Professional Documents
Culture Documents
Aslamyah,Jurnal
Y. Fujaya / JurnalIndonesia
Akuakultur Akuakultur
10Indonesia
(1), 8–16 10 (1), 8–15 (2011)
(2011)
ABSTRACT
Artificial feed is an alternative media applications spinach extract (EB) that is known to contain molting
stimulant. However, utilization of the artificial feed is related to its expensive cost, with a very high protein
concentration since it’s mainly produced from fish based materials, so need to be studied artificial feed
formulation with substitution of vegetable material in stimulating molting and growth of mud crabs. Four
formula artificial feed enriched EB (700 ng/g crab) used in this study were feed A (fish, crab shells, and
cassava), feed B (fish, silage, shell crab, and cassava), feed C (fish, silage, shell crab, soy flour, and cassava),
and feed D (fish, silage, shell crab, soy flour, corn starch, and pollard), trash fish and feed A without EB as
control. During the test, mud crab intermolt phase was culture individually in crab box placed in pond. The
results showed that the percentage of molting and weight growth in their respective in the feed A (44% and
41.96%); feed B (56% and 31.57%); feed C (74% and 23.20%); feed D (50% and 39.15%); trash feed control
(24% and 50.66%); and feed A without EB (28% and 35.11%). An opposite phenomenon, where the feed C
with the highest percentage of molting but with the lowest growth rate, the opposite occurs in the control of
trash feed. This is apparently the effect of spinach extract as a stimulant molting, where performance can be
optimized with a complete and balance nutrient composition. This prediction is supported by the analysis of
protein content of crabs tested at the highest feed C treatment compared with the control feed.
Key words: spinach extract, soft shell crab, molting, artificial feed, growth
ABSTRAK
Pakan buatan merupakan alternatif media aplikasi ekstrak bayam (EB) yang diketahui mengandung stimulan
molting. Namun demikian, pakan buatan yang digunakan masih mahal dengan kandungan protein yang tinggi,
karena berbahan dasar ikan, sehingga perlu dikaji formulasi pakan buatan dengan subtitusi berbagai bahan
nabati dalam menstimulasi molting dan pertumbuhan kepiting bakau. Empat formula pakan buatan yang
diperkaya EB (700 ng/g kepiting) digunakan pada penelitan ini, yaitu Pakan A (ikan, cangkang kepiting, dan
ubi), Pakan B (ikan, silase, cangkang kepiting, dan ubi), Pakan C (ikan, silase, cangkang kepiting, tepung
kedelai, dan ubi), dan Pakan D (ikan, silase, cangkang kepiting, tepung kedelai, tepung jagung, dan pollard).
Pakan rucah dan pakan A tanpa EB digunakan sebagai kontrol. Selama penelitian, kepiting bakau fase
intermolt dipelihara secara individu dalam crab box yang diletakkan di tambak. Hasil penelitian menunjukkan
persentase molting dan pertumbuhan bobot masing-masing pada Pakan A (44% dan 41,96%); Pakan B (56%
dan 31,57%); Pakan C (74% dan 23,20%); Pakan D (50% dan 39,15%); kontrol pakan rucah (24% dan
50,66%); dan pakan A tanpa EB (28% dan 35,11%). Terjadi anomali, yaitu Pakan C dengan persentase
molting tertinggi, tetapi dengan tingkat pertumbuhan terendah, namun terjadi sebaliknya pada kontrol pakan
rucah. Hal ini diduga efek dari ekstrak bayam sebagai stimulan molting, dimana kinerjanya dapat
dioptimumkan dengan komposisi nutrien lengkap dan seimbang. Pendugaan ini didukung hasil analisis kadar
protein kepiting uji pada perlakuan Pakan C tertinggi dibandingkan kontrol.
Kata kunci: Ekstrak bayam, kepiting cangkang lunak, molting, pakan buatan, pertumbuhan
persen dari seluruh kandungan gizi daging mendukung aplikasi ekstrak bayam dalam
kepiting (Hadi, 1981). Di Indonesia, produk pakan untuk produksi kepiting cangkang
ini memiliki harga yang jauh lebih tinggi, lunak dalam skala massal.
yaitu mencapai dua kali lebih tinggi
dibandingkan kepiting cangkang keras BAHAN DAN METODE
dengan ukuran yang sama. Karena itu,
banyak petani ikan dan udang beralih Penelitian dilaksanakan di tambak budi-
memelihara kepiting cangkang lunak. daya soft shell komersil PT. HANDY
Salah satu terobosan penting dalam usaha ROYAL INDONESIA Kecamatan Bati Bati,
budidaya kepiting cangkang lunak yang telah Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan
dikembangkan oleh Fujaya et al. (2007) Selatan.
adalah ditemukannya stimulan molting yang Perlakuan yang diuji empat pakan buatan
berasal dari ekstrak tanaman bayam berbentuk pellet dengan berbagai formula.
(Amaranthacea tircolor) yang dinamakan Pakan rucah dan pakan formula A tanpa
vitomolt. Ekstrak bayam mengandung ekstrak bayam digunakan sebagai kontrol.
eksdisteroid dan aplikasi melalui injeksi Bahan baku dan komposisi pakan, serta hasil
terbukti mempercepat molting, tidak analisis proksimat pakan disajikan pada
menyebabkan kematian, pertumbuhan Tabel 1. Masing-masing pakan uji diperkaya
kepiting yang mendapat aplikasi ekstrak dengan ekstrak bayam dengan dosis 700 ng/g
bayam lebih besar dibandingkan tanpa kepiting (Fujaya et al., 2009). Ekstrak bayam
ekstrak bayam. Namun demikian dianggap dilarutkan dengan etanol 80% dengan
kurang efisien untuk produksi kepiting perbandingan 1:1 kemudian dihomogenkan.
molting secara massal. Upaya yang dapat Larutan ditambah etanol 80% sampai 20
dilakukan adalah menggunakan pakan buatan mL/kg pakan dan disemprotkan secara
sebagai media aplikasi ekstrak bayam. merata ke pakan uji, kemudian pakan
Fujaya et al. (2009) telah melakukan uji dikeringanginkan. Pakan selanjutnya di-
coba dan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat simpan hingga siap untuk digunakan.
diberikan melalui pakan buatan, dan efektif Hewan uji adalah kepiting bakau (Scylla
mempercepat molting dan meningkatkan sp.) yang diperoleh dari pemasok kepiting
pertumbuhan. Namun demikian pakan yang setempat. Setiap perlakuan terdiri atas 50
digunakan cukup mahal, karena berbahan kepiting. Kepiting bakau yang digunakan
dasar ikan, dengan kadar protein pakan 51%. berukuran lebar karapas 75-90 mm dan berat
Berdasarkan hal tersebut, perlu formulasi 100-130 g pada fase intermolt. Pakan buatan
pakan buatan dengan mempertimbangkan yang diperkaya dengan ekstrak bayam
bahan baku pakan sumber nabati, yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi
diketahui harganya lebih murah dan mudah Perikanan dan Kelautan, Pusat Kegiatan
didapat. Menurut Anderson et al. (2004) Penelitian, Universitas Hasanuddin.
digestibility (kecernaan) kepiting pada serat Pemeliharaan dilakukan secara individu
dan semua bahan baku pakan sumber nabati dalam crab box yang berukurang panjang,
sangat tinggi, yaitu berkisar antara 94,4– lebar, dan tinggi masing-masing 21x15x8 cm
96,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa yang diletakkan pada rakit yang terbuat dari
kepiting mempunyai suatu kapasitas untuk rangkaian pipa paralon berdiameter 2 dan 5
mencerna serat atau bahan baku pakan cm dan ditempatkan dalam tambak air payau.
sumber nabati sebagai sumber energi, Pergantian air media pemeliharaan dilakukan
sehingga memungkinkan untuk memproduksi setiap hari minimal 10%. Selama peme-
pakan buatan yang lebih murah. Dijelaskan liharaan, kepiting diberi pakan sebanyak 5%
pula bahwa kisaran kadar protein untuk berat badan per hari. Pakan diberikan 2 kali
pakan kepiting adalah 34-54% . sehari, yaitu pagi dan sore pada hari pertama
Formulasi pakan buatan dengan berbagai hingga hari ke-20. Pada hari ke-21 hingga
sumber bahan baku diharapkan menghasilkan akhir penelitian, kepiting uji hanya diberikan
pakan yang lebih murah dengan kualitas pakan satu kali sehari, yaitu pada sore hari.
optimum. Dengan demikian dapat
10 S. Aslamyah, Y. Fujaya / Jurnal Akuakultur Indonesia 10 (1), 8–15 (2011)
Tabel 1. Bahan baku dan komposisi pakan, serta komposisi nutrien pakan yang digunakan dalam penelitian.
Pengamatan secara visual dilakukan setiap (LPR = (Wt-Wo) / 100 x 100%) Mortalitas
hari untuk mengontrol perkembangan (ML) adalah rasio antara jumlah kepiting
kepiting uji setelah perlakuan sampai yang mati selama penelitian (Nt) dan jumlah
mengalami molting. Satu jam setelah terjadi awal (No); yang dihitung dengan rumus (ML
molting, dilakukan penimbangan dan pengu- = Nt/No x 100%).
kuran lebar karapas kepiting uji. Persentase Peubah yang diamati adalah persentase
molting (M) adalah rasio antara jumlah molting, pertumbuhan mutlak, dan laju per-
kepiting molting (Mt) dan jumlah awal tumbuhan relatif setelah molting, mortalitas,
kepiting (Mo); yang dihitung dengan rumus serta komposisi kimia tubuh kepiting uji.
ini bisa juga menjadi: (M = Mt/Mo x 100%). Komposisi kimia tubuh kepiting uji diukur
Pertumbuhan mutlak (PM) adalah perbedaan pada awal dan setelah 15 hari masa per-
antara berat kepiting setelah molting dengan cobaan, yaitu dengan melakukan analisis
berat awal kepiting (Wo), berat setelah proksimat.
molting (Wm) dan pertumbuhan mutlak Semua data pengamatan yang diperoleh
(PM); yang dihitung dengan rumus (PM = pada penelitian ini dianalisis secara
Wm–Wo). Laju pertumbuhan relatif (LPR) deskriptif, yaitu dengan membandingkan
adalah rasio antara rata-rata berat akhir hasil yang diperoleh antar perlakuan, serta
kepiting (Wt) dan rata-rata berat awal membandingkan juga dengan literatur
kepiting (Wo); yang dihitung dengan rumus pendukung.
S. Aslamyah, Y. Fujaya / Jurnal Akuakultur Indonesia 10 (1), 8–15 (2011) 11
Tabel 2. Persentase molting kepiting uji setelah perlakuan berbagai formula pakan buatan yang diperkaya
ekstrak bayam (EB) pada setiap periode waktu.
Perlakuan Pakan
Parameter
Rucah A A+EB B+EB C+EB D+EB
Molting (%)
10 - 20 hari 0 0 4 0 14 10
21 - 30 hari 2 0 4 0 6 10
31 - 40 hari 0 6 2 16 18 6
41 - 50 hari 4 2 10 16 24 2
51 - 60 hari 18 20 24 24 12 22
Total 24 28 44 56 74 50
Tidak molting (%) 72 72 46 34 18 38
Mortalitas (%) 4 0 10 10 8 12
Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan relatif bobot dan lebar karapas kepiting bakau
satu jam setelah molting pada berbagai formula pakan buatan yang diperkaya ekstrak bayam (EB).
Tabel 4. Komposisi kimia tubuh kepiting uji setelah 15 hari perlakuan berbagai formula pakan buatan yang
diperkaya ekstrak bayam (EB).
Perlakuan Pakan
Perlakuan
Rucah A A+EB C+EB
Kadar abu 32,9 32,6 35,1 32,6
Kadar protein 38,6 38,7 41,1 43,3
Kadar lemak 5,4 5,0 5,6 6,7
Kadar serat kasar 8,8 13,0 8,4 9,4
BETN 14,4 10,7 9,7 8,0
12 S. Aslamyah, Y. Fujaya / Jurnal Akuakultur Indonesia 10 (1), 8–15 (2011)
Tabel 5. Analisis usaha kepiting bakau cangkang lunak siklus 60 hari (masing-masing 50 kepiting).
amino yang lebih lengkap dibandingkan Peningkatan kadar protein pakan berakibat
protein nabati. Namun demikian, ada bebe- pada peningkatan pertumbuhan sampai batas
rapa jenis asam amino terdapat dalam kadar tertentu pada kadar energi yang sama. Pada
yang rendah. Contoh pada tepung ikan, pakan D, diduga kandungan energi dan
mempunyai kadar asam amino lisin yang protein pakannya tidak seimbang, sehingga
rendah, sedangkan tepung kedelai mem- kepiting merasa cepat kenyang. Dibuktikan
punyai kandungan asam amino lisin yang dengan pengamatan di lapangan, pakan yang
tinggi. Dengan demikian, subtitusi kacang diberikan selalu mempunyai sisa yang
kedelai dalam pakan buatan sangat mem- berdampak pada persentase molting. Satpathy
bantu menyeimbangkan kadar asam amino et al. (2003) dan Jobling et al. (2001)
esensial dalam pakan. mengemukakan tinggi rendahnya kandungan
Kandungan energi dan karbohidrat yang protein dalam pakan dipengaruhi oleh
memadai pada pakan C (Tabel 1) juga kandungan energi non protein dalam pakan.
membantu dalam proses pembentukan kitin. Pakan yang kandungan energinya kurang
Kitin adalah polisakarida yang terdiri atas menyebabkan terjadinya penggunaan seba-
rantai panjang polimer dari N-asetil-gluko- gian besar protein sebagai sumber energi.
samin (GicNac), sebuah turunan dari glukosa Sebaliknya jika kandungan energi pakan
yang merupakan komponen utama dari terlalu tinggi dapat menyebabkan pakan yang
ekskeleton dari arthopoda seperti krustasea dimakan berkurang dan penerimaan nutrien
(Meyer et al., 1992). Selain untuk memenuhi lain termasuk protein yang diperlukan untuk
kebutuhan energi dan persediaan makanan di pertumbuhan juga berkurang. Menurut
dalam tubuh, karbohidrat juga berfungsi Watanabe (1988) peningkatan kadar protein
dalam sintesis kitin pada kulit, polimerisasi pada kadar energi yang sama, dapat
kitin dan pembentukan kutikula (Catacutan, meningkatkan pertumbuhan tetapi terjadi
2001; Pratoomchat et al., 2002; Satphaty et penumpukan lemak tubuh, seperti yang
al., 2003). terjadi pada ikan mas.
Pendugaan lain adanya perbedaan respons Data persentase molting kepiting bakau
molting pada berbagai jenis pakan adalah pada masing-masing perlakuan, ternyata
perbedaan dalam imbangan protein dan tidak seiring dengan persentase pertumbuhan
energi dalam pakan. Pada pakan C dengan bobot kepiting uji setelah molting. Kepiting
DE/g protein 6,92 diduga imbangan energi uji dengan perlakuan pakan C+EB memper-
dan protein optimum. Satpathy et al. (2003) lihatkan persentase pertumbuhan bobot
mengemukakan penggunaan protein maksi- terendah, diikuti kepiting uji dengan
mum untuk pertumbuhan berhubungan perlakuan pakan B+EB, pelakuan pakan
dengan pemasukan protein dan ketersediaan D+EB dan pakan kontrol A. Perlakuan pakan
sumber energi non-protein, yaitu karbohidrat A+EB dan pakan kontrol rucah memiliki
dan lemak. Pemasukan energi non-protein persentase pertumbuhan bobot tertinggi.
memperlihatkan penghematan protein kata- Menurut Stryer (2000) pada kondisi nutrisi
bolisme untuk penyediaan energi dan dan lingkungan yang optimum, energi dan
meningkatkan pemanfaatan energi untuk nutrien yang terkandung dalam pakan
pertumbuhan, suatu proses yang dikenal digunakan sepenuhnya untuk keseimbangan
dengan protein sparing effect. Menurut metabolisme, baik anabolisme maupun
(Taboada et al. 1998 dan Rosas et al. 2001) katabolisme. Kegiatan ini diregulasi oleh
pakan dengan rasio protein per energi enzim dan hormon. Kuballa dan Elizur
optimum menggambarkan titik keseim- (2007); Thompton (2005) mengemukakan
bangan antara jumlah energi yang dibutuhkan secara fisiologis, molting dikontrol oleh
untuk metabolisme basal dan pertumbuhan. hormon molting. Dengan demikian, induksi
Satpathy et al. (2003) mengemukakan bahwa molting menggunakan ekstrak bayam di-
pakan dengan rasio protein per energi tunjang tingkat metabolisme yang prima
optimum akan menghasilkan pertumbuhan dapat mempercepat molting, seperti yang
dan pemanfaatan pakan yang optimum. terjadi pada kepiting uji dengan perlakuan
pakan C+EB. Terjadinya molting yang
14 S. Aslamyah, Y. Fujaya / Jurnal Akuakultur Indonesia 10 (1), 8–15 (2011)
NC State University. [diakses tanggal 23 Satphaty, B., B.D, Mukherjee., A.K, Ray.,
Desember 2008]. 2003. Effect of dietary protein and lipid
Pratoomchat, B., P, Sawangwong., P, levels on growth, feed conversion and
Pakkong., J, Machado., 2002. Organic and body composition in rohu. Labeo rohita
inorganik variations in hemolymph, (Hamilton), fingerlings. Aqua Nutr. 9, 17–
epidermal tissue and cuticle over the molt 24.
cycle in Scylla serrata (Decapoda). Taboada, G., G, Gaxiola., T, Garcia., R,
Comp. Biochem. Physiol. 131A, 243– Perdoza., A, Sanchez., L.A, Soto., C,
255. Rosas., 1998. Oxygen consumption and
Rosas, C., G, Cuzon., G, Taboada., C, ammonia-N excretion related to protein
Pascual., G, Gaxiola., A.V, Wormhoudt., requirement for growth of white shrimp,
2001. Effect of dietary protein and energy Penaeus setiferus (L.), juveniles.
levels on growth, oxygen consumption, Aquaculture Research 29, 823–833.
hemolymph and digestive gland Thompton, K., 2005. Regulation of
carbohydrates, nitrogen excretion and ecdysteroid and vitellogenin levels during
osmotic pressure of Litopenaeus vannamei the molt and reproductive cycles of female
(Boone) and L. setiferus (Linne) juveniles Dungeness crab Cancer magister. Thesis.
(Crustacea, Decapoda, Penaeidae). University of Alaska. Fairbanks, Alaska.
Aquaculture Research 32, 531–547. Watanabe, T., 1988. Fish Nutrition and
Stryer, L., 2000. Biokimia. Tim penerjemah Mariculture. JICA textbook the general
bagian biokimia FKUI, penterjemah; aquaculture course. Tokyo: Departement
Soebianto SZ, Setiadi E., Editor. Jakarta: of Aquatic Biosciences, Tokyo University
Penerbit Buku Kedokteran EGC. of Fisheries.