You are on page 1of 14

PERILAKU BERPACARAN REMAJA KOTA SURABAYA

SEBAGAI INDIKATOR PENYIMPANGAN


BATAS-BATAS NORMATIF PERGAULAN BUDAYA
TIMUR
Febriliani Masitoh,
Ernawati,
Afti Zahrotin Nur,
Makhdum Ibrahim Rahman
Jurusan Statistika/FMIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jalan Arief Rahman Hakim, Surabaya

Abstract--The number of teenagers in East Java in 2014 reached 15.65 percent. By age group,
early adolescents have the highest number that is 54.45 percent. Then 28.20 percent mid-teens,
and the late teens as much as 17.35 percent. Social problems in adolescence become a very
interesting topic because adolescence is a period of transition from childhood to adulthood is
marked by accelerating the development of physical, mental, emotional, and social. One thing
that is usually to do for most teens are dating. Some dating leads to negative things that break
the boundaries of normative eastern cultures such as kissing, cuddling, up to have sex in public.
This study investigates the behavior of teenage dating in Surabaya with some dimensions that
associated with the dependent and independent variables. The dependent variable consists of a
low-risk and high-risk level, while the independent variables are variables that influence the risk
level of dating behavior. The method used for modeling in adolescent courtship behavior
Surabaya using binary logistic regression approach. The data used is primary data obtained
from a survey of private SMA/ MA / SMK kota Surabaya. The results showed that the percentage
of deviant behavior dating dominated by teenagers who feel reasonable to hugging, kissing, and
prefer the path alone without inviting friends when dating. The factors that significantly
influence the level of risk dating behaviour is knowledge of reproductive health, exposure to
pornographic media, peer influences, gender, and parental education.
Keywords: adolescence; binary logistic regressio; dating; deviant behavior; Surabaya.

Abstrak--Jumlah remaja di Jawa Timur mencapai 15,65 persen dari total penduduk pada tahun
2014. Menurut kelompok usia, remaja awal mempunyai jumlah terbanyak yaitu 54,45 persen.
Selanjutnya diikuti remaja menengah yaitu 28,20 persen, serta remaja akhir sebanyak 17,35
persen. Permasalahan sosial pada masa remaja menjadi topik yang sangat menarik. Hal ini
dikarenakan masa remaja merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang
ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Salah satu hal
yang tidak asing dilakukan bagi sebagian besar remaja adalah berpacaran. Namun, tidak sedikit
remaja yang berpacaran mengarah pada hal-hal negatif yang melanggar batas-batas normatif
budaya timur seperti berciuman, berpelukan hingga melakukan hubungan seksual di depan
umum. Penelitian ini ingin mengetahui perilaku berpacaran remaja kota Surabaya dengan
beberapa dimensi yang dihubungkan dengan variabel dependen dan independen. Variabel
dependen terdiri dari tingkat risiko rendah dan tingkat risiko tinggi, sedangkan variabel
independen terdiri dari variabel-variabel yang diduga memengaruhi tingkat risiko perilaku
berpacaran. Metode yang dilakukan untuk pemodelan dalam perilaku pacaran remaja kota
Surabaya menggunakan pendekatan regresi logistik biner. Data yang digunakan merupakan data
primer yang diperoleh dari survei terhadap siswa SMA/MA/SMK swasta kota Surabaya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa persentase perilaku berpacaran menyimpang didominasi oleh
remaja yang merasa wajar berpelukan, berciuman, dan lebih memilih jalan berdua saja tanpa
mengajak teman saat berpacaran. Adapun faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat
risiko perilaku berpacaran remaja adalah pengetahuan kesehatan reproduksi, keterpaparan media
pornografi, pengaruh teman sebaya, jenis kelamin, dan pendidikan orang tua.
Kata Kunci: Berpacaran; menyimpang; regresi logistik biner; remaja; Surabaya

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 332


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang
ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Masa remaja
merupakan masa cemerlang di mana muncul ide dan kreatifitas yang positif untuk
membangun masa depan yang baik. Pada masa ini mulai tumbuh rasa keingintahuan yang
besar terhadap sesuatu sehingga remaja lebih rentan terpengaruh lingkungan dan teman
sebaya serta mudah terjebak dalam pergaulan bebas termasuk pacaran. Perilaku berpacaran
remaja saat ini cenderung menyimpang dari batas-batas normatif pergaulan dan cenderung
memberikan dampak negatif.
Orang tua merasa resah melihat perilaku remaja sekarang yang tidak mempunyai
norma kesopanan dan tidak mengindahkan batasan normatif pergaulan budaya timur
sehingga terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan. Pergaulan remaja saat ini
berada pada tingkat mengkhawatirkan terbukti dengan banyaknya kasus yang melibatkan
remaja, seperti seks bebas yang dilakukan anak di bawah umur, pemerkosaan akibat
keseringan menonton film porno, dan beberapa kasus lainnya. Berdasarkan pada uraian
tersebut maka dilakukan penelitian terhadap perilaku berpacaran remaja kota Surabaya.
Penelitian dilakukan pada remaja di Surabaya karena merupakan kota besar kedua di
Indonesia, seperti yang diketahui bahwa tingkat pergaulan di kota besar cenderung lebih
bebas. Selain itu, kota Surabaya merupakan kota dengan jumlah kasus Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD) terbesar di Jawa Timur (Guntur, 2016).
Tujuan dari penelitian ini adalah mendiskripsikan karakteristik responden berdasarkan
faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat risiko perilaku berpacaran remaja dan
memodelkan tingkat risiko perilaku berpacaran dengan variabel indikator yang diduga
memengaruhi perilaku berpacaran remaja menggunakan pendekatan metode regresi logistik
biner. Regresi logistik biner adalah metode analisis data untuk mencari hubungan antara
variabel respons (Y) yang bersifat dikotomus yaitu tingkat risiko perilaku berpacaran rendah
dan tingkat resiko perilaku berpacaran tinggi serta variabel prediktor (X) yang bersifat
polikotomus.

Kerangka Pikir

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 333


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

Perilaku berpacaran remaja dapat dikategorikan menjadi tingkat risiko rendah (Y=0)
dan tingkat risiko tinggi (Y=1). Pacaran dikatakan mempunyai tingkat risiko tinggi jika
menyimpang dari batas-batas pergaulan seperti berciuman, berpelukan hingga melakukan
hubungan seksual di depan umum. Pada penelitian ini, tingkat risiko perilaku berpacaran
menjadi variabel dependen, sedangkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap
tingkat risiko menjadi variabel independen. Hubungan antara variabel dependen dan
independen ditunjukkan pada Gambar 1.

Variabel independen (X):


- Pengetahuan kesehatan
reproduksi
- Sikap permisif
- Keterpaparan media Variabel
pornografi Regresi dependen (Y):
- Pengaruh teman sebaya Logistik - Tingkat risiko
- Peran orang tua Biner rendah
- Jenis Kelamin - Tingkat risiko
- Pendidikan orang tua tinggi
- Pekerjaan orang tua
- Jenis Sekolah
- Kepemilikan pacar
- Usia pertama pacaran
- Banyak pacaran

Gambar 1. Hubungan Variabel Dependen dan Independen

Regresi logistik biner adalah metode analisis data untuk mencari hubungan antara
variabel respons (Y) yang bersifat dikotomus dengan variabel prediktor (X) yang bersifat
kontinu atau kategorik (Agresti, 1990). Fungsi probabilitas yang terbentuk berdasarkan
model logit ditunjukkan pada persamaan (1).

(1)

Dalam mempermudah pendugaan parameter regresi maka model regresi logistik pada
persamaan (1) diuraikan dengan menggunakan transformasi logit dari . Persamaan (2)

menunjukkan transformasi logit dari .

(2)

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 334


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui
survei. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah sampling acak sederhana. Proporsi
yang digunakan sebesar 0,5 karena peneliti mengasumsikan bahwa 50 persen responden
memiliki tingkat risiko perilaku berpacaran tinggi dan 50 persen responden memiliki tingkat
risiko perilaku berpacaran rendah. Jumlah responden sebanyak 300 responden dengan
komposisi siswa SMA sebanyak 61 responden, MA sebanyak 99 responden, dan SMK
sebanyak 140 responden.

Sumber: Mendenhall, W. (1986)

Keterangan:
n = jumlah sampel yang terambil
p = proporsi remaja di Surabaya yang berpendapat bahwa perilaku berpacaran remaja
mempunyai tingkat risiko tinggi
q = proporsi remaja di Surabaya yang berpendapat bahwa perilaku berpacaran remaja
mempunyai tingkat risiko rendah
N = jumlah siswa SMA/MA/SMK di Surabaya
D = batas kesalahan taksiran di mana dengan dan

ANALISIS DAN HASIL

Karakteristik Responden

Karakteristik responden pada penelitian ini dibagi menjadi 6 karakter, yaitu jenis
kelamin, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, kepemilikan pacar, banyak berpacaran,
dan usia saat pertama kali pacaran. Gambaran umum mengenai karakteristik responden
dijelaskan sebagai berikut.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 335


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

Rendah Tinggi

36%
69.6%
64%
30.3%

Perempuan Laki-laki

Gambar 2. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Jenis Sekolah dan Jenis Kelamin

SMA MA SMK
89

55 51
44
33 28

Risiko Rendah Risiko Tinggi

Gambar 3. Menunjukkan bahwa Sebesar 56 persen (55 responden) siswa

Gambar 3 menunjukkan bahwa MA cenderung memiliki perilaku pacaran dengan


tingkat risiko tinggi. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat risiko siswa
SMA maupun SMK. Berdasarkan jenis sekolah, siswa SMA dengan tingkat risiko perilaku
berpacaran tinggi sebesar 46 persen (28 responden), sedangkan SMK sebesar 36 persen (51
responden). Hal ini menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki basis keagamaan kuat
belum tentu memiliki tingkat risiko perilaku berpacaran yang rendah dan sebaliknya, sekolah
yang berbasis non-agama belum tentu memiliki tingkat risiko perilaku berpacaran yang
tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa jenis sekolah tidak menentukan tingkat risiko
perilaku pacaran remaja. Pada gambar 2 dapat diketahui bahwa siswa laki-laki cenderung
memiliki perilaku pacaran dengan tingkat risiko tinggi sebesar 69,62 persen (55 responden),
lebih besar daripada remaja perempuan yang tercatat 36 persen. Hal ini sebagai salah satu

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 336


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

indikasi bahwa remaja laki-laki cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan dengan
remaja perempuan.

Punya Tidak Punya Tidak punya Punya

106 84
37% 60 50
63%

Risiko Rendah Risiko Tinggi

(a) (b)

Gambar 4. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan


Kepemilikan Pacar Saat Ini

Gambar 4 (a) menunjukkan jumlah remaja yang memiliki pacar sebesar 37 persen (110
responden), lebih kecil dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pacar sebesar 63
persen (190 responden). Meskipun demikian, tidak berarti bahwa remaja terbebas dari
perilaku pergaulan bebas. Tingkat risiko tinggi pada remaja yang tidak mempunyai pacar
sebesar 44 persen, sedangkan remaja yang punya pacar sebesar 45 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa status kepemilikan pacar tidak memengaruhi kecenderungan remaja
memiliki perilaku berpacaran dengan tingkat risiko tinggi.

Belum pernah SD SMP SMA Belum pernah 1 kali 2 kali > 2 kali

72 69
56 58 56 58 56
39
22 28 19 22
16 9 15 5

Risiko Rendah Risiko Tinggi Risiko Rendah Risiko Tinggi

(a) (b)

Gambar 5. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Usia Pertama


dan Banyak Pacaran

Seiring dengan perkembangan zaman, usia pertama kali pacaran juga semakin muda
di mana distibusinya dapat dilihat pada Gambar 5 (a) sebanyak 50 responden memulai

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 337


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

berpacaran saat usia SD (9-12 tahun), saat usia SMP (13-15 tahun) sebanyak 111 responden
dan saat usia SMA (16-17 tahun) sebanyak 25 responden. Risiko tinggi perilaku berpacaran
didominasi oleh remaja yang memulai pacaran saat usia SMP di mana pada usia ini rasa
keingintahuan sangat besar. Gambar 5 (b) menunjukkan bahwa 67,2 persen (125 responden)
mengaku telah berpacaran lebih dari dua kali di mana lebih dari separuhnya cenderung
memiliki perilaku pacaran berisiko tinggi.

Petani Karyawan Wiraswasta Polisi/TNI/ABRI Lainnya

106
79
25 30 38
4 1 2 13 2

Risiko Rendah Risiko Tinggi

Gambar 6. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua

Orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan perkembangan dan
pola pikir anak sehingga pekerjaan orang tua memengaruhi perkembangan anak termasuk
perilaku pacaran anak. Gambar 6 menunjukkan bahwa dari 134 respoden yang berisiko
tinggi, sebanyak 79 responden atau 59 persen didominasi oleh orang tua yang bekerja
Wiraswasta karena orang tua sibuk bekerja sehingga orang tua tidak optimal dalam
melakukan pengawasan.

SD SMP SMA Diploma Sarjana

56 46 57 65
24 34
3 4 1 10

Risiko Rendah Risiko Tinggi

Gambar 7. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Pendidikan Orang Tua

Perilaku anak juga dipengaruhi latar belakang pendidikan orang tua karena orang tua
merupakan pendidik pertama bagi anaknya di luar pedidikan formal. Gambar 7
menunjukkan bahwa dari 134 respoden yang berisiko tinggi, sebanyak 49 persen (65
responden) didominasi oleh orang tua yang berpendidikan SD. Hal ini berarti bahwa remaja
dengan orang tua yang berpendidikan SD cenderung memiliki perilaku pacaran dengan
tingkat risiko tinggi.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 338


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

Kurang Baik Tidak permisif Permisif

156
118 102
48 66 68
10 32

Risiko Rendah Risiko Tinggi Risiko Rendah Risiko Tinggi

(a) (b)

Gambar 8. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Pengetahuan


dan Sikap Permisif

Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi remaja seperti disajikan pada Gambar 8


(a) dikategorikan menjadi pengetahuan kurang dan pengetahuan baik. Sebanyak 134
responden yang berisiko tinggi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah yang
berpengetahuan kurang maupun baik. Hal ini berarti bahwa pengetahuan seseorang tidak
menjamin sepenuhnya terhadap tingkat risiko perilaku berpacaran karena diduga ada
pengaruh faktor lain yang lebih dominan dari pengetahuan. Pada Gambar 8 (b) diketahui
bahwa sebagian besar responden memiliki sikap tidak permisif terhadap perilaku seks
pranikah, di mana sikap tidak permisif ini akan cenderung terhadap perilaku pacaran risiko
rendah.

Tidak terpapar Terpapar Negatif Positif

95 106
71 96 97
70
28 37

Risiko Rendah Risiko Tinggi Risiko Rendah Risiko Tinggi

(a) (b)
Gambar 9. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Keterpaparan Media dan
Pengaruh Teman

Gambar 9 (a) menunjukkan bahwa responden yang terpapar media pornografi akan
cenderung memiliki perilaku pacaran risiko tinggi yaitu sebesar 35,3 persen (106

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 339


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

responden). Selain media, pengaruh teman juga menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam
perilaku seseorang. Berdasarkan Gambar 9 (b) dapat dilihat bahwa responden yang memiliki
teman dengan pengaruh negatif cenderung beperilaku pacaran risiko tinggi, dan sebaliknya.

Kurang Berperan Berperan

114
86
52 48

Risiko Rendah Risiko Tinggi

Gambar 10. Distribusi Tingkat Risiko Berdasarkan Peran Orang Tua

Keterlibatan orang tua responden dalam hal mengontrol pergaulan anak dikategorikan
menjadi kurang berperan dan berperan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 10.
Sebagian besar responden mengaku terbuka mengenai pergaulannya kepada orang tua.
Meskipun demikian, masih belum ada efek nyata yang terlihat di mana risiko tinggi masih
didominasi oleh orang tua yang berperan dalam pergaulan.
Menurut Lesteri (2015) bahwa pola perilaku gaya pacaran remaja dianggap
menyimpang seperti berpegangan tangan, berangkulan, kontak mata yang terlalu dekat,
memeluk bagian pinggang dan lain-lain. Terlihat jelas bahwa pergaulan remaja saat ini
sudah sampai tingkat mengkhawatirkan dan cenderung mengarah pada penyimpangan
normatif pergaulan budaya timur. Terdapat perbedaan yang mencolok antara perilaku
berpacaran remaja zaman dahulu dan sekarang di mana remaja zaman dahulu masih tetap
berpegang teguh terhadap nilai budaya masyarakat yang ada sehingga perilaku berpacaran
saat itu tidaklah terlalu menyimpang. Adapun indikator perilaku berpacaran menyimpang
jika melebihi bergandengan tangan saat bertemu pacar, wajar berpelukan, wajar melakukan
ciuman, bertemu pacar setiap hari menjadi kebutuhan, saat kencan lebih memilih berdua
daripada mengajak teman, tidak malu bermesraan di depan umum, berhubungan seks
menjadi tanda cinta, dan memilih tempat sepi saat kencan.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 340


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

3% 2% 5%
9%
17%
36%
19%
8%

Bergandengan Berpelukan Berciuman Intensitas bertemu


Kencan berdua Bermesraan Berhubungan seks Tempat kencan

Gambar 11. Komposisi Perilaku Berpacaran Remaja Berdasarkan Indikator Menyimpang

Gambar 11 menunjukkan persentase perilaku berpacaran remaja berdasarkan indikator


perilaku berpacaran menyimpang. Persentase perilaku berpacaran menyimpang didominasi
oleh remaja yang merasa wajar berpelukan saat berpacaran yaitu sebesar 36 persen, sebesar
19 persen remaja sudah biasa berciuman saat berpacaran, serta sebesar 17 persen remaja
lebih memilih jalan berdua saja tanpa mengajak teman. Hal tersebut menunjukkan terjadinya
pergeseran perilaku berpacaran remaja yang sudah tidak mengindahkan kaidah norma dan
peraturan yang berlaku di masyarakat.

Regresi Logsitik Biner Tingkat Risiko Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya
dengan Variabel yang Diduga Memengaruhinya
Analisis regresi logistik biner digunakan untuk mengetahui pola hubungan variabel
prediktor dengan variabel respons yang bersifat kategori. Variabel respons dalam penelitian
ini adalah persepsi tingkat risiko perilaku berpacaran remaja dengan dua kategori. Variabel
respons (Y) dikategorikan 0 bila tingkat risiko rendah dan dikategorikan 1 apabila tingkat
risiko tinggi. Metode yang digunakan adalah metode Backward Wald dengan α (0,05).
Sebelum melakukan pemodelan dilakukan pengujian independensi, serentak, dan
parsial. Adapun hasil pengujian dependensi menghasilkan bahwa semua variabel prediktor
mempunyai hubungan dengan tingkat risiko perilaku berpacaran remaja adalah kepemilikan
pacar, pekerjaan, dan peran orang tua. Uji serentak memberikan kesimpulan bahwa minimal
ada satu variabel prediktor yang berpengaruh signifikan pada tingkat risiko perilaku
berpacaran remaja.Selanjutnya dilakukan pengujian parsial dengan hasil seperti pada Tabel.
1.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 341


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

Tabel 1.
Pengujian parsial pada variabel independen

Variabel B S.E. Sig. Exp(B)


X1(1) -0,605 0,284 0,033 0,546
X3(1) 1,442 0,289 0,000 4,227
X4(1) -0,750 0,283 0,008 0,472
X6(1) 1,028 0,318 0,001 0,797
X7(1) -0.519 0.354 0,142 0,595
X7(2) -0,593 0,326 0,069 0,553
X7(3) -1,779 1,270 0,161 0,169
X7(4) 0,906 0,693 0,191 2,473
Konstanta 0,415 0,343 0,227 0,661

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang diduga berpengaruh pada
tingkat risiko perilaku berpacaran remaja terdapat lima variabel signifikan yaitu variabel
pengetahuan kesehatan reproduksi, keterpaparan media pornografi, pengaruh teman sebaya,
jenis kelamin, dan pendidikan orang tua, sehingga diperoleh model regresi logistik biner
sebagai berikut.

Besarnya pengaruh masing-masing variabel prediktor terhadap tingkat risiko perilaku


berpacaran remaja dapat dilihat berdasarkan Exp (B) atau odds ratio yang dihasilkan masing-
masing variabel prediktor pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa remaja dengan
pengetahuan kesehatan reproduksi kategori baik cenderung mempunyai risiko tinggi 0,546
kali dibandingkan remaja dengan pengetahuan kurang. Remaja yang terpapar pornografi
cenderung mempunyai risiko tinggi 4,227 kali dibandingkan remaja yang tidak terpapar
media pornografi. Remaja yang memiliki pengaruh teman positif cenderung memiliki risiko
tinggi 0,472 kali dibandingkan remaja yang memiliki pengaruh teman negatif.
Remaja laki-laki cenderung mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap perilaku
berpacaran 0,797 kali dibandingkan remaja perempuan. Remaja dengan pendidikan terakhir
orang tua SMP mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap perilaku berpacaran 0,595 kali
dibandingkan pendidikan SD. Selanjutnya, remaja dengan pendidikan terakhir orang tua
adalah SMA mempunyai tingkat risiko tinggi 0,553 kali dibandingkan pendidikan SD.
Remaja dengan pendidikan terakhir orang tua adalah Diploma mempunyai tingkat risiko

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 342


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

tinggi 0,169 kali dibandingkan pendidikan SD. Remaja dengan pendidikan terakhir orang
tua adalah Sarjana mempunyai tingkat risiko tinggi 2,473 kali dibandingkan pendidikan SD.
Pengetahuan orang tua dalam hal ini pendidikan terakhir yang ditempuh orang tua
memengaruhi tingkat risiko perilaku berpacaran remaja. Hal ini berarti bahwa jika tingkat
pengetahuan orang tua rendah maka akan meningkatkan tingkat keterpaparan media
pornografi pada remaja.Orang tua yang berpendidikan rendah cenderung kurang mengikuti
perkembangan teknologi sehingga tidak bisa mengawasi dan mengikuti pergaulan remaja di
dunia maya. Padahal keterpaparan media pornografi paling banyak ditemukan di internet
dan bisa leluasa diakses. Berikut diagram yang menunjukkan persentase remaja yang
terpapar media pornografi berdasarkan pendidikan terakhir orang tua.

SD
2%
4%
SMP
28% 44%
SMA
22%
Diploma
Sarjana

Gambar 12. Persentase Remaja Terpapar Media Berdasarkan Pendidikan Orang


Tua

Gambar 12 menunjukkan bahwa sebanyak 44 persen dari remaja kota Surabaya yang
terpapar media pornografi mempunyai orang tua dengan pendidikan terakhir SD, persentase
ini paling tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan terakhir lainnya. Ketidakpahaman
orang tua dalam menggunakan media teknologi yang disebabkan pendidikan rendah
membuat anak menyalah-gunakan fungsinya yaitu untuk melihat situs pornografi. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan media teknologi harus diawasi orang tua dan sangat
dianjur-kan agar orang tua dapat mengecek media sosial apa yang digunakan serta dengan
siapa anak remajanya bergaul.

DISKUSI

Penelitian yang dilakukan oleh Muliyati (2012) mengenai faktor-faktor yang


berhubungan dengan perilaku gaya pacaran pada siswa di Kabupaten Sidrap, Provinsi

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 343


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Perilaku Berpacaran Remaja Kota Surabaya sebagai Indikator Penyimpangan Batas-Batas
Normatif Pergaulan Budaya Timur

Sulawesi Selatan memperoleh hasil bahwa jenis kelamin laki-laki lebih berisiko dibanding
dengan perempuan di mana hasil ini sama dengan penelitian ini bahwa remaja laki-laki
cenderung memiliki perilaku pacaran dengan tingkat risiko tinggi sebesar 69,62 persen.
Berdasar penelitian Muliyati (2012), faktor yang berhubungan dengan perilku gaya pacaran
berisiko adalah keterpaparan media pornografi dan pengaruh teman sebaya. Pada penelitian
ini tingkat risiko perilaku berpacaran remaja di Surabaya dipengaruhi oleh lima variabel
yaitu pengetahuan kesehatan reproduksi, keterpaparan media pornografi, pengaruh teman
sebaya, jenis kelamin, dan pendidikan orang tua. Berdasar dua penelitian tersebut
keterpaparan media pornografi dan pengaruh teman sebaya berpengaruh terhadap tingkat
risiko perilaku berpacaran remaja baik di Sulawesi Selatan maupun Surabaya. Selain itu baik
penelitian Muliyati (2012) maupun penelitian ini menghasilkan bahwa jenis kelamin
memengaruhi tingkat risiko perilaku berpacaran remaja.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa persentase perilaku berpacaran


menyimpang didominasi oleh remaja yang merasa wajar berpelukan, berciuman, dan lebih
memilih jalan berdua saja tanpa mengajak teman saat berpacaran. Remaja yang memiliki
tingkat risiko perilaku berpacaran tinggi dipengaruhi oleh pengetahuan kesehatan
reproduksi, keterpaparan media pornografi, pengaruh teman sebaya, jenis kelamin, dan
pendidikan orang tua.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka untuk
menurunkan tingkat risiko perilaku berpacaran remaja, saran yang dapat penulis sampaikan
adalah sebagai berikut.
1. Bagi sekolah agar menyediakan media penunjang pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja di setiap kelas seperti poster dan leaflet serta menambah
kegiatan positif di luar jam sekolah seperti ekstrakurikuler.
2. Bagi orang tua agar lebih membuka diri untuk berdiskusi dengan anak remajanya
tentang kesehatan reproduksi dan pergaulan remaja.
3. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) agar memberikan pelatihan kepada
orang tua yang berpendidikan terakhir SD mengenai teknologi sehingga orang
tua mampu mengikuti perkembangan teknologi.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 344


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016
Febriliani Masitoh, Ernawati, Afti Zahrotin Nur, Makhdum Ibrahim Rahman

DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (1990). Categorical data analysis. New York, NY: John Wiley and Sons Inc.
Guntur, Y. (2016). Home:Kasus KTD Surabaya Terbesar Se Jawa Timur. Samsaranews.
Diunduh dari http://www.samsaranews.com/
Lesteri, T. S. (2015). Perubahan perilaku pacaran remaja sekolah pertama Negeri 2
Sendawar di Kutai Barat. E-Journal Sosiatri-Sosiologi, 3(4), 11-25.
Mendenhall, W. (1986).Elementary Survey Sampling (3th ed.). Boston, MA: Duxbury Press.
Muliyati. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Gaya Pacaran Pada
Siswa Smu X dan Man Y Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan (Skripsi Tidak
dipublikasikan). Universitas Indonesia, Depok.

Prosiding Seminas Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 345


“Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”
Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016

You might also like