Professional Documents
Culture Documents
net/publication/344778739
CITATIONS READS
0 344
11 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
A projection production and consumption of food crops in Bali Province towards 2021-2025 View project
All content following this page was uploaded by Fani Setiati on 20 October 2020.
fanisetiati98@mail.ugm.ac.id
Abstract
Gender equality is a relevant issue related to the integration between men's and women's
cooperation in all fields. The existence of gender inequality can affect the quality of human
resources in a region, including in Indonesia. North Kalimantan Province there is still a large
disparity between the quality of development of women and men. This research was
conducted to determine the level of gender development in 2019, to find out the disparities
in gender development in each district / city, and to find out the policies implemented to
improve gender development in North Kalimantan Province. The method used in this
research is secondary data processing in the form of Contraceptive Prevalence Rate data
(15-49 years), APBD percentage data for population and family planning programs, data on
women's budget allocations to the APBD, and data on Women's Labor Force Participation
Rate (TPAK) 2019 which is used to calculate the Gender Development Index (GDI) in North
Kalimantan Province. Based on the calculation, the GDI of North Kalimantan Province in
2019 is 0.44 with the highest index of 0.32 in Bulungan Regency and the lowest index of
0.19 in Tana Tidung Regency. Efforts are needed from the government to increase the
gender development index in each district, one of which is by implementing an intervention
policy through education to improve education for women.
Kesetaraan gender menjadi isu yang relevan berkaitan dengan keterpaduan antara
kerjasama laki-laki dan perempuan di segala bidang. Adanya ketimpangan gender dapat
berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ada pada suatu daerah,
termasuk di Indonesia. Provinsi Kalimantan Utara masih terdapat ketimpangan yang besar
antara kualitas pembangunan perempuan dan laki-lakinya. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat pembangunan gender pada tahun 2019, mengetahui disparitas
pembangunan gender di setiap kabupaten/kota, serta mengetahui kebijakan yang dilakukan
untuk meningkatkan pembangunan gender di Provinsi Kalimantan Utara. Metode yang
digunakan pada penelitian ini berupa pengolahan data sekunder berupa data Contraceptive
Prevalence Rate (WPK 15-49 tahun), data persentase APBD untuk program kependudukan
dan KB, data alokasi anggaran perempuan terhadap APBD, serta data Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) perempuan tahun 2019 yang digunakan untuk menghitung Indeks
Pembangunan Gender (IPG) di Provinsi Kalimantan Utara. Berdasarkan perhitungan
didapatkan IPG Provinsi Kalimantan Utara tahun 2019 sebesar 0,44 dengan indeks tertinggi
sebesar 0,32 pada Kabupaten Bulungan dan indeks terendah sebesar 0,19 pada
Kabupaten Tana Tidung. Diperlukan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan indeks
pembangunan gender pada masing-masing kabupaten, salah satunya yaitu dengan
melakukan kebijakan intervensi melalui pendidikan untuk meningkatkan pendidikan bagi
wanita.
Kata kunci: Kesetaraan Gender, Indeks Pembangunan Gender, Program KB, APBD
PENDAHULUAN
Belakangan ini, perhatian dunia akan pembangunan berbasiskan gender semakin besar.
Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya globalisasi, isu kesetaraan gender menjadi
isu yang relevan berkaitan dengan keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan perempuan di
segala bidang. Kesetaraan gender (gender equality) memiliki pengertian bahwa perempuan dan
laki-laki memiliki status yang sama, dan memiliki kondisi serta potensi yang sama untuk
mewujudkan hak-haknya sebagai manusia dan berkontribusi pada pembangunan nasional,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Hubies, 2010). Pembangunan di suatu wilayah sangat
tergantung pada kualitas sumberdaya manusia yang ada di wilayah tersebut. Dengan demikian
pembangunan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan manusia.
Pembangunan manusia merupakan suatu proses memperluas pilihan-pilihan bagi
penduduk untuk dapat dapat menikmati hidup yang panjang dan sehat, berpengetahuan, dan
hidup layak (UNDP, 1990). Biasanya untuk mengukur pembangunan manusia digunakan
Indeks Pembangunan Manusia/IPM (BPS, 2019). Namun IPM hanya mengukur capaian
pembangunan manusia secara umum, tidak spesifik menurut jenis kelaminnya. Oleh
karenanya, UNDP mengusulkan rumusan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang dapat
digunakan untuk mengetahui perbandingan kualitas pembangunan perempuan dan kualitas
pembangunan laki-laki di suatu wilayah. Pembangunan manusia sejatinya diarahkan dan
ditujukan untuk seluruh penduduk tanpa membedakan jenis kelamin tertentu. United Nation
Development Programme (UNDP) menyatakan dalam Human Development Report bahwa
pertumbuhan ekonomi yang terdistribusi secara adil baik antar generasi, antar etnis, antar jenis
kelamin, maupun antar wilayah merupakan salah satu elemen penting dalam pembangunan
manusia. Namun pada kenyataannya perempuan seringkali tertinggal dalam pencapaian
kualitas hidup.
Fakta diskriminasi gender sudah menjadi masalah klasik hampir di seluruh belahan
dunia. Diskriminasi gender ini terjadi akibat adanya sistem sosial dimana salah satu jenis
kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban (BKKBN, 2007). Adanya diskriminasi
diskriminasi gender di berbagai hal dalam kehidupan bermasyarakat telah menimbulkan
perbedaan capaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan oleh
laporan MDGs pada 2011 yang menggambarkan kondisi perempuan masih tertinggal dari
laki-laki. Peran aktif perempuan dalam pembangunan masih terkendala, salah satunya
disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya perempuan sehingga tidak mampu untuk
bersaing dengan laki-laki di berbagai bidang (Alfana, dkk, 2015).
Di Indonesia, ketimpangan gender masih kerap terjadi pada seluruh aspek kehidupan,
terdapat adanya gap capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki
yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan
kesehatan. Hal tersebut dibuktikan dari hasil pengukuran IPG tingkat dunia, tahun 2018
Indonesia memiliki nilai IPG sebesar 93,22. Angka ini masih di bawah rata-rata angka dunia
dengan IPG 94,12 (KPPPA, 2018). Adapun di tingkat ASEAN, angka IPG di Indonesia
menempati peringkat ke-9 dari sepuluh negara. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesetaraan
pembangunan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding
negara-negara ASEAN, misalnya ketika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang
IPG-nya sudah berada di angka 97,55 dan Singapura 98,20 di tahun yang sama (KPPPA,
2019).
Sifat dan tingkat diskriminasi pada setiap wilayah sangat bervariasi, begitu pula yang
terjadi di Provinsi Kalimantan Utara. Laporan BPS (2020) menunjukkan bahwa provinsi
Kalimantan Utara memiliki IPG sebesar 87. Ini artinya bahwa di Provinsi Kalimantan Utara
masih terdapat ketimpangan yang besar antara kualitas pembangunan perempuan dan
laki-lakinya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain karena faktor sosial, demografis,
dan budaya. Seperti contohnya, anggapan bahwa peran perempuan menempatkan mereka
pada tuntutan untuk tetap memerankan tugas domestik, peran ganda. Sedangkan lelaki
ditempatkan sebagai pencari nafkah dan pekerja publik. Keadaan tersebut menyebabkan
banyak perempuan yang bekerja di lingkup rumah tangga atau di lahan pertanian milik keluarga
(Hubies, 2010).
Padahal kontribusi angkatan kerja wanita juga penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Kontribusi angkatan kerja perempuan signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan
arah positif, karena semakin tinggi kontribusi angkatan kerja perempuan, maka pertumbuhan
ekonominya pun akan semakin tinggi. Namun faktanya, jumlah angkatan kerja perempuan lebih
rendah dibanding laki-laki. Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa kaum wanita memikul
beban terbesar dari kemiskinan dan kelangkaan sumberdaya.sehingga perbaikan peran dan
status wanita dalam baik dalam pendidikan maupun kesehatan memiliki dampak penting untuk
memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Oleh sebab itu, pengukuran Indeks Pembangunan
Gender penting dilakukan sebagai alat evaluasi untuk mengetahui kualitas sumber daya
manusia dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan kualitas
manusia pada suatu wilayah, dalam hal ini provinsi Kalimantan Utara. Nilai maksimal dari
Indeks Pembangunan Gender adalah 100, semakin tinggi nilai Indeks Pembangunan Gender
maka daerah tersebut dapat dikatakan berhasil dalam pembangunan manusianya (BPS, 2011).
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan utama dalam penelitian ini yaitu adanya
ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan yang berpengaruh pada tinggi rendahnya
indeks pembangunan gender. Melalui indeks pembangunan gender, perbedaan pencapaian
yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat
diketahui. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat pembangunan
gender di provinsi Kalimantan Utara tahun 2019, mengetahui disparitas pembangunan gender
di setiap kabupaten/kota provinsi Kalimantan Utara serta mengetahui kebijakan yang dilakukan
untuk meningkatkan pembangunan gender di Kalimantan Utara. Terwujudnya kesetaraan
gender dapat dilihat apabila tidak ada lagi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam
berpartisipasi, memperoleh akses dan mengontrol pembangunan serta memperoleh manfaat
yang setara dan adil dari pembangunan (Hubies, 2010).
METODE
Jenis Data dan Sumber Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka yang sumbernya berupa buku,
jurnal, laporan penelitian, maupun artikel lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian.
Adapun teknik penyajian data dalam penelitian ini yakni data disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik yang memudahkan proses interpretasi data.
Indeks Pembangunan Gender dihitung dari beberapa indeks empat indikator yang
menyusunnya, yakni indeks Contraceptive Prevalence Rate (Wanita pernah kawin/WPK usia
15-49 tahun), indeks persentase APBD untuk program kependudukan dan KB; indeks alokasi
anggaran perempuan terhadap APBD; serta indeks Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
perempuan. Perhitungan indeks pada masing-masing indikator menggunakan nilai aktual setiap
indikator serta nilai minimal dan nilai maksimal dari semua nilai keseluruhan kabupaten/kota di
Indonesia. Persamaan umum untuk menghitung indeks adalah sebagai berikut:
Jika dimisalkan:
Maka:
.....Pers. (1)
.....Pers. (2)
.....Pers. (3)
.....Pers. (4)
Hasil persamaan (1) sampai (4) kemudian digunakan untuk menghitung Indeks
Pembangunan Gender di level provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Utara.
Perhitungan indeks pembangunan gender menggunakan rata-rata tertimbang dari
indikator-indikator penyusunnya. Setiap indikator diasumsikan memiliki bobot yang sama,
sehingga hasil akhir indeks pembangunan gender di setiap kabupaten/kota merepresentasikan
rata-rata nilai setiap indeks penyusunnya. Indeks Pembangunan Gender dihitung melalui
persamaan sebagai berikut:
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif
berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pembangunan Gender. Rentang indeks tersebut berkisar
antara angka 0 sampai 1. Indeks 0 berarti pembangunan gender di wilayah kajian sangat
rendah, sebaliknya indeks 1 berarti bahwa pembangunan gender di wilayah kajian sangat
tinggi. Klasifikasi indeks pembangunan gender dihitung berdasarkan rentang nilai terendah dan
nilai tertinggi untuk kemudian dibagi menjadi 5 kelas. Pembagian 5 kelas dilakukan karena
selisih antar indeks tidak terlalu besar, sehingga perlu dibuat kelas yang lebih sempit. Klasifikasi
tersebut didasarkan pada tabel 1 di bawah ini.
CPR adalah perbandingan antara pasangan usia subur (PUS) yang menjadi peserta KB
aktif, dalam artian peserta KB yang saat ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi, dengan
jumlah PUS. Perbandingan ini dinyatakan dalam persentase. Indikator CPR berguna untuk
mengukur perbaikan kesehatan ibu melalui pengaturan kelahiran (Badan Pusat Statistik, 2020).
Indikator ini juga digunakan sebagai proksi guna mengukur akses terhadap pelayanan
reproduksi kesehatan yang esensial. Penelitian ini memperhitungkan wanita pernah kawin
(WPK). Berdasarkan perhitungan, ditemukan Provinsi Kalimantan Utara memiliki CPR sebesar
47,37. Artinya dari keseluruhan PUS di Provinsi Kalimantan Utara, terdapat 47,37 persen WPK
yang saat ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi. Apabila dibandingkan dengan angka
minimum pengguna kontrasepsi di Indonesia yang sebesar 40 persen, angka ini telah cukup
baik. Namun peningkatan masih diperlukan.
Sementara itu pada indikator persentase APBD untuk program kependudukan dan KB,
Provinsi Kalimantan Utara mengalokasikan 0,03% anggarannya. Meskipun minim, tetapi tidak
ada aturan mengenai batasan minimal alokasi APBD untuk program kependudukan dan KB di
Indonesia. Begitu pula persentase alokasi anggaran perempuan terhadap APBD. Sementara itu
TPAK perempuan di Provinsi Kalimantan Utara diketahui sebesar 50,20. TPAK merupakan
suatu indikator ketenagakerjaan yang memberikan gambaran tentang penduduk yang aktif
secara ekonomi dalam kegiatan sehari-hari, yaitu proporsi antara penduduk yang bekerja dan
menganggur terhadap penduduk usia kerja.
TPAK penduduk perempuan Provinsi Kalimantan Utara dapat dikatakan cukup. Namun,
hal ini masih perlu ditingkatkan lagi. Sebab TPAK perempuan sejatinya bukan satu-satunya
penciri dari ketimpangan gender dalam hal ekonomi. Terdapat indikator lain yaitu akses
perempuan terhadap pekerjaan yang dibayar yang masih lemah, serta upah perempuan yang
masih di bawah upah laki-laki untuk kelompok pekerjaan yang sama. Kesenjangan gender
dalam partisipasi ekonomi mengindikasikan masih adanya diskriminasi yang dialami oleh
perempuan di pasar tenaga kerja, terutama dalam hal status pekerja dibayar dan upah.
Berdasarkan keempat indikator tersebut kemudian dilakukan pengharkatan dan didapatkan
indeks pembangunan gender di Provinsi Kalimantan Utara yaitu sebesar 0,44 dengan klasifikasi
sedang.
Angka dari indeks pembangunan manusia pada dasarnya memiliki tujuan untuk
mengetahui tingkat kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan pada
suatu daerah. Terdapat perbedaan hasil angka IPG pada hasil penelitian ini dengan hasil IPG
yang dipublikasikan oleh BPS, walaupun kedua hasil memiliki tujuan dasar yang sama. Hasil
perhitungan BPS menunjukkan indeks tertinggi ada di Kota Tarakan, berbeda dengan hasil
penelitian yang menunjuk Kabupaten Bulungan. Perbedaan hasil ini didasari atas perbedaan
metode, baik rumus dan data yang digunakan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh BPS. Perhitungan IPG yang dilakukan dengan rumus yang membutuhkan data
berupa angka harapan hidup, harapan pendidikan, dan distribusi pendapatan, dengan didukung
berupa data SUSENAS dan SAKERNAS (Sirusa BPS, 2020). Hal tersebut kemudian
menyebabkan hasil angka IPG yang didapatkan juga berbeda dengan hasil IPG penelitian ini,
yang secara lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Persamaan dari keduanya ialah pada
indeks terendah yang merujuk pada Kabupaten Tana Tidung.
Tabel 4. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Kalimantan Utara tahun 2019 Berdasarkan Publikasi BPS
Melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2000 seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota diharuskan
melaksanakan strategi Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan baik nasional maupun
daerah. Inpres tersebut dioperasikan lagi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67
Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di provinsi dan kabupaten/kota.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui setiap indikator berperan dalam
pencapaian IPG di Provinsi Kalimantan Utara, yang mana beberapa di antaranya perlu
dilakukan evaluasi.
Capaian CPR di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kalimantan Utara bervariasi. CPR
menurut Cristie dan Budiantara (2015), dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persentase
penduduk miskin, persentase wanita berumur 15 tahun ke atas dengan pendidikan tertinggi
kurang atau sama dengan SLTP, persentase wanita berumur 10 tahun ke atas dengan usia
perkawinan pertama 18 tahun kebawah, persentase wanita berumur 10 tahun ke atas yang
pernah kawin dengan anak lahir hidup kurang atau sama dengan dua, dan persentase wanita
berumur 15 tahun ke atas yang bekerja. Sehingga kebijakan yang dapat diterapkan guna
meningkatkan CPR di antaranya adalah intervensi melalui pendidikan. Melalui capaian
pendidikan yang semakin tinggi, kemampuan wanita dalam memahami urgensi penggunaan
kontrasepsi juga meningkat. Selain itu intervensi pendidikan juga berperan dalam penundaan
usia pertama menikah.
Sementara untuk kedua indikator APBD, meskipun alokasi sangat minim tetapi hal
tersebut tidak melanggar aturan apapun karena tidak ada regulasi yang menetapkan batas
minimal alokasi dana untuk program kependudukan dan KB serta anggaran perempuan. Hal
yang dapat dilakukan adalah merekomendasikan pemerintah pusat untuk menetapkan batas
minimum untuk itu. Setelah penetapan batas minum anggaran bisa dilakukan peningkatan
persentasenya secara bertahap. Sebab pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan
pemerintah yang nantinya mempengaruhi keberhasilan implementasi program. Semakin tinggi
anggaran yang dialokasikan untuk KB maupun program-program pemberdayaan perempuan
lainnya akan menunjukkan kepedulian pemerintah dalam meningkatkan kesetaraan gender di
Kalimantan Utara.
Guna meningkatkan TPAK perempuan, terdapat beberapa kebijakan yang dapat
diterapkan, seperti memberikan akses yang sama terhadap laki-laki maupun perempuan dalam
hal pekerjaan dan upahnya. Salah satu yang dapat mempengaruhi hal tersebut adalah akses
pendidikan, sehingga sekali lagi intervensi pendidikan sangatlah penting. Melalui partisipasi
pendidikan perempuan yang tinggi secara langsung akan semakin banyak perempuan yang
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan tersebut menjadi
modal besar bagi perempuan untuk dapat bersaing dengan laki-laki di segala bidang, baik
ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan demikian, maka secara perlahan akan meningkatkan
kualitas hidup dan partisipasi perempuan dan secara bersamaan akan mengurangi
kesenjangan di antara keduanya (laki-laki dan perempuan).
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Alfana, M.A.F., dkk. 2015. Dinamika Pembangunan Manusia Berbasis Gender di Indonesia.
Seminar Nasional Geografi UMS.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). 2007. Program Pembinaan
Jarak Jauh Pengarusutamaan Gender, Modul 2: Konsep dan Teori Gender. Jakarta:
Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN.
Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2018. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 Hasil Supas 2015 Edisi
Revisi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2018. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan.
Badan Pusat Statistik. 2020. Indeks Pembangunan Gender (IPG). Badan Pusat Statistik.
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/14
Badan Pusat Statistik. 2020. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Utara, 2018-2019. Badan Pusat Statistik Kalimantan Utara.
https://kaltara.bps.go.id/dynamictable/2019/09/16/113/-ipg-indeks-pembangunan-gender
-ipg-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-kalimantan-utara-2018.html
Badan Pusat Statistik. 2020. Tingkat prevalensi kontrasepsi (CPR). Badan Pusat Statistik.
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/603
Badan Pusat Statistik. 2020. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Kalimantan Utara, 2018-2019. BPS Kaltara,
https://kaltara.bps.go.id/dynamictable/2019/09/16/113/-ipg-indeks-pembangunan-gender
-ipg-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-kalimantan-utara-2018.html diakses pada
tanggal 16 Oktober 2020
Bappenas. 2012. Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) dan Indikator Kelembagaan
Pengarusutamaan Gender (IKPUG): Kajian Awal. Jakarta: Direktorat Kependudukan,
Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak BAPPENAS.
Cristie, D. dan Budiantara, I. N. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Contraceptive
Prevalence Rate (CPR) di Indonesia dengan Pendekatan Regresi Nonparametrik Spline.
Surabaya: Jurnal Sains dan Seni ITS, Vol. 4(1): 97-102.
View publication stats
Hubies, Aida Vitayala S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB
Press.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik.
2018. Profil Perempuan Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
KPPPA. 2018. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
KPPPA. 2019. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.
Marfianti, I. dan Sukamdi. 2015. Pengaruh Angka Prevalensi Kontrasepsi (CPR) terhadap
Angka Kelahiran Total (TFR) di Indonesia Tahun 2012. Yogyakarta: Jurnal Bumi
Indonesia, Vol. 4(1): 129-138.
PKP2A III LAN. 2014. Penataan Kelembagaan Provinsi Kalimantan Utara. Samarinda:
Perpustakaan Nasional RI.
Purwaningsih, S. S. 2012. Desentralisasi Program Keluarga Berencana: Tantangan dan
Persoalan Kasus Provinsi Kalimantan Barat. Jakarta: Jurnal Kependudukan Indonesia,
Vol. VII(2): 109-125.
Putri, P. K. D. 2018. Komunikasi Antar Suami Istri bagi Kesetaraan Gender dalam Penggunaan
Alat Kontrasepsi. Jakarta: Jurnal Perspektif Komunikasi, Vol. 2 No. 2.
Sirusa BPS. 2020. Indeks Pembangunan Gender (IPG) [Online]. https://sirusa.bps.go.id/
diakses pada 16 Oktober 2020 pukul 15:18 WIB.
Todaro, M. P. dan Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi (edisi kesembilan). Jakarta:
Erlangga.
Vibriyandi, D. 2013. Ketimpangan Gender dalam Partisipasi Ekonomi: Analisis Data
SAKERNAS 1980-2013. Jakarta: Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. 8(1): 1-16.