Professional Documents
Culture Documents
1 (2018)
Abstract. This study aims to estimate predictive validity of Scholastic Aptitude Test (TBS) and to describe
aptitudes scholastic in each subset of TBS (benchmarking). The data used in this study is secondary data from the
Center for Education Assessment. The data was result from selection test result of scholarship for Madrasah
Aliyah Negeri (MAN). Predictive analysis was carried out using structural equation modelling using Lisrel 8 and
benchmarking process was begun by estimating person’s ability with Item Response Theory (IRT), followed by
item mapping using ASP.net web server technology with program c#. The results of this study are as follow. (1)
predictve model of TBS is fit with empirical data. The variance that is described by scholastic aptitude to predict
individual academic performance in high school is 14% and TBS tend to be a better predictor in social science
program (high school) than in natural science. Benchmarking process generates four benchmarks on each subtest.
Each bench has different potency characteristics. Characters which differentiate potency for each benchmark on
verbal subtest are degree of generality of the word, word association pattern and cognitive activities. Characters
which differentiate potency for each benchmark on quantitative subtest are number sequence patterns,
mathematical operation structure and number, and geometric shapes. The nature of the premises, relation
characteristics between concept and cognitive process are the main factors which discriminate each benchmark in
reasoning subtest.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi validitas prediktif Tes Bakat Skolastik (TBS) dan
mendeskripsikan bakat skolastik pada setiap subtes TBS (benchmarking). Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari Pusat Penilaian Pendidikan berupa data seleksi penerimaan beasiswa
masuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Analisis prediksi menggunakan model persamaan struktural dengan
program Lisrel 8.80 dan proses benchmarking yang diawali dengan estimasi kemampuan orang menggunakan
model Item Response Theory, selanjutnya pemetaan butir soal menggunakan teknologi web server ASP.net
dengan program c#. Hasil penelitian menunjukkan model prediksi TBS sesuai dengan data empiris. Varian yang
dijelaskan oleh potensi bakat skolastik terhadap prestasi seseorang adalah 14 % dan prediksi pada jurusan IPS
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jurusan IPA. Proses benchmarking menghasilkan empat bench pada
setiap subtesnya. Setiap bench mempunyai karakteristik potensi yang berbeda. Karakteristik yang membedakan
potensi antar bench pada subtes verbal adalah perbedaan derajat keumuman pemakaian kata-kata, pola hubungan
kata dan aktifitas kognitif. Sementara itu pada subtes kuantitatif yang membedakan karakteristiknya adalah pola
deretan angka, bentuk operasi matematika dan bilangan, dan bentuk bangun geometri. Pada subtes penalaran
karakteristik yang membedakan adalah sifat premis, karakteristik hubungan antar konsep dan proses
IJEA 35
Indonesian Journal of Educational Assessment - Vol. 1 No. 1 (2018)
IJEA 36
Idwin Irma Krisna, Prediksi Tes Bakat Skolastik Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas
inteligensi ini mempunyai hubungan yang kuat penilaian kesiapan seseorang di SMA adalah
dengan r = 0,5 (Gregory, 2007: 180). Kedudukan menentukan kriteria yang dibutuhkan untuk
kedua inteligensi ini disajikan dalam sebuah suskes di tahun pertama (pengetahuan,
spektrum kemampuan (Cronbach, 1984: 253), gf kreativitas, kemampuan) sebagai acuan penilaian.
terletak pada spektrum tertinggi, gc pada
spektrum terendah dan aptitude berada 4. Benchmarking
diantaranya. Berdasarkan penjelasan di atas Istilah benchmarking pada awalnya dikenal
maka antara inteligensi dan aptitude mempunyai dalam dunia ekonomi dan bisnis. Namun, saat
hubungan yang sangat dekat. Inteligensi, aptitude ini istilah tersebut juga digunakan di pendidikan
dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
merupakan faktor kognitif yang mempunyai Benchmarking merupakan suatu proses yang
peran penting pada prestasi akademik seseorang dilakukan oleh sebuah organisasi dalam rangka
(Horn, et.al, 1993). mengukur atau membandingkan kinerja yang
dilakukan terhadap aktivitas atau kinerja yang
2. Tes Bakat Skolastik sama pada organisasi lain baik secara internal
TBS dirancang untuk mengukur kemampuan ataupun eksternal sehingga diperoleh gambaran
kognitif secara umum yang dilandasi dengan tentang kualitas kinerja organisasinya.
pemahaman inteligensi. TBS mengukur Proses benchmarking berkaitan dengan proses
kemampuan bernalar baik dalam verbal maupun standard setting, penetapan standar yang tepat
numerik. Penelitan Olatoye & Aderogba (2011), dalam pendidikan berdasarkan level benchmark
numerik dan verbal secara bersama dapat akan memberikan arahan keberhasilan siswa
menjelaskan varian sebesar 38,8% pada tes pada jenjang pendidikan selanjutnya. Penetapan
aptitude dan korelasi antara verbal dan numerik titik batas dapat dilakukan dengan menetapkan
0,713. Kemampuan numerik mempunyai sebuah skor yang menjadi acuan, sebagai contoh
kesamaan domain kemampuan verbal dan SAT menetapkan titik batas berdasarkan skor
aptitude umum. Beberapa penelitian gabungan adalah sebesar 1550 (Wyatt.et.al, 2011:
menunjukkan bahwa tes potensi mempunyai 13). Peserta yang mencapai benchmark (1550)
hubungan dengan tes intelegensi. Hasil penelitian akan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
Frey & Detterman, korelasi nilai SAT dengan peserta yang tidak mencapai titik tersebut.
beberapa tes IQ berkisar antara 0,53 - 0,83,
dengan hasil ini memberikan bukti yang kuat 5. Standard Setting
bahwa SAT juga dapat sebagai tes inteligensi. Standard setting merupakan metode yang
Salah satu keunggulan dari tes potensi adalah digunakan untuk mendefinisikan level
kestabilan dari skor. kemampuan seseorang dan penetapan cutoff score
Tahap pengembangan butir soal TBS dimulai yang berhubungan dengan level tersebut (Bejar,
dari pengembangan butir soal yang meliputi 2008; Cizek, Bunch & Koons, 2004). Metode
penulisan kisi-kisi, validasi kisi-kisi, penulisan standard setting dapat dikategorikan sebagai model
soal, telaah soal secara kualitatif, perakitan kontinum.yang berfokus pada tes (test centered)
instrumen ujicoba dan selanjutnya atau model yang berfokus pada peserta tes atau
mengujicobakan instrumen tersebut. Langkah examinee centered (Jaeger, 1989: 492). Dalam
selanjutnya adalah proses analisis data sampai penelitian ini digunakan metode yang
dengan penyimpanan butir soal yang valid di berdasarkan pada tes dan peserta yaitu scale
bank soal. anchoring method. Metode ini berkaitan dengan
penyusunan deskripsi pada skala perilaku yang
3. Validitas Prediktif digambarkan dengan pemetaan soal. Pemetaan
Kecermatan prediksi merupakan suatu hal soal (item mapping) diawali dengan konsep
yang penting dalam pengembangan tes seleksi. “Content referencing“ yang diperkenalkan oleh
Validitas prediktif akan menjadi penting jika tes Bock,et.al (Kelly,2002). Content referencing
digunakan sebagai prediktor. Pada jenjang SMA merupakan suatu prosedur yang menggunakan
kriteria validasi yang digunakan adalah skor pendekatan IRT. Prosedur ini akan memetakan
performansi yang diprediksi misalnya nilai pada butir soal pada suatu skala berdasarkan
setiap semester. Koefisien validitas prediktif probabilitas respon terhadap soal. Kumpulan soal
merupakan korelasi antara skor tes dengan (item maaping) yang berada pada nilai probabilitas
performans pada jenjang sekolah yang lebih sama akan menggambarkan kemampuan dan
tinggi. Keberhasilan di perguruan tinggi di pemahaman siswa. Kelanjutan dari content
dukung oleh deskriptor pada level kemampuan, referencing dan item mapping disebut sebagai scale
cutoff score dan benchmark pada pengukuran di anchoring method (Beaton & Allen, 1992). Pada
sekolah tinggi. Menurut Camara (2013), validasi
IJEA 37
Indonesian Journal of Educational Assessment - Vol. 1 No. 1 (2018)
METODE PENELITIAN
A. Sumber Data
Penelitian menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud
Jakarta. Data tersebut merupakan hasil seleksi
penerimaan beasiswa di salah satu sekolah
Madrasah Aliyah Negeri. Seleksi diadakan dalam
rangka menjaring siswa dari pondok pesantren,
madrasah tsanawiyah dan siswa SMP untuk
mendapatkan beasiswa pada sekolah tersebut.
Data kajian berupa respon jawaban 9840 peserta
yang mengerjakan 4 paket tes. Data raport siswa
semester 1 sampai dengan semester 4 diperoleh
dari 349 siswa, jurusan IPA 260 orang dan
jurusan IPS 62 orang.
IJEA 38
Idwin Irma Krisna, Prediksi Tes Bakat Skolastik Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas
terkecil pada variabel verbal. Varian yang besar jika dibandingkan dengan semester 3 dan 4.
dijelaskan oleh potensi bakat skolastik pada Pada TBS, muatan faktor pada sub verbal dan
prestasi belajar adalah 14%, sedangkan 86% kuantitatif lebih besar jika dibandingkan dengan
dijelaskan oleh faktor lain. Varian yang dijelaskan penalaran.
oleh variabel prestasi terhadap prestasi siswa
pada 4 semester menunjukkan prestasi pada
semester 2 dijelaskan lebih kecil dibandingkan
dengan semester lain yaitu sebesar 44%.
Gambar 3. Diagram Alur Hasil Analisis dengan Model Berdasarkan hasil analisis, besarnya nilai
Persamaan Struktural Jenjang SMA prediksi tergantung pada jurusan, jurusan IPS
cenderung lebih besar dibandingkan dengan
Analisis selanjutnya adalah melihat hubungan jurusan IPA. Seperti halnya penelitian Lyren
antara bakat skolastik dengan prestasi pada (2008), SweSAT mempunyai prediksi yang
jurusan IPA dan jurusan IPS. Berdasarkan berbeda tergantung pada program studi yang
analisis dengan metode model persamaan dianalisis, program kedokteran dan hukum
struktural, variabel potensi akademik mempunyai prediksi yang lebih baik
berpengaruh terhadap prestasi siswa. Besar dibandingkan teknik sipil dan pendidikan guru.
muatan faktor pada model jurusan IPA dan IPS Dari analisis ternyata pengaruh TBS terhadap
dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5. Berdasarkan prestasi tidak terlalu besar, varian yang dapat
hasil analisis diperoleh semua muatan faktor dijelaskan oleh TBS cenderung kecil. Salah satu
pada model signifikan (t >1,96) artinya variabel faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah
teramati merupakan muatan faktor dari variabel keterbatasan data dalam penelitian ini. Data yang
latenya. diperoleh merupakan data siswa yang
mempunyai potensi tinggi karena mereka adalah
orang-orang yang lulus seleksi. Distribusi
kemampuan orang pada jurusan IPA cenderung
menceng kanan yang menunjukkan rata-rata
kemampuan peserta cukup tinggi sehingga
varian yang dijelaskan menjadi lebih kecil jika
dibandingakan jurusan IPS yang mempunyai
distribusi cenderung lebih simetris yang artinya
peserta pada jurusan IPS mempunyai
kemampuan yang yang lebih menyebar. Selain
Gambar 4. Diagram Alur Hasil Analisis dengan Model faktor di atas masih ada beberapa faktor atau
Persamaan Struktural Jenjang SMA Jurusan IPA kemampuan yang diperlukan untuk keberhasilan
studi di jurusan IPA yang tidak dijadikan sebagai
Potensi bakat skolastik memberikan prediktor misalnya koordinasi motorik dan
kontribusi yang paling besar pada sub kuantitatif kemampuan spasial (Asrijanty, 2014: 530).
artinya pada jurusan IPA, kuantitatif merupakan Selain itu, masih banyak faktor lain yang
faktor terbesar yang dijelaskan oleh potensi mempunyai kontribusi terhadap prestasi
skolastik. Varian yang dijelaskan bakat skolastik seseorang. Prediksi di perguruan tinggi akan
terhadap prestasi siswa pada jurusan IPA tidak lebih baik dengan menyertakan status sosial
terlalu besar yaitu hanya 7% dan sisanya ekonomi sekolah dan nilai mereka sewaktu di
dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya. Pada sekolah menengah atas (Zwick & Himelfarb,
variabel prestasi, kontribusi yang lebih besar pada 2011), kombinasi nilai sekolah di SMA, tes
semester 3 dan 4. Pada jurusan IPS, kontribusi prestasi dan tes potensi merupakan prediktor
bakat skolastik pada prestasi sebesar 37% dan terbaik pada nilai IP (Alnahdi, G. H., 2015: 4).
dapat menjelaskan prestasi semester 1 dan 2 lebih Pendalaman materi juga berpengaruh pada skor
IJEA 39
Indonesian Journal of Educational Assessment - Vol. 1 No. 1 (2018)
SAT, pada sub matematika akan menaikkan skor Berdasarkan klasifikasi hasil tes, langkah
sebesar 10-20 sedangkan pada sub membaca kritis selanjutnya adalah penyusunan deskripsi potensi
akan menaikkan skor sebesar 5-10 (College pada setiap level. Pada tahap ini peneliti dibantu
board, 2012). TBS akan menjadi prediktor yang oleh beberapa orang narasumber yang kompeten
lebih baik dengan menyertakan nilai di SMA dan pada bidangnya. Sebelum pembuatan deskripsi
tes prestasi (UN). didahului dengan langkah FGD antara peneliti
Muatan faktor TBS jurusan IPA cenderung dengan beberapa narasumber.
lebih besar pada sub kuantitatif dan penalaran Berdasarkan deskripsi potensi setiap bench
sedangkan pada jurusan IPS, subtes verbal dan pada subtes verbal, kuantitatif dan penalaran
kuantitatif cenderung lebih besar. Pada variabel ditemukan bahwa masing-masing bench
prestasi, kontribusi yang cenderung lebih besar mempunyai keunikan. Keunikan pada subtes
pada jurusan IPA adalah pada semester 3 dan 4, verbal antara lain: (1) diferensiasi derajat
sedangkan pada jurusan IPS pada semester 1 dan keumuman pemakaian kata-kata dalam
2. Penjelasan penulis dalam hal ini adalah: (1) kehidupan sehari-hari dan kombinasi kategori
seseorang pada jurusan IPA mempunyai potensi pilihan jawaban, (2) pola hubungan yang terjadi
kuantitatif dan nalar yang lebih tinggi jika pada soal analogi, (3) aktivitas kognitif mulai dari
dibandingkan dengan seseorang pada jurusan ingatan sampai dengan evaluasi pada soal
IPS, (2) materi yang diajarkan pada semester 1 wacana. Hayes (1989) menjabarkan aktifitas
dan 2 masih bersifat umum jika dibandingkan kognitif menjadi beberapa tahap: identifiying the
dengan semester 3 dan 4. problem, representation of the problem, planning
Siswa SMA yang menjadi sampel dalam the solution, execute the plan, evaluate the plan,
penelitian ini sebagian besar mempunyai latar evaluate the solution. Deskriptor TOEFL IBt
belakang pendidikan pesantren, masih ada pada reading test antara level rendah dan tinggi
keterkaitan materi pelajaran pada semester 1 dan mempunyai perbedaan dalam kemampuan
2. Akibatnya, kontribusi prestasi pada semester 1 memahami kalimat yang dinyatakan secara
dan 2 lebih tinggi pada jurusan IPS. Materi eksplisit atau implisit, fakta atau abstrak, dan
pelajaran pada jurusan IPA semester 3 dan 4 kompleksitas suatu konsep (Gomez, et.al, 2007:
lebih fokus pada pelajaran yang memerlukan 424-437). Semakin tinggi bench soal wacana pada
potensi kuantitatif dan penalaran. Oleh karena TBS, diperlukan aktivitas kognitif tahap evaluasi
itu, kontribusi variabel prestasi pada semester 3 terhadap solusi.
dan 4 pada siswa IPA lebih besar. Pada beberapa Deskripsi subtes kuantitatif dibedakan dalam
model di atas, dilakukan modifikasi dengan sub deretan angka, aritmatika dan aljabar dan
mengkorelasikan kesalahan pengukuran pada geometri. Setiap bench juga mempunyai ciri khas
variabel teramati. Misalnya, pada model masing-masing, diantaranya: (1) kompleksitas
persamaan struktural jenjang SMA jurusan IPS, pola yang membentuk deretan angka, makin
dilakukan modifikasi pada semester 3 dan 4. Hal tinggi bench maka pola yang ada pada deret
tersebut dilakukan dengan pertimbangan struktur makin kompleks, (2) operasi matematika, jenis
atau cluster mata pelajaran saling terkait. angka, jumlah variabel dalam persamaan dan
materi soal pada sub aritmatika dan aljabar, (3)
B. Performance-Level Descriptors (PLDs) pada bentuk bangun geometri baik dalam soal gambar
setiap subtes TBS atau cerita.
Klasifikasi TBS per subtes berdasarkan Namun demikian proses kognitif pada bench
empat nilai persentil benchmark internasional 3 dan 4 mempunyai kompleksitas yang hampir
(Kelly, 2002: 378) menghasilkan empat titik batas sama sehingga tidak terjadi peningkatan secara
(bench) dan sekelompok butir soal pada setiap konsisten. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
bench. Berdasarkan analisis ternyata soal-soal Ferrara, et.al. (2011) juga menunjukkan bahwa
yang terjaring pada bench 3 dan 4 lebih banyak deskripsi proses kognitif dan bahasa pada butir
dibanding dengan bench 1 dan 2. Hal tersebut soal matematika tidak meningkat secara
dapat dijelaskan karena paket tes yang dianalisis konsisten pada level 3, 4, dan 5. Deskriptor yang
merupakan paket-paket yang digunakan untuk tidak dapat menggambarkan kemampuan yang
keperluan seleksi. Perakitan butir soal menjadi harus dikuasai pada setiap level menyebabkan
sebuah alat tes sebaiknya memperhatikan tujuan ketidakjelasan kemampuan apa yang harus
tes tersebut diselenggarakan dan dapat dimiliki oleh seseorang pada setiap level.
mengatisipasi distribusi kemampuan peserta tes. Berdasarkan deskripsi potensi penalaran yang
Tes yang ditujukan sebagai alat seleksi harus telah dijelaskan sebelumnya, ciri khas yang
dapat menjaring orang-orang dengan membedakan antar bench adalah: (1) sifat premis
kemampuan tinggi. pada sub logis dan penarikan kesimpulan
berdasarkan kedua premis yang diberikan, (2)
IJEA 40
Idwin Irma Krisna, Prediksi Tes Bakat Skolastik Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas
karakteristik hubungan subjek/konsep pada soal mengolah informasi untuk memperoleh solusi.
diagram, (3) proses kognitif pada sub analitis Deskripsi potensi pada ketiga subtes dapat dilihat
mulai dari menggunakan sampai dengan pada tabel 1 sampai.
Subtes Kuantitatif
BBench
Deretan Angka Aritmatika & Aljabar Geometri
Individu mampu menyelesaikan Tidak terjaring butir soal
permasalahan aritmatika yang
1
Tidak terjaring soal berhubungan dengan rugi/laba
240
dan kecepatan.
IJEA 41
Indonesian Journal of Educational Assessment - Vol. 1 No. 1 (2018)
IJEA 42
Idwin Irma Krisna, Prediksi Tes Bakat Skolastik Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas
seseorang. Besarnya kontribusi pada setiap Cizek, G.J, Bunch, M.B , & Koons, H. (2004).
subtes dapat menjadi pertimbangan dalam Setting Performance Standards:
penjurusan siswa yang akan masuk SMA. Contemporary methods. Educational
Deskripsi potensi pada setiap bench Measurement , Issues and Practice , 23 (4), 31-
menunjukkan keunikan masing-masing sehingga 50.
dapat membedakan potensi pada bench rendah Cohen, R.J. & Swerdlik, M.E. (2002).
dan bench tinggi. Pada bench tinggi diperlukan Psychological testing and assessment: an
daya nalar yang tinggi dalam menganalisis dan introduction to test and measurement 5th ed.
mengolah informasi sehingga dapat memecahkan Boston: McGraw-Hill.
masalah dengan solusi yang tepat. Cohen, R.J. & Swerdlik, M.E. (2009).
Atas dasar simpulan di atas maka dapat Psychological testing and assessment: an
dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: introduction to test and measurement
Deskripsi potensi yang telah disusun College Board (2012). The SAT report on college
dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh and career readiness.
Puspendik dalam melaporkan hasil tes Cronbach,L.J. (1984). Essentials of psychological
sehingga menjadi lebih bermakna dan instansi testing 4th ed New York : Harper & Row.
yang menyelenggarakan seleksi dapat Ferrara. S., et al (2011). Test Development with
menggunakan deskripsi tersebut sebagai performance standards and achievement
bahan pertimbangan dalam menentukan growth in mind. Educational Measurement :
pembelajaran selanjutnya atau penempatan Issues and practice, 30(4), 3 -14.
pada bidang-bidang sesuai dengan potensinya. Forsyth, R. A. (1991). Do NAEP scales yield
Temuan penelitian pada prediksi jurusan valid criterion-referenced interpretations?
IPA atau IPS dapat digunakan oleh Educational Measurement: Issues and Practice,
penyelenggara pendidikan di sekolah 10(3), 3-9, 16.
menengah atas dalam menentukan peminatan Frey, M.C & Detterman, D.K. Scholastic
siswa pada mata pelajaran yang sesuai dengan assessment or g? The relationship between
potensi yang dimilikinya.. the scholastic assessment test and general
cognitive ability . Department of
****** Psychology, Case Western Reserve
Gregory, R.J. (2007). Psychological testing
REFERENSI (history, principles and applications) 5th
ed., USA: Pearson education.
Alnahdi, G. H. (2015). Aptitude tests and Gomez, P. G., et.al. (2007). Proficiency
successful college students: the descriptors based on a scale-anchoring
predictive validity of the general aptitude study of the new TOEFL iBT reading test.
test (GAT) in Saudi Arabia. International Language Testing, 24 (3): 417-444.
Education Studies, 8(4), 1-7. Hayes, J.R. (1989). The complete problem solver
Asrijanty. (2014). Validitas prediktif bakat (2nd.Ed). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
skolastik dan prestasi belajar sebagai Horn, C.,et.al. (1993). Paths to success in the
kriteria seleksi masuk perguruan tinggi. college classroom. Contemporary
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20(4), Educational Psychology. 18:464 - 478.
515-534. Jaeger, R.M. (1989). Certification of student
Anastasi, A. (1988). Psychological testing 6th ed. competence. Dalam R.L. Linn (Eds),
New York : Macmillan Educational Measurement (3rd ed., pp.
Publishing Co. 485-514). New York : American Council
Beaton,A.E. & Allen, N.L. (1992). Interpreting on Education/Macmillan.
scales through scale anchoring. Journal of Kelly, D. L. (2002). Appplication of the scale
Educational Statistics. Summer , 17( 2). 191- anchoring method to interpret the TIMSS
204 achievement scales. Dalam Robitaille,
Bejar, I.I, (2008). Standard setting: What is it? D.F., & Beaton, A.E (Eds). Secondary
Why is it important?. R&D Connections, 7. analysis of the TIMSS data. New York :
Berk, L. (2000). Child development 5th ed. Kluwer Academic Publishers.
Massachusetts: Allyn and Bacon
Camara, W.(2013). Defining and measuring
college and career readiness: A validation
framework. Educational Measurement: Issues
and Practice ,00(00), 1–12.
IJEA 43
Indonesian Journal of Educational Assessment - Vol. 1 No. 1 (2018)
Lohman, D. F. 2004. Aptitude for College: The Olatoye, R.A., & Aderogba ,A. A. (2011).
Importance of Reasoning Tests for Performance of senior secondary school
Minority Admissions. In R. Zwick (Ed.). science students in aptitude test: The role
Rethinking the SAT: The Future of of student verbal and numerical abilities.
Standardized Testing in University Journal of Emerging Trends in
Admissions (pp. 41-55). New York: Educational Research and Policy Studies
RoutledgeFalm (JETERAPS) 2 (6): 431-435 , ISSN : 2141-
Lyre´n, P.-E. (2008) Prediction of ccademic 6990
performance by means of the Swedish Resnick,L.B, Nolan, K.J., & Resnick, D.P.
scholastic assessment test. Scandinavian (1995). Benchmarking education
Journal of Educational Research Vol. 52, standards. Educational Evaluation and
No. 6, December 2008, pp. 565–581 Policy Analysis : 17(438).
Martin, M. O., et.al. (1997). Science Wyatt, J. et.al. (2011). SAT benchmarks :
achievement in the primary school years: Development of the college readiness and
IEA’s Third International Mathematics its relationship to secondary and
and Science Study (TIMSS). Chestnut Hill, postsecondary school performance.
MA: Boston College. College Board : Research Report , 5.
Mullis, I. V. S., et.al. (1998). Mathematics and Zwick, R., & Himelfarb, I. (2011) . The effect of
science achievement in the final year of high school socioeconomic status on the
secondary school: IEA’s Third predictive validity of SAT scores and high
International Mathematics and Science school grade-point average. , Summer ,
Study (TIMSS). Chestnut Hill, MA: 48(2), 101–121
Boston College.
IJEA 44