You are on page 1of 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/353793485

Mahasantri sebagai Agen Toleransi

Chapter · March 2021

CITATIONS READS
0 334

1 author:

Fazlul Rahman
Universitas Gadjah Mada
8 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Contestation for Authority: Internet and Islam among Kiais View project

Evolutionary Discourse and Praxis of Religious Pluralism (2015) View project

All content following this page was uploaded by Fazlul Rahman on 10 August 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.





Percikan Pemikiran Dosen Pendidikan Agama
Islam Indonesia tentang Relasi Kehidupan
Beragama di Indonesia



Percikan Pemikiran Dosen Pendidikan Agama
Islam Indonesia tentang Relasi Kehidupan
Beragama di Indonesia

Acep Nurlaeli Muhammad Fauzy Emqi


Ahmad Saefulloh Muhammadong
Ainur Alam Budi Utomo O Rahmat Hidayat
Carlos L. Prawirosastro Raja Dedi Hermansyah
Endang Iryanti Rohmatul Faizah
Erwin Kusumastuti Saifuddin Zuhri
Fathudin Ali Septian Arief Budiman
Fazlul Rahman Yulianti
Imam Ghozali Zawawi
Ma'zumi

iii
SENDI-SENDI UKHUWAH ISLAMIAH
Percikan Pemikiran Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia tentang Relasi
Kehidupan Beragama di Indonesia

Penulis: Acep Nurlaeli Muhammad Fauzy Emqi


Ahmad Saefulloh Muhammadong
Ainur Alam Budi Utomo O Rahmat Hidayat
Carlos L. Prawirosastro Raja Dedi Hermansyah
Endang Iryanti Rohmatul Faizah
Erwin Kusumastuti Saifuddin Zuhri
Fathudin Ali Septian Arief Budiman
Fazlul Rahman Yulianti
Imam Ghozali Zawawi
Ma'zumi

Editor : Drs. H. Imam Ghozali, MM


Pengantar : DR. Aam Abdussalam
Prof. Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil.I
Desain Sampul : Tim Bintang Pustaka Madani
Tata Letak : Azarya Andre

Cetakan 1, Mart 2021

Diterbitkan melalui:
Penerbit Bintang Pustaka Madani
(CV. Bintang Surya Madani)
Anggota IKAPI
Jl. Wonosari Km 8.5, Dukuh Gandu Rt. 05, Rw. 08
Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta 57773

Kerjasama Penerbit:
Penerbit Omah Ilmu
Perumahan Taman Krajan B.6
Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta
WA: 0877 3416 8010
Email: penerbitomahilmu@gmail.com
xvii+310 halaman; 15x23 cm

ISBN:

iv
Mahasantri sebagai
Agen Toleransi

Dr. Fazlul Rahman, Lc., MA.Hum


UPN “Veteran” Jawa Timur

Pendahuluan

K eberagaman masyarakat Indonesia merupakan rahmat dari


sang pencipta yang harus terus dijaga. Semboyan “BHINEKA
TUNGGAL IKA” yang diabadikan dalam lambang Garuda Pancasila
sejatinya pengingat bagi seluruh individu yang hidup di Indonesia
bahwa kita beragam dalam banyak hal namun kita tetap satu. Lebih
dari itu, ia adalah jati diri seluruh rakyat Indonesia, terlepapas
apapun perbedaan suku, bahasa, agama, dan identitas lainnya
yang melekat pada diri warga negara Indonesia. Hal tersebut
meniscayakan satu kesadaran bersama untuk selalu menjaga
dan menjadikan perbedaan yang ada menjadi aset kebaikan
bagi individu secara khusus dan bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara umum. Begitu juga dalam hal perbedaan agama.
Dalam konteks Indonesia, keberagaman dalam beragama dan
keberagamaan menjadi nikmat tersendiri yang diberikan oleh
Tuhan khusus bagi bangsa Indonesia. Namun, nikmat tersebut

tersebut maka besar pula tanggung jawab yang harus diemban oleh
masyarakat Indonesia. Salah satu tanggung jawab yang paling jelas
harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia adalah menjaga

166
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

kesatuan, memperkukuh persaudaraan, mewujudkan kerukunan,


dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Sejarah membuktikan betapa menjaga kesatuan dalam sebuah
tatanan yang beragam bukanlah hal yang mudah. Betapa banyak
simpul-simpul yang harus diurai, terdapat sekian banyak benang
kusut yang harus dirunut satu persatu untuk bisa menggunakannya
kembali dan mengembalikan fungsinya untuk merajut pakaian
besar kebangsaan Indonesia. Salah satu prakarsa penting yang
telah dicanangkan oleh pendiri bangsa Indonesia dalam konteks
menjaga kedamaian dalam beragama adalah dengan menjadikan
“ketuhanan yang maha esa” menjadi sila pertama dalam pancasila.

gagasan brilian untuk bisa merangkul bukan memukul, mengajak


bukan mengejek, mengajar bukan menghajar, menghargai bukan
menghinakan sesama anak bangsa dari latar belakang agama
apapun.

sesungguhnya merupakan pengingat bagi siapapun yang ada


dan hidup di bawah bendera merah putih bahwa persatuan tidak
bisa dibeli dengan harta semahal apapun. Serangkaian peristiwa
intoleransi, ketidaksepahaman yang berujung pada kesewenang-
wenangan bahkan penindasan, perlu terus disikapi dengan
bijaksana dan aksi nyata demi terwujudnya bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang diberkahi oleh Tuhan. Segala usaha untuk
merajut kebinekaan kita harus terus selalu dilakukan secara
berkesinambungan, perlu adanya inovasi-inovasi pemikiran dan
prakarsa-prakarsa jitu dalam menghadapi tantangan masa depan
founding
father kita pernah menyatakan “Perjuanganku lebih mudah karena
melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena
melawan bangsa sendiri,” sesungguhnya hal tersebut sangatlah
terasa hari ini. Karena para penjajah hari ini ini dan dimasa depan
semakin lihai untuk bermetamorfosis menyembunyikan identitas
asli mereka di belakang dalih memperjuangkan bangsa.
Kompleksitas permasalahan bangsa di masa depan khususnya
yang terkait dengan usaha merawat keberagaman dalam beragama
tentunya meniscayakan adanya beragam inovasi dalam ranah
pemikiran. Lebih dari itu, penulis juga melihat pentingnya
menciptakan aktor-aktor penjaga toleransi yang tidak hanya
memiliki kapabilitas intelektual dalam mengatur perbedaan,
namun juga menjunjung tinggi keluhuran nilai-nilai agama yang
dianutnya. Pada titik ini, penulis melihat bahwa para mahasiswa
santri atau mahasantri merupakan bibit-bibit unggul untuk
menjadi aktor-aktor penjaga toleransi di tengah masyarakat yang

tulisan ini bermaksud menakar kemampuan, kelemahan, ancaman,


dan kesempatan yang dimiliki oleh sosok seorang mahasantri
untuk dapat mengemban amanat menjaga toleransi di Indonesia.

Sebelum kita lebih jauh menakar sosok mahasantri, pada


subbahasan ini penulis mengajak untuk mengenali apa dan siapa
yang dimaksud dengan mahasantri dan bagaimana sesungguhnya

sosok seorang mahasantri membawa dalam dirinya nilai-nilai


kemahasiswaan dan juga nilai-nilai kesantrian. Seorang mahasantri
diharapkan dapat menjadi santri yang mahasiswa juga mahasiswa
yang santri. Seorang mahasantri tidak hanya memiliki kapabilitas
intelektual layaknya seorang mahasiswa, tetapi juga dilengkapi
dengan perangai dan nilai-nilai luhur keislaman yang melekat
dalam dirinya yang merupakan cerminan dan realisasi dari nilai-
nilai kesantrian yang berlandaskan pada akhlak sebagai seorang
muslim. Di saat yang sama, seorang santri juga adalah seorang
mahasiswa yang tidak hanya memiliki keluhuran budi pekerti,
tetapi juga memiliki kemampuan intelektual yang mengakar kukuh
pada tradisi keilmuan Islam.
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, mahasantri
adalah sebutan bagi mereka yang yang terdaftar sebagai siswa

pendidikan berbasis pesantren dengantingkat yang sama


dengan institusi pendidikan tinggi lainnya. Namun demikian,

institusi pendidikan tinggi lainnya, yaitu model pembelajaran


yang melibatkan para santri sebagai peserta didik, bahan-bahan

168
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

perkuliahan yang merupakan kitab kuning level lumayan tinggi,


dan cara mengkajinya secara kirits1. Sesuai dengan Peraturan

menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang


penguasaan ilmu agama Islam ( ) berbasis
kitab kuning yang diselenggarakan oleh pondok pesantren.
Dengan terbitnya peraturan menteri tersebut, maka

dengan perguruan tinggi secara umum yang ada di Indonesia. Di

takhassus(konsentrasi) yang tersebar di 10 daerah berbeda di

tersebar di berbagai daerah di Indonesia dapat berkoordinasi satu


sama lain untuk melakukan berbagai kegiatan positif yang dapat
memaksimalkan potensi-potensi para mahasantri yang tersebar di
Indonesia tersebut.

kegiatannya yang padat. Seorang mahasantri merupakan gabungan


dari dua identitas mahasiswa dan santri, karenanya kegiatannya
pun menjadi turut bertambah. Selain melaksanakan tugas-tugas
dan mengikut agenda kegiatan di kampus, kebanyakan dari para
mahasantri diberi amanat sebagai pengurus di pesantren karena
memang mereka merupakan santri aktif yang juga memiliki
kewajiban-kewajiban sebagai seorang santri di pesantren.
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa mahasantri

bahwa kegiatan para mahasantri sesungguhnya sangatlah padat.


Sebagai seorang mahasantri, mereka biasanya dibangunkan sejak
dini hari sebelum subuh untuk melaksanakan berbagai ritual
ibadah menjelang salat subuh. Selesai salat subuh, biasanya para
mahasantri mengaji dengan pengasuh di pondok pesantren dan
juga ada diantara mereka yang memang diberikan amanat sebagai

LKiS, 2015).

169
ustaz atau ustazah yang harus mengajarkan adik-adik kelasnya.
Setelah mengaji selesai, barulah kemudian mereka bersiap-siap
untuk melakukan kegiatan perkuliahan yang biasanya dimulai dari
pukul delapan sampai waktu salat zuhur.
Setelah zuhur berjamaah, para santri biasanya diberikan waktu
untuk beristirahat makan siang dan melanjutkan kegiatan siang hari

para mahasantrinya untuk aktif mengabdi di masyarakat dengan


mengajarkan anak-anak di TPA sekitar pondok pesantren. Di

waktu sore untuk berolahraga atau mengembangkan minatnya


masing-masing. Setelah menunaikan salat magrib, sebagaimana
kegiatan di banyak pesantren, para mahasantri diwajibkan untuk

doa sambil menunggu waktu isya. Setelah waktu isya, biasanya para
mahasantri mengaji dengan pengasuh sesuai dengan takhassus-nya
masing-masing. Setelah mengaji inilah menjadi waktu khusus bagi
para mahasantri untuk mengembangkan intelektualitas mereka
dengan berbagai kegiatan diskusi antar para mahasantri ataupun
dengan pengasuh. Kegiatan diskusi ini, menurut penuturan salah
seorang santri, biasanya selesai hingga larut malam.

Strengths
Dalam mengkaji kasus menggunakan analisis SWOT, hal
pertama yang harus diketahui adalah strength atau kekuatan dari
produk yang kita miliki. Dalam konteks penelitian ini, produk yang
dimaksud adalah mahasantri. Penulis melihat beberapa faktor yang
merupakan kekuatan seorang mahasantri untuk menjadi agen
toleransi.
Pertama adalah fakta bahwa para santri merupakan generasi

2
Berdasarkan penelitian lapangan yang penulis lakukan di beberapa

bahwa kebanyakan para mahasantri lahir sekitar tahun 1999–


Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

2002 keatas. Lantas, apa kekuatan yang dimiliki oleh seorang dari

isu toleransi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin

sebagai berikut.

beraneka ragam.
2. Generasi yang canggih dalam menggunakan teknologi.
3. Berkomunikasi secara informal, individual, dan lurus.
do it yourself),” mengerjakan
sendiri.
5. Toleran, dapat dipercaya dalam berwirausaha, dan tidak
selalu berorientasi pada uang.
6. Lebih realistis dalam menetapkan ekspektasi dan optimis
memandang masa depan.

8. Ingin dianggap/didengar terlepas dari usia mudanya.3

karakteristik penting yang mendukung mereka untuk mampu


menghadapi isu-isu intoleransi dengan baik. Permasalahan yang
sudah sangat kompleks bahkan laten di masyarakat terkait dengan
kekerasan atau gesekan antarumat beragama tentu memerlukan
pemikiran-pemikiran yang out of the box. Degnan karakteristik yang

oleh para mahasantri merupakan agen yang cocok untuk dapat


menemukan formulasi tepat bagaimana mengatur perbedaan yang
ada di masyarakat agar tidak lagi terjadi gesekan-gesekan yang tidak
diinginkan terutama yang mengatasnamakan agama.
Di antara karakteristik yang paling penting yang

mandiri, realistis, optimis dalam menghadapi masa depan.


Keempat karakteristik tersebut tentu menjadi modal penting

Management, Technology And Engineering IX, No. 1 (January 2019).


untuk para mahasantri dalam menciptakan kerukunan antarumat

komunitas-komunitas heterogen. Mereka terbiasa untuk


mengonsumsi ide-ide baru, mereka juga terbiasa untuk menerima
dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran yang berbeda. Bahkan
dalam suatu pertanyaan yang penulis ajukan tentang masa depan
toleransi antarumat beragama, kebanyakan para mahasantri
menunjukkan sikap optimis akan terwujudnya kondisi hubungan
antarumat beragama yang lebih baik di Indonesia di masa yang
akan datang.
Kembali kepada kekuatan yang dimiliki oleh mahasantri,
penulis menemukan bahwa mereka memiliki keilmuan Islam
yang kukuh. Sebagaimana yang disampaikan di awal tulisan ini
bahwa mahasantri mereka adalah para individu yang mengenyam
pendidikan perguruan tinggi dan pendidikan pesantren secara
bersamaan. Di dunia pesantren, kebanyakan para mahasantri
adalah para alumni dari pendidikan diniah dari pesantren
sebelumnya yang memang mempelajari ilmu-ilmu keislaman
klasik. Mereka bukan lagi para pemula dalam keilmuan Islam.Ilmu-
ilmu yang dipelajari oleh para mahasantri adalah ilmu-ilmu yang
levelnya lebih tinggi dari jenjang pendidikan dasar di pesantren
sebelumnya. Kitab-kitab yang dikaji juga merupakan kitab-kitab
yang memiliki kesukaran yang lebih tinggi dibanding kitab-kitab

disesuaikan dengan takhassus(penjurusan) yang diambil oleh para


mahasantri. Hal tersebut menunjukkan bangunan keilmuan Islam
mereka yang kukuh.
Tidak hanya itu, kegiatan para mahasantri sebagaimana

dan memperkaya keilmuan Islam yang dimiliki. Mereka terbiasa


melakukan kegiatan diskusi membahas tentang permasalahan-
permasalahan keislaman masa kini melalui misalnya kegiatan bahtsul
masail yang menjadi ciri khas tersendiri bagi para mahasantri.
Mereka dalam kegiatan tersebut berusaha mengkaji permasalahan
kontemporer dengan mengambil perspektif para ulama-ulama
keislaman yang otoritatif langsung dari kitab-kitab mereka.
Fondasi keilmuan Islam yang demikian tentunya sangat
dibutuhkan untuk dapat menganalisis secara jernih permasalahan-
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

permasalahan intoleransi yang ada di dalam masyarakat dengan


berpijak pada tradisi keilmuan Islam yang otoritatif. Dengan
demikian, diharapkan para mahasantri dapat memberikan ide-ide
serta pemikiran-pemikiran solutif dalam menyikapi permasalahan
yang ada berdasar pada analisis mendalam terhadap pemikiran-
pemikiran ulama-ulama Islam terdahulu.
Kekuatan ketiga yang dimiliki oleh para mahasantri
adalah karakter kemahasiswaan dan kesantrian yang menyatu
dalam diri mereka. Karakter yang dimaksud disini adalah
sifat-sifat yang ada dalam diri mereka sebagai mahasiswa
dan sebagai santri pada saat yang sama. Sebagai seorang
mahasiswa, para mahasantri tentunya merupakan sifat-sifat
yang khas mahasiswa; diantaranya berpikir kritis, komunikatif,
mandiri, terbuka dalam bergaul, dan berdaya saing tinggi.5
Di saat yang sama, mereka juga memiliki karakter-
karakter kesantrian seperti;kuat pendirian, kasih sayang
terhadap sesama, religius, dan cinta terhadap negara.6
Menyatunya dua karakter ini dalam diri seorang mahasantri
merupakan modal penting untuk dapat bertoleransi di tengah
masyarakat. Dengan sifat-sifat dan karakter tersebut,mereka
diharapkan dapat menyatukan perbedaan dengan memberikan
panutan contoh uswah hasanah yang ada dalam diri mereka.
Kekuatan keempat yang dimiliki oleh para mahasantri
adalahpengalaman praktik terjun ke lapangan. Sebagaimana
disampaikan sebelumnya bahwa kebanyakan para mahasantri
sudah mengemban amanat sebagai pengurus pondok. Hal tersebut
memberikan mereka pengalaman nyata yang begitu berharga dalam
mengatur masyarakat yang berbeda. Tidak hanya itu,penulis juga

para mahasantri untuk tidak hanya menjadi pengurus di pesantren,


tetapi juga diterjunkan langsung ke masyarakat untuk bisa membina,
mengajarkan, dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam di masyarakat.

(Oktober 2010): 629–35.


Pengalaman ini menjadi modal penting bagi para mahasantri ketika
mereka dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang
muncul dari perbedaan yang ada di masyarakat terutama perbedaan
masalah agama. Dengan pengalaman tersebut, diharapkan
para mahasantri tidak lagi terkaget-kaget dalam menghadapi
permasalahan, tetapi dapat berpikir dan memberikan solusi
berdasarkan apa yang telah dialaminya semasa menjadi mahasantri.
Kekuatan terakhir yang dimiliki oleh para mahasantri adalah
bangunan kehidupan mereka yang memang tumbuh dan besar
di lingkungan yang beragam. Sebagaimana diketahui bahwa
pesantren adalah wadah bagi masyarakat dari beragam latar
belakang yang berbeda untuk belajar bersama dalam satu lingkup
dunia pesantren. Dalam kesehariannya, seorang santri dituntut
untuk bisa bernegosiasi dengan beragam macam perbedaan yang
ada di sekitarnya. Mereka terbiasa untuk dapat menyesuaikan diri
dengan kawan-kawan sejawatnya yang berbeda latar belakang
untuk dapat hidup bersama mencapai tujuan bersama.

Weaknesses
Toleransi
Terlepas dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh para
mahasantri untuk menjadi agen-agen toleransi, pada subbagian
ini penulis akan mengungkapkan berbagai kelemahan-kelemahan
yang dimiliki oleh mereka. Kelemahan pertama yang dimiliki oleh
para mahasantri adalah ketidakstabilan psikologis. Sebagaimana
disampaikan sebelumnya, bahwakebanyakan para mahasantri lahir
pada tahun 1999–2002 ke atas yang berarti saat ini mereka sedang
pada fase remaja. Stanly Hall dalam teorinya tentang pergolakan
dan stres, mengatakan bahwa masa remaja adalah merupakan
masa yang penuh dengan kompleksitas pergolakan suasana hati
yang bercampur aduk antara kesombongan dan kerendahan
hati, kebaikan dan godaan, serta kegembiraan dan kesedihan.
Pada masa tersebut, dalam perspektif psikologi, adalah masa yang
tidak stabil, mudah terbawa arus keadaan, labil dalam menentukan.
Hal ini tentu menjadi kelemahan yang harus diperhatikan.
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

Ketidakstablan psikologis para mahasantri akan berakibat buruk

karena mereka menjadi rentan untuk tersulut dengan kondisi,


belum mampu menimbang secara bijak permasalahan, dan pada
akhirnya menambah masalah.
Kelemahan kedua yang dimiliki oleh seorang mahasantri adalah
lingkungan yang homogen. Walaupun seorang mahasantri sudah
terbiasa tinggal di lingkungan yang heterogen secara kultural, namun
lingkungan tersebut tetap saja homogen jika dilihat dari segi latar
belakang keagamaan. Para mahasantri terbiasa tinggal di lingkungan
pesantren yang bisa dipastikan semua warganya adalah muslim.
Hanya sebagian kecil dari kebanyakan pesantren di Indonesia yang
menerima nonmuslim untuk belajar. Hal ini berarti bahwa kebiasaan
hidup di lingkungan yang heterogen secara latar belakang budaya,
tentu berbeda dengan kehidupan di lingkungan yang masyarakatnya
lebih heterogen secara agama. Karenanya, fakta ini menjadi
kelemahan para mahasantri ketika mereka harus terjun langsung ke
dalam masyarakat yang lebih beravariatif secara keimanan.
Kelemahan selanjutnya adalah bahwa walaupun para
mahasantri mendalami ilmu-ilmu keislaman selama kurang
lebih lima sampai enam tahun, hal tersebut sesungguhnya tidak
menjamin kematangan ilmu dan sikap yang mereka miliki. Kajian-

lebih bersifat pendalaman materi yang sedikit sekali melakuan


pengayaan dengan membandingkannya dengan sumber-sumber
yang ada pada tradisi keilmuan di luar Islam. Hal nyata yang
penulis temukan, dalam konteks kajian antaragama, dari sekian

takhassusmuqaranat al-adyan(perbandingan agama).


Kelemahan terakhir yang ada pada diri mahasantri adalah
ketergantungan mereka kepada sosok seorang kiai. Adalah hal
yang lumrah di dunia pesantren bahwa kiai memegang otoritas
penuh dalam menjalankan dan mengatur kehidupan di pesantren.8
Satu sisi, hal tersebut berimplikasi positif kepada keteraturan
manajemen kehidupan pondok pesantren danpenjagaan terhadap
tradisi yang sudah dibangun oleh warga pesantren. Di sisilain, hal
tersebut berimplikasi negatif pada kebiasaan para santri untuk
bergantung pada kiaidalam menentukan langkah-langkah yang
harus diambil untuk menghadapi masalah di pondok pesantren.
Lebih jauh, hal tersebut membuat santri tidak mengerti bagaimana
bersikap yang proporsional dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan dalam hidupnya di masa depan ketika mereka sudah
tidak lagi berada di pesantren. Hal ini tentu, menurut penulis,
merupakan kelemahan yang harus diakui oleh para santri,terutama
ketika mereka harus menyikapi dan mengambil keputusan terbaik

Opportunities
Toleransi
Setelah kita mengetahui poin-poin kekuatan dan kelemahan
seorang mahasantri untuk dapat menjadi agen toleransi yang
dapat diandalkan, maka selanjutnya penulis ingin melihat faktor
eksternal dari permasalahan ini. Faktor eksternal yang dimaksud
adalah peluang-peluang dari luar diri para mahasantri yang dapat
dimanfaatkan atau dapat mendukung dan memaksimalkan potensi
mereka untuk dapat menjadi agen toleransi.
Peluang pertama yang dapat dilihat jelas adalah fakta bahwa
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk.
Sebagaimana disampaikan di awal bahwa kemajemukan masyarakat
Indonesia sejatinya dapat dilihat sebagai kesempatan yang berarti
bahwa kemajemukan ini menjadi peluang bagi kaum muda dari
kalangan pesantren untuk dapat tampil di depan menjadi pelopor
kerukunan antarumat beragama.Hal tersebut sangat penting
dilakukan mengingat masyarakat Indonesia saat ini mudah disulut
oleh isu-isu keagamaan.
Peluang kedua adalah pengakuan pemerintah terhadap

telah diakui sebagai institusi pendidikan yang setara dengan


jenjang perguruan tinggi. Pengakuan ini menjadi peluang besar
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

bagi segenap civitas academica


menunjukkan eksistensinya di masyarakat dengan berperan
nyata, mengaplikasikan keilmuan mereka dalam penanganan
permasalahan kerukunan antarumat beragama. Hal ini tentunya
tidak lepas dari kenyataan bahwa sebagai sebuah perguruan tinggi,

darma perguruan tinggi; pendidikan dan pengajaran, penelitian


dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat.
Peluang ketiga yang penulis lihat dalam konteks peran
mahasantri dan toleransi antarumat beragama, adalah bonus

di Indonesia dimulai tahun 2015–2035 dengan angka


ketergantungan (dependency ratio
artinya bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung

ini merupakan peluang dan tantangan bagi bangsa Indonesia.9


Fakta ini tentunya menjadi kesempatan besar bagi kaum muda
Indonesia secara umum, dan para mahasantri khususnya untuk
mengambil peran berkontribusi nyata, memaksimalkan potensi
mereka untuk dapat membangun negeri ini, dan menjadi pelopor
kerukunan. Peluang emas yang tidak dimiliki oleh banyak negara
ini, di sisi lain akan berubah menjadi bencana besar ketika bonus

muda yang banyak tentu akan menjadi musibah ketika mereka


justru tidak memiliki potensi yang lebih baik dari para generasi
sebelumnya. Dalam konteks kerukunan umat beragama, dengan
kuantitas yang berlebih, para kaum muda yang dikenal terbuka dan
toleran, seharusnya dapat memberikan dampak yang jauh lebih
besar dan luas dalam mewujudkan kerukunan yang diharapkan.
Peluang lain yang merupakan kesempatan untuk dapat
memaksimalkan potensi mahasantri sebagai agen toleransi
adalah keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi.
Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi yang hari ini
dapat menyuguhkan beragam informasi dari berbagai belahan
dunia manapun secara real time, tanpa terbatas ruang dan waktu,10

10
menjadi peluang besar bagi kalangan mudayang dikenal sebagai
digital native, untuk dapat memperluas cakrawala pemikiran
dan memperkaya perspektif. Tidak hanya itu, kemajuan
teknologi memberikan kesempatan bagi siapapun untuk dapat
berkoneksi dengan individu-individu yang lebih beragam (baik

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tentunya sangat


berimplikasi positif pada perkembangan dunia pesantren.11
Dalam konteks kerukunan antarumat beragama, kemajuan
teknologi ini memberikan peluang besar bagi kaum muda,
secara umum, dan para mahasantri secara khusus, untuk dapat
mengeksplorasi hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan di
luar agamanya sendiri dan berkoneksi dengan individu-individu
sejawat dari kalangan nonmuslim. Dengan begitu, para mahasantri
diharapkan dapat memandang perbedaan agama sebagai sebuah
peluang untuk membuktikan bahwa agama justru hadir untuk
membawa kedamaian bukan sebaliknya.

Threat
Toleransi
Setelah memahami kesempatan yang ada, faktor eksternal lain
yang harus diungkap dari proyek menjadikan mahasantri sebagai
agen toleransi adalah ancaman-ancaman yang dihadapi. Ancaman
pertama yang jelas sedang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini
adalah xenophobia, ketakutan terhadap hal-hal asing, berbeda.12
Beragam permasalahan yang muncul di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan sensitivitas identitas keagamaan pemimpin atau

ibadah, pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi di sekolah,dan


kasus-kasus lain yang sejenis, menurut penulis bermuara pada
kecenderungan meningkatnya xenophobia di kalangan masyarakat
muslim Indonesia. Dalam konteks peran mahasantri sebagai agen
toleransi, xenophobia jelas menjadi ancaman nyata yang harus

11

12
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

dihadapi oleh para mahasantri untuk dapat mewujudkan toleransi


di tengah masyarakat Indonesia yang plural.
Ancaman kedua yang tidak kalah penting untuk diungkap adalah

baru saja diakui, maka para alumnusnya pun patut dipertanyakan.

menjadi tantangan tersendiri bagi para pemegang kebijakan

toleransi antarumat beragama, kelemahan kontrol tersebut dapat


berimplikasi negatif pada kualitas dan kapabilitas para mahasantri
ketika berperan nyata menjadi agen toleransi. Ancaman ini tentu
dapat saja menggagalkan proyek menjadikan mahasantri sebagai
agen toleransi karena kualitas para mahasantri menjadi hal utama
pendukung terwujudnya hal terebut.
Ancaman ketiga yang penulis lihat adalah berkaitan dengan

ini sesungguhnya merupakan peluang dan ancaman sekaligus.13

ini bisa berubah menjadi ancaman berat ketika jumlah pemuda


lebih banyak daripada generasi tua, namun mereka minim
kontribusi atau alih-alih menjadi inisiator kerukunan, justru
menjadi sumber permasalahan karena minimnya pengetahuan
dan kesiapan. Adalah hal yang urgen dilakukan oleh pemerintah
dan para pemegang kebijakan di dunia pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi Islam untuk dapat menyiapkan para pemuda
termasuk para mahasantri dengan berbagai bekal yang diperlukan
untuk menghadapi permasalahan kerukunan antarumat beragama
yang semakin kompleks.
Ancaman keempat yang penulis lihat adalah keterbukaan
media informasi. Media yang sejatinya bersifat netral, sangat
bergantung pada penggunaannya, justru menjadi ancaman nyata
bagi masa depan kerukunan antarumat beragama secara umum
dan bagi para mahasantri sebagai agen toleransi secara khusus.
Keterbukaan media informasi saat ini merupakan tantangan nyata
13

(July 2017): 90–99.


yang harus dihadapi oleh siapapun yang menggunakan media.
Hal ini berarti bahwa keterbukaan yang ada sesungguhnya sangat
berpeluang untuk memunculkan masalah baru jika tidak diiringi
dengan literasi. Dalam konteks kerukunan antarumat beragama,
kasus-kasus fake news, hoax, penyelewengan paham keagamaan
adalah sebagian kecil dari berbagai tantangan yang harus dihadapi
para mahasantri. Literasi media, dalam hal ini menjadi sebuah
keniscayaan bagi mereka untuk dapat menghadapi ancaman ini.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam menganalisis semua
unsur-unsur SWOT yang dijabarkan di atas tadi, berikut adalah
gambaran besar faktor-faktor SWOT dalam diagram agar mudah
dipahami.

Diagram anlisis SWOT peran mahasantri sebagai agen toleransi

180
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

Dalam prosesrangkaian analisis SWOT, setelah mendapatkan


gambaran detail tentang faktor-faktor yang dibutuhkan dari
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, maka langkah
selanjutnya dalam analisis SWOT adalah menilai elemen melalui
pertanyaan tertentu untuk mendapatkan gambaran yang jelas
tentang keefektifan proyek. Di sini kita perlu mempertanyakan:
1. Bagaimana (S) bisa mengambil keuntungan dari (O) yang ada?
2. Bagaimana cara mengatasi (W) untuk mendapatkan (O)?
3. Bagaimana (S) mampu menghadapi (T)?

Pertanyaan pertama yang harus dijawab dalam analisis ini


adalahbagaimana memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki
oleh para mahasantri untuk dapat mengambil keuntungan/meraih
kesempatan yang ada?
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa dari aspek

keilmuan yang kukuh, karakater kemahasiswaan dan kesantrian


yang menyatu, pengalaman praktik di lapangan, tumbuh di
lingkungan beragam. Sementara itu, dari aspek eksternal, setidaknya
terdapat empat peluang yang terbuka untuk dimanfaatkan
secara maksimal oleh para mahasantri: masyarakat Indonesia

keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi.

melihat bahwa didukung dengan potensi yang ada, para


mahasantri sangat mampu untuk bisa memanfaatkan peluang

peluang yang ada seperti yang paling jelas adalah keterbukaan


informasi dan kecanggihan teknologi. Sebagaimana diketahui

dengan teknologi. Mereka dianggap sebagai generasi yang tumbuh


secara natural dengan kemampuan teknis menggunakan teknologi.
Dengan potensi tersebut, peluang keterbukaan informasi dan

181
kecanggihan teknologi sesungguhnya dapat dipergunakan untuk
membangkitkan sikap toleransi di masyarakat demi terwujudnya
kerukuran antarumat beragama. Dengan misalnya menginisiasi
portal di dunia maya yang khusus mengonter informasi-informasi
hoax yang mengadu domba antarpemeluk agama. Atau dengan
membangun aplikasi-aplikasi yang mendukung pada terciptanya
kerukunan dan memberikan peringatan dini untuk mencegah

IIWS (Indonesian Interfaith Weather Station) yang digagas oleh


para akademisi di Indonesian Consortium for Religious Studies
(ICRS)- Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Atau beragam
produk-produk teknologi inovatif lainnyayang dimunculkan untuk
dapat mendukung terwujudnya kerukunan.
Untuk menganalisiss lebih lanjut, maka pertanyaan yang
harus dijawab adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan yang
ada pada internal mahasantri untuk bisa mendapatkan peluang
yang tersedia? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa para
mahasantri setidaknya memiliki empat kelemahan: ketidakstabilan
psikologis, lingkungan yang homogen, ketidakmatangan ilmu, dan
sikapketergantungan terhadap kiai. Untuk dapat meraih peluang
yang ada, tentu para santri pertama kali harus menyelesaikan
masalah yang ada pada internal mereka. Misalnya, kelamahan
terkait lingkungan kehidupan para mahasantri yang memang
mayoritas muslim dan ketergantungan mereka terhadap sosok
kiai. Untuk dapat memanfatkan peluang kemajemukan masyarakat
Indonesia, setidaknya satu hal yang bisa dilakukan adalah
dengan memberikan kepada para mahasantri pengalaman untuk
tinggal dan mengabdi di lingkungan masyarakat keagamaan yang
didominasi oleh nonmuslim. Hal ini dapat terwujud misalnya
dengan menginisiasi Kuliah Kerja Nyata pengabdian di daerah-
daerah di mana umat Islam menjadi minoritas. Atau dengan
menginisiasi semacam inter-faith camp, perkemahan antaragama
di mana para mahasantri ditempatkan bersama para mahasiswa
dari agama lain untuk hidup bersama pada jangka waktu tertentu
dengan tugas membangun proyek bersama. Dengan pengalaman

14

RG.2.2.27309.38888.

182
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

tersebut, tentu diharapkan para mahasantri dapat lebih mengerti


tentang arti toleransi dan kerukunan antarumat beragama sehingga
mereka mampu memahami dan mengarahkan kemajemukan
masyarakat Indonesia untuk menjadi sumber potensi kerukunan,
bukan sebaliknya.
Sementara itu, untuk masalah ketidakstabilan psikologisdan
ketidakmatangan ilmu pengetahuan dan sikap, penulis melihat
seiring waktu dan bertambahanya ilmu serta pengalaman hidup,
maka permasalahan itu akan teratasi. Walaupun mungkin perlu
waktu yang tidak sebentar karena semua memerlukan proses yang
tidak sederhana.
Pertanyaan ketiga yang harus dijawab adalah bagaimana
kekuataan/potensi yang dimiliki oleh para mahasantri mampu
menghadapi ancaman yang sudah menanti? Sebagaimana yang
sudah dibahas sebelumnya, setidaknya terdapat empat ancaman
yang harus dihadapi oleh para mahasantri dalam konteks
mewujudkan toleransi antarumat beragama: xenophobia, kualitas

informasi. Untuk menghadapi ketakutan terhadap segala yang


asing, atau xenophobia, penulis melihat bahwa faktor kekuatan
keilmuan yang kukuh dan pengalaman di lapangan menjadi faktor
yang sangat penting untuk digunakan dan ditingkatkan. Dalam
konteks ini, xenophobia sejatinya muncul dari ketidakpahaman

Penulis melihat bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan kekuatan


keilmuan yang kukuh. Dalam konteks kerukunan antarumat
beragama, sikap sinis bahkan menghina agama lain sejatinya
muncul dari ketidakpahaman kita terhadap agama lain tersebut.
Keilmuan para mahasantri yang terbangun dari tradisi keilmuan
Islam yang kukuh sejatinya akan mendorong mereka untuk
berusaha memahami perbedaan-perbedaan yang ada dalam tradisi
keagamaan nonmuslim sehingga mereka dapat melihat perbedaan
yang ada tersebut sejatinya adalah rahmat dari Allah, bukan
ancaman. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan pengalaman
para mahasantri di masyarakat yang menjadikan mereka tidak lagi
kaget dengan perbedaan, tetapi justru mampu membaur dengan
perbedaandan pada akhirnya mampu menciptakan kerukunan di
tengah perbedaan yang ada.

183
melihat semua itu dapat dihadapi dengan meningkatkan dan
mengukuhkan kualitas keilmuan yang sejatinya sudah ada dalam
diri para mahasantri. Dalam konteks keterbukaan media informasi,

literasi media digital para mahasantri untuk dapat menghadapi


ancaman tersebut.15
Pertanyaan terakhir dalam rangkaian analisis SWOT peran
mahasantri sebagai agen toleransi adalah bagaimana menghadapi
kelemahan yang ada dalam diri para mahasantri untuk mencegah
terjadinya ancaman-ancaman yang tidak diinginkan. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, penulis melihat setidaknya terdapat
dua hal penting yang perlu diusahakan secara berkesinambungan
pada diri para mahasantri:pendalaman ilmu dan pengamalannya
di lingkungan yang beragam. Pendalaman ilmu yang dimaksud
adalah peningkatan pemahaman tradisi keilmuan Islam yang
diperkuat dengan pemahaman terhadap tradisi keagamaan di
luar Islam. Setelah pendalaman tersebut dilakukan, maka hal yang
harus dilakukan selanjutnya adalah mengamalkannya dengan
berperan aktif membangun kerukunan masyarakat yang beragam
berdasarkan keilmuan yang kokoh. Dengan demikian, kelemahan
yang dimiliki oleh para mahasantri (dari ketidakstabilan psikologis,
lingkungan yang homogen, ketidakmatangan ilmu dan sikap, hingga
ketergantungan terhadap sosok pemimpin) dapat teratasi,sehingga
ancaman-ancaman yang ada dapat ditangkal.

Kesimpulan
Indonesia yang dianugerahi Allah dengan keberagaman latar
belakang masyarakatnya, sesungguhnya meniscayakan adanya
usaha berkesinambungan untuk merawat keberagaman tersebut.
Dari tulisan ini, penulis menunjukkan pentingnya mencetak
generasi baru sebagai aktor-aktor pengawal keberagaman dan

15
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

mengusulkan generasi kaum pesantren yang diwakili oleh para


mahasantri untuk berperan nyata dalam mewujudkan kerukunan
antarumat beragama dengan mengusung nilai-nilai toleransi.
Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan dalam tulisan
ini, penulis melihat potensi besar para mahasantri untuk dapat
mewujudkan hal tersebut. Walaupun tentu perlu dukungan yang
lebih komprehensif dari masyarakat secara umum dan dari para
pemegang kebijakan, karena kerukunan akan menjadi isapan
jempol belaka jika tanpa dukungan sinergi dengan berbagai elemen
bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Ahmad, Amar. “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan


Informasi: Akar Revolusi dan Berbagai Standarnya.” Jurnal
Dakwah Tabligh

Journal ISTIGHNA
doi.org/10.33853/istighna.v1i1.20.
Dwidienawati, Diena, and Dyah Gandasari. “Understanding
International Journal of Engineering
& Technology
Epafras, Leonard C. “Indonesian Interfaith Weather Station: An
Inter-Religious Conflict Early Warning System,” 2015. https://

Falikhah, Nur. “BONUS DEMOGRAFI PELUANG DAN TANTANGAN


BAGI INDONESIA.” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah 16, No. 32

v16i32.1992.
Fatmawati, Erma. Profil Pesantren Mahasiswa: Karakteristik
Kurikulum, Desain Pengembangan Kurikulum, Peran Pemimpin
Pesantren. Cetakan I. Yogyakarta: LKiS, 2015.

185
Gaidhani, Shilpa, Lokesh Arora, and Bhuvanesh Kumar Sharma.

Workplace.” International Journal of Management, Technology


And Engineering
Ginsburg, Benson E., Heiner Flohr, and Fred Kort. “The Roots

European Integration.” History of European Ideas 19, No. 1–3

Kualitas Pondok Pesantren di Kabupaten Ciamis.” Jurnal


Administrasi Pendidikan
Generasi Emas Santri Zaman Now
PT Elex Media Komputindo, 2019.
Kompri. Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren. Edisi

Group, Divisi Kencana, 2018.


Krakow University of Economics, and Anna Dolot. “The
E-Mentor

Muin, Abdul. “Pemanfaatan Teknologi Informasi di Pesantren.”


Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
9, No. 1 (April 2011).
Paramita, Greta Vidya. “Studi Kasus Perbedaan Karakteristik

Australia.” HUMANIORA 1, No. 2 (Oktober 2010): 629–35.


Rahman, Fazlul. “Digital Media Literacy for the Better Santri:
Reconsidering the Power of Internet for the Students of
Traditional Pesantren.” In Proceedings of International
Conference on Da’wa and Communication, 1:110–18. 1. Faculty
of the Sunan Ampel State Islamic University, Surabaya, 2019.
Rohmat, Nur. “Peran Kyai dalam Upaya Pembaruan Pendidikan
di Pondok Pesantren Tri Bhakti At-Taqwa Rama Puja Raman
Utara Lampung Timur.” Master Thesis, Program Pascasarjana

186
Sendi-sendi Ukhuwah Islamiah

Rozali, Ahmad. “Definisi Santri Menurut Gus Mus,” October 22,

santri-menurut-gus-mus.
Umar, Muhammad Agus. “Bonus Demografi Sebagai Peluang dan
Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Era Otonomi
Daerah.” Genta Mulia

View publication stats

You might also like