You are on page 1of 14

Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No.

2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

PROSES AKULTURASI KERUANGAN KOMUNITAS MUSLIM KAMPUNG


JAWA DI PERKOTAAN TABANAN BALI

Rahma Rizqyani1, Agam Marsoyo2


1,2
Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada
1
rahmarzq@gmail.com, 2agam@ugm.ac.id
Diterima: Maret 2019; Direvisi: April 2019; Disetujui: Mei 2019

Abstract. The traditional rules of Bali regulate the use of space as a manifestation of the
rules of palemahan in the Tri Hita Karana concept. The arrival of Moslem migrants to
Tabana urban area forms the Moslem community of Kampung Jawa which is the largest
Moslem community in the Tabanan urban area and still exists today. The high intensity of
interaction between Moslems and Hindus has resulted in spatial acculturation related to
the rules of palemahan. This research aims to find out the process of spatial acculturation
of the Moslem community in urban Tabanan Bali. The method used was a case study
method with the Kampung Jawa area as a case unit. Data collection of case evidence was
obtained through observation and in-depth interviews to the informant who are considered
to have knowledge of the variety and spatial acculturation processes that occur and
supported by other secondary data. This study found a different process and time of
formation in each type of spatial acculturation that occurred. Spatial acculturation of the
Moslem community of the Kampung Jawa in Tabanan urban takes several stages of the
process, namely: (1) social interaction, (2) Moslem understanding of Hinduism, (3)
Moslem adaptation, (4) Hindus understanding of Moslems, (5) acculturation, and (6)
expansion of space, actors, and type of spatial acculturations.

Keyword: adaptation, interaction, spatial acculturation, process

Abstraksi. Aturan adat Bali mengatur pemanfatan ruang sebagai wujud aturan palemahan
dalam konsep Tri Hita Karana. Kedatangan migran Muslim ke kawasan perkotaan
Tabanan membentuk komunitas Muslim Kampung Jawa yang merupakan komunitas
Muslim terbesar di kawasan perkotaan Tabanan dan masih eksis hingga saat ini.
Tingginya intensitas interaksi Muslim dan warga Hindu mengakibatkan terjadinya
akulturasi keruangan terkait dengan aturan palemahan. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan proses akulturasi keruangan komunitas Muslim di perkotaan Tabanan Bali.
Metode yang digunakan adalah metode studi kasus dengan kawasan Kampung Jawa
sebagai unit kasus. Pengumpulan data bukti-bukti kasus diperoleh melalui observasi dan
wawancara mendalam kepada narasumber yang dinilai memiliki pengetahuan terhadap
ragam dan proses akulturasi keruangan yang terjadi dan didukung dengan data sekunder
lainnya. Penelitian ini menemukan adanya proses dan waktu pembentukan yang berbeda-
beda pada tiap ragam akulturasi keruangan yang terjadi. Akulturasi keruangan komunitas
Muslim Kampung Jawa di perkotaan Tabanan menempuh beberapa tahapan proses, yaitu:
(1) interaksi sosial, (2) pemahaman Muslim terhadap Hindu, (3) Adaptasi Muslim, (4)
pemahaman warga Hindu terhadap Muslim, (5) akulturasi, dan (6) perluasan ruang,
pelaku, dan ragam akulturasi keruangan.

Kata kunci: adaptasi, akulturasi keruangan, interaksi, proses

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 43


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

PENDAHULUAN bertentangan. Bahkan Kabupaten Tabanan


Kawasan Perkotaan Tabanan bukan pada tahun 2017 menerima penghargaan
merupakan kota administratif, melainkan “Harmony Award” dari Kementerian
fungsional. Dalam Peraturan Daerah Agama atas keberhasilan dalam memelihara
Kabupaten Tabanan Nomor 11 Tahun 2012 kerukunan beragama dan memfasilitasi
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kegiatan umat beragama.
Kabupaten Tabanan Tahun 2012-2032, Kondisi kerukunan antar umat beragama
disebutkan bahwa kawasan Perkotaan yang sangat baik ini semakin memperkuat
Tabanan ini untuk wilayah Kecamatan asumsi adanya akulturasi yang terjadi,
Tabanan meliputi Desa Dauh Peken, Desa terutama antara warga Muslim sebagai
Delod Peken, Dajan Peken, dan Desa pemeluk agama terbesar kedua di kawasan
Denbantas. Adapun dari keempat desa ini, perkotaan Tabanan dan warga adat Hindu
komunitas Muslim terbesar ditemukan pada sebagai penduduk asli kawasan perkotaan
Kampung Jawa yang merupakan bagian Tabanan. Oleh karena itu perlu diteliti
dari wilayah Desa Dauh Peken. mengenai proses-proses yang telah dilalui
Komunitas Muslim berkembang pesat hingga terbentuk akulturasi keruangan
sekitar tahun 1970 dengan adanya migrasi seperti saat ini yang berujung pada
besar-besaran seiring dengan terciptanya kerukunan antara warga Muslim
perkembangan pariwisata di Bali (Drysdale, dan Hindu yang sangat baik. Tahapan
1995; Mantra, 1993). Eksistensi migran proses yang dilalui tersebut dapat menjadi
Muslim membuktikan kemampuan para best practice bagi wilayah lain untuk
migran Muslim untuk berakulturasi dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat
masyarakat adat Hindu di wilayah umum untuk saling menghormati perbedaan
perkotaan Tabanan. Mashad (2014) antar etnis dan agama sehingga mencegah
menyampaikan bahwa masyarakat adat Bali terjadinya konflik antar etnis dan agama.
memiliki konsep Tri Hita Karana yang Penelitian mengenai akulturasi antara
dianut oleh warga adat Hindu yang migran Muslim dan warga adat Hindu Bali
mengatur hubungan antar manusia pada umumnya berfokus pada hasil
(pawongan), lingkungan (palemahan), dan akulturasi. Akulturasi yang berfokus pada
Tuhan (parahyangan). Dalam konsep pola-pola arsitektur permukiman diteliti
keruangan terkait dengan aturan palemahan oleh Prasetya (2012) mengambil lokasi di
dapat dipastikan sudah terjadi akulturasi Desa Pegayaman Buleleng Bali. Sementara
unsur-unsur ruang antara Muslim dan itu Saputra (2014) melakukan penelitian di
Hindu, terutama mengenai pemanfaatan Desa Muslim Soko Kecamatan Penebel
ruang untuk kegiatan Muslim, Hindu, atau yang berfokus pada proses perubahan pola
keduanya. ruang permukiman sebagai wujud
Konflik pemanfaatan ruang antar akulturasi arsitektur masyarakat tradisional
masyarakat dengan latar belakang Bali dan masyarakat Muslim. Kampung
perbedaan agama dan kepercayaan sangat Jawa sendiri telah diteliti mengenai
sering terjadi di Indonesia. Akan tetapi di perkembangan fisik ruangnya oleh
kawasan perkotaan Tabanan belum pernah Dwipayana (2015). Dari penelitian-
terjadi konflik pemanfaatan ruang antara penelitian sebelumnya ini, belum pernah
Muslim dengan masyarakat adat Hindu ada yang meneliti tentang proses akulturasi
meskipun ajaran agama keduanya sangat keruangan antara komunitas Muslim

44 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

Kampung Jawa dan masyarakat adat Hindu sebelumnya serta memperkaya penelitian
di kawasan perkotaan Tabanan. mengenai akulturasi antara komunitas
Bakker (1984) menyatakan bahwa Muslim dengan masyarakat adat Hindu
proses akulturasi bermula dengan masih Bali.
adanya adanya batas perbedaan budaya
METODE PENELITIAN
yang terlihat jelas, kemudian tumpang
Pendekatan penelitian ini adalah
tindih satu sama lain. Tumpang tindih
pendekatan studi kasus. Penelitian
kebudayaan ini berlangsung lapisan demi
mengenai akulturasi merupakan penelitian
lapisan yang semakin lama terjadi semakin
yang tidak pernah lepas dari permasalahan
luas dan dalam. Lebih jauh lagi, Kim
budaya. Menurut Endraswara (2006),
(2001) menyatakan bahwa akulturasi
dengan menggunakan metode studi kasus
berawal ketika migran mulai berinteraksi
maka permasalahan kebudayaan akan
dengan pribumi setelah melalui proses
terangkat ke permukaan, celah-celah
sosialisasi sebelumnya. Sebelum terjadi
kehidupan budaya yang tidak wajar dapat
akulturasi, ada proses enkulturasi/adaptasi
muncul. Selain itu metode studi kasus dapat
budaya untuk mempertahankan eksistensi
mengkaji budaya secara naturalistik,
migran. Sementara itu, Dearborn (2008)
holistik, dan fenomenologis.
mengemukakan bahwa di dalam akulturasi
Untuk mengungkapkan bagaimana
keruangan meskipun ada usaha untuk
proses akulturasi keruangan komunitas
mempertahankan kebudayaan daerah asal,
Muslim di perkotaan Tabanan, maka
secara perlahan tetap terjadi transformasi
penelitian ini mengunakan single case
budaya secara luas mendekati budaya
design. Dalam single case design ini, unit
wilayah yang ditempatinya. Transformasi
kasus yang dipilih merupakan kasus yang
ini meliputi bentuk dan arti tempat tinggal
unik dan memiliki nilai interaktif yang
beserta manusia, kegiatan, dan segala hal
tinggi (Stake, 2006). Unit kasus yang
yang ada di dalamnya. Dari beberapa teori
dipilih dalam penelitian ini adalah
yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di
Kampung Jawa yang merupakan tempat
atas, belum ada yang mengungkapkan
komunitas Muslim tertua di kawasan
secara jelas dan rinci mengenai tahapan-
perkotaan Tabanan. Adapun unit kasus ini
tahapan yang ditempuh dalam proses
dipilih melalui proses grandtour yang
akulturasi keruangan.
dilaksanakan pada tahap persiapan.
Penelitian ini bertujuan untuk
Tahapan selanjutnya merupakan tahap
menemukan proses akulturasi keruangan
pengumpulan data. Dalam kegiatan
komunitas Muslim Kampung Jawa di
pengumpulan data penelitian ini, sumber-
perkotaan Tabanan Bali. Tahapan-tahapan
sumber bukti kasus yang digunakan antara
yang ditempuh dalam proses akulturasi
lain diperoleh melalui wawancara,
keruangan terutama yang terjadi pada
observasi, dan pengumpulan data sekunder.
akulturasi keruangan antara komunitas
Wawancara mendalam (in-depth interview)
Muslim Kampung Jawa dan masyarakat
dilakukan kepada narasumber yang dinilai
adat Hindu Bali di kawasan perkotaan
memiliki pengetahuan terhadap ragam dan
Tabanan diungkapkan secara rinci dalam
proses akulturasi keruangan yang terjadi.
penelitian ini. Hal ini dimaksudkan untuk
Hasil wawancara kemudian dikonfirmasi
melengkapi teori-teori mengenai proses
melalui kegiatan focuss group discussion
akulturasi keruangan yang sudah ada

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 45


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

(FGD). Observasi dilakukan pada ruang pada masing-masing ragam akulturasi


publik, ruang privat Muslim dan ruang keruangan yang terjadi. Kontribusi teoretik
privat Hindu di Kampung Jawa dan dilakukan dengan membandingkan temuan-
sekitarnya karena akulturasi keruangan temuan penelitian dengan teori-teori yang
sangat dimungkinkan terjadi pada ruang- sudah ada sebelumnya. Seluruh hasil
ruang interaksi Muslim dan warga Hindu analisis dibuat eksplanasi dalam bentuk
yang berada di luar wilayah Kampung Jawa naratif. Gambar 1 menyajikan rangkaian
namun tetap berada pada kawasan alur proses penelitian.
perkotaan Tabanan. Observasi ini berkaitan
dengan pemanfaatan ruang untuk aktivitas
Muslim dan Hindu yang bukan hanya
berupa aktivitas keagamaan, melainkan
juga termasuk aktivitas-aktivitas lain yang
menjadi ciri khas masing-masing warga
Muslim maupun Hindu. Sedangkan data
sekunder berasal dari instansi pemerintah
dan organisasi kemasyarakatan setempat
untuk mendukung bukti-bukti kasus.
Tahapan terakhir dalam penelitian ini
adalah analisis dan pelaporan. Seluruh
bukti-bukti kasus yang diperoleh di Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
lapangan baik itu melalui observasi, Sumber: Analisis peneliti, 2018
wawancara, maupun dokumen-dokumen
sekunder dilakukan analisis mengenai HASIL DAN PEMBAHASAN
proses akulturasi keruangan yang terjadi. Hasil Penelitian
Adapun teknik analisa yang digunakan Gambaran Umum Kampung Jawa
adalah induktif melalui proses coding, Kampung Jawa secara administratif
menghubungkan tema-tema, dan masuk ke dalam wilayah Banjar
interpretasi tema-tema untuk memunculkan Tunggalsari dan Banjar Tegal Belodan
tahapan-tahapan serta urutan rangkaian Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan.
masing-masing tahapan proses akulturasi Istilah Kampung Jawa bukan merupakan
keruangan tersebut. Analisa ini dilakukan wilayah administratif tetapi muncul karena
pada masing-masing ragam akulturasi mayoritas warga di kawasan ini berasal dari
keruangan yang ditemukan di lapangan. Jawa dan Madura.
Selanjutnya dilakukan analisa untuk Pada awalnya komunitas Muslim
menemukan tahapan proses akulturasi Kampung Jawa hanya terdapat di Banjar
keruangan komunitas Muslim Kampung Tunggalsari. Komunitas Muslim Kampung
Jawa di Perkotaan Tabanan beserta analisa Jawa mengalami perkembangan pesat
mengenai temuan penelitian yang dapat antara tahun 1966-1970, dan sejak tahun
memberikan kontribusi teoretik. Analisa 1985 mulai menyebar ke daerah Kampung
proses akulturasi keruangan komunitas Kodok yang berada di sebelah selatan
Muslim Kampung Jawa di perkotaan Banjar Tunggalsari (Dwipayana, 2015).
Tabanan Bali dilakukan dengan generalisasi Pada tahun 1980 jumlah warga Muslim di
kualitatif pada proses akulturasi keruangan Kampung Jawa sekitar 300 KK dan saat ini

46 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

sudah berkembang menjadi lebih dari 700 pembauran berbagai aktivitas manusia
KK pada banjar Tunggalsari dan sekitar 250 tersebut (Doxiadis, 1971). Di sinilah
KK pada banjar Tegal Belodan. akulturasi keruangan terjadi.
Pesatnya perkembangan Muslim Migran Muslim dan warga asli Hindu
dicirikan dengan perkembangan memiliki aktivitas yang sangat berbeda.
permukiman Muslim ke arah luar Kampung perbedaan ini tidak hanya mengenai
Jawa. Hal ini berakibat pada percampuran aktivitas keagamaan, namun juga aktivitas
lokasi tempat tinggal antara Muslim dan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
Hindu. Kondisi demikian menyebabkan itu di dalam akulturasi keruangan, tidak
intensitas interaksi yang tinggi antara hanya mengenai pemanfaatan ruang untuk
Muslim dan warga Hindu, apalagi aktivitas keagamaan, melainkan aktivitas
keberadaan Muslim diterima dengan baik apapun yang menjadi ciri khas migran
oleh warga Hindu setempat. Bahkan warga Muslim maupun warga adat Hindu. Adapun
Hindu Bali sudah menganggap Muslim akulturasi keruangan yang ditemukan di
sebagai nyama selam (saudara Muslim). kawasan Kampung Jawa adalah: adanya
Kedekatan hubungan ini berdampak pada kios baju bekas Pasar Kodok yang dimiliki
adanya kesalingpemahaman dalam oleh warga Hindu Bali; adanya kegiatan
pemanfaatan ruang. pengajian pada tanah milik warga Hindu;
Ruang dimanfaatkan untuk melakukan adanya rumah duka di kawasan kuburan
aktivitas manusia. Semakin banyak manusia Muslim Tunggalsari; dan adanya ruang
yang tinggal di suatu tempat, maka semakin parkir jamaah masjid di badan jalan.
kompleks aktivitas kelompok manusia
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan
pemanfaatan ruang yang sama dengan

Kios baju bekas milik Parkir jamaah Masjid


warga Hindu

Tanah milik warga Hindu yang Rumah duka di kuburan Muslim


digunakan untuk kegiatan pengajian

Gambar 2. Sebaran Akulturasi Keruangan Islam-Hindu Kampung Jawa


Sumber: Observasi dan wawancara peneliti, 2018

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 47


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

Proses Akulturasi Keruangan pada Kios Pedagang Muslim meraup keuntungan


Baju Bekas Milik Pedagang Hindu di yang sangat besar. Hal ini menjadi
Pasar Kodok pendorong bagi warga Hindu untuk
Mayoritas Muslim Kampung Jawa melakukan aktivitas yang sama. Sekitar
bermatapencaharian sebagai pedagang. tahun 2005 beberapa warga Hindu memulai
Pedagang yang berasal Sumenep sebagian usaha berdagang pakaian bekas pada
besar berjualan pakaian bekas di Pasar tanahnya yang semula disewakan kepada
Kodok yang merupakan wilayah Banjar pedagang Muslim dengan berbekal
Tegal Belodan. Pasar Kodok merupakan pengetahuan yang diperoleh dari pedagang
pasar baju bekas impor yang mulai muncul Muslim. Pada tahap inilah akulturasi
sekitar tahun 2000. Saat itu hanya terdapat keruangan telah berlangsung, dimana pada
sekitar 10 pedagang dari Pulau Raas, ruang privat warga Hindu terdapat warga
Madura yang menempati kios di sebelah Hindu yang melakukan aktivitas seperti
timur pasar saat ini. Seiring waktu berjalan, yang dilakukan oleh Muslim (pedagang
kios berkembang ke arah barat hingga Muslim). Kesuksesan warga Hindu
terbentuk Pasar Kodok seperti sekarang. berdagang pakaian bekas memicu warga
Kios-kios di Pasar Kodok menempati lahan Hindu lainnya untuk berdagang pakaian
yang disewa dari warga Hindu. Pemilik bekas baik di kios milik pribadi maupun
lahan hanya membuat batas petak kios, kios sewa. Di sinilah tahap perluasan ruang
sementara pedagang penyewa yang dan pelaku akulturasi keruangan
membuat sendiri bangunan kiosnya. berlangsung. Kios pakaian bekas milik
Pedagang Muslim Pasar Kodok pribadi warga Hindu berada di dalam Pasar
sebagian besar tinggal di sekitar Pasar Kodok bercampur dengan pedagang
Kodok dengan menyewa bangunan ataupun Muslim lainnya. Sedangkan kios sewa
tanah milik warga Hindu. Percampuran berada di sebelah utara Pasar Kodok.
lokasi tempat tinggal pedagang Muslim dan Dengan demikian, tahapan proses akulturasi
warga Hindu menyebabkan keeratan keruangan yang dilalui pada ragam ini
hubungan sosial antara Muslim dan warga adalah: (1) sosialisasi/interaksi sosial antara
Hindu. Dalam hubungan ini terjadi transfer Muslim dan warga Hindu, (2) pemahaman
pengetahuan mengenai cara berdagang kondisi perekonomian warga Hindu, (3)
orang Muslim, seperti dimana mereka adaptasi, (4) akulturasi, dan (5) perluasan
mengambil barang dagangan, bagaimana ruang dan pelaku akulturasi.
memperlakukan barang dagangan, serta
cara menjual barang dagangan. Hal tersebut
didasari oleh pemahaman Muslim terhadap
kondisi perekonomian warga Hindu,
terutama yang bekerja dalam bidang
pertanian. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perilaku berbagi ilmu
pengetahuan ini merupakan perwujudan
dari perilaku adaptasi pedagang Muslim
Gambar 3. Tahapan Proses Akulturasi
terhadap kondisi perekonomian warga
Keruangan pada Kios Baju Bekas
Hindu setempat.
Sumber: Analisis peneliti, 2019

48 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

Proses Akulturasi Keruangan pada pelaksanaan pengajian dengan maksud


Kegiatan Pengajian di Tanah Milik untuk meningkatkan kenyamanan pengguna
Warga Hindu jalan. Ide ini disampaikan kepada warga
Sebagian besar bangunan sewa tempat Muslim melalui interaksi sosial sehari-hari.
tinggal komunitas Muslim sekitar Pasar Penawaran ini disambut baik oleh warga
Kodok berupa rumah-rumah petak yang Muslim karena dapat memberikan
berukuran kecil. Seperti komunitas Muslim kesempatan untuk melaksanakan kegiatan
pada umumya, komunitas Muslim di keagamaan dalam skala yang lebih besar,
kawasan ini juga rutin mengadakan acara seperti pengajian akbar dalam rangka
keagamaan seperti pengajian. Pada rumah- perayaan hari besar Islam. Pada akhirnya
rumah kecil inilah kegiatan pengajian terjadilah akulturasi keruangan yang lebih
dilaksanakan secara bergilir. Keterbatasan dalam, dimana aktivitas keagamaan Muslim
ruang bagi warga Muslim untuk melakukan tidak hanya dilakukan pada ruang publik
aktivitas keagamaan mendorong warga melainkan pada ruang privat milik warga
Muslim untuk memanfaatkan badan jalan Hindu. Kegiatan pengajian pada ruang
ataupun gang yang merupakan area publik. privat Hindu ini sudah berlangsung selama
Area publik ini tidak hanya digunakan oleh beberapa tahun dengan sistem sewa.
warga Muslim sehingga aturan-aturan adat Dari uraian tersebut di atas, terlihat
sosial kemasyarakatan sangat diperhatikan bahwa tahapan proses akulturasi keruangan
oleh warga Muslim. Aturan adat sangat pada ragam ini meliputi : (1) interaksi
dipahami melalui interaksi sosial dengan sosial, (2) pemahaman warga Muslim
warga Hindu setempat. Oleh karena itu terhadap aturan adat Hindu, (3) adaptasi, (4)
dalam setiap kegiatan keagamaan, warga pemahaman warga Hindu terhadap
Muslim selalu melaporkan kegiatannya kebutuhan ruang aktivitas Muslim, (5)
kepada perangkat banjar setempat. Hal ini akulturasi, dan (6) akulturasi keruangan
merupakan perilaku adaptasi warga Muslim yang lebih dalam.
terhadap aturan adat Hindu.
Di lain sisi, kondisi demikian sangat
dipahami oleh warga Hindu karena dalam
ajaran agama Hindu sangat menjunjung
tinggi toleransi antar umat beragama.
Adanya toleransi ini ditunjukkan dengan
adanya bantuan pecalang adat secara
sukarela apabila diminta bantuannya untuk
mengatur penggunaan ruang publik dalam
pelaksanaan kegiatan keagamaan Muslim.
Adanya keterlibatan pecalang dalam
pengaturan penggunaan ruang publik bagi
aktivitas keagamaan Muslim ini sudah
merupakan tahap akulturasi. Gambar 4. Tahapan Proses Akulturasi
Penggunaan ruang publik oleh Muslim Keruangan pada Kegiatan Pengajian di
memunculkan ide bagi salah satu warga Tanah Milik Warga Hindu
Hindu untuk menyewakan tanah kosong Sumber: Analisis peneliti, 2019
yang dimilikinya sebagai tempat

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 49


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

Proses Akulturasi Keruangan pada Pemberlakuan ketiga konsep tersebut


Rumah Duka di Kawasan Kuburan dalam prakteknya adalah adanya penyucian
Muslim terhadap cuntaka (keadaan tidak suci).
Pengaturan hubungan manusia dengan Kejadian kematian merupakan salah satu
lingkungannya (palemahan) dalam kondisi cuntaka. Kondisi cuntaka ini
kehidupan adat Hindu diwujudkan dengan dipercaya akan membawa pengaruh buruk
pengaturan pola pemanfaatan ruang. Hal ini kedepannya, sehingga perlu dilakukan
ditujukan untuk mendukung kekhusyukan upacara mecaru (penyucian). Dengan
dalam menjalankan ibadah. Pengaturan hilangnya pengaruh buruk tersebut, maka
ruang ini tidak hanya berlaku pada tempat keharmonisan hubungan manusia dengan
tinggal warga Hindu, tetapi meliputi ruang- lingkungan kembali seperti semula. Ritual
ruang disekitarnya, termasuk ruang-ruang mecaru memerlukan biaya yang besar. Oleh
yang ditinggali oleh warga non Hindu. karena itu dianjurkan agar tidak ada
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan kejadian Muslim yang meninggal di rumah
aturan adat ini tetap mempertimbangkan sewa/kosnya.
konsep rwa bhineda (dua hal yang berbeda Aturan tidak tertulis ini sudah sangat
atau bertentangan). Konsep ini membentuk dipahami oleh warga Muslim yang sudah
warga adat Hindu Bali yang sangat lama tinggal di kawasan Kampung Jawa
menghargai adanya perbedaan dan sangat melalui interaksi sosial dengan warga
toleran terhadap pemeluk agama lain. Hindu setempat. Bagi migran Muslim yang
Perbedaan tersebut terbentuk dari konsep masih baru, aturan ini diketahui dari warga
desa (ruang), kala (waktu), patra (keadaan Hindu setempat dan warga Muslim yang
riil di lapangan), sehingga dalam sudah lebih dulu tinggal di tempat tersebut.
pelaksanaan aturan adat Hindu cukup Interaksi sosial antara Muslim dan warga
fleksibel menyesuaikan ruang, waktu, dan Hindu terjalin sangat baik. Warga Muslim
kondisi. Dalam hal ini tidak semua aturan maupun Hindu terutama pemilik rumah
adat Hindu diberlakukan bagi warga non sewa sama-sama mengingatkan apabila ada
Hindu. seorang Muslim yang sakit parah agar
Fleksibilitas pemberlakuan aturan adat segera dibawa ke rumah sakit supaya tidak
Hindu terhadap warga Muslim tergantung terjadi kejadian kematian di rumah warga
kepada jenis kepemilikan ruang. Pada Hindu.
Muslim yang menguasai ruang dengan Permasalahan yang dialami oleh
status hak milik pribadi, aturan adat Hindu Muslim penyewa rumah tidak berhenti
yang berlaku hanya sebatas aturan yang sampai disitu saja, karena mereka
mengatur hubungan kemasyarakatan. Akan membutuhkan tempat untuk merawat
tetapi bagi warga Muslim yang tidak jenazah (memandikan, mengkafani dan
memiliki kuasa atas ruang yang mensholatkan). Oleh karena itu, Yayasan
ditempatinya, yaitu yang tinggal dengan Marzuki yang juga mengorganisir
cara menyewa ruang milik warga Hindu, mengenai kifayah (urusan duka) Kampung
diberlakukan aturan yang lebih daripada itu. Jawa, membangun rumah duka di dalam
Ketiga konsep Tri Hita Karana kawasan kuburan Muslim. Sebelum adanya
(parahyangan, palemahan, dan pawongan) bangunan rumah duka di kawasan kuburan
tetap dipelihara dengan baik pada ruang- Muslim, ritual perawatan jenazah dilakukan
ruang ini. di dalam Masjid Agung Tabanan. Upaya

50 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

menghindari kejadian meninggal dan Tabanan tepat berada di pinggir jalan tanpa
perawatan jenazah dan adanya rumah duka adanya ruang parkir di dalam kawasan
dalam kawasan kuburan Muslim masjid. Sementara itu sebagai masjid agung
merupakan wujud adaptasi warga Muslim yang merupakan masjid terbesar di wilayah
Kampung Jawa terhadap aturan adat Hindu. perkotaan Tabanan, jamaah yang
Dengan adanya aturan adat Hindu, Muslim berkunjung ke masjid ini sangat banyak,
yang tinggal di rumah sewa milik warga terutama pada waktu pelaksanaan ibadah
Hindu tidak lagi mengurus jenazah di khusus, seperti hari jumat dan hari raya.
rumah duka. Dengan demikian keberadaan Jamaah yang berkunjung ke masjid ini tidak
rumah duka di kawasan kuburan Muslim hanya warga Muslim Kampung Jawa saja,
merupakan wujud dari adaptasi keruangan melainkan warga-warga Muslim di sekitar
dan belum sampai pada proses akulturasi perkotaan Tabanan maupun Muslim yang
keruangan. sedang melintas. Ketidaktersediaan ruang
parkir di dalam areal masjid mengakibatkan
penggunaan ruang di pinggir Jalan
Kamboja serta gang-gang kecil di
sekitarnya (Jalan Belimbing) sebagai ruang
parkir.
Sekitar Masjid Agung Tabanan
terutama di Jalan Kamboja dan Jalan
Belimbing terdapat banyak tempat tinggal
Gambar 5. Tahapan Proses Akulturasi warga Hindu. Warga Hindu yang
Keruangan pada Rumah Duka di Kawasan menganggap Muslim sebagai nyama selam
Kuburan Muslim tidak merasa keberatan atas penggunaan
Sumber : Analisis peneliti, 2019 ruang publlik ini. Toleransi ini merupakan
Proses Akulturasi Keruangan pada wujud adanya pemahaman warga Hindu
Ruang Parkir Jamaah Masjid di Badan terhadap kebutuhan ruang aktivitas Muslim.
Jalan Pemahaman ini muncul karena adanya
Komunitas Muslim pada masa interaksi sosial yang sangat intensif antara
keruntuhan Kerajaan Tabanan (sekitar warga Muslim dengan warga Hindu. Dalam
tahun 1906) diberikan tempat permukiman penggunaan ruang publik sebagai tempat
dan dua bidang tanah untuk areal masjid parkir jamaah masjid, warga Muslim selalu
dan kuburan. Pada awalnya masjid di berkoordinasi dan melibatkan perangkat
kawasan Kampung Jawa ini berada di adat dan perangkat keamanan baik itu
Kampung Jawa bagian utara (Jalan kepolisian, petugas keamanan Yayasan
Kenyeri) kemudian pada tahun 1977 seiring Marzuki, maupun pecalang adat Hindu.
dengan perkembangan pesat penduduk Koordinasi Muslim dengan perangkat
Muslim, maka lokasi masjid dipindahkan adat setempat dalam penggunaan ruang
ke bagian tengah Kampung Jawa, tepatnya publik ini ditujukan untuk menjaga
di Jalan Kamboja. keharmonisan hubungan Muslim dengan
Jl. Kamboja merupakan jalur ramai Hindu. Hal ini merupakan perilaku adaptasi
karena merupakan jalan searah yang yang dilakukan oleh warga Muslim karena
menghubungkan pusat perkotaan Tabanan pada awalnya muncul kekhawatiran
dengan jalan bypass. Posisi Masjid Agung mengenai penyalahgunaan pemanfaatan

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 51


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

ruang menurut ajaran yang dianut oleh teori yang dikemukakan oleh Kim (2001)
warga Hindu sekitar masjid. Kondisi bahwa akulturasi terjadi ketika migran
akulturasi keruangan adalah ketika mulai berinteraksi dengan pribumi setelah
digunakannya ruang publik di sekitar melalui proses sosialisasi sebelumnya.
tempat tinggal warga Hindu sebagai ruang Dengan demikian jelas bahwa tahapan
parkir jamaah masjid dan adanya pecalang pertama yang dilalui pada proses akulturasi
adat yang terlibat dalam pengaturan keruangan komunitas Muslim Kampung
keamanan pada ruang parkir tersebut. Jawa di perkotaan Tabanan adalah tahapan
Gambar 6. Menyajikan skema tahapan interaksi sosial.
proses akulturasi keruangan yang dilalui Bakker (1984) menyatakan bahwa di
pada penggunaan ruang publik sebagai dalam proses akulturasi keruangan akan
ruang parkir jamaah Masjid Agung terjadi tumpang tindih budaya yang
Tabanan. berlangsung lapisan demi lapisan yang
semakin lama semakin luas dan dalam.
Akan tetapi tidak dijelaskan secara rinci
mengenai tahapan-tahapan yang dilaluinya.
Sementara itu Kim (2001) mengungkapkan
bahwa sebelum terjadi akulturasi, terjadi
proses adaptasi. Namun, bagaimana proses
menuju adaptasi tidak dijelaskan lebih
lanjut.
Berdasarkan temuan pada beberapa
ragam akulturasi keruangan di Kampung
Jawa diketahui bahwa dalam tahap interaksi
sosial selalu ada penyampaian kondisi,
karakteristik, maupun aktivitas dari masing-
Gambar 6. Tahapan Proses Akulturasi masing pelaku akulturasi. Dari aktivitas ini
Keruangan pada Ruang Parkir Jamaah akan dicapai adanya pemahaman kondisi,
Masjid di Badan Jalan karakteristik, maupun aktivitas antar
Sumber : Analisis peneliti, 2019 masing-masing pelaku akulturasi. Apabila
Pembahasan dicermati lebih mendalam, ternyata warga
Untuk menemukan proses akulturasi Muslim sebagai migran lebih dahulu
keruangan komunitas Muslim Kampung memahami kondisi, karakteristik, maupun
Jawa di perkotaan Tabanan, dilakukan aktivitas para warga Hindu. Hal ini
dengan melakukan generalisasi kualitatif dilatarbelakangi oleh kemauan migran
pada masing-masing proses ragam Muslim untuk tetap eksis di tempat tinggal
akulturasi keruangan yang terjadi. Dari barunya tanpa adanya konflik dengan warga
berbagai ragam akulturasi keruangan yang Hindu sebagai tuan rumah. Pemahaman
ditemukan di lokasi penelitian, setiap ragam warga Muslim ini terutama pada aturan adat
menempuh proses, waktu kejadian, dan Hindu karena aturan adat Hindu mengatur
waktu tempuh proses yang berbeda-beda. aktivitas yang dilakukan dalam lingkungan
Seluruh proses yang terjadi selalu diawali itu termasuk lingkungan yang ditempati
dengan adanya interaksi sosial antara warga oleh warga Muslim. Kim dalam Lee (2018)
Muslim dan Hindu. Hal ini sesuai dengan juga mengungkapkan hal serupa, yaitu

52 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

migran akan lebih memahami dan Hindu mengenai hubungan antar manusia
kemudian mengadopsi norma dan nilai (pawongan) serta adanya anggapan bahwa
yang berlaku dalam kelompok masyarakat Muslim merupakan nyama selam sehingga
tuan rumah. Dalam konteks ini, migran muncul sikap toleransi warga Hindu
Muslim Kampung Jawa beradaptasi dengan terhadap warga Muslim. Faktor yang
melakukan perubahan aktivitas-aktivitas di menjembatani terjadinya kondisi
dalam ruang yang menyesuaikan aturan- pemahaman ini adalah adanya interaksi
aturan adat Hindu yang berlaku tanpa sosial antara warga Hindu dan Muslim yang
menyimpang dari aturan agama Islam. terjalin dengan baik. Seperti dalam proses
Adapun aturan-aturan adat Hindu di pemahaman warga Muslim terhadap aturan
kawasan perkotaan Tabanan dituangkan ke adat Hindu, warga Hindu juga mengetahui
dalam awig-awig Desa Pakraman Kota berbagai hal terkait warga Muslim juga
Tabanan. melalui pemberitahuan dari mulut ke mulut
Dalam berbagai ragam akulturasi dari warga Muslim sendiri maupun antar
keruangan yang terjadi pada komunitas warga Hindu. Akan tetapi pemahaman yang
Muslim Kampung Jawa di perkotaan dicapai oleh warga Hindu adalah
Tabanan, tidak semua tahap adaptasi yang pemahaman mengenai kebutuhan ruang
terjadi bersifat keruangan. Hanya pada bagi Muslim dalam melakukan
rumah duka di kawasan kuburan Muslim aktivitasnya. Selain itu, terjadi pemahaman
saja yang adaptasinya merupakan adaptasi warga Hindu terhadap aktivitas non
keruangan. Dengan demikian maka dalam keagamaan Muslim yang dipandang dapat
proses akulturasi keruangan pada wilayah dilakukan juga oleh warga Hindu dan
penelitian tidak hanya proses yang bersifat dinilai menguntungkan. Dengan demikian,
keruangan saja yang menyertainya, maka dapat dikatakan bahwa tahapan
melainkan proses-proses non keruangan pemahaman warga Hindu terhadap kondisi,
pun turut menyertainya. Proses non karakteristik, dan kegiatan warga Muslim
keruangan ini berupa proses adaptasi sosial merupakan kelanjutan dari proses adaptasi
dalam bentuk sharing informasi dan dan proses interaksi sosial.
koordinasi dengan warga dan perangkat Pada saat warga Hindu sudah
adat Hindu. memahami mengenai kebutuhan ruang
Pemahaman warga Muslim terhadap aktivitas warga Muslim, maka terjadilah
kondisi, karakteristik, dan aktivitas warga kondisi akulturasi keruangan. Dalam tahap
Hindu telah berlangsung. Akan tetapi ini terjadi kondisi pemanfaatan ruang-ruang
kapankah warga Hindu sendiri memahami publik untuk kegiatan keagamaan Islam.
kondisi, karakteristik, dan aktivitas warga Replikasi aktivitas Muslim oleh warga
Muslim? Pada berbagai ragam akulturasi Hindu dan pelaksanaan kegiatan keagamaan
keruangan yang terjadi, kondisi ini tercapai Islam pada ruang privat Hindu merupakan
setelah terjadinya kondisi adaptasi yang wujud akulturasi keruangan di tingkat
dilakukan oleh warga Muslim. Dalam hal lanjutan yang lebih dalam. Replikasi
ini warga Hindu melihat secara kasat mata aktivitas Muslim oleh warga Hindu yang
aktivitas adaptasi yang dilakukan oleh dimaksud di sini bukan merupakan aktivitas
warga Muslim dan kemudian timbul dengan keagamaan, melainkan aktivitas sehari-hari
sendirinya pemahaman tersebut. Hal ini yang menjadi ciri khas Muslim. Aktivitas
didukung juga dengan adanya ajaran agama keagamaan Muslim tidak hanya dilakukan

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 53


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

oleh Muslim pada ruang publik saja tetapi yang akhirnya memunculkan semakin
sudah sampai pada ruang privat Hindu. Jadi beragamnya akulturasi keruangan yang
dalam hal ini untuk aktivitas keagamaan terjadi.
tetap dilakukan oleh Muslim, hanya Proses akulturasi yang semakin luas
ruangnya saja yang semakin masuk ke dan semakin dalam ini sesuai dengan yang
dalam ruang Hindu, yaitu dari ruang publik diungkapkan oleh Bakker (1984). Dalam
ke ruang privat Hindu. Sementara untuk hal ini, proses akulturasi keruangan
aktivitas non keagamaan Muslim, komunitas Muslim Kampung Jawa di
perluasannya kepada pelaku (warga Hindu) Perkotaan Tabanan memberikan penjelasan
dan ruang privat Hindu. Meskipun yang lebih detail mengenai teori yang
demikian, tidak menutup kemungkinan dikemukakan oleh Bakker (1984), dimana
adanya replikasi aktivitas kegamaan yang perluasan akulturasi keruangan yang terjadi
dilakukan oleh Muslim maupun warga dalam hal ragam, pelaku dan ruang.
Hindu. Dengan demikian terlihat jelas Sementara tingkat kedalaman akulturasi
bahwa dalam tahap lanjutan ini terjadi keruangan adalah dalam hal status
peningkatan kedalaman dalam hal jenis kepemilikan ruang tempat akulturasi terjadi
kepemilikan ruang, serta terjadi perluasan dan jenis aktivitas yang direplikasi.
ruang dan pelaku akulturasi.
Selain perluasan tersebut, akulturasi
keruangan dalam tahap lanjutan juga terjadi
perluasan ragam akulturasi keruangan. Pada
berbagai ragam akulturasi keruangan yang
terjadi di Kampung Jawa diketahui bahwa
masing-masing ragam akulturasi keruangan
memiliki waktu permulaan proses yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa
seiring berjalannya waktu, akulturasi
keruangan pun semakin beragam. Semakin
beragamnya akulturasi keruangan yang
terjadi muncul karena pada masing-masing
tahapan proses terus berlangsung tanpa
pernah terhenti dengan sempurna. Semakin
banyaknya aturan-aturan adat Hindu yang
dipahami oleh Muslim, maka akan semakin
banyak pula adaptasi aktivitas Muslim Gambar 7. Tahapan Proses Akulturasi
terhadap aturan agama tersebut. Di sisi lain, Keruangan Komunitas Muslim Kampung
semakin pahamnya warga adat Hindu Jawa di Perkotaan Tabanan
terhadap aktivitas Muslim, tentu saja akan Sumber: Analisis peneliti, 2019
terjadi pemahaman kebutuhan ruang bagi
Muslim untuk aktivitas keagamaan lainnya SIMPULAN
serta munculnya replikasi-replikasi aktivitas Dari analisis dan pembahasan
non keagamaan bahkan mungkin replikasi mengenai proses akulturasi keruangan dapat
aktivitas keagamaan Muslim lainnya oleh ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa
warga adat Hindu. Kondisi seperti inilah tahapan yang dilalui dalam proses

54 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

akulturasi keruangan komunitas Muslim akulturasi yang terjadi semakin meluas.


Kampung Jawa di perkotaan Tabanan, Keempat temuan ini (tingkat kedalaman,
yaitu: (1) interaksi sosial; (2) pemahaman ragam, pelaku, dan ruang) semakin
Muslim terhadap Hindu; (3) adaptasi; (4) memperjelas teori yang dikemukakan oleh
pemahaman Hindu terhadap Muslim; (5) Bakker (1984) mengenai proses akulturasi
akulturasi; dan (6) peningkatan kedalaman bahwa di dalam akulturasi akan terjadi
serta perluasan ragam, ruang, dan pelaku tumpang tindih budaya yang berlangsung
akulturasi. Keenam tahapan ini berlangsung lapisan demi lapisan yang semakin lama
seiring dengan berjalannya waktu namun terjadi semakin luas dan dalam.
antar masing-masing tahapan proses dapat Dengan memahami proses
berlangsung pada waktu yang sama dan akulturasi keruangan maka dapat diprediksi
saling tumpang tindih satu sama lain. Satu kondisi-kondisi yang akan terjadi apabila
tahapan proses tidak menunggu tahapan sekelompok migran menetap pada suatu
proses sebelumnya selesai dengan wilayah dengan karakter penduduk yang
sempurna. Ketika tahapan lanjutan sangat berbeda. Prediksi ini tidak hanya
berlangsung, tahapan proses sebelumnya berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
masih tetap berlangsung untuk akulturasi saja, tetapi juga termasuk
memunculkan ragam akulturasi lainnya. pemanfaatan ruang sebagai tempat
Inilah yang menyebabkan semakin akulturasi tersebut. Proses-proses akulturasi
beragamnya akulturasi keruangan yang keruangan yang dilalui oleh komunitas
terjadi. Muslim Kampung Jawa dengan masyarakat
Adanya keenam tahapan proses adat Hindu di perkotaan Tabanan dapat
akulturasi keruangan ini melengkapi teori menjadi contoh bagi wilayah lain untuk
yang dikemukakan oleh Bakker (1984) dan memberikan kesadaran bagi migran dan
Kim (2001) bahwa selain tahapan interaksi penduduk asli di wilayah lain. Dengan
sosial, adaptasi dan akulturasi selalu demikian, hal ini dapat menghindarkan
melalui tahapan saling pemahaman konflik ruang antara migran dan penduduk
karakteristik antara migran dan penduduk asli ataupun antar komunitas penduduk
asli. Kemudian setelah terjadi akulturasi, dengan latar belakang etnis yang berbeda
maka tingkat kedalaman akulturasi akan mengingat Negara Indonesia merupakan
semakin bertambah serta ragam akulturasi, negara yang memiliki keberagaman etnis
pelaku akulturasi, dan ruang-ruang yang sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker. (1984). Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.


Dearborn, L. M. (2008). Socio-spatial Patterns of Acculturation: Examining Hmong
Habitation in Milwaukee's North-side Neighborhoods. Buildings & Landscapes:
Journal of the Vernacular Architecture Forum, 15, 58-77.
Doxiadis, C. A. (1971). Ekistics : An Introdustion To The Science of Human Settlements.
London: Hutchinson & Co.

Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA 55


Jurnal Litbang Sukowati, Vol. 3, No. 2, Mei 2020, Hal 43-56 p-ISSN: 2580-541X, e-ISSN: 2614-3356

Drysdale, A. (1995). Sustainable Agriculture in Bali. In S. Martopo & B. Mitchell (Eds.),


Bali, Balancing Environment, Economy and Culture. Waterloo: Department of
Geography Univesity of Waterloo.
Dwipayana, I. G. A. Y. (2015). Perkembangan Keruangan 'Kampung Jawa' di Kota
Tabanan. (Thesis), Universitas Udayana, Denpasar.
Endraswara, S. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Kim, Y. Y. (2001). Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and
Cross-Cultural Adaptation. California: SAGE Publications.
Lee, S. K. (2018). Refining a theory of cross-cultural adaptation: an exploration of a new
methodological approach to institutional completeness. Asian Journal of
Communication, 28(3), 315-334.
Mantra, I. B. (1993). Perubahan Struktur Penduduk Akibat Pembangunan Industri
Pariwisata di Propinsi Bali. Populasi, 4 (1), 52 - 68.
Mashad, D. (2014). MUSLIM BALI; Mencari Kembali Harmoni yang Hilang. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Prasetya, L. E. (2012). Akulturasi Budaya Pada Masyarakat Muslim Desa Pegayaman
Buleleng Bali. Jurnal Arsitektur Universitas Bandar Lampung, no. 2 vol. 2, juni
2012, 56 - 63.
Saputra, A. (2014). Arsitektur Permukiman Desa Muslim Soko Kecamatan Penebel,
Kabupaten Tabanan, Bali. (Thesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Stake, R. E. (2006). Multiple Case Study Analysis. New York: The Guilford Press.

56 Tersedia online di http://journal.sragenkab.go.id, Akreditasi: SINTA

You might also like