You are on page 1of 25

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338149142

Penghitungan Kerusakan Ekologis dari Daya Rusak Pertambangan Sebagai


Kerugian Negara. Calculation of Ecological Damage from Mining Damage as
State Loss

Presentation · December 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.11674.80324

CITATIONS READS

0 1,645

1 author:

Basuki Wasis
IPB University. Bogor. Repuplic of Indonesia
485 PUBLICATIONS   2,946 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Show Your Achievements 😎 View project

Researcher's Achievements View project

All content following this page was uploaded by Basuki Wasis on 24 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Workshop “Penghitungan Kerugian Sosial Ekologis Akibat
Daya Rusak Tambang Sebagai Kerugian Negara”
Jakarta, 15-17 Juli 2019

Penyelenggara :
JATAM, WALHI DAN CSO

Makalah/Paper Ilmiah

Penghitungan Kerusakan Ekologis dari Daya Rusak


Pertambangan Sebagai Kerugian Negara.1

Calculation of Ecological Damage from Mining Damage as State Loss


Oleh :

Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
1) Makalah direvisi 23 Desember 2019
ABSTRACT

Calculation of losses due to pollution and / or environmental damage in general is of


an Extensive value. Extensive Economy is an economic value based on ecocentrism. This
economic view breaks through the anthropocentrism-based intensistic economic perspective
which limits economic value only to include the human community and its needs. Extensive
Ecocentrism-based economy will encompass the value of the ecosystem as a whole.
Ecological damage in principle is unlimited in value because ecosystems cannot be created
by humans, so that if environmental damage occurs to the ecosystem it will be destroyed or
difficult to recover (irreversible). Restoring damaged ecosystems can only be done by God.
Extensive economic valuations are generally minimalist and limitative because of the
limitations of human knowledge in assessing the economics of the ecosystem. In general,
environmental economic valuation due to environmental damage includes 3 (three)
components, namely 1) ecological losses, 2) environmental economic losses and 3)
environmental recovery.

Keywords : ecological losses, environmental damage, extensive economy, environmental


economic losses, environmental recovery

ABSTRAK

Penghitungan kerugian akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup


secara umum nilainya bersifat Ekstensif. Ekonomi Ekstensif merupakan nilai ekonomi
berbasis ekosentrisme. Pandangan ekonomi ini mendobrak cara pandang ekonomi intensis
berbasis antroposentrisme yang membatasi nilai ekonomi hanya untuk mencakup komunitas
manusia dan kebutuhannya. Ekstensif Ekonomi berbasis ekosentrisme akan mencakup nilai
ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan ekologis pada prinsipnya nilainya tidak terbatas
karena ekosistem tidak dapat diciptakan oleh manusia, sehingga jika terjadi kerusakan
lingkungan pada ekosistem maka akan musnah atau sulit untuk dipulihkan (irreversible).
Pemulihan ekosistem yang rusak itu hanya dapat dilakukan oleh Tuhan Pencipta Alam
Semesta. Valuasi ekonomi ektensif umumnya bersifat minimalis dan limitatif karena adanya
keterbatasan pengetahuan manusia dalam menilai ekonomi ekosistem tersebut. Secara umum
valuasi ekonomi lingkungan akibat kerusakan lingkungan mencakup 3 (tiga) komponen yaitu
1) kerugian ekologis, 2) kerugian ekonomi dan 3) pemulihan lingkungan.
PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi pada umumnya menyisakan permasalahan eksternalitas1 berupa


kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang berujung pada permasalahan sosial seperti
sengketa publik. Berbagai kegiatan seperti pembuangan air limbah yang melebihi baku mutu
dari berbagai jenis kegiatan, penggundulan hutan, pembuangan sampah, penambangan telah
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti pencemaran wilayah pesisir dan
laut, pencemaran air permukaan, emisi debu, asap serta gas rumah kaca ke udara. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang hanya memenuhi permintaan pasar, pada
akhirnya akan mengorbankan kualitas sumber daya alam dan lingkungan. Manakala sumber
daya alam dan lingkungan telah terdegradasi, maka keberadaan sumber daya alam dan
lingkungan tersebut akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi serta menimbulkan
berbagai konflik sosial yang berkelanjutan dan melibatkan berbagai unsur masyarakat (KLH
2006)

Kegiatan pertambangan untuk mengambil bahan galian berharga dari lapisan bumi telah
berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak
berubah, yang berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah
menyebabkan skala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan
menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas
dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang
menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Kegiatan
pertambangan selain menimbulkan dampak lingkungan, juga menimbulkan dampak sosial
kompleks. Oleh sebab itu, AMDAL suatu kegiatan pertambangan harus dapat menjawab dua
tujuan pokok (World Bank, 1998):

1. Memastikan bahwa biaya lingkungan, sosial dan kesehatan dipertimbangkan dalam


menentukan kelayakan ekonomi dan penentuan alternatif kegiatan yang akan dipilih.
2. Memastikan bahwa pengendalian, pengelolaan, pemantauan serta langkah-langkah
perlindungan telah terintegrasi di dalam desain dan implementasi proyek serta rencana
penutupan tambang.

Mengingat besarnya dampak yang disebabkan oleh aktifitas tambang, diperlukan upaya-
upaya pengelolaan yang terencana dan terukur. Pengelolaan lingkungan di sektor
pertambangan biasanya menganut prinsip Best Management Practice. US EPA ( 1995)
merekomendasikan beberapa upaya yang dapat digunakan sebagai upaya pengendalian
dampak kegiatan tambang terhadap sumberdaya air, vegetasi dan hewan liar.

Konversi lahan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat menghambat fungsi hutan
sebagai sumber kehidupan.. Proses penambangan terdiri dari kegiatan pembukaan wilayah
hutan, pengeboran batuan untuk mengancurkan material batu kapur, pengangkutan hasil
tambang, pembakaran batuan, dan pemasaran kapur mentah. Alat berat yang digunakan
dalam kegiatan pertambangan untuk membuka wilayah hutan dan mengeluarkan barang
tambang didalam perut bumi mengakibatkan perubahan topografi, vegetasi hutan hilang,
lapisan top soil hilang, kandungan unsur hara penting dan bahan organik menurun,
kepadatan tanah tinggi, pH tinggi, suhu tanah tinggi, dan keanekaragaman mikroba tanah
menurun (Prayudyaningsih 2014; Putra et al. 2017; Setiadi dan Adinda 2013, Wasis et al.
2018a )

Banyak pihak mengklaim bahwa secara kualitatif, ada kecenderungan yang meningkat
terhadap persoalan pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang terjadi di wilayah
Indonesia, namun tindak lanjut pencegahannya terasa sulit dilakukan mengingat ketiadaan
data base mengenai pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini patut dimaklumi
karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan merupakan proses yang melibatkan
interaksi yang kompleks dan rentang waktu yang relatif panjang (KLH 2006).

Mencermati permasalahan kasus hukum dan kompensasi ganti kerugian pencemaran dan
atau perusakan sumber daya alam dan lingkungan, hal kruisal yang seringkali menimbulkan
konflik sosial yang tidak berujung adalah bagaimana melakukan suatu analisis/kajian
terhadap pencemaran dan atau perusakan sumber daya alam dan lingkungan dalam kaitan
penyelesaian hukum dan klaim/penetapan biaya kompensasi terhadap perusakan yang terjadi.
Bagaimanapun untuk penyelesaian hukum pidana dan perdata tersebut harus dilengkapi
dengan pembuktian yang diklasifikasikan sebagai bukti hukum (legal proof) yang menyagkut
hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat perusakan sumberdaya alam dan lingkungan
tersebut. Data dan bukti tersebut harus merupakan hasil penelitian, pengamatan lapangan dan
data lain berupa pendapat ahli yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (KLH 2006)

KONSEP PERHITUNGAN GANTI KERUGIAN AKIBAT KERUSAKAN DAN ATAU


PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Penghitungan kerugian akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup secara
umum nilainya bersifat Ekstensif. Ekonomi Ekstensif merupakan nilai ekonomi
berbasis ekosentrisme. Pandangan ekonomi ini mendobrak cara pandang ekonomi
intensis berbasis antroposentrisme yang membatasi nilai ekonomi hanya untuk mencakup
komunitas manusia dan kebutuhannya. Ekstensif Ekonomi berbasis ekosentrisme akan
mencakup nilai ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan ekologis pada prinsipnya
nilainya tidak terbatas karena ekosistem tidak dapat diciptakan oleh manusia, sehingga
jika terjadi kerusakan lingkungan pada ekosistem maka akan musnah atau sulit untuk
dipulihkan (irreversible). Pemulihan ekosistem yang rusak itu hanya dapat dilakukan
oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta. Valuasi ekonomi ektensif umumnya bersifat
minimalis dan limitatif karena adanya keterbatasan pengetahuan manusia dalam menilai
ekonomi ekosistem tersebut (UU No 32/2009; Keraf 2002, Joga 2002; Fauzi et al 2005;
Wasis 2006 ; Wasis et al 2018b). Secara umum valuasi ekonomi lingkungan akibat
kerusakan lingkungan mencakup 3 (tiga) komponen yaitu 1) kerugian ekologis, 2)
kerugian ekonomi dan 3) pemulihan lingkungan.
Secara umum, penghitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan adalah pemberian nilai moneter terhadap pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan merupakan nilai ekonomi ganti kerugian lingkungan yang harus
dibayarkan kepada pihak yang dirugikan yaitu lingkungan hidup. Di samping itu ada
komponen sumber daya alam dan lingkungan yang harus dipertahankan sebagai
cadangan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan dalam jangka panjang akan
menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan seperti
rusaknya sumber daya alam dan atau tercemarnya lingkungan sehingga mempengaruhi
tingkat produktifitas, kesehatan maupun dampak terhadap material lainnya.

Berdasarkan perubahan yang terjadi akan dapat dilakukan estimasi terhadap dampak
yang akan timbul sebagai dasar penentuan nilai moneter. Penghitungan nilai moneter ini
merupakan nilai ganti kerugian yang selanjutnya akan menjadi umpan balik bagi
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.

LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN KERUGIANN

Timbulnya kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak terjadi dengan tiba-tiba,
melainkan melalui suatu proses dan memerlukan waktu yaitu sejak zat-zat pencemarn
keluar dari proses produksi, masuk dan/atau terbawa dan/atau mengalami perbahan
(lebih berbahaya) di dalam media lingkungan (udara,air dan tanah), dan terakhir terpapar
ke dalam lingkungan (sumber daya alam/ekosistem) dan menimbulkan kerusakan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sebelum menghitung ganti kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan perlu dilakukan klarifikasi proses terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan identifikasi lingkungan yang terkena
dampak pencemaran dan/atau kerusakan.

1. Klarifikasi terhadap proses terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.


Verifikasi dugaan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dilakukan
melalui 2 langkah:
a. Identifikasi sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
b. Proses terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

2. Identifikasi lingkungan yang terkena pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan


(sebagaimana terlihat pada Gambar 1.2) terdiri dari langkah-langkah:
a. Identifikasi jenis media lingkungan yang tercemar dan/atau rusak.
b. Penghitungan lamanya pencemaran dan/atau kerusakan berlangsung.
c. Identifikasi pencemaran dan/atau kerusakan terjadi secara langsung atau tidak
langsung.
d. Pengukuran derajat pencemaran dan/atau kerusakan yang terjadi (menyangkut skala
spasial dan jumlah pihak yang terlibat).
e. Identifikasi status kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan, terdiri dari:
1) lingkungan milik publik
2) lingkungan milik perorangan:
a). siapa pemilik lingkungan yang sebenarnya
b). tipe hak pemilik (individu, komunal,sewa,hak milik,dan lain-lain)
c). durasi kepemilikan
d). intensitas pemanfaatan dengan kepemilikan lingkungan
Jika hal di atas tidak dilaksanakan maka penilaian kerusakan (damage assessment)
dilakukan atas nama publik dan penyelesaiannya ganti kerugian harus dilakukan melalui
penyelesaian publik (public settlement) yang dapat berupa musyawarah dan mufakat
antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan masyarakat. Sebaliknya
jika hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas (siapa pemilik lingkungan yang
sebenarnya) maka langkah berikutnya adalah melakukan penilaian (assesment) terhadap
hak pemilik yang menyangkut tipe hak pemilik (individu, komunal, sewa, hak milik, dan
lain-lain), lamanya (durasi) kepemilikan dan intensitas pemanfaatan dengan kepemilikan
lingkungan. Jika langkah ini sudah di lakukan baru kemudian penilaian kerusakan
(damage assesment) dapat dilakukan dan penentuan ganti kerugian dapat dilakukan
melalui privat settlement (antara pihak yang terlibat) seperti antara industri (pabrik
dengan pemilik lahan) dan sejenisnya.
Setiap kegiatan usaha bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan diperoleh
dengan cara mengurangkan biaya produksi dari penerimaan perusahaan. Biaya produksi tidak
hanya berupa biaya langsung yang berkaitan dengan jenis dan jumlah produk perusahaan,
tetapi juga termasuk biaya tidak langsung atau biaya lingkungan sebagai akibat adanya
limbah perusahaan yang berlebihan sehingga berubah menjadi pencemar lingkungan dan
pada gilirannya menimbulkan kerusakan lingkungan.
Kegiatan manusia baik perusahaan ataupun perorangan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
macam yaitu kegiatan ekonomi, kegiatan tidak memenuhi kewajiban, dan kegiatan non-
ekonomi.

2.1 Berbagai Macam Kegiatan

Kegiatan perusahaan dan/atau manusia baik perusahaan ataupun perorangan dapat


dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam yaitu kegiatan ekonomi, kegiatan tidak memenuhi
kewajiban, dan kegiatan non-ekonomi.

1.Kegiatan ekonomi

Kegiatan ekonomi umumnya mencakup kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa
dengan maksud untuk mencari keunutngan; sedangkan kegiatan konsumsi barang maupun
jasa umumnya bertujuan untuk mendapatkan kepuasan. Semua jenis kegiatan ekonomi akan
menimbulkan baik dampak langsung yang berupa hilangnya atau rusaknya lingkungan
ataupun dampak tidak langsung yang berupa kerusakan lingkungan karena pencemaran yang
dhasilkan oleh perusahaan.

2.Kelalaian Usaha atau Kegiatan


Kelalaian/kesengajaan dapat diartikan sebagai kegiatan atau tindakan untuk memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan demikian akan menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan dan pada gilirannya akan menimbulkan berbagai macam biaya
di antaranya mencakup biaya pembangunan instalasi pengolahan limbah, biaya verifikasi
pendugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan, biaya penanggulangan dan pemulihan
lingkungan, kompensasi kerugian lingkungan dan kompensasi kerugian masyarakat.

3. Kegiatan non-ekonomi
Kegiatan non-ekonomi pada umumnya tidak menginginkan adanya balas jasa atas pelayanan
yang diberikan, seperti kegiatan keagamaan, budaya, maupun kegiatan sosial termasuk
penanggulangan bencana alam dan penyelamatan korban bencana alam seperti menyediakan
pangan, pakaian, obat-obatan dan fasilitas lain dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini dapat
pula menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi mungkin tidak perlu
diperhitungkan ganti ruginya.
Baik kegiatan ekonomi, kegiatan tidak memenuhi kewajiban seperti yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan, maupun kegiatan non-ekonomi, semuanya memiliki dampak
lingkungan. Kemudian dampak lingkungan dapat berupa pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan serta kerusakan aset masyarakat termasuk hilangnya sumber kehidupan
masyarakat.

MACAM-MACAM BIAYA DAN KERUGIAN LINGKUNGAN

Selanjutnya pencemaran dan kerusakan lingkungan akan menciptakan berbagai jenis biaya
dan kerugian yang dapat digolongkan menjadi (Permen Nomor 7 tahun 2014):
a. Biaya Kewajiban;
b. Biaya Verifikasi dan Pengawasan;
c. Biaya Pemulihan Lingkungan;
d. Nilai Kerugian Lingkungan dan
e. Nilai Kerugian Masyarakat.

Biaya Kewajiban
Pencemaran atau rusaknya lingkungan dapat terjadi karena tidak patuhnya perusahaan atau
perorangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mengolah limbah dan
mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu mereka dituntut untuk merealisasikan
kewajibannya dengan membangun IPAL, IPU dan instalasi lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan sehingga menimbulkan biaya kewajiban. Biaya dikeluarkan untuk
keperluan ini ditanggung oleh para pengusaha atau peorangan yang berkepentingan
melakukan kegiatannya.

Biaya Verifikasi dan Pengawasan


Dalam banyak hal sering terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagai akibat
kecelakaan, kelalaian, maupun kesengajaan. Kepastian terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan tersebut memerlukan peran aktif pemerintah untuk melakukan
verifikasi dan pengawasan sampai terselesaikannya masalah pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan tersebut. Untuk itu pemerintah mengeluarkan biaya yang harus diganti oleh
pelaku usaha/kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Biaya Penanggulangan dan Pemulihan lingkungan

a. Biaya Penanggulangan Lingkungan

Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, suatu tindakan seketika perlu
diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan yang terjadi agar pencemaran
dan/atau kerusakan itu dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini
dapat dilakukan oleh pelaku usaha/kegiatan dan/atau oleh pemerintah. Bilamana pemerintah
yang melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan telah
mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, maka jumlah seluruh biaya tersebut dapat
ditagihkan kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan dan wajib untuk membayarnya

b. Biaya Pemulihan Lingkungan

Lingkungan yang tercemar dan/atau yang rusak harus dipulihkan sedapat mungkin kembali
seperti keadaan semula sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan. Tindakan
pemulihan lingkungan ini berlaku bagi lingkungan publik yang menjadi hak dan wewenang
pemerintah serta lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan
maupun kelompok orang.
Namun tidak semua lingkungan yang tercemar dapat dikembalikan pada kondisinya seperti
sebelum terjadi pencemaran atau kerusakan, namun pihak perusahaan ataupun perorangan
yang menimbulkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan wajib
mengusahakannya untuk pemulihan kondisi lingkungan tersebut. Dengan pemulihan kondisi
lingkungan diharapkan fungsi-fungsi lingkungan yang ada sebelum terjadi kerusakan dapat
kembali seperti asalnya. Namun perlu disadari bahwa terdapat berbagai macam ekosistem,
dan setiap ekosistem memiliki berbagai manfaat dan fungsi yang berbeda-beda, sehingga
usaha pemulihannya pun menuntut teknologi yang berbeda-beda pula dan ini menuntut
adanya biaya pemulihan lingkungan. Apabila pihak perusahaan dan/atau perorangan yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan merasa tidak mampu
melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan, maka ia wajib untuk membayar biaya
pemulihan lingkungan kepada pemerintah dengan ketentuan bahwa pemerintah atau
pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas pemulihan kondisi fungsi lingkungan
menjadi seperti keadaannya semula sebelum terjadi pencemaran dan kerusakan.

Kerugian Lingkungan
Pada saat lingkungan menjadi tercemar dan rusak, maka akan muncul berbagai dampak
lingkungan yang merupakan akibat dari tercemarnya ekosistem dan/atau kerusakan
ekosistem tersebut. Tercemarnya dan rusaknya lingkungan hidup ini meliputi lingkungan
publik (pemerintah) dan lingkungan yang terkait hak dan wewenang masyarakat baik secara
perorangan maupun secara kelompok. Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan tersebut harus dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian
lingkungan secara lengkap. Sebagai contoh jika terjadi kebocoran minyak dari kapal tanker,
maka ekosistem laut menjadi tercemar. Dampak selanjutnya dapat terjadi kerusakan
terumbu karang, kerusakan hutan mangrove atau kerusakan padang lamun, sehingga
produktivitas ikan oleh semua jenis ekosistem tersebut berkurang.

Hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak juga
berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengusahan ikan menuurun,
serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Demikian pula apabila hutan alam
rusak atau ditebang akan timbul berbagai dampak lingkungan dalam bentuk hilangnya
kapasitas hutan dalam menampung air dan memberikan tata air, hilangnya kemampuan
menahan erosi dan banjir, hilangnya kapasitas hutan dalam mencegah sedimentasi,
hilangnya kapasitas hutan dalam menyerap/menrosot karbon, hilangnya habitat untuk
keanekaragaan hayati, dan bahkan hutan yang ditebang bila sampai terbakar dapat
menambah emisi gas rumah kaca (CO2). Terkait dengan kerugian lingkungan masyarakat
secara perorangan atau kelompok orang-orang, contohnya adalah tercemarnya lingkungan
tambak di mana masyarakat perorangan beraktivitas membudidayakan pertambakan
bandeng. Dengan adanya pencemaran tidak hanya usaha budi daya bandeng yang terganggu,
tetapi ekosistem atau lingkungan tambak termasuk kualitas tanah, kualitas perairan.

Kerusakan-kerusakan yang disebutkan di atas harus dihitung nilainya sesuai dengan


besarnya kerusakan serta berapa lama semua kerusakan itu berlangsung. Kemudian nilai
kerusakan ini ditambahkan pada biaya kewajiban dan biaya verifikasi pendugaan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, biaya penanggulangan dan/atau pemulihan
lingkungan dan ditambah lagi dengan nilai kerugian masyarakat yang timbul karena
rusaknya sebuah ekosistem atau lebih.

Kerugian Masyarakat
Yang dimaksud dengan masyarakat dalam butir ini adalah masyarakat sebagai individu atau
perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan seperti diuraikan di atas akan menimbulkan dampak ikutan yang berupa kerugian
masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap ikan, rusaknya perkebunan dan
pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya penghasilan masyarakat, dan sebagainya.
Akibat kerusakan peralatan tangkap ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau
seluruh sumber penghasilan masyarakat di bidang perikanan akan terganggu sebagian atau
seluruhnya. Demikian pula bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak
sehingga benar-benar merugikan petani dan peternak, maka semua kerugian tersebut harus
dihitung dan layak untuk diminta ganti ruginya.
FORMULA METODE PERHITUNGAN KERUGIAN AKIBAT PERUSAKAN DAN
PENCEMARAN
BIAYA VERIFIKASI

Perhitungan biaya verifikasi yaitu :

Biaya yang dibutuhkan untuk verifikasi sebesar :

CVER = LA X CVha

di mana :
CFPA = Biaya Verifikasi (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
CVha = Biaya Verifikasi (Rp/ha)

BIAYA PEMULIHAN LINGKUNGAN


Penghitungan biaya penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup meliputi 2:

a. Biaya pengadaan bahan pengganti ekosistem yang rusak,


b. Biaya revegetasi,
c. Biaya pembangunan reservoir,
d. biaya pendaur ulang unsur hara,
e. biaya pengurai limbah,
f. biaya keanekaragaman hayati,
g. biaya sumberdaya genetik,
h. biaya pelepasan karbon,
i. biaya perosot karbon.

Penghitungannya adalah sebagai berikut:

1. Biaya pengadaan bahan pengganti ekosistem yang rusak


CBP = M x LA x BPE x IHt/ IHd
di mana :
CBP : Biaya pengganti ekosistem yang rusak (Rp)
M : Bahan pengganti ekosistem (m3/ha)
LA : Lahan yang hilang/tidak berfungsi karena dirusak (ha)
IHt : Indeks harga pada tahun terjadi kerusakan
IHd : Indeks harga tahun dasar
BPE : Tahun dasarbiaya pengganti ekosistem yang rusak

Catatan : BPE = Rp 200.000,-/m3 (2003)

2. Biaya revegetasi

Biaya revegetasi dihitung sampai lahan terdegradasi (lahan terbuka) pulih kembali
menjadi hutan.

CR = LA x C x T tahun
di mana:
CR = Biaya revegetasi (Rp)
LA = Luas lahan yang rusak (ha)
C = Indek biaya revegetasi (ha)
T = Rentang waktu keberhasilan revegetasi

3. Biaya pembangunan dan pemeliharaan reservoir


Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir sebesar :

CFPA = CR + CPMR

di mana :
CFPA = Biaya pembangunan dan pemeliharaan reservoir (Rp)
CR = Biaya pembangunan reservoir (Rp)
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)

4. Biaya hilangnya unsur hara

di mana :
CUH = Biaya hilangnya unsur hara (Rp)
BUH = Biaya pembentukan unsur hara tahun dasar(Rp)
IH t = Indeks harga tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar

5. Biaya Fungsi pengurai Limbah

di mana:
CL = Biaya fungsi pengurai Limbah
BPL = Biaya pengurai limbah tahun dasar
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar

6. Biaya pemulihan keanekaragaman hayati


di mana:
CBD = Biaya pemulihan keanekaragaman hayati
CBDd = Biaya pemulihan keanekaragaman hayati tahun dasar
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar

7. Biaya pemulihan genetik

di mana:
Cgen = Biaya pemulihan genetik
Cgen = Biaya pemulihan genetika tahun dasar (Rp 410.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar

8. Biaya pelepasan karbon (CCar)

di mana:
Ccar = Biaya pelepasan karbon(Rp)
Ccard = Biaya pelepasan karbon tahun dasar (Rp/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
9. Biaya perosot karbon

Dengan adanya perusakan terhadap vegetasi di permukaan tanah maka terjadi penurunan
karbon yang tersedia (carbon lost), untuk itu perlu dipulihkan.3

di mana
Rcar = Biaya perosotan karbon
Rcard = Biaya perosot karbon tahun dasar
Tcar = Total carbon yang hilang
LA = Luas areal yang rusak
Dengan demikian formula penghitungan ganti kerugian pemulihan lingkungan adalah:

CPE = {CBP + CR +CFPA + CUH + CL + CBD + Cgen + Ccar + Rcar}

BIAYA KERUGIAN LINGKUNGAN

Komponen kerugian lingkungan meliputi :


1. Biaya memulihkan fungsi tata air,
2. Biaya pembuatan reservoir,
3. Biaya pengaturan tata air,
4. Biaya pengendalian erosi dan limpasan,
5. Biaya pembentukan tanah,
6. Biaya pendaur ulang unsur hara,
7. Biaya pengurai limbah,
8. Biaya keanekaragaman hayati,
9. Biaya sumberdaya genetik, dan
10. Biaya pelepasan karbon.

Penghitungannya adalah sebagai berikut:

1. Biaya Memulihkan Fungsi Tata Air


CHTA = KA x BHTA x T x LA x IH1/ IHd

di mana :
CHTA : Biaya memulihkan fungsi tata air (Rp/m3)
KA : Kadar air m3/401m3 per ha
BHTA : Biaya memulihkan tata air tahun dasar (Rp/ha)
T : Tahun
LA : Lahan yang hilang/tidak berfungsi karena dirusak (ha)
IH1 : Indeks harga pada tahun terjadi kerusakan
IHd : Indeks harga tahun dasar

2. Biaya pembuatan reservoir

CR = VA x LA x MR

di mana :
CR = Biaya pembuatan reservoir (Rp)
VA = Volume air per Ha (m3/Ha)
LA = Lahan yang rusak/hilang sehingga tidak berfungsi ekonomi hilang (Ha)
MR = Biaya pemulihan reservoir (Rp/m3)

3. Biaya fungsi tata air

x LA
di mana :
CTA = Biaya pengaturan tata air (Rp)
BTA = Biaya tata air (Rp/ha)
IHt = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar
LA = Luas lahan yang rusak

4. Biaya pemeliharaan reservoir


Biaya pemeliharaan sampai lahan terdegradasi (lahan terbuka) pulih menjadi hutan alam.

CPMR = T x LA x BPMR

di mana:
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)
T = Tahun
LA = Luas lahan yang rusak (ha)
BPMR = Biaya reservoir tahun dasar (Rp/ha/tahun)
Biaya pembentukan tanah

dimana :
CPT = Biaya pembentukan tanah (Rp)
CPT = Biaya pembentukan tanah (Rp /ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Biaya hilangnya unsur hara

di mana :
CUH = Biaya hilangnya unsur hara
BUH = Biaya pembentukan unsur hara (Rp. 4.610.000)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Biaya Fungsi pengurai Limbah (CL)


di mana:
CL = Biaya Fungsi pengurai Limbah
BPL = Biaya pengurai limbah (Rp 435.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH = Indeks harga tahun dasar

Biaya pembangunan dan pemeliharaaan reservoir


Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir sebesar :

CFPA = CR + CPMR

di mana :
CFPA = Biaya pembangunan dan pemeliharaan reservoir
CR = Biaya pembuatan reservoir (Rp)
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)

Biaya pemulihan genetik (Cgen)

di mana:
Cgen = Biaya pemulihan genetik
Bgen = Biaya pemulihan genetika tahun dasar(Rp 410.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Biaya pelepasan karbon (CCar)

di mana:
CCar = Biaya pelepasan karbon
BCar = Biaya pelepasan karbon tahun dasar(Rp 90000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Biaya erosi

 IH t 
CEr   BEr    LA
 IH d 
di mana :
Cer = Biaya erosi
BEr = Biaya pengendalian erosi tahun dasar(Rp.1.225.000/ha)
LA = Luas lahan yang rusak/hilang (Ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Biaya pemulihan biodiversity (CBD)

di mana:
CBD = Biaya pemulihan biodiversity
BBD = Biaya pemulihan keanekaragaman hayati tahun dasar(Rp 2.700.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar

Dengan demikian formula penghitungan ganti rugi akibat nilai kerusakan lingkungan adalah:

CKH = {CFPA + CR + CPMR+ CFPA +CTA + CEr + CPT + CUH + CPL


+ CBD + Cgen + C car}

KERUGIAN MASYARAKAT

Nilai Tanah

Biaya yang dibutuhkan untuk nilai tanah sebesar :

CNT = LA X Ct

di mana :
CNT = Biaya nilai tanah (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
Ct = Biaya tanah (Rp/ha)

Produktivitas Lahan

Biaya yang dibutuhkan produktivitas lahan adalah

CPL = LA X CPR x T

di mana :
CPL = Biaya produktivitas lahani (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
CPR = Biaya produktivitas (Rp/ha)
T = Periode waktu perusakan atau pencemaran

PERHITUNGAN GANTI KERUGIAN AKIBAT KERUSAKAN LINGKUNGAN


AKIBAT PERTAMBANGAN
Perhitungan kerugian menggunakan yang dikeluarkan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup RI yaitu Permen Nomor : 7 Tahun 2014 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran
dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka perhitungan
kerusakan lingkungan hidup akibat tambang tanah merah laterite seluas seluas 6 ha yang
menyebabkan negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang rusak atau
berkurang adalah
1. Biaya Kerugian Ekologis (Lingkungan)
a. Biaya Menghidupkan Fungsi Tata Air
Biaya menghidupkan fungsi tata air adalah sebesar Rp 40.500.000,- per ha dikalikan selama
100 tahun.. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam dan tanah yang rusak akibat tambang
tanah merah laterite yaitu hilangnya kemampuan hutan alam dan tanah dalam menghasilkan
atau menyimpan air. Sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang
yang musnah atau berkurang berupa hilangnya air (nilai ekonomi air) adalah :

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 40.500.000,-/ha x 100 th 24.300.000.000

b. Biaya Pengaturan Tata Air


Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air dalam ekosistem daerah aliran
sungai (DAS adalah Rp 22.810.000,- per ha.. Kerugian ekologis pada hutan alam dan tanah
yang rusak akibat tambang tanah merah laterite yaitu hilanya kemampuan lahan hutan alam
dan tanah dalam menyediakan air bagi DAS bagian hulunya (produktivitas ekosistem).
Sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya pengaturan tata air (manfaat air) pada DAS sebesar :

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 22.810.000,- 136.860.000

c. Biaya Pengendalian Erosi dan Limpasan


Biaya pengendalian erosi dan limpasan pada lahan rusak akibat tambang tanah merah laterite
sebesar Rp 6.000.000 per ha. Kerugian ekologis pada hutan alam dan tanah yang rusak
akibat tambang tanah merah laterite yaitu hilanya kemampuan lahan hutan alam dan tanah
dalam mengendalikan erosi dan limpasan bagi DAS bagian hulunya. Sehingga negara harus
mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang berupa rusaknya
pengendalian erosi dan limpasan pada DAS bagian hulunya adalah
No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)
1. BTM 6 ha x Rp 6.000.000,-/ha 36.000.000

d. Biaya Pembentukan Tanah


Biaya pembentukan tanah yang hilang akibat tambang tanah merah laterite sebesar Rp
500.000,- per ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang tanah
merah laterite yaitu hilangnya pembentukan tanah. Sehingga negara harus mengeluarkan
biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang berupa rusaknya pembentukan
tanah (lapisan tanah) adalah:

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 500.000,-/ha 3.000.000

e. Biaya Pendaur Ulang Unsur Hara

Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang akibat tambang tanah merah laterite sebesar Rp
4.610.000 per ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang
tanah merah laterite yaitu hilangnya kemampuan hutan alam dalam pendaur ulang unsur hara.
Sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya pendaur ulang unsur hara (nutrisi) adalah

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 4.610.000,-/ha 27.660.000

f. Biaya Fungsi Pengurai Limbah


Biaya fungsi pengurai limbah yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp
435.000 per ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang tanah
merah laterite yaitu hilangnya kemampuan hutan alam dalam fungsi pengurai limbah.
Sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya fungsi pengurai limbah adalah

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 435.000,-/ha 2.610.000

g. Biaya kehilangan Biodiversiti


Biaya kehilangan biodiversiti yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp
2.700.000,- per ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang
tanah merah laterite yaitu hilangnya biodiversiti (keanekaragaman hayati). Sehingga negara
harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang berupa
kehilangan biodiversiti adalah

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 2.700.000,-/ha 16.200.000

h. Biaya kehilangan Sumberdaya Genetik

Biaya kehilangan sumberdaya genetik yang hilang karena tambang tanah merah laterite
sebesar Rp 410.000,- per ha, Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat
tambang tanah merah laterite yaitu hilangnya sumberdaya genetik. Sehingga negara harus
mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang berupa kehilangan
sumberdaya genetik adalah

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 410.000,-/ha 2.460.000

i. Biaya Pelepasan Karbon


Biaya pelepasan karbon yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp
32.310.000,-/ ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang tanah
merah laterite yaitu hilangnya kemampuan hutan alam dalam pelepasan karbon Sehingga
negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang
berupa rusaknya pelepasan karbon (kehilangan karbon) adalah:

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 32.310.000,-/ha 193.860.000

Total Kerugian Ekologis/ Lingkungan sebesar : Rp 24.718.650.000,-


2. Kerugian Ekonomi Lingkungan

a. Nilai tambang
Biaya nilai tambang yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp 50.000,-
per m3. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang tanah merah
laterite yaitu hilangnya tambang. Berdasarkan hasil anaisa didapatkan nilai tambang yang
mengalami kerusakan sebesar 300.000/m3. Sehingga kerugian keuangan negara akibat
hilangnya nilai tambang akibat pertambangan tanah merah laterite sebesar

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 300.000 m3 x Rp 50.000,-/m3 15.000.000.000
b. Kerugian Hilang Umur Pakai Lahan

Biaya hilang umur pakai lahan yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp
32.000.000,- per ha selama 100 tahun. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak
akibat tambang tanah merah laterite yaitu hilangnya umur pakai lahan. Sehingga negara
harus mengeluarkan biaya untuk mengganti hilangnya umur pakai lahan hutan alam sebesar

No. Lokasi Rincian Jumlah (Rp)


1. BTM 6 ha x Rp 32.000.000,-/ha x 100 th 19.200.000.000

Total kerugian ekonomi (a + b) sebesar Rp 34.200.000.000,-


3. Pemulihan Lingkungan
Biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologi yang rusak/ hilang pada hutan alam,
sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk memulihkan lingkungan adalah :

No Rincian Jumlah (Rp)

a. Biaya Penyedian air melalui pembangunan reservoir 243.000.000


b. Biaya Pemulihan Pengendalian limpasan dan erosi 36.000.000
c. Biaya Pemulihan Pembentukan tanah 3.000.000
c. Biaya Pemulihan Pendaur ulang unsur hara 27.660.000
d. Biaya Pemulihan Fungsi Pengurai limbah 2.610.000
e. Biaya Pemulihan Biodiversiti 16.200.000
f. Biaya Pemulihan Sumberdaya genetik 2.460.000
g. Biaya Pemulihan Pelepasan karbon 193.860.000

Jumlah 524.790.000

Sehingga yang biaya kerugian akibat kerusakan lingkungan akibat tambang tanah merah
laterite, dimana negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya ekologis/lingkungan adalah sebesar adalah Rp 59.443.440.000,-

Dengan rincian sebagai berikut :

1. Biaya Kerugian Ekologis Rp 24.718.650.000,-


2. Biaya Kerugian Ekonomi Rp 34.200.000.000,-
3. Biaya Pemulihan Lingkungan Rp 524.790.000.-
--------------------------------
Total kerugian Kerusakan Lingkungan Rp 59.443.650.000,-
(Lima puluh sembilan milyar empat ratus empat puluh tiga juta empat ratus empat puluh
ribu rupiah)
-
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam R. 2012. Forensik. Penerbit PTIK. Jakarta.
Anggi A. 2014. Analisis Kondisi Habitat Karang di Pulau Rimaubalak, Kandangbalak, dan
Panjurit Lampung Selatan. IPB
Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003 -2020.
Dokumen Regional Bappenas Pemerintah RI. Jakarta.
Buringh P. 1983. Pengantar Pengajian Tanah-tanah Wilayah Tropika dan Subtropika.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Binkley, D. 1987. Forest Nutrition Managemnent. A Wiley-Interscience Publication John
Wiley & Sons. New York
Dahuri, Rokhim, 1999, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang, Lokakarya
Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia, Jakarta.
Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya dengan Toksikologi
Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Fakultas Kehutanan IPB. 2000. Selamatkan Hutan Alam Indonesia : Masalah, Prinsip, dan
Strategi Pembenahan Kelembagaan Penyelenggaraan Kehutanan. Draf Akademik
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Fauzan HT. 2014. Analisis Predasi Polip Karang Oleh Acanthaster Planci Terhadap Tingkat
Kerusakan Terumbu Karang Di Pantai Pulau Hari Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
Fauzi A; S. Anna; B. H. Saharjo dan B. Wasis. 2005. Panduan Penentuan Perkiraan Ganti
Kerugian akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan akibat Kebakaran
Hutan, Perambahan Hutan dan Galian C. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Hakim N; Nyakpa MY; Lubis AM; Nugrogo SG; Saul MR; Diha MA; Hong GB; dan Bailey
HH. 1986. Dasar Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Bandar
Lampung
Hamzah Z. 1983. Diktat Ilmu Tanah Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Hardjowigeno, S. 1986. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta
Hartiwiningsih. 2011. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.
UNS Press. Surakarta
Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Lembaran
Dokumen Negara RI. Jakarta.
Hamilton, L.S. and P. N. King, 1988. Daerah Aliran Sungai Tropika. Terjemahan.
Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Falahudin D, Z Arifin dan T Wagey. 2010. Pengukuran dan Identifikasi Sumber Polisiklik
Aromatik Hidrokarbon (PAH) di Perairan Laut Timor-Arafura-Arafura. BRKP dan
LIPI. Jakarta
Fisher, R. F., and D. Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soils. Third
Edition John Wiley and Sons, Inc. New York. 489 p.

Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Lembaran
Dokumen Negara RI. Jakarta.
Hardjasoemantri K. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 640 hal.
Joga N. 2002. Greenesia (Indonesia Hijau). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jordan C. F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Wiley & Sons.
New York.
Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak
Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta
Keraf A S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak
Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2006. Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
Kepmen LH No. 210 tahun 2004 tentang Kriteria Kerusakan Hutan Mangrove.
Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun.
Kepmen LH No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Kerusakan Terumbu Karang.
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 152/KPTS/IV-BPHH/1993 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 153/KPTS/IV-BPHH/1993 tentang
Pedoman Penilaian dan Pengesahan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan.
Kitredge, J, 1948. Forest Influences, Mc, Graw-Hill Book Company, New York.
Kusmana C, Y. Setiadi, I. Hikwan, Istomo, O Rusdiana dan B. Wasis. 2014. Ekologi Hutan.
Materi Kuliah Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Laar AV and Akca A. 1997. Forest Mensuration. Cuviller Verlag, Germany. Gotingen.
Lee, R. 1980. Forest Hidrology. Columbia Press University. New York.
Lutz HJ and Chandler RF. 1965. Forest Soils. Printed in The United States of America.
New York
Notodarmojo S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB. Bandung
Nurdianti S. 2000. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Barrang Lompo Sulawesi Selatan.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.

Peraturan Pemerintah RI Nomor : 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun .
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah
untuk Produksi Biomassa
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan atau Lahan
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 74 tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan
Hidup
Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 13 tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 7 tahun 2014 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Rayes ML. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Soepardi EM. 2013. Pemahaman Pengelolaan Keuangan Negara dan Tindak Pidana Korupsi.
BPKP. Jakarta
Soerianegara, I dan Indrawan A. 1983. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Singarimbun M dan Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai Perairan Indonesia. Puslitbang
Oseanologi LIPI. Jakarta.
Syahrin A. 2011. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. PT Sofmedia. Medan
Tan KH. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc. New York
Undang Undang Nomor : 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Negara Republik Indonesia.

Undang Undang Nomor : 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Nomor : 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Negara Republik Indonesia
Undang Undang Nomor : 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan. Negara Republik Indonesia
Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Negara Republik Indonesia.
Walker ICG. 1980. The Oxygen Cycle in The Natural Enviromental and The
Biogeochemical Cycles . Springer Verlag, Berlin. Federal Republic of Germany.
Wasis B. 2006. Identifikasi dan Penapisan Dampak pada Permasalahan Lingkungan Hidup
serta Penerapan Isu Isu Lingkungan Hidup. Indonesia-Australia Specialised Training
Project Phase III. Jakarta.
Wasis, B.dan Noviani, D. (2010). Pengaruh pemberian pupuk NPK dan kompos terhadap
pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) pada media tanah
bekas tambang emas (tailing). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 15(1): 14–19.
Retrieved from http://journal.ipb.ac.id/index.php/ JIPI/article/view/6563
Wasis B. 2012. Soil Properties in Natural Forest Destruction and Conversion to Agricultural
Land in Gunung Leuser National Park, North Sumatera Province. JMHT XVIII(3) :
206-212
Wasis B. and Andika A. (2017). Growth response of mahagony seedling (Swietenia
macrophylla King.) to addition of coconut shell charcoal and compost on ex-sand
mining site of West Java Province in Indonesia. Archives of Agriculture and
Enviromental Science 2(3): 238-243.
Wasis B. Arifin and Winata. 2018a. Impact of Bauxite Mine to Natural Forest Biomass and
Soil Properies in Kas Island, Riau Island Province in Indonesia. Archives of
Agriculture and Environmental Science 3(3): 264-269.

Wasis B., Saharjo B.H., Kusumadewi F., Utami N. H., Putra M.H. W. . 2018b. Analysis of
economic valuation of environmental damage due to sand mine in Gumulung
Tonggoh, Cirebon District, West Java Province, Indonesia. Archives of Agriculture
and Environmental Science 3(4): 360-366

View publication stats

You might also like