You are on page 1of 10

e-ISSN 2685-3493

(Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani) p-ISSN 2685-354X


http://e-journal.sttpaulusmedan.ac.id/index.php/sotiria Vol 4, No 1, Juni 2020 (1-10)

Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Membingkai


Keberagaman Pejabat Gereja Bethel Indonesia di DKI Jakarta

Andreas Budi Setyobekti1, Susanna Kathryn2, Suwondho Sumen3


1, 2, 3Sekolah Tinggi Teologi Berthel Indonesia, Jakarta
1ansetyo9@gmail.com, 2susannakathryn@sttbi.ac.id, 3suwondhosumen@sttbi.ac.id

Abstract: Indonesia has a philosophy of Bhineka Tunggal Ika as one of the treasure that is able to
unite various backgrounds and conditions of Indonesian society. This philosophy is part of the four
pillars of nationality that bind differences in ethnicity, nation, region, and class. The spirit of
nationalism is certainly inherent in this philosophy. The Bethel Church of Indonesia as a church with
a national spirit has struggles of division and competition between one group and another which is
getting bigger. Therefore, we need a basis and philosophy to frame this diversity of backgrounds.
The research method used to obtain the data is descriptive qualitative with interview techniques to
GBI officials in DKI Jakarta. The results of the study stated that the way to implement the values of
Bhineka Tunggal Ika is by harmonizing Christian values such as one in the body of Christ, loving
and respecting others which are in line with the noble values in Bhineka Tunggal Ika. The practice
can be seen from the awareness and acceptance of ethnic or racial differences by preaching or
teaching the congregation about the need to preserve and apply the values of Bhineka Tunggal Ika.
In addition, giving understanding to all officials about differences is a national treasure, developing
a culture of inclusiveness as the culture of the Indonesian nation with concrete actions such as joint
fellowship activities, exchanging pulpits or conducting joint social activities between one church and
another.
Keywords: Bhineka Tunggal Ika; diversity; Indonesian Bethel Church

Abstrak: Indonesia memiliki filosofi Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu kekayaan yang
mampu mempersatukan berbagai latar belakang keadaan dan masyarakat Indonesia. Filosofi ini
adalah bagian dari empat pilar kebangsaan yang mengikat perbedaan suku, bangsa, daerah, dan
golongan. Semangat nasionalisme tentu melekat dalam filosofi ini. Gereja Bethel Indonesia sebagai
gereja yang bernafaskan nasional memiliki pergumulan perpecahan dan persaingan antar satu
kelompok dengan lain yang semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan sebuah dasar dan filosofi
untuk membingkai keberagaman latar belakang tersebut. Metode penelitian yang digunakan untuk
mendapatkan data adalah kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara kepada pejabat GBI di DKI
Jakarta. Hasil penelitian menyatakan bahwa cara mengimplementasikan nilai-nilai Bhineka Tunggal
Ika adalah dengan menyelaraskan nilai-nilai Kekristenan seperti satu dalam tubuh Kristus, mengasihi
dan menghormati orang lain yang sejalan dengan nilai-nilai luhur dalam Bhineka Tunggal Ika.
Praksisnya dapat dilihat dari kesadaran dan penerimaan perbedaan etnis atau ras dengan
mengkhotbahkan atau memberi pengajaran kepada jemaat tentang perlunya melestarikan serta
menerapkan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. Selain itu, memberikan pengertian kepada seluruh
pejabat tentang perbedaan adalah sebuah kekayaan nasional, mengembangkan budaya inklusivisme
sebagai budaya bangsa Indonesia dengan tindakan nyata seperti kegiatan fellowship bersama, tukar
mimbar atau melakukan kegiatan sosial bersama antar satu gereja dengan gereja yang lain.

Kata kunci: Bhineka Tunggal Ika; Gereja Bethel Indonesia; keberagaman

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 1


A. B. Setyobekti, S. Kathryn, S. Sumen: Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika…

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki adalah negara majemuk dengan berbagai macam suku, kebudayaan serta
kepercayaan yang menjadi sebuah kekayaan bagi bangsa ini. Keanekaragaman tersebut
dipersatukan oleh beberapa pilar kebangsaan yang dimiliki bangsa ini, pilar kebangsaan
tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dari keempat pilar
kebangsaan ini, terdapat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berasal dari bahasa
Sansekerta yang menjadi semangat kesatuan bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sendiri
merupakan cuplikan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh Dewi Sartika dalam kitab
Sutasoma karya Mpu Tantular. Sutasoma merupakan karya sastra terbesar kedua setelah
Nagarakretagama. Keduanya ditulis oleh pujangga istana dari kerajaan Majapahit.1
Berbicara mengenai Bhinneka Tunggal Ika, maka pembahasan akan merujuk kepada
nilai-nilai luhur apa saja yang terkandung didalamnya. Nilai sendiri menurut KBBI adalah:
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.2 Sedangkan Schwartz dan
Bilsky memberikan definisi konseptual dari nilai-nilai: (a) adalah konsep atau keyakinan,
(b) berkaitan dengan keadaan akhir atau perilaku yang diinginkan, (c) melampaui situasi
tertentu, (d) pemilihan panduan atau evaluasi perilaku dan peristiwa, dan (e) diurutkan
berdasarkan kepentingan relatif.3 Jika ditarik dalam pemahaman nilai luhur Bhineka Tunggal
Ika, maka nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika mestinya dijadikan dasar dalam membangun
kemajemukan yang ada dalam bangsa Indonesia. Riany Puspita mengutip apa yang dikata-
kan Winarno bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia.
Nilai adalah sesuatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi
dasar penentuan tingkah laku manusia.4 Nilai inti dari Kebhinnekaan, seperti yang diung-
kapkan oleh Arif yaitu “keberagaman etnis dan ras, membangun keberagamaan inklusif,
kesadaran budaya multikultural, membangun sikap sensitifitas gender, dan membangun
toleransi.”
Gereja Bethel Indoensia (GBI) adalah gereja yang bersifat nasional, yang terdiri dari
ribuan jemaat yang tersebar di seluruh Indonesia dimana masing-masing jemaat memiliki
otonomi untuk mengatur dan menggerakkan sistem pemerintahan di tiap-tiap gereja lokal.5
Natur keberagaman dalam GBI tentunya dibentuk dari pengalaman panjang para pendiri
GBI. Pendiri gereja yang terdiri dari beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda-
beda baik ras, suku, golongan dan beberapa professional yang ada (pendeta, dokter,
akademisi dan busnisman dan aktivis pemerintah) turut mewarnai keberadaan GBI. Menjadi

1
Suko Wiyono, “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Sebagai Panduan Dalam
Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila,” Journal of Chemical Information and
Modeling 15, no. 1 (2019): 37–52.
2
David Moeljadi, Ian Kamajaya, and Dora Amalia, “Building the KamusBesarBahasa Indonesia (
KBBI ) Database and Its Applications,” no. Lewis (2009): 64–80.
3
Schwartz et al., “Toward a Theory of the Universal Content and Structure of Values: Extensions and
Cross-Cultural Replications,” Journal of Personality and Social Psychology 53, no. 1 (1989): 550–562.
4
Rianny Puspita and Baehaqi Arif, “Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika Di SMA
Muhammadiyah 5 Yogyakarta,” Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika di SMA Muhammadiyah 5
Yogyakarta 4, no. 1 (2014): 69–86.
5
David Eko Setiawan, “Menelisik Makna Istilah Otonom Dalam Tiga Pilar GBIS Dan Implikasinya
Bagi Tata Kelola Berorganisasi” (2020): 1–9.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 2


SOTIRIA (Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen), Vol 4, No 1, Juni 2021

fokus dan tujuan dari penelitian ini yaitu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai
Bhineka Tunggal Ika dalam membingkai keberagaman pejabat di GBI se-DKI Jakarta?
Penelitian terkait dengan implementasi nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika selalu
dikaitkan dengan lembaga Pendidikan yang dalam kurikulumnya memasukkan mata pelaja-
ran Kewarganegaraan, seperti yang Arif lakukan di SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta. 6
Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhariani dan Riska yang meng-
hubungkan antara nilai luhur Bhinneka dengan Semangat Indonesia Emas 2045 di Sekolah
Dasar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Komik Cermat Bhinneka (KCB) dapat
menjadi alat untuk implementasi nilai Bhineka kepada siswa Sekolah Dasar.7 Steviani
memotret implementasi nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam rangka meningkatkan pelayanan
Publik. Hal ini karena terdapat nilai teloransi, keadilan dan gotong royong yang membuat
kebersamaan dalam melayani masyarakat.8 Dari penelitian yang telah dilakukan, belum ada
yang menyentuh organisasi keagamaan dalam mengimplementasikan nilai Bhinneka Tung-
gal Ika. Itu sebabnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana melakukan inter-
nalisasi dan penerapan nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam lembaga keagamaan, yaitu Gereja
Bethel Indonesia se-DKI Jakarta.

METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan temuan-
temuan di lapangan dengan cara memberikan pertanyaan dalam bentuk wawancara. Sampel
penelitannya adalah: (a) beberapa pejabat gereja di DKI Jakarta, karena Jakarta sudah bisa
mewakili kemajemukan pejabat dari seluruh Indonesia; (b) beberapa anggota jemaat yang
terdiri dari berbagai suku bangsa; (c) Pengurus Badan Pengurus Daerah GBI.
Teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan yaitu dengan bantuan googleform
(karena masih masa pandemi) disebarkan beberapa pertanyaan wawancara secara terbuka
kepada beberapa responden yang mewakili sampel yang telah ditentukan. 10 sampel
mewakili beberapa pejabat gereja di DKI, 10 sampel mewakili anggota jemaat dan 10 sampel
mewakili pengurus BPD. Data yang telah masuk dapat dilakukan revisi dan penambahan
karena peneliti memberikan waktu 2 bulan untuk responden memberikan jawaban. Setelah
mendapatkan data dari lapangan, peneliti mengolah data-data tersebut sehingga dari data
tersebut dapat ditarik kesimpulan sehubungan dengan pokok permasalahan yang ada yaitu:
Bagaimana mengimplementasikan Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam membingkai ke-
beragaman Pejabat di Gereja Bethel Indonesia?

6
Puspita and Arif, “Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika Di SMA Muhammadiyah 5
Yogyakarta.”
7
Novianti Akhriani and Riska, “Optimalisasi Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Kcb (Komik
Cermat Bhineka) Kepada Siswa Sekolah Dasar Sebagai Upaya Meningkatkan Nasionalisme Menuju
Indonesia Emas 2045,” Jurnal PENA|Volume 2, no. 1 (2015): 279–287.
8
Desirizta Sari Steviani, “Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganegaraan,”
Unes Journal Of: Swara Justisia 4, no. 13 (2020): 361–369.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 3


A. B. Setyobekti, S. Kathryn, S. Sumen: Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika…

HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai-nilai Inti Kebhinekaan
Nlai yang pertama adalah tentang keberagaman etnis dan ras. Etnis berasal dari Bahasa
Yunani etnos yang berarti “masyarakat.” Sedangkan ras adalah penggolongan bangsa
berdasarkan ciri-ciri fisik dan rumpun bangsa. Indonesia memiliki etnis dan ras yang sangat
banyak. Hasil dari kerjasama BPS dan ISEAS (Institute of South Asian Studies) merumus-
kan bahwa terdapat sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokan suku dan subsuku
yang ada di Indonesia.9 Ratusan suku tersebut tersebar diantara ribuan pulau dari Sabang
sampai Merauke dan dari Miyangas sampai Pulau Rote. Kemajemukan etnis dan ras menjadi
salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Meskipun dilain sisi kemajemukan menjadi ancaman
yang serius terhadap disintegrasi bangsa. Itu sebabnya, penting mengedepankan nilai
kebangsaan dalam Pancasila, UUD 1945, khususnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika guna
menjadi sarana perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kemajemukan etnis dan
ras harus diperkuat dengan kemampuan masyarakat dalam berinteraksi, sehingga mampu
meredam segala gejolak permasalahan antar satu etnis dan ras dengan etnis dan ras yang
lain. Kemampuan tersebut menurut Curtis dan Akhmadi mencakup tiga wilayah, yaitu,
affiliation (kerja sama), cooperation and resolution conflict (kerjasama dan penyelesaian
konflik), kindness, care and affection/ emphatic skill (keramahan, perhatian, dan kasih
sayang).10
Kerjasama dalam segala bidang, termasuk kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya dan keanekaragaman agama dan kepercayaan dalam bentuk-bentuk kegiatan bersa-
ma antara satu etnis atau ras dengan etnis atau ras yang lain dengan tujuan membangun
kerukunan dan kebersamaan antar suku bangsa di Indonesia. Jika ini diterapkan, maka tidak
sulit untuk melakukan penyelesaian konflik secara tuntas antar etnis atau ras yang didasarkan
pada kesadaran akan kebersamaan dan keragaman suku bangsa di Indonesia yang mengarah
kepada persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
bukanlah keniscayaan semata, sebab sejarah bangsa Indonesia telah mencatat hal itu. Hal ini
terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dimana terdapat semangat Sumpah Pemuda yang turut
menginspirasi serta mempererat keberagaman etnis atau ras yang ada di Indonesia. Sumpah
Pemuda dengan semboyan “Bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa
Indonesia dan berbahasa satu Bahasa Indonesia” juga mendukung semangat untuk meng-
gunakan tali pengikat yang kokoh bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.11
Nilai kedua adalah membangun keberagaman inklusivisme. Eklusivisme adalah suatu
paham tentang kecerderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.12 Lawan dari Eklu-
sivisme adalah inklusivisme, di mana paham ini sebagai sarana untuk mengembangkan ke-
bersamaan serta penerimaan terhadap keberagaman dan berbagaimacam perbedaan yang ada

9
Agus Joko Pitoyo and Hari Triwahyudi, “Dinamika Perkembangan Etnis Di Indonesia Dalam
Konteks Persatuan Negara,” Populasi 25, no. 1 (2018): 64.
10
Agus Akhmadi, “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation in
Indonesia ’ S Diversity,” Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (2019): 45–55.
11
Tri Kristiyanti, “Sumpah Pemuda Dan Nasionalisme Indonesia,” Majalah Ilmiah INFORMATIKA
1, no. 3 (2010): 89–99.
12
Moeljadi, Kamajaya, and Amalia, “Building the KamusBesarBahasa Indonesia ( KBBI ) Database
and Its Applications.”

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 4


SOTIRIA (Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen), Vol 4, No 1, Juni 2021

di Indonesia. Dasar dari prinsip inklusivisme adalah dipahaminya ada dimensi kesamaan
secara subtansial nilai dalam setiap agama yang ada.13 Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai
tokoh pelopor inklusivisme memandang bahwa adanya kesamaan antara satu agama dengan
agama yang lain yaitu tentang pesan Tuhan. Pesan Tuhan yang mengarah kepada kebaikan
dari tiap-tiap agama yang ada di Indonesia. Dalam konsep inklusivisme harus ditinggalkan
ego sektoral dari masing-masing agama yang menganggap dialah yang paling benar.
Melainkan titik temu substansial tentang nilai keagamaan itu yang dikedepankan. Dengan
mengedepankan nilai tersebut maka terciptalah keharmonisan dan kerukunan antar umat
beragama di Indonesia. Itu sebabnya, dalam kerangka membangun semangat kebersamaan
dan kebhinekaan, maka keberagaman inklusivisme menjadi jembatan yang baik dalam me-
ngatasi perbedaan baik perbedaan suku, ras, golongan dan agama.
Nilai ketiga adalah kesadaran budaya multikultural. Istilah multikultural diperkenal-
kan pertama kali oleh Charles Hobart di Winnipeg/Manitoba Kanada pada tahun 1964.
Awalnya, istilah ini merujuk pada suatu fenomena migrasi multietnis dan masyarakat dengan
lingkup ruang yang besar. Menurut Parekh, multikulturalisme adalah “just as society with
several religions or languages is multi religions or multilingual, a society containing several
cultures is multicultural”.14
Kesadaran budaya multikultural diperlukan sehubungan dengan pembentukan persep-
si kebhinekaan, di mana akan menghasilkan penerimaan terhadap budaya lain dalam rangka
menghargai serta melestarikan budaya dari setiap suku bangsa di Indonesia.15 Munculnya
kesadaran akan budaya Indonesia yang majemuk turut mewarnai sikap dan perilaku setiap
individu untuk saling menghormati budaya satu dengan yang lain dalam kerangka mewujud-
kan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kebersamaan kita bersama. Tidak ada satupun
budaya yang lebih menonjol dan lebih penting dari budaya lain di Indonesia. Justru
kemajemukan budaya di Indonesia akan melengkapi satu dengan yang lain sehingga budaya
kita menjadi semakin dikenal keberadaannya oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Penerimaan
antar satu budaya dengan budaya yang lain menimbulkan sikap untuk saling menghormati
dan mencintai budaya tersebut sebagai sebuah kekayaan yang melimpah yang Tuhan anuge-
rahkan bagi bangsa Indonesia.
Nilai keempat adalah membangun sikap sensitivitas gender. Gender adalah serangkai-
an karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karak-
teristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau inter-seks), hal
yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau iden-
titas gender. Perbedaan jenis kelamin sering menimbulkan kesenjangan sosial dalam masya-
rakat. Jenis kelamin tertentu dianggap lebih superior dibandingkan dengan jenis kelamin
yang lain sehingga sering memberikan dampak berupa gesekan sosial antara satu dengan
yang lain dalam masyarakat. Membangun sikap sensitivitas gender sangat diperlukan sehu-
bungan dengan konsep perbedaan satu dengan yang lain dalam bingkai Bhineka Tunggal

13
Maria Ulfa, “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish Madjid,” Kalimah 11, no. 2 (2013): 238.
14
Wiyono, “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Sebagai Panduan Dalam Mewujudkan
Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila.”
15
Dwi Ariefin, “Peran Serta Menjaga Kemajemukan Bangsa Dengan Pembinaan Warga Gereja,”
PASCA : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 15, no. 2 (2019): 33–38.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 5


A. B. Setyobekti, S. Kathryn, S. Sumen: Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika…

Ika. Mampu menghargai dan menempatkan jenis kelamin dengan persamaan hak dan kewa-
jiban menimbulkan sikap saling menghargai antara satu dengan yang lain baik dalam status
keluarga maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam kemajemukan sosial di
Indonesia.
Nilai kelima adalah membangun toleransi. Salah satu sistem pertahanan nasional
disebutkan bahwa toleransi berperan dalam membina kerukunan umat beragama di Indo-
nesia demikian Riany Puspita mengutip pernyataannya.16 Toleransi adalah sifat atau sikap
toleran dan tidak fanatik akan satu aliran atau agama tertentu.17 Menghargai keberadaan dan
perbedaan orang lain terutama yang beragama yang berde dengan kita serta tidak bersikap
fanatik terhadap agama atau kepercayaan yang kita yakini. Kesadaran dalam membangun
sikap toteransi antar umat beragama di Indonesia sebagai barometer kerukunan antara satu
pemeluk agama dengan pemeluk agama lain yang berbeda ditengah-tengah kemajemukan
masyarakat yang tinggal di Indonesia. Toleransi bukan hanya sebuah wacana dalam kehi-
dupan masyarakat di Indonesia, namun membutuhkan kesadaran untuk mempraktekkan
pemahaman tersebut jika kita menghendaki keharmonisan dan kerukunan hidup dengan
mengedepankan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditengah masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk ini.
Terkait dengan lima nilai luhur dari Bhineka Tunggal Ika itu, maka Gereja Bethel
Indonesia (GBI) yang adalah gereja nasional yang didirikan oleh pendiri-pendiri GBI dengan
mengedepankan kesatuan dan persatuan. Sehingga gereja ini bisa diterima oleh segala suku
dan golongan masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia. Kenasionalan GBI terlihat dari
beberapa aspek didalamnya, seperti: pejabat-pejabat (Pdt, Pdm, dan Pdp) terdiri dari berba-
gai macam suku. Anggota jemaatnya pun terdiri dari berbagai macam suku, ras dan go-
longan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga juga berusaha mengakomodasi
seluruh latar belakang suku, dan golongan yang ada di Indonesia. Liturgi dalam kebaktian
Jemaat menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mendukung proses periba-
dahan.
Gereja Bethel Indonesia sebagai Gereja yang Bernafaskan Nasional
Gereja Bethel Indonesia sebagai gereja yang bernafaskan Nasional artinya gereja yang
anggota jemaatnya terdiri dari berbagai suku bangsa, ras dan golongan. Selain itu gereja
yang pejabat gerejanya terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Gereja yang
lokasinya juga tersebar di seluruh wilayah tanah air Indonesia bahkan sampai mancanegara
(Asia, Eropa, Australia dan Amerika). GBI juga terdaftar dalam keanggotaan Persekutuan
Gereja Indonesia, Persekutuan Gereja Pentakosta Iindonesia dan Persekutuan Gereja Injili
Indonesia. Semangat Nasionalitas ini membuat GBI menjadi gereja yang terbuka lebar bagi
siapa saja. Bahkan, kelas sosial dan Pendidikan adalah keterbukaan yang besar untuk siapa
saja. Semangat ini berangkat dari pemahaman bahwa seluruh manusia pada dasarnya dicip-

16
Puspita and Arif, “Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika Di SMA Muhammadiyah 5
Yogyakarta.”
17
Moeljadi, Kamajaya, and Amalia, “Building the KamusBesarBahasa Indonesia ( KBBI ) Database
and Its Applications.”

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 6


SOTIRIA (Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen), Vol 4, No 1, Juni 2021

takan segambar dan serupa dengan Allah.18 Kesamaan ini membuka kesempatan untuk siapa
saja berpartisipasi dalam kepejabatan di GBI.
Latar Belakang Suku dan Ras
GBI adalah gereja beraliran Pentakosta dengan jumlah keanggotaan yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia bahkan mancanegara memiliki latar belakang pejabat yang sangat
heterogen. Pejabat gereja terdiri dari hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia, mulai
dari suku Aceh wilayah Sabang sampai suku Marind-Anin di Merauke. Suku Talaud di
Mianggas yang terletak paling utara wilayah Indonesia sampai suku di kepulauan Rote
paling selatan Indonesia. Dengan latar belakang pejabat yang terdiri dari berbagai macam
suku tersebut, Gereja Bethel Indonesia dikelompokkan menjadi gereja yang bernafaskan
Nasional Indonesia dengan bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia.
Latar belakang suku tidak menjadi halangan untuk GBI berdiri. Sekalipun dalam per-
temuan-pertemuan yang ada masih banyak yang berbicara menggunakan bahasa daerah,
tetapi ketika dalam forum diskusi dan rapat pleno, maka bahasa Indonesialah yang digu-
nakan. Mungkin saja ada logat-logat khas daerah yang masih terucap dan sulit untuk meng-
gantinya. Hal ini bukan masalah berarti, melainkan ini adalah kekayaan yang perlu dipegang
dan dilestarikan bersama. Oleh karena semangat ini, GBI mengecam keras penghinaan ter-
hadap rasisme dan juga membeda-bedakan suku, maupun menyatakan etnis tertentu bukan
pribumi.
Latar Belakang Pendidikan
Visi pendiri GBI Dr. HL. Senduk dengan menginginkan 10.000 jemaat akan terbentuk
membutuhkan sumber daya manusia untuk mewujudkannya. GBI membuka dua jalur untuk
menjadi pejabat gereja yaitu jalur pendidikan Teologi dan jalur dari kaum awam. Oleh
karena itu pejabat GBI memiliki latar belakang pendidikan yang heterogen juga dari pendeta
yang memiliki background pendidikan Umum SD, SMP, SMU sampai S3 dan Pendeta
dengan background pendidikan Teologi S1 hingga S3. Pejabat tersebut tersebar luas di selu-
ruh wilayah Indonesia dan Luar negeri. Latar belakang pendidikan sangat berpengaruh bagi
cara berfikir dan berteologi dari masing-masing pejabat tersebut. Dibutuhkan sebuah usaha
untuk mensinkronkan pemikiran-pemikiran mereka sebagai bagian dari pejabat yang ada di
Gereja Bethel Indonesia.
Latar Belakang Pemahaman Teologi
Latar belakang pemahaman pejabat GBI juga sangat heterogen, karena dipengaruhi oleh
background masing-masing pejabat. Ada pejabat yang memiliki latar belakang teologi gereja
Timur, gereja Barat, Reformed dan ada yang tidak memiliki latar belakang teologi sama se-
kali. Ada pejabat yang memiliki latar belakang kepercayaan atau agama sebelumnya. Ada
pejabat yang memiliki latar belakang pekerjaan sebelumnya seperti pengusaha, pegawai
yang berubah profesi menjadi hamba Tuhan turut mewarnai pemikiran teologis mereka.
Latar Belakang Gender
Pejabat GBI membuka peluang untuk pria dan wanita bisa terlibat dalam pelayanan bahkan
menjabat sebagai pejabat-pejabat gereja dengan kriteria khusus yang mengikutinya. Dasar

Anggi Maringan Hasiholan, “Studi Komparatif Terhadap Pemahaman Teologi Reformed Dengan
18

Pemahaman Teologi Pentakosta Tentang Natur Manusia,” Pneumata 1, no. 1 (2020): 54–71.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 7


A. B. Setyobekti, S. Kathryn, S. Sumen: Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika…

pemahan teologisnya diambil dari Galatia 3:2, ”Tidak ada laki-laki atau perempuan, karena
kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Dasar inilah yang memungkinkan wanita
dan pria memiliki persamaan hak dan peluang sebagai pejabat gereja. GBI menjungjung
kesetaraan gender dalam melayani dan peribadatan. Itu sebabnya, wanita-wanita banyak
yang menjadi gembala sidang ataupun pengajar jemaat.
Summary Hasil Wawancara melalui Pengisian Angket secara Terbuka
Wawancara yang dilakukan peneliti kepada 30 responden selama dua bulan menemukan
fakta-fakta sebagai berikut yang peneliti rangkum dalam bentuk point-point sebagai berikut:
Responden sebagian besar memahami dengan baik bagaimana cara meminimalkan
perbedaan suku, ras dan golongan dengan cara menerima segala perbedaan yang ada dan
melibatkan anggota jemaat atau pelayan Tuhan dalam seluruh jenis pelayanan tanpa
membeda-bedakan latar belakang ras, suku dan golongan mereka, karena mereka menyadari
sebagai bagian dari Tubuh Kristus. Pemahaman ini mengkristal karena memahami perbe-
daan sebagai anugerah dan memahami bahwa Gerakan Pentakosta mula-mula adalah me-
mang menghancurkan tembok pemisah suku, ras, golongan dan kriteria-kriteria lainnya.
Cara mengembangkan sikap menghormati satu dengan yang lain adalah dengan
mengintegrasikan nilai-nilai kekristenan seperti satu dalam tubuh Kristus, mengasihi,
menghormati orang lain yang sejalan dengan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika seperti;
kesadaran dan penerimaan perbedaan etnis dan ras dalam negara kesatuan Republik Indo-
nesia yang dibingkai oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kesadaran ini mesti dibangun
oleh pembelajaran dari hari ke hari yang didapat bukan melalui tayangan media atau
pelajaran formal di sekolah, melainkan melalui mimbar gereja.
Sebagian Responden telah menerapkan penerimaan terhadap budaya yang berbeda
antara satu dengan yang lain dengan cara: memberi tempat penyaluran budaya dalam setiap
event kegiatan yang diselenggarakan, menerima setiap masakan dari berbagai daerah dalam
kegiatan makan bersama tahunan, menampilkan pentas budaya dalam kegiatan fellowship
serta memahami filosofi Yesus cinta segala bangsa di dunia ini. Pemahaman pejabat gereja
tentang eklusivisme mengkerdilkan gerak dan langkah pembauran. Dengan mengadakan
kegiatan sosial bersama serta bertukar pengalaman dalam kegiatan bergereja akan mampu
mengembangkan sikap inklusivisme sehingga penerimaan antara satu dengan yang lain akan
mudah terjadi.
Sebagian besar responden telah memahami pentingnya kebersamaan antar satu gereja
dengan gereja yang lain dengan cara: menghilangkan perbedaan – perbedaan doktrinal antar
satu gereja dengan gereja yang lain. Mengembangkan dan menumbuhkan sikap fellowship
bersama antar satu dereja dengan gereja yang lain diluar denominasi. Saling bertukar mimbar
antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lain baik dalam satu sinode maupun antar
sinode yang berlainan.

KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah:
Pertama, mengimplementasikan nilai-nilai bhinneka kepada para pejabat dengan me-
minimalisir perbedaan pemahaman di antara pejabat dengan cara menyelaraskan nilai nilai
Kekristenan seperti: satu dalam tubuh Kristus, mengasihi, menghormati orang lain yang

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 8


SOTIRIA (Jurnal Theologia dan Pendidikan Agama Kristen), Vol 4, No 1, Juni 2021

sejalan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, penerimaan perbedaan etnis dan ras dalam
Negara kesatuan Republik Indonesia.
Kedua, mengotbahkan atau memberi pengajaran kepada jemaat tentang perlunya
melestarikan serta menerapkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu dan
pengingat perbedaan yang ada dalam gereja. Memberikan penger-tian kepada seluruh peja-
bat tentang perbedaan adalah sebuah kekayaan Nasional yang ada baik di bangsa maupun
dalam gereja di Indonesia. Hal ini sama dengan menghilangkan sikap curiga atau takut ter-
hadap perbedaan.
Ketiga, mengembangkan budaya inklusivisme sebagai budaya bangsa Indonesia
dengan tindakan nyata seperti: kegiatan fellowship bersama, tukar mimbar atau melakukan
kegiatan sosial bersama antar satu gereja dengan gereja yang lain baik dalam satu sinode
ataupun berlainan sinode. Nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika selaras dengan nilai-nilai Kera-
jaan Allah yang harus dikembangkan dan dibina kelestariaanya bagi keberadaan pejabat
serta anggota jemaat yang berlatar belakang heterogen di GBI saat ini. Oleh karena itu,
lembaga keagamaan adalah lembaga yang mudah untuk mengimplementasikan nilai luhur
Bhineka Tunggal Ika. Meskipun tidak ada pelajaran atau kurikulum khu-sus, tetapi dapat
memasukkan nilai-nilai BhinNeka Tunggal Ika.

REFERENSI
Akhmadi, Agus. “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation
in Indonesia ’ S Diversity.” Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (2019): 45–55.
Akhriani, Novianti, and Riska. “Optimalisasi Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Kcb
(Komik Cermat Bhineka) Kepada Siswa Sekolah Dasar Sebagai Upaya
Meningkatkan Nasionalisme Menuju Indonesia Emas 2045.” Jurnal PENA|Volume
2, no. 1 (2015): 279–287.
Ariefin, Dwi. “Peran Serta Menjaga Kemajemukan Bangsa Dengan Pembinaan Warga
Gereja.” PASCA : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 15, no. 2 (2019):
33–38.
Hasiholan, Anggi Maringan. “Studi Komparatif Terhadap Pemahaman Teologi Reformed
Dengan Pemahaman Teologi Pentakosta Tentang Natur Manusia.” Pneumata 1, no. 1
(2020): 54–71.
Kristiyanti, Tri. “Sumpah Pemuda Dan Nasionalisme Indonesia.” Majalah Ilmiah
INFORMATIKA 1, no. 3 (2010): 89–99.
Moeljadi, David, Ian Kamajaya, and Dora Amalia. “Building the KamusBesarBahasa
Indonesia ( KBBI ) Database and Its Applications,” no. Lewis (2009): 64–80.
Pitoyo, Agus Joko, and Hari Triwahyudi. “Dinamika Perkembangan Etnis Di Indonesia
Dalam Konteks Persatuan Negara.” Populasi 25, no. 1 (2018): 64.
Puspita, Rianny, and Baehaqi Arif. “Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika Di
SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta.” Implementasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal
Ika di SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta 4, no. 1 (2014): 69–86.
Schwartz, Shalom H, Bilsky, and Wolfgang. “Toward a Theory of the Universal Content
and Structure of Values: Extensions and Cross-Cultural Replications.” Journal of
Personality and Social Psychology 53, no. 1 (1989): 550–562.
Setiawan, David Eko. “Menelisik Makna Istilah Otonom Dalam Tiga Pilar Gbis Dan
Implikasinya Bagi Tata Kelola Berorganisasi” (2020): 1–9.
Steviani, Desirizta Sari. “Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan.” Unes Journal Of: Swara Justisia 4, no. 13 (2020): 361–369.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 9


A. B. Setyobekti, S. Kathryn, S. Sumen: Implementasi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika…

Ulfa, Maria. “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholish Madjid.” Kalimah 11, no. 2
(2013): 238.
Wiyono, Suko. “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Sebagai Panduan
Dalam Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur Berdasarkan Pancasila.” Journal of
Chemical Information and Modeling 15, no. 1 (2019): 37–52.

Copyright© 2021, SOTIRIA, e-ISSN 2685-3493, p-ISSN 2685-354X | 10

You might also like