You are on page 1of 6

Perbandingan Fase Produksi Telur Kalkun Terhadap Fertilitas, Susut Tetas,

Daya Tetas, dan Bobot Tetas

The Camparison of Production Phase of Turkey Eggs on Fertility, Weight Loss,


Hatchability, and hatching weight

Nike Anggraina, Tintin Kurtinib, dan Dian Septinovab


a
The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
b
The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University
Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145

ABSTRACT

Egg production phase consists of two phases which first production phases and second production
phase. The first of production phase in turkeys began at the 6.5 to 7,0 months of hen age, the peak
production phase mains 9-10 ages, while the second of production phase on the life is more than
14 months of the hen age. Egg production in the first phase of production is higher than of egg
production in the second phase production.
This is caused by the ability of the reproductive organs in the first production phase better than the
second phase. The research was carried out on 1 March-12April 2013 held at the Ranch turkey
Pekon Sukoharjo Natural Partners I, Sukoharjo District, District Pringsewu. Eggs were used
during the study were turkey eggs as much as 60 egge with an average weight of 68,83 g egg on
egg production phase of the 7 months of age and 82.45 g in egg production phase at 14 months
age. This study used 2 treatment design, namely the egg production phase 7 months of hen age
(T1) and egg production phase 14 months of hen age (T2), each treatment consisted of 10
experimental units and each unit consists of experiments 3 eggs. Data were analyzed using
Student's t-test with a significance level of 5%. Treatment of egg production of the first and second
phase of the turkey parent age 7 months and 14 months did not affect significant (P> 0.05) on
fertility, hatchability turkey, and hatchability, whereas the hatching weight significantly (P <0.05)
the turkey egg.

Key word : Production phase, fertility, weight loss, hatchability, and hatching weight

PENDAHULUAN sehingga produksi telur kalkun hanya


mencapai 55--65 %.
Seiring dengan bertambahnya jumlah Usaha yang dapat dilakukan untuk
penduduk di Indonesia, permintaan meningkatkan populasi ternak kalkun adalah
konsumen terhadap produk hasil ternak juga dengan penetasan. Tujuan dari usaha
meningkat. Produk hasil ternak yang dipilih penetasan adalah untuk menghasilkan bibit
yaitu yang kaya nutrisi dan harganya kalkun yang berkualitas. Bibit yang
terjangkau. Selain daging ayam dan daging berkualitas baik, mengakibatkan
sapi, produk hasil ternak yang mulai menjadi kemampuan anak kalkun untuk tumbuh dan
perhatian oleh masyarakat adalah daging berkembang serta berproduksi menjadi lebih
kalkun. baik, yang akhirnya akan memengaruhi
Masyarakat Indonesia pada umumnya perkembangan populasi kalkun sehingga
belum banyak mengenal kalkun. Hal ini menjadi meningkat.
disebabkan oleh populasi kalkun yang masih Tingkat keberhasilan usaha penetasan
relatif sedikit. Menurut Rasyaf dan dilihat dari fertilitas dan daya tetas, karena
Amrullah (1983), populasi yang masih semakin tinggi fertilitas memungkinkan
rendah disebabkan oleh masih kurangnya daya tetas yang dihasilkan tinggi. Menurut
peternak kalkun di Indonesia. Selain itu, Kurtini dan Riyanti (2003), salah satu faktor
sistem pemeliharaannya masih semi intensif

5
yang memengaruhi fertilitas dan daya tetas pertama dan kedua sebesar 68,83 dan 82,45
adalah produksi telur . g.
Fase produksi telur terdiri dari dua fase Penyimpanan telur selama 4 hari
yaitu fase produksi pertama dan fase dengan suhu ruang penyimpanan berkisar
produksi kedua. Menurut Prayitno dan antara 25-27,170C.
Murad (2009), fase produksi pertama pada Rata-rata suhu harian pada ruang
kalkun dimulai pada umur induk 6,5—7,0 penetasan ini yaitu 37,70C, serta rata-rata
bulan, puncak fase produksi umur induk 9-- kelembaban harian ialah 70,2%.
10, sedangkan fase produksi kedua pada Proses turning dilakukan setiap 8 jam
umur induk lebih dari 14 bulan. sekali yaitu pada pukul 06.00, 14.00, dan
Produksi telur pada fase produksi 22.00 WIB, pemutaran telur tetas ini
pertama lebih tinggi dibandingkan dengan dilakukan sejak umur telur ke-5 yaitu
produksi telur di fase produksi kedua. Hal bersamaan dengan candling pertama.
ini disebabkan oleh kemampuan organ Pemutaran telur tetas di mesin tetas
reproduksi pada fase produksi pertama lebih dilakukan sampai hari ke-25 pada saat
baik dari pada fase kedua. Produksi telur candling kedua.
sejalan dengan umur induk karena semakin
tua umur induk, produksi telur akan Metode
meningkat. Salah satu faktor yang dapat
memengaruhi fertilitas adalah umur induk Penelitian ini membandingkan dua
(Kurtini dan Riyanti, 2003). Oleh sebab itu, perlakuan fase produksi telur tetas dari fase
fase produksi dapat memengaruhi fertilitas. produksi pertama dan kedua terhadap
peubah yang diamati adalah fertilitas, susut
tetas, daya tetas, dan bobot tetas. Data yang
MATERI DAN METODE diperoleh dianalisis menggunakan uji t
dengan taraf nyata 5% (Steel and Torrie,
Materi 1960).

Telur tetas dari induk kalkun yang


digunakan yaitu fase produksi pertama yang HASIL DAN PEMBAHASAN
berumur 7 bulan dan fase produksi kedua
yang berumur 14 bulan, masing-masing Tabel 1. Rata-rata fertilitas, susut tetas, daya
perlakuan sebanyak 30 butir, sehingga total tetas, dan bobot tetas pada setiap perlakuan.
telur tetas dari perlakuan adalah 60 butir
dengan rata-rata bobot telur tetas umur induk Uraian T1 T2
7 bulan sebesar 68,83 g dan umur 14 bulan
sebesar 82,45 g. Telur tetas yang ditetaskan Fertilitas (%) 80,00 76,67
berumur 4 hari dengan sex rasio jantan Susut tetas (%) 7,33 7,57
betina 1:4. Daya tetas (%) 38,10 62,96
Mesin tetas yang digunakan adalah Bobot tetas (g) 46,43b 56,44a
mesin tetas semi otomatis dengan kapasitas Keterangan :
6.000 butir. T1: Rata-rata fertilitas fase produksi pertama
Ransum yang digunakan adalah umur induk 7 bulan
menggunakan bahan dedak padi, konsentrat, T2: Rata-rata fertilitas fase produksi kedua
umur induk 14 bulan
grit, mineral, ziolit, dan daun singkong.
Superskrip berbeda pada baris yang sama
Penelitian ini dilaksanakan pada 1 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Maret--12 April 2013 bertempat di
peternakan Kalkun Mitra Alam, Pekon
Sukoharjo 1, Kecamatan Sukoharjo, A. Pengaruh Fase Produksi terhadap
Kabupaten Pringsewu. Fertilitas Telur.

Berdasarkan hasil uji t-student


Pelaksanaan Penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pada fase
produksi pertama telur kalkun pada umur
Seleksi telur meliputi keutuhan induk 7 bulan dan fase produksi kedua umur
kerabang telur, bentuk, kebersihan, dan induk 14 bulan tidak berbeda nyata (P>0,05)
bobot telur rata-rata pada fase produksi terhadap fertilitas telur kalkun.

6
Fertilitas yang tidak berbeda ini B. Pengaruh Fase Produksi terhadap
disebabkan oleh kemampuan sistem Susut tetas
reproduksi induk kalkun pada fase produksi
pertama dan kedua (induk umur 7 dan 14 Berdasarkan hasil uji t-student
bulan) masih relatif sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlakuan fase
ditunjang oleh sex ratio induk betina dan produksi I (induk umur 7 bulan) dan fase
jantan yang sama yaitu 4:1, umur umur tetas produksi II (induk umur 14 bulan) berbeda
4 hari, dan ransum yang digunakan sama tidak nyata (P>0,05) terhadap susut tetas.
sehingga berakibat pada fertilitas yang Susut tetas yang berbeda tidak nyata ini
relatif sama. Hal ini sesuai dengan disebabkan oleh ketebalan kerabang pada
pernyataan Suprijatna, et al., (2008) bahwa telur fase produksi I (induk umur 7 bulan)
faktor yang menentukan fertilitas antara lain dan fase produksi II (induk umur 14 bulan)
yaitu sex ratio, lama penyimpanan telur, ini relatif sama. Pada penelitian ini telah
manajemen pemeliharaan, pakan, dan dipilih telur-telur yang memiliki kerabang
musim. yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis
Telur tetas yang dihasilan pada sehingga perlakuan tidak memengaruhi susut
produksi fase pertama (68,83 g) dan fase tetas telur terhadap fase produksi I (induk
produksi kedua (82,45 g) perbedaan umur 7 bulan) dan II (induk umur 14 bulan).
beratnya tidak terlalu jauh sehingga Cara melihat tebal atau tipisnya kerabang
memiliki kandungan nutrisi yang relatif pada penelitian ini yaitu dengan melihat
sama untuk memberikan kesempatan yang warna kerabang telur. Menurut penelitian
sama dalam perkembangan embrio sampai Kurtini (1988), telur itik yang warnanya
hari ke-25 saat candling terakhir sebelum lebih tua memiliki kulit telur yang lebih
telur menetas umur telur 28 hari, sehingga tebal dibandingkan dengan warna yang
fertilitas yang dihasilkan tah jauh berbeda. sedang dan warna yang terang. Ketebalan
Hasil dari penelitian Sugiarsih, et al., (1985) kerabang yang sama diduga diikuti dengan
yang menunjukkan bahwa bobot telur tetas ukuran pori-pori yang sama dari kerabang
kalkun 60,0--84,9 g memiliki fertilitas yang telur masing-masing perlakuan. Kerabang
sama. telur mengandung rata-rata lebih dari 7.000
Kaitan dengan sex ratio, pada pori-pori dan berukuran sempit 0,01--0,07
penelitian ini sex ratio di antara jantan dan mm (Rahn, et al.,1987). Jumlah pori-pori
betina sudah baik yaitu 1:4. Hal ini sesuai yang relatif sama ini mengakibatkan
dengan pendapat Suryadi (2012) bahwa perbedaan persentase susut tetas yang sangat
perbandingan jantan dan betina yang baik kecil dari setiap perlakuan yaitu 7,33 dan
adalah 1:5 sampai dengan 1:8. Induk yang 7,57%.
dipakai kesehatannya dalam kondisi baik, Faktor lain yang menyebabkan tidak
serta ransum yang diberikan dan pengaruh berbeda nyatanya susut tetas ini diduga
pada musim yang sama menyebabkan disebabkan oleh proses pengelolaan di
kualitas sperma yang dihasilkan dan dalam mesin tetas yaitu pengaturan suhu dan
kemampuannya untuk membuahi ovum kelembapan. Rata-rata suhu mesin tetas
relatif sama. pada penelitian adalah 37,70C. Menurut Pas
Dari hasil penelitian ini rata-rata Reform (2010), bahwa suhu yang ideal
fertilitas pada fase produksi I (umur induk 7 untuk proses inkubasi pada telur kalkun
bulan) dengan bobot telur 68,83 g adalah berkisar antara 37,7--38,60C. Suhu pada
sebesar 80.00% dan fase produksi II (umur penelitian ini masih termasuk normal untuk
induk14 bulan) dengan bobot telur 82,45 g perkembangan embrio kalkun selama
fertilitasnya 76,67%. Rata-rata fertilitas penetasan. Suhu penetasan yang terlalu
pada penelitian ini lebih besar dibandingkan tinggi akan menyebabkan penguapan air
dengan hasil penelitian Nugroho (2003) dalam telur menjadi lebih banyak.
yang menunjukkan bahwa fertilitas pada Kehilangan air akan lebih rendah dalam telur
perlakuan kisaran bobot telur kalkun bobot yang diinkubasi pada suhu rendah
telur 81,00--83,99 g adalah sebesar 63,33%, dibandingkan dengan suhu tinggi (Nakage,
bobot telur 75,00--77,99 g adalah 60,00% et al., 2003).
dan bobot telur 69,00--71,99 g adalah Semakin tinggi suhu maka kelembapan
53,33% dengan sex ratio yaitu 1:5. menjadi rendah dan telur akan mengalami
pengeluaran panas yang lebih besar melalui
evaporasi. Menurut Buhr dan Wilson
(1991), kelembapan memiliki hubungan

7
terbalik dengan persentase kehilangan berat menghasilkan dan meningkatkan daya tetas,
telur. Kelembapan 43% mengakibatkan walaupun tidak selalu mengakibatkan daya
kehilangan berat telur sebesar 0,60%, tetas yang tinggi pula.
kelembapan 55% mengakibatkan kehilangan Selain hal di atas, tidak berbedanya
berat telur sebesar 0,54% dan kelembapan daya tetas telur kalkun disebabkan oleh tidak
69% mengakibatkan kehilangan berat telur nyatanya perlakuan terhadap susut tetas,
sebesar 0,40%. karena susut tetas merupakan salah satu
Penyusutan berat telur diakibatkan oleh faktor yang memengaruhi daya tetas.
pengaruh suhu dan kelembapan selama masa Semakin besar susut tetas kemungkinan
penetasan (Tullet dan Burton,1982). Rata- akan mengakibatkan embrio gagal menetas
rata kelembapan harian pada penelitian ini akibat dehidrasi karena penguapan yang
adalah 70,2%. Menurut Ahmed, et al. terlalu besar, sedangkan susut tetas yang
(2013), kelembaban pada penetasan telur terlalu kecil kemungkinan embrio tidak
kalkun di setter (1--25 hari) yaitu 61--63% bermetabolisme.
dan pada hatcher (26--28 hari) kelembapan Hal lain yang menyebabkan tidak
nya yaitu 85--90%. Kelembapan pada adanya perbedaan yang nyata terhadap daya
penelitian ini termasuk tinggi dari tetas adalah manajemen penetasan yang
rekomendasi dari Ahmed, et al. (2013) sama pada masing-masing perlakuan.
terutama pada umur telur 1--25 hari 61-- Manajemen penetasan yang sama
63%, kelembapan yang tinggi akan memungkinkan masing-masing perlakuan
mengakibatkan pertukaran oksigen dan berpeluang sama untuk menerima suhu dan
karbondikosida serta penguapan air akibat kelembapan. Hal ini menyebabkan energi
proses metabolisme perkembangan embrio panas yang diterima untuk proses
menjadi berkurang. Penyusutan berat telur metabolisme di dalam telur sama, sehingga
selama masa penetasan menunjukkan adanya kemampuan embrio untuk berkembang
perkembangan dan metabolisme embrio sampai menetas relatif sama.
yaitu dengan adanya pertukaran gas oksigen Daya tetas yang tidak nyata dan masih
dan karbondioksida serta penguapan air rendah ini diduga terjadinya silang dalam
melalui kerabang telur (Peebles and Brake, atau inbreeding yang berkali-kali pada induk
1985). kalkun di peternakan Mitra Alam. Hal ini
Rata-rata persentase susut tetas telur sesuai dengan pernyataan Kurtini dan
kalkun selama penelitian pada fase produksi Riyanti (2003) bahwa inbreeding merupakan
I (induk umur 7 bulan) sebesar 7,33% dan perkawinan yang mempunyai hubungan
fase produksi II (induk umur 14 bulan) darah yang dekat berkali-kali tanpa ada
sebesar 7,57%. Susut tetas hasil penelitian seleksi yang efektif akan menurunkan daya
ini masih lebih rendah dibandingkan dengan tetas. Menurut Warwick,et al. (1995), akibat
Aviagen Turkey (2011) bahwa target dari suatu perkawinan yang berlangsung
persentase pada susut tetas dengan umur dekat dalam waktu yang lama akan
induk kalkun 7--> 11 bulan yaitu antara 10-- menurunnya ukuran dan kekuatan tubuh.
14% selama telur tetas berumur 25 hari. Selain itu, akibat dari silang dalam ini ialah
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh menghasilkan gen letal pada keturunannya
faktor ketebalan kerabang dan kelembapan dapat menurunkan daya tetas serta
mesin tetas. abnormalitas pada embrio. Daya tetas akan
mengalami penurunan sebesar 1% jika
terjadi kenaikan pada setiap 10% silang
C. Pengaruh Fase Produksi terhadap dalam terhadap induk.
Daya Tetas Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Nugroho (2003) bahwa pengaruh
Berdasarkan hasil uji t-student bobot telur tidak menunjukkan perbedaan
diketahui bahwa fase produksi telur yang nyata (P>0,05) terhadap daya tetas
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata telur kalkun dengan bobot telur 75,00 g dan
(P<0,05) terhadap daya tetas telur kalkun. 81,00 g dengan daya tetas 72,22% dan
Hal ini disebabkan oleh fertilitas yang tidak 73,61%.
berbeda. Menurut Hasnelly, et al., (2013),
daya tetas selalu berhubungan dengan
fertilitas telur. Hal ini sesuai dengan
pernyataan North dan Bell (1990) bahwa
fertilitas yang tinggi diperlukan untuk

8
D. Pengaruh Fase Produksi terhadap SIMPULAN
Bobot Tetas
Perbandingan telur tetas kalkun dari
Berdasarkan hasil uji t-student fase produksi pertama( induk umur 7 bulan)
diketahui bahwa perlakuan pada fase dan kedua (induk umur 14 bulan) berbeda
produksi telur berbeda nyata (P<0,05) tidak nyata P(<0,05) terhadap fertilitas, susut
terhadap bobot tetas telur kalkun. tetas dan daya tetas, sedangkan terhadap
Bobot tetas yang tidak berbeda ini bobot tetas berbeda nyata (P>0,05).
diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah
kuning telur (yolk) dan putih telur (albumen)
sebagai sumber nutrisi selama DAFTAR PUSTAKA
perkembangan embrio. Bobot telur yang
besar akan mengandung jumlah kuning telur Aviagen, T. 2011. Measuring Egg Water
dan putih telur yang besar pula. Semakin Loss. www.aviagenturkey.com .
banyak jumlah kuning telur dan putih telur Diakses tanggal 18 Februari 2013.
maka ketersediaan nutrisi untuk Ahmed, M., R, Rao., P.S.Mahesh., K.
pertumbuhan embrio semakin banyak Ravikumar., S. Ahmed., P. Nallappa.
sehingga bobot tetas yang akan dihasilkan 2013. Turkey Management Guide.
akan besar pula. Sudaryanti (1985) Central Poultry Development
menyatakan bahwa bobot telur akan Organisation. Karnataka. India.
memberikan perbedaan pada pertumbuhan Buhr, R.J. dan J.L. Wilson. 1991.
embrio, baik dalam jumlah sel maupun Incubation relative humidity effect on
ukuran selnya. allantoic fluid volume and hatchability.
Bobot telur berhubungan dengan fase Poultry Sci. 70 (Suplement 1) 1-188.
produksi, pada fase produksi telur pertama Hasan, S.M.A. 2005. Physiology,
menghasilkan bobot telur lebih kecil endocrinology, and reproduction: egg
daripada fase produksi kedua. Rata-rata storage period and weight effect on
bobot telur tetas yang dihasilkan pada fase hatchability. J. Poultry Sci. 84: 1908-
produksi pertama oleh induk kalkun umur 1912
6,5—7,0 bulan berkisar antara 60--70 g, Hasnelly, Z. Rinaldi., dan Suwardih. 2013.
sedangkan puncak fase produksi umur induk Penangakaran dan Perbibitan Ayam
9--10 bulan berkisar antara 70--75 g, dan merawang di Bangka Belitung. Balai
pada fase produksi kedua oleh induk kalkun Pengkajian Teknologi Pertanian
umur lebih dari 14 bulan sebesar 80 g Kepulauan bangka Belitung. Bangka
(Prayitno dan Murad, 2009). Dengan Belitung.
adanya perbedaan bobot telur tersebut, Hermawan, A. 2000. Pengaruh Bobot dan
memungkinkan adanya perbedaan bobot Indeks Telur terhadap Jenis Kelamin
tetas. Anak Ayam Kampung pada saat
Bobot tetas berkorelasi positif dengan Menetas. Karya Ilmiah. Fakultas
bobot telur tetas. Semakin besar bobot telur Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
tetas maka semakin besar pula bobot tetas Bogor.
yang dihasilkan (Hasan, et. al., 2005). Hasil Kurtini, T. 1988. Pengaruh Bentuk dan
penelitian Hermawan (2000) juga Warna Kulit Telur terhadap Daya Tetas
menunjukkan bahwa ada hubungan yang dan Sex Ratio Itik Tegal. Tesis.
sangat nyata antara bobot telur dan bobot Fakultas Pascasarjana. Unpad,
tetas, semakin tinggi bobot telur yang Bandung.
ditetaskan akan menghasilkan bobot tetas Kurtini, T. dan R. Riyanti. 2003. Teknologi
yang lebih besar. Penetasan. Buku Ajar. Universitas
Hasil penelitian ini sesuai dengan Lampung, Lampung
pendapat Sugiarsih, et al. (1985) bahwa Nakage, E.S., J.P.Cardozo., G.T.Pereira.,
bobot tetas telur menunjukkan adanya S.A.Queiroz., dan I.C.Boleli .2003.
pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap Effect of Temperature on Incubation
bobot tetas kalkun. Period, Embryonic Mortality, Hatch
Rate, Egg Water Loss and Partridge
Chick Weight (Rhynchotus Rufescens).
Department of Morphology and
Physiology Animal. University of
Estadual Paulista. Jaboticabal. Brasil

9
Nugroho, W. 2003. Pengaruh Bobot Telur Ayam Kampung Pada Pemeliharaan
Tetas Kalkun Lokal terhadap Fertilitas, Semi Intensif. Proseding Seminar
Daya Tetas, dan Bobot Tetas. Skripsi. Peternakan dan Forum Peternakan
Jurusan Peternakan. Universitas Unggas dan Aneka Ternak. Pusat
Lampung. Lampung. Penelitian dan Pengembangan
North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Peternakan Badan Penelitian dan
Commercial Chicken Production Perkembangan Pertanian Departemen
Manual. 4Ed. Connecticut Avi Pertanian. Hal 164-168
Publishing. New York Sugiarsih, N.S., Yuningsih, dan S. Yogasari.
Pas Reform. 2010. Incubation Guide 1985. Pengaruh Berat Telur dengan
Turkey. Version 4.1. Pas Reform Daya Tetas dan Berat Telur Tetas
academy, zeddam. Netherland Kalkun. Prosiding Seminar Peternakan
Peebles, E.D dan J. Brake. 1985. dan Forum Peternakan Unggas dan
Relationship of egg shell porosity of Aneka Ternak, Badan Penelitian dan
stage of embrionic development in Pengembangan Pertanian Departemen
broiler breeders. Poult. Sci. 64 (12): Pertanian. Bogor
2388 Suryadi. 2012. Metode penetasan telur
Prayitno, D.S., dan B.C. Murad. 2009. kalkun modern menggunakan mesin
Manajemen Kalkun Berwawasan tetas.
Animal Welfare. Badan Penerbit http://anakankalkun.wordpress.com/20
Universitas Diponegoro. Semarang. 12/06/20/metode-penetasan-telur-
Rahn, H., C.V. Paganelli., dan A.R. Amos. modern-menggunakan-mesin -tetas/.
1987. Pores and gas exchange of avian (17 Februari 2013)
eggs: A review. The journal of Suprijatna, E.,U. Atmomarsono, dan R.
experimental zoology suplement 1: Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar
165-172. Ternak Unggas. Cetakan ke-2.
Rasyaf, M. dan Amrullah I.K. 1983. Penebar Swadaya. Jakarta
Beternak Kalkun. Penebar Swadaya. Tullet, S.G. dan F.G. Burton. 1982. Factor
Jakarta affecting the weight and water status of
Steel, R.G.D. Dan J. Torrie. 1991, Prinsip chick and hatcsh. British Poult. Sci.
dan Prosedur Statistik Suatu 32: 361-369.
Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa B. Warwick, E.J.J. Maria. A dan H. Wartomo.
Sumantri. PT. Gramedia. Jakarta. 1995. Pemuliaan Ternak. Cetakan ke-
Sudaryanti. 1985. Pentingnya 5. Gajah Mada Universitas Press.
Mempertahankan Berat Telur Tetas Yogjakarta

10

You might also like