Professional Documents
Culture Documents
net/publication/338149142
CITATIONS READS
0 1,645
1 author:
Basuki Wasis
IPB University. Bogor. Repuplic of Indonesia
485 PUBLICATIONS 2,946 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Basuki Wasis on 24 December 2019.
Penyelenggara :
JATAM, WALHI DAN CSO
Makalah/Paper Ilmiah
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
1) Makalah direvisi 23 Desember 2019
ABSTRACT
ABSTRAK
Kegiatan pertambangan untuk mengambil bahan galian berharga dari lapisan bumi telah
berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak
berubah, yang berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah
menyebabkan skala pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan
menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas
dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang
menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Kegiatan
pertambangan selain menimbulkan dampak lingkungan, juga menimbulkan dampak sosial
kompleks. Oleh sebab itu, AMDAL suatu kegiatan pertambangan harus dapat menjawab dua
tujuan pokok (World Bank, 1998):
Mengingat besarnya dampak yang disebabkan oleh aktifitas tambang, diperlukan upaya-
upaya pengelolaan yang terencana dan terukur. Pengelolaan lingkungan di sektor
pertambangan biasanya menganut prinsip Best Management Practice. US EPA ( 1995)
merekomendasikan beberapa upaya yang dapat digunakan sebagai upaya pengendalian
dampak kegiatan tambang terhadap sumberdaya air, vegetasi dan hewan liar.
Konversi lahan hutan untuk kegiatan pertambangan dapat menghambat fungsi hutan
sebagai sumber kehidupan.. Proses penambangan terdiri dari kegiatan pembukaan wilayah
hutan, pengeboran batuan untuk mengancurkan material batu kapur, pengangkutan hasil
tambang, pembakaran batuan, dan pemasaran kapur mentah. Alat berat yang digunakan
dalam kegiatan pertambangan untuk membuka wilayah hutan dan mengeluarkan barang
tambang didalam perut bumi mengakibatkan perubahan topografi, vegetasi hutan hilang,
lapisan top soil hilang, kandungan unsur hara penting dan bahan organik menurun,
kepadatan tanah tinggi, pH tinggi, suhu tanah tinggi, dan keanekaragaman mikroba tanah
menurun (Prayudyaningsih 2014; Putra et al. 2017; Setiadi dan Adinda 2013, Wasis et al.
2018a )
Banyak pihak mengklaim bahwa secara kualitatif, ada kecenderungan yang meningkat
terhadap persoalan pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang terjadi di wilayah
Indonesia, namun tindak lanjut pencegahannya terasa sulit dilakukan mengingat ketiadaan
data base mengenai pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini patut dimaklumi
karena pencemaran dan atau perusakan lingkungan merupakan proses yang melibatkan
interaksi yang kompleks dan rentang waktu yang relatif panjang (KLH 2006).
Mencermati permasalahan kasus hukum dan kompensasi ganti kerugian pencemaran dan
atau perusakan sumber daya alam dan lingkungan, hal kruisal yang seringkali menimbulkan
konflik sosial yang tidak berujung adalah bagaimana melakukan suatu analisis/kajian
terhadap pencemaran dan atau perusakan sumber daya alam dan lingkungan dalam kaitan
penyelesaian hukum dan klaim/penetapan biaya kompensasi terhadap perusakan yang terjadi.
Bagaimanapun untuk penyelesaian hukum pidana dan perdata tersebut harus dilengkapi
dengan pembuktian yang diklasifikasikan sebagai bukti hukum (legal proof) yang menyagkut
hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat perusakan sumberdaya alam dan lingkungan
tersebut. Data dan bukti tersebut harus merupakan hasil penelitian, pengamatan lapangan dan
data lain berupa pendapat ahli yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (KLH 2006)
Penghitungan kerugian akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup secara
umum nilainya bersifat Ekstensif. Ekonomi Ekstensif merupakan nilai ekonomi
berbasis ekosentrisme. Pandangan ekonomi ini mendobrak cara pandang ekonomi
intensis berbasis antroposentrisme yang membatasi nilai ekonomi hanya untuk mencakup
komunitas manusia dan kebutuhannya. Ekstensif Ekonomi berbasis ekosentrisme akan
mencakup nilai ekosistem secara keseluruhan. Kerusakan ekologis pada prinsipnya
nilainya tidak terbatas karena ekosistem tidak dapat diciptakan oleh manusia, sehingga
jika terjadi kerusakan lingkungan pada ekosistem maka akan musnah atau sulit untuk
dipulihkan (irreversible). Pemulihan ekosistem yang rusak itu hanya dapat dilakukan
oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta. Valuasi ekonomi ektensif umumnya bersifat
minimalis dan limitatif karena adanya keterbatasan pengetahuan manusia dalam menilai
ekonomi ekosistem tersebut (UU No 32/2009; Keraf 2002, Joga 2002; Fauzi et al 2005;
Wasis 2006 ; Wasis et al 2018b). Secara umum valuasi ekonomi lingkungan akibat
kerusakan lingkungan mencakup 3 (tiga) komponen yaitu 1) kerugian ekologis, 2)
kerugian ekonomi dan 3) pemulihan lingkungan.
Secara umum, penghitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan adalah pemberian nilai moneter terhadap pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan. Besaran nilai moneter kerugian ekonomi akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan merupakan nilai ekonomi ganti kerugian lingkungan yang harus
dibayarkan kepada pihak yang dirugikan yaitu lingkungan hidup. Di samping itu ada
komponen sumber daya alam dan lingkungan yang harus dipertahankan sebagai
cadangan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan dalam jangka panjang akan
menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan seperti
rusaknya sumber daya alam dan atau tercemarnya lingkungan sehingga mempengaruhi
tingkat produktifitas, kesehatan maupun dampak terhadap material lainnya.
Berdasarkan perubahan yang terjadi akan dapat dilakukan estimasi terhadap dampak
yang akan timbul sebagai dasar penentuan nilai moneter. Penghitungan nilai moneter ini
merupakan nilai ganti kerugian yang selanjutnya akan menjadi umpan balik bagi
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
Timbulnya kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak terjadi dengan tiba-tiba,
melainkan melalui suatu proses dan memerlukan waktu yaitu sejak zat-zat pencemarn
keluar dari proses produksi, masuk dan/atau terbawa dan/atau mengalami perbahan
(lebih berbahaya) di dalam media lingkungan (udara,air dan tanah), dan terakhir terpapar
ke dalam lingkungan (sumber daya alam/ekosistem) dan menimbulkan kerusakan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sebelum menghitung ganti kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan perlu dilakukan klarifikasi proses terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan identifikasi lingkungan yang terkena
dampak pencemaran dan/atau kerusakan.
1.Kegiatan ekonomi
Kegiatan ekonomi umumnya mencakup kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa
dengan maksud untuk mencari keunutngan; sedangkan kegiatan konsumsi barang maupun
jasa umumnya bertujuan untuk mendapatkan kepuasan. Semua jenis kegiatan ekonomi akan
menimbulkan baik dampak langsung yang berupa hilangnya atau rusaknya lingkungan
ataupun dampak tidak langsung yang berupa kerusakan lingkungan karena pencemaran yang
dhasilkan oleh perusahaan.
3. Kegiatan non-ekonomi
Kegiatan non-ekonomi pada umumnya tidak menginginkan adanya balas jasa atas pelayanan
yang diberikan, seperti kegiatan keagamaan, budaya, maupun kegiatan sosial termasuk
penanggulangan bencana alam dan penyelamatan korban bencana alam seperti menyediakan
pangan, pakaian, obat-obatan dan fasilitas lain dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini dapat
pula menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi mungkin tidak perlu
diperhitungkan ganti ruginya.
Baik kegiatan ekonomi, kegiatan tidak memenuhi kewajiban seperti yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan, maupun kegiatan non-ekonomi, semuanya memiliki dampak
lingkungan. Kemudian dampak lingkungan dapat berupa pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan serta kerusakan aset masyarakat termasuk hilangnya sumber kehidupan
masyarakat.
Selanjutnya pencemaran dan kerusakan lingkungan akan menciptakan berbagai jenis biaya
dan kerugian yang dapat digolongkan menjadi (Permen Nomor 7 tahun 2014):
a. Biaya Kewajiban;
b. Biaya Verifikasi dan Pengawasan;
c. Biaya Pemulihan Lingkungan;
d. Nilai Kerugian Lingkungan dan
e. Nilai Kerugian Masyarakat.
Biaya Kewajiban
Pencemaran atau rusaknya lingkungan dapat terjadi karena tidak patuhnya perusahaan atau
perorangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mengolah limbah dan
mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu mereka dituntut untuk merealisasikan
kewajibannya dengan membangun IPAL, IPU dan instalasi lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan sehingga menimbulkan biaya kewajiban. Biaya dikeluarkan untuk
keperluan ini ditanggung oleh para pengusaha atau peorangan yang berkepentingan
melakukan kegiatannya.
Pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, suatu tindakan seketika perlu
diambil untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan yang terjadi agar pencemaran
dan/atau kerusakan itu dapat dihentikan dan tidak menjadi semakin parah. Tindakan ini
dapat dilakukan oleh pelaku usaha/kegiatan dan/atau oleh pemerintah. Bilamana pemerintah
yang melakukan tindakan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan telah
mengeluarkan biaya untuk tindakan tersebut, maka jumlah seluruh biaya tersebut dapat
ditagihkan kepada pelaku usaha dan/atau kegiatan dan wajib untuk membayarnya
Lingkungan yang tercemar dan/atau yang rusak harus dipulihkan sedapat mungkin kembali
seperti keadaan semula sebelum terjadi pencemaran dan/atau kerusakan. Tindakan
pemulihan lingkungan ini berlaku bagi lingkungan publik yang menjadi hak dan wewenang
pemerintah serta lingkungan masyarakat yang mencakup hak dan wewenang perorangan
maupun kelompok orang.
Namun tidak semua lingkungan yang tercemar dapat dikembalikan pada kondisinya seperti
sebelum terjadi pencemaran atau kerusakan, namun pihak perusahaan ataupun perorangan
yang menimbulkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan wajib
mengusahakannya untuk pemulihan kondisi lingkungan tersebut. Dengan pemulihan kondisi
lingkungan diharapkan fungsi-fungsi lingkungan yang ada sebelum terjadi kerusakan dapat
kembali seperti asalnya. Namun perlu disadari bahwa terdapat berbagai macam ekosistem,
dan setiap ekosistem memiliki berbagai manfaat dan fungsi yang berbeda-beda, sehingga
usaha pemulihannya pun menuntut teknologi yang berbeda-beda pula dan ini menuntut
adanya biaya pemulihan lingkungan. Apabila pihak perusahaan dan/atau perorangan yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan merasa tidak mampu
melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan, maka ia wajib untuk membayar biaya
pemulihan lingkungan kepada pemerintah dengan ketentuan bahwa pemerintah atau
pemerintah daerah yang akan melaksanakan tugas pemulihan kondisi fungsi lingkungan
menjadi seperti keadaannya semula sebelum terjadi pencemaran dan kerusakan.
Kerugian Lingkungan
Pada saat lingkungan menjadi tercemar dan rusak, maka akan muncul berbagai dampak
lingkungan yang merupakan akibat dari tercemarnya ekosistem dan/atau kerusakan
ekosistem tersebut. Tercemarnya dan rusaknya lingkungan hidup ini meliputi lingkungan
publik (pemerintah) dan lingkungan yang terkait hak dan wewenang masyarakat baik secara
perorangan maupun secara kelompok. Semua dampak pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan tersebut harus dihitung nilai ekonominya, sehingga diperoleh nilai kerugian
lingkungan secara lengkap. Sebagai contoh jika terjadi kebocoran minyak dari kapal tanker,
maka ekosistem laut menjadi tercemar. Dampak selanjutnya dapat terjadi kerusakan
terumbu karang, kerusakan hutan mangrove atau kerusakan padang lamun, sehingga
produktivitas ikan oleh semua jenis ekosistem tersebut berkurang.
Hutan mangrove yang berfungsi sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak juga
berkurang, kapasitas hutan sebagai tempat pemijahan dan pengusahan ikan menuurun,
serapan karbon oleh hutan mangrove juga berkurang. Demikian pula apabila hutan alam
rusak atau ditebang akan timbul berbagai dampak lingkungan dalam bentuk hilangnya
kapasitas hutan dalam menampung air dan memberikan tata air, hilangnya kemampuan
menahan erosi dan banjir, hilangnya kapasitas hutan dalam mencegah sedimentasi,
hilangnya kapasitas hutan dalam menyerap/menrosot karbon, hilangnya habitat untuk
keanekaragaan hayati, dan bahkan hutan yang ditebang bila sampai terbakar dapat
menambah emisi gas rumah kaca (CO2). Terkait dengan kerugian lingkungan masyarakat
secara perorangan atau kelompok orang-orang, contohnya adalah tercemarnya lingkungan
tambak di mana masyarakat perorangan beraktivitas membudidayakan pertambakan
bandeng. Dengan adanya pencemaran tidak hanya usaha budi daya bandeng yang terganggu,
tetapi ekosistem atau lingkungan tambak termasuk kualitas tanah, kualitas perairan.
Kerugian Masyarakat
Yang dimaksud dengan masyarakat dalam butir ini adalah masyarakat sebagai individu atau
perorangan dan masyarakat sebagai kelompok orang-orang. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan seperti diuraikan di atas akan menimbulkan dampak ikutan yang berupa kerugian
masyarakat akibat rusaknya aset seperti peralatan tangkap ikan, rusaknya perkebunan dan
pertanian, rusaknya tambak ikan, serta hilangnya penghasilan masyarakat, dan sebagainya.
Akibat kerusakan peralatan tangkap ikan dan tambak ikan berarti bahwa sebagian atau
seluruh sumber penghasilan masyarakat di bidang perikanan akan terganggu sebagian atau
seluruhnya. Demikian pula bila ada pertanian atau perkebunan atau peternakan yang rusak
sehingga benar-benar merugikan petani dan peternak, maka semua kerugian tersebut harus
dihitung dan layak untuk diminta ganti ruginya.
FORMULA METODE PERHITUNGAN KERUGIAN AKIBAT PERUSAKAN DAN
PENCEMARAN
BIAYA VERIFIKASI
CVER = LA X CVha
di mana :
CFPA = Biaya Verifikasi (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
CVha = Biaya Verifikasi (Rp/ha)
2. Biaya revegetasi
Biaya revegetasi dihitung sampai lahan terdegradasi (lahan terbuka) pulih kembali
menjadi hutan.
CR = LA x C x T tahun
di mana:
CR = Biaya revegetasi (Rp)
LA = Luas lahan yang rusak (ha)
C = Indek biaya revegetasi (ha)
T = Rentang waktu keberhasilan revegetasi
CFPA = CR + CPMR
di mana :
CFPA = Biaya pembangunan dan pemeliharaan reservoir (Rp)
CR = Biaya pembangunan reservoir (Rp)
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)
di mana :
CUH = Biaya hilangnya unsur hara (Rp)
BUH = Biaya pembentukan unsur hara tahun dasar(Rp)
IH t = Indeks harga tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar
di mana:
CL = Biaya fungsi pengurai Limbah
BPL = Biaya pengurai limbah tahun dasar
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar
di mana:
Cgen = Biaya pemulihan genetik
Cgen = Biaya pemulihan genetika tahun dasar (Rp 410.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar
di mana:
Ccar = Biaya pelepasan karbon(Rp)
Ccard = Biaya pelepasan karbon tahun dasar (Rp/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
9. Biaya perosot karbon
Dengan adanya perusakan terhadap vegetasi di permukaan tanah maka terjadi penurunan
karbon yang tersedia (carbon lost), untuk itu perlu dipulihkan.3
di mana
Rcar = Biaya perosotan karbon
Rcard = Biaya perosot karbon tahun dasar
Tcar = Total carbon yang hilang
LA = Luas areal yang rusak
Dengan demikian formula penghitungan ganti kerugian pemulihan lingkungan adalah:
di mana :
CHTA : Biaya memulihkan fungsi tata air (Rp/m3)
KA : Kadar air m3/401m3 per ha
BHTA : Biaya memulihkan tata air tahun dasar (Rp/ha)
T : Tahun
LA : Lahan yang hilang/tidak berfungsi karena dirusak (ha)
IH1 : Indeks harga pada tahun terjadi kerusakan
IHd : Indeks harga tahun dasar
CR = VA x LA x MR
di mana :
CR = Biaya pembuatan reservoir (Rp)
VA = Volume air per Ha (m3/Ha)
LA = Lahan yang rusak/hilang sehingga tidak berfungsi ekonomi hilang (Ha)
MR = Biaya pemulihan reservoir (Rp/m3)
x LA
di mana :
CTA = Biaya pengaturan tata air (Rp)
BTA = Biaya tata air (Rp/ha)
IHt = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IHd = Indeks harga tahun dasar
LA = Luas lahan yang rusak
CPMR = T x LA x BPMR
di mana:
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)
T = Tahun
LA = Luas lahan yang rusak (ha)
BPMR = Biaya reservoir tahun dasar (Rp/ha/tahun)
Biaya pembentukan tanah
dimana :
CPT = Biaya pembentukan tanah (Rp)
CPT = Biaya pembentukan tanah (Rp /ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
di mana :
CUH = Biaya hilangnya unsur hara
BUH = Biaya pembentukan unsur hara (Rp. 4.610.000)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
CFPA = CR + CPMR
di mana :
CFPA = Biaya pembangunan dan pemeliharaan reservoir
CR = Biaya pembuatan reservoir (Rp)
CPMR = Biaya pemeliharaan reservoir (Rp)
di mana:
Cgen = Biaya pemulihan genetik
Bgen = Biaya pemulihan genetika tahun dasar(Rp 410.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
di mana:
CCar = Biaya pelepasan karbon
BCar = Biaya pelepasan karbon tahun dasar(Rp 90000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
Biaya erosi
IH t
CEr BEr LA
IH d
di mana :
Cer = Biaya erosi
BEr = Biaya pengendalian erosi tahun dasar(Rp.1.225.000/ha)
LA = Luas lahan yang rusak/hilang (Ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
di mana:
CBD = Biaya pemulihan biodiversity
BBD = Biaya pemulihan keanekaragaman hayati tahun dasar(Rp 2.700.000/ha)
IH t = Indeks harga pada tahun terjadinya kerusakan
IH d = Indeks harga tahun dasar
Dengan demikian formula penghitungan ganti rugi akibat nilai kerusakan lingkungan adalah:
KERUGIAN MASYARAKAT
Nilai Tanah
CNT = LA X Ct
di mana :
CNT = Biaya nilai tanah (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
Ct = Biaya tanah (Rp/ha)
Produktivitas Lahan
CPL = LA X CPR x T
di mana :
CPL = Biaya produktivitas lahani (Rp)
LA = Luas areal yang mengalami kerusakan (Rp)
CPR = Biaya produktivitas (Rp/ha)
T = Periode waktu perusakan atau pencemaran
Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang akibat tambang tanah merah laterite sebesar Rp
4.610.000 per ha. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang
tanah merah laterite yaitu hilangnya kemampuan hutan alam dalam pendaur ulang unsur hara.
Sehingga negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya pendaur ulang unsur hara (nutrisi) adalah
Biaya kehilangan sumberdaya genetik yang hilang karena tambang tanah merah laterite
sebesar Rp 410.000,- per ha, Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat
tambang tanah merah laterite yaitu hilangnya sumberdaya genetik. Sehingga negara harus
mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau berkurang berupa kehilangan
sumberdaya genetik adalah
a. Nilai tambang
Biaya nilai tambang yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp 50.000,-
per m3. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak akibat tambang tanah merah
laterite yaitu hilangnya tambang. Berdasarkan hasil anaisa didapatkan nilai tambang yang
mengalami kerusakan sebesar 300.000/m3. Sehingga kerugian keuangan negara akibat
hilangnya nilai tambang akibat pertambangan tanah merah laterite sebesar
Biaya hilang umur pakai lahan yang hilang karena tambang tanah merah laterite sebesar Rp
32.000.000,- per ha selama 100 tahun. Kerugian ekologis pada lahan hutan alam yang rusak
akibat tambang tanah merah laterite yaitu hilangnya umur pakai lahan. Sehingga negara
harus mengeluarkan biaya untuk mengganti hilangnya umur pakai lahan hutan alam sebesar
Jumlah 524.790.000
Sehingga yang biaya kerugian akibat kerusakan lingkungan akibat tambang tanah merah
laterite, dimana negara harus mengeluarkan biaya untuk mengganti barang yang musnah atau
berkurang berupa rusaknya ekologis/lingkungan adalah sebesar adalah Rp 59.443.440.000,-
Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Lembaran
Dokumen Negara RI. Jakarta.
Hardjasoemantri K. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 640 hal.
Joga N. 2002. Greenesia (Indonesia Hijau). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jordan C. F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Wiley & Sons.
New York.
Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak
Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta
Keraf A S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara Tindak
Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2006. Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. Kementerian Negara Lingkungan
Hidup, Jakarta.
Kepmen LH No. 210 tahun 2004 tentang Kriteria Kerusakan Hutan Mangrove.
Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun.
Kepmen LH No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Kerusakan Terumbu Karang.
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 152/KPTS/IV-BPHH/1993 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 153/KPTS/IV-BPHH/1993 tentang
Pedoman Penilaian dan Pengesahan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan.
Kitredge, J, 1948. Forest Influences, Mc, Graw-Hill Book Company, New York.
Kusmana C, Y. Setiadi, I. Hikwan, Istomo, O Rusdiana dan B. Wasis. 2014. Ekologi Hutan.
Materi Kuliah Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Laar AV and Akca A. 1997. Forest Mensuration. Cuviller Verlag, Germany. Gotingen.
Lee, R. 1980. Forest Hidrology. Columbia Press University. New York.
Lutz HJ and Chandler RF. 1965. Forest Soils. Printed in The United States of America.
New York
Notodarmojo S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB. Bandung
Nurdianti S. 2000. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Barrang Lompo Sulawesi Selatan.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun .
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah
untuk Produksi Biomassa
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan atau Lahan
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 74 tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan
Hidup
Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 13 tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 7 tahun 2014 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Rayes ML. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Soepardi EM. 2013. Pemahaman Pengelolaan Keuangan Negara dan Tindak Pidana Korupsi.
BPKP. Jakarta
Soerianegara, I dan Indrawan A. 1983. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Singarimbun M dan Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai Perairan Indonesia. Puslitbang
Oseanologi LIPI. Jakarta.
Syahrin A. 2011. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. PT Sofmedia. Medan
Tan KH. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc. New York
Undang Undang Nomor : 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Nomor : 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Nomor : 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Negara Republik Indonesia
Undang Undang Nomor : 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan. Negara Republik Indonesia
Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Negara Republik Indonesia.
Walker ICG. 1980. The Oxygen Cycle in The Natural Enviromental and The
Biogeochemical Cycles . Springer Verlag, Berlin. Federal Republic of Germany.
Wasis B. 2006. Identifikasi dan Penapisan Dampak pada Permasalahan Lingkungan Hidup
serta Penerapan Isu Isu Lingkungan Hidup. Indonesia-Australia Specialised Training
Project Phase III. Jakarta.
Wasis, B.dan Noviani, D. (2010). Pengaruh pemberian pupuk NPK dan kompos terhadap
pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) pada media tanah
bekas tambang emas (tailing). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 15(1): 14–19.
Retrieved from http://journal.ipb.ac.id/index.php/ JIPI/article/view/6563
Wasis B. 2012. Soil Properties in Natural Forest Destruction and Conversion to Agricultural
Land in Gunung Leuser National Park, North Sumatera Province. JMHT XVIII(3) :
206-212
Wasis B. and Andika A. (2017). Growth response of mahagony seedling (Swietenia
macrophylla King.) to addition of coconut shell charcoal and compost on ex-sand
mining site of West Java Province in Indonesia. Archives of Agriculture and
Enviromental Science 2(3): 238-243.
Wasis B. Arifin and Winata. 2018a. Impact of Bauxite Mine to Natural Forest Biomass and
Soil Properies in Kas Island, Riau Island Province in Indonesia. Archives of
Agriculture and Environmental Science 3(3): 264-269.
Wasis B., Saharjo B.H., Kusumadewi F., Utami N. H., Putra M.H. W. . 2018b. Analysis of
economic valuation of environmental damage due to sand mine in Gumulung
Tonggoh, Cirebon District, West Java Province, Indonesia. Archives of Agriculture
and Environmental Science 3(4): 360-366