Professional Documents
Culture Documents
net/publication/325755006
CITATIONS READS
3 3,655
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Karto Wijaya on 20 February 2019.
ABSTRACT
Education city so as not to just pinned Bandung, because Bandung City as part
of an education establishment Bandung City history itself. Education life in Bandung
city began to improve since the establishment of indigenous prospective
teachers/Hollandsch Inlandsche Kweekschool abbreviated HIK48 founded in 13 Mei
1868. After independence until now, the development of Bandung as the education
town is growing, there are more than 168 universities in Bandung City. Among than
the 168 universities, there are11 public universities and 8 of them are located in north
of Bandung. Things that make one of uniqueness Bandung. The Balubur-Tamansari
as one fo the oldest districts in the provision of student dormitory can not be separated
from the growth and development of Bandung, but Balubur-Tamansari is still enough
to maintain the structure of the village as it identity. The student who lived there
became a catalyst in the development of this region. The concept of Balubur-
Tamansari area its a creative village which is a pilot project of the government
program, making one of the strengths in developing a regional identity in particularly
and generally of Bandung city. Student as a catalyst along with the residents maintain
the values inherent in this region in maintaining the continuity of life in the absence of
conflict between student and residents who rarely occurs smoothly cause conflict with
one another, as well the adjustment of migrant students in performing daily activities
lead to the characteristic region is maintained as strength, individuality and identity of
the area.
Key World: Identity, Education City, Characteristic Region, Socio-Culture
ABSTRAK
Sebagai kota pendidikan tidak begitu saja disematkan kepada Kota Bandung, karena
Bandung sebagai kota pendidikan merupakan bagian dari sejarah pendirian Kota
Bandung itu sendiri. Kehidupan pendidikan di Kota Bandung mulai menunjukkan
perkembangan sejak berdirinya sekolah pendidikan calon guru pribumi/Hollandsch
Inlandsche Kweekschool disingkat HIK48 yang didirikan tanggal 13 Mei 1868. Dan
setelah kemerdekaan sampai sekarang, perkembangan kota sebagai kota pendidikan
semakin berkembang, hampir tidak kurang dari 168 perguruan tinggi berada di Kota
Bandung. Dari 168 perguruan tinggi tersebut terdapat 11 perguruan tinggi negeri yang
berada di Kota Bandung, 8 diantaranya terletak di kawasan Bandung Utara. Hal inilah
yang menjadikan salah satu keunikan Kota Bandung. Kawasan Balubur-Tamansari
sebagai salah satu kawasan tertua dalam penyediaan pondokan mahasiswa tidak
lepas dari pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung, akan tetapi kawasan
Balubur-Tamansari masih cukup kuat untuk mempertahankan struktur kampung
sebagai identitas dari kawasan ini. Adanya mahasiswa yang mondok di kawasan ini
menjadi katalisator dalam perkembangan kawasan. Konsep kawasan Balubur-
Tamansari sebagai kampung kreatif yang merupakan “pilot project “ dari program
Asep Yudi Permana1) dan Karto Wijaya 2)- Kota Bandung: Kota Bandung antara Citra dan Identitas Kota
1-27
Pemerintah Kota Bandung, menjadikan salah satu kekuatan dalam mengembangkan
identitas kawasan khususnya dan Kota Bandung pada umumnya. Mahasiswa
sebagai katalisator bersama dengan warga menjaga nilai-nilai yang melekat di
kawasan ini dalam menjaga kelangsungan kehidupan tanpa adanya konflik diantara
warga asli dengan mahasiswa pendatang. Komunikasi antar mahasiswa dengan
warga yang lancar menyebabkan jarang terjadi konflik satu dengan lainnya, serta
adanya penyesuaian dari pendatang/mahasiswa dalam melakukan aktivitas sehari-
hari menyebabkan karakteristik kawasan tetap terjaga sebagai kekuatan, ciri khas,
dan identitas kawasan.
PENDAHULUAN
Bandung sebagai kota yang pernah mendapat julukan Parijs van Java tidak lahir dari
kekuatan lokal pribumi, tetapi sejarah kota Bandung berangkat dari pengukuhan
kekuasaan Hindia-Belanda sejak akhir abad ke-19, ketika Marschaal Hermann Willem
Daendels mempertautkan jalan Raya Pos/Grote Postweg/sekarang jalan Asia Afrika
dengan jalan Raya Anyer-Panarukan pada tahun 1811. Pada saat itu pula Daendels
menginstruksikan untuk membangun kota Bandung dengan menancapkan tongkat di
muka jalan Braga sekarang. Dalam perkembangannya didukung oleh pembangunan
jalan kereta api yang menghubungkan antara Jakarta/dulu dikenal Batavia dengan
Bandung tahun 1884. Kunto (1986) melukiskan tentang Kota Bandung, pada waktu
Daendels datang di Bandung masih dalam keadaan hutan dengan permukiman yang
sedikit penduduknya. Daendels menginstruksikan kepada Bupati di daerah sekitar
Cikapundung Kolot untuk membangun pusat kota di sekitar Grote Postweg. Akhirnya
Pemerintahan lokal yang semula tinggal di daerah Cikapundung kolot, kemudian
membangun tempat tinggal dan mesjid serta lapangan di kawasan alun-alun kota
Bandung sekarang. Pemindahan fasilitas pemerintahan ini pembangunannya
dilaksanakan sebelum Daendels diganti oleh pemerintah kolonial Inggris Raya pada
tahun 1881, sejak itulah terbangun citra kota Bandung sebagai salah satu kota
kolonial dengan ditandai dibangun kawasan-kawasan yang dikuasai Belanda dan
Inggris Raya.
Citra suatu kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan dari masyarakat terhadap
unsur-unsur yang nyata dan tidak nyata, dimana kota bukanlah lingkungan buatan
yang dibangun dalam waktu singkat akan tetapi terbentuk dalam satu kondisi yang
relatif panjang. Menurut Kostof (1991) kota merupakan hasil peleburan dari bangunan
dan penduduk, dimana bentuk kota pada awalnya sebagai bentuk yang netral, akan
tetapi berubah karena dipengaruhi oleh budaya manusia. (Heryanto, 2011; Dharma,
2013). Menurut Oktay (2006) menyatakan bahwa kota berubah secara terus menerus
dan melahirkan bentuk-bentuk baru, di mana identitas kota tercipta melalui interaksi
yang kompleks dari alam, sosial, dan elemen terbangun. Oleh sebab itu lingkungan
perkotaan harus dipertimbangkan dari perspektif historis, tidak hanya dalam
pengertian bangunan kuno akan tetapi juga kepada evolusi dari konteks lokasi
perkotaan itu sendiri. Pada tingkat dasar kota dapat diidentifikasi melalui seting
geografis, di mana elemen terbangun merupakan bentuk yang paling utama yang
mempengaruhi identitas baik secara positif maupun negatif dalam waktu yang
singkat. Bangunan dan kawasan bersejarah dapat menambah citra dan identitas bagi
suatu kota. Eksistensi bangunan dan kawasan bersejarah mampu membentuk nilai-
nilai lokalitas dalam wujud arsitektural dan kawasan yang memberikan citra tersendiri
1-28 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5
bagi suatu kota. Citra dan identitas kawasan sering kali menjadi tolok ukur bagi
kekuatan suatu lingkungan, khususnya menyangkut cara pandang orang terhadap
nilai lingkungannya. Sehingga dengan kekuatan citra kawasan maka identitas pun
akan muncul sebagai satu perbedaan terhadap kawasan-kawasan lainnya. Identitas
ini menjadi ciri tersendiri bagi suatu kawasan (Relph, 1976; Punter, 1991; Muharam,
2002; Johana, 2004; Dharma, 2013)
KAJIAN TEORI
Identitas: antara Identitas Kota dan Identitas Perkotaan
Lingkungan fisik sebagai salah satu faktor dalam membangun konsep identitas kota,
dimana manusia menggunakan konsep diri sebagai wujud informasi tentang tempat
asalnya. Informasi tempat yang mereka miliki membentuk preferensi dari lingkungan
dan bagaimana mereka melihat lingkungannya. Identitas pada dasarnya tidak hanya
berpengaruh pada jenis lingkungan yang mereka cari tetapi juga berpengaruh
terhadap yang mereka miliki.
Identitas dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya dapat dilihatsebagai sebuah
dinamika produk sosial dan interaksi kapasitas memori, kesadaran, dan organisasi.
Selain itu identitas juga dapat dilihat sebagai sebuah struktur maupun proses. Proses
formasi dari identitas di arahkan oleh prinsip-prinsip yang berbeda sesuai budaya dan
seiring dengan waktu dan lintasan situasi. Breakwell (1986) membagi 4 (empat)
prinsip-prinsip identitas, yaitu (a) Kesinambungan/ kontinuitas; (b) Perbedaan/
keistimewaan; (c) Kemampuan diri/daya; dan (d) Harga diri.
Terdapat pengertian yang berbeda antara identitas kota dengan identitas perkotaan.
Di mana identitas kota lebih menekankan pada aspek visual dari fisik suatu kota,
sedangkan identitas perkotaan cenderung lebih menekankan pada bagaimana
manusia memaknai suatu tempat. Identitas perkotaan pada dasarnya diperoleh
melalui berbagai jejaring sosial yang melekat secara teritorial. Kajian identitas suatu
kota biasanya menggunakan pendekatan teori citra kota sedangkan identitas
perkotaan biasanya menggunakan pendekatan teori tempat. Ada dua cara di mana
place berhubungan dengan identitas, yaitu (a) identifikasi tempat, yang mengacu
pada identifikasi yang diekspresikan seseorang pada suatu tempat yang menjadi
bagian dari identitas sosialnya; dan (b) tempat berhubungan dengan identitas, di
mana identitas tempat sebagai suatu identitas khusus suatu tempat yang berda
dengan identitas sosial. (Dharma, 2013)
Kekhasan dan keunikan perilaku dan adat istiadat warga kota, serta beragamnya
lokasi berdasarkan geografis dan iklimnya, akan berkontribusi terhadap penampilan
citra dari kota tersebut. Penyeragaman wajah kota merupakan cerminan dari bahasa
Asep Yudi Permana1) dan Karto Wijaya 2)- Kota Bandung: Kota Bandung antara Citra dan Identitas Kota
1-29
kekuasaan yang diterapkan begitu saja pada masyarakat, yang notabennya hanya
sebagai masyarakat pinggiran dan tidak bisa ikut dalam proses pengambilan
keputusan. Lughod (1991) menekankan bahwa penyeragaman menciptakan satu
homogenitas yang menghilangkan mosaik kultur dan subkultur yang sesungguhnya
menjadi satu kekuatan kota yang amat mempesona. (Budihardjo, 2011).
LOKASI PENELITIAN
Kota Bandung terletak pada koordinat 107° BT and 6°55’ LS. Luas Kota Bandung
adalah 16.767 hektar, dengan terletak pada ketinggian ±768 m di atas permukaan
laut rata-rata (mean sea level), dengan di daerah Utara pada umumnya lebih tinggi
daripada di bagian selatan. Ketinggian di sebelah Utara adalah ±1050 msl,
sedangkan di bagian selatan adalah ±675 msl. Kota Bandung dikelilingi oleh
pegunungan, sehingga Bandung merupakan suatu cekungan (Bandung Basin). Kota
ini secara geografis terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Barat, dengan demikian,
sebagai ibu kota provinsi, Bandung mempunyai nilai strategis terhadap daerah-
daerah di sekitarnya. Melalui Kota Bandung mengalir sungai utama seperti Sungai
Cikapundung dan Sungai Citarum serta anak-anak sungainya yang pada umumnya
mengalir ke arah Selatan dan bertemu di Sungai Citarum, dengan kondisi yang
demikian, Bandung Selatan sangat rentan terhadap masalah banjir.
Kawasan Balubur-Tamansari
Kota Bandung
Wilayah Cibeunying
Wilayah Bojonegara
Wilayah Tegallega
Wilayah Karees
Wilayah Gedebage
Asep Yudi Permana1) dan Karto Wijaya 2)- Kota Bandung: Kota Bandung antara Citra dan Identitas Kota
1-31
Bandung ini terdapat 11 Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Institut Teknologi Bandung,
Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Politeknik Negeri Bandung, Politeknik
Kesehatan Kemenkes Bandung, Politeknik Manufaktur Bandung, Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Bandung, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung/NHI, Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial.STKS Bandung, dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Hal
inilah yang menjadi salah satu keunikan yang dimiliki Kota Bandung dibandingkan
dengan Kota-Kota lain di Indonesia. Sebaran dari 11 Perguruan Tinggi Negeri yang
ada di Kota Bandung diantaranya 8 perguruan tinggi berada di kawasan Bandung
Utara. Sedangkan di kawasan Bandung Utara sendiri terdapat hampir 22 perguruan
tinggi. Dengan banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang ada
memberikan dampak yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan
Kawasan Balubur-Tamansari Kota Bandung, baik mulai dari perubahan struktur kota
sampai pertumbuhan ekonominya.
Perkembangan kota dengan menjamurnya perguruan tinggi yang berada di Kota
Bandung menimbulkan adanya permintaan/ demand rumah pondokan yang
sementara fasilitas asrama/mess/dormitory tidak disediakan oleh perguruan tinggi.
Hal ini mengakibatkan supply diserahkan kepada masyarakat sekitar perguruan tinggi
masing-masing. Dari sisi positifnya, hal ini menimbulkan pertumbuhan perekonomian
disekitar perguruan tinggi tersebut meningkat, sedangkan dari sisi negatif
memberikan dampak terhadap perkembangan kota yang kurang baik seperti: timbul
daerah padat penduduk/slums terutama di daerah kantung-kantung dekat dengan
perguruan tinggi. Disisi lain, kompleksitas kehidupan mendorong terhadap perubahan
radikal dalam tatanan kehidupan. Kawasan Balubur-Tamansari sebagai salah satu
kawasan tertua dalam penyediaan pondokan mahasiswa tidak lepas dari
pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung, akan tetapi kawasan Balubur-
Tamansari masih cukup kuat untuk mempertahankan struktur kampung sebagai
identitas dari kawasan ini dari pengaruh migrasi mahasiswa/migrant student.
Citra dan Estetika Kawasan Balubur, Tamansari Kota Bandung
Citra dan estetika Kawasan Balubur, Tamansari yang dibentuk oleh elemen path/jalur
pada keadaan sejak tumbuh dan berkembangnya kawasan ini, menunjukkan sebagai
identitas dari Kawasan Balubur-Tamansari. Dari hasil analisis elemen citra kawasan,
dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Fungsi gang sebagai path/jalur rute-rute sirkulasi
masyarakat pengguna untuk melakukan pergerakan secara umum; (2) Keberadaan
Sungai Cikapundung sebagai edge/ tepian Kawasan Balubur-Tamansari dibagian
barat dan jalan Tamansari di timur kawasan ini; (3) Fungsi pertemuan antar gang
yang ada di kawasan ini sebagai node/simpul pertemuan komunikasi diantara warga.
Pada beberapa titik node/simpul gang yang mempunyai lebar yang cukup lebar terjadi
ruang komunikasi, seperti digunakan untuk ruang komunitas kawasan, ruang
berkumpul, dan lain-lain; dan (5) Landmark/tengeran sebagai identitas dari kawasan
merupakan titik referensi yang paling mudah untuk dikenali dalam bentuk visual yang
menonjol.
Sekaitan dengan kondisi kontur Kawasan Balubur-Tamansari yang cukup curam
dengan tingkat kepadatan permukiman termasuk ke dalam kawasan padat dengan
struktur permukiman kampung kota, sehingga yang menjadi identitas dari kawasan
tersebut adalah karakter dari kawasan tersebut. Landmark kawasan berupa
bangunan terkaburkan oleh kondisi bangunan-bangunan yang ketinggiannya hampir
merata. Sebagai identitas yang menjadi landmark kawasan ini adalah adanya pohon
yang cukup tua usianya dengan menjulang tinggi berada diantara blok-blok bangunan
permukiman yang ada. Sedangkan yang menjadi landmark secara makro Kawasan
1-32 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5
Balubur-Tamansari antara lain: dibagian timur merupakan Kawasan ITB, di selatan
Kawasan terdapat pertokoan BALTOS/Balubur Town Square, dibagian barat terdapat
pusat pertokoan Ci-Walk di dalamnya terapat Hotel Sensa dan ke arah utaranya
terdapat Apartemen yang lokasinya tepat berada di pemandian tertua/pemandian
Cihampelas.
REFERENSI
Arend, 1987, Human Condition, MIT Press, London
Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2011
Breakwell, G (ed)., 1986, Coping with Threatened Identities, Methuen & Co,
London.
Budihardjo, Eko, 2011, Penataan Ruang Pembangunan Perkotaan, PT. Alumni:
Bandung
Champan, D., 1996, Exterior Design in Architecture Lansecape, Van Nostrand
Reinhold Company, Chicago.
Cullen, G., 1961, consept of visual, MCGrrcw Hill Book Company Inc., London.
Asep Yudi Permana1) dan Karto Wijaya 2)- Kota Bandung: Kota Bandung antara Citra dan Identitas Kota
1-33
Dharma, Agus Tohjiwa, 2013, Identitas Perkotaan Bogor dalam Pengaruh
Megapolitan Jakarta, Disertasi Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan,
Universitas Diponegoro Semarang
Fredman, J., 1966, Urban Vulnerability Perspective from Southrn Africa, Oxfam
Publishing, Oxford.
Gee, Mc., 1979, The Urbanization Process in The Third World, Bell & Hyman,
London
Gehl, J., 198,. Fundamental of Creative Thingking, Lexington MA, Lexington
Books.
Gilbert, A., dan Gugle J., 1983, Cities Poverty and Development Urbanization in
The Third World, Oxford University Press., Oxford.
Hall, E.T., 1995, The Nature of Human Intelligence, McGraw Hill, New York.
Hammer, W.A., Indonesian The Challenge of urbanization The World Bank
Paper, 1985 dan Escap 1993
Heryanto, Bambang, 2000, Urban Form of Indonesian Cities During the Colonization
Period, Sci & Tech, Vol.2, No.1, Desember, pp.11-20.
Heryanto, Bambang, 2011, Roh dan Citra Kota – Peran Perancangan Kota sebagai
Kebijakan Publik. Surabaya: Brilian Internasional.
Hughes, P., and Davis M., 2002, Student Housing: a cautionary Tlae of One City,
Journal of social welfare and family law, (2412), p.135-151
Kier, R., 1979, Urban Space, Rizzoli International Publications, Michigan.
Kostof, Spiro, 1991, The City Dhaped: Urban Pattern and Meaning Through
History, London: Thames and Hudson Ltd.
Kunto, Haryoto, 1986, Semerbak Bunga di Bandung Raya, PT. Granesia, Bandung
Lefebvre, H., 1991, The Production of Space, Blackwell Publishers Inc.,
Massachusetts.
Lynch, K.,1969, Sense of Place, Library of Congress Press., Harvard.
Malnar, J.M., 1992, Housing, Man in The Primitive World, MC.Grow Hill Book
Company Inc., London.
Marcella, J.L., 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Gramedia, Jakarta.
Mulder, C.H., 1996, Housing Choice: Assumptions and Approaches, Netherland
Journal of Housing and The Built Environment, vol. 11 p.3
Oktay, Derya, 2005, How can urban context maintain urban Identity and
sustainability, Makalah dipresentasikan pada International Conference for
Integrating Urban Knowledge and Pactice, Gothenburg, Swedia.
Permana, Y.A.,dkk., 2006, Pola Tata Ruang Dalam dalam Perancanganan Ruang
Bermain Anak di Bantaran Sungai Cikapundung Bandung, Hibah PEKERTI
Dibiayai Dikti Kemendiknas (tahun 2006, dan 2007).
Permana, Y.A., dkk., 2010, Makna Ruang Sosial di kawasan Padat penduduk
lingkungan tempat tinggal mahasiswa di Kelurahan Isola Kec. Sarijadi
Bandung, Hibah Bersaing Dibiayai Dikti Kemendiknas.
Rapopot, Amos. 1977. House Form and Culture, Prentice-Hall International Inc.,
London.
Renzulli, 1981, Perancangan Kota, Erlangga, Jakarta
Relphs, E., 1976, Place and Placelessness, London: Pion Limited
Soja, Edward, 1996, Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other: Real-and-
Imagined Places, Blackwell Publishers Inc., Masschusetts.
Trancik, R., 1986. Finding Lost Space, Van Nostrad Reinhold Company, New York.
1-34 Semnas Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara, Bali-2013, ISBN No. 978-602-7776-68-5