You are on page 1of 14

Al-Mada; Jurnal Agama, Sosial dan Budaya

ISSN: (e) 2599-2437


V0l. 3, No. 1 (2020); pp. 66-79
DOI: https://doi.org/10.31538/almada.v3i1.500

TRADISI SUROAN SEBAGAI TAPAK TILAS WALISONGO


(STUDI DI DESA JATIREJO KECAMATAN SURUH KABUPATEN
SEMARANG)

Damar Safera
Institut Agama Islam Negeri Salatiga
damarsafera@gmail.com

Muhammad Chairul Huda


Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang
choirulhuda@iainsalatiga.ac.id

Abstract
Tradition is a pattern of behavior that has deep roots in a society or can be interpreted as a habit that has long
been carried out by a certain community in an area, which means carrying out the tradition means also carrying
out the process of socialization between generations. Eachs region has a different culture. One of the traditions that
is still carried out by the people in Jatirejo Village is the Suroan tradition or commonly called 1 Muharram. The
Suroan tradition is a traditional Javanese ceremony in welcoming the Javanese new year which is a cultural
assimilation of Javanese culture and Islamic culture carried out by Sultan Agung. People in the village of Jatirejo
themselves celebrate it with various forms of activities carried out each year.Suroan tradition which aims to express
gratitude to Allah SWT, asking for fortune to be given blessings and gratitude for the harvest and most
importantly, so that villagers avoid all kinds of dangers and diseases that afflict or reject. The implementation of
the Suroan tradition in the village of Jatirejo, begins with a deliberation between residents and local village
officials, then the main event of the Suroan and closing traditions.As for the problem formulation in this study is
"how are the economic and religious motives implications in the implementation of the Suroan tradition in the
community of Jatirejo Village, Suruh District, Kab. Semarang ".
Keywords: Culture, Tradition, Walisongo

Abstrak
Tradisi merupakan suatu pola tingkah laku yang telah berakar mendalam dalam suatu masyarakat
atau bisa diartikan sebagai kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh suatu masyarakat tertentu
dalam suatu daerah, yang berarti melaksanakan tradisi berarti juga melaksanakan proses sosialisasi
antar generasi. Setiap daerah mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satu tradisi yang
masih dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Jatirejo adalah tradisi Suroan atau lebih sering
dikenal dengan 1 Muharram. Tradisi Suroan merupakan upacara tradisional Jawa dalam
menyambut tahun baru Jawa yang merupakan asimilasi budaya dari budaya Jawa dan budaya
Islam yang dilakukanoleh Sultan Agung. Masyarakatdi desa Jatirejo sendiri merayakanya dengan
berbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan setiap tahunnya. Tradisi Suroan yang bertujuan
untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT, meminta rejeki agar diberikan keberkahan
serta rasa syukur warga atas hasil panen dan yang paling penting yaitu agar warga desa terhindar
dari segala bahaya dan penyakit yang menimpa atau tolak-balak. Pelaksanaan tradisi Suroan di
Desa Jatirejo, Diawali dengan melakukan musyawarah antar warga dan perangkat desa setempat,
kemudian pelaksanaan acara inti dari tradisi Suroan dan penutup. Adapun yang menjadi rumusan

http://e-journal.ikhac.ac.id/index.php/almada/index
masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah implikasi motif ekonomi dan keagamaan
dalam pelaksanaan tradisi Suroan pada masyarakat Desa Jatirejo Kecamatan Suruh, Kab.
Semarang”. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan yang
digunakan adalah teknik observasi partisipasi, dokumentasi dan wawancara. Sedangkan teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif. Hasil dari analisis data dalam
artikel ini menunjukkan bahwa tatacara pelaksanaan tradisi Suroan di Desa Jatirejo beraneka
ragam, keberagaman ini akibat dari implikasi motif ekonomi dan keagamaan yang mempengaruhi
pelaksanaannya. Walaupun ada berbedaan akan tetapi tidak menghilangkan tujuan dan makna
dari pelaksanaan tradisi Suroan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Jawa di Desa Jatirejo,
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.

Kata kunci: Budaya, Tradisi, Walisongo

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang besar dan memiliki keanekaragaman suku, agama, ras
dan kebudayaan.1 Dari ratusan suku yang terdapat di Indonesia, salah satunya adalah suku Jawa2.
Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia.3 Dalam perkembangan kebudayaan masyarakat
Jawa terdapat akulturasi dengan berbagai bentuk kebudayaan lain yang masuk dan mempengaruhi
tradisi masyarakat Jawa.4 Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai bentuk
unsur budaya dan agama yang bermacam-macam.5 Masyarakat Jawa memiliki aktualisasi
kebudayaan yang beragam, hal ini dikarenakan motif agama, sosial, hukum, ekonomi dan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaannya6.
Masing masing suku dalam sebuah daerah, memiliki berbagai macam tadisi yang berbeda
antara suatu tradisi dengan tradisi yang lainnya. Adapun ciri khas yang dimilki masing-masing
suku ataupun daerah tersebut di satu pihak ada yang masih mempertahankan tradisi disuatu
masyarakat itu dan tidak mengalami perubahan sama sekali, dipihak lain ada yang mengalami
perubahan bahkan ada yang tidak melestarikan sebagai tradisi di masyarakat tersebut.7 Dalam
tradisi Suku Jawa, salah satu tradisi yang masih dipertahankan yaitu Ritual Bulan Suro (Asy-Syuro)
yang lebih akrab dikenal dengan tradisi Suroan, tradisi ini dilakukan masyarakat untuk
menghindari kesialan, bencana, musibah. Tradisi ini dilakukan dengan disertai berbagai macam
1 Nordin, N. H. (2018). Ritual Bajamu Pada Etnis Melayu di Desa Sei Sanggul Kecamatan Panai Hilir Kabupaten
Labuhan Batu (Doctoral dissertation, UNIMED).
2 Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa

Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 2(1), 28-35.
3 Pitoyo, A. J., & Triwahyudi, H. (2017). Dinamika Perkembangan Etnis di Indonesia dalam Konteks

Persatuan Negara. Populasi, 25(1), 64-81.


4 Azis, D. K. (2013). Akulturasi Islam dan Budaya Jawa. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus.
5 Hartono, H., & Firdaningsih, F. (2019). Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa dalam Ritual Sedekah

Laut di Pantai Pedalen Kabupaten Kebumen. IBDA: Jurnal Kajian Islam dan Budaya, 17(2), 364-380.
6 Landriany, E. (2019). Tindakan Sosial Berorientasi Nilai dalam Pelestarian Lingkungan (Studi Etnografi

Komunitas Peduli Lingkungan Di Dusun Lemah Putih Desa Sumber Brantas Kecamatan Bumiaji Kota Batu) (Doctoral
dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
7 Muttaqi, U. K. (2016). Rancang bangun konverter kalender Hijriah ke kalender Masehi untuk memperkirakan hari

besar umat Islam menggunakan Matlab (Doctoral dissertation, UIN Walisongo).


Volum 3, Nomor 1, Januari 2020 | 76
kegiatan lain, seperti halnya haul (pengajian), brokohan (acara syukuran atau slametan), malam
tirakatan, pawai ta’aruf (karnaval) dan sebagainya.
Di Desa Jatirejo, masyarakat masih menjaga dan melestarikan kegitan Suroan tersebut.
Sehingga masyarakat yang ada di Desa Jatirejo Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang masih
memperingati Tradisi Suroan tersebut setiap tahunnya. Bagi umat Islam, tanggal 1 Muharram
(dalam kalender Hijriyah) atau lebih dikenal dengan 1 Suro merupakan bulan yang suci, karena
dianggap sebagai bulan yang baik untuk memperbaiki diri dan ungkapan rasa syukur kepada
Allah SWT atas kenikmatan dan keberkahan hidup. Dalam sistem kalender Hijriah tanggal 1
Muharram merupakan awal tahun baru Islam. Selain menggunakan sistem kalender Hijriah,
masyarakat Jawa-Islam juga menggunakan sistem kalender Jawa yang dibawa sejak masa
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645M).8
Pandangan masyarakat Jawa terhadap bulan Suro sering dianggap sebagai bulan baik,
namun juga sering disebut sebagai bulan yang penuh mara bahaya.9 Bagi pemilik keris biasanya
keris tersebut harus dicuci atau dimandikan (dicuci) dengan air kembang (bunga) lengkap dengan
kemenyan, dupa serta ubo rampe yang lain saat malam satu Suro.10 Desa Jatirejo dipilih dalam
penelitian ini karena di desa tersebut melaksanakan tradisi Suroan setiap tahun dan tempat yang
di gunakan memiliki keunikan tersendiri, yakni tempat yang dipercaya masyarakat sebagai
“petilasan” Walisongo atau sering disebut sebagai Balai Panjang.
Berdasarkan uraian diatas dapat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut;
pertama, bagaimana tata cara pelaksanaan Tradisi Suroan di Desa Jatirejo Kabupaten Semarang;
kedua, bagaimana makna dan nilai yang terkandung dari adanya pelaksanaan Tradisi Suroan;
ketiga, bagaimana implikasi motif ekonomi dan keagamaan dalam pelaksanaan tradisi Suroan
pada masyarakat Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Tujuan penelitian ini
adalah; pertama, untuk mengetahui tata cara pelaksanaan Tradisi Suroan di Desa Jatirejo; kedua,
untuk mengetahui makna dan nilai yang terkandung dari adanya pelaksanaan tradisi Suroan;
ketiga, untuk mengetahui implikasi ekonomi dan keagamaan dalam pelaksanaan tradisi Suroan
pada masyarakat Desa Jatirejo Kabupaten Semarang.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah teknik observasi partisipasi, dokumentasi dan wawancara. Informan
dari penelitian ini adalah Fahrurrazi Alwi (42 tahun) yang merupakan tokoh agama Desa Jatirejo,
Anwar Hidayat (45 tahun) yang merupakan Kepala Dusun Desa Jatirejo, Rizal (36 tahun)

8 Masruhan, M. (2017). Islamic Effect on Calender of Javanese Community. Al-Mizan, 13(1), 53-68.
9 Sholikhin, M. (2010). Misteri bulan Suro: perspektif Islam Jawa. Penerbit Narasi.
10 Japarudin, J. (2017). Tradisi Bulan Muharam di Indonesia. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan

Sejarah Islam, 2(2), 167-180.


68|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
sebagai salah satu ketua rukun tetangga (RT), Jaelani (53 tahun) warga masyarakat, Nurul lailatul
Badriyah (20 tahun) merupakan peserta festival yang menjadi “mayoret drumblek”.

PEMBAHASAN
Profil Desa Jatirejo Kec. Suruh, Kab.Semarang
Desa Jatirejo merupakan sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Suruh, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Suruh sendiri terdiri dari 17 Desa dengan
kepadatan 944 jiwa per-kilometer persegi dengan luas 64,02 kilometer persegi. Dari Ibu Kota
Kabupaten Semarang yakni Kota Ungaran, Desa Jatirejo berjarak 33 kilometer melalui arah
tenggara setelah Kota Salatiga, dan dari kota Surakarta berjarak sekitar 40 kilometer kearah barat
daya jalur ke arah Kota Semarang.11
Desa Jatirejo memiliki beberapa potensi unggulan yang berkontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat, diantaranya adalah pertanian. Dalam bidang pertanian ini
mampu meningkatkan pendapatan penduduk, karena di Desa Jatirejo memiliki area lahan
persawahan yang cukup luas dan subur, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan lahan tersebut
untuk menanam padi, jagung, palawija, sayuran dan buah-buahan. Dari sektor pertanian tersebut
masyarakat Desa Jatirejo dapat memperoleh hasil dari panen tanaman, sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.12
Dalam bidang industri, sebagian masyarakat memproduksi berbagai macam makanan
dalam home industry, yakni berupa industri kerupuk, tahu bakso, industri tempe dan terdapat
beberapa masyarakat yang terampil dalam hal menjahit sehingga membuka usaha di rumah. Desa
Jatirejo juga memiliki potensi unggulan di bidang wisata meliputi kuliner dan wisata religi yaitu:
Sendang Pancuran Pitu Kali Klewon, Balai Panjang, Masjid Agung Jati (Sekarang Masjid
Baiturrakhim), Makam Sunan Jati, Makam Petik Penawangan, Makam Kyai Jati, Makam Kun
Razikin. Desa Jatirejo juga memiliki agenda rutin desa yakni, Sadranan, Suroan, Peringatan Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia Merti Desa dan Punggahan.13

Sejarah Desa Jatirejo yang diyakini Masyarakat


Menurut Fahrurrazi, ceritera tutur (folklore) yang berkembang dan dipercayai oleh
masyarakat Desa Jatirejo berawal dari Abad ke-14 Masehi. Ketika itu Sunan Kalijaga berdakwah
ke berbagai wilayah di Pulau Jawa. Sunan Kalijaga adalah salah seorang dari dewan Walisongo
yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Pada saat berdakwah Sunan

11 Data Kelurahan Desa Jatirejo, Kecaman Suruh, Kab.Semarang Tahun 2019.


12 Wawancara dengan Anwar Hidayat (2019).
13 Ibid.

| 76
Volum 3, Nomor 1, Januari 2020
Kalijaga didampingi tiga orang pengikutnya, yaitu: Syech Somadun, Nur Salim dan Petik
Penawangan. Ketika sampai diwilayah tujuan mereka singgah sejenak. Pengikut Sunan Kalijaga
diperintahkan untuk mencari informasi siapakah yang menguasai wilayah tersebut. Ketika para
pengikut tersebut telah mendapatkan informasi bahwa yang berkuasa di wilayah itu bernama
Demang Mangu Suropawiro, kemudian para pengikut tersebut menghadap kepada Sunan
Kalijaga. Saat rombongan ingin bertamu ke rumah Demang Mangu Suropawiro, mereka berniat
dengan jalan dakwah ingin mensyiarkan Ajaran Agama Islam. Sesampainya disana mereka dijamu
dengan baik oleh Demang Mangu Suroparwiro. Sunan Kalijaga beserta pengikutnya menjelaskan
tujuan dan maksud kedatangannya. Singkat cerita, Demang Mangu Suropawiro tertarik dengan
ajaran Agama Islam dan kemudian mendirikan masjid sebagai sarana tempat ibadah. Setelah
Demang Mangu Suropawiro memeluk Agama Islam kemudian berganti nama menjadi Ihsanul
Ibrahim.14
Lebih lanjut Fahrurrozi mengatakan, Rencana pembangunan masjid berlanjut pada
penentuaan tempat. Demang Mangu Suroprawiro bermusyawarah dengan Sunan Kalijaga.
Disepakatilah wilayah timur desa sebagai rencana tempat pendirian masjid. Pada saat itu Sunan
Kalijaga memukul batu yang ada di tempat tersebut maka mengalirlah mata air tujuh pancuran
yang rencananya untuk tempat wudhu nantinya. Sekarang tempat tersebut sering disebut
“Sendang Kali Klewon”. Setelah masjid tersebut berdiri dan Agama Islam berkembang, wilayah
tersebut menjadi ramai. Lalu Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan menuju Demak. Wilayah
tersebut diberi nama oleh Sunan Kalijaga dengan sebutan “Jatirejo”, karena berasal (cikal bakal)
dari daerah yang banyak pohon jati. Setekah di bangun menjadi masjid dan menjadikan wilayah
tersebut “Rejo” atau dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan ”ramai”. Demang Ihsanul Ibrahim
diperintahkan untuk melanjutkan memimpin di wilayah tersebut dan diberi gelar ”Sunan Jati”.
Sedangkan ke-tiga pengikutnya diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk membantu Sunan Jati
untuk bersyiar dan mengajarkan agama di wilayah tersebut.15
Selanjutnya pegikut Sunan Kalijaga yang bernama Syech Somadun diberi gelar “Kyai Jati”
dikarenakan ilmu agamanya dianggap cukup oleh Sunan Kalijaga. Petik Penawangan
diperintahkan oleh sunan kalijaga untuk mengumandangkan adzan setiap tiba waktu sholat.
Sedangkan Nur Salim diberi gelar ”Kun Razikin” oleh Sunan Kalijaga. Petilasan (artefak sejarah)
tersebut sampai sekarang masih tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat dan pemerintah Desa
Jatirejo.16

14 Wawancara dengan Fahrurrozi (2019).


15 Ibid
16 Wawancara dengan Fahrurrozi, lihat juga dalam https://website-desa-jatirejo-web.app/

70|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
Sejarah Masjid Agung Jati (Masjid Baiturrakhim)
Masjid Agung Jati dipercaya oleh masyarakat Desa Jati didirikan oleh Sunan Kalijaga.
Fahurrazi mengatakan bahwa dahulu gurunya yang bernama Hafik Amin (seorang kiai dan
sesepuh desa) mengatakan bahwa Masjid Agung Jati di dirikan Sunan Kalijaga sekitar tahun 1450
M. “saat hendak membangun masjid, Sunan Kalijaga mengajak beberapa tokoh masyarakat
berdiskusi di Balai Panjang”. Di Balai yang tak jauh dari lokasi masjid, Sunan Jati (pendiri Desa
Jatirejo) juga terlibat dalam perbincangan pembangunan masjid, yang dipercaya dibangun pada
hari kamis. Lalu, pada keesokan harinya, Jumat Legi, diadakanlah syukuran dibalai panjang.17
Syukuran inilah yang kemudian diperingati oleh warga setempat pada setiap Jumat Legi untuk
meminta berkah hingga sekarang. “dulu setiap Jumat Legi di lokasi Balai Panjang banyak orang
yang berjualan makanan, jenang, kembang, maupun mereka yang menyebar uang. Bahkan
ditempat itu juga digelar seni Reog”.18
Diceritakan, dalam masjid ada beberapa kejadian unik yang terkadang sulit diterima akal
sehat. Setiap menjelang waktu sholat Asar, ada yang bermain-main dengan pukulan kentongan
diserambi masjid, tetapi wujudnya tidak terlihat. “pernah ada sebatang kayu masjid yang dicuri
saat dilakukan rehab. Tetapi kayu tersebut kembali lagi ketempatnya.” Kata Hafik dalam
perkembangannya, masjid tersebut sudah mengalami beberapa kali perbaikan. Anwar Hidayat
mengatakan bahwa yang masih asli dari peninggalan Sunan Kalijaga adalah tongkat khotbah dan
salah satu tiang yang sekarang disimpan diatap masjid.19

Pelaksanaan Tradisi Suroan di Desa Jatirejo Suruh, Kab. Semarang


Proses pelaksanaan tradisi Suroan ini dilakukan melalui beberapa tahapan atau tata cara
yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penutup. Kegiatan persiapan yang dilakukan masyarakat
diawali dengan adanya penentuan waktu dan tempat pelaksanaan acara Suroan, kemudian
musyawarah antar warga dalam pembentukan kepanitian, masalah dana yang diperlukan dan
perlengkapan yang diperlukan dalam Suroan. “Dananya untuk kegiatan Suroan untuk tahun
kemarin iuran dari kas pemerintah desa, tapi yang tahun sebelumnya dari masyarakat ditambah,
tapi kemungkinan besar untuk tahun selanjutnya akan dibiayai dari desa.”20
Hasil observasi peneliti, pelaksanaan tradisi Suroan ini dimulai dengan pawai ta’aruf. Para
peserta berkumpul tepat pukul 08.00 WIB di Dusun Dukuh. Ratusan warga desa mengikuti
pawai ta'aruf (karnaval) yang dilaksanakan dalam rangkaian acara memperingati Tahun Baru

17 Fahurrozi, op.cit.
18 Wawancara dengan Anwar Hidayat.
19 Ibid.
20 Ibid.

| 67
Volum 3, Nomor 1, Januari 2020
Islam 1 Muharram dari enam dusun di Desa Jatirejo ikut berpartisipasi dalam kegiatan tradisi
Suroan tersebut. Pawai ta'aruf tersebut berlangsung meriah.para peserta karnaval diberangkatkan
pukul 08.00 WIB. Mulai dari Dusun Dukuh, Gedhongan, lalu Dusun Krajan, melewati Dusun
Klewonan, lalu Dusun Gruneng hingga sampai Dusun tepatnya di Bale Panjang.
Peserta pawai ta‟aruf berjalan kaki menempuh rute sepanjang satu kilometer, mulai dari
Dusun Dukuh hingga Dusun. Iring-iringan karnaval tersebut diawali rombongan pembawa panji-
panji bertuliskan ayat Al-Qur‟an yang mengenakan pakaian ala Walisongo. Di belakangnya,
diikuti berbagai kesenian, berbagai replika Kabah, masjid dan replika Al-Qur‟an. Selain itu, juga
ada gunungan yang berisi beranekaragam hasil pertanian seperti tumbengan, sayur dan buah-
buahan. Salah satu kesenian yang paling mendapatkan perhatian dan menarik adalah Tari
Kuntulan (angguk). Sebab, kesenian ini terbilang langka dan hampir punah. Para penarinya juga
kebanyakan adalah para orang tua. Mereka memakai pakaian putih berumbai warna-warni,
memakai peci dan kacamata hitam serta membawa kipas ditangannya. Kesenian Tari Kuntulan
atau rodad turut serta memeriahkan kegiatan pawai ta‟aruf menyambut tahun baru Hijriyah.
Diiringi rebana dan lantunan syair-syair Jawa serta shalawat, mereka menari
menyesuaikan ritmis dan secara dinamis. kegiatan ini selain bertujuan mempererat silaturahim
antar-warga, juga bertujuan mengingatkan umat muslim agar memperbaharui lembaran hidup
dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang lebih baik, tidak hanya syiar Islam, pawai ta'aruf ini
juga mengusung pesan kepedulian terhadap lingkungan dan sosial.21
Pada pawai ta‟aruf ini salah satunya ditampilkan oleh berbagai grup Drumblek yang salah
satunya adalah grup Drumblek Laskar balai panjang, Drumblek yakni aneka tetabuhan dari
bahan-bahan bekas seperti tong bekas, blek, kaleng, bambu, hingga kentongan. Dengan
koreografi yang cantik, berbagai barang bekas tersebut ternyata bisa menghasilkan musik yang
rampak dan dinamis. Selain musik, pesan mencintai lingkungan juga di tampilkan oleh sejumlah
peserta yang memakai kostum dari koran bekas. Peserta pawai ta‟aruf menyambut tahun baru
Hijriyah di desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, melewati persawahan, Salah
satunya diperagakan oleh Nurul Lailatul Badriyah.
Menurut Badriyah, untuk membuat satu kostumnya dibutuhkan sekitar 200 hingga 300
lembar lebih koran bekas dengan lama pembuatan memakan waktu hingga dua pekan. Dengan
kostum koran tersebut, Badriyah ingin mengajak generasi muda lebih peduli pada kelestarian
lingkungan. dilanjutkan di Petilasan Sunan Kalijaga Setelah menggelar karnaval budaya dengan
menampilkan berbagai seni budaya masyarakat setempat.22

21 Wawancara dengan Jaelani


22 Wawancara dengan Nurul Lailatul Badriyah
72|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
Peringatan tahun baru Islam 1 Muharram di Desa Jatirejo masih berlanjut pada malam
hari. Warga menggelar pengajian akbar dan haul, susunan acaranya yang meliputi: pembukaan,
istighosah, yasinan, tawassul manaqib, manaqib, tahlil dan zikir, pembacaan ayat-ayat suci Al-
Qur‟an dan sholawat Nabi Sambutan-sambutan, istirahat, bersama hidangan yang selalu wajib
ada yaitu “ayam ingkung” yang melambangkan pengorbanan yang tulus dan ucapan terimakasih
baik kepada Allah maupun leluhur yang telah memberikan keselamatan dan perlindungan. Hal ini
mengandung pesan agar manusia harus tahu terimakasih kepada siapa saja yang telah berbuat
baik serta harus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya.
Fahrurrazi mengatakan bahwa :

“Sego tumpeng iku disuguhake seko sego seng digawe krucut, coro nggawene iku sego didang lan
dibentuk nganggo cetakan lan ditoto karo maneko warno lawuh, koyo dene, dNog pitik, ndog gemak,
tahu, tempe, gereh asin, ayam goreng, perkedel kentang, sambel klopo, mie jagung, lan klubanan, lan
tumpeng iku mau di hiasi nganggo maneko warno sayuran koyo dene tomat, timun, lombok,
slada,wortel den dibentuk maneko warno tumpeng disuguhake nganggo tampah seng kagawe soko
anyaman pring.”

Dalam tradisi Suroan masyarakat Jatirejo, Nasi Tumpeng disajikan dengan nasi yang
dibentuk kerucut, pembuatannya dengan cara nasi dikukus dan dibentuk dengan cetakan dan di
tata dengan berbagai macam lauk pauk, seperti telur( sebagai lambang dari wiji aji atau benih
terjadinya manusia), tahu, tempe, ikan asin, ayam goreng, perkedel kentang, Sambal kelapa, mie
jagung,dan urap, serta tumpeng dihias dengan berbagai macam sayuran, seperti bayam (sebagai
simbol kehidupan manusia agar sejahtera dan tentram), kangkung (sebagai simbol manusia
makhluk linakung atau tingkat tinggi), tomat (sebagai wujud perbuatan yang benar), kecambah
(simbol manusia yang akan tumbuh) timun, lombok tropong atau cabai merah (sebagai simbol
menegakkan kebenaran tuhan atau keberanian), kacang panjang (manusia supaya berfikir
panjang) slada, wortel yang dibentuk dengan bervariasi. Tumpeng disajikan dalam nampan
besar, berbentuk bulat, terbuat dari anyaman bambu).
Tumpeng yang bentuknya segi tiga melambangkan gunung, yang erat hubungannya
dengan sesuatu yang bersifat spiritual. Bentuk segitiga juga merupakan hubungan antar manusia,
alam, dan Sang Pencipta, jumlah lauk yang diletakkan di sekeliling tumpeng tersebut juga
memiliki arti tersendiri, Angka tujuh dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah pitu, atau
pitulungan yang berarti adalah pertolongan, tujuh jenis lauk yang dihidangkan bersama tumpeng
merupakan simbol do‟a dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi kelancaran

| 67
Volum 3, Nomor 1, Januari 2020
dalam melaksanakan segala sesuatu dan susunan acara terakhir yaitu Mauidhoh hasanah dan
Do‟a.23
Haul ini bertujuan untuk peringatan hari wafatnya Sunan Jati, yakni tokoh penyebar
agama Islam di desa tersebut yang konon hidup di era Wali Songo. Kegiatan Haul Sunan Jati
bertempat di Balai Panjang di kompleks pemakaman sesepuh desa Jatirejo, Balai Panjang adalah
sebuah gubuk jati yang diyakini oleh warga pernah menjadi tempat musyawarah untuk
membangun masjid Baiturrahim Jatirejo, antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Jati, syekh petik
penawangan, syekh kurozikin, syekh somadun dan beberapa pengikutnya. Balai panjang ini setiap
Jumat Legi pagi banyak di datangi warga luar desa untuk berdoa. Selain Balai Panjang, petilasan
Sunan Kalijaga dan Sunan Jati yang masih bisa ditemui di Desa Jatirejo adalah Masjid Jatirejo,
Wajan Raksasa, tombak peninggalan Sunan Kalijaga. Ada juga makam Khotib Penawangan, yakni
seorang utusan kerajaan Demak yang ditugasi mencari keberadaan Sunan Kalijaga di Desa
Jatirejo. Wajan raksasa dan tombak disimpan di masjid. Kalau tombaknya masih dipakai oleh
khatib di mimbar setiap pelaksanaan sholat jumat. Kegiatan pawai ta'aruf dan Haul Sunan Jati di
desa Jatirejo merupakan salah satu potret budaya masyarakat di Jawa Tengah dalam rangka
menyambut Tahun Baru Hijriah.

Gambar. 1 Gambar. 2 Gambar. 3

Masjid Agung Jati Pawai Ta‟aruf Petilasan Sunan Kalijaga

Makna Pelaksanaan Tradisi Suroan di Desa Jatirejo


Tidak semata–mata kegiatan budaya, banyak pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan
Suroan yang salah satunya pawai ta‟aruf menyambut tahun baru ini. Selain bermakna sebagai
peninggalan leluhur dan sejarah, kegiatan ini juga membawa pesan agar warga membuat
perubahan kearah yang lebih baik, seperti menjaga alam dan kelestarian lingkungan dan
memperoleh keselamatan. Sesuatu yang sejalan dengan spirit Hijriah, yakni berhijrah menuju arah

23Febi Anindya Kirana, “Sejarah dan Filosofi Ayam Ingkung”, di Akses dari
https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3870155/sejarah-dan-filosofi-ayam-ingkung-lauk-utama-
tumpeng-dalam-adat-jawa, Pada Tanggal 13 September 2019 Pukul 13.00.
74|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
yang lebih baik. Dan perlu diingat satu suro atau trasidi Suroan ini perlu dipertahankan karena
bermuatan tradisi lokal, yang mengandung dimensi ekonomi maupun sosial yang bercorak
spiritualitas. Tradisi suroa ini juga menjadi bagian dari transformasi nilai-nilai budaya lokal.

Implikasi Suroan dalam Perspektif ekonomi dan keagamaan pada masyarakat Desa
Jatirejo, Kecamatan Suruh
Implikasi Suroan dalam perspektif ekonomi yang berkaitan dengan tradisi Suroan tapak
tilas walisongo sendiri yaitu dalam perspektif ekonomi seluruh masyarakat turut berperan aktif
atau berpartisipasi dalam memeriahkan acara Suroan (Tahun Baru islam) walaupun dari kalangan
ekonomi yang berbeda. Dan dilihat dari perspektif keagamaan yaitu akan tumbuh rasa toleransi
dan saling berbagi tanpa memandang dari latar belakang yang berbeda.
Tradisi Suroan Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, manusia dituntut bukan hanya untuk beriman saja dan rukun-rukun iman
tidak untuk dijadikan semboyan dan slogan saja, akan tetapi Islam menuntut agar iman itu
dibuktikan dalam perbuatan nyata. Sedang pembuktian dan realisasi daripada iman itu ialah
mengerjakan semua petunjuk dan perintah Allah dan Rasul berdasar atas kemampuan maksimal,
serta menjauhi segala larangannya, tanpa ditawartawar. Para ulama dalam meluruskan aqidah
masyarakat tidak perlu melarang atau menghapus tradisi yang ada, bahkan dalam Syarah Muslim
Imam Nawawi menyebut Muharram atau suro merupakan bulan yang paling utama untuk
berpuasa, setelah bulan Ramadhan, keterangan dalam Hadist riwayat Muslim.
Menurut pandangan Islam Bulan Muharram atau Bulan Suro adalah bulan pelipat
gandaan, artinya semua amal shalih yang dikerjakan seperti tradisi Suroan tapak tilas walisongo di
Desa Jatirejo,suruh, Kab. Semarang ini akan berlipat-lipat ganda pahalanya. Oleh sebab itu,
amaliah utama di bulan suro yang seharusnya dilakukan dibulan muharam atau suro adalah
menjauh dari perbuatan zhalim dan mendekati pada perbuatan takwa (Surat al-Taubah[9]: 36)
yang berbunyi:

َ َ ٌ َ ٓ ۡ َ َۡ َ َ َّ ‫ٱَّللِ يَ ۡو َم َخلَ َق‬


َّ َ ٗ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َّ َ ُ ُّ َ َّ َّ
‫ ذَٰل ِك‬ٞۚ ‫ت َوٱۡلۡرض نِي َها أ ۡر َب َعة ُح ُرم‬
ِ َٰ ‫ٱلسمَٰو‬ ِ َٰ‫إِن عِدة ٱلشهورِ عِيد ٱَّلل ِ ٱثيا عَش شهرا ِِف لِت‬
‫ب‬
َ َّ ‫ٱعلَ ُه ٓوا ْ أَ َّن‬
َ َ ‫ٱَّلل َن‬
ۡ َ ٗ َّ َ ۡ ُ َ ُ َٰ َ ُ َ َ ٗ َّ َ َ
‫ و‬ٞۚ ‫َشك ِني لٓافة لها يقتِلوىكم لٓافة‬
ۡ ُ ۡ ْ ُ َٰ َ َ ۡ ُ َ ُ َ َّ ْ ُ َۡ ََ َُّۡ ُ ّ
ِ ‫م وقتِلوا ٱله‬ٞۚ ‫م فَل تظل ِهوا فِي ِهو أىفسك‬ٞۚ ِ ‫ٱلِيو ٱلقي‬
َ ‫ٱل ۡ ُه َّتق‬
. ‫ني‬ِ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu

Volum 3, Nomor 1, Januari 2020 | 67


semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa”.

Dari ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tradisi Suroan dalam pandangan
Islam sangat dianjurkan karena memiliki manfaat atau maslahat dibanding madharat (keburukan).

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Tradisi Suroan


Dalam setiap budaya atau tradisi tentunya ada beberapan nilai-nilai yang terkandung di
dalam tradisi tersebut. Begitu juga pada tradisi peringatan bulan 1 Muharram atau bulan suro,
dari pemaparan diatas banyak sekali nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi Suroan tapak tilas
walisongo. Nilai-nilai yang terkandung antara lain:
Pertama, dalam tradisi Suroan tapak tilas Walisongo ini terdapat nilai pendidikan sejarah.
Yaitu sejarah Masjid Baiturrakhim yang di bangun Sunan Kalijaga dan pengikutnya sekitar tahun
1450 M. Nilai-nilai sejarah ini bisa dilihat dari cerita perjuangan Sunan Kalijaga dalam dakwah
Islamnya. Selain itu bisa dilihat juga dari peninggalan-peninggalannya yang berupa petilasan(Balai
Panjang), Sendang Pancuran Pitu Kali Klewon, Masjid Agung Jati (Sekarang Masjid
Baiturrakhim), Makam Sunan Jati, Makam Petik Penawangan, Makam Kyai Jati, Makam Kun
Razikin yang ada di Desa Jatirejo, Suruh sebagai warisan budaya.
Kedua, dapat dilihat dalam acara pawai ta‟aruf atau karnaval dan pengajian akbar, nilai
pendidikan nasehat kebaikan yang bisa diambil yaitu disisipkannya nilai-nilai pendidikan Islam,
seperti halnya senantiasa bersyukur atas nikmat, senantiasa bersabar atas segala cobaan dan masih
banyak lainnya.
Ketiga, masyarakat Desa Kuman Jatirejo, terdiri dari berbagai macam agama dan latar
belakang yang beragam. Tradisi Suroan tapak tilas walisongo yang diselenggarakan di desa Desa
Kuman Jatirejo ternyata dapat berperan untuk menggalang persatuan dan kesatuan warga
setempat. Nilai persatuan dan kesatuan dapat dilihat pada waktu pelaksanaan upacara.
Masyarakat melakukan gotong-royong dengan membersihkan fasilitas umum berupa sendang,
jalan, makam dan lingkungan. Mereka melakukannya secara suka rela, hal tersebut dapat menjadi
ciri khas warga masyarakat untuk dapat dilestarikan dan dipertahankan.
Keempat, keberlangsungan kearifan lokal yang tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat di Desa Jatirejo, Suruh nilai-nilai itu menjadi pegangan yang biasanya akan
menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka
sehari-hari. Tradisi Suroan yang dilakukan masyarakat Desa Jatirejo mempunyai kearifan lokal
tradisi yang dapat dilestarikan.

76|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap penelitian ini, maka dapat saya simpulkan
bahwa dalam tradisi Suroan yang terdapat di Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh yang sampai saat
ini masih dipertahankan, dilestarikan, dijaga, dan dilaksanakan setiap tahunnya. Dengan tata cara
tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Dengan adanya kegiatan tradisi Suroan ini
bertujuan agar warga senantiasa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, seperti lebih
peduli terhadap lingkungan, menjaga alam dan melestarikan lingkungan sekitarnya terutama di
daerah sendiri. Hal ini juga sejalan dengan spirit Hijriah, yakni berhijrah menuju arah yang lebih
baik, lebih bermanfaat. Dalam lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kearifan
lokal yang dimiliki oleh suatu daerah menunjukkan keberagaman jenis dan banyaknya tradisi yang
terdapat di daerah Indonesia. Dari kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu daerah tersebut dapat
dijadikan sebagai modal dasar untuk memperkokoh jati diri/identitas suatu daerah tersebut dan
sebagai asset kekayaan kebudayaan daerah tersebut yang dapat memberikan nilai tambah dari
suatu daerah tersebut.
Kita harus bersikap bijaksana untuk mempertahankan nilai lama atau tradisi seperti tradisi
Suronan yang baik dan menerima nilai baru yang lebih baik dan bermanfaat agar tetap sesuai
dengan perkembangan zaman dan nilai ajaran Islam yang mulia. Selama tidak bertentangan
dengan ajara Agama Islam, maka tradisi-tradisi seperti trasisi Suroan ini dapat dilaksanakan dan
dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Agama Islam maka tradisi-tradisi itu
harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan.

Saran
Untuk generasi muslim umumnya dan muda khususnya dimasa muda agar dapat
mengaplikasikan nilai-nilai budaya Islam dan Jawa, serta melestarikan budaya yang ada seiring
dengan perkembangan kondisi dan situasi masyarakat, agar nilai-nilai budaya dan Islam yang
terkandung semakin kuat dan berakar dalam kehidupan. Untuk pemerinta desa dan pemerintah
kecamatan agar tetap bekerja sama dengan masyarakat setempat dan juga memperhatikan
budaya-budaya yang tumbuh dalam masyarakat yag sudah turun temurun. Budaya dan tradisi
yang tumbuh dimasyarakat tersebut merupakan ciri khas bagi masyarakat Desa Jatirejo yang
memiliki keunikan tersendiri.

| 66
Volum 3, Nomor 1, Januari 2020
REFERENSI

Syahri. 1985. Implementasi Agama Islam pada MasyarakatJawa. Jakarta: Depag. Halaman 2.

Al-Amri, L., & Haramain, M. (2017). Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal. KURIOSITAS:
Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan, 10(2), 87-100.

Astuti, s. P., & Pujiningsih, s. (2017). Eksplorasi anomali karakteristik motif batik batang dalam
perspektif kaidah estetika seni rupa islam. Jurnal dimensi seni rupa dan desain, 13(2), 183-
208.

Baharun, H., Ulum, M. B., & Azhari, A. N. (2018). Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi
Ngejot: Konsep Edukasi dalam Membangun Keharmonisan dan Kerukunan
Antarumat Beragama Berbasis Kearifan Lokal. FENOMENA, 10(1), 1-26.

Data Kependudukan dari Pemerintahan Desa Kuman Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kab.
Semarang, 2019.

Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, Yogyakarta: Cakrawala, 2010

Ensiklopedi Islam, PT. Intermasa, Jakarta, 1990

Fatah, Munawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007) hlm.
291

Halimuddin, Kembali Kepada Aqidah Islam, cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Hanik, U. (1994). Unsur Keislaman Pada Tradisi Suroan Di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang
Kecamatan Pagu Kabupaten Daerah Tingkat Ii Kediri (Doctoral dissertation, UIN Sunan
Ampel Surabaya).

Junaid, H. (2013). Kajian Kritis Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal. Jurnal Diskursus
Islam, 1(1), 56-73.

Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama ”Perspektif Ilmu Perbandingan Agama”, Bandung:
Pustaka Setia, 2000

Kholid, A. I. (2016). Wali Songo: eksistensi dan perannya dalam islamisasi dan implikasinya terhadap
munculnya tradisi-tradisi di tanah jawa. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan
Islam, 1(1).

Luthfi, K. M. (2016). Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal. SHAHIH: Journal of
Islamicate Multidisciplinary, 1(1), 1-12.

Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Dan Relevansi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, Cet II, Jakarta: Paramadina, 2000

Maryaeni, 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta : Budi Aksara.


78|Damar Safera, Muhammad Chairul Huda- Tradisi Suroan sebagai Napak Tilas
Nashir ibn Abdul Karim Al-„Aql, Prinsip-Prinsip Aqidah, Jakarta: Gema Insani Press, 1997

Purwadi, 2005. Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Sholikhin, M. (2010). Misteri bulan Suro: perspektif Islam Jawa. Penerbit Narasi.

Sri Muryati, S. (2013). Pelestarian Budaya Nasional Melalui Kegiatan


Tradisional. PAWIYATAN, 20(3).

Sutiyono, 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Halaman 1.

Interview:

Wawancara dengan Fahrurrazi Alwi (42 Tahun), sebagai tokoh agama Desa Jatirejo, pada tanggal
24 Oktober 2019, Jam 21.10 WIB

Wawancara dengan Jaelani(53 Tahun), sebagai Masyarakat Desa Jatirejo, pada tanggal 10
Oktober 2019,Pada Jam 15.24 WIB

Wawancara dengan Anwar Hidayat( 45 Tahun), sebagai Kepala Dusun, pada tanggal 09
November 2019, Pada Jam 10.59 WIB,

Wawancara dengan Rizal (36 Tahun), sebagai Ketua rukun tetangga (RT), pada tanggal 09
November 2019, Pada Jam 08.00 WIB

Wawancara kepada Nurul lailatul Badriyah(20 Tahun), sebagai peserta pawai ta‟aruf, pada tanggal
09 November 2019, Pada Jam 16.00 WIB

| 66
Volum 3, Nomor 1, Januari 2020

You might also like