You are on page 1of 15

JURNAL HUKUM

ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PENERAPAN GUGATAN FIKTIF KTUN BERDASARKAN PASAL 3 UU NOMOR 5


TAHUN 1986 JO. UU NOMOR 9 TAHUN 2004 BERDASARKAN KASUS PENUNTUTAN
TERHADAP ANIES BASWEDAN

Santi Hapsari Dewi Adikancana 1 Agung Ramadhan Seli2 Hanna Firdausa Pratonggopati3 Sarimah
Yemima Br Girsang4

ABSTRACT

The State Administrative Court is the scope of the judiciary whose function is to resolve cases if there
is a deviation from the duties and authorities of the State Administration agency or official. In its
development, previously the lawsuit in the State Administrative Court was only limited to a decision
issued by the government that was detrimental to the community. However, along with the times,
fictitious lawsuits are known, namely lawsuits against the government's attitude that does not heed
requests from the public. In this journal, the case discussed is regarding a lawsuit against a Fictitious
Negative Decision. The case raised is the case of the Governor of DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Anies Baswedan was sued by the community who became victims of the 2021 Flood. This study uses
a normative juridical method that is used based on a positive legal norm approach. This study is also
descriptive analytical in which the solution is obtained from a problem being studied and then
matched with the circumstances or facts that are currently happening. Based on this research, it can
be seen that the community can file a lawsuit against the government's attitude that does not heed the
request from the community.
Keywords: Gugatan fiktif, Anies Baswedan, Pengadilan Tata Usaha Negara

1
santi.hapsari@unpad.ac.id
2
NPM: 110110200214, Email: agung20005@mail.unpad.ac.id
3
NPM: 110110200215, Email: hanna20007@mail.unpad.ac.id
4
NPM: 110110200221, Email: sarimah20001@mail.unpad.ac.id
ABSTRAK

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkup peradilan yang berfungsi untuk menyelesaikan
perkara jika terjadi suatu penyelewengan terhadap tugas dan wewenang badan atau pejabat Tata
Usaha Negara. Pada perkembangannya, sebelumnya gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
hanyalah sebatas putusan yang diterbitkan oleh pemerintah yang merugikan masyarakat. Namun
seiring perkembangan zaman, dikenal gugatan fiktif yaitu gugatan terhadap sikap pemerintah yang
tidak mengindahkan permohonan dari masyarakat. Dalam jurnal ini, kasus yang dibahas adalah
mengenai gugatan terhadap Putusan Fiktif Negatif. Kasus yang diangkat adalah Kasus Gubernur DKI
Jakarta, Anies Baswedan. Anies Baswedan digugat oleh masyarakat yang menjadi korban dari Banjir
2021. Kajian ini menggunakan metode yuridis normatif yang digunakan berdasarkan pendekatan
norma hukum positif. Kajian ini juga bersifat deskriptif analitis dimana penyelesaian didapatkan dari
suatu masalah yang diteliti kemudian dicocokan dengan keadaan atau fakta yang sedang terjadi.
Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa masyarakat dapat melakukan gugatan terhadap
sikap pemerintah yang tidak mengindahkan permohonan dari masyarakat.
Kata kunci : Gugatan fiktif, Anies Baswedan, Pengadilan Tata Usaha Negara
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan
dengan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara berfungsi sebagaimana mestinya setelah
lima tahun diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Peradilan TUN). Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 pada saat itu ditetapkan melalui
Putusan Presiden No. 52 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian, cita-cita untuk membentuk undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah
dimulai sejak dikeluarkannya Undang- Undang Dasar 1945 . Hal tersebut diketahui dari isi Pasal
24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan badan kehakiman lainnya menurut undang-undang. Hal ini menandakan bahwa kekuasaan
kehakiman diharapkan dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya untuk
menciptakan suatu keadilan. Tentunya susunan dari badan kehakiman wajib bersesuaian dengan
undang-undang.
Melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, cita- cita
untuk membuat Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang sudah diimpikan sejak
terbentuknya UUD 1945 menjadi terealisasikan. Sesuai dengan diundangkannya ketentuan
tersebut, pelaksanaan tugas dan wewenang badan atau pejabat Tata Usaha Negara menjadi lebih
terawasi. Dengan begitu, maka jika terjadi suatu penyelewengan terhadap tugas dan wewenang
badan atau pejabat Tata Usaha Negara, pihak yang merasa dirugikan berhak untuk menggugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Hal yang digugatkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara disebut dengan objek gugatan.
Adapun yang menjadi objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah surat
keputusan tata usaha negara atau disebut dengan beschikking yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki akibat hukum serta bersifat konkret, individual, final.
Ketentuan mengenai beschikking tertuang dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU
No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009 yang pada intinya menyebutkan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang mana berisi suatu tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan UU bersifat
konkret, individual, final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Selain itu ketentuan tentang beschikking juga tertuang dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 7
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berisi bahwa Keputusan administrasi
pemerintahan yang bisa juga disebut keputusan tata usaha negara atau keputusan administrasi
negara (keputusan/ ketetapan tertulis) dikeluarkan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Gugatan yang diajukan ke muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbagi menjadi dua model
gugatan, yaitu gugatan fiktif positif dan gugatan fiktif negatif. Gugatan Fiktif positif merupakan
gugatan yang diajukan dengan pemahaman bahwa badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan telah mengabulkan suatu permohonan dari seseorang atau badan hukum perdata.
Adapun kualifikasi dari model gugatan fiktif positif adalah keputusan yang bersifat abstrak dan
keputusan yang bersifat konkret. Keputusan yang bersifat abstrak berarti keputusan yang
dijadikan objek gugatan belum diberikan atau dipegang secara nyata oleh seseorang atau badan
hukum perdata, padahal seseorang atau badan hukum perdata tersebut sudah mengajukan suatu
permohonan untuk mendapatkan keputusan. Dengan adanya jangka waktu, jika keputusan masih
belum juga dikeluarkan, maka permohonan dianggap telah dikabulkan. Dengan belum konkretnya
sifat dari putusan ini, maka keputusan dapat dijadikan konkret dengan mengajukan permohonan
ke pengadilan tata usaha negara. Selain itu, ada pula keputusan yang bersifat konkret dimana
keputusan telah diberikan, apabila ada pihak yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa dirugikan oleh keputusan tersebut, maka mereka berhak untuk menggugat ke pengadilan
tata usaha negara dengan dasar bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Gugatan Fiktif negatif merupakan kebalikan dari gugatan fiktif positif. Gugatan ini pada
dasarnya diajukan karena badan atau pejabat tata usaha negara menolak suatu permohonan dari
seseorang atau badan hukum perdata untuk mendapatkan suatu keputusan dari badan atau pejabat
tata usaha negara. Istilah menolak merujuk pada sikap badan atau pejabat tata usaha negara yang
hanya diam dan tidak ada langkah lebih lanjut untuk menjalankan kewajibannya. Model gugatan
fiktif negatif ini tertuang dalam Pasal 3 UU PTUN.
Pada Pasal 3 UU PTUN sudah tertuang jelas jika badan atau pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan yang mana sudah menjadi kewajibannya, maka sikap diamnya tersebut
sudah menjadi suatu keputusan tata usaha negara. Gugatan seperti ini beberapa kali terjadi, salah
satunya kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies Baswedan digugat oleh kelompok
perwakilan korban banjir 2021 karena tidak kunjung mendapatkan kejelasan dari permohonan
keberatan administratif yang mereka ajukan pada tanggal 5 Maret 2021. Adapun langkah
selanjutnya adalah permohonan banding administratif yang telah diproses tapi dirasa kurang
memberikan solusi dan jalan keluar dari permasalahan. Akibat ketidakpuasan masyarakat akan
hal tersebut, kelompok perwakilan masyarakat tersebut akhirnya menggugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Dari uraian tersebut pokok bahasan yang akan dikaji adalah bagaimana penerapan gugatan
keputusan tata usaha negara berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004
mengenai gugatan fiktif dikaitkan dengan gugatan terhadap Anies Baswedan?

2. MASALAH
Dalam jurnal ini, kasus yang dibahas adalah mengenai gugatan terhadap Putusan Fiktif
Negatif. Kasus yang diangkat adalah Kasus Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies
Baswedan digugat oleh masyarakat yang menjadi korban dari Banjir 2021. Nama-nama
penggugat dalam kasus ini yaitu Tri Andarsanti Pursita, Jeanny Lamtiur Simanjuntak, Gunawan
Wibisono, Yusnelly Suryadi D, Hj Shanty Widhiyanti SE, Virza Syafaat Sasmitawidjaja, dan
Indra. Adapun hubungannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah karena gugatan ini
didasarkan pada tindakan Anies Baswedan yang tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tindakan yang tidak dilakukan oleh Anies Baswedan adalah
upaya pencegahan banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena hal itu, tujuh orang warga
DKI Jakarta menuntut Anies Baswedan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Dalam gugatannya, Anies Baswedan diminta untuk mengganti kerugian yang diderita oleh
masyarakat sebesar Rp1.081.950.000. Namun, pada putusan hakim, hakim hanya mengabulkan
gugatan para penggugat untuk sebagian. Adapun bunyi putusan hakim dalam perkara ini adalah
dengan menghukum Anies Baswedan untuk melakukan upaya pencegahan banjir dalam waktu 7
hari kerja sejak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Majelis hakim juga mewajibkan
pemulihan Kali Sunter, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali Jati Kramat, Kali Cakung,Kali
Buaran, dan Kali Baru Timur. Selain itu, Anies juga diwajibkan melakukan penataan bantaran
sungai melalui penertiban bangunan ilegal di bantaran Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali
Cipinang, Kali Sunter, Kali Jati Kramat dan Kali Buaran. Dalam putusannya, hakim juga
menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.618.300. Perkara ini tertuang
dalam Putusan Perkara Nomor 205/G/TF/2021/PTUN.JKT pada tanggal 15 Februari 2022.
Khusus mengenai Kali Mampang, Pengadilan Tata Usaha Negara menginstruksikan Anies
Baswedan untuk mengeruk Kali Mampang sampai pada wilayah Pondok Jaya. Selain itu, Anies
Baswedan juga harus melaksanakan pembangunan turap sungai di Kelurahan Pela Mampang.
Selain mengabulkan dalam beberapa hal diatas, Anies Baswedan juga diminta dalam beberapa
hal sebagai hukumannya.
Pertama, Anies diminta untuk membangun dan meningkatkan kapasitas saluran drainase
untuk mengatasi genangan air terutama di Kecamatan Tebet, Mampang, Pondok Pinang, Bintaro,
Kalibata, Pasar Jumat, dan kawasan geografis cekungan/parker air, normalisasi Kali
Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru, Kali Mampang, Kali Cideng, Kali Ciliwung
dan Kali Sekretaris. Kedua, memulihkan kapasitas saluran aliran mantap terutama Kali Ciliwung,
Kali Cakung, Kali Sunter, Kali Cipinang, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Baru Timur,
penataan bantaran sungai melalui penertiban bangunan ilegal di bantaran Kali Ciliwung, Kali
Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Jati Kramat dan Kali Buaran. Ketiga, melaksanakan
upaya pencegahan makro banjir Jakarta. Ketiga tuntutan ini adalah amanat Peraturan Presiden
Nomor 2 Tahun 2015, RPJMD DKI, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014, dan
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012.

3. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penerapan gugatan fiktif sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara?
2. Bagaimana hubungan antara kasus Anies Baswedan dengan gugatan fiktif berdasarkan
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara?

4. METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode yuridis normatif yang digunakan berdasarkan pendekatan
norma hukum positif. Kajian ini juga bersifat deskriptif analitis dimana penyelesaian didapatkan
dari suatu masalah yang diteliti kemudian dicocokan dengan keadaan atau fakta yang sedang
terjadi. Data yang digunakan pada kajian ini berasal dari data sekunder berupa hukum primer,
sekunder, dan tersier. Adapun pendukung kajian ini adalah suatu fakta yang sudah bersifat
konkret.
PEMBAHASAN

1. Penerapan Gugatan Fiktif Sesuai Dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
1.1.Sengketa pada Gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa yang ada antara pemerintah dengan warga. Adapun sengketa ini lahir
karena adanya perbuatan pemerintah yang melanggar ketentuan dan hak warga masyarakat. 5
Dengan demikian, tujuan dari pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu (1)
memberikan perlindungan akan hak masyarakat atas dasar kepentingan bersama; (2) memberi
perlindungan akan hak rakyat yang berasal dari hak individu. 6
Jika suatu gugatan diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka penyelesaian
gugatan tersebut dilakukan dengan melalui jalur litigasi. Jalur litigasi merupakan jalur hukum
melalui lembaga peradilan yang dianggap sebagai ultimum remedium atau penyelesaian
terakhir dari suatu permasalahan.7 Dalam penyelesaian suatu perkara, Pengadilan memiliki
tugas dan wewenang untuk memutus dan menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara
sesuai dengan Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986. 8
Pada suatu Pengadilan Tata Usaha Negara, yang menjadi gugatan adalah Sengketa
Tata Usaha Negara. Adapun Sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka (1) UU
Nomor 51 Tahun 2009, yaitu “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. 9
Seiring dengan perkembangan zaman, gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara
yang sebelumnya hanya sebatas suatu putusan yang dikeluarkan oleh pemerintah kemudian
berkembang dan meluas sehingga mencakup suatu tindakan tidak mengeluarkan suatu
putusan padahal merupakan suatu kewajibannya dan termasuk kedalam wewenangnya.

5
Azza Azka Norra. Pertentangan Norma Fiktif Negatif Dan Fiktif Positif Serta Kontekstualisasinya Menurut Undang
Undang Administrasi Pemerintahan. “Puslitbang Hukum dan Peradilan Ditjen Badan Peradilan Militer dan Tata
Usaha Negara”. Jayapura : Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura. 2020. Hlm. 142.
6
Priyatmanto Abdullah, Revitalisasi Kewenangan PTUN . Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka. 2018. Hlm. 3
7
Budiamin Rodding. Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.
“Tanjungpura Law Journal Vol. 1 Issue 1”. Tanjungpura : Universitas Tanjungpura. 2017. Hlm. 28.
8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 47
9
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka 10
Gugatan ini dikenal dengan istilah Fiktif Negatif dimana Badan atau Pejabat Pemerintahan
yang seharusnya dapat mengeluarkan suatu putusan tidak melakukannya dan menolak untuk
menerbitkannya.

1.2.Keputusan Fiktif Negatif


Istilah fiksi negatif, serta istilah "fiksi positif", tidak secara eksplisit disebutkan dalam
setiap undang-undangnya. Kedua istilah ini, atau lebih tepatnya istilah teologis, adalah fiksi
hukum yang digunakan untuk memfasilitasi konstruksi hukum dalam Pasal 3 Undang-Undang
Administratif atau Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. 10 Kata koreksi fiksi
negatif tercantum dalam Pasal 3 UU. Ayat 1 Pasal 3 Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyebutkan asas dasar, bahwa setiap lembaga TUN atau kantor pos
wajib menanggapi setiap permintaan kewarganegaraan yang diterima oleh lembaga tersebut
apabila diajukan kepadanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Statuta Dasar yang
menjadi tugas dan kewajibannya11 atau pejabat administrasi publik gagal mengambil
keputusan atas permohonan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, badan atau pejabat
publik tersebut dianggap menolak mengambil keputusan.
Kegagalan untuk memenuhi permintaan untuk mengeluarkan keputusan sering
dianggap sebagai "sikap diam" oleh badan administrasi atau pejabat publik, dan dalam pasal
3 UU No. 5 1986, diam ini dianggap sebagai keputusan Tata Usaha Negara. Namun, jika ada
permintaan untuk mengeluarkan keputusan, diamnya lembaga penyelenggara negara dan
pegawai negeri sipil dianggap sebagai menolak aplikasi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 dengan lebih jelas mengatur batas waktu diam bagi Badan Penyelenggara Negara
atau Pegawai Negeri Sipil yang seharusnya menolak, yaitu setelah 4 (empat) bulan terhitung
sejak tanggal diterimanya permohonan, dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum.
tidak ada pengkondisian periode. Badan atau pejabat pengatur negara harus menanggapi
permintaan tersebut.
Oleh karena itu, apabila suatu badan hukum atau badan hukum ingin mengajukan
gugatan, harus setelah 4 (empat) bulan atau ditentukan lain oleh undang-undang, dan juga
setelah memperhitungkan tenggang waktu untuk mengajukan permohonan sebagaimana
diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang. . . Nomor 5 Tahun 1986 Berdasarkan ketentuan Pasal
97 Ayat (9) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, jenis perkara sengketa adalah

10
Enrico Simanjuntak, hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi. Refleksi (Jakarta:Sinar Grafika, 2018).
Hlm. 144-145
11
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku II Beracara Di Pengadilan
Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2015). Hlm. 185
ajudikasi, sekalipun sengketa tata usaha negara itu timbul karena diam. permintaan keputusan.
Sedangkan objek gugatannya adalah keputusan penolakan badan penyelenggara negara atau
pejabat yang meminta dikeluarkannya keputusan tata usaha negara.
Karena bentuk dari jenis kasus negatif palsu adalah persidangan, maka hukum acara
digunakan sama seperti hukum acara dalam persidangan biasa, termasuk memungkinkan
adanya pihak ketiga untuk menjadi pihak dalam persidangan. Akan tetapi, jika dikeluarkan
perintah pengadilan biasa dengan kata “dicabut”, maka tidak akan terjadi sidang praduga
negatif, karena perintah yang dikeluarkan harus disertai dengan perintah untuk mengambil
keputusan, ditolak oleh otoritas tata usaha negara. instansi atau pejabat.

1.3.Keputusan Fiktif Positif


Pengaturan akibat hukum dari dibungkamnya lembaga atau penyelenggara negara yang
semula masih menganut konsep Fiksi Negatif, setelah “Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan berubah menjadi fiktif positif.” 12 Badan pengatur
negara menetapkan bahwa badan atau pejabat pengatur negara wajib mengambil keputusan
dan/atau bertindak atas permohonan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, kecuali ketentuan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika, dalam batasan
waktu yang telah ditentukan oleh Administrasi Umum atau pejabatnya, keputusan atau
tindakan yang diminta tidak dilakukan, permintaan itu dianggap telah disetujui.
Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo menerangkan,
aktifnya organisasi bayangan bertujuan untuk mendorong instansi/pejabat pemerintah
memberikan bantuan publik yang baik kepada masyarakat. Pemerintah terikat secara hukum
untuk menanggapi permintaan dari masyarakat mengenai keputusan/tindakan tertentu. Jika
dalam tenggat waktu tidak ada tanggapan, masyarakat berhak membawa masalah tersebut ke
pengadilan. “Tujuan positif fiktif ini untuk mendorong pelayanan publik yang lebih baik oleh
instansi/pejabat pemerintah,” kata dekan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas
Indonesia yang membantu penyusunan undang-undang tentang pengelolaan administrasi
pemerintahan tersebut.13

12
Bagus Teguh Santoso and Sadjino, “Keputusan Fiktif Positif Sebagai Bentuk Reformasi Birokrasi Berdasarkan Prinsip
Good Governance,” Jurnal Hukum Peratun 1, no. 1 (2018): 119-144
13
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a54b2e443cad/urgensi-permapelaksanaan-fiktif-positif-dalam-ptun/
diakes pada 19 juni 2022 pukul 13:30 ,https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-perma-pelaksanaan-
fiktif-positif-dalam-ptun-lt5a54b2e443cad, diakses pada 19 Juni 2022 pukul 14:34
1.4.Fiktif Negatif Pasca Terbitnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
Salah satu kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah berwenang mengadili
perkara berupa gugatan dan permohonan dimana yang menjadi objek gugatan atau
permohonan adalah Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan Fiktif Positif. Dalam
hal ini, ada beberapa perbedaan mengenai penerapan hukum antara fiktif negatif dan positif.
Karena itu, Mahkamah Agung akhirnya menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8
Tahun 2017 Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan
Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan.
Tujuan dari penerbitan PERMA ini adalah untuk mengatasi perbedaan pendapat mengenai
fiktif negatif dan positif diantara para hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan yang sama yaitu dalam hal ini
tentang permohonan (fiktif) ada dua, sebagaimana dalam uraian sebelumnya bahwa UU
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menganut tentang Fiktif Negatif, sedangkan Undang-
Undang tentang Administrasi Pemerintahan menganut konsep Fiktif Positif akan
mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Sebagaimana dalam
pokok bahasan sebelumnya, meskipun fiktif negatif dan fiktif positif tidak dalam satu bingkai
jenis gugatan yang sama dan dapat dilaksanakan secara bersamaan, namun selalu timbul
perbedaan pandangan dalam hal menyikapi keberlakuan dua peraturan perundang-undangan
yang mengatur satu hal yang sama namun menganut dua konsep yang berbeda, yaitu
pandangan yang mewakili asas lex posterior derogat legi priori dan tentu saja berpendapat
Pasal 53 UU Administrasi pemerintahan yang menganut konsep Fiktif Positif haruslah
mengesampingkan Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang menganut konsep Fiktif
Negatif. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa, ketentuan Fiktif Negatif tidak
pernah dicabut dan dibatalkan sehingga ketentuan mengenai Fiktif Negatif dan Fiktif Positif
keduanya masih dapat diberlakukan.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, kemudian Mahkamah Agung menerbitkan
Perma Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas
Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan Tindakan Badan Atau Pejabat
Pemerintahan. Namun setelah terbitnya PERMA tersebut, masih ditemukan praktek adanya
gugatan Fiktif Negatif yang disidangkan. Menyikapi hal tersebut maka Mahkamah Agung
mengambil sikap melalui rapat kamar yang dituangkan Sema No 4 Tahun 2016. Hasil
rumusan hukum rapat kamar tata usaha negara saat itu menyatakan adanya, Perubahan model
acara di PTUN setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP): Salah satu kapasitas PTUN adalah hak mengadili
perkara berupa gugatan dan petisi kemudian dinyatakan juga bahwa objek
gugatan/permohonan adalah Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan Fiktif Positif.
Setelah melalui beberapa perubahan, sesuai dengan SEMA Nomor 1 Tahun 2017, maka
berdasarkan Pasal 53 UU AP, maka Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai
gugatan fiktif negatif tidak diberlakukan lagi karena akan menimbulkan ketidakpastian
hukum.

2. Hubungan Antara Kasus Anies Baswedan Dengan Gugatan Fiktif Berdasarkan Undang-
Undang Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan kasus yang sudah dicantumkan, Anies Baswedan digugat oleh masyarakat
karena tidak melakukan tindakan yang seharusnya menjadi wewenangnya. Hal yang seharusnya
dilakukan oleh Anies Baswedan adalah pencegahan banjir. Namun, Anies Baswedan tidak
melaksanakan tugasnya ini. Oleh karena itu, Anies Baswedan dapat digugat dengan adanya
gugatan fiktif positif.
Sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, “Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara wajib untuk menetapkan suatu keputusan dan atau tindakan setelah adanya
permohonan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja apabila tidak ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Namun, dalam kasus ini, Anies Baswedan tetap
tidak melakukan tindakan sebagaimana dimohonkan oleh masyarakat DKI Jakarta. Karena hal
itu, maka Anies Baswedan dituntut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain karena hal ini, Anies
Baswedan juga lalai dalam melaksanakan tugasnya untuk menjaga kebersihan setiap sungai yang
ada di DKI Jakarta sebagaimana yang direncanakan dalam program pencegahan banjir.
Karena itu, berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, maka Anies
Baswedan dapat dituntut oleh masyarakat yang dirugikan. Adapun kerugian yang dialami oleh
masyarakat adalah karena banjir yang terjadi akibat tidak adanya pemeliharaan sungai. Dalam
gugatannya, masyarakat meminta pertanggungjawaban Anies Baswedan berupa ganti rugi dan
sanksi untuk melakukan pengerukan kali.
Berdasarkan gugatan ini, Pengadilan Tata Usaha Negara menghukum Anies Baswedan
untuk melakukan upaya pencegahan banjir dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara. Majelis hakim juga mewajibkan pemulihan Kali Sunter, Kali Ciliwung, Kali
Cipinang, Kali Jati Kramat, Kali Cakung,Kali Buaran, dan Kali Baru Timur. Selain itu, Anies
juga diwajibkan melakukan penataan bantaran sungai melalui penertiban bangunan ilegal di
bantaran Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Jati Kramat dan Kali
Buaran. Dalam putusannya, hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.618.300. Perkara ini tertuang dalam Putusan Perkara Nomor
205/G/TF/2021/PTUN.JKT pada tanggal 15 Februari 2022.
Selain itu, Anies Baswedan diminta untuk pertama, membangun dan meningkatkan
kapasitas saluran drainase untuk mengatasi genangan air terutama di Kecamatan Tebet,
Mampang, Pondok Pinang, Bintaro, Kalibata, Pasar Jumat, dan kawasan geografis
cekungan/parker air, normalisasi Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru, Kali
Mampang, Kali Cideng, Kali Ciliwung dan Kali Sekretaris. Kedua, memulihkan kapasitas saluran
aliran mantap terutama Kali Ciliwung, Kali Cakung, Kali Sunter, Kali Cipinang, Kali Buaran,
Kali Jati Kramat, dan Kali Baru Timur, penataan bantaran sungai melalui penertiban bangunan
ilegal di bantaran Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Jati Kramat
dan Kali Buaran. Ketiga, melaksanakan upaya pencegahan makro banjir Jakarta.
PENUTUP

1. Kesimpulan
Fiktif Positif seperti yang sudah diterapkan di dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan meskipun mengatur ketentuan
permohonan fiktif yang sama, namun dengan lingkup yang berbeda, akibatnya muncul berbagai
persepsi yang menyatakan bahwa kedua konsep permohonan fiktif tersebut dapat diterapkan
bersamaan. Tujuan Implementasi konsep active fiction enforcement dalam Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada masyarakat, sehingga semua instansi pemerintah mulai dipaksakan untuk
melaksanakan peraturan-peraturan tersebut, terutama yang berada di bawah naungan Mahkamah
Agung sebagai badan peradilan harus melaksanakan sepenuhnya ketentuan Positif fiktif yang
dimasukkan ke dalam penerapan hukum acara.
Sementara itu, hakim PTUN, setelah putusan MA Nomor 8 Tahun 2017 dan hasil
pembangunan kamar yang diterbitkan dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017, sudah tidak perlu
untuk diperbolehkan kembali apakah ketentuan Fiktif Negatif masih dapat diberlakukan atau
tidak. Berdasarkan putusan PTUN Jakarta terkait gugatan keluarga korban banjir ke anies
baswedan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha negara (PTUN) jakarta mengabulkan
sebagian gugatan warga korban banjir terkait upaya pencegahan banjir Pemprov DKI Jakarta.
Hakim PTUN Jakarta yang diketuai Sahibur Rasyid serta hakim anggota Pengki Nurpanji dan
Sudarsono mewajibkan tergugat, dalam hal ini Gubernur Dki Jakarta Anies Baswedan, untuk
mengerjakan pengerukan kali Mampang secara tuntas sampai ke wilayah Pondok Jaya. kemudian
memproses pembangunan turap sungai di kelurahan Pela Mampang. Majelis Hakim menolak
gugatan penggugat yang selebihnya serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp2.618.300. Gugatan yang ditolak hakim PTUN jakarta, yakni gugatan menghukum
tergugat untuk mengganti kerugian kepada para penggugat. Kerugian yang diderita seluruhnya
sebesar Rp1.081.950.000

2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka terdapat beberapa saran dari peneliti yaitu sebagai berikut :
a. Bagi pemerintah DKI Jakarta
1) Hendaknya Pemerintah DKI Jakarta memperbaiki sumber-sumber yang mengakibatkan
terjadinya banjir
2) Hendaknya para jajaran beserta staff Pemerintahan DKI Jakarta bekerja sama dengan
baik membantu gubernur untuk mengatasi penanggulangan terhadap banjir
3) Hendaknya Pemerintah DKI Jakarta mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum terjadi
bencana
4) Hendaknya Pemerintah DKI jakarta bekerjasama dengan BNPB untuk proses
penanggulangan banjir
b. Bagi mahasiswa atau peneliti
Kedepannya, dibutuhkan penelitian lebih mendalam mengenai gugatan fiktif Peradilan Tata
Usaha Negara agar perkembangan gugatan dalam sengketa PTUN semakin dalam dipahami.
Selain itu, dengan adanya penelitian ini maka pelaksanaan gugatan fiktif dapat berlaku
dengan optimal dalam Pengadilan Tata Usaha Negara.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 47

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka 10

Azza Azka Norra. Pertentangan Norma Fiktif Negatif Dan Fiktif Positif Serta Kontekstualisasinya
Menurut Undang Undang Administrasi Pemerintahan. “Puslitbang Hukum dan Peradilan
Ditjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara”. Jayapura : Pengadilan Tata Usaha
Negara Jayapura. 2020. Hlm. 142.

Bagus Teguh Santoso and Sadjino, “Keputusan Fiktif Positif Sebagai Bentuk Reformasi Birokrasi
Berdasarkan Prinsip Good Governance,” Jurnal Hukum Peratun 1, no. 1 (2018): 119-144

Budiamin Rodding. Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik. “Tanjungpura Law Journal Vol. 1 Issue 1”. Tanjungpura : Universitas
Tanjungpura. 2017. Hlm. 28.

Enrico Simanjuntak, hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi. Refleksi
(Jakarta:Sinar Grafika, 2018). Hlm. 144-145

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku II
Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2015). Hlm. 185

Priyatmanto Abdullah, Revitalisasi Kewenangan PTUN . Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka. 2018.
Hlm. 3

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a54b2e443cad/urgensi-permapelaksanaan-fiktif-
positif-dalam-ptun/ diakes pada 19 juni 2022 pukul 13:30
,https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-perma-pelaksanaan-fiktif-positif-dalam-
ptun-lt5a54b2e443cad, diakses pada 19 Juni 2022 pukul 14:34

You might also like