You are on page 1of 15

TINGKAT KERENTANAN FISIK BANGUNAN TERHADAP POTENSI ERUPSI

GUNUNGAPI KELUD
Yan Abdi Rahmanu1)*, Danang Sri Hadmoko1), Djaka Marwasta1)
1)
Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
*email korespondensi: yanabdir@gmail.com

Abstract : Kelud Volcano has explosive eruptions by removing rock material, sand and volcanic ash reaching
200 million m3 in 2014 with the scale of the Volcanic Eruption Index (VEI) 4. Puncu Village located in Disaster
Prone Areas (DPA) I and II suffered damage up to 2,195 buildings. The purpose of this study is: (1) Identify
building characteristics that influence the physical vulnerability of buildings in Puncu Village and (2) Analyze the
level of physical vulnerability of buildings in Puncu Village. The study was conducted by interview method,
literature study, field identification and conducting vulnerability modeling in ILWIS 3.3 software through Spatial
Multi Criteria Evaluation (SMCE). The variables used are the slope of the roof, roofing material, roof truss,
building type, age of the building, orientation of the building and the distance of the building from the center of
the eruption. The sample of the building used is consisting of 416 buildings with various types of buildings. The
results showed that the dominant building characteristics are roof slope 6 0-350 (61,5%), tile and asbestos roof
material (50,2%), wooden roof truss (92,3%), permanent building type (88,5%), building age 0-20 years (46,9%),
the orientation of the building is 22.5 0-67.50 (63%) and the distance from the eruption center is 6-10 km (100%).
The level of physical vulnerability of buildings in Puncu Village consists of very low class (0,7%), low (4,6%),
medium (40,1%), high (52,6%) and very high (1,9%).

Keywords: Buildings, Puncu Village, Physical Vulnerability, SMCE, Kelud Volcano

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi salah satu negara yang
dilalui oleh jalur gunungapi dunia (sirkum pasifik
dan sirkum mediterania), sehingga banyak
terdapat gunungapi aktif yang terbentuk karena
proses tumbukan antar lempeng. Indonesia
memiliki 127 gunungapi aktif atau 13% dari
keseluruhan gunungapi aktif di dunia
(Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral,
2014). Gunungapi Kelud merupakan salah satu Gambar 1. Grafik Volcanic Eruption Index (VEI)
gunungapi aktif di Jawa Timur dengan sejarah Gunugapi Kelud
erupsinya didominasi oleh tipe erupsi eksplosif Sumber: Wardhana dkk.,2014
yang menghasilkan endapan aliran dan jatuhan Tanggal 13 Februari 2014 pukul 22.46 WIB,
piroklastik (Zaennudin, 2009). Gunungapi Kelud mengalami erupsi eksplosif
Gunungapi Kelud secara geografis terletak dengan mengeluarkan material batuan, kerikil
pada posisi 7056’00” LS dan 112018’30” BT dan dan abu vulkanik mencapai 200 juta m 3, sehingga
secara administratif termasuk kedalam tiga erupsinya masuk dalam kategori Volcanic
kabupaten yakni Kabupaten Blitar, Kabupaten Eruption Index (VEI) 4 dan menghancurkan
Kediri dan Kabupaten Malang. Tipe erupsi kubah lava (Paripurno dkk., 2015). Erupsi
eksplosif yang menghasilkan aliran pirolastik, abu Gunungapi Kelud tahun 2014 berdampak buruk
vulkanik dan lahar menjadi fenomena yang paling terhadap manusia, bangunan dan lahan
berbahaya bagi permukiman dan manusia pertanian. Abu vulkanik setinggi 17-20 km keluar
(Baxter et al., 2005). Gunungapi Kelud telah dari pusat erupsi serta abunya tersebar ±1000 km
mengalami 34 kali erupsi sejak tahun 1000-2014 ke Barat hingga mencapai Provinsi Jawa Barat,
dengan periode kejadian antara 7-37 tahun sekali Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta
dengan Volcanic Eruption Index (VEI) dominan (Paripurno dkk., 2015) (Gambar 2 dan Gambar
yakni 2 hingga 4 (Kementerian Energi dan 3).
Sumberdaya Mineral, 2014) (Gambar 1).
kebencanaan di Indonesia khususnya mengenai
upaya tindakan mitigasi terhadap bencana erupsi
gunungapi.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Desa Puncu merupakan salah satu desa dari
delapan desa di Kecamatan Puncu, Kabupaten
Kediri, Provinsi Jawa Timur. Desa Puncu memiliki
luas 288.057,7 Ha atau mencakup 15,84% dari
luasan total Kecamatan Puncu. Desa Puncu
berada di ketinggian ±476 mdpl (BPS, 2018).
Penelitian difokuskan pada area permukiman
di Desa Puncu. Desa Puncu terbagi atas lima
dusun yaitu Dusun Laharpang, Sukomoro,
Puncu, Margomulyo dan Pugeran. Area
Gambar 2. Hasil Erupsi Gunungapi Kelud Berupa permukiman di Desa Puncu memiliki luas ±119,7
Abu Vulkanik Mencapai 17-20 Km Ha (Tabel 1). Wilayah Desa Puncu secara spasial
Sumber: NASA, 2014 dalam Kementerian ESDM,
ditampilkan dalam Gambar 4.
2014
Tabel 1. Luas Dusun di Desa Puncu
No. Dusun Luas (Ha)
1 Laharpang 17,9
2 Sukomoro 27,3
3 Puncu 44,3
4 Margomulyo 17,7
5 Pugeran 12,5
Total Luas 119,7
Sumber: Hasil Olah Data Citra, 2019
Gambar 3. Hasil Erupsi Gunungapi Kelud Berupa
Abu Vulkanik Mengarah ke Barat Daya
Sejauh ±1.000 Km
Sumber: NASA, 2014 dalam Kementerian ESDM,
2014
Bangunan menjadi objek yang mengalami
dampak kerusakan cukup tinggi. Desa Puncu,
Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri menjadi
salah satu desa yang terpapar cukup parah dari
kejadian erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014.
100% bangunan yang ada di Desa Puncu
mengalami kerusakan oleh abu vulkanik atau
jatuhan material piroklastik (Nurinayanti dkk.,
2015). Jatuhan abu vulkanik mengakibatkan
penimbunan pada bagian atap secara masif,
sehingga menyebabkan ambruknya suatu
bangunan khususnya yang memiliki tipe atap
kampung (pelana) atau limasan (perisai) dengan
kemiringan 100-250 (Paripurno dkk., 2015). Area
Bangunan di Desa Puncu yang terletak di
kawasan rawan bencana I dengan jarak ±6,3 –
9,9 km dari pusat erupsi menjadi alasan tingginya
tingkat kerusakan bangunan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian tingkat kerentanan fisik
bangunan terhadap potensi erupsi Gunungapi
Kelud yakni (1) Mengidentifikasi karakteristik
bangunan yang berpengaruh terhadap Gambar 4. Peta Administrasi Desa Puncu
kerentanan fisik bangunan di Desa Puncu dan (2) Sumber: Hasil Olah Data, 2019
Menganalisis tingkat kerentanan fisik bangunan Penelitian dilakukan selama 10 bulan
di Desa Puncu. Hasil penelitian diharapkan dapat (November 2018 – Agustus 2019) yang terdiri
memberikan manfaat dalam kajian manajemen
dari tahap pra lapangan, saat lapangan dan >380
pasca lapangan. Tahap pra lapangan yakni
Baja Ringan 6-380
terdiri dari mempersiapkan alat, bahan dan
metode penelitian. Tahap lapangan terdiri dari <60
pengambilan data di lapangan selama 1 bulan >380
(Desember 2018 – Januari 2019). Tahap pasca Seng 6-380
lapangan terdiri dari pengolahan data dan
<60
analisis data.
2.2 Variabel Penelitian Beton
0-50
Bertulang
a. Kemiringan Atap
>500
Kemiringan atap menjadi faktor yang paling
utama dalam menentukan tingkat kerentanan fisik Genteng 6-500
bangunan. Material jatuhan piroklastik dan air
<60
memiliki karakteristik yang berbeda sehingga
terdapat sudut kemiringan atap tertentu agar >410
material dapat jatuh. Berdasarkan penelitian dari
Asbes 6-410
Akbar, dkk. (2014), Tatas, dkk. (2015) dan
Maqsood, et al. (2014) menunjukkan terdapat Pasir Basah <60
beberapa sudut kemiringan atap minimal pada
>400
setiap bahan material atap yang digunakan pula
dalam menentukan tingkat kerentanan bangunan Baja Ringan 6-400
di Desa Puncu (Tabel 2). <60
Tabel 2. Urutan Tingkat Kerentanan Bangunan
Berdasarkan Sudut Kemiringan Atap >400
Material
Kemiringan Seng 6-400
Pasir Material Atap
Atap
Vulkanik <60
Beton
0-50 Sumber: Akbar, F dkk., 2014; Tatas, dkk., 2015;
Bertulang
Maqsood, T. et al., 2014.
>38 0
Keterangan: Kerentanan
Genteng 6-380 Tinggi
<6 0
b. Material Atap
>37 0
Berdasarkan penelitian dari Jenkins et al.
(2014), menunjukkan bahwa urutan bahan
Asbes 6-370
material atap dengan tingkat kerentanan tertinggi
Pasir Kering <60 hingga terendah secara berurutan yakni genteng,
asbes, seng, baja ringan dan beton betulang
>370
(cor).
Baja Ringan 6-370 c. Rangka Atap
<6 0 Rangka atap menjadi salah satu faktor yang
penting dalam tingkat kerentanan bangunan.
>370 Bangunan menggunakan atap dengan bahan
Seng 6-370 beton bertulang (cor) tidak menggunakan rangka
atap. Penggunaan beton bertulang (cor) pada
<60 bagian atap merupakan bahan yang paling kuat
Beton dan dapat menahan beban piroklastik pada
0-50
Bertulang bagian atap. Bahan rangka atap selanjutnya yang
>400 memiliki tingkat kerentanan rendah hingga tinggi
secara berurutan dalam menahan beban material
Genteng 6-400 piroklastik yakni kayu, baja ringan dan bambu.
Pasir
Lembab <60 d. Tipe Bangunan
Tipe bangunan permanen memiliki tingkat
>39 0
kerentanan fisik paling rendah bila dibandingkan
Asbes 6-390 tipe bangunan semi permanen dan bangunan
non permanen. Konstruksi bangunan permanen
<60
yang lebih kuat membuat rumah dapat menahan
beban material jatuhan piroklastik. Bangunan
semi permanen dan non permanen yang memiliki
material penyusun dari kayu dan bambu
membuat bangunan kurang kuat dalam menahan
beban material piroklastik karena material kayu
dan bambu bersifat lentur bila dibandingkan
dengan batako serta mudah rapuh akibat
dimakan oleh rayap.
e. Umur Bangunan
Bangunan yang memiliki umur lebih tua
memiliki tingkat kerentanan fisik paling tinggi atau
lebih rentan rusak apabila terkena material erupsi
Gunungapi Kelud (Gambar 5).
Gambar 7. Pembagian Sudut Orientasi Bangunan
Muda Sedang Tua dan Tingkat Kerentanan Bangunan
(0-20 Tahun) (21-40 Tahun) (>40 Tahun) Sumber: Naja dan Mardiatno, 2018
g. Jarak Bangunan dari Pusat Erupsi
Berdasarkan penelitian Hadmoko et al.
(2018), bangunan permukiman yang berada
dekat dengan tempat kejadian bencana vulkanik
Kerentanan Kerentanan (aliran lahar) mengalami kerusakan yang lebih
Rendah Tinggi
tinggi dibandingkan dengan bangunan
Gambar 5. Skema Urutan Tingkat Kerentanan pada permukiman yang jauh dari tempat kejadian
Variabel Umur Bangunan bencana. Daerah yang dekat dengan pusat
Sumber: Hasil Olah Data, 2019 erupsi berpotensi menerima material jatuhan
f. Orientasi Bangunan piroklastik dengan ukuran yang lebih besar bila
Orientasi atau arah hadap bangunan untuk dibandingkan dengan daerah yang jauh dari
menentukan tingkat kerentanan fisik bangunan di pusat erupsi. Daerah yang dekat dengan pusat
Desa Puncu yakni mengacu pada arah hadap erupsi akan mengalami tingkat kerusakan yang
terhadap kaldera Gunungapi Kelud. Berdasarkan lebih tinggi bila dibandingkan daerah yang jauh
Nunziante, et al. (2003), bagian bangunan yang dari pusat erupsi (Gambar 8).
terkena langsung oleh material piroklastik
(pyroclastic density currents) akan mengalami Jarak dari Pusat Erupsi
tingkat kerusakan yang lebih tinggi daripada
bangunan yang tidak terkena dampak langsung
dari material piroklastik (Gambar 6).
Kerentanan Kerentanan
Rendah Tinggi

Gambar 8. Urutan Tingkat Kerentanan Bangunan


terhadap Jarak dari Pusat Erupsi
Sumber: Hasil Olah Data, 2019
2.3 Teknik Pengumpulan Data
Identifikasi karakteristik bangunan yakni
menggunakan metode wawancara terstruktur
menggunakan kuisioner dan observasi lapangan
pada area bangunan. Penentuan ukuran sampel
Gambar 6. Skema dari Dampak PDC terhadap Arah menggunakan metode slovin. Perhitungan ukuran
Hadap Bangunan sampel menggunakan metode slovin dihitung
Sumber: Nunziante, L. et al., 2003 menggunakan rumus:
Terdapat penelitian dari Naja dan Mardiatno N
(2018), bangunan yang sejajar dengan arah n=
datangnya bencana juga akan mengalami 1+(N e2 )
kerusakan lebih besar dibandingkan dengan Keterangan:
bangunan yang tegak lurus dengan arah n = Besar Nilai Sampel
datangnya bencana (Gambar 7). N = Besar Nilai Populasi
e = Standar Error (Error Level)
(Sudaryono, 2017)
Penelitian menggunakan derajat kesalahan kemudian akan diolah dengan cara
(error level) sebesar 5% atau keakuratan mengelompokkan karakteristik bangunan yang
mencapai 95%. Derajat kesalahan 5% dipilih memiliki keseragaman berdasarkan tiap variabel
dengan tujuan dapat merepresentasikan yang telah ditentukan berupa rangka atap, tipe
karakteristik bangunan di Desa Puncu secara bangunan, material atap, orientasi bangunan,
menyeluruh. Jumlah bangunan yang berada di umur bangunan, jarak dari pusat erupsi,
Desa Puncu yakni sejumlah 3.312 bangunan kemiringan atap dengan material pasir kering,
(PODES, 2018). Berdasarkan hasil perhitungan lembab dan basah. Setelah dikelompokkan tiap
menggunakan metode slovin didapatkan jumlah variabel kemudian dihitung jumlahnya secara
sampel minimal yakni 357 bangunan. Teknik kuantitatif untuk mengetahui karakteristik
sampling yakni menggunakan systematic bangunan yang dominan maupun tidak dominan
sampling (grid). di Desa Puncu.
Pengambilan sampel bangunan b. Kerentanan Fisik Bangunan
menggunakan teknik systematic sampling Kerentanan fisik bangunan didapatkan dari
dilakukan dengan membuat grid berukuran 30 x pengolahan data karakteristik bangunan pada
30 meter. Pemilihan bangunan yang akan titik-titik identifikasi. Variabel karakteristik
disampel dilihat pada lokasi bangunan yang bangunan kemudian akan diolah dengan
berada didalam grid dan diusahakan terdapat melakukan ranking kriteria pada tiap variabel
satu bangunan dalam satu grid guna yang paling rentan terhadap material jatuhan
memudahkan pengambilan sampel. Berdasarkan piroklastik, kemudian dari beberapa variabel di
interpretasi terdapat 387 bangunan yang lakukan skenario secara spasial dengan metode
termasuk dalam kategori satu bangunan dalam Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE). Metode
satu grid, namun terdapat 416 bangunan yang SMCE digunakan karena mampu
akan didatangi untuk dilakukan wawancara dan mengkombinasikan data spasial dan non spasial
observasi mengenai karakteristik bangunan yang dalam mengambil suatu keputusan (Hizbaron,
terdiri dari semua jenis bangunan di Desa Puncu 2011).
(Gambar 9).  Ranking Kriteria Tiap Variabel
Hasil yang didapatkan dari data karakteristik
bangunan dilakukan ranking atau urutan pada
kriteria tiap variabel. Kriteria diurutkan mulai dari
yang paling kuat hingga yang paling rentan
terhadap material jatuhan piroklastik (Tabel 3).
Tabel 3. Ranking Variabel Karakteristik Bangunan di
Desa Puncu

Variabel Kriteria Ranking

Permanen 1

Tipe Bangunan Semi Permanen 2

Non Permanen 3

Beton Bertulang 1

Baja Ringan 2
Material Atap
Seng 3

Asebes 4
Genteng 5
Beton Bertulang 1
Kayu 2
Rangka Atap
Gambar 9. Peta Sampel Bangunan Baja Ringan 3
Sumber: Hasil Olah Data, 2019
2.4 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data Bambu 4
a. Karakteristik Bangunan Umur < 20 tahun 1
Hasil wawancara terstruktur dan observasi Bangunan
lapangan di area bangunan Desa Puncu,
21-40 tahun 2 SMCE merupakan aplikasi dari pengambilan
kebijakan dengan menggunakan berbagai
>40 tahun 3 macam kriteria secara spasial (Merliyuanti, 2013).
67,6-900 1 SMCE juga menjadi metode yang berguna untuk
Orientasi 22,6-67,50 2
mencari solusi yang didasarkan pada
Bangunan perbandingan sudut pandang beberapa faktor.
0-22,5 0
3 Input dari SMCE yakni berupa peta-peta yang
disebut dengan kriteria. Pohon kriteria berisikan
6-10 km 1 informasi pengelompokan kriteria, standardisasi
Jarak dari Pusat dan bobot (Merliyuanti, 2013). Output dari
3-5 km 2
Erupsi pengolahan dengan metode SMCE adalah peta-
0-2 km 3
peta atau informasi spasial yang membantu
dalam pengambilan kebijakan (Wibowo et al.,
2010 dalam Merliyuanti, 2013).
Material 1) Pembuatan Pohon Kriteria (Criteria Tree)
Material Kemiringan
Pasir Ranking Pembuatan pohon kriteria yakni dilakukan
Atap Atap
Vulkanik dengan menjabarkan variabel atau kriteria
Beton
0-50 1 sebagai penilaian kerentanan dengan cara
Bertulang
menginput peta-peta raster yang telah dibuat di
>38 0
1
software ILWIS 3.3 yang terdiri dari rangka atap,
Genteng 6-380 2
<60 3
tipe bangunan, material atap, orientasi bangunan,
>370 1 umur bangunan, jarak dari pusat erupsi,
Asbes 6-370 2 kemiringan atap dengan material pasir kering,
Pasir
Kering <60 3 lembab dan basah (Gambar 10).
>370 1
Baja
6-370 2
Ringan
<60 3
>370 1
Seng 6-370 2
<60 3
Beton
0-50 1
Bertulang
>40 0
1
Genteng 6-400 2
<60 3
>390 1
Pasir Asbes 6-390 2
Lembab <60 3 Gambar 10. Pohon Kriteria (Criteria Tree)
>380 1 2) Standardisasi
Baja Standardisasi merupakan proses yang mana
6-380 2
Ringan semua kriteria setiap variabel yang berbeda-beda
<60 3
>380 1 disamakan standar datanya atau di normalisasi.
Seng 6-380 2 Kriteria distandardisasi atau diskoring untuk
<60 3 menunjukkan tingkat kerusakan (damage)
Beton dengan rentang nilai 0-1 (Hizbaron et al., 2010).
0-50 1 Nilai 1 menunjukkan bahwa kriteria tersebut
Bertulang
>50 0
1 rentan terhadap matrial jatuhan piroklastik (abu
Genteng 6-500 2 vulkanik). Kriteria distandardisasi dengan metode
<60 3 rank ordering. Rank ordering di dapatkan dari
>410 1 tahap ranking kriteria tiap variabel (Gambar 11).
Pasir Asbes 6-410 2
Basah <60 3
>400 1
Baja
6-400 2
Ringan
<60 3
>400 1
Seng 6-400 2
<60 3
 Spatial Multi-Criteria Evluation (SMCE)
Gambar 11. Standardisasi Metode Rank Ordering KORAMIL, kantor polisi, warung, dan Gudang.
Variabel Rangka Atap Karakteristik bangunan di Desa Puncu
dikelompokkan berdasarkan konstruksi bangunan
yaitu kemiringan atap, rangka atap, material atap,
3) Pembobotan tipe bangunan, umur bangunan, orientasi
Pembobotan tiap variabel karakteristik bangunan dan jarak dari pusat erupsi.
bangunan menggunakan metode rank ordering a. Kemiringan Atap
untuk membandingkan variabel dan digunakan Atap merupakan bagian atas pada suatu
untuk menyusun skenario dari beberapa variabel bangunan yang berfungsi sebagai perlindngan
karakteristik bangunan yang digunakan (Gambar dari panas, hujan, angin dan debu (Frick dan
12). Setiawan, 2001; Sudarmaji, 2014; Iswanto, 2007
dalam Akbar, F. dkk., 2015). Berdasarkan hasil
pengukuran di lapangan, kemiringan atap di Desa
Puncu yakni berkisar antara 2,300 hingga 45,400.
Karakteristik kemiringan atap bangunan di Desa
Puncu kemudian diklasifikasikan menjadi tiga
jenis berdasarkan Maqsood et al. (2014) (GAR 15
UNISDR), yakni dengan kemiringan <60, 6-350
dan >350 (Tabel 4).
Tabel 4. Kemiringan Atap Bangunan di Desa Puncu
Gambar 12. Pembobotan Metode Rank Ordering
Kemiringan
dalam Penentuan Skenario Kerentanan Jumlah Jenis Bangunan
Atap (0)
Bangunan terhadap Material Jatuhan
Piroklastik <6 3 Permukiman, Ruko
4) Skenario Kerentanan Bangunan
Metode penentuan skenario yakni Permukiman,
menggunakan metode rank ordering yang telah Warung, Ruko,
Pertokoan, Masjid,
dilakukan dalam tahap pembobotan. Skenario Mushola, Kantor
kerentanan bangunan yang digunakan yakni Polisi, KORAMIL,
dibagi menjadi delapan skenario. Penentuan 6 – 35 256 KUD Kelud, Apotek,
skenario didasarkan pada studi literatur, Pos Pendinginan
professional judgement, dan identifikasi di Susu KUD Tani
lapangan. Angka yang sama pada penentuan Jaya, Balai
rank atau urutan menunjukkan bahwa variabel Penyuluh
memiliki tingkatan yang sama antar variabel. Pertanian, TK
Skenario kerentanan bangunan yang telah Permukiman, Ruko,
Warung, Mushola,
dilakukan kemudian diolah dengan software
Gudang, Gereja,
ILWIS 3.3 dan menjadi peta raster tiap skenario. > 35 157 Kantor Desa,
5) Klasifikasi Puskesmas, Kantor
Data yang telah di lakukan skenario dan Kecamatan, SD,
menjadi peta raster, kemudian dilakukan SMP
klasifikasi. Metode klasifikasi yang digunakan Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
yakni metode klasifikasi equal. Metode klasifikasi Kemiringan atap 60 hingga 350 mendominasi
equal merupakan metode yang memiliki ukuran karena karakteristik bentuk atap bangunan yang
kelas yang sama di setiap kelas Interval teratur sering digunakan di Indonesia yakni berbentuk
cocok untuk menggambarkan data yang atap perisai (Sudarmaji, 2014). Bentuk atap
persebarannya baik (Karlina dan Mardiatno, perisai memiliki karakteristik memiliki bidang yang
2016). Terdapat lima kelas klasifikasi yang miring pada semua sisinya dengan suduk
digunakan dalam kerentanan fisik bangunan kemiringan 30-400 untuk penutup genteng, 20-250
yakni sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan untuk penutup seng dan 25-400 untuk penutup
sangat tinggi. sirap (Akbar, F. dkk., 2015) (Gambar 13).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Bangunan
Jenis bangunan yang terdapat di Desa Puncu
antara lain terdiri dari rumah atau permukiman,
masjid, mushola, gereja, SMP, SD, TK,
puskesmas, kantor kecamatan, kantor desa,
ruko, pos pendinginan susu KUD Tani Jaya, KUD
Kelud, apotek, balai penyuluh pertanian,
Beton Permukiman, Ruko,
Bertulang dan 25 Kantor Polisi, Apotek,
Genteng Masjid
Beton
Bertulang dan 1 Permukiman
Asbes
Genteng
dilapisi
2 Permukiman
dengan
Semen
Genteng, Baja
Ringan, Beton
(a)
Bertulang, 2 Masjid, Kantor Desa
Asbes dan
Seng
Genteng, Baja
Ringan dan Permukiman, KUD
2
Beton Kelud
Bertulang
Genteng,
Asbes dan
9 Permukiman, Ruko
Beton
Bertulang
(b) Permukiman,
Warung, Ruko,
Pertokoan, Masjid,
Mushola, KORAMIL,
Genteng 87
Gereja, Puskesmas,
Balai Penyuluh
Pertanian, SMP, TK,
SD
Genteng,
Seng, Asbes,
1 Permukiman
dan Baja
Ringan
(c) Genteng,
Gambar 13. (a) Kemiringan Atap Bangunan 6- Asbes dan 1 Ruko
350, (b) Kemiringan Atap Bangunan Baja Ringan
<60 dan (c) Kemiringan Atap Genteng dan
4 Permukiman, Warung
Bangunan >350 Baja Ringan
Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018 Genteng,
Permukiman, Ruko,
b. Material Atap Seng dan 9
Warung
Material atap merupakan lapisan terluar dari Asbes
komponen penyusun atap yang kedap air, tahan Permukiman, Ruko,
cuaca, tahan terhadap bunga api penerbangan, Genteng dan Warung, Mushola,
209
Asbes Pertokoan, Kantor
berbobot ringan dan memiliki daya tahan yang
Kecamatan Puncu
lama (Frick dan Moediartianto, 2004). Material Genteng dan Permukiman, Ruko,
atap bangunan yang berada di Desa Puncu 22
Seng Mushola, Gudang
sangat beragam antar jenis bangunan maupun Asbes 31 Permukiman, Ruko
dalam satu bangunan. Sebagian besar material Asbes dan
atap dalam satu bangunan memiliki bahan yang 1 Warung
Baja Ringan
tidak seragam. Berdasarkan hasil identifikasi di Permukiman, Pos
lapangan, terdapat 18 macam bahan material Seng 4 Pendinginan Susu
atap dalam satu bangunan di Desa Puncu (Tabel KUD Tani Jaya
5). Seng dan Permukiman,
4
Tabel 5. Jenis Material Atap Bangunan di Desa Asbes Gudang, Ruko
Puncu Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
Bahan Jumlah Jenis Bangunan Material atap bangunan yang mendominasi di
Material Atap Desa Puncu yakni campuran genteng dan asbes
pada Satu sebanyak 209 bangunan. Material atap bangunan
Bangunan lainnya yang mendominasi adalah bahan genteng
Beton sebanyak 87 bangunan. Genteng menjadi bahan
2 Permukiman
Bertulang yang banyak dipakai pada bagian atap karena
memang sudah menjadi budaya di Indonesia Kayu dan
Permukiman, Gudang,
dalam mendesain bangunan (Gambar 14). Baja 4
Ruko
Ringan
Kayu dan
3 Permukiman
Bambu
Baja Permukiman, KUD
4
Ringan Kelud, Ruko
Bambu 3 Permukiman, Ruko
Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
Konstruksi rangka atap bangunan dengan
Beton Bertulang Genteng bahan kayu memiliki jumlah terbanyak di Desa
Puncu sebanyak 384 bangunan. Konstruksi
rangka atap bangunan dengan bahan kayu masih
menjadi pilihan utama masyarakat di Desa
Puncu. Konstruksi rangka atap bangunan dengan
bahan kayu memiliki beberapa kelebihan menurut
Pangaribuan (2014), yakni:
a. Bahan kayu mudah dibentuk, dipotong dan
digunakan secara fleksibel (dapat diukur,
Asbes Asbes dan Baja Ringan dipotong, dan dibentuk melengkung)
b. Menyerap suhu panas lebih sedikit
c. Bahan mudah didapatkan dimana saja di toko-
toko material
d. Harga hemat dan murah, kemungkinan
mendapatkan dan mengangkutnya juga cepat
Konstruksi rangka atap bangunan dari bahan
bambu serta campuran kayu dan bambu paling
sedikit digunakan. Hal tersebut karena bahan
Seng
rangka atap yang terbuat dari bambu memiliki
Gambar 14. Material Atap Bangunan di Desa
beberapa kekurangan seperti mudah dimakan
Puncu
Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018 rayap, sisa material cenderung banyak, bersifat
c. Rangka Atap lentur dan kurang kuat. Konstruksi atap dari
Konstruksi rangka atap merupakan suatu bahan bambu dalam penerapannya juga memiliki
konstruksi yang berfungsi untuk beberapa kelebihan antara lain bersifat fleksibel
menopang/menyangga penutup atap serta dan mudah dibentuk, bahan mudah didapatkan
sebagai penahan beban penutup atap serta harganya yang hemat dan terjangkau
(Pangaribuan, 2014). Konstruksi rangka atap (Gambar 15).
bangunan di Desa Puncu terdiri dari bahan kayu,
beton bertulang, baja ringan dan bambu, namun
terdapat beberapa masyarakat yang membuat
rangka atapnya berasal dari lebih dari satu bahan
dalam satu bangunan (Tabel 6).
Tabel 6. Rangka Atap di Desa Puncu
Rangka
Jumlah Jenis Bangunan
Atap Beton
Beton Bertulang Kayu
Bertulang 4 Permukiman (Cor)
(Cor)
Kayu 384 Permukiman, Masjid,
Mushola, Gereja,
Sekolah, Puskesmas,
Kantor Kecamatan,
Kantor Desa, Ruko, Pos
Pendinginan Susu KUD
Tani Jaya, Apotek, Balai
Penyuluh Pertanian, Baja
KORAMIL, Kantor Polisi, Bambu
Ringan
Warung, Gudang Gambar 15.
Kayu dan Karakteristik Bahan
Beton 14 Permukiman, Ruko Konstruksi Atap
Bertulang
Bangunan di Desa Semi Permanen
Puncu
Sumber: Identifikasi
Lapangan, Desember
2018
d. Tipe Bangunan
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan,
terdapat tiga tipe bangunan di Desa Puncu yakni
bangunan permanen, semi permanen dan non
permanen (Tabel 7).
Permanen
Tabel 7. Tipe Bangunan di Desa Puncu
Gambar 16. Karakteristik Tipe Bangunan di Desa
Tipe Puncu
Jumlah Jenis Bangunan
Bangunan Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
Non
25 Permukiman, Ruko e. Umur Bangunan
Permanen
Semi
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik
23 Permukiman rumah, umur bangunan di Desa Puncu yakni
Permanen
Permukiman, Masjid, mulai dari 1,5 bulan hingga 100 tahun ketika
Mushola, Gereja, dilakukan survei pada Bulan Desember tahun
Sekolah, Puskesmas, 2018 (Tabel 8). Umur bangunan kemudian
Kantor Kecamatan, diklasifikasikan menjadi tiga yakni 0-20 tahun, 21-
Kantor Desa, Ruko, 40 tahun dan lebih dari 40 tahun.
Permanen 368 Pos Pendinginan Susu Tabel 8. Umur Bangunan di Desa Puncu
KUD Tani Jaya, KUD Umur
Kelud, Apotek, Balai Jumlah Jenis Bangunan
Bangunan
Penyuluh Pertanian, TK, Puskesmas,
KORAMIL, Kantor Permukiman, Ruko,
Polisi, Warung, Gudang 0 – 20 Warung, Pertokoan,
Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018 195
Tahun Masjid, Mushola, Pos
Tipe bangunan permanen memiliki kuantitas Pendinginan Susu KUD
yang paling banyak di Desa Puncu yakni Tani Jaya
sebanyak 368 bangunan. Tipe bangunan SMP, Balai Penyuluh
permanen memang banyak keberadaannya di Pertanian, Permukiman,
21 – 40
Desa Puncu karena Desa Puncu merupakan 159 Ruko, Warung, Gudang,
Tahun
ibukota dari Kecamatan Puncu sehingga dari segi Kantor Polisi, KORAMIL,
KUD Kelud, Apotek
ekonomi telah berkembang. Ekonomi menjadi
SD, Kantor Kecamatan,
faktor utama dalam membangun bangunan Kantor Desa,
menjadi permanen. Faktor lainnya adalah adanya > 40 Tahun 62 Permukiman, Ruko,
bantuan dari pemerintah untuk merenovasi Mushola, Gudang,
rumah-rumah yang rusak akibat erupsi Gereja, Masjid
Gunungapi Kelud tahun 2014 (Gambar 16). Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
Umur bangunan pada rentang 0 hingga 20
tahun memiliki kuantitas terbanyak yakni
sebanyak 195 bangunan. Banyaknya bangunan
yang memiliki umur pada rentang 0 hingga 20
tahun karena Kecamatan Puncu mulai
mengalami perkembangan karena sudah adanya
fasilitas pendukung yang memadai seperti kantor
polisi, KORAMIL, puskesmas, apotek, pertokoan,
koneksi internet dan jaringan jalan serta potensi
alam yang cocok untuk kegiatan perkebunan,
Non Permanen pariwisata, dan pertambangan. Fasilitas yang
memadai dapat menjadi faktor berkembangannya
suatu daerah, sehingga memicu adanya imigrasi
(Gambar 17).
Masjid, Mushola,
Gudang, Kantor Polisi,
KORAMIL, Gereja, Pos
Pendinginan Susu KUD
Tani Jaya, KUD Kelud,
Puskesmas, Kantor
Kecamatan, Balai
Penyuluh Pertanian, TK,
SMP
0-20 Tahun 67,6 – Permukiman, Ruko,
80
90 Warung
Sumber: Pengukuran Lapangan, Desember 2018
Bangunan dengan orientasi 22,60 - 67,50 atau
miring memiliki kuantitas yang paling banyak
yakni sebesar 262 bangunan. Banyaknya
bangunan yang berada pada orientasi miring
(22,6-67,50) karena bangunan memiliki pola
mengahadap kearah jaringan jalan (Gambar 18).

21-40 Tahun

0-22,50

>40 Tahun
Gambar 17. Karakteristik Umur Bangunan di Desa
Puncu
Sumber: Hasil Wawancara, Desember 2018
f. Orientasi Bangunan
Orientasi bangunan merupakan
kecenderungan sisi atau arah hadap bangunan
terhadap sesuatu (Naja dan Mardiatno, 2018).
Orientasi di Desa Puncu diidentifikasi dan 22,6-67,50
dihubungkan dengan letaknya terhadap
Gununggapi Kelud yang kaitannya dengan
tingkat kerusakan bangunan. Bangunan yang
menghadap langsung dengan arah datangnya
material dari suatu bencana maka cenderung
mengalami kerusakan lebih parah (Jenkins et al.,
2015). Berdasarkan hasil pengukuran
dilapangan, orientasi bangunan di Desa Puncu
yakni mulai dari 20-890. Orientasi bangunan
kemudian diklasifikasikan menjadi sejajar (0-
22,50), miring (22,6-67,50) dan tegak lurus (67,6- 67,6-900
900) dari Gunungapi Kelud (Tabel 9). Gambar 18. Karakteristik Orientasi Bangunan di
Tabel 9. Orientasi Bangunan di Desa Puncu Desa Puncu
Sumber: Identifikasi Lapangan, Desember 2018
Orientasi
Bangunan Jumlah Jenis Bangunan Distribusi orientasi bangunan di Desa Puncu
(0 ) membentuk suatu pola tertentu. Bangunan
Permukiman, Ruko, dengan orientasi sejajar (0-22,5 0) dan tegak lurus
0 – 22,5 74 Warung, SD, Kantor (67,6-900) banyak berada pada bagian Utara dan
Desa, Apotek Selatan desa yakni di Dusun Margomulyo, Dusun
22,6 – 67,5 262 Permukiman, Ruko, Pugeran dan Dusun Laharpang. Hal tersebut
Warung, Pertokoan, dikarenakan arah dari jaringan jalan yang
menghadap tegak lurus dengan Gunungapi pariwisata dan perkebunan, sedangkan bagian
Kelud. Ilustrasi orientasi bangunan di Desa Barat dan Timur desa digunakan untuk kegiatan
Puncu ditampilkan dalam Gambar 19. perkebunan, pertambangan dan pertanian.

6,3 Km dari Kaldera Gunungapi kelud

Gambar 19. Ilustrasi Orientasi Bangunan di Desa


Puncu
Sumber: Hasil Olah Data, 2019 9,9 Km dari Kaldera Gunungapi Kelud
g. Jarak dari Pusat Erupsi Gambar 20. Karakteristik Jarak Bangunan di Desa
Berdasarkan hasil pengukuran, bangunan di Puncu dari Kaldera Gunungapi Kelud
Sumber: Hasil Olah Data, 2019
Desa Puncu berjarak mulai dari 6,3 km hingga
3.2 Kerentanan Fisik Bangunan
9,9 km dari kaldera Gunungapi Kelud. Jarak yang
Penentuan tingkat kerentanan bangunan
telah diketahui kemudian diklasifikasikan
menggunakan beberapa skenario kejadian
berdasarkan Swardana, dkk. (2018) yang dibagi
karena dari setiap karakteristik bangunan
menjadi tiga yakni 0-2 km, 3-5 km dan 6-10 km
memiliki tingkat dominansi tertentu. Bila
(Tabel 10). Klasifikasi didasarkan juga pada zona
dirangkum secara holistik dengan cara membuat
KRB yang hubungannya dengan tingkat
matriks antar variabel, sehingga terdapat
kerusakan bangunan.
Tabel 10. Jarak Bangunan di Desa Puncu dari
karakteristik bangunan yang dinilai memiliki
Kaldera Gunungapi Kelud tingkat kerentanan yang dibagi menjadi tingkat
Jarak Jumlah Jenis Bangunan kerentanan tinggi, sedang dan rendah (Tabel 11).
dari Tingkat kerentanan pada tiap karakteristik
Pusat bangunan bisa saja dapat berubah seiring
Erupsi dengan perkembangan teknologi sehingga
(Km) karakteristik bangunan tertentu dapat menahan
0–2 0 - material jatuhan piroklastik Gunungapi.
3–5 0 - Tabel 11. Karakteristik Bangunan yang Memiliki
Permukiman, Masjid, Tingkat Kerentanan Rendah, Sedang dan
Mushola, Gereja, Sekolah, Tinggi secara Holistik Berdasarkan Tiap
Puskesmas, Kantor Variabel
Kecamatan, Kantor Desa, Tingkat Kerentanan
Ruko, Pos Pendinginan Variabel
6 – 10 416 Rendah Sedang Tinggi
Susu KUD Tani Jaya, KUD
Kelud, Apotek, Balai Kemiringa
>350 60 - 350 <60
Penyuluh Pertanian, n Atap
KORAMIL, Kantor Polisi, Beton
Warung, Gudang Material Bertulan/ Genteng/
Seng
Sumber: Pengukuran menggunakan Software ArcGIS Atap Baja Asbes
10.3 dengan Tools Measure, 2019 Ringan
Secara keseluruhan bangunan di Desa Puncu Beton
sebanyak 416 bangunan atau 100% berada pada Rangka Bertulan/
Kayu Bambu
klasifikasi jarak 6-10 km. Hal tersebut Atap Baja
dikarenakan area bangunan di Desa Puncu Ringan
memiliki karakteristik mengelompok dan berada Semi Non
Tipe Permane
Permane Permane
di bagian Utara desa (Gambar 20). Daerah Bangunan n
n n
Selatan desa lebih digunakan untuk kegiatan
Umur 0-20 21-40 >40
Bangunan Tahun Tahun Tahun
Orientasi 22,60 -
67,60 - 900 00 - 22,50
Bangunan 67,50
Jarak dari
Pusat 6-10 Km 3-5 Km 0-2 Km Tabel 12. Tingkat Kerentanan Bangunan Skenario I
Erupsi
Tingkat Jenisi
Sumber: Hasil Olah Data, 2019 Nilai Jumlah
Kerentanan Bangunan
Terdapat delapan skenario yang dibuat untuk 0,32
menganalisis tingkat kerentanan bangunan di Sangat Permukiman,
– 3
Desa Puncu dengan asumsi kekuatan erupsi Rendah Ruko
0,39
Gunungapi Kelud seperti pada tahun 2014 Permukiman,
0,40
dengan skala VEI 4. Hasil pengolahan data Rendah – 19
Warung,
kerentanan fisik bangunan menunjukkan bahwa Puskesmas,
0,46
kerentanan sangat bervariasi mulai dari skenario Kantor Polisi
I hingga skenario VIII. Permukiman,
Tingkat kerentanan bangunan di Desa Puncu Ruko, Warung,
Pertokoan,
berdasakan delapan skenario menunjukkan Masjid,
jumlah yang beragam pada tiap kelas 0,47 Mushola,
kerentanan. Berdasarkan studi literatur, Sedang – 167 Gereja, KUD
wawancara dengan masyarakat Desa Puncu dan 0,53 Kelud, Kantor
wawancara dengan dosen arsituktur bapak Dr. Desa, TK, Pos
Ing. Ir. Eugenius Pradipto serta identifikasi Pendinginan
dilapangan menujukkan skenario I (Gambar 21) Susu KUD Tani
paling representatif dibandingkan tujuh skenario Jaya
lainnya dengan asumsi kekuatan erupsi Tinggi 0,54 219 Permukiman,
– Ruko, Warung,
Gunungapi Kelud seperti pada tahun 2014 (VEI =
0,60 Gudang,
4) (Tabel 12). KORAMIL,
Mushola,
Apotek, Masjid,
Balai Penyuluh
Pertanian,
Kantor
Kecamatan,
SD, SMP
0,61
Sangat Permukiman,
– 8
Tinggi Gudang, Ruko
0,67
Sumber: Hasil Olah Data, 2019
Setiap kelas pada tingkat kerentanan fisik
bangunan memiliki karakteristik bangunan
masing-masing. Setiap jenis bangunan memiliki
karakteristik bangunan tersendiri dan tidak
semuanya sama pada satu kelas kerentanan dan
bersifat sangat heterogen, namun faktor yang
paling berpengaruh yakni kemiringan atap dan
material atap.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian tingkat kerentanan
fisik bangunan terhadap potensi erupsi
Gunungapi Kelud dapat disimpulkan bahwa:
1. Karakteristik bangunan didasarkan pada
variabel kemiringan atap, material atap, bahan
rangka atap, tipe bangunan, umur bangunan,
orientasi bangunan, dan jarak dari pusat
Gambar 21. Peta Skenario Kerentaan Fisik Bangunan erupsi. Karakteristik bangunan di Desa Puncu
di Desa Puncu yang dominan yakni berupa sudut kemiringan
Sumber: Hasil Olah Data, 2019 atap sebesar 60-350 sebanyak (61,5%), bahan
material atap berupa genteng dan asbes
sebanyak 209 bangunan (50,2%), bahan terintegrasi dengan GIS (WebGIS) ataupun
rangka atap berupa kayu sebanyak 384 dalam bentuk aplikasi yang memuat informasi
bangunan (92,3%), kemudian tipe bangunan terkait “Hidup Harmonis di Kawasan Rawan
yakni permanen sebanyak 368 bangunan Bencana (KRB) Gunungapi”. Hasil penelitian
(88,5%), umur bangunan yakni 0-20 tahun ini harapannya dapat menjadi awalan terkait
sebanyak 195 bangunan (46,9%), orientasi inventarisasi data mengenai bencana
atau arah hadap bangunan terhadap vulkanologi dan dapat diterapkan di
Gunungapi Kelud yakni 22,5 0-67,50 sebanyak Gunungapi lainnya di Indonesia sehingga
262 bangunan (63%) serta jarak bangunan menjadi suatu informasi yang bermanfaat bagi
dari pusat erupsi Gunungapi Kelud yakni instansi maunpun masyarakat umum.
antara 6-10 Km sebanyak 416 bangunan DAFTAR PUSTAKA
(100%). Akbar, F., Sufianto, H., dan Ramdlani, S. (2015).
2. Tingkat kerentanan fisik bangunan di Desa Model atap rumah yang tanggap terhadap
Puncu analisis menggunakan delapan abu/pasir vulkanik (Studi kasus: Letusan
skenario. Berdasarkan hasil studi literatur,
Gunungapi Kelud, Kecamatan Ngantang, Malang).
wawancara dengan ahli dan identifikasi
lapangan maka skenario yang digunakan Jurnal Mahasiswa Teknik Arsitektur, Vol. 3, No. 1.
dalam analisis adalah skenario I dengan Badan Pusat Statistika. (2018). Kecamatan Puncu
mempertimbangankan kemiringan atap dan dalam angka 2018. Kediri: Badan Pusat Statistika.
bahan material atap sebagai faktor utama Baxter, P.J., et al. (2005). The Impact of pyroclastic
dalam penentuan tingkat kerentanan surges on buildings at the eruption on the Soufriere
bangunan. Tingkat kerentanan bangunan di Hills Volcano, Montserrat. Journal of Bull Volcanol,
Desa Puncu kerentanan sangat rendah (0,32-
67, 292-313.
0,39) yakni sebanyak 3 bangunan (0,7%).
Kelas kerentanan rendah (0,40-0,46) yakni Frick, H., dan Moediarianto. (2004). Ilmu konstruksi
sebanyak 19 bangunan (4,6%). Kelas bangunan kayu. Semarang: Kanisius.
kerentanan sedang (0,47-0,53) yakni Hadmoko, D.S., et al. (2018). Post-eruptive lahars at
sebanyak 167 bangunan (40,1%). Kelas Kali Putih following the 2010 Hazards. Natural
kerentanan tinggi (0,54-0,60) yakni sebanyak Hazards. https://doi.org/10.1007/s11069-018-3396-
219 bangunan (52,6%). Kelas kerentanan 7.
sangat tinggi (0,61-0,67) yakni sebanyak 8
Hizbaron, D.R., Hadmoko, D.S., Samodra, G.,
bangunan (1,9%).
4.2 Saran Dalimunthe, S.A. dan Sartohadi, J. (2010).
1. Upaya tindakan mitigasi yang dapat Tinjauan kerentanan, risiko, dan zonasi rawan
diterapkan terkait kerentanan fisik bangunan bahaya rockfall di Kulonporgo, Yogyakarta. Forum
terhadap material jatuhan piroklastik di Desa Geografi, 24(2), 119-136.
Puncu yakni memperkuat konstruksi Hizbaron, D.R., et al. (2011). Assessing social
bangunan khusunya dalam hal kemiringan vulnerability to seismic hazard through spatial multi
atap, bahan material atap dan rangka atap.
criteria evaluation in Bantul District, Indonesia.
Bahan atap dari beton bertulang sangat dinilai
paling baik karena tersusun dari campuran Conference of Development on the Margin.
bahan besi, kerikil, pasir dan semen sehingga Tropentag 2011, University of Bonn, Bonn,
sangat kokoh. Selain atap yang terbuat dari Germany, October 5-7, 2011.
beton bertulang, tindakan mitigasi lainnya Jenkins, S.F., et al. (2014). Volcanic risk assessment:
yakni dapat membuat sudut kemiringan atap Quantifying physical vulnerability in the built
yakni minimal sebesar 400, bahan material environment. Journal of Volcanology and
atap terbuat dari baja ringan serta rangka atap
terbuat dari baja ringan atau kayu. Geothermal Research, 276, 105-120.
2. Perkembangan teknologi informasi dan http://dx.doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2014.03.002.
internet of things (IoT) pada era revolusi Jenkins, S.F., et al. (2015). Developing building-
industri 4.0 berdampak pada kajian ilmu damage scales for lahars: Application to Merapi
geografi. Hasil penelitian tingkat kerentanan Volcano, Indonesia. Bull Vulcanol, 77-75. https://
fisik bangunan dapat dikembangkan menjadi doi.org/10.1007/s00445-015-0961-8.
digitalisasi sebagai suatu bentuk adaptasi
Karlina, I.I., dan Mardiatno, D. (2016). Analisis tingkat
terhadap perkembangan teknologi. Informasi
tingkat kerentanan fisik bangunan yang kerawanan longsor pada sebagian jalan kelas IIIC
berada di Desa Puncu terhadap potensi erupsi di Sub-DAS Gesing, Kabupaten Purworejo. Thesis.
Gunungapi Kelud harapannya kedepan dapat
ditampilkan dalam bentuk website yang
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. (2014). Gunungapi Kelud 2014. Yogyakarta: Pustaka
Geomagz: Gelegar Kelud 2014. Bandung: Pelajar.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Zaennudin, Akhmad. (2009). Prakiraan bahaya erupsi
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. (2014). Gunung Kelud. Bulletin Vulkanologi dan Bencana
Gunung Kelud. Diakses pada 04 Juli 2018 Pukul Geologi, 2, 7-17.
22.34 WIB dari
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/dat
a-dasar-gunungapi/538-g-kelud .
Maqsood, T., et al. (2014). GAR15 Regional
Vulnerability Function. UNISDR/GA SE Asian
Regional Workshop on Structural Vulnerability
Models for the GAR Global Risk Assessment,
pg.90 about Volcanic Ash.
Merliyuanti, T. (2013). Pemanfaatan data curah hujan
untuk prediksi persebaran penyakit hawar daun
bakteri menggunakan model SMCE (Spatial Multi
Criteria Evaluation) studi kasus: tanaman padi di
Kabupaten Karawang. Skripsi. Bogor: Intitut
Pertanian Bogor.
Naja, D.A., dan Mardiatno, D. (2018). Analisis
kerentanan fisik permukiman di kawasan rawan
bencana tsunami wilayah pesisir Parangtritis,
Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia, 1.
Nunziante, L., et al. (2003). Risk assessment of the
impact of pyroclastic currents on the towns located
around Vesuvio: a non-linier structural inverse
analysis. Bull Volcano, 65:547-561. DOI
10.1007s0045-003-0282-1.
Pangaribuan, M.R. (2014). Baja ringan sebagai
pengganti kayu dalam pembuatan rangka atap
bangunan rumah masyarakat. Jurnal Teknik Sipil
dan Lingkungan, Vol. 2, No. 4, Desember 2014.
ISSN: 2355-374X.
Paripurno, E.T., dkk. (2015). Hubungan sebaran
endapan piroklastika dan tingkat kerusakan
bangunan permukiman pada kasus erupsi G. Kelud
2014 di Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur.
Pertemuan Ilmiah tahunan (PIT) KE-2 Ikatan Ahli
Kebencanaan Indonesia (IABI) Graha Sabha
Pramana UGM, Yogyakarta.
Sudarmaji. (2014). Analisa sisi positif dan negatif
pemilihan bentuk atap berpenutup genteng untuk
rumah tinggal. Jurnal Teknik Sipil, Vol.1.
Sudaryono. (2017). Metode penelitian. Jakarta:
Rajawali Press.
Tatas, dkk. (2015). Simulasi pengaruh kemiringan
atap rumah terhadap hujan pasir erupsi gunungapi.
Jurnal Aplikasi, Vol.13, No. 2.
Wadhana, G.M.K., dkk. (2014). Pemetaan daerah
rawan jatuhan material piroklastik: Kasus erupsi

You might also like