacam Hukum De Jure 18, no. 1 (2018): 63.
peraturan atau panduan dan penjelasan tentang ———. “Penetapan Tersangka Tanpa Batas
pernikahan pada Gelahang, agar menjadi sebuah Waktu.” Penelitian Hukum De Jure 20, no.
pengetahuan yang dapat dijadikan pegangan 2 (2020): 279.
para pasangan yang akan melangsungkan Panetja, Gde. Asupundung, 1951.
pernikahan ataupun sebagai informasi yang Pudja, Gde. Pengantar Tentang Perkawinan
dapat menghilangkan rasa keraguan ketika akan Menurut Hukum Hindu. Jakarta: Mayasari,
melangsungkan pernikahan. 1984.
Soepomo, R. Bab-Bab Tentang Hukum Adat.
UCAPAN TERIMAKASIH Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Terima kasih sebesar-besarnya kami ucap- Soerjono Sekanto, Sri Mamudji. Penelitian
kan untuk para pembimbing dalam penulisan Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1985.
Karya Tulis ini sehingga dapat maksimal dalam Sondjaya, Atja. Pembagian Harta Warisan
metode maupun substansi, antara lain Dewan Menurut Masyarakat Adat Bali. Jakarta:
Redaksi Jurnal De Jure atas kerjasamanya, Bapak Mahkamah Agung RI, 2011.
Syprianus Aristeus (Peneliti Utama), Bapak Ahyar Sudantra, I Ketut. “Hukum Adat II.” Denpasar,
Arigayo (Peneliti Ahli Utama) dan Mas Muhaimin 1989.
(Peneliti Muda) serta rekan peneliti lain yang
Sudantra, Ketut I. “Hukum Perkawinan Bagi Umat
memberikan masukan dan saran dalam proses
Hindu Di Bali.” Last modified 2016. http://
penulisan, serta instansi Badan Penelitian dan
sudantra.blogspot.co.id/2011/09/hukum-
Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian
perkawinan.html, .
Hukum dan HAM tempat Peneliti melaksanakan
tugas sebagai Peneliti Bidang Hukum. Undhiksa. “Bentuk Perkawinan Matriarki Pada
Masyarakat Hindu Bali Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Adat Dan Kesetaraan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Gender.” lmu Sosial dan Humaniora 5, no.
Dharmayudha, I Made Suastawa. “Laporan 1 (2016): 8.
Penelitian,” 1992. Windia, Wayan. Catatan Populer Tentang Hukum
Djaksa, Gde. “Hubungan Perkawinan Menurut Keluarga Perspektif Hukum Adat Bali.
Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut Denpasar: Mamitra Ngalang, 2004.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Windia, Wayan P. “Gerakan Pemuda Pada Era
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1980-an Yang Senantiasa Mengkampanyekan
1976. Program Keluarga Berencana (KB) Adalah
Hadiwidjojo, Harun. Sari Filsafat India, 1985. Gerakan Pemuda Zero Population Grouth
Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: (ZPG).” Program KB Yang Dikampanyekan
Tintamas, 1982. Yaitu: Tunda Usia Perkawinan, Tunda
Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan Di Kelahiran Anak Pertama, Jarangkan
Indonesia. Djambatan, 1990. Kelahiran Anak Dan Stop Dua Anak, Laki
Perempuan Sama Saja. Bali, 1980.
Kom, VE. Hukum Adat Kekeluargaan Di Bali
(Diterjemahkan Dan Diberikan Catatan- Desa Pakraman Cepaka, n.d.
Catatan Oleh I Gde Wayan Pangkat).
Denpasar: ), Biro Dokumentasi dan Publikasi

470
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020

KOSONG

471

You might also like