You are on page 1of 16

KOMODITAS DAN DINAMIKA PERDAGANGAN

DI PAPUA MASA SEJARAH

COMMODITIES AND TRADE DYNAMICS IN PAPUA


IN THE HISTORIC PERIOD
M. Irfan Mahmud
Balai Arkeologi Jayapura
irfanarkeologi@yahoo.co.id

ABSTRACT
There are only a few discussions about Papua’s trading in ancient history era in the context of
Nusantara. This article describes the trading and its commodities in Papua, started from a foreign source
about Srivijaya c. 8th century AD. Commodities from Papua became more well-known since Java’s
involvement in the distribution process through “entrepot” gate Seram Sea and Banda. Majapahit 14th
century’s records mentioned Onim as one of the important places in Papua. This paper describes the
exported and imported commodities and some sites which indicated important coastal places during the
dynamic of trading in historic Papua from 14th century AD onwards. From 14th to 20th century AD, beside
beautiful birds, ebony and slaves, Papua also exported nutmegs, masohi (cinamomum sp.) timbers,
sandalwoods, ambers, turtle shell, shark fins, pearl shells and sea cucumbers. Some commodities were also
being exported later on in 20th century AD such as crocodile skins, rattan and copra. In the other hand,
Papua imported many things like beads, ceramics, Timor cloth, iron tools, foods and weapons.

Keywords: Papua, Commodities, Trade, Site.

ABSTRAK
Perbincangan mengenai Papua masih jarang memperhatikan faktor perdagangan masa sejarah kuno
dalam konteks Nusantara. Tulisan ini akan menggambarkan komoditas dan perdagangan di Papua yang
diawali dari berita asing yang terkait dengan Sriwijaya dalam kurun abad ke-8. Komoditas Papua semakin
banyak diketahui setelah Jawa ikut memainkan peran utama distribusi lewat gerbang “entrepot” Seram Laut
dan Banda. Majapahit pada abad ke-14 kemudian mencatat Onim sebagai suatu tempat penting di Papua.
Dari periode abad ke-14 tulisan ini akan mengungkapkan komoditas ekspor dan impor serta beberapa situs
yang menunjukkan indikasi tempat penting di pesisir dalam dinamika perdagangan di Papua masa sejarah.
Sepanjang abad ke 14-20, selain burung indah kayu abnus, dan budak, Papua juga mengekspor pala, kayu
masoi, cendana,damar, kulit penyu, sirip hiu, kerang mutiara dan teripang, lalu kemudian merambah
komoditas kulit buaya, rotan, dan kopra terutama sejak abad ke-20. Sebaliknya, Papua mengimpor manik-
manik, keramik, kain timor, peralatan besi, pangan, dan jenis senjata lainnya.

Kata kunci: Papua, Komoditas, Perdagangan, Situs

Tanggal masuk : 27 Agustus 2014


Tanggal diterima : 3 November 2014

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 183
PENDAHULUAN karya tersebut hampir semua
berlatarbelakang persoalan dan kajian
Papua dalam konteks komoditas dan koridor perdagangan
perdagangan masa awal sejarah Maluku.
merupakan halaman belakang dan Keterikatan Papua dengan koridor
masih jarang dituangkan dalam karya Maluku yang sudah terkoneksi dengan
ilmiah. Sebelum abad ke-14, terbatas pelabuhan Jawa merupakan informasi
sekali pengetahuan mengenai Papua awal mengungkapkan komoditas dan
dan belum ada pelabuhan dagang distribusinya dalam kaitan niaga
pesisir (entrepot) yang dikenal. Pelaut Nusantara. Kontak perdagangan Papua
Spanyol, Ynigo Ortiz de Retez, ketika dengan dunia luar juga diindikasikan
pertama kali mengunjungi pantai utara sejumlah artefak produk impor --- seperti
Papua pada tahun 1545, juga masih gerabah, keramik dan manik-manik atau
buta sama sekali dan kemudian mata uang--- yang jejaknya ditemukan
memberi nama Nueva Guinea atau pada sejumlah situs, diantaranya situs
Guinea Baru karena pribuminya kawasan Sentani, Pulau Napan,
mengingatkan dengan penduduk pantai Mansinam (Manokwari), Biak, Misool,
Guinea di Afrika1 (Yuniarti 2009, 269). Kaliraja dan Uray (Waigeo),
Bisa diduga terbatasnya pengetahuan Semenanjung Onim (Fak-Fak), serta
tentang komoditas Papua sebelum abad Kampung Sran dan Namatota.
ke-14 karena keberadaan koridor Penemuan artefak impor pada sejumlah
pelayaran (voyaging corridor) antara situs terkait dengan dua persoalan
Indonesia-Filipina dan Melanesia yang menarik yang akan didiskusikan dalam
telah dirintis kelompok penutur bahasa tulisan ini, meliputi: (1) apa komoditas
Austronesia periode 5000--1000 BP ekspor dan impor Papua pada periode
(Simanjuntak 2011, 2-3) sebelum terbit sejarah; (2) bagaimana dinamika
peta Spanyol semua ditempuh secara perdagangan di Papua dari abad ke-14
common sense. hingga awal abad ke-20 M.
Sejauh ini, pengetahuan tentang Pertukaran komoditas dan
komoditas dan koridor maritim Papua dinamika perdagangan Papua sejak
masa sejarah masih kurang diungkap sangat dipengaruhi eksistensi entrepot
dan tidak banyak menarik perhatian di Maluku. Kebangkitan Kerajaan
peneliti sekarang dibandingkan Ternate dan Tidore pada abad ke-17
eksotisme keragaman budaya sukunya. semakin memantapkan jati-dirinya
Karya Bachtiar (1963), Schoorl (2001), dalam konteks politik, ekonomi dan
Ellen (2003), Kal Muller (2008), Reid militer untuk bersaing dengan para
(2011a; 2011b) dan Muridan Widjojo petualang/pedagang bangsa Eropa.
(2013), beberapa diantara sumber kajian Kedua kerajaan Maluku tersebut
terdahulu yang memberi sedikit memiliki pandangan politik ekspansionis
informasi mengenai komoditas dan yang pada dasarnya didorong oleh
perdagangan Papua masa sejarah untuk keinginan menguasai sumberdaya alam
melacak konteks arkeologisnya. Karya- (ekonomi/perdagangan). Ekspansi
Ternate ke barat Maluku, sedangkan
1
Tidore ke timur sampai menguasai
Para arkeolog memperkirakan, berbagai jenis ras
kulit hitam mulai berdatangan di pulau New Guinea
Kepulauan Raja Ampat, kemudian
dan Australia antara 40.000 dan 50.000 AD (lihat Papua Daratan dan menjadikan daerah-
Muller 2008, 35; Tanudirjo 2011, 23). Kehadiran daerah tersebut sebagai vassalnya
kelompok orang Negroid penutur bahasa (Amal 2010, 11). Raja Tidore Sultan
Austronesia ditemukan jejak arkeologisnya - Saifuddin bahkan berhasil memperoleh
terutama gerabah slip merah - memberi indikasi
koridor mereka melintasi pulau-pulau di Asia legitimasi yuridis dan praktis atas daerah
Tenggara menuju Kepulauan Melanesia, Polinesia, seberang laut Tidore dengan “menukar”
dan Mikronesia serta mencapai Selandia Baru hak monopoli cengkeh untuk
melalui pesisir utara Papua (Amal 2010, 3). Gerabah mendapatkan pengakuan dari petinggi
slip merah ditemukan pada situs menyebar dari
wilayah Kepala Burung hingga Sentani-Jayapura
VOC di Batavia terhadap Kepulauan
(lebih lanjut lihat Mahmud 2011, 49-56). Raja Ampat dan Papua Daratan pada

184 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


tanggal 28 Maret 1667 di Batavia (Amal mengenalkan burung nuri Parroquets
2010, 177). yang memiliki bulu indah beraneka
Berdasarkan informasi sejarah dan warna (Majumdar 1937, 124).
data arkeologis serta fokus persoalan, Berdasarkan berita Cina dapat
tulisan ini bertujuan: (1) mengungkapkan diketahui dua hal penting yang pada
komoditas ekspor dan impor Papua umumnya sejarawan menghubungkan
dalam konteks Nusantara masa awal dengan komoditas Papua: tenaga kerja
sejarah; (2) memberi sumbangan pada (wanita Janggi) dan burung nuri
penelitian dinamika perdagangan di Parroquets atau cenderawasih yang
Papua masa sejarah di masa akan dipersembahkan Sriwijaya untuk kaisar
datang. Cina. Sampai menjelang kedatangan
Portugis di Maluku, komoditas burung
BERITA ASING DAN KOMODITAS indah, terutama burung nuri dan
AWAL cenderawasih dari Papua merupakan
produk perekonomian yang sudah
Sriwijaya yang bangkit sebagai dikenal dan dibawa sampai dunia luar
“super power” Asia Tenggara abad ke-7 lewat koridor Geser (Banda–Onim) atau
(Wolters 2011, 1) cukup memberi andil koridor Halmahera (Ellen 2003, 64).
dalam promosi komoditas Papua pada Selain burung cenderawasih, Papua
masa awal sejarah, ditunjang letaknya di pada abad ke-9 sudah menyediakan
jalur ideal lalu-lintas pelayaran Jawa, komoditas emas dan kayu abnus atau
India, Arab, dan Cina (Muljana 2006, 3). kayu arang terutama ditujukan untuk
Pada abad ke-8, salah satu komoditas pelabuhan India dan Sailan (Al-Haddad
Papua telah dicatat setelah utusan raja 1995, 156).
Sriwijaya Paduka Sri Indrawarman
mempersembahkan burung cendera-
wasih kepada kaisar Cina2 (Bachtiar
1963, 55). Tse-fu-yuan-kuei (1005-1013
M) yang disusun Wang-ch’in-jo dan
Yang I menguraikan bahwa utusan dari
Sriwijaya (Fo-shih) datang ke Cina tahun
702 dan 716 M (Muljana 2006, 166).
Berita Cina Tse-fu-yuan-uei dan Hsin-
t’ang-shu juga memberitakan bahwa raja Gambar 1: Ragam manik-manik temuan survey di situs
Sriwijaya Che-li-t’o-lo-pa-mo (Sri Indarasdi dan situs Mumpendi , Biak Utara
(Dok. Balar Jayapura 2010)
Indrawarman) pada 724 Masehi
mengirim calon penggantinya bernama Meskipun komoditas Papua sudah
Kiu-mo-lo (Kumāra) sebagai utusan mulai dikenal, dalam rentang periode
dengan hadiah terdiri dari dua orang abad ke-8-9 M, sejauh penelitian yang
cebol, seorang wanita negro (Janggi), dilakukan belum ditemukan suatu
sekelompok musikus, dan lima burung kompleks situs di Papua yang kaya
nuri (Eclectus roratus); kemudian Kaisar produk mewah bernilai tinggi. Kalaupun
Cina menganugerahkan gelar tchö- ada barang mewah, jumlahnya sangat
tch’ong (jenderal) dan memperkenalkan terbatas yang umumnya ditemukan
100 helai sutera (Kern 1929, 122; Krom pada situs penguburan di wilayah
1938, 149; Majumdar 1937, 124; Kepala Burung, Biak, Pulau Napan, dan
Muljana 2006, 166). Lalu pada tahun Sentani. Salah satu indikasi kontak
728 Masehi Raja Sriwijaya kembali dengan dunia luar terkait perdagangan
mengirim duta untuk bertemu Kaisar berasal dari penemuan manik-manik
Cina dengan membawa dan dari spit 5 ekskavasi Balai Arkeologi
Jayapura di situs Yamokho (Sentani)
2 yang berada pada lapisan abad ke-8 M
Persembahan kepada Kaisar Cina bukan tanda
tunduk, tetapi suatu bentuk pemasaran komoditas, (125343 BP) berdasarkan
lazimnya ditindaklanjuti oleh para saudagar masing- pertanggalan laboratorium The
masing negeri (Lih. Nugroho 2011, 46-48).

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 185
University of Waikato. Manik-manik batu diantaranya di Jazirah Onim, Kampung
yang ditemukan di situs Yamokho Kowiai (Sran), Namatota, Salawati,
berwarna putih buram, permukaan Waigeo, Misool, dan Mansinam.
kasar, bulat berdiameter 0,7 cm, tebal
0,5 cm dan lubang 0,2 cm yang dibuat NIAGA ABAD PERTENGAHAN
dengan cara bor. Manik-manik sejenis HINGGA KOLONIAL
juga ditemukan di beberapa situs di
Kepala Burung dan pesisir utara Papua; Teks klasik Nagarakertagama
dari Sorong dan Danau Ayamaru, Biak, (1365), karya Mpu Tantular menjadi
dan Pulau Napan (Nabire) hingga salah satu ensiklopedi toponim
kawasan Danau Sentani (Jayapura). wawasan imperium kenusantaraan yang
Hingga abad ke-10-12 Masehi, memberi nyala kecil dalam melihat
burung indah dan tenaga kerja (budak) permulaan eksistensi hubungan Papua
merupakan komoditi Papua yang di era keemasan dinasti Majapahit.
diekspor ke Jawa. Pengiriman tenaga Dalam Nagarakertagama bagian I
kerja kasar Papua sebagai dampak pupuh XIV/5 disebutkan:
kemajuan perdagangan Jawa ditorehkan
pada Prasasti Garaman pada 1053 dan “muwah tang I Gurun sanūsa
Prasasti Waharu IV (931) yang mangaran ri Lombok Mirah, lawan
dikeluarkan Raja Sindok. Prasasti tikang I Sākşak <ādinikalun>
Waharu mencatat bahwa Kerajaan Jawa kahajyan kabeh, muwah tanah I
mendatangkan pekerja kasar dari Bāntayan pramuk[h]a Bāntayan
Papua, Zanzibar dan Negrito untuk len Luwuk, t(ĕ)kěng Uda
mengemas, membawa, dan mengirim makatrayădhi nikanang
komoditas ke sejumlah pelabuhan sanūșăpupul. Ikang saka sanūșa-
(Nugroho 2011, 39; 64; 71). nūșa Mak[h]asar Butun Banggawī,
Dalam tahun 1200 bulu burung Kunir G[g]aliyau mwang I Salaya
indah dari Papua makin dikenal sebagai Sūmba Solot Muwar, muwah
komoditas yang diperdagangkan ke tik[h]ang i Wandan Ambwan
pulau Jawa (Flassy, 2007: 43). Seiring <athawa> Maloko, Wwanin, ri
dengan makin dikenalnya komoditas Seran I Timū makadi ning angeka
dari Papua, pada periode yang sama nūșậutur”.
ditemukan beberapa barang mewah
pada situs yang mengindikasikan mulai Artinya:
adanya kontak terbatas dan pertukaran “Kemudian (tersebut berikut
komoditas, berupa keramik Sung (abad secara berturut-turut) pulau demi
ke-12-13 M) dan Yuan (Abad ke-13-14 pulau: Makasar, Butun, Banggawi,
M). Temuan keramik dalam periode ini Kunir, Galiyau dan Salaya,
menandai munculnya pelabuhan di Sumba, Solor, Muar (=Saparua),
pesisir baratdaya Papua. Onim menjadi dan Kerajaan Wandan (=Banda),
pelabuhan niaga pesisir (entrepot) Ambwan (=Ambon), dan Maloko
paling penting di Papua pada abad ke- pula, Wwanin (=Onim), Seran,
14 M. Dari sumber sejarah diketahui Timur. Memberi tempat pertama
bahwa kapal dagang yang singgah di pada banyak sekali pulau untuk
Onim (Fak-Fak) seterusnya kemudian diingat”
berlayar ke pulau-pulau Sulu, (Nugroho 2011, 223-226; lihat pula
Magindanau, Zamboanga, dan Luzon kerajaannusantara.blogspot.com/
(Al-Haddad, 1995: 32). Dari pelabuhan terjemahan Kakawin Desawanana
itulah kontak niaga efektif Papua dengan [Nagarakertagama]).
Maluku dan pedagang dari luar
berkembang hingga masa kolonial. Pengarang Cina bernama Chau Ju Kua
Dalam perkembangannya sejak abad sekitar abad ke-13 juga mencatat suatu
pertengahan hingga masa kolonial, toponim Tung-ki sebagai salah satu
secara berlahan muncul pelabuhan wilayah yang memiliki hubungan dengan
lainnya hingga masa kolonial, Sho-p'o atau Jawa (Hirth & Rockhill

186 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


1911, 83). Tung-ki merupakan daerah pelabuhan Zafar dibandingkan
yang tidak dapat diidentifikasi Chau Ju pelabuhan Nusantara, dimana Papua
Kua, hanya menduga merupakan suatu menjadi salah satu sumber
4
nama Semenanjung di bagian timur komoditinya . Pelaut dan pedagang
(Hirth & Rockhill 1911, 86). Jika toponim Arab pada abad ke-15 sudah mengenal
Wanim atau Wwanim yang disebutkan pulau Wakwak (=Fak-Fak) sebagai
Nagarakertagama sesuai tafsiran ahli tempat mengumpulkan rempah-rempah
bahasa Jawa kuno merujuk Onim, suatu (pala) dan kayu masoi serta mulai
semenanjung yang terletak sekarang mengendalikan perdagangan setelah
berada di Kabupaten Fak-Fak (Papua Majapahit pudar (Al-Haddad 1995, 32-
Barat), maka Tung-ki juga merujuk pada 33; 80; 87; 90). Pada periode ini, untuk
Onim (Papua). Pada saat itu, Jazirah menuju timur ditempuh melalui Selayar
Onim telah lama terintegrasi dengan atau Sumbawa Utara5 menuju Buton
jaringan pelayaran dan perdagangan (Ellen 2003, 65) sebagai pelabuhan
zona Laut Jawa yang menurut catatan transito Banda dan Seram Laut
Kerajaan Wu dan Faxian sudah memasuki Papua.
merupakan pusat perdagangan pantai Selain burung indah, budak, dan
(entrepot) dunia yang penting (Nugroho emas, jauh sebelum kedatangan
2011, 14; 51). Sejumlah catatan klasik Portugis tahun 1512, Papua telah
juga memberi informasi adanya budak menjadi salah satu sumber pemasok
dari Papua di istana Jawa, dan kadang- pala. Meskipun sebagian besar pala
kadang budak-budak tersebut berasal dari Banda (Reid 2011b, 4),
dihadiahkan kepada Kaisar Cina tetapi Banda tetap memiliki
(Kamma 1953, 39). ketergantungan atas daerah sekelilinya,
Dengan merujuk pada berita meliputi Seram Laut, koridor Geser dan
Negarakertagama ada beberapa juga rute utama pala panjang (Myristica
konteks sejarah dan arkeologi yang bisa argentea) yang bergerak dari Papua
dirujuk untuk melihat hubungan Jawa sampai memasuki jaringan dunia (Ellen
dan Papua sejak abad ke-143. Keramik 2003, 64). Bahkan pala Banda asli
dalam periode abad 13-15 M diangkut merupakan spesies lanjutan antara pala
melalui pelabuhan Jawa yang menjadi panjang (Myristica argentea) dan pala
penguasa utama jalur sumber komoditas Onim (Myristica succedanea) yang
di timur sejak abad ke-14. Sementara dibawa dari Papua Barat yang didukung
pedagang Arab, Cina dan India hanya politik dagang Seram Laut (Ellen 2003,
sampai di pelabuhan Jawa. Sejak masa 64). Ketergantungan Banda terhadap
pemerintahan Raja Airlangga hingga daerah sekelilingnya atas komoditas
periode keemasan Majapahit, pedagang pala yang terus meningkat pada abad
Arab dipandang sahabat dan tidak 15-16. Kondisi ini berdampak pada
masuk ke wilayah produsen yang sudah peningkatan barang impor Papua yang
disatukan Jawa, demikian halnya Cina ditunjukkan sebaran keramik Ming
cenderung menempatkan diri sebagai Swatow (abad 15-16) sebagai alat barter
tangan kedua, tidak langsung ke utama di semua situs wilayah pesisir
produsen (Nugroho 2011, 38; 67). Kepala Burung dan pesisir utara Papua
Sampai periode abad ke-15, Cina (lihat tabel 3). Dari situs-situs di
merupakan pasar bulu burung yang baratdaya, pelabuhan jazirah Onim dan
sangat potensial, tetapi cenderung Sran (Kaimana) berperan cukup besar
dikuasai oleh pedagang Arab dari dalam mensuplai komoditas pala
“panjang” (Myristica argentea).
3
Setelah tahun 1334, wilayah Kerajaan Majapahit
bertambah luas, dari pantai barat Irian (Papua Barat)
4
sampai Langkasuka di Semenanjung Melayu. Untuk hal ini bisa dicermati dari karya Al-Haddad
Penguasaan Majapahit sampai Semenanjung Onim (1995, 157-159).
5
merupakan pencapaian pertumbuhan status dari desa Selayar dan Sumbawa merupakan pusat ekspor
menjadi negara yang mengusai pulau Jawa dan rempah-rempah Maluku abad pertengahan yang
Nusantara. Tentang hal ini, lihat Muljana (2005, 17; ditaklukkan Makassar pada abad ke-17, sekalugus
145-146); Muljana (1979, 155). mengambil peran tersebut (Reid 2011b, 107).

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 187
Selain pala, komoditas kayu aikor
atau aikori juga mulai dikenalkan orang
Jawa dengan nama kayu mesoyi atau
masoi6 (Cryptocarya sassoia [Oken]
Kosterm). Onim dan Ugar merupakan
eksportir kayu masoi, sebaliknya
mengimpor besi melalui Serdenha atau
Banda dan Seram Laut. Lalulintas nadi
Banda—Seram Laut terutama karena
alasan posisi yang baik secara Gambar 2: Keramik Ming Celadon (atas) dan
geografis, navigasi, dan ekonomi, Ching (bawah) situs Namatota, Kaimana.
dimana sebelum kedatangan Portugis
telah menjadi zona perdagangan Kayu masoi sejenis kayu manis
penting (Ellen 2003, 64). Sejak abad ke- beraroma menyenangkan yang memiliki
14, Orang Jawa dan pedagang manfaat ganda. Bagi orang Jawa, kayu
Nusantara lainnya tampaknya mulai masoi biasanya digosok ke kulit untuk
terpikat datang di wilayah Papua obat sakit perut atau penyakit yang
Baratdaya mencari kayu masoi berkaitan dengan masalah pencernaan,
(Cryptocarya sassoia [Oken]) yang kosmetik, parfum, campuran pewarna
bernilai tinggi atas mediasi penguasa batik agar permanen, penyedap rasa,
dan pedagang Maluku (Widjojo 2013, obat untuk menghilangkan rasa nyeri
222). Sebaliknya, Orang Papua pesisir wanita pasca melahirkan, dan campuran
mulai berkenalan dengan barang industri jamu yang sampai sekarang
mewah rumah tangga dari luar berupa masih digunakan (Muller 2008, 85).
keramik Sawankhalok (abad 14-15), Popularitas kayu masoi dengan multi-
Sukhotai (abad 14-15), dan terutama manfaat, seiring dengan makin
Ming Swatow (abad 15-16). Situs-situs meningkatnya permintaan akan burung
yang menyimpan bukti kontak dagang cenderawasih pada periode yang sama
barang mewah keramik dalam periode berdampak pada terus tumbuhnya
abad ke-14-15 M tersebut antara lain: volume perdagangan Papua dalam abad
situs Kaliraja (Waigeo), Tomolol ke15-16 M. Menurut Hasan Muarif
(Misool), Lilinta (Misool), Arefi (Batanta), Ambary, seiring dengan meningkatnya
Samate (Salawati), Semenanjung Onim minat pasar pada abad ke ke-15 armada
(Fak-Fak), Adi Jaya (Kaimana), raja Tidore dan Ternate melakukan
Kampung Sran (Kaimana), Namatota pelayaran ke Timur mencari
(Kaimana), serta Biak dan Napan di cenderawasih di Salawati (Handoko
pesisir utara (lihat tabel 3). Berdasarkan 2010, 8).
posisi temuan ekskavasi, Situs Selain cenderawasih dan kayu
Namatota diketahui sekurang-kurang masoi, budak juga masih tetap menjadi
mulai difungsikan sebagai feederport komoditas yang menarik dan mudah
sejak abad ke 14-15 M, mengingat diperoleh di Papua pada abad ke-15
71,4% fragmen keramik kotak B10S4 Masehi. Sumber budak hampir selalu
spit 6 hingga spit 2 dari periode tersebut berkaitan dengan perpecahan internal,
(lihat tabel 1). masyarakat tak bernegara atau negara
kecil di timur Nusantara, seperti Papua,
Bali dan Nias (Reid 2011a, 152). Masa
ini pedagang dari Seram Laut
memainkan peran utama dalam
penjarahan dan jual-beli budak (Muller
6
Kayu Mesoyi atau masoi adalah pohon yang berdaun 2008, 88). Di wilayah Kepala Burung
bundar telur yang meruncing kea rah ujung daun. dan Kepulauan Raja Ampat sebelum
Jenis pohon masoi masih sekerabat dengan kayu datangnya pengaruh Islam,
manis. Orang Papua mengenal kayu ini dengan nama perdagangan budak cukup longgar
aikor atau aikori. Pohon ini berciri tinggi rata-rata 25
meter dengan diameter batang rata-rata 30 cm, tebal
karena sistem stratifikasi sosial mereka
kulit kayu 0,5 cm. yang melegalkan perbudakan.

188 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


Tabel 1. Keramik temuan ekskavasi kotak B10S4, Situs Namatota, Kaimana 2014

No Spit Masa/Asal Produksi Periode Bentuk Jumlah


1 1 Ming Abad ke 16-17 M Badan piring 2
2 1 Vietnam Abad ke 14-15 M Tepian piring 1
3 3 Vietnam Abad ke 14-15 M Badan buli-buli 1
4 3 Sukhotai Abad ke 14-15 M Badan mangkuk 1
5 4 Swankhalok Abad ke 14-15 M Badan piring 1
6 6 Swankhalok Abad ke 14-15 M Badan mangkuk 1
(Sumber: Data penelitian situs hunian di pesisir Kaimana Balai Arkeologi Jayapura 2014)

Papua tidak hanya mengekspor, mangkuk, tempayan); peralatan besi8;


tapi juga mengimpor sejumlah dan manik-manik.
komoditas. Tome Pires (1513) menulis Di Jazirah Onim, uang Portugis
dalam Suma Oriental bahwa penduduk diperoleh penduduk untuk diolah
pulau-pulai lain (Tanimbas, Papua, dan menjadi mas kawin yang mereka
Maluku) datang ke Banda membeli kain7 namakan wendi atau “emas negeri”,
[timor] (Cortesāo 1944, 208-211; Ellen yakni emas kadar rendah atau emas
2003, 65). Dalam catatannya, Tome campuran perak yang dilebur secara
Pires juga menulis bahwa selain Aru dan tradisional (Gambar 3; Kom. Personal
Kei, Papua salah satu dari tiga yang Abbas, 4/12/2013). Sementara di Biak,
menghasilkan komoditas sagu, emas, temuan spit 6 ekskavasi di situs Abib
bulu burung indah untuk diekspor ke (Djami 2011, 18) menujukkan bahwa
wilayah Barat Nusantara melalui barang besi impor selain sebagai
pelabuhan Banda; bulu burung lebih peralatan hidup yang istimewa juga
banyak dari Papua dan lebih dihargai dijadikan bekal kubur sebelum
dari pada yang berasal dari Aru sebagai masyarakat setempat bisa
barang dagangan yang hanya sedikit memproduksinya. Barang impor yang
dibawa yang disebut berasal dari surga diperoleh penduduk setempat kemudian
(Pires 1944, 209). meningkatkan kehormatan dan menjadi
Orang Eropa telah mulai ikut aset mahal yang melahirkan orang yang
memperdagangkan burung mampu mengelola dalam jaringan
cenderawasih sejak abad ke-16 dengan perdagangan lokal.
menjadikan bulunya sebagai hiasan,
terutama spesies Paradisea apoda,
yang berarti “burung tanpa kaki dari
surga”. Burung cenderawasih mulai
diterima orang Eropa tahun 1522 yang
dikenakan para wanita Eropa dan
Amerika sampai abad ke-20 (Flassy
2007, 41). Burung cenderawasih, budak,
pala dan kayu masoi ditukar dengan
barang impor, berupa keramik (piring, Gambar 3: Wendi warisan
masyarakat di situs Patimburak

7
Chau Ju-kua (1250) mencatat bahwa dari abad ke-13
hingga abad ke-17 para pedagang Cina membawa
benang dan pakaian ke berbagai pelabuhan Asia
Tenggara, diantaranya Jawa; pada abad ke-16 Jawa
Timur, Bali dan Sumbawa mulai menjadi
8
pengekspor utama pakaian, diikuti Sulawesi Selatan Kerajaan Maluku sendiri sejak abad ke-16 hingga
pada abad k-17 yang bangkit sebagai eksportir abad ke-19 mengimpor besi dan persenjataannya
pakaian terkemuka di Nusantara (Reid 2011a, 103; dari dua sumber di Sulawesi: Luwu dan Banggai
107-108). (Reid 2011a, 125).

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 189
Tabel 2. Komoditas dan kontak dagang abad ke-14 hingga awal abad ke-20 M

Fase Komoditas Pedagang


No Periode
Perdagangan Ekspor Impor Asing/Luar
1 Fase munculnya Abad ke-  Burung indah  Gerabah  Maluku (Seram
pelabuhan satelit 14--16 M  Budak  Keramik Laut; Banda;
di barat-laut-  Kayu masoi  Manik-manik Bacan)
baratdaya Papua  Pala  Peralatan besi  Jawa
 Kain Timor  Makassar
 Arab
 Eropa
2 Fase tumbuhnya Abad ke- Burung indah
  Gerabah  Maluku
industri lokal dan 17--18 M Kayu masoi
  Keramik  Jawa
titik pertemuan Budak
  Manik-manik  Melayu
barter (central Pala
  Peralatan besi  Makassar
place) Kerang
  Kain Timor  Arab
mutiara  Senjata Hadramaud
 Sirip Hiu  Biji besi  Eropa
 Teripang
3 Fase Abad ke-  Burung indah  Gerabah  Maluku
berkembangnya 19--20 M  Kayu masoi  Keramik  Jawa
sinergitas  Budak  Manik-manik  Melayu
perdagangan  Pala  Peralatan besi  Bugis
lokal  Kerang  Senjata  Makassar
mutiara  Biji besi  Buton
 Sirip Hiu  Kain Timor  Nusa Tenggara
 Teripang  Cina
 Eropa
 Kayu cendana
 Damar
 Kulit buaya
 Kayu gaharu
 Kopra
 Rotan
(Sumber: Data penelitian arkeologi masa sejarah di Papua 2010-2014)

Pada abad ke 17-18 Masehi, sandar keranjang (noken). Di


Papua memasuki fase sinergitas lokal. Semenanjung Onim central place (pasar
Fase ini ditandai tumbuhnya industri barter) disebut gona atau pheh di
lokal dan terbentuknya titik pertemuan Kampung Kayuni dengan siklus 6 harian
barter (central place), bukan saja antara (pasar panjang) dan pasar pendek
penduduk pantai Papua dan pedagang dengan siklus 5 harian di wilayah
asing, melainkan juga antara Petuanan Fikfik, meliputi (i) Kampung
masyarakat pantai dan suku-suku Numbuktep, (ii) Pekpek, (iii) Bahbadan,
pedalaman. Di Misool (Raja Ampat), (iv) Kwankwamur, (v) Mabunibuni, dan
Kokas (Fak-Fak), dan Mimika terdapat (vi) Kinam. Pasar pendek di Jazirah
tempat barter komoditas (central place) Onim, sekarang berlangsung setiap hari
pada hari pasaran yang mentradisi sabtu dan hanya ditemukan di
hingga memasuki abad ke-20. Di Mimika Mambunibuni (Jazirah Onim).
tempat pertemuan untuk transaksi barter Kelihatannya, dalam periode ini
barang dalam bahasa suku Komoro orang pantai Papua mulai ikut aktif
dikenal dengan sebutan Aikwa. Di menjadi penyalur komoditas impor dan
Misool (Raja Ampat), tempat pertemuan produk lokal yang dikembangkan sesuai
ditandai dengan tonggak-tonggak balok kondisi lingkungannya, seperti gerabah
batu pada suatu muara sungai di situs dan peralatan besi. Industri gerabah
Tomolol yang disebut penduduk lokal berkembang antara lain di situs
setempat dengan paludi, berarti tempat Abar-Sentani, Pulau Mansinam, dan

190 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


Arguni (Semenanjung Onim). beberapa sumbu pertumbuhan, setelah
Sementara alih keterampilan mengupam terlebih dahulu Biak berkembang pada
besi mulai berkembang di Papua sejak abad ke-17. Di wilayah pesisir utara,
Tidore memperoleh legitimasi pusat industri berada di Pulau Biak; di
kekuasaan dari VOC atas Papua pada bagian barat berada di kepulauan Raja
abad ke-17 Masehi. Awalnya orang- Ampat, dan di pesisir baratdaya Kepala
orang Tidore datang membawa Burung berkembang di Patippi
perkakas besi ke Biak yang kemudian (Semenanjung Onim, Fak-Fak),
ditiru penduduk pulau setempat. Alih Kampung Sran (Kaimana). Hasil industri
keterampilan mengupam besi dari besi di Biak ditemukan sisa-sisanya
Tidore memberi produk ekonomis baru sebagai bekal kubur yang patut diduga
bagi beberapa komunitas Biak, menyebar sampai ke Pulau Napan
diantaranya masyarakat kampung (Nabire). Di situs Kampung Tua Koam
Sowek, Bosnik, Ware, Samber (Kawer, dan situs Mosandurei (Pulau Napan)
2010:38). Produk besi yang semula ditemukan fragmen besi yang
hanya monopoli pedagang Maluku, berasosiasi dengan fragmen keramik
mulai juga menjadi barang barter antar Ching dan Eropa (Fairyo & Marlin Tolla
orang Biak dan penduduk Papua 2011, 17-19). Di wilayah kepulauan Raja
lainnya. Orang-orang Biak pergi menjual Ampat, indikasi industri besi ditemukan
produk besi mereka ke pulau Numfor dalam ekskavasi di situs Lilinta berupa
hingga ke Woi, Pom, Serewan, sampah biji-biji besi pada suatu struktur
Mandamen, Roon, Wasior, Onim, bekas bagian tungku peleburan biji besi
Namatota, Seget dan Raja Ampat; tradisional. Biji-biji besi di situs Lilinta
sedangkan pelayaran ke timur produk dan Biak diimpor dari Sulawesi (Luwu)
besi Biak diperdagangkan menyusuri sebagai sumber utama Nusantara
daerah Rumi, Woda, Kerudung Kadpuri, melalui Seram Laut. Tradisi upam besi
Bonoi, Memberamo, Komamba, Armo, juga berkembang di Kaimana yang
Sarmi, Demta, Depapre, Sentani, hingga walaupun sisa artefaknya belum
mencapai beberapa kepulauan Pasifik ditemukan pada situs, namun tradisi ini
(Kawer 2010, 40). masih diwarisi oleh salah satu keluarga
Menjelang akhir abad ke-18, di kampung Sran sampai sekarang.
industri besi Papua sudah memiliki

Tabel 3. Situs sumber keramik dan stoneware survei di Papua

Asal Produksi Lokasi Situs


No Jml
(Kiln)/Periode A B C D E F G H I J K L M N
1 Sung (abad ke
- - - - - - 1 - - - - - - - 1
12-13)
2 Vietnam (abad
2 - - - - - 5 1 - 1 - 3 3 - 15
ke 14-15)
3 Yuan (abad ke
1 - - - - - 3 - - - - - 1 - 5
13-14)
4 Yuan (abad ke
- - - - - - 2 - - - - - - - 2
14-15)
5 Sawankhalok
1 - - - - - - - - - - 1 - - 2
(abad ke 14-15)
6 Sukhotai (abad
- - - - - - 1 - - 1 - - 2 - 4
ke 14-15)
7 Swankhalok
brownwere 1 - - - - - - - - - - - - - 1
(abad ke 15-16)
8 Ming Swatow,
8 - 15 1 2 2 12 1 1 4 1 22 12 7 88
(abad ke 15-16)
9 Ming, (abad ke
4 2 7 1 1 7 8 3 3 8 - - 10 15 69
16-17)

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 191
10 Vietnam, (abad
- - - - 1 - - - - 1 - - - 2
ke 17-18)
11 Ching, (abad ke
6 5 10 1 2 5 5 1 6 6 - 29 16 12 104
17-18)
12 Ching, (abad ke
4 - 1 1 1 1 2 1 2 - - 16 3 5 37
19-20)
13 Eropa, (abad ke
17 - 18 22 4 4 11 6 8 5 3 5 1 35 139
19-20)
14 Stonewere,
- 1 - 1 - - - - - - - - 1 - 3
(abad ke 19-20)
15 Jepang , (abad
- - 1 - - - - - - - - - - - 1
ke 19-20)
16 Modern, (abad
- - 13 2 - - - - - - - - - - 15
ke-20)
TOTAL 44 8 65 29 11 19 50 13 20 25 5 76 49 74 488
(Sumber: Penelitian arkeologi di Papua tahun 2010-2014)
Keterangan:(A) Situs Kaliraja; (B) Saonek; (C) Pulau Urai; (D) Lilinta; (E) KIlimala; (F) Samate; (G) Namatota;
(H) Biak; (I) Mansinam; (J) Batanta; (K) Kaimana; (L) Patippi Pasir (Onim); (M) Kampung Tua
Furir (Onim); (N) Situs Mosandurei (Napan).

Sepanjang periode abad ke-18, ini mencapai bobot permintaan tertinggi


pedagang dari Maluku, Jawa, Bugis- sepanjang sejarah, sehingga menjadi
Makassar, Arab (Hadramaud), dan salah satu produk unggulan.
Eropa mencoba terus mengeksplorasi
komoditas unggul lainnya di Papua yang
sudah dikenal sangat laku di pasar
dunia sejak abad pertengahan. Bukti
eksistensi orang Bugis ditunjukkan
temuan makam kuno komunitas tersebut
di situs Lilinta dan Waigama, sementara
kehadiran saudagar Arab ditemukan di
situs Usaha Jaya, Misool (Gambar 4-5).
Pengaruh Jawa dan Melayu Islam di lain
pihak diantaranya dapat ditunjukkan dari Gambar 4: Makam Keturunan Arab
atap tumpang dan arsitektur masjid di (Hadramaud) di situs Usaha Jaya, Misool .
situs Patimburak (Fak-Fak) yang dari
perspektif pola dasarnya mengingatkan
kita pada masjid dan keraton Kesultanan
Deli (Melayu). Kehadiran berbagai etnis
di Papua pada masa itu dirangsang
komoditi hutan berupa pala (Myristica
fragrans), kayu gaharu9 (Aquilaria
moluccensi), kayu cendana (Santalum
album), dan damar (Agathis dammara).
Pala (Myristica fragrans) pada periode

9
Kayu gaharu dalam konteks perdagangan dunia tidak
pernah menjadi barang dagangan terkenal, karena
tumbuh luas di Asia Tenggara. Sejak awal masehi,
getah gaharu bagi pemeluk Tao dipakai untuk Gambar 5: Makam migran Bugis bernama
memperkuat tubuh (suplement) saat berpuasa, dan Solehuddin Waju di situs Lilinta, Misool,
dipercaya dapat mamanjangkan umur orang yang
Raja Ampat. Fak-Fak, Papua Barat
sedang sakit, obat kudis, luka parah, botak serta
gatal-gatal. Pengobatan dilakukan dengan (Dok. Balar Jayapura 2012)
pengasapan. Bagi orang Cina, gaharu dipercaya
dapat menenangkan 5 organ dalam (jantung, hati,
limpa, paru-paru, dan ginjal) serta dapat
menghilangkan (Wolters 2011, 63-104)

192 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


Dari laut Papua, para pedagang scale" (keuntungan yang diperoleh dan
memburu kulit penyu (Dermochelys skala produksi yang besar).
coriacea), sirip hiu (Trinedon obesus),
kerang mutiara (Pinctada maxima), dan
teripang (Holothuroidea) untuk jaringan
pasar dunia. Sisa-sisa perburuan
komoditas laut ditemukan sisa
artefaknya pada sejumlah situs di
Misool, Kampung Sran, Namatota,
Patippi (Onim) dan Kampung Tua Furir
(gambar 5). Mitra utama perdagangan
komoditas laut di Papua, terutama orang Gambar 6: Sisa sampah kulit kerang
Makassar yang datang sebagai mutiara yang ditemukan pada situs
pedagang perantara dengan membawa Kampung Furir, Fak-Fak, Papua Barat
keramik, peralatan besi, dan kain (Dok. Balar Jayapura, 2012)
(Mahmud 2013a, 44). Pencarian
komoditas laut di Papua terkait dengan Ekskavasi di situs Kampung Amoi,
meningkatnya permintaan pedagang Distrik Warsa pada kotak S3B1
Cina sejak abad ke-17 di pelabuhan ditemukan 3 buah manik-manik yang
Makassar10 atas kulit penyu, kerang berada pada spit 2 lapisan yang sama
mutiara, sirip hiu, dan teripang yang dengan keramik Ching (Mas’ud 2012,
mereka sebut hai som yang 12-13). Penemuan manic-manik di
dimanfaatkan sebagai bahan penyedap Kampung Amoi menegaskan bahwa
sup (Nasruddin 2002, 125). impor dan penggunaan manik-manik di
Hasil penelitian arkeologi pada Papua terus berlangsung sepanjang
situs-situs di Papua menunjukkan masih abad ke-18—19 M. Temuan arkeologi
rendahnya volume perdagangan tahun 2011 di Biak pada Kotak TP.1
dibandingkan kawasan Nusantara situs Arombo spit 1 (Djami 2011, 15),
dalam periode yang sama, berupa: menunjukkan bahwa selain sebagai
keramik, gerabah, manik-manik, biji perhiasan dan alat tukar, manik-manik
besi, senjata (meriam, badik/keris), dan juga tetap dipakai untuk bekal kubur
kain timor, serta barang tembaga untuk kalangan masyarakat Papua pesisir
kepentingan khusus. Satu-satunya sampai abad ke-19 sebelum mendapat
barang tembaga dari abad ke-18 yang sentuhan misi agama Kristen.
ditemukan di situs pulau Mansinam Pada abad ke-19, perburuan
berupa cawan buatan pabrik Meuuws & burung Cenderawasih di wilayah Papua
Zoom Den Haag tahun 1775, berukuran mencapai puncaknya, terutama
tinggi 14 cm, diameter dasar 11 cm, dan dilakukan suku-suku pedalaman.
dimeter mulut 9 cm. Cawan tembaga di Perburuan besar-besaran suku
situs Mansinam yang dibawa oleh pedalaman akan burung cenderawasih
misionaris berfungsi untuk ibadah terkait dengan sangat meningkatnya
perjamuan kudus gereja. Keterbatasan permintaan pasar Eropa untuk
komoditas yang diimpor Papua memenuhi kebutuhan perkembangan
berkaitan dengan masih rendahnya dunia mode (Muller 2008, 93). Suku
daya beli, kebutuhan, populasi Kaipuri dan Sowari di pedalaman
penduduk yang menghuni pulau ini misalnya, semakin aktif menukar burung
jarang dan terpencar-pencar dalam jarak cenderawasih dengan barang yang
jauh yang membutuhkan biaya mahal dibawa penduduk dari Teluk Wandamen
dalam pengembangan "economies of dan Teluk Cenderawasih berupa
keramik, kotak daun pandan, buah
10
Rute pelayaran ke Maluku sudah dikenal pelaut pinang hutan, ikan kering dan peralatan
Bugis-Makassar sejak masa awal pertumbuhan besi. Perdagangan barter semacam ini
dinasti kalasik sebagaimana Kitab Klasik Lagaligo
sudah menyebuttoponim Ternate sebagai pulau yang juga menjadi fenomena umum bagi
memiliki hubungan sekitar abad ke-9-10 Masehi suku-suku yang bermukim di Onim (Fak-
(Mahmud 2013b, 41)

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 193
Fak), Mimika, dan Sorong (orang Kaimana, dan Serui. Komoditas hutan
Maybrat) (Suroto 2010, 18). Ekspedisi yang dipasok suku-suku pedalaman
pencarian burung-burung indah dan kemudian ditukar dengan gerabah,
komoditas lokal lainnya oleh pedagang manic-manik, keramik, dan kain timor.
Ternate sampai ke Pulau Metu Debi Dalam kontak di wilayah Kepala Burung,
dengan menukar senjata. Di Merauke perdagangan komoditas hutan yang
tahun 1914 pedagang Jawa, Nusa ditukar dengan manik-manik, gerabah,
Tenggara, Maluku, dan Cina juga dan kain timor melalui dua koridor: (1)
melakukan barter burung cenderawasih Koridor utara dengan central place
dengan peralatan besi. Mereka berburu utama Pulau Waigeo memasuki daerah
cenderawasih untuk ditukar dengan Makbon menuju Karondori (Moi Karon)
komoditas lainnya dari luar, terutama dan terakhir Ambarbaken; (2) Koridor
pangan, keramik dan manik-manik dan Onim menuju Bomberai, Kokas, Babo,
kain timor. Khusus untuk kain timor, dan Teluk Bintuni, hingga sampai
perdagangannya hanya meliputi wilayah memasuki dataran Tanah Maladun.
Kepala Burung, Sorong, Maybrat¸ Awal abad ke-20, suku Bauzi yang
Inanwatan. menghuni DAS Sungai Membramo juga
Selain burung indah, sampai akhir mulai ikut dalam menyediakan
abad ke-19 Papua masih identik dengan komoditas dagang. Kulit buaya
sumber budak belian yang sudah merupakan komoditas andalan suku
berkembang sebelumnya. Budak Bauzi dalam melakukan kontak dagang
merupakan hal yang paling menarik dan dengan pihak luar. Barter diantara
mudah diperoleh di Papua sampai abad penduduk pedalaman dan pantai
ke-19. Pada abad ke-19, orang Biak semakin meluas sampai pertengahan
mengambil alih peran orang Seram Laut abad ke-20, seperti kelompok dari Citak,
sebagai penyedia budak belian. Dahulu datang ke Kepi (Merauke) untuk
selalu ada ekspedisi raak yang menukarkan kulit buaya dengan pisau,
bermakna perang, perompakan dan kapak, makanan, dan barang-barang
penjarahan, terutama pada perburuan lain (Schoorl 2001, 339). Dinamika
budak yang sangat menguntungkan. perdagangan yang bertambah meluas
Aksi-aksi penjarahan dilakukan orang cakupannya, semakin memberi banyak
Biak dari Raja-Ampat sampai timur laut pengetahuan tentang kekayaan
Jawa. Pemimpinnya disebut mambri, komoditas Papua kepada dunia luar.
yang berarti pemimpin di laut, tetapi
sekembali di daratan pada waktu damai PENUTUP
tidak mempunyai kekuasaan apa-apa
(Schoorl 2001, 457). Komoditas dari Papua yang mula-
Selain budak, Papua juga mula dikenal dunia luar terkait dengan
menyediakan berbagai sumberdaya burung indah dan tenaga kerja (budak).
yang diperjualbelikan di pasar lokal dan Komoditas burung indah Papua
regional. Komoditas dagang yang lazim didistribusikan keluar Papua lewat
meliputi: kayu masoi, pala, teripang, dan Bacan, Seram Laut, dan Banda.
menjadi makin bervariasi sejak Komoditas burung indah dari Papua
pertengahan abad ke-20 dengan diperjualbelikan oleh pedagang Maluku,
meningkatnya permintaan damar Melayu, dan Jawa, diikuti pedagang
(Agathis dammara [Lamb.) dan rotan Arab dan selanjutnya Eropa. Selain
(Daemonorops rubra). Di wilayah Kepala burung indah, budak dan kayu abnus
Burung, damar, dan roton dipasok suku- pada masa-masa awal kontak dengan
suku asli kepada tengkulak Cina dan dunia luar, Papua lewat pelabuhan
Bugis yang datang dari Sorong dan Banda dan Seram Laut juga mensuplai
Bintuni (Sanggenafa dan pala, kayu masoi, cendana, damar, kulit
Koentjaraningrat 1992, 159). Ekspansi penyu, sirip hiu, kerang mutiara dan
dagang Cina ke Papua telah teripang. Memasuki abad ke-20, Papua
menciptakan kantong pemukiman juga menyediakan komoditas kulit
Pecinan di Pulau Doom (Sorong), buaya, kopra, dan rotan. Sebaliknya,

194 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


Papua mengimpor gerabah, manik- nilainya lebih dari emas pada masanya.
manik, keramik, kain timor, kebutuhan Pada fase ketiga (abad ke-17—18 M),
pangan, bahan dan peralatan besi, serta peran pedagang Jawa mulai digantikan
berbagai jenis senjata lainnya. Peralatan oleh saudagar Bugis-Makassar, selain
besi setelah abad 17-18 M telah Arab (Hadramaud), Melayu, dan Eropa.
diproduksi secara terbatas di Biak, Makam kuno Bugis-Makassar di situs
Patippi (Onim), dan Kampung Sran Lilinta dan makam kuno Saudagar Arab
(Kowiai, Kaimana). Selain peralatan di situs Usaha Jaya (Misool) menjadi
besi, juga ditemukan industri gerabah bukti eksistensi kedua komonitas di
yang sudah tumbuh jauh sebelumnya di wilayah Kepala Burung. Orang-orang
Arguni (Fak-Fak), Pulau Mansinam, dan Makassar sangat dominan dalam
Abar (Sentani-Jayapura). perdagangan komoditas laut Papua
Dalam keseluruhan gambaran yang sangat dibutuhkan dan dinantikan
data arkeologi dan sejarah, dapat pedagang Cina di entrepot Somba Opu,
disimpulkan bahwa komoditas Papua berupa kerang mutiara, Sirip Hiu,
mulai dikenalkan secara resmi sejak Teripang. Selain komoditas laut Papua,
abad ke-8 M ketika Kerajaan Sriwijaya di pedagang Maluku, Bugis-Makassar,
Sumatera mempersembahkan burung Arab, Jawa dan Eropa juga mencari
indah kepada kaisar Cina. Dari periode komoditas hutan dan merangsang
abad ke 9-11 M, burung indah koneksitas dagang antara penduduk
merupakan komoditas utama selain pala pantai dan pedalaman serta secara tidak
dan tenaga kerja (budak). Keberadaan langsung mendorong munculnya central
tenaga kerja kasar (budak) dari Papua di place, seperti di Jazirah Onim (gona;
pelabuhan Jawa dicatat pada prasasti pheh), situs Tomolol (paludi), dan Timika
Waharu IV (abad ke-10) dan Garaman (aikwa).
(abad ke-11). Sepanjang sejarah Pada abad ke-19-20 M
perdagangan di Papua, komoditas perdagangan di Papua ditandai
burung cenderawasih menjadi produk terbentuk sinergitas perdagangan lokal.
perekonomian khas yang dicari dan Sinergitas perdagangan lokal melibatkan
terus menggoda hasrat perburuan penduduk setempat dalam bentuk
sepanjang abad ke-14 hingga awal kontak niaga antar-suku pantai dan
abad ke-20. Barang impor yang pedalaman. Perburuan komoditas
ditemukan dalam periode abad ke 8-13 damar dan rotan oleh tengkulak Bugis
M hanya berupa manik-manik di situs dan Cina yang sudah terkoneksi dengan
Yemokho. pedalaman tumbuh pada fase ini.
Sepanjang abad ke-14—16 M Peningkatan aktivitas dagang Cina
komoditas kayu masoi mulai dicari kemudian melahirkan beberapa kantong
pedagang dari Jawa, selain pala dan pemukiman Pecinan di Papua yang
burung indah. Meskipun demikian, peran tetap terbina sampai sekarang,
entrepot Banda dan Seram Laut sebagai diantaranya di situs Pulau Doom
pintu gerbang masih dominan pada fase (Sorong), Kaimana, dan Serui.
ini, kemudian ditopang kebangkitan
Jazirah Onim (Fak-Fak) sebagaimana
dicatat Nagarakrtagama (Wwanim) dan
Berita Cina (Tung-ki) serta dibuktikan
dengan indikasi keramik periode ini,
seperti dari situs Patippi, Ugar, dan
Kampung Tua Furir. Bangsa Eropa baru
mulai ikut terlibat dalam perdagangan
komoditas burung cenderawasih dan
pala Onim sejak abad ke-16.
Periode selanjutnya, abad 17-18
Masehi ditandai dengan meningkatnya
permintaan pala di pasar dunia sehingga
menjadikannya komoditas unggul yang

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 195
DAFTAR PUSTAKA

Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. 1995. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh.
Jakarta: Lentera Basritama.

Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara


1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Bachtiar, Harsja W. 1963. “Sejarah Irian Barat” dalam Koentjaraningrat dan Harsja W.
Bachtiar (ed.) Penduduk Irian Barat. Jakarta: P.T. Penerbitan Universitas. Hlm. 55-
94.

Cortesāo. 1944. “The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of the East from the Red
Sea to China written in Malacca in 1512-1515, and the Book of Francisco
Rodriguez, Pilot Major of Armada that Discovered Banda and the Moluccas”.
Hakluyt Society, 2nd Series, Vol. 89.

Djami, Erlin Novita Idje. 2011. “Penelitian Arkeologi di Kabupaten Biak Numfor: Manusia
Berpenutur Austronsia”. Laporan Penelitian Arkeologi. Jayapura: Balai Arkeologi
Jayapura.

Ellen, R.F. 2003. On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Social
Organization. Engelska: University of Hawaii Press.

Fairyo, Klementin dan Marlin Tolla. 2011. “Penelitian Arkeologi di Distrik Napan,
Kabupaten Nabire, Propinsi Papua”. Laporan Penelitian Arkeologi. Jayapura: Balai
Arkeologi Jayapura.

Flassy, Don A.L. 2007. Fauna Tanah Kita. Saduran dari Karya Dr.L.D. Brongersma,
Dieren van Nieuw-Guinea. Jakarta: Balai Pustaka.

Handoko, Wuri. 2010. “Gerak Niaga Maluku – Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan
Islam” dalam Jurnal PAPUA Vol. 2, No. 1, Juni 2010. Hlm. 1-13.

Hirth, Friedrich & W.W. Rockhill. 1911. Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab
Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. (Translated
from the Chinese and Annotated). St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences.

Kamma, F.C. 1953. Kruis en Korwar: Een Honderdjarig Vraagstuk op Nieuw Guinea.
Den Haag: J.N. Voorhoeve

Kawer, Sonya. 2010. “Perdagangan Besi pada Masyarakat Biak Numfor” dalam Jurnal
PAPUA Vol. 2, No 1, Juni 2010. Hlm. 35-43.

Kern, H. 1929. Hindoe Javaanse Geschiedenis. Netherlands: s’Gravenhage.

Krom, N.J. 1938. “Het Hindoe-tijdperk” dalam F.W. Stapel: Geschiedenis van
Nederlandsch Indïë Vol. I. Amsterdam: N.V.U.U. Joost van den Vondel.

Mahmud, M. Irfan. 2011. “Jejak Budaya Austronesia, Melanesia, dan Tradisi Prasejarah
Berlanjut di Papua” dalam M. Irfan Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami (ed.)
Austronesia dan Melanesia di Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 43-
74.

196 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198


_____________ 2013a. “Pelayaran dan Perdagangan Abad XVII-XIX Bugis-Makassar
ke Papua” dalam Jurnal PAPUA Vol. V, No. 1, Juni 2013. Hlm. 37-57.

_____________ 2013b. “Akulturasi Budaya Lokal dan Konsepsi Islam di Situs Kaliraja,
Raja Ampat” dalam Jurnal PAPUA Vol. V, No. 1, Juni 2013. Hlm. 50-75.

Majumdar, R.C. 1937. Ancient Indian Colonies in the Far East Vol. II, Suvarnadvipa Part
I—Political History. Dacca: Asutosh Press

Mas’ud, Zubair. 2012. “Ekskavasi situs Kampung Tua Warsa, Kabupaten Biak Numfor”.
Laporan Penelitian Arkeologi. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura.

Muller. Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.

Muljana, Slamet. 1953. Prapantja: Nagarakretagama (Terjemahan). Djakarta: N.V.


Siliwangi.

______________ 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara


Karya Aksara.

______________ 2005. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit).


Yogyakarta: LKiS.

______________ 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Nasruddin. 2002. “Ekspedisi Jejak Kehadiran Pelaut Makassar di Pesisir Pantai Utara
Australia, Abad XVII” dalam M. Irfan Mahmud dkk. (ed.) Tradisi, Jaringan Maritim,
dan Sejarah-Budaya: Perspektif Etnoarkeologi—Arkeologi Sejarah. Makassar:
Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Hlm. 117-130.

Nugroho, Irawan Djoko. 2011. Majapahit Peradaban Maritim (Ketika Nusantara Menjadi
Pengendali Pelabuhan Dunia). Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti.

Reid, Anthony. 2011a. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450—1680 Jilid I: Tanah di
Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

____________ 2011b. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450—1680 Jilid II: Jaringan
Perdagangan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sanggenafa, N dan Koentjaraningrat. 1992. “Pertukaran Kain Timur di Daerah Kepala


Burung” dalam Koentjaraningrat, dkk. (ed.) Irian Jaya: Membangun Masyarakat
Majemuk. Jakarta: Djambatan. Hlm. 156-172.

Schoorl, P. 2001. Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962.
Jakarta: Penerbit Garba Budaya.

Simanjuntak. Truman. 2011. “Austronesia Prasejarah di Indonesia” dalam M. Irfan


Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami (ed.) Austronesia dan Melanesia di
Nusantara: Mengungkap Asal-Usul dan Jati-Diri dari Temuan Arkeologis.
Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 1-21.

Suroto, Hari. 2010. “Perburuan dan Perdagangan Burung Cenderawasih di Papua“


dalam Jurnal PAPUA Vol. 2, No 1, Juni 2010. Hlm. 15-21.

Komoditas dan Dinamika Perdagangan di Papua Masa Sejarah (M. Irfan Mahmud) 197
Tanudirjo, Daud Aris. 2011. “Interaksi Austronesia – Melanesia, Kajian Interpretasi
Teoritis” dalam M. Irfan Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami (ed.) Austronesia dan
Melanesia di Nusantara: Mengungkap Asal-Usul dan Jati-Diri dari Temuan
Arkeologis. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 23-42.

Widjojo, Muridan. 2013. Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-


Papua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu.

Wolters, O.W. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III-
VII. Depok: Komunitas Bambu

Yuniarti, Fandri (ed.). 2009. Ekspedisi Tanah Papua, Laporan Jurnalis Kompas. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas

198 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 183-198

You might also like