You are on page 1of 11

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

A. Judul Modul : KRITERIA KESAHIHAN HADIST

B. Kegiatan Belajar :KB 3

C. Refleksi

BUTIR
NO RESPON/JAWABAN
REFLEKSI

JENIS HADITS

Sahih Hasan Dhoif

Sahih lighairih Hasan Ligahirii Sanad: Tidak


Bersambung,Kecacatan
Perawi

Sahih Lizatih Hasan Lizatih Matan: Manquf, Maqthu’


Konsep
(Beberapa
1 istilah dan
definisi) di Kriteria Kesahihan Hadis

KB Kata sahih dalam bahasa Arab diartikan orang sehat antonim


dari kata al-saqim yang berarti orang sakit, seolah-olah dimaksudkan
hadis sahih adalah hadis yang sehat dan benar-benar tidak terdapat
penyakit dan cacat.

Dalam istilah ilmiah kata sahih (sihah) bermakna valid yang


berarti sah atau berlaku secara absah.

Adapun menurut istilah, hadis sahih adalah:

Artinya: “Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh


orangadil dan dhabith (kuat daya ingatan) sampai kepada perawi
terakhirnya, serta tidak ada kejanggalan dan maupun cacat.”
(al-Thahhan, t.th: 30)

Sebuah hadits dinilai shahih jika memenuhi lima kriteria


berikut, yaitu:

a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)

b. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat)

c. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat)

d. Tidak janggal (’adam al-syudzudz)

e. Tidak cacat (’adam al-’illah)

Pertama, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah


seluruh mata rantai periwayatnya (jalur transmisi) dari setiap generasi
ke generasi yakni nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in tersambung
tanpa ada satupun yang terputus.
Kedua, kualitas perawi harus ‘adil. Ini bukanlah maksud adil
dalam definisi bahasa Indonesia. ‘Adil dalam istilah ulum al-hadits
adalah kondisi perawi yang beragama Islam, mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah (Ismail, 1992:
129-134).
Dalam bahasa lain, indikator adil menyaran pada integritas
periwayat yang dibuktikan dalam track record (rekam jejak) sikap,
tindak-tanduk, perilaku, dan moralitasnya.
Ketiga, dhabit atau yang dalam bahasa Indonesia dabit
merupakan kualitas intelektualitas personal perawi.
Secara harfiah, dhabt berarti kokoh, kuat dan tepat. Sedang
secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi
terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna, mampu
menyampaikannya kepada orang lain dengan tepat dan mampu
memahaminya dengan baik.
Secara singkat dhabith adalah kapasitas intelektual yang
menunjukkan bahwa orang yang meriwayatkan hadits itu terkategori
orang yang pandai dan cerdas.
Keempat, tidak boleh ada syadz (kejanggalan bertentangan
dengan kandungan al-Qur’an. Bahkan hadis dapat
pula dikatakan syadz apabila bertentangan dengan akal sehat.
Kelima, tidak boleh ada ‘illat (kecacatan). Cacat dalam
periwayatan hadis bisa berupa sanad yang tampak tersambung dan
sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya hanya sampai
kepada sahabat atau tabi’in.
Hadist Sahih

a. Pengertian

Hadis bernilai sahih adalah hadis yang memenuhi lima


kriteria atau syarat kesahihan hadis yang meliputi ketersambungan
sanad, perawi yang adil, perawi yang sempurna kedabitannya, tidak
ada syaz dan tidak terdapat ‘Illat..

b. Pembagian Hadis Sahih

Perlu diketahui bahwa hadis sahih terbagi menjadi dua,


yakni hadis sahih li dzatihi dan hadis sahih li ghayrihi.

Pembagian ini terjadi berdasarkan sebab sahihnya hadis.


Jika sebuah hadis memenuhi lima syarat kesahihan secara
sempurna sebagaimana yang disebutkan di atas, maka disebut
hadis sahih li dzatihi, atau dalam bahasa sederhana sahih
karena sendirinya.

Adapun jika sebuah hadis memenuhi lima kriteria tadi


hanya saja tidak sempurna dalam hal kedabitan (yang kemudian
disebut dengan hadis hasan) tetapi memiliki riwayat lain dari sanad
yang berbeda baik dengan kualitas sama atau lebih baik, maka
disebut hadis sahih li ghayrihi.

Dengan kata lain, hadis sahih li ghayrihi adalah hadis yang


menjadi sahih bukan karena sendirinya, melainkan dukungan dari
jalur lain.
Terkait status kehujahan, hadis sahih li ghayrihi memiliki
kualitas lebih rendah dari hadis sahih li dzatihi
c. Contoh Hadis Shahih
Untuk memudahkan pemahaman kita tentang hadis sahih,
perhatikan contoh berikut, sebuah hadis yang diriwayatkan al-
Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari nomor 723:
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Yusuf dari Malik dari
Ibn Syihab dari Muhammad Ibn Jubayr Ibn Muth’im dari ayahnya
bahwa ia mendengar Rasulullah saw membaca surat al-Thur pada
salat Maghrib.”
Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa hadis di atas bernilai
sahih karena seluruh periwayatnya mendengar dan menerima
langsung dari gurunya dan tidak terindikasi sebagai mudallis atau
perekayasa hadis
Oleh karena itu, hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai
hadis sahih, dan sebab dabit para perawinya sempurna, maka disebut
hadis shahih li dzatihi.
d. Kitab Hadis Sahih

Kitab-kitab yang memuat hadis-hadis sahih di dalamnya di


antaranya adalah al-Jami’ al-Shahih karya imam al-Bukhari (w. 256
H.), Shahih Muslim karya imam Muslim (w. 271 H) Shahih Ibn
Khuzaymah karya Ibn Khuzaymah (w. 311 H) dan Shahih Ibn Hibban
karya Ibn Hibban (w. 354 H.)
2. Hadis Hasan

a. Pengertian

Al-Hasan secara bahasa al-jamal yang berarti sesuatu yang


baik atau indah. Sedang menurut istilah ahli hadis, didapati beberapa
definisi tentang hadis hasan.
Pertama, hadits hasan merupakan hadis yang diketahui
sumbernya, diketahui para perawinya serta menjadi pokok
pembicaraan bagi mayoritas ahli hadits dan riwayat tersebut diterima
oleh kalangan ulama juga banyak digunakan oleh para Fuqaha.
Pengertian ini digagas oleh al-Khattabi.
Kedua, hadis hasan didefinisikan dengan setiap hadis yang
diriwayatkan bukan oleh orang yang diduga berdusta (muttaham bi al-
kadzib), tidak terdapat syadz serta memiliki riwayat dari jalur yang
lain. Definisi yang cenderung berbeda dengan yang pertama ini
disampaikan oleh al-Tirmidzi.

Ketiga, hadis hasan adalah hadis ahad yang memenuhi


kriteria hadis sahih, hanya saja kurang baik secara intelektualitas atau
hafalannya atau tidak sempurna kedabitannya. Pengertian ini
merupakan definisi yang diberikan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani
(Herlambang & Anwar, 2019: 50).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hadis hasan adalah hadis yang


hampir mendekati kualitas sahih karena terpenuhinya seluruh kriteria
kesahihan. Namun, sebab kedabitannya tidak sebaik yang
seharusnya, maka kualitasnya tidak sahih melainkan hasan.

b. Pembagian Hadis Hasan

Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan terbagi ke dalam dua,


yakni hasan li dzatihi dan hasan li ghayrihi.

hadis hasan li dzatihi adalah hadis hasan yang memiliki


kriteria standar hasan yang sesungguhnya sebagaimana telah
dijelaskan; atau hadis yang hasan karena sendirinya.
Adapun yang disebut dengan hadis hasan li ghairihi sejatinya
merupakan hadis daif namun diriwayatkan melalui banyak jalur dan
penyebab kedhaifannya bukan karena kefasikan atau kebohongan
perawinya (faktor ‘adalah).
Dengan kata lain, hadis hasan li ghairihi adalah hadis daif yang
memiliki jalur riwayat lain dengan kualitas setara atau lebih baik
sehingga menguatkan jalur yang bersangkutan.

c. Kitab Hadis Hasan

Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis hasan yaitu


Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), Sunan
al- Tirmidzi karya al-Tirmidzi (w. 279 H) dan Sunan al-Daruquthni
karya al- Daruquthni (w. 385 H.)

Hadits Dhoif

a. Pengertian

Secara bahasa, daif berarti lemah karena merupakan antonim


dari al-qawiyy (kuat).
Sedangkan menurut istilah, Al-Nawawi menyebut bahwa hadis
daif adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis
sahih maupun syarat-syarat hadis hasan.

Searah dengannya, Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis daif


sebagai hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis
maqbul (sahih atau hasan).

Jika kita menyepakati definisi yang terakhir ini yang secara


tegas menyebut bahwa hadis daif adalah hadis yang tidak memenuhi
salah satu dari syarat kesahihan hadis, maka apabila lebih dari satu
syarat yang tidak terpenuhi, kategori hadis tersebut bisa sangat lemah
(Suparta, 2016: 150).
b. Jenis Hadis Daif

Oleh karena batas hadis daif adalah hadis yang tidak


memenuhi syarat sahih dan hasan, maka varian dari hadis daif
menjadi sangat banyak. Sebagian ahli hadis menghimpunya dan
terkumpul 381 bentuk hadis daif

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sebuah hadis


dinilai daif sekaligus mengklasifikannya menjadi macam-macam
hadis daif. Munzier Suparta (Suparta, 2016: 150-151)
merincikannya sebagai berikut:
a. Pada Sanad

1. Sanadnya tidak tersambung:

a. Gugur pada sanad pertama, hadisnya disebut


mu’allaq.

b. Gugur pada sanad terakhir (tingkat sahabat), hadisnya


disebut mursal.
c. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya
secara berurutan, hadisnya disebut mu’dhal.

d. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya


secara tidak berurutan, hadisnya disebut munqathi’.

2. Kecacatan pada keadilan dan atau kedhabitan perawi


a. Dusta, hadis yang rawinya berdusta disebut
maudhu’.

b. Tertuduh dusta, maksudnya perawi tersebut dikenal


sering berdusta dalam kehidupan sehari-hari walau
belum diketahui dia melakukan kedustaan dalam
periwayatan atau tidak. Hadits dhaif sebab ini disebut
matruk.
c. Fasik

d. Banyak salah

e. Lengah dalam menghafal, hadisnya disebut munkar.


f. Banyak wahm (kekeliruan tersembunyi), hadisnya
disebut dengan mu’allal.
g. Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah. Bentuk
menyalahinya dapat berupa ada penambahan atau
sisipan, maka hadisnya disebut mudraj. Bila karena
diputarbalikkan, hadisnya disebut maqlub. Sebab rawi-
rawinya tertukar-tukar disebut mudhtarib, sementara
bila yang tertukar adalah huruf-syakal disebut
muharraf; dan bila penambahan itu berupa titik atau
kata disebut mushahhaf.

h. Tidak diketahui identitasnya, hadisnya disebut


mubham.

i. Penganut bidah.

j. Tidak baik baik hafalannya disebut syadz

b.Pada Matan

a) Mauquf, hadis yang secara kandungan hanya


disandarkan sampai sahabat.
b) Maqthu’, hadis yang secara kandungan hanya
disandarkan sampai tabi’in.

b. Kitab Hadis Daif


Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis daif adalah al-
Marasil karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), al-‘Ilal karya al-
Daruquthni (w. 385 H) dan Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-
Mawdhu’ah karya al-Albani (w. 1420 H).

Analisis kesahihan hadits

Menganalisis kesahihan hadis dilakukan terhadap dua aspek, yaitu


aspek sanad dan aspek matan.

Sanad yang sahih harus memenuhi lima syarat yang telah


dijelaskan sebelumnya yakni ketersambungan sanad, keadilan
perawi, kedabitan perawi, tidak ada kejanggalan dan tidak ada cacat.

Sementara dalam menguji matan, Salah al-Din Ibn Ahmad


al-Adlabi dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘ind ‘Ulama al-Hadits al-
Nabawi menjelaskan empat aspek yang perlu diperhatikan.
Pertama, makna hadis tidak bertentangan dengan petunjuk
al-Qur’an.
Kedua, makna hadis tidak bertentangan dengan hadis sahih
lainnya dan sirah Nabi.
Ketiga, makna hadis tidak bertentangan dengan akal sehat,
indera dan fakta sejarah. Keempat, susunan pernyataannya
menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian (Al-Adlabi, 1983: 230).
Kajian kritik hadis di era modern mulai memasukkan kajian
hermenetika sebagai pisau analisisnya.
Melalui metode ini kritik hadis dilakukan dengan 3 teknik
yaitu, kritik teks, kritik historis, dan kritik praksis. Kritik teks dalam
hal ini menyaran pada kajian mendalam terhadap teks hadis dengan
menggunakan prinsip linguistic (kebahasaan), tematis-komprehensif
(kesatuan tema hadis), prinsip konfirmatif (membandingkan dengan
al- Qur’an,
Hadis yang sahih, dan fakta ilmiah dan sejarah), distingsi
etis legis (membedakan antara aspek etika/ nilai/ filosofis hukum dan
formula hukum), dan distingsi instrumental-intensional
(membedakan antara aspek tujuan dan instrumen dalam formulasi
hukum).
Adapun kritik historis menyaran pada analisis terhadap
validitas hadis ditinjau dari sanadnya, ditambah analisis terhadap
situasi kondisi ketika sunnah tersebut terjadi (dalam bahasa klasik
disebut dengan asbabul wurud).
Sedangkan kritik praksis, mengacu pada prinsip realistic
yaitu melalui pemahaman yang mendalam realitas yang dihadapi
pembaca hadis di era modern, termasuk pemanfaatan temuan
keilmuan dan kajian modern dalam analisis.
Selanjutnya, sebagai praktik analisis, mari kita telaah hadis
tentang kewajiban mencari ilmu.
Karena banyaknya kitab yang mencantumkan hadis ini,
maka hadis inipun sangat sering dikutip dalam karya-karya ilmiah,
buku-buku maupun tulisan populer serta kerap juga diungkap dalam
seminar dan ceramah-ceramah.
Namun demikian, Ibn Majah sendiri menganggap hadis ini
termasuk hadis daif. Kelemahan hadis ini terletak pada seorang
rawinya yang ada pada rangkaian sanad yaitu Hafash bin Sulaiman
yang dinilai tidak tsiqah oleh
Yahya bin Ma’in dan dikatakan matruk oleh Ahmad bin
Hanbal dan al-Bukhari.

Meskipun hadis di atas daif dari sisi perawi, akan tetapi


kandungan matannya sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang
memerintahkan kaum Muslimin menggali pengetahuan, antara lain
surat al-Taubah ayat 122 dan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Sehingga,
secara matan hadis ini dapat diterima.

Sebaliknya, pendidikan Islam memberi kebebasan kepada


murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki.
Selain murid-murid, guru- guru juga melakukan perjalanan dan
berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mengajar sekaligus belajar.
Dengan demikian aktivitas rihlah ilmiyah menjadi cikal bakal lahirnya
learning society (masyarakat belajar).Artinya:
“Rasulullah saw bersabda: “Carilah ilmu walau sampai ke
negeri Cina” Hadis ini mengisyaratkan bahwa mencari ilmu itu harus
dilakukan walaupun untuk memperolehnya seseorang harus
melakukan perjalanan jauh. Sebab siapa yang tidak tabah
menghadapi kesulitan belajar, dia akan menjalani sisa hidupnya
dalam kebodohan, dan siapa yang bersabar dalam mencari ilmu
maka dia akan meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat.

Perintah untuk mencari ilmu sampai ke negeri China


mengisyaratkan pula perintah untuk bersikap terbuka menerima
kebenaran dari manapun datangnya kebenaran tersebut
Selain berimplikasi pada aktivitas mencari ilmu secara
individual, hadis Rasulullah tentang kewajiban belajar ini mendorong
lahirnya lembaga- lembaga pendidikan Islam baik yang formal
maupun informal.
Perbedaan antara formal dan informal dalam pendidikan
Islam di masa klasik terlihat pada hubungannya dengan negara.
Lembaga pendidikan formal adalah lembaga pendidikan yang
didirikan oleh negara untuk mempersiapkan pemuda-pemuda Islam
agar menguasai pengetahuan agama dan berperan dalam agama,
atau menjadi tenaga birokrasi, atau pegawai pemerintahan.

Lembaga-lembaga pendidikan formal ini dibiayai oleh negara


dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui wakaf yang mereka
berikan.
Pengelolaan administrasi berada di tangan penguasa.
Sedangkan lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara,
melainkan oleh swasta atau swadaya masyarakat.
Di antara bentuk lembaga-lembaga pendidikan Islam di
masa klasik adalah:
1. Maktab/Kuttab yang merupakan lembaga pendidikan dasar

2. Halaqah, yang merupakan pendidikan tingkat lanjut setingkat


dengan college.

3. Majelis, yakni kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin


ilmu
4. Masjid Jami atau universitas, seperti Masjid Jami al-Azhar di Cairo,
Masjid al-Manshur di Baghdad, dan Masjid Umayyah di Damaskus.
5. Khan yaitu asrama pelajar atau tempat belajar secara
privat.

6. Ribath yaitu tempat kegiatan kaum sufi

7. Rumah-rumah ulama

8. Perpustakaan

9. Observatorium seperti Baitul Hikmah yang dibangun oleh al-Makmun


di Baghdad dan Darul Hikmah yang dibangun oleh al-Hakim di Mesir.

10. Selain itu ada observatorium Dinasti Hamadan yang dikelola oleh Ibn
Sina dan observatorium Umar Khayyam.

Daftar materi - Mengidentifikasi kesahihan sebuah hadits


pada KB - Menilai sebuah hadits palsu atau tidak
2
yang sulit
dipahami

Daftar materi
yang sering
mengalami - Persamaan antara hadist Sahih dan Hadits Hasan
3
miskonsepsi - Membedakan antara Hadits Dhoif dan Hadits Palsu
dalam
pembelajaran

You might also like