You are on page 1of 15

Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat

ISSN 1978-5283
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Febriani, D. Siregar, Y.I. Zahtamal


2018 : 12 (2)

PENGARUH LINGKUNGAN RUMAH DAN PERILAKU MASYARAKAT


DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
(DBD) DI KOTA PEKANBARU

Debby Febriani
Alumni Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Riau
Pekanbaru, Jl. Pattimura No.09.Gobah, Pekanbaru, 28131. Telp 0761-23742.

Yusni Ikhwan Siregar


Dosen Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Riau
Pekanbaru, Jl. Pattimura No.09.Gobah, Pekanbaru, 28131. Telp 0761-23742.

Zahtamal
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau, Pekanbaru,
Jl. Pattimura No.01 Pekanbaru.

Effect of Home Environment and Community Behavior Towards the Incident of


Dengue Fever in Pekanbaru City

ABSTRACT

The high number of dengue fever incident in Pekanbaru was because of many factors
that affecting it. Among those factors, behavior factor and environment factor were two
of them. This study aimed to analyze the correlation among home environment, the 3M
plus behavior, and the household income of the dengue fever incident, also to analyze
the most dominant factors. The type of the study was quantitative with the case control
study approach. The study was done from January to March 2019 located in
Pekanbaru.The population of the study were all the patients with dengue fever in
January to march 2019based on the medical data record of Arifin Achmad hospital with
the sample were 28 cases and 28 controls. Data were analyzed using chi-square and
logistic regression. The results showed that the home environment variable which
affecting the dengue fever incident was the exposure (p value=0,000), temperature (p
value=0,001), moisture (p value=0,000), the existence of mosquito larvae (p
value=0,032). The 3M behavior and the household income also have a relationship with
the incident of dengue fever. The most dominant variable in the incident of dengue fever
was temperature with OR 20,7. Environment, (exposure, temperature, moisture and the
existence of mosquito larvae, 3M plus behavior and the household income were in the
relation with dengue fever. The most dominant factor of dengue fever was temperature.

Keywords: Dengue Fever, Home Environment, 3M Plus Behavior, Household Income

112
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemik dan epidemik yang
menyebar luas di beberapa daerah termasuk Indonesia. Penyakit ini terutama ditemukan
di daerah subtropik dan tropik. Demam berdarah adalah penyakit yang dapat ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus. Demam berdarah
dengue merupakan suatu penyakit dengan angka kematian dan kesakitan yang tinggi di
Indonesia. Penyakit DBD ini dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang
seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku
masyarakat (Siti, 2010).

DBD di Indonesia Tahun 2017 sebanyak 59.047 kasus. Dengan Incidence Rate 22,55
per 100.000 penduduk dan 444 jumlah kasus meninggal atau Case Fatality Rate 0,75
(Kemenkes RI, 2018). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2018), di Provinsi Riau
terdapat 1.928 kasus DBD pada Tahun 2017. Dengan Incidence Rate 64,14 per 100.000
penduduk dan 15 jumlah kasus meninggal atau Case Fatality Rate 0,78. Angka ini
masih belum memenuhi indikator nasional yaitu IR < 50 per 100.000 penduduk. Di
Kota Pekanbaru, jumlah kasus DBD Tahun 2017 sebanyak 279 kasus (Incidence rate/IR
= 59,19 per 100.000 penduduk). Jumlah kematian dilaporkan sebanyak tiga orang (Case
Fatality Rate/CFR = 1,08%). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru, angka kejadian DBD pada Tahun 2016 sebanyak 89 kasus dan Tahun 2017
yaitu 102 kasus.

Upaya-upaya pengendalian dan pencegahan penyakit DBD telah dilakukan oleh


pemerintah Kota Pekanbaru seperti gerakan kader juru pemantau jentik (jumantik),
pengendalian vektor dengan fogging, gerakan 3M plus, serta berbagai upaya penyuluhan
oleh petugas kesehatan. Namun angka kejadian penyakit DBD tetap ada dari tahun ke
tahun. Kegiatan tersebut belum menyentuh partisipasi masyarakat dalam pengendalian
vektor serta belum adanya perbaikan terhadap faktor lingkungan dan perilaku yang
dapat mempengaruhi terjadinya DBD.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara lingkungan rumah,


perilaku 3M plus, pendapatan, serta faktor yang paling dominan terhadap kejadian DBD
di Kota Pekanbaru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari-Maret 2019. Jenis penelitian ini adalah
penelitian kuantitatif dengan pendekatan case control study. Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh pasien yang terjangkit DBD pada bulan Januari-Maret 2019 berdasarkan
data rekam medik di RSUD Arifin Achmad dengan jumlah sampel sebanyak 28 kasus
dan 28 kontrol. Jenis data yang digunakan yaitu data primer melalui pengukuran
langsung serta data sekunder berdasarkan rekam medis riwayat penyakit pasien.
Analisis data dilakukan dengan uji statistik chi square dan regresi logistik.

113
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden dalam penelitian ini terbagi menjadi karakteristik pasien


penderita DBD dan karakteristik responden penelitian. Karakteristik ini dapat
digambarkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan.
Karakteristik pasien penderita DBD dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1. Karakteristik Pasien Penderita DBD
No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
1 Usia
0-5 tahun 5 17,9
6-12 tahun 13 46,4
13-15 tahun 1 3,6
16-18 tahun 2 7,1
>18 tahun 7 25
Total 28 100
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 10 35,7
Perempuan 18 64,3
Total 28 100
3 Tingkat Pendidikan
SD 11 39,3
SMP 1 3,6
SMA 1 3,6
Tidak Sekolah 15 53,6
Total 28 100
4 Pekerjaan
Karyawan Swasta 3 10,7
Tidak Bekerja 25 89,3
Total 28 100

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa responden penderita DBD terbanyak berusia
antara 6-12 tahun yaitu 46,4%. Epidemi penyakit DBD di Indonesia mayoritas terjadi
pada kelompok usia <12 tahun. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh kelompok
usia <12 tahun masih rendah.

Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 64,3%. Respati (2017)
mengungkapkan bahwa faktor keturunan yang terkait jenis kelamin dan faktor hormonal
mempengaruhi angka penderita DBD. Hormon glikoprotein mempengaruhi
perkembangan sel fagosit mononuklear dan sel granulosit sebagai respon pertahanan
tubuh. Kerja hormon dipengaruhi oleh adanya protein spesifik yang disebut reseptor.
Reseptor hormon glikoprotein yaitu folicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH) terdapat di membran plasma sel gonad. Aktivasi FSH dan LH yang
dipengaruhi hipotalamus dapat ditekan oleh steroid gonad sehingga pada anak hormon
estrogen sangat rendah. Estrogen mempengaruhi penimbunan lemak di tubuh. Sehingga
rendahnya estrogen pada anak perempuan menyebabkan leptin yang dihasilkan oleh sel
lemak dalam tubuh masih sedikit. Leptin merupakan protein hormon yang mengatur

114
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

berat badan. Sehingga anak perempuan cenderung memiliki berat badan kurang dengan
imunitas rendah akan rentan terhadap penyakit karena memiliki imunitas selular rendah
sehingga respon imun dan memori imunologik belum berkembang sempurna. Selain itu
secara tradisional perempuan menjadi pemain utama dalam menjaga rumah dan
lingkungannya sehingga apabila perempuan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
dan melakukan aktifitas yang berhubungan dengan dengue dengan baik maka program
demam berdarah terutama dalam PSN tidak tercapai. Konvensi budaya yang
memberikan peran berbeda antara laki-laki dan perempuan menentukan paparan mereka
terhadap penyakit akibat vektor karena perempuan cenderung berada di rumah dan tidak
seperti laki-laki yang memiliki mobilitas tinggi karena bekerja.

Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar penderita DBD tidak sekolah sebanyak
15 responden (53,6%). Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan dapat memiliki
pengetahuan yang memadai dan melakukan tindakan pencegahan penyakit di
lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang memadai mengenai DBD dan metode untuk
mencegahnya harus dapat dimengerti sebelum seseorang mau berpartisipasi aktif dalam
aktivitas PSN.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden penderita DBD tidak
bekerja sebanyak 89,3%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita berada
pada usia kurang dari 18 tahun. Pekerjaan memiliki pengaruh pada pengetahuan
seseorang. Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman
dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2010).

Karakteristik responden penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3. Karakteristik Responden


No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
1 Usia
20-29 tahun 34 60,7
30-39 tahun 14 25
>40 tahun 8 14,3
Total 56 100
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 10 17,9
Perempuan 46 82,1
Total 56 100
3 Tingkat Pendidikan
SD 8 14,3
SMP 12 21,4
SMA 18 32,1
Perguruan Tinggi 18 32,1
Total 56 100
4 Kecamatan
Payung Sekaki 14 25
Marpoyan Damai 14 25
Tampan 8 14,3
Tenayan Raya 4 7,1
Lima Puluh 4 7,1
Sail 4 7,1
Sukajadi 6 10,7
Bukit Raya 2 3,6
Total 56 100

115
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa responden terbanyak berusia antara 20-29
tahun yaitu 60,7%. Sebagian responden merupakan orang tua dari pasien penderita
DBD. Epidemi penyakit DBD di Indonesia mayoritas terjadi pada kelompok usia <12
tahun. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh kelompok usia <12 tahun masih
rendah.

Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 82,1% responden.


Beberapa perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan salah satunya adalah
faktor mobilitas. Laki-laki pada dasarnya lebih banyak menghabiskan waktunya di luar
rumah, sehingga pada saat penelitian dilakukan sebagian besar responden adalah
perempuan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden dengan tingkat pendidikan Perguruan


Tinggi sebanyak 18 responden (32,1%). Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan
dapat melakukan tindakan terhadap masalah yang muncul seperti kasus DBD agar tidak
bertambah banyak, dengan melakukan pencegahan untuk memberantas nyamuk DBD.
Selain itu juga banyak informasi atau penyuluhan tentang DBD oleh pemerintah baik
melalui media massa maupun elektronik.

Berdasarkan Tabel 3 sebagian besar responden berasal dari Kecamatan Payung Sekaki
dan Kecamatan Marpoyan Damai sebesar 25%. Daerah Kecamatan Payung Sekaki dan
Kecamatan Marpoyan Damai merupakan daerah endapan sungai dan rawa. Pemanfaatan
lahan di daerah ini umumnya dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, kebun
campuran dan pertanian

Karakteristik responden berdasarkan variabel yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4:
Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel
No Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
1 Pencahayaan
Berisiko (≤60 lux) 22 39,3
Tidak berisiko (>60 lux) 34 60,7
Total 56 100
2 Suhu
Berisiko (25-27OC) 16 28,6
Tidak berisiko (<25 atau >27OC) 40 71,4
Total 56 100
3 Kelembaban
Berisiko (>60) 26 46,4
Tidak berisiko ≤60) 30 53,6
Total 56 100
4 Jentik Nyamuk
Terdapat jentik 27 48,2
Tidak terdapat jentik 29 51,8
Total 56 100
5 Perilaku 3M Plus
Tidak dilakukan 32 57,1
Dilakukan 24 42,9
Total 56 100
6 Pendapatan
Rendah 30 53,6
Tinggi 26 46,4
Total 56 100

116
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki


pencahayaan kurang dari 60 lux sebesar 34 responden (60,7%). Berdasarkan observasi
di lapangan sebagian besar rumah responden memiliki pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat yaitu gelap dan tidak dapat digunakan untuk membaca. Hal ini
dikarenakan beberapa rumah berdempetan sehingga tidak ada pembuatan jendela yang
dapat dijadikan sebagai jalan masuknya cahaya ke ruangan. Selain itu sebagian
responden juga sering menutup pintu depan rumah jika tidak ada tamu yang berkunjung.
Kurangnya pencahayaan di dalam rumah menyebabkan rumah menjadi redup dan
lembab. Kondisi inilah yang disenangi nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat
peristirahatannya.

Berdasarkan Tabel 4 responden yang memiliki rumah dengan suhu yang tidak berisiko
sebesar 40 responden (71,4%). Dalam aktivitas sehari-hari nyamuk memerlukan suhu
yang cukup tinggi dan didukung oleh udara yang lembab. Nyamuk juga dapat bertahan
hidup pada suhu rendah, tetapi metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila
suhunya turun hingga di bawah suhu kritis. Pada suhu yang lebih tinggi dari 35oC juga
mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologis. Rata-rata
suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25oC - 27oC. Pertumbuhan nyamuk
akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10oC atau lebih dari 40oC. Kecepatan
perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan metabolismenya yang sebagian diatur
oleh suhu.

Berdasarkan Tabel 4 responden yang memiliki rumah dengan kelembaban yang tidak
berisiko sebesar 30 responden (53,6%). Kelembaban udara menentukan rentang umur
nyamuk, kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban
juga mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan mengigit dan istirahat. Pada
kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit
sehingga meningkatkan penularan demam berdarah. Dengan demikian bahwa
kelembaban akan mempengaruhi aktivitas nyamuk sehingga berpengaruh terhadap
angka kejadian demam berdarah dengue (Depkes RI, 2012).

Pengamatan terhadap vektor DBD sangat penting untuk mengetahui penyebaran,


kepadatan nyamuk, habitat utama jentik dan dugaan risiko terjadinya penularan. Semua
tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti perlu diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Berdasarkan Tabel 4
diketahui bahwa sebagian besar responden tidak memiliki jentik di rumahnya (51,8%).
Sebagian besar jentik terdapat di bak mandi terbuka yang jarang dikuras oleh penghuni
rumah. Selain itu jentik juga terdapat di beberapa tempat yang dapat menampung air
seperti ember rusak yang diletakkan begitu saja oleh penghuni rumah, tempat
penampungan air dispenser, gelas, botol atau ember plastik yang terletak di pekarangan
atau di bagian belakang rumah.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar responden tidak melakukan


perilaku 3M plus sebesar 32 responden (57,1%). Peran manusia dalam mencegah
terjadinya peningkatan kasus demam berdarah adalah dengan melakukan modifikasi
lingkungan melalui kegiatan 3M plus. Beberapa contoh perilaku 3M plus yaitu
menguras TPA, menutup TPA, mendaur ulang atau membuang barang bekas,

117
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, tidak menggantung pakaian di
dalam rumah serta menggunakan obat anti nyamuk. Salah satu perilaku yang jarang
dilakukan oleh penghuni rumah adalah memelihara ikan pemakan jentik. Selain itu
walaupun sudah mengetahui bahwa menggantung pakaian di dalam rumah adalah
kebiasaan yang tidak baik, tetapi sebagian besar responden tetap menggantung pakaian
yang baru dipakai didalam rumah dengan alasan besok bisa dipakai kembali.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan


rendah sebanyak 53,6%. Keberadaan sumber daya materi tiap keluarga dapat
berpengaruh terhadap sikap, pengetahuan, serta tindakan yang dilakukan terhadap suatu
penyakit berbasis lingkungan. Keluarga dengan pendapatan yang baik cenderung
memperhatikan kebutuhan kesehatan anggota keluarga serta lingkungan rumah yang
sehat. Kondisi kesehatan rumah tinggal sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup para penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan.

Hubungan Parsial Faktor Risiko Terhadap Kejadian DBD


Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel independen
yaitu pencahayaan, suhu, kelembaban, jentik nyamuk, perilaku 3M plus, pendapatan
terhadap variabel independen yaitu kejadian DBD seperti pada tabel 5:

Tabel 5. Hubungan Parsial Faktor Resiko dengan Kejadian DBD

Responden
Total Odd
Variabel Kasus Kontrol P value CI 95%
Ratio
F % F % F %
Pencahayaan
Berisiko 19 86,4 3 13,6 22 100
0,000 17,593 4,183-73,984
Tidak berisiko 9 26,5 25 73,5 34 100
Total 28 50% 28 50% 56 100
Suhu
Berisiko 14 87,5 2 12,5 16 100
0,001 13,000 2,578-65,545
Tidak berisiko 14 35 26 65 40 100
Total 28 50% 28 50% 56 100
Kelembaban
Berisiko 24 92,3 2 7,7 26 100
0,000 78,000 13,078-465,196
Tidak berisiko 4 13,3 26 86,7 30 100
Total 28 50% 28 50% 56 100
Jentik Nyamuk
Ada jentik 18 66,7 9 33,3 27 100
0,032 3,800 1,255-11,502
Tidak ada jentik 10 34,5 19 65,5 29 100
Total 28 50% 28 50% 56 100
Perilaku 3M Plus
Tidak dilakukan 23 71,9 9 28,1 32 100
0,000 9,711 2,780- 33,920
Dilakukan 5 20,8 19 79,2 24 100
Total 28 50% 28 50% 56 100
Pendapatan
Rendah 20 66,7 10 33,3 30 100
0,016 4,500 1,458-13,887
Tinggi 8 30,8 18 69,2 26 100
Total 28 50% 28 50% 56 100

Dari Tabel 5 dapat terlihat bahwa pada kelompok kasus ada 19 responden (86,4%)
dengan pencahayaan berisiko dan 9 responden (26,5%) dengan pencahayaan tidak

118
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

berisiko. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 responden (13,6%) dengan


pencahayaan berisiko dan 25 responden (73,5%) dengan pencahayaan tidak berisiko.
Hasil uji statistik chi square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari 0,05
dengan demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan
dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 17,593 dengan nilai Confidence
Interval 95% (CI) = 4,183-73,984 artinya responden dengan pencahayaan rumah kurang
dari 60 lux 17,5 kali berpeluang untuk menderita DBD daripada responden dengan
pencahayaan rumah yang lebih dari 60 lux.

Berdasarkan suhu, pada kelompok kasus ada 14 responden (87,5%) dengan suhu
berisiko dan 14 responden (35%) dengan suhu tidak berisiko. Sedangkan pada
kelompok kontrol ada 2 responden (12,5%) dengan suhu berisiko dan 26 responden
(65%) dengan suhu tidak berisiko. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p value =
0,001 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) =
13,000 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) = 2,578-65,545 artinya responden
dengan suhu rumah 25-270C 13 kali berpeluang untuk menderita DBD daripada
responden dengan suhu rumah yang tidak berisiko.

Berdasarkan kelembaban, pada kelompok kasus ada 24 responden (92,3%) dengan


kelembaban berisiko dan 4 responden (13,3%) dengan kelembaban tidak berisiko.
Sedangkan pada kelompok kontrol ada 2 responden (7,7%) dengan kelembaban berisiko
dan 26 responden (86,7%) dengan kelembaban tidak berisiko. Hasil uji statistik chi
square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian
menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian
DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 78,000 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) =
13,078-465,196 artinya responden dengan kelembaban rumah lebih dari 60, 78 kali
berpeluang untuk menderita DBD daripada responden dengan kelembaban rumah
kurang dari 60.

Berdasarkan keberadaan jentik nyamuk, pada kelompok kasus ada 18 responden


(66,7%) dengan keberadaan jentik nyamuk dan 10 responden (34,5%) tanpa jentik
nyamuk. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 9 responden (33,3%) dengan
keberadaan jentik nyamuk dan 19 responden (65,5%) tanpa jentik nyamuk. Hasil uji
statistik chi square, diperoleh p value = 0,032 artinya p value kecil dari 0,05 dengan
demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberadaan jentik
nyamuk dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 3,800 dengan nilai Confidence
Interval 95% (CI) = 1,255-11,502 artinya responden dengan keberadaan jentik nyamuk
3,8 kali berpeluang terhadap kejadian DBD daripada responden tanpa jentik nyamuk di
rumah.

Berdasarkan perilaku 3M plus, pada kelompok kasus ada 23 responden (71,9%) yang
tidak melakukan perilaku 3M plus dan 5 responden (20,8%) yang melakukan perilaku
3M plus. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 9 responden (28,1%) yang tidak
melakukan perilaku 3M plus dan 19 responden (79,2%) yang melakukan perilaku 3M
plus. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari
0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku

119
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

3M plus dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 9,711 dengan nilai Confidence
Interval 95% (CI) = 2,780- 33,920 artinya responden yang tidak melakukan perilaku
3M plus 9,7 kali berpeluang untuk menderita DBD daripada responden melakukan
perilaku 3M plus.

Berdasarkan pendapatan, pada kelompok kasus ada 20 responden (66,7%) dengan


pendapatan rendah dan 8 responden (30,8%) dengan pendapatan tinggi. Sedangkan pada
kelompok kontrol ada 10 responden (33,3%) dengan pendapatan rendah dan 18
responden (69,2%) dengan pendapatan tinggi. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p
value = 0,016 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio
(OR) = 4,500 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) = 1,458-13,887 artinya
responden dengan pendapatan rendah 4,5 kali berpeluang untuk menderita DBD
daripada responden dengan pendapatan tinggi.

Hubungan Simultan Faktor Risiko Terhadap Kejadian DBD


Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan bahwa variabel pencahayaan (X1), suhu
(X2), kelembaban (X3), jentik nyamuk (X4), perilaku 3M plus (X5), pendapatan (X6)
memiliki p value 0,25. Oleh karena itu, variabel tersebut dapat masuk ke model
multivariat.

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen yaitu
pencahayaan (X1), suhu (X2), kelembaban (X3), jentik nyamuk (X4), perilaku 3M plus
(X5), pendapatan (X6) terhadap variabel independen yaitu kejadian DBD (Y) secara
bersama-sama (simultan).
Tabel 6. Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Lingkungan Rumah dan Perilaku
dengan Kejadian DBD
95% C.I.for EXP(B)
Variabel B Sig. Exp(B) Keterangan
Lower Upper
Pencahayaan 0,014 0,843 1,014 0,883 1,164 Tidak Berpengaruh
Suhu 3,033 0,023 20,768 1,532 281,626 Berpengaruh
Kelembaban -0,353 0,022 0,703 0,520 0,950 Berpengaruh
Perilaku 1,457 0,203 4,292 0,455 40,497 Tidak Berpengaruh
Pendapatan 3,887 0,135 48,756 0,298 7989,971 Tidak Berpengaruh
Constant -70,890 0,059 0,000

Dari Tabel 6 dapat terlihat bahwa tidak semua variabel independen berpengaruh
terhadap kejadian DBD. Variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian DBD
adalah variabel suhu dan kelembaban. Sedangkan variabel pencahayaan, perilaku dan
pendapatan memiliki nilai p value > 0,05 yang artinya tidak bermakna terhadap kejadian
DBD.

Hasil analisis didapatkan variabel yang paling berpengaruh adalah suhu dengan OR
20,7 artinya suhu yang berisiko mengakibatkan kejadian DBD 20,7 kali lebih tinggi
dibandingkan suhu yang tidak berisiko.

120
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Berdasarkan Tabel 6 didapatkan persamaan regresi logistik sebagai berikut:

Y = -70,890+0,014X1+3,033X2-0,353X3+1,457X5+3,887X6

Melalui persamaan tersebut dapat dibuat suatu contoh kasus, bahwa bila terdapat
pencahayaan yang baik, suhu yang tidak ideal untuk pertumbuhan nyamuk, kelembaban
yang rendah, penghuni rumah yang melakukan 3M plus serta pendapatan yang tinggi
diberi skor 1, maka dapat diketahui bahwa angka kejadian DBD yang akan terjadi
adalah -62,852.

Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit DBD di Kota Pekanbaru


Berdasarkan pencahayaan, pada kelompok kasus ada 19 responden (86,4%) dengan
pencahayaan berisiko dan 9 responden (26,5%) dengan pencahayaan tidak berisiko.
Sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 responden (13,6%) dengan pencahayaan
berisiko dan 25 responden (73,5%) dengan pencahayaan tidak berisiko. Hasil uji
statistik chi square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari 0,05 dengan
demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan
kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 17,593 dengan nilai Confidence Interval 95%
(CI) = 4,183-73,984 artinya responden dengan pencahayaan rumah yang berisiko 17,5
kali berpeluang terhadap kejadian DBD daripada responden dengan pencahayaan rumah
yang tidak berisiko.

Hal ini juga sejalan dengan Arini (2017) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pencahayaan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (OR=4,750). Penelitian oleh
Wiratni (2016) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pencahayaan (p=0,002)
dengan kejadian DBD. Dan penelitian oleh Tanjung (2016) juga diketahui bahwa
terdapat hubungan antara pencahayaan dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan
Perjuangan dengan OR = 21,357.

Pencahayaan yang kurang merupakan kondisi yang disukai oleh nyamuk untuk
beristirahat. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas
terbang nyamuk karena cahaya yang rendah dan kelembaban tinggi merupakan kondisi
yang baik bagi nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti sangat senang beristirahat di tempat-
tempat yang agak gelap dalam ruang relatif lembab dengan intensitas cahaya yang
rendah (agak gelap). Tempat-tempat istirahat yang sangat disukai nyamuk biasanya
berada di dalam rumah. Hal ini terjadi karena nyamuk betina Aedes aegytpi tidak pernah
terbang jauh dari tempat ia meletakkan telur-telurnya. Hampir sebagian besar ruangan di
rumah dapat menjadi tempat peristirahatan yang nyaman bagi nyamuk, mulai dari ruang
tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur hingga kamar mandi selama dia memenuhi
syarat (gelap dan lembab) sebagai tempat yang disukai nyamuk.

Berdasarkan suhu, pada kelompok kasus ada 14 responden (87,5%) dengan suhu
berisiko dan 14 responden (35%) dengan suhu tidak berisiko. Sedangkan pada
kelompok kontrol ada 2 responden (12,5%) dengan suhu berisiko dan 26 responden
(65%) dengan suhu tidak berisiko. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p value =
0,001 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) =

121
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

13,000 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) = 2,578-65,545 artinya responden
dengan suhu rumah yang berisiko 13 kali berpeluang terhadap kejadian DBD daripada
responden dengan suhu rumah yang tidak berisiko. Hasil analisis multivariat didapatkan
variabel yang paling berpengaruh adalah suhu dengan OR 20,7 artinya suhu yang
berisiko mengakibatkan kejadian DBD 20,7 kali lebih tinggi dibandingkan suhu yang
tidak berisiko.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Maria (2013) yaitu ada hubungan antara suhu dengan
penyakit DBD. Keberhasilan perkembangan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh
tempat perindukan yang dibatasi oleh temperatur tiap tahunnya dan perubahan
musimnya. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan jentik
nyamuk Aedes aegypti adalah suhu udara. Nyamuk Aedes aegypti sangat rentan
terhadap suhu udara. Dalam waktu tiga hari telur nyamuk telah mengalami embriosasi
lengkap dengan temperatur udara 25-27ºC.

Berdasarkan kelembaban, pada kelompok kasus ada 24 responden (92,3%) dengan


kelembaban berisiko dan 4 responden (13,3%) dengan kelembaban tidak berisiko.
Sedangkan pada kelompok kontrol ada 2 responden (7,7%) dengan kelembaban berisiko
dan 26 responden (86,7%) dengan kelembaban tidak berisiko. Hasil uji statistik chi
square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian
menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian
DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 78,000 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) =
13,078-465,196 artinya responden dengan kelembaban rumah yang berisiko 78 kali
berpeluang terhadap kejadian DBD daripada responden dengan kelembaban rumah yang
tidak berisiko.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Maria (2013) di Kota Makassar yaitu didapatkan
bahwa rumah yang lembab merupakan faktor risiko kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) dengan nilai OR =4,23,364 (95% CI 1,49-7,59). Risiko responden yang tinggal
di rumah yang lembab untuk terkena Demam Berdarah Dengue 3,36 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah yang tidak lembab. Pada
kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk menjadi pendek, sehingga tidak cukup
untuk siklus perkembangbiakan virden pada tubuh nyamuk.Kebutuhan kelembaban
yang tinggi mempengaruhi nyamuk mencari tempat yang lembab dan basah untuk
tempat hinggap atau istirahat.

Berdasarkan keberadaan jentik nyamuk, pada kelompok kasus ada 18 responden


(66,7%) dengan keberadaan jentik nyamuk dan 10 responden (34,5%) tanpa jentik
nyamuk. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 9 responden (33,3%) dengan
keberadaan jentik nyamuk dan 19 responden (65,5%) tanpa jentik nyamuk. Hasil uji
statistik chi square, diperoleh p value = 0,032 artinya p value kecil dari 0,05 dengan
demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keberadaan jentik
nyamuk dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 3,800 dengan nilai Confidence
Interval 95% (CI) = 1,255-11,502 artinya responden dengan keberadaan jentik nyamuk
3,8 kali berpeluang terhadap kejadian DBD daripada responden tanpa jentik nyamuk di
rumah.

122
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Hasil penelitian ini sejalan dengan Amrieds (2016) yaitu didapatkan bahwa hasil uji
statistik Chi Square menunjukkan bahwa p=0,003 (p<0,05) H0 ditolak, artinya ada
hubungan antara keberadaan jentik nyamuk dengan kejadian DBD. Semakin banyak
jentik yang ditemukan dalam tempat penampungan air, maka dapat dipastikan semakin
banyak nyamuk yang akan berkembang. Semakin padat populasi nyamuk Aedes, maka
semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat
sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya KLB.

Perilaku 3M Plus dengan Kejadian Penyakit DBD di Kota Pekanbaru


Berdasarkan perilaku 3M plus, pada kelompok kasus ada 23 responden (71,9%) yang
tidak melakukan perilaku 3M plus dan 5 responden (20,8%) yang melakukan perilaku
3M plus. Sedangkan pada kelompok kontrol ada 9 responden (28,1%) yang tidak
melakukan perilaku 3M plus dan 19 responden (79,2%) yang melakukan perilaku 3M
plus. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p value = 0,000 artinya p value kecil dari
0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku
3M plus dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio (OR) = 9,711 dengan nilai Confidence
Interval 95% (CI) = 2,780- 33,920 artinya responden yang tidak melakukan perilaku
3M plus 9,7 kali berpeluang terhadap kejadian DBD daripada responden melakukan
perilaku 3M plus.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Herlambang (2017) yaitu ada hubungan antara
perilaku 3M Plus dengan kejadian DBD. Penelitian oleh Suryani (2017) juga
mengungkapkan bahwa ada hubungan hubungan antara perilaku 3M Plus dengan
kejadian DBD dengan p value 0,000. Upaya dalam pengendalian demam berdarah
dengue (DBD) pada masyarakat dapat dilakukan dengan gerakan 3 M plus. Upaya
pencegahan dan pengendalian ini merupakan salah satu bentuk tindakan untuk memutus
rantai penularannya dengan cara memberantas jentik nyamuk penularannya.

Pendapatan dengan Kejadian Penyakit DBD di Kota Pekanbaru


Berdasarkan pendapatan, pada kelompok kasus ada 20 responden (66,7%) dengan
pendapatan rendah dan 8 responden (30,8%) dengan pendapatan tinggi. Sedangkan pada
kelompok kontrol ada 10 responden (33,3%) dengan pendapatan rendah dan 18
responden (69,2%) dengan pendapatan tinggi. Hasil uji statistik chi square, diperoleh p
value = 0,016 artinya p value kecil dari 0,05 dengan demikian menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kejadian DBD. Nilai Odds Ratio
(OR) = 4,500 dengan nilai Confidence Interval 95% (CI) = 1,458-13,887 artinya
responden dengan pendapatan rendah 4,5 kali berpeluang terhadap kejadian DBD
daripada responden dengan pendapatan tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Oktaviani (2014) menunjukkan ada pengaruh antara
pendapatan dengan upaya pencegahan demam berdarah dengue hasil ini disebabkan
bahwa responden mayoritas penghasilan rendah rendah 95,7%, penghasilan responden
berkisar ≤UMK per bulan sehingga untuk melakukan tindakan upaya pencegahan
Demam Berdarah Dengue (DBD) belum dapat dilaksanakan. Penelitian oleh Hamdan
(2018), menunjukkan pendapatan dengan kriteria kurang dari UMK 32% dan lebih dari
atau sama dengan UMK 68%. Perilaku PSN dengan kriteria buruk 44% dan kriteria

123
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

baik 56%. Hasil ujichi-square pada penelitian ini menunjukkan nilai p = 0,002.
Berdasarkan uji statistik tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara pendapatan dengan pencegahan penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas
Pemurus Dalam Banjarmasin. Pendapatan yang tinggi dapat mempengaruhi pola hidup
yang mengarah kepada pencegahan penyakit DBD. Keberadaan sumber daya materi tiap
keluarga dapat berpengaruh terhadap sikap, pengetahuan, serta tindakan yang dilakukan
terhadap suatu penyakit berbasis lingkungan. Keluarga dengan pendapatan yang baik
cenderung memperhatikan kebutuhan kesehatan anggota keluarga serta lingkungan
rumah yang sehat. Kondisi kesehatan rumah tinggal sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup para penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-
zat yang dapat membahayakan kesehatan.

Faktor yang Paling Dominan Terhadap Kejadian Penyakit DBD di Kota


Pekanbaru

Tidak semua variabel independen berpengaruh terhadap kejadian DBD. Variabel yang
berhubungan bermakna dengan kejadian DBD adalah variabel suhu dan kelembaban.
Sedangkan variabel pencahayaan, perilaku dan pendapatan memiliki nilai p value > 0,05
yang artinya tidak bermakna terhadap kejadian DBD.

Hasil analisis multivariat didapatkan variabel yang paling berpengaruh adalah suhu
dengan OR 20,7 artinya suhu 25-27OC mengakibatkan kejadian DBD 20,7 kali lebih
tinggi dibandingkan suhu yang bukan 25-27OC. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Maria (2013) yaitu ada hubungan antara suhu dengan penyakit DBD. Keberhasilan
perkembangan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh tempat perindukan yang dibatasi
oleh temperatur tiap tahunnya dan perubahan musimnya. Salah satu faktor lingkungan
yang mempengaruhi perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti adalah suhu
udara. Nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara. Dalam waktu tiga hari
telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperatur udara 25-27ºC.

KESIMPULAN

Faktor lingkungan fisik seperti seperti pencahayaan, suhu, kelembaban dan keberadaan
jentik berpengaruh terhadap penyakit DBD. Serta perilaku 3M plus dari masyarakat dan
tingkat pendapatan juga berpengaruh terhadap penyakit DBD di Kota Pekanbaru.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak RSUD Arifin Achmad yang telah
memberikan data dan informasi tentang penyakit DBD serta semua pihak yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini di lapangan.

124
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

DAFTAR PUSTAKA

Amrieds, E. T. 2017. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan 19 November Kecamatan Wundulako
Kabupaten Kolaka Tahun 2016. Jurnal Epidemiologi Vol. 3 No. 1.

Arini, N. 2017. Hubungan Karakteristik Individu, Perilaku Individu, Tempat


Perindukan Nyamuk, dan Kondisi Lingkungan Rumah Tinggal dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten
Labuhanbatu Tahun 2017.

Depkes RI. 2012. Petunjuk Teknis. Jakarta: Depkes RI Dirjen P2M dan P2L.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau. 2018. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Pekanbaru.

Hamdan, M.R. 2018. Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pemberantasan Sarang


Nyamuk dalam Rangka Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (Kajian
pada Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Perumus Dalam Banjarmasin.
Jurnal Penelitian Kesehatan Vol. 9 No. 8.

Herlambang, R. 2017. Hubungan Perilaku 3M Plus dengan Kejadian DBD di Kelurahan


Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kotamadya Bandung. Prosiding
Pendidikan Dokter Vol. 3 No.2 Tahun 2017.

Kementrian Kesehatan RI. 2018. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2017.
Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016.
Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.

Oktaviani, Y. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Upaya Pencegahan Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Tiku Kecamatan Tanjung
Mutiara Kabupaten Agam Tahun 2014. Jurnal An Nadaa Vol. 1 No.2

Respati, T. 2017. Berbagai Faktor yang Memengaruhi Kejadian Demam Berdarah


Dengue di Kota Bandung. Jurnal Aspirator Vol. 9 No.2.

Siti, A.D. 2010. STOP! Demam Berdarah Dengue. Cita Insan Madani. Bogor.

Suryani. 2017. Hubungan Perilaku 3M Plus dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Kota Bengkulu. Jurnal Higiene
Vol.3 No.3.

125
Pengaruh Lingkungan Rumah Dan Perilaku Masyarakat
Dengan Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Kota Pekanbaru

Tanjung, L. A. 2016. Hubungan Faktor Fisik Lingkungan Rumah dan Karakteristik


Penderita terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan.

Wiratni, I. 2016. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dan Praktek 3M Plus dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Air Dingin
Kota Padang Tahun 2016.

126

You might also like