You are on page 1of 30

7

Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya


Beggar-Homeless and Street Children in Cultural-Social Perspective

Ani Mardiyati
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS). Kementerian Sosial RI.
Jalan Kesejahteraan Sosial No. 1 Sonosewu, Bantul, Yogyakarta. Email: animardiyati@rocketmail.com
Naskah diterima 15 Januari 2015, direvisi 9 Februari 2015, disetujui 20 Februari 2015

Abstract

This study is meant to unravel the problem in social and cultural perspective on the handling held by
government and non-government for beggar-homeless at the institution and street children at the transit house. The
prevalency of beggar and street children indicates the government needs to overcome that problem socially and
culturally. From social perspective, beggar-homeless and street children are part of society where they embeded
socially structurelye. The existence of beggar-homeless and street children in the city associated as a problem that is
identic with dirtyness, even thieve and stoling. As part of governmental social structure, beggars and street children
should be seen as an object of handling so that they are not a threat to general order but they can be a community
supporting city development, perticularly. Cultural handling that treat beggar-homeless and street children as civilized
community. Educate positive mental and spirit that currently they put aside is one effort to bring back to normative
conduct as member of civilized community. Besides that, it needs capitalizing skill education for beggar-homeless and
street children when they work and create later. The last effort that can be done is to bring them to the place of origin,
with governmental coordination handling and to provide work chance at the place of origin, with coordinated handling
to provide work chance at the place of origen they left before, for example with utilizing many-workers-job program.
With this effort rural people are expected to live comfortably in the village. The float of urbanization will not get bigger
and bring a problem in the urban area. In future, it needs rural human recources planning, especially in infertile and
dry areas with its people living normally.

Keywords: Beggar and Homeless-Street Children-Cultural and Social Perspective

Abstrak

Kajian mengenai gelandangan pengemis (gepeng) dan anak jalanan (anjal) dimaksudkan mengurai
permasalahan dalam perspektif sosial dan budaya. Penanganan yang selama ini dilakukan pemerintah maupun pihak
swasta antara lain pelayanan dalam panti untuk gepeng dan rumah singgah untuk anjal. Masih berkeliarannya gepeng
dan anjal hingga saat ini menunjukkan perlunya pemerintah mengatasi permasalahan tersebut dari aspek sosial dan
kultural (budaya). Dari perspektif sosial, gepeng dan anjal adalah bagian dari masyarakat yang terikat struktur sosial di
mana mereka berada. Keberadaan gepeng dan anjal di perkotaan diasosiasikan sebagai permasalahan yang identik
dengan kekotoran, bahkan penipuan atau pencurian. Sebagai bagian dari struktur sosial pemerintahan kota, gepeng
dan anjal seyogyanya dipandang sebagai lahan penanganan agar mereka bukan lagi menjadi ancaman ketertiban,
melainkan dapat menjadi komunitas yang mendukung kemajuan pembangunan kota khususnya. Penanganan dari
sisi budaya, dengan memperlakukan gepeng dan anjal adalah bagian dari masyarakat yang berbudaya. Penanaman
mental spiritual positif yang selama ini mereka abaikan menjadi salah satu cara mengembalikan tindakan normatif
sebagai warga masyarakat yang berbudaya. Disamping itu, perlunya pembekalan pendidikan keterampilan bagi
gepeng dan anjal sebagai bekal untuk mendapatkan penghasilan dengan bekerja atau berkarya. Cara terakhir
yang dapat ditempuh yaitu dengan mengembalikan mereka ke daerah asal, dengan penanganan terpadu oleh pihak
pemerintah dengan menyiapkan lapangan pekerjaan di perdesaan yang mereka tinggalkan, misalnya padat karya.
Dengan cara tersebut masyarakat desa diharapkan akan tetap merasa nyaman tinggal di desa. Kedepan, diperlukan
perencanaan pengelolaan sumber daya manusia yang berada diperdesaan terutama di daerah yang tandus dan
kurang menjanjikan untuk dapat hidup layak.

Kata Kunci: Gelandangan pengemis; anak jalanan; perspektif sosial budaya

79
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

A. Pendahuluan anak, dan ekploitasi anak untuk mencari nafkah


Permasalahan sosial yang ada di dengan meminta-minta, jualan koran ditengah
Indonesia hingga saat ini makin kompleks. Masih hiruk pikuknya keramaian lalu-lintas membuat
tingginya Penyandang Masalah Kesejahteraan miris bagi yang melihatnya. Tiga permasalahan
Sosial (PMKS) mendorong pemerintah lain yang disebabkan kemiskinan dan menjadi
Indonesia untuk berpikir panjang mencari solusi topik tulisan ini ialah gelandangan, pengemis
yang tepat dalam upaya mengatasinya. Upaya (gepeng) dan anak jalanan (anjal) yang memiliki
penanggulangan permasalahan kesejahteraan kesamaan karakteristik.
sosial sudah dilakukan melalui berbagi program Masalah gepeng dan anjal menjadi
baik oleh pihak pemerintah maupun swasta pusat perhatian para pemerhati kesejahteraan
(organisasi sosial). Kementerian Sosial sebagai sosial yang berupaya untuk mengatasinya.
kepanjangan tangan pemerintah berupaya Kementerian Sosial dengan program rehabilitasi
memilah permasalahan-permasalahan sosial gepeng melalui panti yang tersebar di Indonesia,
dalam jenis-jenis Penyandang Masalah belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan maksud Hal tersebut disebabkan pertama, tidak
mempermudah jalannya penanganan. imbangnya jumlah permasalahan dibanding
Perlu ditampilkan disini payung hukum penanganan. Jumlah panti dengan tenaga yang
hak-hak warga negara Indonesia yang tertera menangani tidak sebanding dengan banyaknya
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 kelayan sehingga masih banyak gepeng yang
tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-undang berkeliaran. Kedua, makin berkembangnya
tersebut berisi mengenai kesejahteraan pola konsumsi masyarakat yang disebabkan
sosial, yaitu suatu kondisi terpenuhinya perubahan sosial akibat globalisasi. Mudahnya
kebutuhan materiil, spiritual, dan sosial bagi masyarakat mengakses berita, tontonan yang
setiap warga negara agar dapat hidup layak bernuansa iklan mendorong naiknya pola
dan mampu mengembangkan diri sehingga konsumsi masyarakat sehingga makin banyak
mampu melaksanakan fungsi sosialnya. orang yang merasa penghasilannya tidak
Dengan undang-undang tersebut pemerintah mencukupi. Faktor kedua ada kecenderungan
dibantu swasta dalam hal ini lembaga swadaya bersifat sosial dan budaya, bukan ekonomi
masyarakat berupaya menangani permasalahan semata. Makin terlihat adanya kenaikan selera
sosial yang ada di masyarakat. masyarakat, dengan banyaknya “iming-iming”
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) yang dilihat setiap harinya. Hal tersebut dapat
Kementerian Sosial mencatat adanya 24 dilihat munculnya indikator kemiskinan bukan
jenis PMKS. Kementerian Sosial yang karena mereka tidak bisa makan. Sebagai
mengemban tugas dan fungsi penanganan contoh, peminta-minta (pengemis) sudah tidak
PMKS mengelompokan kedalam tujuh sasaran mau diberi makanan, berbeda dengan era 20
yaitu 1) kemiskinan, 2) keterlantaran, 3) hingga 30 tahun yang lalu. Masa sebelum tahun
kecacatan, 4) keterpencilan, 5) ketunaan dan 90-an banyak pengemis minta makan, kemudian
penyimpangan perilaku meliputi tuna susila, langsung menikmatinya. Berbeda pengemis
pengemis, gelandangan, bekas warga binaan yang ditemui pada akhir-akhir ini, pengemis tidak
lapas, dan korban Napza, 6) korban bencana, mau diberi makan, akan tetapi mereka minta
dan 7) korban tindak kekerasan, eksploitasi, uang atau pakaian. Pakaian biasanya akan
dan diskriminasi. Ada beberapa permasalahan dijual kembali untuk ditukar dengan uang. Fakta
sosial yang saling berkaitan. Akar permasalahan seperti ini menunjukkan keberadaan gepeng
yang saling berkaitan didominasi masalah dan anjal saat ini karena kebutuhan uang.
kemiskinan. Kemiskinan dapat mendorong Peran pemerintah maupun swasta
seseorang melakukan tindak kriminal seperti sangat dibutuhkan untuk memikirkan
mencuri, menjambret dan merampok. penanganan permasalahan sosial yang tidak
Kemiskinan dapat memicu seseorang untuk kunjung habis. Pihak pemerintah daerah
berkecimpung di dunia gelap (prostitusi), baik bergerak melalui Perda No 9 tahun 2013 tentang
ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Ketertiban Umum, melakukan tindakan yang
Perdagangan anak (trafficking), penculikan bersifat represif dengan menurunkan Satpol

80
Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya (Ani Mardiyati)

Pamong Praja untuk melakukan razia. Pihak Manfaat yang ingin dicapai dalam
pemerintah daerah berkoordinasi dengan Dinas kajian ini, 1) secara teoritis dapat menambah
Sosial untuk melakukan pembinaan tidak lanjut keberagaman kasanah ilmu pengetahuan
dengan tujuan akhir membuat mereka tidak mengenai penangan PMKS khususnya gepeng
kembali ke jalan-jalan, dengan harapan dapat dan anjal, 2) manfaat praktis, dengan harapan
melaksanakan fungsi sosialnya. Usaha tersebut hasil tulisan ini dapat menambah nuansa
dapat mengatasi permasalahan gepeng dan dalam menyusun Juklak maupun Juknis dalam
anjal, namun bersifat sementara. Gepeng dan penanganan Gepeng dan anjal khususnya dan
anjal kembali bergerak menyebar di berbagai PMKS pada umumnya.
tempat yang dianggap strategis. Hal tersebut
dimungkinkan kurangnya pendampingan ketika B. Metode Kajian
mereka ditampung setelah dirazia. Kajian mengenai gelandangan
Penanganan masalah gepeng dan anjal pengemis dan anak jalanan ini merupakan
sudah dilaksanakan secara terpadu dengan penelitian pustaka yang menyajikan isu-isu
pihak swasta. Beberapa lembaga swadaya penting berkaitan dengan permasalahannya.
masyarakat memberikan pendampingan Tulisan ini berpijak dari permasalahan gepeng
melalui wadah ‘rumah singgah’, akan tetapi dan anjal yang masih menjadi sebuah isu
upaya tersebut juga belum dapat menunjukkan kemanusiaan dan belum ditemukan solusi yang
hasil yang memuaskan, namun paling tidak tepat. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih
sudah ada penanganan meskipun tidak dapat berkeliarannya gepeng dan anjal yang oleh
menyelesaikan permasalahan secara tuntas. sebagian pihak dipandang akan mengganggu
Penampungan hasil razia gepeng dan ketidaktertiban dan mengotori pemandangan
anjal memerlukan penanganan yang kompleks. perkotaan.
Pertama masalah tempat penampungan, Kajian ini disajikan secara naratif
pemerintah perlu menyiapkan lokasi untuk dengan analisa kualitatif, dengan memberikan
penampungan. Kedua perlu logistik yang pemaknaan terhadap fenomena ataupun
biayanya tidak sedikit, ketiga perlu tenaga yang permasalahan yang berkaitan dengan gepeng
mendampingi mereka selama di penampungan, dan anjal. Kajian dikaitkan dengan latar belakang
kemudian keempat diperlukannya bentuk sosial dan budaya. Analisa permasalahan
kegiatan untuk mengalihkan agar mereka tidak gepeng dan anjal dengan perspektif sosial,
kembali dijalanan. Cara menangani gepeng mengedepankan aspek individu sebagai
dan anjal tersebut memerlukan anggaran yang bagian dari kelompok masyarakat, sementara
besar. Melihat masih seringnya gepeng dan perspektif budaya memandang gepeng adalah
anjal berkeliaran di jalan mengindikasikan belum masyarakat berbudaya. Gepeng dan anjal
ditemukannya cara ataupun solusi yang tepat sebagai masyarakat dengan budaya yang
untuk menangani permasalahan gepeng dan dimilikinya menjadi sebuah komunitas yang
anjal. Tulisan ini mencoba menyajikan sebuah tidak menampakkan budaya yang normatif.
analisa sosial budaya mengenai gepeng dan Dengan demikian kajian ini mencoba melihat
anjal dalam upaya mengurangi pesebaran permasalahan dari sisi latar belakang sosial
gelandangan dan pengemis diberbagai kota budaya komunitas gepeng dan anjal. Tulisan ini
di Indonesia. Disamping itu dicari faktor-faktor berupaya mengupas awal keberadaan gepeng
yang menyebabkab sulitnya penanganan dan anjal dalam perubahan identitas sosial
permasalahan gepeng dan anjal. Faktor-faktor hingga kondisi setelah menjadi komunitas
apa saja yang mempengaruhi masih eksisnya gepeng. Analisa fenomena keberadaan
keberadaan gepeng dan anjal. Studi yang gepeng yang semakin marak, dikaji dengan
dilakukan berdasarkan kajian dokumen yang mengupas faktor penyebab mereka menjalani
dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian yang kehidupan yang meninggalkan nilai-nilai
berkaitan dengan harapan hasil kajian dapat normatif dan bagaiman menemukan cara untuk
digunakan sebagai acuan penanganan gepeng mengatasinya. Dalam rangka mendapatkan
dan anjal. jawab dari permasalahan ini, dilakukan kajian
pustaka yang berupa konsep-konsep maupun

81
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

hasil penelitian berkaitan dengan gepeng dan kerja, 4) warisan hidup menggelandang,
anjal. 5) Faktor alam atau musibah/ bencana. Kelima
faktor yang dikemukakan Parsudi Suparlan
C. Hasil dan Pembahasan tersebut masih relevan dengan kondisi saat
1. Permasalahan Gelandangan Pengemis dan ini. Laju pertumbuhan penduduk berimplikasi
Anak Jalanan pada meningkatnya angka ketergantungan,
Menurut para ahli sosial, penyebab yaitu besarnya usia produktif tidak diimbangi
adanya gelandangan dan pengemis serta banyaknya lapangan pekerjaan, sehingga terjadi
anak jalanan disebabkan krisis ekonomi yang peningkatan jumlah pengangguran. Kondisi
berkepanjangan. Namun secara detail dapat daerah perdesaan yang kurang produktif,
dijelaskan bahwa keberadaan gepeng dan misalnya makin sempitnya lahan pertanian,
anjal disebabkan terjadinya kemiskinan lokal kondisi tanah tandus menjadi salah satu faktor
secara kultural maupun struktural. Bentuk atau pendorong penduduk perdesaan melakukan
jenis kemiskinan yang berbeda memerlukan urbanisasi ke kota. Keterbatasan lapangan kerja
penanganan yang berbeda pula. Penanganan formal dan informal juga menjadi salah satu
kemiskian struktural akan berbeda dengan pendorong munculnya gepeng dan anjal. Faktor
penanganan kemiskinan kultural. Sebagai bencana alam yang terjadi tidak terduga juga
contoh, sebuah keluarga yang orang tuanya menjadi penyebab munculnya masalah sosial
pemalas akan menurunkan generasi yang malas gepeng dan anjal.
juga. Semboyan “ mangan ra mangan kumpul” Gelandangan pengemis dan anak
yang ada pada masyarakat Jawa juga dapat jalanan pada awalnya adalah orang-orang yang
dikaitkan terjadinya kemiskinan secara budaya. miskin secara materi. Namun karena memiliki
Kalau generasi ‘empat puluh lima’ memiliki budaya miskin yaitu malas, mereka memenuhi
semboyan tersebut disebabkan produk kolonial kebutuhan hidupnya menunggu belas kasihan
yang memiskinkan rakyat Indoonesia melalui atau meminta-minta. Sebenarnya ada yang
pembodohan. Namun ada beberapa orang tidak tergolong miskin, namun mereka mencari
produk generasi penjajahan yang berpikiran kritis uang untuk membangun rumah dengan cara
serta memiliki nasionalisme tinggi. Generasi meminta-minta, akhirnya menjadi terbiasa
terpilih tersebut berusaha bangkit dengan hidup meminta belas kasihan dari orang lain.
belajar di sekolah milik penjajah. Merekalah Ada kecenderungan jumlah gepeng dan anjal,
yang berjuang mencapai Indonesia Merdeka. semakin bertambah, fenomena ini terlihat
Beberapa faktor penyebab menjadi adanya para gepeng terus berdatangan dari
gelandangan dan pengemis menurut hasil berbagai daerah menuju perkotaan.
penelitian Tateki dkk (2009) antara lain 1) Tidak Data terakhir dari Pusat Data dan
mampu bekerja, 2) Tidak punya modal usaha, Informasi (Pusdatin) Kemensos tahun 2012
3) Tidak punya keterampilan kerja, 4) Tidak jumlah gelandangan sebesar 18.599 jiwa dan
punya pilihan lain, dan 5) lebih suka menjadi Anak Jalanan sebesar 178.262 jiwa. Gepeng
gepeng. Dari hasil penelitin tersebut alasan tidak dan anjal memiliki kebiasaan berpindah- pindah
punya pilihan lain paling dominan yaitu 36,67 tempat, sehingga data akurat tentang populasi
persen responden memilih jawaban tersebut. gepeng dan anjal, sulit dipastikan jumlahnya.
Pesebaran jawaban arahnya merata, artinya 5 Ketidakakuratan data gepeng dan anjal berakibat
alasan menjadi gepeng sesuai dan menjawab terhadap penanganan yang akan diberikan,
faktor penyebab mereka menjadi gepeng. Dari selain itu perbandingan jumlah gepeng dan
kelima faktor penyebab tesebut point yang anjal tidak sebanding dengan fasilitas maupun
kelima inilah yang masih perlu dikupas mengapa tenaga yang menangani.
mereka lebih senang menjadi gepeng. Terlepas dari metode pendataan
Menurut Suparlan (1984) faktor-faktor gelandangan dan anak jalanan, bagaimanapun
yang mendorong orang-orang berurbanisasi mereka menjadi sumber permasalahan sosial
dan menjadi gepeng antara lain; 1) Lajunya yang perlu untuk diperhatikan. Oleh karena
pertumbuhan penduduk di perdesaan, 2) itu perlu dilakukan penanganan gepeng dan
Kondisi daerah perdesaan, 3) kondisi lapangan anjal agar perrmasalahan sosial dapat diatasi

82
Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya (Ani Mardiyati)

sehingga tidak berkeliaran di jalan-jalan yang kelompok sosial yang disampaikan Siti Norma
dapat mengganggu ketertiban lalu-lintas dan (dalam Narwoko & Suyanto, 2004) antara
mengancam jiwanya. Panti dan rumah singgah lain 1) setiap individu merupakan bagian dari
yang merupakan salah satu upaya mengatasi kesatuan sosial, 2) terdapat hubungan timbal
gepeng dan anjal belum mampu menampung dan balik dalam kelompok, 3) ada kesamaan faktor
memberikan pelayanan sosial secara maksimal. yang mempererat hubungan diantaranya
Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam kesamaan nasib, kepentingan dan tujuan hidup,
penanganan tindak lanjut diantaranya kurangnya 4) berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola
kemauan gepeng dan anjal sendiri untuk perilaku, dan 5) bersistem dan berproses.
ditampung. Berpijak dari kondisi permasalahan Asal mula keberadaan gepeng maupun
tersebut, kajian ini mencoba mencari akar anjal berasal dari suatu daerah yang memiliki
permasalahan gelandangan pengemis dan anak kelompok sosial. Gepeng dan anjal sudah
jalanan berbasis sosial dan budaya. memenuhi syarat menjadi sebuah kelompok
Gepeng dan anjal ada karena pengaruh sosial, misalnya kelompok masyarakat Jawa.
situasi yang menariknya untuk hadir. Alasan Penelitian mengenai gepeng di kota Surabaya
klasik mengenai perkembangan dan kemajuan menunjukkan sebagian besar (76,67 %) berasal
perkotaan menjadi daya tarik kelompok gepeng dari wilayah Jawa Timur (Tateki, 2009). Bagi
dan anjal dapat dipahami sebagai penyebab mereka kota Surabaya merupakan sebuah
mereka hadir di kota-kota besar maupun kota metropolis yang menjanjikan kesenangan-
pusat perkotaan yang mereka anggap dapat kesenangan dan harapan. Kelompok sosial
memberikan harapan untuk pertahanan sifatnya mengikat ketika terjadi intensitas
hidup. Namun ada beberapa alasan mereka tinggi dan teratur dalam berinteraksi, akan
meninggalkan daerah asalnya yang pada tetapi individu yang merupakan bagian dari
umumnya berada di daerah perdesaan bahkan kelompok tersebut tidak dapat sepenuhnya
terpencil dengan akses yang terbatas baik menggantungkan hidupnya dari kelompok.
secara ekonomi maupun sosial. Daerah terpencil Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka
dengan kondisi jalan sempit tidak beraspal peran individu akan lepas dari peran kelompok.
bahkan masih diperberat lahan pertanian Bahkan sebaliknya, untuk memenuhi tata
yang terbatas dan tandus merupakan salah aturan dan norma yang berlaku di dalam
satu penyebab mengapa mereka bermigrasi kelompok, individu harus siap berkorban
ke kota. Kota bagi mereka merupakan tempat dengan mengeluarkan semacam social cost
yang memberikan harapan untuk dapat hidup agar terjadi keharmonian dalam kelompok. Pada
lebih baik. Pada awalnya mereka sekedar saat individu tidak mampu memenuhi tuntutan
ingin bekerja baik formal maupun informl yang sosialnya, maka akan merasa tidak nyaman
penting dapat memberikan penghasilan. Akan karena dianggap tidak mampu, contohnya ada
tetapi kenyataan berbicara lain, harapan untuk perhelatan dari anggota kelompok, akan tetapi
mendapat pekerjaan kandas karena mereka karena keterbatasan penghasilan maka ada
merasa sulit menemukan pekerjaan yang sebagian anggota kelompok yang berusaha
menjanjikan hasil yang mencukupi kebutuhan memenuhinya dengan pinjam pada orang lain
hidupnya. dari kelompoknya pula.
Kondisi disharmoni yang dirasakan
2. Gelandangan Pengemis dari Perspektif
sebagian anggota kelompok tersebut mendorong
Sosial
mereka untuk pergi meninggalkan kelompoknya
Manusia hidup dengan ketergantungan
dan bermigrasi menuju perkotaan yang tidak
satu sama lain dalam memenuhi hajat hidupnya.
ada kelompok yang mengikat. Kehadiran
Keadaan tersebut mendorong terbentuknya
mereka dengan harapan mengadu nasib yang
kelompok sosial (social group). Kelompok-
lebih baik dari kehidupan desa yang sudah
kelompok sosial yang terdiri individu-individu
dirasakan tidak menjanjikan untuk memperbaiki
tersebut terjadi interaksi secara intensif dan
kehidupan ekonominya. Gepeng datang
teratur. Interaksi tersebut terjadi pembagian
dengan berkelompok maupun perorangan.
tugas, struktur, serta norma-norma tertentu
Kondisi kota tidak seperti yang dibayangkan,
yang berlaku bagi mereka. Syarat-syarat

83
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

seperti mudah mencari uang, mudah mendapat penghasilan tetap, tidak dapat merencanakan
pekerjaan. Ada sebagian yang dengan cerdas hari depan untuk diri dan anak-anak, tidak
mencari jenis usaha seadanya seperti menjadi terjangkau pelayanan sosial (dalam Tateki dkk,
kuli bangunan, maupun menemukan pekerjaan 2009).
buruh yang dapat menghasilkan uang meskipun Definisi mengenai gelandangan dari
sedikit. Namun banyak juga yang dalam waktu beberapa ahli tersebut merupakan bentuk
lama belum dapat menemukan pekerjaan, pada permasalahan sosial yang memerlukan
akhirnya memilih untuk hidup dengan meminta- penanganan secara holistik. Sudah banyak
minta (mengemis) dan tidak memiliki tempat dilakukan upaya-upaya membantu mengatasi
tinggal (tuna wisma/ gelandangan ). permasalahan gepeng dari pihak pemerintah
Studi mengenai kehidupan dan masalah- dan swasta. Pemerintah melalui panti-panti
masalah suatu kelompok “gelandangan “ yang rehabilitasi gelandangan pengemis dan
berpindah – pindah tempat dan pekerja lepas swasta (LSM) dengan gerakan relawan sosial
di Chicago dilakukan oleh Anderson (1975). diantaranya melalui rumah singgah, meskipun
Temuan Anderson diantaranya membagi belum menunjukkan hasil yang memuaskan
“gelandangan” laki-laki di Chicago kedalam karena banyaknya masalah tidak sebanding
lima kelompok, yaitu 1) buruh musiman, 2) dengan tenaga yang menangani.
buruh lepas yang suka berpindah-pindah ( the Rustanto dalam tulisannya men-
hobo ), 3) non- pekerja yang suka berpindah- definisikan gelandangan dan pengemis
pindah ( the tramp ), 4) buruh lepas yang tidak merupakan kelompok yang terpinggirkan dengan
suka berpindah- pindah ( home guard ), dan 5) pola hidup yang berbeda dari masyarakat
gelandangan yang disebut the bum. Kelompok umum. Mereka hidup terkonsentrasi diarea
2,3,4 dan 5 dikatakan sebagai residu industri. kumuh di perkotaan. Gelandangan pengemis
Studi Anderson tersebut mengindikasikan dipersepsikan sebagai orang yang merusak
bahwa “gelandangan” adalah korban struktur pemandangan dan ketertiban umum. Lebih
masyarakat, Anderson (dalam Twikromo, 1999: ekstrim lagi adanya stigma kotor, sumber
22-23 ). kriminal, tanpa norma, tidak dapat dipercaya,
Gelandangan pengemis dan anak tidak terartur, penipu kecil-kecilan, malas, apatis
jalanan adalah sebuah identitas, dalam sebuah (http://bambang-rustanto.blogspot.com/2012).
identitas melekat suatu peran. Istilah “gepeng” Dinamakan gelandangan karena mereka
merupakan singkatan dari kata gelandangan hidup menggelandang tanpa pemukiman atau
dan pengemis. Menurut Departemen Sosial tempat tinggal yang jelas. Pengemis berasal
R.I (1992), gelandangan adalah orang-orang dari bahasa jawa “ngemis” artinya minta
yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan dengan mengharap kerelaan. Kata pengemis
norma-norma kehidupan yang layak dalam merupakan sebuah kata “ngemis” yang tidak
masyarakat setempat serta tidak mempunyai melebur dalam bahasa Indonesia ‘pe’ yang
tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di diartikan biasa melakukan. Pada awalnya
wilayah tertentu dan hidup mengembara di pengemis manerima dengan suka rela apa
tempat umum (Departemen Sosial, http:// yang diberikan orang, mereka mengemis pada
sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014). umumnya karena kekurangan makan. Anak
Beberapa pengertian gelandangan jalanan merupakan konsep yang diberikan
dan pengemis yang sudah lama namun masih untuk anak-anak maupun remaja yang berada
dapat dipakai sebagai acuan diantaranya dari di jalan-jalan dengan aktifitas minta-minta.
Onghokam (1988), gelandangan diartikan Mereka meminta dengan membunyikan benda-
sebagai orang yang selalu mengembara, tidak benda atau bertepuk tangan dengan bernyanyi.
mempunyai pekerjaan dan makan disembarang Yang dilakukan anak jalanan tidak jauh berbeda
tempat. Ahli sosial lain yang mendefinisikan dengan pengemis, yaitu meminta kerelaan
gelandangan adalah Sadli (1988), yaitu anggota orang.
masyarakat yang hidup dalam kondisi “serba Istilah Anak Jalanan (Anjal) pertama kali
tidak”, tidak memiliki KTP, tidak mempunyai dikenalkan di Bazilia dengan meninos de ruas
tempat tinggal tetap, tidak mempunyai untuk menyebut kelompok anak-anak yang

84
Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya (Ani Mardiyati)

hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan di Indonesia, tetap saja masih menjadi
dengan keluarga (Bambang dalam Dwi Astuti, pekerjaan besar bagi pihaak pemerintah
2014) . Definisi dari Departemen Sosial anak untuk mengatasinya. Sebuah mitos yang
jalanan dikategorikan dalam 4 hal yaitu 1) putus dipercayai sebagian masyarakat dunia bahwa
hubungan atau lama tidak ketemu keluarga, 2) “gelandangan” berhubungan dengan sakit mental,
Bekerja selama 8 – 10 jam berada di jalanan malas, dan kecanduan obat serta minuman
(mengamen, mengemis, memulung), 3) Tidak keras akan berbeda dengan pandangan Blau,
lagi sekolah, 4) Rata-rata berusia di bawah 14 yang menekankan “gelandangan” sebagai
tahun. Definisi yang dikemukakan dari Depsos RI akibat terbatasnya pilihan yang tersedia untuk
tersebut dapat dijadikan acuan untuk memahami memperbaiki “nasib”.
anak jalanan. Dengan konsep dan pengertian Keberadaan gepeng dan anjal dari
anak jalanan tersebut ada kesamaan karakteristik sudut pandang normatif sebagai masyarakat
dengan gepeng. Dapat dikatakan anak jalanan yang menempati klas sosial terbawah, merusak
bagian dari gepeng. keindahan lingkungan dan mengganggu
Gelandangan, pengemis dan anak ketenangan serta ketertiban di tempat-tempat
jalanan dapat ditinjau dari identitas sosial. umum (Elly Kumari, 2008:2). Kehadiran mereka
Identitas Sosiologi, mengidentifikasikan orang terancam dengan adanya Peraturan Daerah
jalanan berdasar pendapatan atau penghasilan, (Perda) No. 9 tahun 2013 mengenai Ketertiban
ras, tidak cukup pangan, tidak punya rumah, Umum yang isinya melarang setiap orang
umur, dan jenis kelamin. (Twikromo, 1999). Istilah untuk berbelanja di kaki lima dan melarang
orang jalanan dalam hal ini gepeng dan anjal, setiap orang untuk memberikan uang kepada
adalah orang-orang yang kurang berkecukupan pengemis, pengamen, pedagang asongan,
dengan pendapatan atau penghasilan. Ras serta pembersih mobil. Perda tersebut pada
dalam identitas sosial dimaksudkan suku, awalnya diberlakukan di D K I, dan pada tahun
karena pada awalnya gepeng berasal dari 2013 ini sudah diberlakukan di Kota Yogyakarta.
wilayah Jawa yang memiliki wilayah yang Meskipun Perda sudah diberlakukan, namun
tandus. Mereka melakukan urbanisasi dengan pelaksanaannya belum terlihat kompak. Sebagai
harapan memperoleh pekerjaan dan dapat contoh memberi uang receh pada peminta-
meningkatkan penghasilan. Namun mereka minta dan pengamen jalanan masih sering
gagal dengan keterbatasan pilihan yang tersdia dilakukan oleh sebagian orang. Mereka masih
sehingga mengarahkan mereka untuk menjadi memberi dengan alasan belas kasihan, ada
gelandangan, Blau (dalam Twikromo, 1999). pula karena takut mobilnya dirusak, meskipun
Beberapa pemikir sosial dari bagi yang melanggar terkena sanksi /denda
Amerika seperti Baum dan Burnes (1993) tidak dihiraukan.
menginformasikan bahwa pemasalahan Perda yang sudah diberlakukan di
“gelandangan” di masa datang harus berdasar DKI pada tahun 2008 tersebut menuai pro dan
pemahaman yang jelas, siapa mereka, apa kontra. Jika dilihat dari isi Undang-Undang
kebutuhan-kebutuhan yang harus disediakan Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi “Fakir
untuk membantu mereka lari dari kecacatan miskin dan anak- anak terlantar dipelihara
hidup”. Baum dan Burnes menganalisa banyak oleh Negara “, maka Perda dapat bertentangan
perspektif politik dan laporan-laporan tentang dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“gelandangan” di Amerika termasuk model Gelandangan pengemis dan anak jalanan
kebijakan dan contoh program yang telah dan dapat dikategorikan orang-orang miskin, yang
sedang dilaksanakan. Mereka menyimpulkan seharusnya dipelihara, dibantu, difasilitasi oleh
bahwa penolakan dan pengabaian kebenaran negara untuk mendapatkan hidup yang layak.
(kenyataan) tentang “gelandangan” telah Di samping itu setiap warga negara berhak
memperlebar jurang perbedaan antara golongan mendapat pekerjaan yang layak (UUD 1945
yang punya (haves) dan tidak punya (have-nots) pasal 33). Dengan mengacu Undang-undang
dalam masyarakat (Twikromo, 1999). tersebut maka perda mengenai ketertiban
Permasalahan gelandangan yang umum yang melarang orang untuk berbelanja
terjadi di Amerika tidak jauh berbeda dengan di kaki lima akan bertentangan. Penggusuran

85
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

pedagang kaki lima juga tidak tepat, namun di mana mereka berada. Pekerjaan pemegang
perlu dicarikan solusi yang memperhatikan asas kekuasaan adalah membuat komunitas gepeng
kemanusiaan, mereka adalah warga negara dan anjal tersebut tidak menjadi kelompok
Indonesia yang memiliki hak untuk dipenuhi pemicu disharmoni tata kehidupan “kota”.
kebutuhan dasarnya. Niels Mulder (1985) dalam pendekatan
dan analisisnya mengatakan bahwa analisis
3. Gelandangan, pengemis dan anak jalanan
kultural dilakukan dengan menggali struktur-
dari perspektif budaya
struktur konsepsi dan mengidentifikasi gagasan
Keberadaan “gelandangan, pengemis
sebagai teori kebudayaan. Dengan analisis
dan anak jalanan “dapat dikaji melalui kontruksi
kultural dimaksudkan untuk memberikan
budaya. Gelandangan dalam kontek ini
makna dibalik suatu tindakan, dibalik persepsi,
diistilahkan dengan orang jalanan. Orang jalanan
klasifikasi dan penafsiran yang sebenarnya.
diidentifikasikan berdasar empat model, yaitu
Teori Mulder tersebut dapat dianalogikan untuk
identitas populer, identitas medis, identitas hukum,
memahami struktur budaya masyarakat yang
dan identitas sosiolgi Spradley (dalam Twikromo
melatarbelakangi gepeng dan anak jalanan
1999). Identitas popular sering digunakan oleh
dalam menjalani kehidupan barunya.
masyarakat kota untuk mendiskripsikan sub-
Penelitian mengenai strategi
kebudayaan jalanan. Orang jalanan sering
kelangsungan hidup gelandangan-pengemis
diilustrasikan orang yang berbahaya dan kotor,
di Kota Pekalongan oleh Maghfur (2010)
tidak baik, menyimpang dan aneh. Identitas
menunjukkan bahwa secara kultur gepeng
medis, sering diilustrasikan orang yang sakit-
diakui eksistensinya. Gepeng memiliki hari
sakitan, seperti lepra. Identitas hukum sering
istimewa yaitu Kamis. Pada hari istimewa
digambarkan sebagai sumber kekacauan, objek
tersebut gepeng mendapatkan prevellage
kecurigaan dan kesalahan, serta kriminalitas.
(keistimewaan), yaitu segala aksi dan perilaku
Identitas sosiologi, mengidentifikasikan orang
“meminta-minta” mendapat permakluman
jalanan berdasar pendapatan atau penghasilan,
masyarakat. Bagi masyarakat sendiri, mereka
ras, tidak cukup pangan, tidak punya rumah,
merasa harus membagikan rizqinya pada
umur, dan jenis kelamin. Identitas budaya,
gepeng ketika mendapatkan “gaji mingguan”
model ini menyediakan informasi kebudayaan
(pacoan). Dalam konteks tersebut menunjukkan
berdasarkan perspektif dari luar, yang dapat
pengakuan masyarakat tentang keberadaan
memunculkan pandangan etnocentris dalam
gepeng. Tidak berbeda jauh dari Pekalongan,
memandang kebudayaan lain. Spradley
di Yogyakarta, ketika datang “Grebeg Besar”
menyarankan untuk menghadirkan gambaran
Keraton Yogyakarta, di alun-alun banyak
kebudayaan berdasarkan cara-cara pelaku
pengemis (peminta-minta) yang bertebaran
kebudayaan dalam mendefinisikan identitas,
memanfaatkan situasi. Pengemis tahu pada saat
lingkungan, dan gaya hidup mereka sendiri.
“grebeg-an” banyak orang berdatangan ingin
Pendapat dari Spradley tersebut dapat
“ngalap berkah” (mencari berkah/ kemudahan).
dijadikan acuan bahwa dalam mengatasi atau
Selain itu pada hari Jumat di sekitar Masjid
menangani masalah dikembalikan pada budaya
Besar (Kauman), para pengemis berbondong-
penyandang masalah itu sendiri. Perlu dikaji
bondong mendatangi masjid Kauman untuk
faktor-faktor budaya yang mendorong mereka
mendapatkan sedekah (shodakoh) dari orang-
menjadi gepeng dan anjal. Dalam tulisan
orang yang berada di masjid maupun lingkungan
mengenai penanganan gelandangan pengamis
sekitarnya.
dan anak jalanan tentu akan lebih dapat
Pada situasi tersebut, orang
mendekati sasaran apabila kita kaji latar belakang
beranggapan dengan memberi sedekah pada
sosial budaya mereka untuk memperoleh model
orang yang meminta-minta menjadi jalan
yang lebih kaya dengan pemaknaan, dan dapat
mendapatkan kemudahan untuk mendapatkan
diperoleh hasil yang memuaskan. Paling tidak,
“berkah” dan dapat terkabul apa yang
pihak pengampu kepentingan (pemerintah)
diinginkan misalnya rizqi lancar, panen atau
tidak mendeskreditkan komunitas gepeng dan
dagang lancar serta sebagai penerapan ibadah
anjal, akan tetapi mengakui keberadaannya
(agama Islam) untuk saling bebagi rizki pada
sebagai bagian dari struktur masyarakat budaya

86
Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya (Ani Mardiyati)

orang lain. Kondisi tersebut dimanfaatkan yang memberi receh pada pengemis dan anak
orang-orang yang sebenarnya masih mampu jalanan.
memenuhi kebutuhan dasarnya pergi ke tempat Gelandangan, pengemis, anak jalanan
“grebeg-an” dan hari Jumat mendatangi masjid memiliki latar belakang sosial budaya. Mereka
Kauman menjadi peminta-minta berharap belas berperilaku dan terkontaminasi kondisi budaya
kasih dari orang lain. Menurut informan (sopir yang berbeda dengan daerah asalnya, maka
bus) menceritakan ketika mobilnya dicarter terjadi kesenjangan yang memunculkan
oleh rombongan pengemis dari alun-alun masalah bagi tempat yang didatangi (keindahan
ketika “grebeg-an menuju kampung asalnya kota, kebersihan lingkungan, ketertiban,
yang juga berada di Yogyakarta. Sesampai di kriminal). Penanganan berbasis sosio kultural
daerah asal para pengemis tersebut, informan akan menghasilkan kondisi yang mendukung
terkejut, karena rumah mereka ternyata “bagus- ketertiban dan keamanan kota setempat.
bagus”, “gedong”. Melihat kondisi tersebut Disamping penanganan secara sosio budaya
memungkinkan penghasilan dari meminta-minta juga diberikan keterampilan dan pengetahuan,
bukan sekedar menyambung hidup memenuhi bekal mental spiritual sehingga diharapkan dapat
kebutuhan makan melainkan memenuhi hidup dengan kondisi sosial dan kultural mereka
kebutuhan lain, misalnya memperbaiki rumah. serta dapat menciptakan harmoni dengan
Berdasarkan fenomena tersebut dengan adanya kondisi tempat tinggal baru. Harapan terbesar,
masyarakat yang masih memberikan “sedekah” dapat mengembalikan ke daerah asal dengan
pada peminta-minta musiman secara tidak bekal keterampilan, yang dapat mengangkat
langsung mendukung mereka untuk melakukan derajad mereka melalui keberdayaan dalam hal
aksinya menjadi gepeng. ekonomi khususnya dan dalam mental spiritual
Budaya Jawa yang melingkungi yang kuat.
gepeng dan anjal khususnya yang berada di
Skema kerangka pikir :
Skema kerangka pikir :

Tidak Gelandangan,
mendapat pengemis,anak dukungandari
Urban
pekerjan jalanan masyarakat/

GEPENGDANANJAL
SosialͲekonomi, Penanganan x berdaya
Budayadaerahasal x Sosialbudaya x memilikimental
x pemberdayaan spiritualkuat
x mentalspiritual x tidakmengganggu
ketertiban

KEMBALIKEDAERAHASAL

YogyakartaKesulitan
dapat ekonomi
dijadikan sebagai
merupakan pendukung
alasan Kesulitan
awal penduduk perdesaan malakukan ekonomi merupakan alasan
urbanisasi
tetap merebaknya
ke kota. Kondisi mereka
daerah asal di
yangjalanan. Sikap salahawal
tandus merupakan penduduk
satu pemicu perdesaan
gerakan urban malakukan urbanisasi
belas kasihan yangutama
tersebut. Tujuan adamereka
dalam Budaya
pergi Jawa
kekota yang menjadi ke kota.
harapan untukKondisi daerah asal yang tandus
meningkatkan
dimanfaatkan
pendapatanpara gepenghidupnya.
untuk menopang dan anjalSetelah untuk merupakan
sampai di kota tujuan, merekasalah satu pemicu gerakan urban
mengalami
senangkegagalan
denganuntuk identitas barunya,
mendapat pekerjaan mereka
yang layaktidak tersebut.
seperti yang Tujuan
diimpikan ketika utama
berada di mereka pergi kekota
desa. Mulailah mereka memiliki
perduli dengan pandangan rendah terhadapnyaidentitas baru yaitu gelandangan dan pengemis. Dari
yang menjadi harapan untuk meningkatkan
keluarga gelandangan dan pengemis tersebut muncul generasi baru yaitu anak jalanan.
yang penting mendapat uang. Pemerintah pendapatan untuk menopang hidupnya. Setelah
Tuntutan kebutuhan hidup seperti makan pakaian dan tempat tinggal memaksa mereka
Kota Yogyakarta berupaya menekan jumlah sampai di kota tujuan, mereka mengalami
untuk mendapatkan uang. Sebagian berusaha mendapatkan uang dengan meminta-minta.
gepeng dan anjal dengan mengeluarkan perda kegagalan untuk mendapat pekerjaan yang
Bahkan ada pula yang melakukan tindak kriminal dengan mencopet dan mencuri. Tatanan
yang isinya larangan memberikan uang kepada layak seperti yang diimpikan ketika berada
nilai ketika mereka berada di desa mulai dikaburkan karena tuntutan keadaan. Agar
pengemis dan anak jalanan. Cara tersebut di desa.
permasalahan tidak semakin kompleks maka perlu penangan melalui Mulailah
pendekatan mereka memiliki identitas
sosial dan
belum budaya.
sepenuhnya diikuti
Pertama mereka oleh masyarakat
dikembalikan dengan tatanan sosialbaru yaituyang
dan budaya gelandangan
normatif. dan pengemis. Dari
umum, Salah
dengan masih
satu cara adanya
yang dapat sebagian
dilakukan diantaranyaorang
menanamkan keluarga
sikap mentalgelandangan
yang baik agar dan pengemis tersebut
mereka menjadi pribadi yang kuat dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji. Selain upaya
16
87

Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

muncul generasi baru yaitu anak jalanan. Pendekatan sosial, yaitu melihat gepeng
Tuntutan kebutuhan hidup seperti makan dan anjal sebagai individu yang memerlukan
pakaian dan tempat tinggal memaksa mereka lingkungan dan hiidup dalam sebuah komunitas.
untuk mendapatkan uang. Sebagian berusaha Dalam kehidupan sosial, mereka memerlukan
mendapatkan uang dengan meminta-minta. fasilitas untuk mengakses kebutuhan hidupnya.
Bahkan ada pula yang melakukan tindak kriminal Untuk menghindari timbulnya permasalahan
dengan mencopet dan mencuri. Tatanan nilai yang semakin kompleks, maka perlu
ketika mereka berada di desa mulai dikaburkan pendampingan bagi gelandangan pengemis dan
karena tuntutan keadaan. Agar permasalahan anak jalanan. Tindakan persuasif dengan razia
tidak semakin kompleks maka perlu penangan yang dilakukan sekarang ini bukan merupakan
melalui pendekatan sosial dan budaya. Pertama satu-satunya solusi yang tepat.
mereka dikembalikan dengan tatanan sosial Perlu dilakukan pendekatan kultur atau
dan budaya yang normatif. Salah satu cara budaya gepeng dan anjal. Mereka memiliki
yang dapat dilakukan diantaranya menanamkan daerah asal dengan tatanan dan nilai kehidupan.
sikap mental yang baik agar mereka menjadi Perlu dikaji alasan mereka meninggalkan
pribadi yang kuat dan menjauhi tindakan yang daerah asal menuju kota tujuan. Ditempat
tidak terpuji. Selain upaya penanganan mental tujuan mereka membentuk suatu komunitas
spiritual, perlu diberikan semacam pelatihan dengan kebiasaan yang dapat berbeda ketika
atau kursus agar mereka berdaya, dan mampu di daerah asal. Meskipun berbeda, mereka
mendapat penghasilan secara mandiri dengan masih memiliki dan memahami tatanan dan
bekerja sesuai kemampuannya. Kedua, perlu nilai-nilai budaya di daerah asalnya. Disamping
dukungan secara kultural dari masyarakat untuk budaya mereka di daerah asal, budaya permisif
tidak memberikan “sedekah”/belas kasihan masyarakat dilingkungan keberadaan gepeng
pada komunitas gepeng sehingga mereka dan anjal membuat gepeng dan anjal merasa
tidak lagi menjalankan aksinya. Ketiga, dengan nyaman dengan tindakannya. Oleh karena itu
menempatkan komunitas gepeng dan anjal perlu bagi pihak yang menangani permasalahan
menjadi bagian dari keramahan kota maka gepeng dan anjal memahami nilai-nilai budaya
identitas yang negatif dapat bergeser menjadi daerah asal, dengan tujuan dapat menemukan
sebuah peran positif dalam tatanan kehidupan cara yang tepat mengatasi masalah. Imbauan
kota. Titik akhir yang dapat ditempuh yaitu masyarakat untuk menahan belas kasihan
mengembalikan mereka ke daerah asalnya (yang merupakan salah satu sikap/ budaya)
dan menyiapkan daerah asal untuk mampu diharapkan dapat mengurangi jumlah gepeng
memberikan jawaban ketidakberdayaan dengan dan anjal secara bertahap. Mengembalikan
pemerataan pembangunan. Pembukaan mereka ke daerah asal dengan mengikuti
lapangan kerja di daerah perdesaan yang kehidupan normatif, dan terbangunnya mental
tergolong minus (sumber alam tidak mendukung) mau bekerja keras menggapai kehiduan
merupakan salahsatu solusi yang mungkin yang layak, dan dapat memerankan fungsi
dapat mengurangi arus urbanisasi. sosialnya dengan baik, merupakan langkah
yang tepat. Perlunya pengampu kepentingan
D. Penutup seperti pemerintah daerah, Kementerian Sosial
Permasalahan gelandangan, pengemis, melalui Dinas Sosial bekerjasama secara
dan anak jalanan memerlukan penanganan terpadu menangani permasalahan berbasiskan
secara teliti dengan melihat dari perspektif sosial kesejahteraan sosial. Perlakuan manusiawi
dan budaya. Dengan menganalisa permasalahan dan mengembalikan harkat martabatnya
melalui perspektif sosial dan budaya diharapkan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang
dapat menemukan solusi yang tepat. Perlu berbudaya merupakan pekerjaan yang harus
melakukan pendekatan kesejahteraan, yaitu disikapi dengan teliti.
dengan tujuan bagaimana upaya mengentaskan
gelandangan pengemis dan anak jalanan dari
permasalahan yang semakin kompleks.

88
Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya (Ani Mardiyati)

PUSTAKA ACUAN Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang


Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Kemen-
Andari, Soetji dkk. (2006). Pengkajian terian Sosial RI.
Berbagai Tindak Kekerasan dan Upaya
Perlindungan Anak Jalanan. Departemen
Sumber lain:
Sosial RI, B2P3KS, Yogyakarrta: B2P3KS
Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. (2000).
Press.
“kategori anak jalanan” Diunduh http://
------------------------(2007). Uji Coba Model
dwiastuti.unair.bab2.Anjal.pdf tanggal 4
Perlindungan Anak Jalanan Terhadap
Februari 2015.
Tindak Kekerasan. Departemen Sosial
Diah Putri M. (2010). Konsep Diri Anak Jalanan.
RI. B2P3KS. Yogyakarta: B2P3KS Press.
Skipsi. Diunduh http://digilib.uin-suka.
Baharudin M.(ed). (1981). Tuna Wisma/
ac.id tanggal 2 Maret 2015.
Gelandangan Masalah Penanggulangan.
Dwiastuti, “Anak Jalanan”. Diunduh
Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga
h t t p : / / w w w. d a m a n d i r i . o r. i d / f i l e /
Pemuda”66”.
dwiastutiunairbab2.pdf. Tanggal 3
Elly Kumari Tj. P. (2008). Gelandangan dan
Januari 2015.
Pengemis Mengais Keadilan. Yogyakarta:
Departemen Sosial RI. (1992). Diunduh http://
Citra Media.
sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2014,
Istiana H, dkk. (2013). Pengembangan Standar
tanggal 4 Maret 2015.
Pendamping Sosial Berbasis Sistem
Maghfur Ahmad. (2010). “Strategi Kelangsungan
Pekerjaan Sosial. Yogyakarta: B2P3KS
Hidup Gelandangan-Pengemis
PRESS.
(Gepeng)”. Diunduh http://e-journal.stain-
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa.
pekalongan.ac.id/index.php/penelitian.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
tanggal 16 Maret 2015.
Mulder, Niels. (1985). Pribadi dan Masyarakat di
Rustanto, Bambang. (2012). “Penelitian
Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Gelandangan Dan Pengemis”. Diunduh
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto (ed). (2004). http://bambang-rustanto.blogspot.
Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. com/2012/04/penelitian-sosial-
Jakarta: Kencana Frenada Media Group. gelandangan-pengemis.html tanggal 2
Suparlan, Parsudi (ed). (1993). Orang Gelandangan Februari 2015.
di Jakarta: Politik Pada Golongan
Termiskin, Kemiskinan di Perkotaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Supriatna, Tjahya. (2000). Strategi Pembangunan
dan Kemiskinan. Jakarta: Rineka Cipta..
Tateki Yoga Tursilarini, Warto & Andayani
Listyawati. (2009). Kajian Model
Penanganan Gelandanngan dan
Pengemis. Yogyakarta: Citra Media.
Tukiran, Agus Joko Pitoyo, dan Kutanegara,
P Made (ed). (2010). Akses Penduduk
Miskin terhadap Kebutuhan Dasar. Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada.
Twikromo, Y. Argo, (1999). Pemulung Jalanan
Yogyakarta. Konstruksi Marginalitas dan
Perjuangan Hidup dalam Bayang-Bayang
Budaya Dominan. Yogyakarta: Media
Pressindo.

89
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89

90
8
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan
Afrika
Refugees Repatriation Process to The Country of Origin in Asia and Afrika
Aryan Torido
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jalan Marsda Adisucipto, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281.
Email: torridoaryan@yahoo.co.id
Naskah diterima 11 Desember 2014, direvisi 5 Februari 2015, disetujui 3 Maret 2015

Abstract

Refugees is a polsekbud phenomenon involving the fleeing of myriad of people with heterogeneous
ethnic and cultural in country of origin to another country by their own facet of lives. This research is motivated by the
desire to find how the process of return refugees to their country of origin.This research is a kind of library research in
which combined between quantitative and qualitative approach complementary. Research findings indicate the global
number of refugees in period of years 1993-2013 is fluctuative. The global number of refugees experiencing important
decreases during 2007-2011 were 0.1 percent, 1.2 percent, 2 percent, 2.1 percent and 2.2 percent respectively. While
in 2012 and 2013 has risen to 13 percent and 17 percent respectively. Major countries of origins of refugees were
Afghanistan, Sudan, Burundi, Republic. Democratic of Congo, Palestine, Somalia, Vietnam, Liberia, and Angola.
Most of these refugees tend to move across relatively short distances, finding primarily asylum in their neighbouring
countries. In the year 2001-2007, major countries of asylum of refugees were Pakistan, Rep. Islamic of Iran, Rep.
Arab Syria, Germany, Jordania, Republic. United of Tanzania, and Chad. Refugees mainly were womens, children,
toddler, and older people. There were 51 percent for women refugees, children age less than 18 years old were 10
percent, toddler 10 percent, and older people 7 percent. The process of international refugee return to the country of
origin is influenced by two factors, internal factors such as information obtained about the condition of their country
origin and external factors such as the condition of the country of asylum.

Keywords: refugees-country of origin-country of asylum

Abstrak

Pengungsi Internasional merupakan satu fenomena polsekbud ketika ratusan ribu penduduk beraneka
etnis dan budaya meninggalkan negara asal ke negara lainnya dengan aspek kehidupan tersendiri. Penelitian ini
beranjak dari keingintahuan tentang bagaimana proses kembalinya pengungsi International ke negara asal/repratiasi.
Penelitian ini merupakan jenis riset pustaka yang memadukan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang saling
melengkapi. Hasil penelitian menunjukan, jumlah pengungsi internasional pada kurun waktu 1993-2013 bersifat
fluktuatif. Sepanjang tahun 2007-2011, jumlah pengungsi internasional mengalami penurunan secara berturut-turut
sebesar 0.1%, 13%, 9%, 1.2%, dan 9.5%. Sementara pada tahun 2012 dan 2013 mengalami kenaikan sebesar
14% dan 15%. Sebagian besar dari pengungsi itu  berasal dari Afghanistan, Sudan, Burundi, Rep. Demokrat Kongo,
Palestina, Somalia, Irak, Vietnam, Liberia, dan Angola. Hampir seluruh pengungsi itu mencari perlindungan dalam
jarak yang relatif dekat, menuju ke negara-negara tetangga. Periode tahun 2001-2007, negara tujuan utama dari
pengungsi internasional, meliputi Pakistan, Rep. Islam Iran, Rep. Arab Syria, Jerman, Yordania, Rep. Tanzania, dan
Chad. Pengungsi internasional kebanyakan terdiri dari kaum perempuan, anak-anak, balita, dan lansia. Terdapat 51%
pengungsi perempuan, anak-anak berumur kurang dari 18 tahun sebesar 10%, balita 10%, dan lansia 7%. Proses
kembalinya pengungsi international ke negara asal dipengaruhi dua faktor yaitu faktor internal berupa informasi yang
diperoleh tentang kondisi negara asalnya dan faktor ekternal yaitu berupa kondisi negara tempat pengungsian.

Kata kunci : Pengungsi internasional-negara asal-negara tujuan perlindungan

91
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

A. Pendahuluan Menurut The International Conference


Migrasi internasional merupakan isu On Populaton Development, ICPD (1994),
besar dengan keanekaragaman pergerakan jumlah pengungsi internasional dalam kurun
penduduk, kekuatan, motivasi, maupun adanya waktu tahun 1985 hingga pada tahun 1993 telah
perbedaan yang melatar belakangi. Hal ini meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dari 8.5
dipengaruhi oleh adanya ketimpang ekonomi, juta menjadi 19 juta. Hal ini disebabkan oleh
kemiskinan, dan degradasi lingkungan, yang berbagai faktor yang kompleks, tetapi sebagian
dikombinasikan dengan tidak adanya keamanan besar adalah karena adanya pelanggaran hak
dan perdamaian, pelanggaran hak azasi azasi manusia. Hal ini membuat sebagian
manusia, beragamnya tingkat perkembangan penduduk (pengungsi internasional) mencari
lembaga pengadilan dan institusi demokrasi di perlindungan ke negara-negara maju. Aliran
berbagai negara merupakan faktor-faktor yang pengungsi internasional ini seringkali menjadi
mempengaruhi migrasi internasional. Hubungan beban bagi negara-negara penerima sehingga
timbal-balik ekonomi, politik dan budaya lembaga dan/atau institusi perlindungan
internasional merupakan peranan penting dalam terhadap pengungsi internasional seringkali
proses pergerakan penduduk antar negara, baik bekerja di bawah kerasnya ketegangan yang
negara maju, negara berkembang atau negara terjadi di negara-negara penerima. Kondisi ini
yang sedang berada dalam transisi ekonomi. disebabkan adanya berbagai alasan seperti
Migrasi internasional erat kaitannya dengan pertumbuhan jumlah pengungsi internasional
proses pembangunan, yang keduanya saling dan pencari suaka (asylum-seekers) yang cepat
mempengaruhi. penyalahgunaan prosedur perlindungan yang
Kondisi tersebut menjadi bahasan menyalahi prosedur pembatasan immigrasi.
utama dalam agenda internasional karena Oleh karena itu, Konvensi 1951 dan Protocol
data terakhir menunjukan bahwa sekitar 175 1967 telah menetapkan ukuran atau norma dasar
juta penduduk tinggal di luar negara asal. Hal perlindungan terhadap pengungsi internasional,
ini menimbulkan pandangan umum bahwa kebutuhan dasar bagi perlindungan dan bantuan
tekanan dan kesempatan yang muncul dari internasional khususnya kepada pengungsi
proses globalisasi telah menjadi pemicu utama internasional. Perempuan dan anak-anak
meningkatnya mobilitas penduduk dari suatu sebagai kelompok terbesar dan paling rentan
negara ke negara lainnya. Sementara itu, faktor terhadap tindakan kekerasan dan penganiayaan.
ketidakamanan secara politik, sosial, ekonomi, Instrumen hukum ini dianggap sebagai norma
budaya (Polsekbud) dan ekologi, serta konflik asas pokok yang mengamanatkan untuk
di beberapa negara juga memicu timbulnya memberikan perlindungan terhadap individu
pengungsi internasional sebagai bagian dari pengungsi internasional.
migrasi secara terpaksa (forced migration) Jumlah pengungsi internasional pada
(Christina Boswell dan Jeff Crisp, 2004). kurun waktu 1993-2013 bersifat fluktuatif
Dampak globalisasi dan modernisasi yang secara statistik. Gambar 1 menunjukan, bahwa
membuat batas-batas geografis antarnegara populasi pengungsi internasional sebesar 12
semakin kabur, serta mobilitas penduduk dunia juta pada tahun 2013 telah mengalami kenaikan
yang semakin tinggi telah mendorong pengungsi sebanyak 17 persen dibandingkan tahun 2011.
internasional. Hal ini menjadi faktor pengganggu Jumlah pengungsi internasional pada tahun
hubungan antarnegara karena telah membawa 2013 ini merupakan angka populasi pengungsi
dampak negatif bagi negara asal dan negara internasional terbesar, karena semenjak tahun
tujuan pengungsi internasional. Kesadaran 2002 jumlah populasi pengungsi internasional
terhadap potensi konflik antarnegara yang selalu mengalami penurunan. Fenomena
disebabkan oleh aliran pengungsi internasional pengungsi internasional ini banyak ditemukan di
tersebut menyebabkan komunitas internasional benua Asia dan Afrika dimana pada akhir tahun
sangat menekankan pada negara tujuan yang 2013 terdapat 9,8 juta pengungsi internasional
memberi perlindungan harus berada dalam yang berasal dari benua tersebut.
posisi netral. UNHCR mengemukakan tiga faktor
utama penyebab timbulnya aliran pengungsi

92
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

internasional pada dekade terakhir ini. Pertama B. Tinjauan Pustaka


adalah faktor berakhirnya perang dingin. Kedua, Terkait Pengertian Migrasi Internasional
perang melawan terror (war on terror) yang Diantara tiga komponen perubahan
telah meningkatkan suhu politik dunia sehingga penduduk, yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi,
memperbesar potensi konflik di berbagai negara maka migrasi merupakan kajian yang paling
yang pada gilirannya memperbesar volume sulit dirumuskan dan diukur mengingat konsep
pengungsi internasional. Ketiga, meningkatnya migrasi berkait dengan ruang dan waktu yang
konflik di berbagai negara yang menyebabkan tidak mempunyai batasan (Gould dan Prothero,
timbulnya perang saudara, hal mana kemudian 1975; Lee, 1966). Sementara itu sifat migrasi
menimbulkan terjadinya pengungsi internasional sebagai sebuah “transaksi fisik dan sosial”, tidak
dalam skala besar seperti yang terlihat pada sekedar peristiwa biologis belaka (Zelinsky,
kasus di benua Asia dan Afrika. Ketiga faktor 1971). Goldshceider (1971) mengemukakan
tersebut telah memicu permasalahan keamanan bahwa migrasi mempunyai perbedaan yang
di berbagai negara sehingga menyebabkan menonjol dibanding dengan mortalitas dan
timbulnya sistem keamanan yang semakin fertilitas sebaliknya karena manusia dalam
ketat, termasuk dalam proses penanggulangan hidupnya hanya mengalami siklus kelahiran
pengungsi internasional. (UNHCR 2011: 5). dan kematian satu kali saja, sebaliknya migrasi
Dengan demikian ketiga faktor tersebut juga dapat terjadi berulang-ulang kali.
mempengaruhi proses penanggulangan Migran internasional dan migrasi
pengungsi internasional. internasional merupakan dua konsep yang saling
berkaitan. PBB (1998) mengartikan migrasi
internasional sebagai pergerakan dari setiap
orang yang meninggalkan negara asal, tempat
tinggalnya; sedangkan migran internasional
adalah setiap orang yang meninggalkan
negara asalnya. Migrasi internasional dapat
mempengaruhi karakteristik penduduk di kedua
negara, yaitu negara asal dan tujuan, sehingga
hal ini sering disebut sebagai demographic event.
Ada tiga unsur yang terkait di dalam pengertian
demographic event ini. Pertama, migran harus
melintasi batas internasional. Kedua, migran
masih terikat dengan negara asal. Ketiga,
migran harus membangun kehidupanya di
negara tujuan (UN, 1998: 9).
Gambar 1. Jumlah Pengungsi Internasional dalam
Sistem pendekatan migrasi internasional
Kurun Waktu 1993-2013 (Sumber: Data Tahunan
UNHCR 1993-2013) pada dasarnya adalah dari sistem migrasi yang
terdiri atas beberapa kelompok negara yang
Fenomena pengungsi internasional pada melakukan pertukaran migran dalam jumlah
umumnya mempunyai motif relatif sama, yaitu yang relatif besar antara satu dengan lainnya.
karena adanya rasa tidak aman di negara asal Pada skala mikro, sebuah sistem migrasi terdiri
akibat perang atau konflik yang lama. Faktor atas setidaknya dua negara, meskipun idealnya
dominan adalah faktor politik, namun faktor ini merupakan bagian dari sistem dari semua
tersebut juga terkait dengan motif ekonomi dan negara yang saling terhubungkan dengan
budaya. Berdasar motif terjadinya gelombang arus migrasi dalam jumlah besar. Gambar 2
pengungsi internasional yang kompleks, yaitu memperlihatkan sebuah skema pendekatan
rasa tidak aman yang disebabkan faktor politik, sistem migrasi internasional, yang menunjukkan
ekonomi, ideologi, keamanan, dan keluarga, bahwa migrasi dan faktor-faktor pendukung
maka tulisan ini difokuskan pada Masalah lainnya menghubungkan negara-negara
bagaimana proses kembalinya pengungsi yang terlibat ke dalam sebuah sistem. Aliran
International ke negara asal/repratiasi? pada skema itu terjadi di dalam ruang lingkup

93
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

nasional yang meliputi kebijakan terhadap mengandung arti sebagai tindakan paksaan dan/
dimensi-dimensi ekonomi, teknologi, dan sosial atau pemindahan secara paksa (displacement).
yang senantiasa berubah. Sebagian diantara Bentuk khusus dari proses migrasi terpaksa
kebijakan itu adalah dalam upaya menanggapi adalah kebijakan memindahkan individu atau
proses umpan balik dan penyesuaian (feedback kelompok orang yang tidak diinginkan (unwanted
and adjustments) yang berakar dari arus migrasi persons) dan/atau dalam usaha pembersihan
itu sendiri. suatu etnis (ethnic cleansing). Individu yang
Penduduk melakukan pergerakan secara menjadi subyek dari migrasi terpaksa disebut
dua arah, dari negara A menuju ke negara B, “forced migrant” atau “displaced person”.
dan sebaliknya. Pertukaran penduduk di dalam
C. Metode Penelitian
sistem tersebut tidak hanya melibatkan migran
Dalam upaya mengungkap bagaimana
permanen, pekerja migran, ataupun pengungsi
proses kembalinya pengungsi International
internasional, tetapi juga para pelajar, personil
ke negara asal/repratiasi, maka pendekatan
militer, wiraswasta, dan bahkan turis, karena
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pergerakan penduduk secara jangka pendek
pendekatan kualitatif jenis deskriptif. Penelitian
seringkali terjadi pada kondisi kurun jangka
ini mencoba menggambarkan dan mengungkap
panjang berikutnya (Mary M. Kritz and Hania
apa adanya tentang fenomena, keadaan, dan
Zlotnik, 1998: 3).

Political context

x Exit, entry and settlement policies


x International relations


 Feedback and
 adjusments

 C C
 Demographic
Social  O O
context
 context
 U U
 N Migration flows N
x Welfare  Fertilitydifferentials
differentials  T T Short-term travel links

x Migrant  R R
networks
 Y Y


 Other linkages
 A B

x Historical
x Cultural
x Colonial
x Technologynetworks


Economic context

x Wage and price differentials


x Regional blocks

Gambar2.2.Kerangka
Gambar KerangkaPemikiran
PemikiranMigrasi
MigrasiInternasional
Internasional
(Sumber: Bagan diambil dari Mary M. Kritz dan Hania Zlotnik, 1998, hal. 3)
(Sumber: Bagan diambil dari Mary M. Kritz dan Hania Zlotnik, 1998, hal. 3)
Dewasa ini migrasi terpaksa (forced migration) merupakan bagian dari kajian migrasi
Dewasa ini migrasi terpaksa (forced permasalahan repatriasiMenurut
yang Ensiklopedia
terjadi pada
internasional, yang selalu menjadi topik perbincangan yang menarik.
migration) merupakan bagian dari kajian pengungsi internasional dari sejumlah negara
migrasi Britania (2000), yang
internasional, migrasiselalu
terpaksa adalah pergerakan setiap individual atau penduduk yang
menjadi yang mengalami konflik sosial dan politik ke
meninggalkanyang
topik perbincangan negaramenarik.
asal tempat tinggalnyanegara
Menurut secara terpaksa, yang mengandung
asal. Pengumpulan arti sebagai
data menggunakan
Ensiklopedia Britania
tindakan (2000),
paksaan migrasi
dan/atau terpaksa secara
pemindahan paksa
telaah (displacement).
dokumen Bentuk khusus Kajian
(studi dokumenter). dari
adalah pergerakan setiap individual atau dokumen untuk mengumpulkan data dan
proses migrasi terpaksa adalah kebijakan memindahkan individu atau kelompok orang yang
penduduk yang meninggalkan negara asal informasi dengan cara membaca dan mengkaji
tempat tidak diinginkan
tinggalnya (unwanted
secara persons)
terpaksa, dan/atau dalam usaha pembersihan suatu etnis (ethnic
yang bahan sumber tertulis sepereti dokumen,
cleansing). Individu yang menjadi subyek dari migrasi terpaksa disebut “forced migrant” atau
94 “displaced person”.
C. Metode Penelitian
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

laporan tahunan, buku hasil penelitian terkait, pilihan yang lebih baik dari pada kembali ke
pernyataan tertulis dari pemerintah, dan negara asal. Keputusan itu harus melibatkan
sejumlah pihak terkait. Data dan informasi sejumlah besar dari faktor di kedua wilayah,
dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu yaitu negara tempat tinggal asal dan tempat
dengan memberikan ulasan atau interpretasi pemukimannya. Faktor- ini meliputi: keadaan
terhadap data yang diperoleh sehingga menjadi keamanan, ketersediaan lapangan pekerjaan
lebih jelas dan bermakna dibandingkan dengan atau lahan, persediaan kebutuhan pangan dan
sekedar angka. Langkahnya melalui reduksi bahan bakar, ketersediaan pelayanan kesehatan
data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. dan sosial lainnya. Ketika manfaat repatriasi lebih
besar dari pada tetap tinggal sebagai pengungsi
D. Hasil dan Pembahasan internasional, maka migrasi kembali adalah suatu
1. Proses Kembalinya Pengungsi International hal yang bakal terjadi. Cuny dan Stein (1992: 20)
Pada awalnya migrasi pengungsi mencatat bahwa “ketika pengungsi internasional
internasional ditandai oleh adanya kebingungan membuat keputusan untuk kembali ke negara
dan ketergesaan. Sebagian besar kasus terdapat asal, mereka sedang membuat suatu pergerakan
kurangnya informasi yang jelas mengenai dalam rangka menghidupkan kehidupan mereka
kerusuhan atau konflik dan berpengaruh kembali”. Keputusan untuk kembali ke negara
pada penduduk sipil. Ketiadaan informasi tempat tinggal asal menandai permulaan dari
ini menyebabkan para calon pengungsi berkakhirnya lingkaran pengungsi internasional.
internasional dipaksa untuk bertindak cepat Setelah tiba di negara asal, para pengungsi
dalam menanggapi perubahan dari berbagai internasional langsung menjalankan tugas
peristiwa yang terjadi. Sebagian besar pengungsi yang kompleks dari pembangunan kehidupan
internasional merasakan bahwa dalam kondisi mereka. Keputusan didalam melakukan proses
tidak aman dan segera meninggalkan negara repratiasi ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
asal. Pengungsi internasional cenderung jaringan informasi dan kondisi negara tujuan
memiliki kekuatan kendali yang lebih besar pengungsi. Tahap selanjutnya membicarakan
atas waktu dan konteks dari kembali ke negara tentang kedua faktor tersebut, bagaimana
tempat tinggal asal mereka (Koser, 1993: pengungsi internasional menerima informasi di
174). Di dalam repatriasi secara sukarela yang dalam membuat keputusan dalam penyelesaian
spontan, pengungsi internasional memiliki repatriasi serta kondisi negara tujuan yang seperti
kesempatan untuk membuat keputusan mereka apa yang mendorong pengungsi melakukan
sendiri mengenai waktu dan cara mereka proses repratiasi.
kembali ke negara asal. Adanya repatriasi bisa
2. Jaringan Informasi Pengungsi Internasional
juga disebabkan oleh adanya tekanan ekternal
Pengungsi internasional biasanya selalu
yaitu permintaan dari pemerintahan negara
mencari dan memantau informasi mengenai
asal maupun permintaan dari negara tujuan
negara tempat tinggal asal. Hal ini dipertegas
pengungsi namun waktu pelaksanaan repratiasi
oleh Makanya (1991:25) yang mencatat
tersebut sepenuhnya ada ditangan pengungsi.
bahwa pengungsi internasional Zimbabwe dan
Keputusan untuk repatriasi adalah
negara lain berpusar pada penerimaan dan
prosedur yang kompleks bagi pengungsi
pendistribusian informasi mengenai kondisi di
internasional dan melibatkan pembandingan
negara asalnya. Sebagian besar pengungsi
persepsi dari daya tarik atas migrasi kembali
internasional menghabiskan beberapa bagian
ke negara asal dengan beberapa pilihan,
dari kehidupannya untuk mencari informasi
termasuk tetap tingal di dalam pengungsian
mengenai keadaan negara asal. Di sebagian
sebagai pengungsi internasional (Gorman,
besar situasi pengungsi internasional, terdapat
1984b:439). Proses pengambilan keputusan
dua tipe jaringan informasi, yaitu jaringan informasi
repatriasi membutuhkan pengungsi internasional
resmi dan tidak resmi. Informasi resmi untuk
untuk membuat beberapa bentuk dari analisis
pengungsi internasional datang dari pemerintah,
cost benefit-nya. Selanjutnya didasarkan pada
NGOs, front-front politik dan kemerdekaan.
ketersediaan informasi bagi mereka, seperti
Informasi tidak resmi datang dari hubungan
pilihan tetap tinggal di pengungsian sebagai
personal antara pengungsi internasional dengan

95
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

kerabat atau teman yang tinggal di negara asal. informasi disebarkan dari negara asal
Pengaruh dari sumber informasi tidak resmi kepada para pengungsi internasional,
terhadap proses pengambilan keputusan dan semakin berkemungkinan besar mengalami
repatriasi menjadi hal penting. Sebagian besar penyimpangan dalam penyampaian
studi kasus repatriasi pengungsi internasional di informasi. Pengungsi internasional
Benua Afrika menekankan hal tersebut sebagai biasanya tidak menyandarkan diri pada
satu sumber yang paling penting bagi informasi satu sumber informasi saja, mereka dapat
repatriasi, karena pengungsi internasional menyaring segala informasi yang dilebih-
merasa, bahwa mereka dapat mempercayainya lebihkan atau menyesatkan.
(Bouhouche, 1991: 5; Makanya, 1991: 25; Survei mengenai pengungsi
Hendrie, 1991: 204). internasional Chad di pengungsian
a. Jaringan Informasi Tidak Resmi mengemukakan bahwa 23 persen mereka
Ketika para pengungsi internasional masih memiliki sanak famili yang tinggal di
menetap tinggal di pengungsian, saat itu juga negara Chad (Ruiz, 2004:23). Komunikasi
biasanya dimulai proses determinasi ketika mengenai situasi keamanan dan ekonomi
repatriasi memungkinkan untuk dilakukan. di negara asal merupakan hal yang
Kenyataannya mereka kemungkinan seringkali diinformasikan kepada para
besar mendapat rintangan dan tindakan pengungsi internasional melalui berbagai
kekerasan setelah meninggalkan negara asal cara. Pengungsi yang memiliki hubungan
mereka komunitasnya sesegera mungkin dengan negara asal menerima surat atau
membangun jaringan sosial di wilayah pesan dari kerabatnya yang masih tinggal di
pemukiman mereka. Mereka menggunakan negara asal. Informasi tersebut disebarkan
jaringan sosial tersebut, secara aktif mencari kepada pengungsi lain di pengungsian
berbagai sumber informasi yang dianggap yang tidak memiliki kontak hubungan di
dapat dipercaya dalam rangka untuk Chad. Komunitas di pengungsian memiliki
mempelajari tentang apa yang sedang terjadi, hubungan yang erat menyebabkan para
serta kemungkinan untuk kembali pulang ke pengungsi internasional sdapat menerima
negara asal (Nunes dan Wilson, 1991:13). berita mengenai keadaan negara asal.
Ada dua sumber informasi didalam jaringan Beberapa pengungsi internasional
informasi tidak resmi yaitu sumber informasi menerima informasi yang terperinci
dari keluarga dan sumber informasi dari mengenai keadaan negara asal melalui
pengungsi internasional yang sudah kembali jaringan informasi tidak resmi, tetapi ada
ke negara asal. juga pengungsi yang kurang mendapat
1) Sumber Informasi yang berasal dari informasi obyektif mengenai situasi negara
Keluarga asal. Pengungsi internasional dari kalangan
Ketika penduduk suatu desa perempuan seringkali menerima informasi
meninggalkan negara asal sebagai satu lebih sedikit dari pada kaum lelaki.
kesatuan kelompok, keluar menjadi 2) Sumber Informasi yang berasal dari
pengungsi internasional, seringkali Pengungsi internasional yang kembali
sebagian anggota dari komunitas itu ke negara asal
tidak dapat atau tidak berkeinginan untuk Salah satu bagian terpenting dari
ikut meninggalkan negaranya. Mereka sistem informasi pengungsi internasional
yang tinggal itu menjadi esensial pada adalah pengungsi yang pulang lebih
proses pengambilan keputusan untuk dahulu ke negara kemudian memberikan
repatriasi, dengan cara menyampaikan informasi kembali kepada pengungsi
berita mengenai kondisi di negara asal internasional yang masih berada di
pada para pengungsi internasional. Para pengungsian mengenai kondisi di negara
pengungsi internasional yang tinggal asalnya. Informasi yang disampaikan oleh
berdekatan dengan perbatasan cenderung pengungsi yang melakukan repatriasi
untuk menerima informasi yang paling lebih awal seringkali dipertimbangkan
akurat (Rogge, 1991:26). Semakin jauhnya oleh pengungsi internasional sebagai

96
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

informasi yang paling dapat dipercaya dari di Sudan. Seperti pengungsi internasional
kesemua kemungkinan sumber informasi yang membuat keputusan matang untuk
(Hogan, 1992: 423). Hal ini dikarenakan mengambil resiko yang mungkin terjadi
mereka pernah mengalami sebagai sepanjang repatriasi, sebagian besar dari
pengungsi internasional, sehingga mereka pengungsi melihat pemerintah Uganda
dapat memahami informasi yang paling yang baru dengan janji-janjinya tentang
berharga bagi mereka yang masih tinggal keamanan bagi kedatangan mereka
di pengungsian. kembali ke negaranya. Mereka tetap tidak
Selama di pengungsian, beberapa berkeinginan untuk melakukan repatriasi
komunitas pengungsi internasional, keseluruhan keluarga dalam satu tahapan.
khususnya mereka yang tinggal berdekatan Sepanjang proses repatriasi, informasi
dengan perbatasan, mengembangkan mengenai kondisi keamanan, persediaan
sistem informasi dengan melibatkan kebutuhan pangan dan beberapa
arus migrasi kembali. Hal ini dilakukan hal penting lain disampaikan kepada
untuk meyakinkan informasi mengenai komunitas pengungsi internasional
kondisi negara asal, dan kalau bisa yang masih tinggal di pengungsian. Hal
merawat lahan pertanian di negara asal. ini dilakukan untuk membantu mereka
Sepanjang pertengahan tahun 2000-an, menilai kelangsungan hidup dari skala-
para pengungsi internasional Tigrikistan di penuh migrasi kembali.
negara Sudan mampu menantikan waktu Survei mengenai sikap dari
jeda dari konflik, dan ketika memungkinkan pengungsi internasional Chad tentang
mereka kembali ke negara asal untuk kemungkinan terjadinya repatriasi,
bercocok tanam selama musim hujan. menunjukan bahwa 28 persen dari keluarga
Mereka kemudian kembali ke negara pengungsi internasional mengirimkan
Sudan, bergabung kembali dengan setidaknya satu anggota keluarganya
komunitas pengungsi internasional, selagi untuk kembali lebih dahulu ke negara asal
tanaman panennya tumbuh berkembang guna menaksir keadaan di sana (Ruiz,
dan masak. Hanya pada musim panen, 2004:23). Sebagian besar pengungsi
apabila kondisi keamanan memungkinkan, internasional tetap menyandarkan pada
para pengungsi internasional (sebagian informasi yang mereka terima secara
besar kaum lelaki) kembali ke negara asal informal dan menolak untuk kembali
untuk memungut hasil panen (Hendrie, ke negara asal sampai dengan situasi
2001: 204). keamanan telah mengalami perubahan
Kasus pengungsi internasional yang jelas, meskipun terdapat beberapa
Uganda di Sudan, kembalinya amnesti yang dikombinasikan dengan
anggota keluarga hanya terjadi ketika beberapa jaminan keberlanjutan
dipertimbangkan sudah berada dalam keamanan dari pemerintah Chad (Alhabo
kondisi aman. Pengungsi internasional dan Passang, 2004: 5).
yang kembali lebih awal adalah kepala Pengungsi yang kembali lebih
rumah tangga, barangkali dengan satu awal ke negara asal dipertimbangkan
putranya dan beberapa hewan ternak, dapat menjadi sumber informasi yang
untuk memastikan sebidang kecil lahannya bermanfaat bagi pengungsi internasional
(Kabera dan Muyanja, 2002:18). Begitu lainnya, untuk mempertimbangkan
telah diyakini berada dalam keadaan dalam melakukan repatriasi, Walaupun
aman, pengungsi yang kembali lebih awal Informasi tersebut dapat juga tidak
beserta anaknya yang dapat membantu akurat (Akol, 1991:25). Karena di dalam
dalam penaburan benih tanaman, akan memberi informasi mereka cenderung
kembali untuk menjemput beberapa berlebih-lebihan dan menutupi kondisi
anggota keluarga yang lain, mereka yang sebenarnya negara asal sehingga belum
cacat jasmani atau yang masih mempunyai layak untuk repatriasi dalam skala besar.
beberapa ikatan ekonomi seperti pekerjaan Pengungsi internasional yang tidak

97
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

dapat menyesuaikan diri selama dalam berkeinginan besar untuk mengakhiri


pengungsian, lebih cenderung untuk situasi pengungsi internasional, sebab
mengambil resiko dengan melakukan pemerintah negara tujuan menganggap
repatriasi ke wilayah yang belum aman pengungsi tersebut sebagai beban dan
secara keseluruhan, dan mereka biasanya pemerintah negara asal menganggap
tidak memberikan informasi mengenai mereka sebagai suatu keadaan yang
permasalahan keamanan kepada memalukan. Berbagai usaha yang
pengungsi internasional lain. dilakukan oleh kedua pemerintah untuk
mendorong terjadinya repatriasi sering
b. Jaringan Informasi Resmi
melibatkan penyebaran informasi yang
Selama mengungsi mereka menerima
tidak benar karena adanya sejumlah motif
informasi tentang kondisi negara asal dari
yang berbeda.
beragam kelompok sumber resmi. Sumber
Pemerintah dari negara asal ada
resmi ini memberikan beragam informasi bagi
yang secara langsung mengendalikan
para pengungsi. Pemerintah baik dari negara
beberapa media komunikasi untuk
asal ataupun negara tujuan, NGOs, front-
menarik para pengungsi internasional
front politik dan media, merupakan sumber
kembali ke negara asal. Masalah
informasi penting dalam proses pengambilan
pengungsi internasional Chad di
keputusan untuk repatriasi. Pengungsi
pertengahan tahun 2000-an diperburuk
internasional, ketika menerima informasi dari
oleh sumber-sumber informasi resmi
berbagai sumber resmi, pertama kali harus
pemerintah yang menyebarkan informasi
memutuskan percaya atau tidak percaya
menarik tentang kondisi negara, padahal
tentang informasi tersebut sebelum mereka
para pengungsi dari sumber mereka
membuat keputusan. Para pengungsi
yang tidak resmi mengetahui bahwa
yang pada masa lalu pernah dikhianati
informasi tersebut tidak benar (Alhabo
oleh pemerintah atau front pembebasan,
dan Passang, 2004: 4). Pengungsi
kemungkinan besar akan bertindak skeptis
internasional terus meninggalkan negara
terhadap informasi yang disediakan oleh
Chad dan ketika pemerintah kemudian
sumber tersebut. Berikut beberapa sumber-
berhasil memperbaiki keadaan keamanan
sumber informasi resmi :
dalam negara, sumber-sumber informasi
1) Sumber informasi yang berasal dari pemerintah telah kehilangan kredibilitas
Pemerintah untuk menyampaikan kepada pengungsi
Ketidakpercayaan terhadap di negara tujuan. Dalam hal ini, sumber-
pemerintah adalah suatu dimensi sumber informasi tidak resmi hampir selalu
yang universal dari migrasi pengungsi digunakan secara eksklusif oleh para
internasional, karena sebagian besar pengungsi di dalam proses pengambilan
migrasi diawali oleh tindakan langsung dari keputusan untuk repatriasi.
pemerintah, atau secara tidak langsung Ketika para pengungsi
oleh kelambanan pemerintah dalam internasional bersikap skeptis terhadap
penanganannya. Dari sisi negara tujuan, sejumlah laporan dari media pemerintah,
hal itu terjadi karena janji-janji yang dibuat umumnya pemerintah pun mengabaikan
oleh pemerintah kepada para pengungsi hal tersebut dengan terus mengabaikan
internasional sering terabaikan, atau informasi yang penting dari perspektif
pemerintah secara terbuka bermusuhan mereka. Para pengungsi internasional
dengan pengungsi internasional. Setiap Uganda di Sudan tidak mempercayai
pernyataan- resmi yang dibuat tentang sumber berita resmi, tetapi mereka cukup
kondisi negara asal, para pengungsi terbiasa dengan gaya dan isi bacaan
sebelumnya harus membuat determinasi yang tersirat (Kabera dan Muyanja, 2002:
tentang motivasi dari pernyataan 18). Dengan menggabungkan antara apa
tersebut. yang mereka ketahui dari jaringan informal
Pemerintah di kedua sisi seringkali mereka dengan sumber resmi, para

98
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

pengungsi dapat mengerti perkembangan mengingatkan bahwasanya pengungsi


dari konflik atau peperangan di negara internasional dapat disesatkan oleh salah
asalnya secara detail. penafsiran dari segala macam informasi.
Para pengungsi internasonal di Hal ini dikarenakan NGOs cenderung
Djibouti, menjadi subyek dari kampanye berpihak pada pada permasalahan di
media informasi ganda yang mendorong bidang keamanan dalam skala besar.
repatriasi mereka. Sumber- berita dari Untuk itu pengungsi perlu menggunakan
pemerintah Ethiopia seringkali salah segala perhatiannya dalam melakukan
dalam menggambarkan situasi keamanan arahan dari organisasi tersebut (Cuny
dalam negara (Crisp, 1984b: 79). Djibouti dan Stein, 1992: 32). Beberapa NGOs
merupakan negara tujuan pengungsi memungkinkan memiliki kepentingan
internasional yang menggunakan media dalam melihat penyelesaian dari program
komunikasi untuk menyebarkan isu repatriasi yang dapat mengarah dalam
tentang program repatriasi secara paksa pembuatan informasi yang diselaraskan
yang akan terjadi segera. Tujuan untuk dengan pemerintah setempat. Dalam
menakuti para pengungsi supaya bersedia rangka menghindari perangkap tersebut,
kembali ke negara asal secara mandiri. partisipasi aktif para pengungsi dalam
Sebagian besar jenis manipulasi media memperoleh informasi yang benar harus
seperti ini dikenal pengungsi internasional menjadi tujuan dari NGOs.
sebagai kepura-puraan untuk menciptakan Banyaknya kepala rumah tangga
kondusif bagi repatriasi sukarela secara perempuan di pengungsian internasional
aman. Informasi ini dilakukan untuk membuat UNHCR seringkali melakukan
memaksa terjadinya repatriasi secara berbagai program, seperti di negara
mandiri, agar tidak menjadi beban bagi Kamboja dan Meksiko, untuk memastikan
pemerintah. Dengan adanya informasi para pengungsi perempuan memperoleh
informal tentang kondisi negara asal, akses informasi dibutuhkan dalam rangka
mereka bisa mengenali berbagai usaha membuat keputusan realistis mengenai
yang memaksa untuk kembali ke negara repatriasi (Brazeau, 1992: 3). Keberhasilan
asal. Seringkali pengenalan usaha tersebut dari berbagai proyek itu adalah mengijinkan
menjadi motif bagi para pengungsi untuk pengungsi internasional perempuan untuk
tidak bersedia kembali ke negara asal turut serta dalam perjalanan investigasi
(Cuny, 1990a: 3). ke negara asal sebelum membuat suatu
keputusan akhir mengenai repatriasi. Ini
2) Informasi dari Non-Governmental
dikarenakan sebagian besar pengungsi
Organizations (NGOs)
perempuan di Asia dan Afrika seringkali
Semakin banyak agen
tidak menerima informasi cukup, sehingga
kemanusiaan seperti halnya UNHCR yang
jenis program ini harus diterapkan di kedua
membantu mengisi gap yang ditinggalkan
benua itu (Martin, 1992: 3).
pemerintah dalam menyediakan
NGOs dan komunitas gereja
informasi bagi para pengungsi sebagai
lokal sering menyediakan beberapa
penunjang dalam proses repatriasi yang
informasi akurat yang bermanfaat bagi
mungkin mereka lakukan. Crisp (1984c:
para pengungsi bahwa sebagian besar
5) menyarankan organisasi-organisasi
beroperasi di wilayah yang ditinggalkan
kemanusiaan mengambil alih dalam
pengungsi internasional. Oleh sebab itu
penyediaan informasi yang tepat bagi para
mereka (organisasi) mempunyai informasi
pengungsi internasional. Ketika repatriasi
yang dapat dipercaya sehingga membuat
menjadi hal yang mungkin dilakukan, suatu
para pengungsi lebih menyandarkan diri
misi pencari kebenaran, dimana adanya
pada informasi dari organisasi tersebut.
sebuah kebebasan bagi anggota keluarga
Selama pengungsiannya dari Rhodesia,
dari pengungsi untuk menyelidiki kondisi
sebagian besar pengungsi internasional
di negara asal. Kurangnya pengalaman
menyadari pentingnya agen kemanusian
dari beberapa NGOs, Rogge (1991: 27)

99
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

berbasiskan komunitas gereja karena situasi yang terjadi sekarang. Pola pengungsi
memberi informasi terbaru mengenai internasional itu adalah dengan tetap tinggal di
peristiwa yang terjadi di negara asal pengungsian sampai terjadinya kemerdekaan
(Jackson, 1991: 33). Komunitas gereja dan segera kembali ke negara asal. Di dalam
dan NGOs lokal seringkali berada di garis situasi pengungsi internasional kontemporer,
depan dalam perjuangan kemerdekaan mereka (pengungsi) yang meninggalkan
atau tindakan pembebasan. Hai ini negara asal karena adanya konflik internal,
penyebab timbulnya aliran pengungsi pengambilan keputusan ini lebih dipengaruhi
internasional dengan memberikan oleh gaya hidup, bentuk kondisi lokal yang
informasi penting bagi para pengungsi. mempengauhi keputusan pengungsi dalam
Namun beberapa sumber-sumber melakukan repratiasi adalah sebagai berikut:
informasi mengenai kondisi di negara a. Kondisi Lokal dan Pengungsi Internasional
asal seringkali mengalami pensensoran Tanpa Adanya Bantuan Pertolongan
secara oleh pemerintah negara asal dan Sebagian besar repatriasi dari para
tujuan. pengungsi internasional tidak memperoleh
Berbagai konflik terkadang muncul bantuan pertolongan terjadi tanpa adanya
di antara pemerintah, NGOs, UNHCR campur tangan pemerintah atau NGOs. Para
dan pengungsi internasional pada saat pengungsi internasional secara garis besar
pelaksanaan repatriasi secara resmi. dapat mencukupi kebutuhan sendiri seringkali
Para pengungsi masih memiliki beberapa kembali ke negara asal tanpa bantuan
kemungkinan untuk memutuskan bahwa pertolongan. Pengungsi internasional
situasi keamanan di negara asal masih yang dapat menyesuaikan diri dengan
berada dalam keadaan tidak. Meskipun situasi ekonomi dan sosial di pengungsian,
perjanjian diantara tiga pihak (kedua sama seperti hal dengan mereka yang
pemerintah yang bersangkutan dan tinggal berdekatan dengan negara asal,
UNHCR) telah disetujui, dan berbagai berkemungkinan besar untuk kembali ke
pengaturan yang dibuat dengan NGOs negaranya tanpa memanfaatkan bantuan
lokal di dalam pelaksanaan program pertolongan. Berbeda halnya dengan mereka
repatriasi,. Agen-agen kemanusiaan yang tinggal di pengungsian dan pemukiman
internasional dan pemerintah cenderung yang terorganisir berkemungkinan besar
memusatkan pada bidang keamanan luar dapat menerima bantuan pertolongan selama
negara di wilayah atau negara. Di lain proses repatriasi. Kedua kelompok tersebut
pihak, para pengungsi jauh lebih tertarik menandakan bahwa kondisi di pengungsian
pada informasi berskala mikro mengenai memiliki suatu kaitan langsung dengan
segala sesuatu yang terjadi di wilayah proses pengambilan keputusan akhir.
negara asal (Cuny dan Stein, 1992: 33). Pengungsi internasional yang mampu
Akibatnya mereka (pengungsi) menerima mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri lebih
informasi yang saling berlawanan dari berkemungkinan besar untuk berperan serta
berbagai sumber resmi dan tidak resmi secara aktif dalam kondisi ekonominya di
mengenai keamanan di negara asal hal pengungsian. Apabila kesempatan terhadap
ini. Hal ini membuat mereka lebih memilih bidang-bidang itu dikurangi karena adanya
untuk mempertahankan sikap ‘menunggu kebijakan pemerintah secara langsung
dan melihat’ pada keputusan akhirnya. atau faktor lainnya, maka situasi jangka
3. Kondisi Lokal panjang dari pengungsi internasional bakal
Komponen kedua dalam proses menjadi lebih pendek. Sebagaimana halnya
pengambilan keputusan terkait dengan ketika para pengungsi dimukimkan secara
penyelesaian akhir adalah kondisi tempat berdekatan antara satu sama lainnya,
dimukimkannya pengungsi internasional. tekanan lingkungan dapat menjadi faktor
Sebagian besar dari keputusan repatriasi penting dalam kelangsungan hidup komunitas
merupakan suatu keseimbangan antara jangka panjang mereka. Beberapa jenis
pengetahuan para pengungsi terhadap keperluan hidup, seperti ketersediaan kayu

100
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

bakar dan air terpenuhi pada tahapan awal jenis tindakan pemaksaan keluar. Apabila
pemukimannya, tetapi sumber daya ini akan pendistribusian makanan dikurangi atau
terus berkurang dari waktu ke waktu sehingga ditiadakan dan pengungsi internasional
memaksa para pengungsi untuk mencari tidak memiliki akses kepada sumber daya
secara lebih jauh atau pun menggunakan pangan lokal, maka pilihan untuk kembali
sebagian dari sedikitnya penghasilan mereka ke negara asal merupakan solusi utama.
untuk membeli berbagai kebutuhan seperti Sepanjang pertengahan tahun 2000-an,
itu. pengungsi internasional Djibouti sepenuhnya
Siklus pertanian merupakan menyandarkan diri kepada bantuan pangan
salah satu faktor penting bagi pengungsi apabila kemudiannya bantuan itu ditiadakan
internasional di dalam menentukan waktu merupakan sebagai bagian strategi untuk
untuk melakukan repatriasi. Mereka tidak memaksa mereka meninggalkan negara
mungkin meninggalkan lahan pertanian tujuannya. Berdasar pengetahuan mereka
yang siap panen dan lebih memilih untuk mengenai kondisi negara asal belum berada
kembali ke negara asal sebelum musim dalam keadaan stabil maka sebagian
tanam untuk persediaan kebutuhan pangan besar para pengungsi menolak di repratiasi
tahun berikutnya. Pola repatriasi seperti ini dan terus bertahan dengan persediaan
dilakukan oleh pengungsi internasional yang kebutuhan hidup yang mereka beli di sekitar
berasal dari Tigrayan dari tahun 1985 hingga pengungsian (Crisp, 2002: 76).
1987, Vietnam 1988 hingga 1992, Kenya Dalam beberapa kasus, UNHCR
dari tahun 1993 hingga 1994, Mozambique dan pemerintah setempat terkadang
dari tahun 1994 hingga 1995, dan Ethiopia terlibat di dalam tindakan kontroversial dari
dari tahun 2004 hingga 2005. Pengungsi pengurangan pendistribusian bantuan atau
internasional yang meninggalkan Ethiopia pelayanannya dalam rangka mempromosikan
menuju negara Sudan karena terjadinya program repatriasi. PBB dan NGOs haruslah
bencana kelaparan di tahun 2004, ketika melakukan tindakan pengawasan untuk
terdapat suatu kondisi dimana tercukupinya memastikan bahwa pengurangan bantuan
ketersediaan sumber daya air untuk bercocok pertolongan tidak digunakan untuk memaksa
tanam di Ethiopia namun tidak mencukupi terjadinya repatriasi yang berlawanan dengan
kebutuhan keseluruhan dari populasinya. keinginan murni dari pengungsi internasional
Sebagian para pengungsi memilih untuk (Huffman 1992: 121). Pengungsi yang
kembali ke negara asal untuk bercocok melakukan repatriasi karena adanya tindakan
tanam dan memetik hasil panen (Hendrie, pengurangan dalam distribusi bantuan
2005: 109). pertolongan oleh UNHCR atau NGOs, dan
b. Kondisi Lokal dan Pengungsi Internasional menemukan bahwa situasi atas kembalinya
yang Mendapatkan Bantuan Pertolongan ke negara asal adalah suatu hal yang tidak
Pengungsi internasional yang dapat dipertahankan, dapat kembali berpaling
ketergantungan pada kebutuhan hidup dan menuju ke negara tujuan meskipun pada
sehari-hari, lebih rentan terhadap perlakuan kenyataannya berbagai bantuan pertolongan
pemerintah dan agen-agen kemanusiaan kepada mereka telah ditiadakan. Atas dasar
internasional. Apabila terdapat suatu harapan kelangsungan hidup, menetap tinggal di
dari pemerintah untuk menyingkirkan sebagian pengungsian masih menjadi pilihan utama dari
beban akibat adanya pengungsi internasional para pengungsi terhadap berkelanjutannya
dengan meniadakan pelayanan-pelayanan instabilitas dan kekerasan yang terjadi di
tertentu kepada para pengungsi, dapat negara asal. Ketika situasi negara asal
menjadi langkah pertama keterwujudannya telah mengalami perubahan, setidaknya
harapan itu. Sebagai contoh, pengungsi sedikit dari mereka yang kembali ke negara
internasional yang memperoleh bantuan asal dengan sesegera mungkin. Pengungsi
makanan sebagai suatu komponen utama internasional di Djibouti pada tahun 2004
dalam kebutuhan hidup merupakan suatu tidak memiliki pilihan selain kembali ke negara
hal yang paling rentan terhadap terjadinya asal dengan beberapa bantuan pertolongan

101
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

dari UNHCR. Mereka yang menolak untuk negara donor yang memiliki pengaruh
ambil bagian dalam repatriasi ini dapat kuat dengan kebutuhan dari pengungsi
dihentikan statusnya sebagai pengungsi internasional.
internasionl dan tidak mendapatkan distribusi
4. Proses Pengambilan Keputusan
bantuan kemanusiaannya (Goodwin-Gil,
Terdapat suatu hal penting yang perlu
2004:278). Para pengungsi di Djibouti
dicatat bahwa di dalam setiap situasi pengungsi
sepenuhnya bergantung pada bantuan
internasional tidak semua pengungsi internasional
makanan tidak memiliki sebidang lahan
memiliki pemikiran yang serupa. Perbedaan
yang baik untuk ditanami. Dikombinasikan
di dalam pengambilan keputusan didasarkan
dengan salahnya informasi mengenai negara
pada perbedaan dari masing-masing individu
asal dan kemungkinan terjadinya tindakan
pengungsi internasional (Stein dan Cuny, 1992b:
pengurangan distribusi bantuan pertolongan
12). Populasi pengungsi internasional terbentuk
telah menyebabkan kegelisahan yang
dari masing-masing individu-individu yang mana
cukup berarti bagi komunitas pengungsi
kesemuanya memiliki keberbedaan pandangan
internasional.
terhadap situasi yang sedang mereka hadapi,
Tekanan dari sejumlah negara
meskipun pada umumnya mengarah kepada
donor dapat menjadi sebuah katalisator
‘populasi pengungsi internasional’ atau pun
dari pengurangan kuantitas pendistribusian
‘massa pengungsi internasional’. Perumuman
bantuan pertolongan bagi pengungsi
yang dibuat mengenai “populasi pengungsi
internasional untuk menunjang program
internasional’ seharusnya mempertimbangkan
repatriasi. Membiayai suatu program
kemungkinan dari perbedaan di antara
repatriasi, meskipun mahal bagi negara
masing-masing individu. Konteks asli yang
donor tetapi dapat dirasakan lebih murah jika
menyebabkan para pengungsi internasional
dibandingkan dengan merawat pengungsi
meninggalkan negara asal juga mempengaruhi
internasional di pengungsian untuk periode
proses pengambilan keputusan akhirnya
waktu yang lama dan tidak menentu (Harrell-
sebagai tambahan. Pada masa lalu, pengungsi
Bond, 1989:44). Pengungsi internasional
yang meninggalkan negara asal karena adanya
terkadang dapat menjadi pion di dalam
perang anti-kolonial, memiliki kemudahan dalam
permainan besar dalam kebijakan bantuan
pengambilan keputusan awal dan akhirnya
kemanusiaan internasional. UNHCR dapat
dibadingkan dengan mereka yang meninggalkan
dilibatkan di dalam program-program yang
negara asal karena beragamnya jenis konflik.
mempromosikan terjadinya repatriasi
Seperti yang telah dikemukakan pada
sebagaimana mendahului keinginan murni
sebelumnya, repatriasi adalah permulaan dari
dari para pengungsi untuk kembali ke negara
suatu proses yang mana pengungsi internasional
asal. Salah satu contoh dari tekanan negara
melakukan suatu pergerakan guna membangun
donor yang digunakan untuk memepercepat
kembali kehidupannya. Banyak dari apa yang
proses repatriasi adalah pengungsi
para pengungsi internasional lakukan adalah
internasional Somalia di Ethiopia pada tahun
dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup
2003. Pemerintah Amerika Serikat, negara
sehari-hari, meskipun mereka menggunakan
donor utama UNHCR, mengancam untuk
beberapa kendali atas kehidupannya selama
menarik secara finansial dalam pembiayaan
berada di pengungsian. Proses awal dalam
kehidupan pengungsi internasional Somalia
pengambilan keputusan adalah tahapan
di pengungsian. Hal ini membuat UNHCR
pertama atas beberapa rangkaian tahapan
mengurangi distribusi bantuan pertolongan
yang memperbolehkan para pengungsi untuk
karena adanya tekanan dari negara Amerika
memperoleh kembali kendali dari kehidupannya
Serikat dan mengeluarkan sebuah asumsi
a. Model Pengambilan Keputusan Repatriasi
bahwa repatriasi secara sukarela dalam
Berdasar Koser
skala besar tengah terjadi (Waldron dan
Di dalam perbincangan mengenai
Hasci, 2003:66). Di dalam kasus seperti ini,
proses pengambilan keputusan
UNHCR seharusnya menjaga keseimbangan
pengungsi internasional, Koser (1993:176)
kebutuhan yang sama pentingnya antara
mengemukakan suatu model tentang

102
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

sistem informasi pengungsi internasional tidak secara aktif mencari informasi adalah
dan keterkaitannya dengan proses suatu kemungkinan yang tidak realistis. Hal
repatriasi, diagram dari model itu disajikan ini dipertegas dengan banyaknya literatur
sebagaimana yang terdapat pada Gambar 3. yang mengemukakan bahwa para pengungsi
Model ini terdiri dari beberapa faktor, seperti tidak secara aktif mencari informasi mengenai
‘pemasukan’ yang mempengaruhi ‘negara negara asal (Cuny dan Stein, 1991a: 27;
asal’, dan ‘agen-agen kemanusiaan’ dalam Hendrie, 1991: 204). Model ini mengabaikan
menyebarkan informasi kepada pengungsi suatu kenyataan bahwa sebagian dari
internasional di pengungsian. Para pengungsi para pengungsi dapat melakukan sebuah
kemudian merasakan sebuah ‘pengalaman perjalanan pengawasan atau mengirimkan
di pengungsian’ yang melibatkan kondisi beberapa anggota keluarganya untuk
lokal selama berada di pengungsian. menaksir kondisi negara asal secara
Pengambilan keputusan akhir sebagai langsung sebelum melakukan repatriasi.
pengungsi internasional adalah suatu proses Model ini bermanfaat dalam menunjukan
dimana para pengungsi membandingkan bagaimana aliran informasi dan kondisi lokal
aliran-aliran informasi yang mereka terima mempengaruhi pengungsi internasional
dari negara asal dengan pengalaman mereka dalam memutuskan penyelesaian akhirnya,
selama berada di pengungsian. Ketika meskipun memiliki beberapa kelemahan.

Aliran
Informasi
Pemasukan

Tempat Pengalaman
Pengungsian Pengungsi Internasional
Pengungsian

Agen Sumber Sumber Sanak-famili Media


Kelembagaan Pribadi

Negara Dinamika
Tekanan
Sumber Kendali Penjajaran Kondisi
Asal Kelembagaan Politik Sosial Ekonomi Perang-Konflik
Eksternal

Gambar 3. Model dari Sistem Informasi Pengungsi Internasional


(Sumber: Koser, Khalid. 1993, hal. 176)

manfaat untuk kembali ke negara asal lebih b. Perluasan Model Pengambilan Keputusan
besar dibandingkan dengan menetap tinggal Model sebelumnya menguraikan
sebagai pengungsi internasional, maka bagaimana aliran informasi mempengaruhi
repatriasi adalah pilihan pertama. proses pengambilan keputusan akhir.
Secara implisit model ini merupakan Beberapa model terkadang melalaikan
penyederhanaan dan suatu asumsi mengenai sebuah kenyataan bahwa sebagian dari
aliran informasi dalam kaitannya dengan pengungsi tidak memiliki kesempatan untuk
proses pengambilan keputusan. Berbagai membuat suatu pilihan bebas mengenai
asumsi itu menggambarkan bahwa pengungsi kembali atau tidaknya ke negara asal.
nternasional menerima informasi secara Kondisi ketika para pengungsi dilengkapi
pasif dimana mereka menerima informasi dengan sebuah kesempatan untuk membuat
sebagai individu, dan repatriasi adalah suatu pilihan yang bebas, maka mereka
suatu keinginan dari keseluruhan pengungsi bisa membandingkan antara informasi yang
internasional. Koser mengemukakan bahwa mereka peroleh dari negara asal dengan
asumsi yang mana pengungsi internasional di pengungsian mengenai peristiwa yang

103
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

terjadi di negara asal. Apabila pengungsi berupa informasi resmi maupun tidak
berpikiran bahwa dengan kembali ke negara resmi. Informasi yang sangat dibutuhkan
asal merupakan sebuah keuntungan, oleh para pengungsi adalah kondisi
maka repatriasi maka terwujud. Mereka mengenai negara asal dan/atau lahan
akan kehilangan kendali dalam pembuatan pertaniannya. Sumber-sumber tidak
keputusan akhir ketika pengungsi dipengaruhi resmi, dapat berasal dari pengungsi yang
oleh berbagai kekuatan yang sebagian besar telah kembali lebih dahulu ke negara asal
berada di luar kendalinya, maka. Gambar 3 dan anggota keluarga yang masih berada
menunjukkan bagaimana berbagai agen- di negara asal. Mereka sangat membantu
agen kemanusiaan dalam menyebarkan dalam menyediakan informasi yang
informasi yang mempengaruhi proses diperlukan oleh para pengungsi. NGOs
pengambilan keputusan dari para pengungsi. dan UNHCR menyediakan informasi
Mereka tidak dapat merasakan peristiwa di dalam ruang lingkup makro yang berkaitan
negara asal, tetapi dapat merasakan secara dengan kemungkinan terjadinya repatriasi
langsung peristiwa di pengungsian. Aliran resmi dan keamanan regional.
informasi pengungsi secara tidak langsung Peristiwa lain yang terjadi di negara
dapat diperoleh melalui berbagai sumber asal dimana para pengungsi internasional
resmi dan juga berasal dari para pengungsi menjadikannya sebagai dasar dalam
yang telah kembali lebih dahulu ke negara membuat keputusan repatriasi adalah
asal. Model keputusan-informasi yang siklus pertanian dan ikatan kekeluargaan.
diperluas ini membedakan antara kedua Pada awalnya, siklus pertanian dapat
situasi negara itu. memaksa para pengungsi untuk kembali
1) Aliran informasi dan proses secepatnya ke negara asal. Kebutuhan
pengambilan keputusan berakhirnya hidup mereka secara cepat dapat
konflik tercukupi apabila dapat menanam dan
Menyusul terjadinya resolusi dari memetik hasil panen pertama tepat pada
sebuah konflik, maka para pengungsi waktunya. Sebanyak 600.000 pengungsi
internasional harus membuat sebuah kembali ke Zimbabwe setelah berakhirnya
keputusan mengenai masa depannya. konflik yang bertepatan dengan musim
Bagi sebagian besar pengungsi, keputusan tanam. Mereka hanya menyandarkan
yang pasti diambil adalah kembali ke pada bantuan makanan untuk periode
negara asalnya sesegera mungkin. Pada satu musim pertanian saja (Jackson,
akhir sebuah konflik, proses pengambilan 2005: 46). Sebagai catatan, keluarga
keputusan pengungsi tidak dapat dari pengungsi dapat berperan dalam
dipengaruhi oleh kekuatan eksternal pemilihan waktu untuk kembali ke negara
hingga pengungsi dapat membuat sebuah asal. Pengungsi yang beberapa anggota
pilihan yang bebas. Terutama ketika keluarganya kembali ke negara asal lebih
berakhirnya perjuangan kemerdekaan, awal dapat memantau kondisi di sana
pengungsi sangat mengharapkan secara langsung, sehingga berkeinginan
untuk kembali dan memulai kehidupan untuk kembali lebih cepat dan berkumpul
di negaranya yang baru. Ketentuan dengan keluarga inti.
mengenai waktu kembali ke negara asal Kondisi di pengungsian yang dapat
dan mengikuti program repatriasi resmi mempengaruhi pengungsi internasional
merupakan suatu keputusan penting yang dalam membuat keputusan repatriasi
harus diambil oleh pengungsi. adalah aktivitas dari UNHCR, pemerintah,
Para pengungsi internasional NGOs dan front-front kemerdekaan/
mencari informasi yang spesifik politik. Seperti yang telah dikemukakan
mengenai kondisi di negara asal sebelum sebelumnya bahwa pelaksanaan
memutuskan untuk kembali. Berbagai repatriasi resmi dapat mengurangi tingkat
sumber dari informasi ini, sebagaimana kesukarelaan dari repatriasi. Front-front
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat politik dapat menggerakkan pengungsi

104
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

untuk melakukan repatriasi lebih cepat sumber pangan dan air sangat tersedia di
untuk mempengaruhi hasil pemilu. Faktor- negara asal.
faktor lain seperti ketanaga-kerjaan dan Terdapat beberapa pembatasan
situasi ekonomi pengungsi berperanan bagi pengungsi internasional dalam
penting dalam proses pengambilan proses pengambilan keputusan,
keputusan. khususnya ketika sebuah konflik sedang
2) Aliran informasi dan proses berkembang, dan adanya keinginan untuk
pengambilan keputusan dalam konflik menyingkirkan ataupun menghindari
yang belum berakhir pengungsi internasional di negara tujuan
Pengungsi internasional yang ataupun negara asal. Pembatasan di
tidak mengharapkan resolusi dari sebuah dalam keputusan repatriasi itu bisa
konflik di masa mendatang, tetap mencari disederhanakan sebagai penyimpangan
informasi mengenai negara asal. Pengungsi informasi oleh negara tujuan, atau secara
internasional sadar bahwa konflik telah kasarnya merupakan sebuah tindakan
berkakhir dan daerah-daerah yang tidak pengusiran pengungsi.
aman menjadi aman pada jangka waktu Salah satu contoh dari
tertentu. Bagi pengungsi internasional di memburuknya kondisi di negara tujuan
berbagai situasi, kondisi di pengungsian pengungsi internasional terhadap
adalah faktor determinasi yang paling pengambilan keputusan repatriasi adalah
penting dalam memutuskan untuk kembali pengungsi di negara Somalia pada tahun
atau tidak ke negara asal pengungsi pada 2001. Kondisi dalam negara tetap berada
berbagai situasi (Cuny dan Stein, 1992: dalam keadaan tidak cukup stabil untuk
20). Pengungsi yang tinggal di dalam menghalangi repatriasi dalam skala
pemukiman yang terorganisir dan/atau besar dari negara Somalia, meskipun
spontan secara otomatis tidak memperoleh situasi politik di sebagian negara Ethiopia
akses sebidang lahan untuk bercocok secara perlahan-lahan mengalami
tanam atau pekerjaan guna mendapatkan perbaikan menyusul kemenangan
penghasilan, berkemungkinan besar dari Front Revolusi Demokrasi Rakyat
mempertimbangkan bahwa repatriasi Ethopia (ERPDF/Ethiopian People’s
adalah pilihan terbaik. Di beberapa Revolutionary Democratic Front). Terjadi
situasi yang ekstrim, misal adanya wabah penurunan kondisi secara tiba-tiba di
penyakit di pengungsian dapat memaksa negara Somalia menyusul peristiwa
pengungsi untuk kembali ke negara asal penggulingan kepemimpinan Siad Barre,
walaupun mereka belum sepenuhnya lebih dari 500.000 pengungsi kembali ke
menganggap aman untuk melakukan negara Ethiopia secara cepat (Gallagher
repatriasi. dan Martin, 2002: 28).
Sebagaimana pengungsi Permasalahan kemanan juga
internasional yang kembali ke negara mempengaruhi repatriasi menuju negara
asal ketika kondisi telah aman dan Somalia dari negara Kenya pada tahun
damai, repatriasi pengungsi yang 2004. Repatriasi pengungsi menuju
terjadi sebelum berakhirnya konflik, Somalia-Kenya dikenal dengan proporsi
tetap perlu mengetahui kondisi negara terbesar repatriasi dengan jalan kaki.
asal secara terperinci. Pemahaman Pengungsi Somalia harus menempuh jarak
mengenai keamanan dan berbagai sekitar 290 kilometer dan/atau perjalanan
situasi di negara asal dan sepanjang rute selama 21 hari. Sebagian dari perjalanan
perjalanan repatriasi merupakan hal yang tersebut harus melewati daerah padang
penting guna pengambilan keputusan. pasir yang situasi keamanan sangat
Kondisi pengungsian yang buruk tidak berbahaya (Wladron dan Hasci, 1995:
mempengaruhi pengungsi untuk kembali 68). Pelaksanaan repatriasi menuntut
ke negara asal yang mereka ketahui tidak disediakannya bantuan perlindungan
aman. Pengungsi perlu mengetahui bahwa menuju negara asal untuk menghalangi

105
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

terjadinya migrasi kembali ke negara dalam proses integrasi sosial-ekonomi di


tujuan. Meningkatnya rasa ketidakamanan negara tujuan tersebut. Faktor jarak yang dekat
dan pengurangan dalam distribusi bantuan sangat dipertimbangkan karena memudahkan
pertolongan di tempat-pengungsian di mereka untuk memelihara jalinan komunikasi
negara Kenya mempercepat terjadinya dengan keluarga yang tinggal di negara asal.
proses repatriasi. Tindakan pengurangan Komunikasi dengan negara asal mereka
distribusi bantuan memaksa sebagian pelihara untuk menjamin aliran informasi yang
besar pengungsi internasional untuk sangat dibutuhkan dalam membuat keputusan
kembali ke Somalia dengan perasaan akhir tentang kemungkinan mereka untuk
berat hati, meskipun para pengungsi kembali ke negara asal, sebab pada umumnya
mengerti tentang ketidakstabilan situasi para pengungsi berniat untuk kembali jika hal
keamanan yang terdapat di sepanjang itu memungkinkan. Sumber informasi mereka
perjalanan dan di negara asalnya. dalam membuat keputusan akhir datang dari
sumber-sumber resmi dan tidak resmi. Sumber-
D. Kesimpulan sumber resmi berasal dari pemerintah negara
Berdasarkan kajian tentang fenomena asal dan negara tujuan, lembaga-lembaga PBB
repatriasi pengungsi internasional pada dan NGOs, sementara sumber-sumber tidak
tahun 2004-2013, ternyata kebanyakan resmi datang dari hubungan-hubungan personal
aliran pengungsi internasional tersebut timbul dengan keluarga di negara asal, atau pengungsi
karena adanya konflik atau perang saudara yang telah kembali ke negara asal. Informasi
yang disebabkan hadirnya kebijakan global dari sumber-sumber tidak resmi umumnya
untuk melawan terorisme pasca peristiwa mereka terima lebih sahih, karena informasi
11 September 2007. Populasi pengungsi dari sumber-sumber resmi sering bias dengan
internasional ini bersifat unik, dimana mereka kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik.
umumunya mengalami peristiwa pengasingan
politis, yang kemudian menyebabkan
keputusasaan dan kehilangan identitas PUSTAKA ACUAN
nasionalnya. Mereka meninggalkan negara asal
dengan ketakutan karena adanya konflik, perang Alhabo, Mahamat and Madi Passang. (2004).
saudara, atau perang melawan terorisme, “Socio-Economic Aspects of Repatriation
mencari tempat perlindungan yang relatif dekat Assistance: The Case of Chad.” Paper
dengan negaranya. Mereka umumnya hidup Presented at the Symposium on Social
dengan menggantungkan diri sepenuhnya pada and Economic Aspects of Mass Voluntary
bantuan dari badan-badan kemanusiaan dan Return of Refugees From One African
sebagian lainnya dengan mencari peghasilan di Country to Another. Harare, Zimbabwe:
sekitar tempat pengungsian. Mereka seringkali UNRISD. (March)
mendapat tekanan secara poliik dari pemerintah
Assefaw, Ato Techliwoini. (1992). “Participatory
setempat, dan sedikit sekali kesempatan untuk
Relief Management: The Experience of
berintegrasi dengna lingkungan masyarakat
the Relief Society of Tigray.” Makalah
tempat pengungsian. Ditambah lagi dengan
dipersentasikan pada the International
tekanan dari berbagai kekuatan eksternal
Symposium on Refugee Repatriation
lainnya, maka hidup mereka semakin miskin
During Conflict: A New Conventional
dan’tersia-siakan’.
Wisdom. Addis Ababa, Ethiopia: The
Pengungsi internasional bergerak
Center for the Study of Societies in Crisis.
mencari tempat perlindungan selalu
(Oktober).
mempertimbangkan faktor jarak dan faktor-faktor
sosial budayanya. Mereka bergerak ke negara- Bakwesegha, Chris. (1995). “Forced Migration
negara tetangga dengan mempertimbangkan in Africa and the OAU Convention.” Hal.
karakter sosial budaya dari penduduk negara 3-20 in African Refugees: Development
tersebut, karena dengan kesamaan etnis, Aid and Repatriation, edited by Howard
budaya dan agama bisa membantu mereka Adelman and John Sorenson. North York,
Ontario: York Lanes Press.

106
Proses Repatriasi Pengungsi International Global ke Negara Asal di Asia dan Afrika (Aryan Torido)

Barnett, Laura, (2002), Global governance and Refugees: In Search of Solutions. Oxford:
the evolution of the international refugee UNHCR and Oxford University Press.
regime. UNHCR, Februari. Crisp, Jeff. (1995). The State of the World’s
Bouhouche, Ammar. (1991). “The Return and Refugees: In Search of Solutions. Oxford:
Reintegration of the Algerian Refugees UNHCR and Oxford University Press.
Following the Independence of Algeria.” . (2000),“Africa’s Refugees: Patterns,
Makalah dipresentasikan pada the Problems and Policy Challenges”, New
Symposium on Social and Economic Issues in Refugee Research, Working
Aspects of Mass Voluntary Return of Paper No. 28, August.
Refugees From One African Country to
______. (2001),“Mind the Gap! UNHCR,
Another. Harare, Zimbabwe: UNRISD.
humanitarian assistance and the
(Maret)
development process”, New Issues in
Braeckman, Colette. (1987). “Returning to the Refugee Research, Working Paper No.
Ogaden.” Refugees April: 31-32. 43, May.
Brazeau, Ann. (1992). “Repatriation and Refugee .(2001), “Mind the gap! Humanitarian
Women.” Makalah dipresentasikan pada assistance, the development process and
the International Symposium on Refugee UNHCR.” International Migration Review
Repatriation During Conflict: A New 35.133.
Conventional Wisdom. Addis Ababa,
_______. (2001). “The Politics of Repatriation:
Ethiopia: The Center for the Study of
Ethiopian Refugees in Djibouti, 1998-01.”
Societies in Crisis. (October)
Review of African Political Economy 30:
_______. (1995). “Refugee Women and 73-83.
Repatriation During Conflict.” Hal. 63-
. “No Solutions in Sight: the Problem of
75 pada Refugee Repatriation During
Protracted Refugee Situations in Africa”.
Conflict: A New Conventional Wisdom,
Working Paper No. 75 Evaluation and
edited by Barry Stein, Fred Cuny and Pat
Policy Analysis Unit, UNHCR, Geneva
Reed. Dallas, Texas: The Center for the
(2003a).
Study of Societies in Crisis.
Tersedia: http://www.unhcr.org/research/
Bramwell, Anna C. ed., (1988), Refugees in the
RESEARCH/3e2d66c34.pdf
Age of Total War. London: Unwin Hyman.
. “Refugees and the Global Politics of
Chambers, Robert. (1979). “Rural Refugees
Asylum.” Evaluation and Policy Analysis
in Africa: What the Eye Does Not See.”
Unit, UNHCR, Geneva (20013b).
Disasters 3(4): 381-392.
.(2013) “Why do we know so little about
_______. (1982). “Rural Refugees in Africa: Past
refugees? How can we learn more?” in,
Experience, Future Pointers.” Disasters
Forced Migration Review:18. UNHCR.
6(1): 21-30.
_______. (1983). Rural Development: Putting
the Last First. Harlow, U. K.: Longman
Scientific and Technical.
Christina Boswell and Jeff Crisp.(2004), “Poverty,
International Migration and Asylum”.
United Nations, WIDER.
Collins, John,S, (1996),“An analysis of the
Voluntariness of refugee repatriation in
Africa”, UNHCR.
Crisp, Jeff and Rachel Ayling. (1985). Ugandan
Refugees in Sudan and Zaire. London:
British Refugee Council.
Crisp, Jeff ,(1995), The State of the World’s

107
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 91-107

108

You might also like