You are on page 1of 12

DISAIN RUANG RESTORASI EKOSISTEM TERDEGRADASI DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT


(Spatial Design for Restoration of Degraded Ecosystem in Mount Ciremai National
Park, West Java)*
Hendra Gunawan dan/and Endro Subiandono
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5 PO Box 165;Telp.0251-8633234;Fax 0251-8638111 Bogor
e-mail : hendragunawan1964@yahoo.com; endros7@yahoo.co.id
*Diterima : 11 April 2011; Disetujui : 21 Oktober 2013

ABSTRACT
Mount Ciremai National Park has been established in 2004 with total area of 15,500 ha. It is represent a
mountain ecosystem that is important for biodiversity conservation in western Java. Recently, 50.19% of
forest ecosystem in Mount Ciremai National Park has been degraded. To overcome this problem, the
degraded ecosystem will be restored. This research was aimed to describe forest degradation and its
biophysics condition based on spatial data. The result was used on design formulation of spatial allocation
for each restoration types that should be implemented. A GPS-based survey and rapid assessment on
degraded area was applied in this research. Spatial operation using Arc View 3.2 software was applied for
delineating areas that should be restored based on ecosystem function priority. The result showed that there
was 7,222.05 ha degraded ecosystem that must be restored. Restoration activities include restoration for
hydrological function (58.25%), wildlife habitat (10.75%), and optimalization economic function to improve
well-being of local communities (31.01%).
Keywords: Design, restoration, ecosystem, degradation, national park, Ciremai

ABSTRAK
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang ditetapkan tahun 2004 dengan luas 15.500 ha merupakan
perwakilan ekosistem hutan pegunungan yang penting bagi konservasi berbagai jenis satwa langka di
wilayah Jawa Barat. Saat ini 50,19% kawasannya telah mengalami degradasi ekosistem dan akan segera
direstorasi. Penelitian ini bertujuan memperoleh peta kerusakan hutan akibat perambahan dan kondisi
biofisiknya secara spasial untuk dibuat disain alokasi ruang bagi setiap tipe restorasi yang harus
diaplikasikan. Survei menggunakan GPS dan penilaian cepat areal terdegradasi diaplikasikan dalam
penelitian ini. Operasi spasial overlay menggunakan piranti lunak Arc View 3.2 diaplikasikan untuk
mendileniasi areal-areal restorasi menurut tujuan pemulihan fungsi ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada 7.222,05 ha areal terdegradasi harus direstorasi, terdiri atas restorasi fungsi hidrologi 58,25%,
restorasi fungsi habitat satwa 10,75%, dan restorasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat 31,01%.
Kata kunci: Desain, restorasi, ekosistem, degradasi, taman nasional, Ciremai

I. PENDAHULUAN
Degradasi hutan termasuk penggundulan hutan dan penggurunan merupakan masalah
global yang terus berkembang. Penggundulan hutan juga merupakan masalah serius hutan
hujan tropika di wilayah Asia Tenggara yang penyebab utamanya adalah perambahan
hutan (Lee & Sayer, 2004). Ekosistem yang telah sangat rusak, sehingga tidak mampu
memulihkan diri sendiri melalui proses suksesi alam, perlu direstorasi untuk pemulihan
dan pemeliharaan proses-proses penting seperti hidrologi, siklus hara dan transfer energi
(Maginnis & Jackson, 2006).
Memahami penyebab atau isu degradasi ekosistem hutan merupakan hal penting untuk
memulai kegiatan restorasi (Lee & Sayer, 2004). Restorasi ekosistem merupakan proses
membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, rusak atau musnah (SER
Primer, 2004). Ekosistem dikatakan pulih kembali ketika memiliki cukup sumberdaya
biotik dan abiotik untuk terus berkembang tanpa bantuan atau campur tangan manusia. Di
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78
samping itu juga dapat melestarikan fungsi dan strukturnya sendiri serta memiliki resiliensi
terhadap tekanan dan gangguan lingkungan (SER Primer, 2004).
Restorasi ekosistem bertujuan membangun kembali integritas ekologi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Maginis & Jackson, 2006). Integritas ekologi
menjadi panduan utama bagi pembangunan berkelanjutan yang mendukung upaya kehati-
hatian dalam melestarikan kemampuan ekosistem untuk memberikan barang dan jasa di
masa depan dalam rangka meminimalkan risiko ekologi (Dierben, 2006).
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang ditetapkan pada tahun 2004 dengan
luas 15.500 ha merupakan perwakilan ekosistem utama hutan pegunungan yang penting
bagi konservasi berbagai jenis satwa langka di wilayah Jawa Barat bagian tengah-utara
(Departemen Kehutanan, 2007). Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, Gunung
Ciremai merupakan kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola dengan pola
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dalam perjalanannya, PHBM ini tidak
terkendali sehingga terjadi okupasi lahan hutan untuk budidaya tanaman pertanian.
Akibatnya, sebagian ekosistem hutan TNGC mengalami degradasi yang mengakibatkan
menurunnya fungsi-fungsi ekosistem seperti fungsi ekologi, hidrologi dan sosial-ekonomi.
Dalam rangka mengembalikan fungsi ekosistem hutan Gunung Ciremai sebagai taman
nasional yang berperan melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan plasma
nutfah, dan memberikan manfaat secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
maka pengelola TNGC melakukan kegiatan restorasi ekosistem yang sudah diinisiasi sejak
tahun 2009.
Untuk mendukung keberhasilan restorasi ekosistem, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (dahulu Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam) melakukan kegiatan penelitian restorasi ekosistem di TNGC
yang bertujuan memperoleh gambaran secara spasial tipe-tipe kerusakan hutan akibat
perambahan dan kondisi biofisiknya untuk dibuat disain alokasi ruang bagi setiap tipe
restorasi yang harus diaplikasikan.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian lapangan dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan Desember tahun
2010 berlokasi di TNGC yang terletak di dua wilayah Kabupaten, yaitu Kuningan dan
Majalengka.

B. Bahan dan Alat Penelitian


Peralatan yang digunakan adalah GPS untuk menentukan titik-titik areal terdegradasi;
kamera untuk mendokumentasikan tipe kerusakan vegetasi, kondisi fisik dan tutupan
lahan; alat tulis dan personal computer untuk pengolahan data. Bahan yang digunakan
antara lain: data sheet rapid assessment areal terdegradasi, data spasial digital, peta
kawasan TNGC, peta zonasi, data sekunder (RTRW, statistik), dan referensi yang relevan.

C. Metode Penelitian
1. Pengumpulan Data
Kegiatan penelitian ini antara lain identifikasi intensitas gangguan, penyebab gangguan,
luas kawasan terdegradasi dan terdeforestasi, penilaian vegetasi umum serta karakteristik
deforestasi dan degradasi masing-masing tapak penyusun ekosistem. Penilaian dilakukan
68
Disain Ruang Restorasi Ekosistem Terdegradasi…(H. Gunawan; E. Subiandono)

secara cepat (Rapid Assessment) dan areal sampel yang dinilai ditentukan secara sengaja
(purposive). Pengumpulan data melalui teknik observasi menggunakan panduan/checklist.
2. Analisis Data
Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif. Dileniasi areal-areal yang akan direstorasi
mengikuti tujuan, kriteria, dan indikator sebagaimana Tabel 1. Tahapan dileniasi
melibatkan proses operasi spasial menggunakan piranti lunak Arc View 3.2 dengan operasi
overlay yang prosedurnya ditunjukkan pada Gambar 1. Analisis spasial dilakukan di
Laboratorium GIS dan Remote Sensing Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Tabel (Table) 1. Tujuan, kriteria, dan indikator calon areal yang akan direstorasi (Goals, criteria, and
indicators of proposed area for restoration)
Tujuan (Goals) Kriteria (Criteria)* Indikator (Indicators)
Pemulihan fungsi a. Merupakan daerah tangkapan a. Lereng > 15%2)
lindung hidrologi air atau hulu sungai dan b. Ketinggian > 1.000 m dpl3)
sebelumnya pernah ditetapkan c. Ada mata air atau badan air (sungai, situ,
sebagai hutan lindung atau waduk)4)
kawasan lindung1).
b. Sempadan sungai, sempadan
situ, sempadan mata air1)
Pemulihan habitat Merupakan daerah jelajah satwa, a. Terdapat satwa mangsa bagi karnivora
satwa bagian habitat satwa atau koridor dilindungi4)
satwa. b. Terdapat satwa herbivora dilindungi4)
c. Terdapat satwa lain yang penting bagi
ekosistem hutan dan ekosistem budidaya
di sekitarnya 4)
Penyangga Penduduk di sekitar hutan a. Ada bekas aktivitas budidaya yang
perekonomian memiliki ketergantungan yang dikelola secara PHBM4)
masyarakat di tinggi pada hutan, baik terhadap b. Lerengnya 0-15% 6)
sekitarnya yang lahan maupun hasil hutan. c. Ketinggian < 1.000 m dpl3)
tergantung pada hutan d. Bukan merupakan daerah jelajah satwa
e. Bukan merupakan bagian habitat satwa
f. Sebelumnya tidak termasuk dalam
kriteria hutan lindung atau kawasan
lindung.
g. Berjarak < 500 m dari pemukiman5)
*Tutupan lahan (land cover) tidak termasuk dalam kriteria, karena tutupan lahan areal restorasi sama (tanah
terbuka bekas tanaman semusim) dan sudah didileniasi sebagai zona rehabilitasi.
1) Menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.
2) Berdasarkan expert judgment dengan pertimbangan Gunung Ciremai merupakan hulu banyak sungai dan
merupakan daerah tangkapan hujan serta kondisinya tidak tertutup vegetasi.
3) Berdasarkan expert judgment dengan pertimbangan pada ketinggian ≥ 1.000 m dpl merupakan banyak
terdapat mata air, hutan relatif terjaga, dan satwaliar terkonsentrasi.
4) Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan data sekunder.
5) Berdasarkan expert judgment dengan pertimbangan lokasi terdekat dengan masyarakat, memudahkan
pengawasan, dan tidak terlalu masuk ke dalam habitat interior di mana satwa-satwa sensitif bersembunyi.
6) Lereng yang relatif aman dari erosi.

Untuk memudahkan implementasi hasil analisis ini, maka unit analisisnya adalah petak-
petak pengelolaan eks Perum Perhutani, sebelum kawasan tersebut menjadi taman
nasional. Ketentuan pengambilan keputusan untuk menentukan tujuan restorasi yang
terpilih adalah sebagaimana Tabel 2. Prosedur operasi spasial overlay sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.

69
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78
Tabel (Table) 2. Kriteria penetapan prioritas tipe restorasi (Criteria for prioritization of restoration types)
No. Kriteria (Criteria) Prioritas (Priority)
1. a. Memenuhi kriteria pemulihan habitat Restorasi untuk pemulihan fungsi
b. Memenuhi kriteria perlindungan hidrologi habitat
2. a. Memenuhi kriteria pemulihan habitat Restorasi untuk pemulihan fungsi
b. Memenuhi kriteria penyangga perekonomian habitat
masyarakat sekitar
3. a. Memenuhi kriteria perlindungan hidrologi Restorasi untuk pemulihan fungsi
b. Memenuhi kriteria penyangga perekonomian lindung hidrologi
masyarakat sekitar
4. a. Memenuhi kriteria penyangga perekonomian Restorasi untuk penyangga
masyarakat sekitar perekonomian masyarakat sekitar
b. Tidak memenuhi kriteria pemulihan habitat
c. Tidak memenuhi kriteria perlindungan hidrologi

Zona rehabilitasi TNGC

Kawasan TNGC
terdegradasi
Potensial restorasi fungsi
habitat
GPS satwa

Badan air Buffer


Potensial
restorasi Peta rekomendasi
fungsi tipe-tipe restorasi
≥1.000 m dpl hidrologi
Ketinggian
<1.000 m dpl
Potensial
restorasi
≥ 15% fungsi
Lereng ekonomi
< 15%

Batas petak hutan produksi


ex Perum Perhutani

Gambar (Figure) 1. Prosedur overlay dalam operasi spasial untuk dileniasi kawasan yang akan direstorasi
(Overlay procedure in spatial operation for dileniating restoration area)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi KawasanTerdegradasi
Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi (Undang-Undang No. 5 tahun 1990).
Wilayah kerja Balai TNGC dibagi menjadi empat zona dengan luas dan proporsi
sebagaimana disajikan pada Tabel 3 (BTNGC, 2010).

70
Disain Ruang Restorasi Ekosistem Terdegradasi…(H. Gunawan; E. Subiandono)

Tabel (Table) 3. Luas kawasan dan zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai (Area and zonation of Mount
Ciremai National Park)
Zona (Zone) Luas (Area) (ha) Proporsi (Proportion) (%)
Zona inti (Core zone) 2.668,72 17,22
Zona pemanfaatan (Utilization zone) 2.283,35 14,73
Zona rehabilitasi/restorasi (Rehabilitation/restoration 6.726,48 43,40
zone)
Zona rimba (Jungle zone) 3.821,45 24,65
Jumlah (Total) 15.500,00* 100.00
* Luas menurut SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004
(BTNGC, 2010)

Perambahan telah menyebabkan perubahan tutupan lahan hutan, sehingga berpengaruh


pada fungsi setiap zona. Untuk itu Balai TNGC melakukan rezonasi dan penghitungan
ulang luasan setiap zona yang hasilnya disajikan pada Tabel 4 (BTNGC, 2010).

Tabel (Table) 4. Luas dan komposisi zona-zona di dalam TN Gunung Ciremai setelah zonasi dan
penghitungan ulang (Area and composition of zones in Mount Ciremai National Park after
rezonation and recalculation)
Zona (Zone) Luas (Area) (ha) Proporsi (Proportion) (%)
Zona inti (Core zone) 5.473,50 38,03
Zona pemanfaatan (Utilization zone) 246,96 1,72
Zona rehabilitasi/restorasi (Rehabilitation/restoration
zone) 7.222,05 50,19
Zona rimba (Jungle zone) 1.448,23 10,06
Jumlah (Total) 14.390,74* 100,00
* Luas berdasarkan penghitungan spasial dalam Arc View 3.2 (BTNGC, 2010)

Perambahan kawasan telah mengakibatkan degradasi ekosistem mencapai 50,19%,


sehingga harus direstorasi. Kerusakan ekosistem bahkan telah mengurangi zona rimba
seluas 2.273,22 ha. Hal tersebut membuat pengelola TNGC melakukan perubahan zonasi
atau rezonasi. Perubahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 2. Dalam Gambar 2 tampak
bahwa zona rimba mengalami penyusutan yang disebabkan sebagian arealnya diubah
untuk memperluas zona inti, sementara zona pemanfaatan luasnya berkurang karena
sebagian besar arealnya telah rusak dan dijadikan zona rehabilitas/restorasi. Zona inti
diperluas untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati, khususnya untuk memberikan
habitat yang aman bagi satwa langka dilindungi.

Gambar (Figure) 2. Perubahan luas zonasi akibat degradasi ekosistem hutan di Taman Nasional Gunung
Ciremai (Zonation change based on ecosystem degradation in Mount Ciremai National
Park)

71
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78
Perambahan di TNGC sebagian besar dilakukan untuk bertanam sayuran, seperti daun
bawang (Allium fistulosum L.), kol (Brassica oleracea L.), sawi (Brassica spp.), seledri
(Apium graveolens L.), wortel (Daucus carota. L.), kentang (Solanum tuberosum L.),
tomat sayur (Solanum lycopersicum L.), dan cabe (Capsicum spp.). Tanaman pertanian
tersebut memerlukan cahaya matahari yang banyak, sehingga perambah melakukan
pembukaan tajuk pohon hutan dengan cara menjarangkan pohon atau memangkas tajuk
pohon (Gambar 3). Akibatnya fungsi-fungsi hutan sebagai habitat satwa dan pengatur
hidrologi menjadi terganggu.
Perambahan kawasan hutan sudah tidak mempertimbangkan kondisi topografi. Hal ini
ditunjukkan oleh banyaknya lahan dengan kelerengan curam dan sangat curam juga
ditanami tanpa membuat terasering. Akibatnya terjadi erosi sepanjang tahun yang
menyebabkan tanah menjadi tidak subur, sehingga memerlukan pemupukan secara intensif
(Gambar 4). Akibat lanjutannya adalah pencemaran perairan oleh kekeruhan akibat erosi
dan bahan kimia dari pupuk dan insektisida yang tercuci dan terbawa hujan ke perairan.

Gambar (Figure) 3. Tanaman sayuran murni Gambar (Figure) 4. Tanaman sayuran di lahan
dalam kawasan TNGC yang relatif datar dengan berlereng curam dalam TNGC (Vegetables crop
pohon yang telah dijarangkan (Vegetables crop in steep slope inside Mount Ciremai National
that planted in monoculture on flat area in Mount Park area)
Ciremai National Park where tree density has
been reduced)

Beberapa lokasi memiliki lahan yang datar seperti di daerah Cikaracak dan Sangiang.
Dataran tinggi ini secara konservasi tanah masih aman ditanami namun daerah ini juga
merupakan habitat satwaliar penting, seperti macan tutul (Panthera pardus melas, Cuvier),
lutung jawa (Trachypithecus auratus, Geoffroy), surili jawa (Presbitys comata,
Desmarest), dan kijang (Muntiacus muntjak, Zimmermann). Oleh karena itu daerah ini
perlu direstorasi untuk mengembalikan fungsinya sebagai habitat satwa. Di daerah datar
yang berdekatan dengan pemukiman dan tidak menjadi bagian habitat satwa penting dapat
dikembangkan restorasi dengan pola-pola agroforestry.
Di daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl umumnya merupakan hulu sungai
dan bercurah hujan tinggi serta berlereng curam, berbukit dan sangat curam. Oleh karena
itu daerah seperti ini perlu direstorasi dan dipulihkan fungsinya sebagai daerah tangkapan
hujan dan perlindungan sistem hidrologi.
Hasil penilaian cepat di 233 titik lokasi ekosistem hutan yang terdegradasi direkapitulasi
dalam Tabel 5.

72
Disain Ruang Restorasi Ekosistem Terdegradasi…(H. Gunawan; E. Subiandono)

Tabel (Table) 5. Rekapitulasi hasil penilaian cepat ekosistem hutan TNGC yang terdegradasi (Recapitulation
result of rapid assessment on degraded forest ecosystem of Mount Ciremai National Park)
Lokasi/jumlah sampel
Topografi dan ketinggian Tutupan lahan
(Locations/number of Satwa (Wildlife)
(Topography and altitude) (Land cover)
samples)
Padabeunghar, 400-800 m dpl Pertanian lahan kering; Lutung, monyet, babi
Pesawahan (18 sampel) Datar, landai, berbukit, semak belukar hutan, kijang.
curam
Seda; Mandirancan 400-600 m dpl Pertanian lahan keriing; Macan tutul, lutung,
(empat sampel) Datar, landai, curam, hutan alam sekunder monyet, babi hutan,
sangat curam kijang, kancil, landak.
Cigugur (delapan 1.200-1.300 m dpl Pertanian lahan kering Kucing hutan, lutung,
sampel) Landai, berbukit, curam trenggiling, babi hutan,
elang.
Darma (12 sampel) 1.000 m dpl Pertanian lahan kering Macan tutul, babi hutan.
Datar, landai, berbukit,
curam
Sayana (empat sampel) 800-950 m dpl Pertanian lahan kering -
Landai, berbukit
Setianegara (satu 800 m dpl Semak belukar -
sampel) Landai, berbukit
Sangiang (enam sampel) ± 1.100 m dpl Pertanian lahan kering Kucing hutan, babi hutan,
Datar, landai trenggiling, landak.
Sunia (tiga sampel) ± 1.100 m dpl Pertanian lahan kering Kucing hutan, babi hutan,
Datar, landai trenggiling, landak.
Gunung Manik (lima 1.400-1.650 m dpl Pertanian lahan kering, Lutung, monyet, kucing
sampel) Landai, berbukit semak belukar hutan, babi hutan, landak.
Cipulus (22 sampel) 1.200-1.800 m dpl Pertanian lahan kering Macan tutul, surili,
Landai, berbukit, curam monyet, kijang, babi
hutan, sigung, landak.
Argamukti-Argalingga 1.400-1.850 m dpl Pertanian lahan kering Macan tutul, kucing
(30 sampel) Datar, landai, berbukit, hutan, lutung, surili,
curam, sangat curam monyet, babi hutan,
trenggiling, landak.
Mekarwangi-Argapura 600-700 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan.
(empat sampel) Landai, berbukit, curam
Gunung Wangi (enam 600-700 m dpl Sawah, pertanian lahan -
sampel) Landai, berbukit, curam kering
Gunung Karawastu 600-800 m dpl Sawah, pertanian lahan Babi hutan.
(sembilan sampel) Landai, berbukit kering
Cikaracak-Argalingga 1.100-1.550 m dpl Pertanian lahan kering Macan tutul, babi hutan,
(34 sampel) Datar, landai, berbukit, sigung, landak,
curam, sangat curam trenggiling, monyet
Argalingga (20 sampel) 1.100-1.400 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan, kucing hutan,
Datar, landai, berbukit, trenggiling, landak,
curam, sangat curam monyet, biul, sigung,
bajing.
Gunung Pading (tujuh 600-700 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan, monyet,
sampel) Berbukit, curam, sangat kijang, landak.
curam
Batu Asahan (14 500-700 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan, monyet,
sampel) Landai, berbukit, curam, landak.
sangat curam
Tegal Licin (19 sampel) 400-800 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan, bajing.
Landai, berbukit, sangat
curam
Cimerang (tujuh sampel) 400-500 m dpl Pertanian lahan kering Babi hutan, bajing.
Landai, berbukit, sangat
curam

73
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78
B. Klasifikasi Tipe Restorasi
Analisis spasial menghasilkan luas dan persentase tiga tipe restorasi berdasarkan tujuan
pemulihan fungsi ekosistem sebagaimana disajikan pada Tabel 6.

Tabel (Table) 6. Luas dan persentase areal restorasi menurut tujuan pemulihan fungsi ekosistemnya (The
area and composition of proposed restoration area based on functions of restored
ecosystem)

Tujuan restorasi (Goals of restoration) Luas (Area) (ha) Proporsi (Proportion) (%)
Restorasi fungsi habitat satwa (Habitat function
restoration) 776,218 10,75
Restorasi fungsi lindung hidrologi (Hydrological
protection function restoration) 4.206,568 58,25
Restorasi fungsi pendukung ekonomi (Economic
supporting function restoration) 2.239,259 31,01
Jumlah (Total) 7.222,050 100,00

Pada Tabel 6 tampak bahwa kawasan ekosistem terdegradasi yang perlu direstorasi
fungsinya untuk perlindungan sistem hidrologi mencakup wilayah terbesar yaitu 58,25%.
Hal ini dapat dimengerti karena kawasan yang dirambah, sebelum menjadi taman nasional
merupakan hutan lindung yang memiliki topografi berbukit, curam, dan sangat curam.
Kawasan yang perlu direstorasi dengan tujuan optimasi fungsi ekologis dan ekonomis
mencakup 31,01% dari kawasan yang terdegradasi. Kawasan yang boleh untuk tujuan
tersebut hanya yang memiliki lereng datar dan landai serta berada di bawah ketinggian
1.000 m dpl. Dalam implementasinya, optimasi fungsi harus benar-benar diperhatikan, di
mana fungsi ekologi tetap dapat berjalan dan fungsi ekonomi juga bisa dirasakan oleh
masyarakat sekitar.
Kawasan terdegradasi yang perlu direstorasi untuk pemulihan fungsi habitat satwa
mencakup wilayah 10,75%. Kawasan ini umumnya merupakan daerah penjelajahan untuk
mencari makan (foraging) primata, seperti lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy,
1812), surili jawa (Presbitys comata Desmarest, 1822 ), dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis Raffles, 1821). Primata tersebut, khususnya monyet ekor panjang kadang
memasuki kawasan yang digarap masyarakat. Ditemukan juga tanda-tanda keberadaan
kijang (Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780), trenggiling (Manis javanica Desmarest,
1822), dan landak (Hystrix brachyura Linnaeus, 1758) di kawasan yang terdegradasi.
Peta hasil analisis spasial untuk rekomendasi restorasi ekosistem di TNGC disajikan
pada Lampiran 1.

C. Implementasi Pengelolaan
Peta rekomendasi bisa menjadi pedoman dalam merestorasi ekosistem TNGC, dalam
hal ini dimulai dengan penanaman jenis-jenis pohon asli sesuai dengan peruntukannya.
Salah satu kunci dalam restorasi adalah identifikasi tipe dan tingkat restorasi yang sesuai
dengan kondisi sosial dan fisik yang ada (IUCN, 2005). Oleh karena itu, sebelum
dilaksanakan restorasi perlu dibuat rencana induk yang melibatkan semua pihak
berkepentingan (stakeholders) serta didasarkan pada kondisi biofisk dan sosial ekonomi
yang ada.
Masyarakat harus disertakan dalam mengidentifikasi dan menetapkan praktek-praktek
penggunaan lahan yang tepat untuk membantu pemulihan fungsi hutan secara keseluruhan
sebagai daerah tangkapan air, habitat satwa, dan penyangga ekonomi. Dengan melibatkan

74
Disain Ruang Restorasi Ekosistem Terdegradasi…(H. Gunawan; E. Subiandono)

masyarakat akan memperkuat hubungan antara pembangunan pedesaan, kehutanan, dan


manajemen konservasi sumberdaya alam lainnya (IUCN, 2005).
Peta hasil penelitian ini hanya memberikan arahan di mana dilakukan restorasi fungsi
hidrologi, fungsi habitat dan di mana bisa dioptimasikan antara fungsi ekologi (hidrologi
dan habitat) dengan fungsi sosial ekonomi (kesejahteraan masyarakat). Ketika tujuannya
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat maka masyarakat dilibatkan dalam
menentukan pilihan jenis pohon yang sesuai, yaitu yang dapat meningkatkan
perekonomian mereka dan juga memiliki fungsi hidrologi atau ekologi.
Masyarakat juga dilibatkan dalam pengadaan bibit tanaman, pekerjaan menanam,
pemeliharaan tanaman, pengamanan, dan pekerjaan lainnya sebagai sumber pendapatan
selama tanaman restorasi belum menghasilkan. Mata pencaharian alternatif perlu dicari
sebagai pengganti sumber pendapatan bagi penduduk sekitar kawasan yang selama ini
menggarap lahan hutan. Pekerjaan alternatif harus yang sesuai dengan ketersediaan lahan,
kondisi fisik lapangan, dan prospek pemasaran hasil. Hal ini akan sangat spesifik lokasi
karena potensi setiap desa berbeda. Contoh pekerjaan alternatif yang bisa dikembangkan
antara lain: budidaya ikan air tawar untuk wilayah yang kaya sumber air, kegiatan usaha di
sekitar lokasi wisata untuk daerah yang memiliki obyek wisata.
Pola bagi manfaat pengelolaan wisata alam juga bisa menjadi mekanisme sumber
penghasilan masyarakat setempat, misalnya lahan parkir diusahakan oleh masyarakat, jasa
pemandu, juru kunci situs keramat dalam kawasan, pengelola fasilitas toilet umum, home
stay, dan lain-lain yang bisa diusahakan oleh masyarakat. Pengelolaan kolaboratif wisata
alam juga bisa dilakukan dengan pola, TNGC mengelola kawasannya, sementara
masyarakat melalui koperasi atau perkumpulan mengusahakan atraksi wisata seperti
outbond, sewa perahu, dan lain-lain. Prinsipnya dalam kolaborasi ada pembagian manfaat
(bukan pembagian keuntungan) dan pembagian tanggungjawab pengelolaan.
Usaha peternakan bisa menjadi alternatif sumber penghasilan penduduk eks penggarap
lahan hutan TNGC tetapi memerlukan modal besar dan perlu membangun organisasi dan
jaringan pemasaran hasilnya. Melalui program pembinaan masyarakat daerah penyangga,
pengelola TNGC cukup menyediakan lahan terbatas untuk tanaman pakan ternak. Lahan
untuk tanaman pakan ternak sebaiknya berupa jalur yang sekaligus sebagai tanda batas
kawasan atau menjadi tanaman tepi jalan patroli. Tanaman rumput juga bisa dilakukan di
bawah tegakan pohon hasil tanaman restorasi di zona pemanfaatan tradisional.
Untuk mengetahui efektivitas restorasi maka harus diikuti dengan kegiatan monitoring
dan evaluasi yang melibatkan lembaga penelitian. Monitoring diperlukan untuk
mengetahui apakah restorasi yang dilakukan telah memberikan dampak positif atau sejauh
mana dampak yang ditimbulkan, apakah sesuai dengan yang diharapkan. Untuk
mengetahui apakah restorasi pemulihan habitat sudah memberikan hasil, maka perlu
dilakukan inventarisasi satwa dan dibandingkan dengan kondisi sebelum restorasi,
sehingga bisa diketahui perubahannya.
Untuk mengetahui apakah restorasi telah memberikan peningkatan fungsi hidrologi,
perlu dilakukan pengukuran debit mata air dan sungai yang daerah tangkapan airnya
direstorasi, atau pengukuran erosi di lahan yang direstorasi kemudian dibandingkan dengan
kondisi sebelum direstorasi. Demikian juga dengan dampak restorasi bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dapat diukur melalui kegiatan penelitian.
Evaluasi perlu dilakukan untuk perbaikan dan penyempurnaan kegiatan ke depan.
Restorasi mungkin tidak dapat memberikan dampak yang signifikan dalam jangka pendek.
Kegiatan evaluasi bisa membantu untuk perbaikan-perbaikan dalam hal teknik penanaman,
pemilihan jenis, atau pemeliharaan tanaman maupun pengelolaan pasca panen.

75
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Ekosistem Taman Nasional Gunung Ciremai yang telah terdegradasi akibat
perambahan perlu segera direstorasi untuk memulihkan fungsinya sebagai kawasan
konservasi. Tujuan pemulihan fungsi ekosistem dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu pemulihan fungsi lindung sistem hidrologi, pemulihan fungsi habitat satwa, dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
2. Berdasarkan sifat fisik wilayahnya, ada lokasi-lokasi yang harus secara murni
dipulihkan fungsinya untuk kepentingan hidrologi dan ekologi serta ada lokasi-lokasi
yang bisa menjadi wahana optimasi ketiga fungsi (hidrologi, habitat, dan kesejahteraan
masyarakat). Berdasarkan luasannya lahan yang harus direstorasi meliputi 7.222,05
ha, terdiri dari restorasi fungsi hidrologi 58,25%, restorasi fungsi habitat satwa
10,75%, dan restorasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat 31,01%.

B. Saran
1. Kegiatan restorasi harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan, khususnya
masyarakat eks perambah untuk mendapatkan dukungan dan jaminan keberhasilan.
Pelibatan masyarakat, mulai dari penyiapan bibit, pemilihan bibit tanaman ekonomis,
penanaman, pemeliharaan, hingga pengelolaan tanaman.
2. Kegiatan restorasi juga harus diikuti dengan pemberian alternatif sumber pendapatan
melalui berbagai kegiatan seperti pengelolaan wisata, budidaya perikanan bagi
masyarakat eks perambah hutan.

DAFTAR PUSTAKA
[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. (2010). Zonasi. Data spasial.
Kuningan: Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. (tidak dipublikasi)
[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. (2004). Society
for ecological restoration international science & policy working group (Version 2,
October, 2004). Diunduh dari (1). http://www.ser.org/content/
ecological_restoration_primer.asp
Departemen Kehutanan. (2007). Buku informasi 50 taman nasional di Indonesia. Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Dierben, K. (2006). Sustainability, landscape services, ecosystem health, ecological
integrity and ecosystem management. Diakses 20 Maret 2006 dari
http://www.ecology.uni-kiel.de.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). (2005).
Forest landscape restoration : broadening the vision of west African forests. Gland,
Sitzerland and Cambridge, UK: IUCN.
Lee, D.K. & Sayer, J.A. (2004). Restoration and research on degraded forest ecosystems.
Forest Ecology and Management 201, 144p.
Maginnis, A. & Jackson, W. (2006). Restoring forest landscapes. Diakses 20 Maret 2006
dari http://www.iucn.Org/themes/fcp/publication/files/restoring_forest_landscapes.
pdf.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424 Tahun 2004 tentang Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500
76
Disain Ruang Restorasi Ekosistem Terdegradasi…(H. Gunawan; E. Subiandono)

(Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak Di Kabupaten Kuningan Dan
Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan
Ekosistemnya.(tambah pustaka)

77
Lampiran (Appendix) 1. Peta rekomendasi restorasi ekosistem TN. Gunung Ciremai (Recommendation map for ecosystem restoration in Mount Ciremai National Park)

78
Indonesian
Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 67-78

You might also like