You are on page 1of 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315527921

PERKEMBANGAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN CAKRANEGARA,


LOMBOK

Article · July 2013

CITATIONS READS

0 3,566

1 author:

Antariksa Sudikno
Brawijaya University
331 PUBLICATIONS   586 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Visual Preferences View project

Jurnal Visual View project

All content following this page was uploaded by Antariksa Sudikno on 23 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

PERKEMBANGAN DAN PENGEMBANGAN


KAWASAN CAKRANEGARA, LOMBOK

Adhiya Harisanti F., Antariksa, Turniningtyas Ayu R.


Program Magister Teknik Sipil
Minat Perencanaan Wilayah dan Kota
Program Magister dan Doktor
Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya
Jalan Mayjen Haryono No. 167, Malang 65145, telepon (0341) 551430.
Email : Adhiya Harisanti <adhiyaharisanti@yahoo.co.id>

ABSTRACT. Cakranegara region is one of the historical districts in Mataram. Cakranegara


region was built in the mid-17th century. Cakranegara was designated as the center of
government and the spread of Hinduism. Furthermore, Cakranegara is the settlement for
Hindu-Bali people. Today, Cakranegara region is developed as the largest commercial center
in Mataram. The objective of this reseach is: to conserve Cakranegara region. The method
used is qualitative. The result is conservation of Cakranegara region with region zoning that
consists of settlement conservation zone, commercial development zone, and industry
development zone.

KEYWORDS: Cakranegara, conservation, traditional settlement, zoning.

PENDAHULUAN
Kawasan Cakranegara merupakan kota koloni dari Kerajaan Karangasem di Bali,
sehingga kotanya dibangun berdasarkan ide perencanaan kota Hindu-Bali (Handinoto, 2010).
Berdasarkan sejarah, Kawasan Cakranegara dibangun pada pertengahan abad ke-17 pada
masa pemerintahan Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem dan menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Karangasem yang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Karangasem
Singasari. Kawasan tersebut diperuntukkan sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran
agama Hindu, serta permukiman bagi masyarakat Hindu-Bali yang datang selama
pemerintahan Kerajaan Karangasem. Menurut Mulyadi (2009), Kawasan Cakranegara
dibentuk berdasarkan konsepsi tri hita karana. Konsep tri hita karana, yaitu tiga pura utama
(pura puseh, pura desa, dan pura dalem) sebagai parahyangan/jiwa; teritorial kawasan (desa
pakraman) sebagai pawongan/fisik; dan penduduk sebagai palemahan/tenaga. Kawasan
Cakranegara memiliki tiga pura utama sebagai unsur jiwa/parahyangan (Pura Meru, Taman
Mayura, Pura Dalem Karang Jangkong); penduduk yang menempati kawasan di antara tiga
pura sebagai unsur tenaga/pawongan; dan adanya batas kawasan sebagai badan/palemahan.
Permukiman dan sarana umum diletakkan di antara tiga pura utama.

1
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Tahun 1866 Kawasan Karangasem Singasari diganti namanya menjadi Cakranegara.


Cakra menurut bahasa Sansekerta berarti lingkaran atau bundaran, dan Negara adalah kota,
hunian, atau negeri. Dengan demikian Cakranegara berarti kota hunian yang bundar
melingkar (Mulyadi, 2009a). Menurut Handinoto (2010), dalam bahasa Sansekerta Cakra
berarti pengajaran agama (Hindu), Negara berarti juga negara. Jadi Cakranegara berarti
negara (kota) pengajaran agama (Hindu). Pemerintahan Kerajaan Mataram di Kawasan
Cakranegara bertahan sampai tahun 1894. Pemerintah Belanda baru menaklukan Lombok
dalam suatu perang dahsyat yang disebut Perang Lombok tahun 1894. Pemerintahan Belanda
antara tahun 1894 – 1942 tidak membawa pengaruh perubahan yang besar terhadap Kawasan
Cakranegara. Perubahan besar mulai terjadi pada masa pemerintahan Kota Mataram.
Berdasarkan Perda Kota Mataram No. 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Mataram, Kawasan Cakranegara diarahkan menjadi kawasan perdagangan dan
jasa berskala nasional dan internasional. Kebijakan tersebut mendorong perkembangan cepat
secara fisik dan terutama pada aspek ekonomi. Di Kawasan Cakranegara pada masa sekarang
memiliki perkembangan lahan dengan fungsi perdagangan dan jasa yang sangat pesat,
ditunjukkan dengan semakin banyak dan berkembangnya bangunan pertokoan serta beberapa
bangunan hotel. Dari segi sejarah dan perkembangan pariwisata, Kawasan Cakranegara
menjadi salah satu bagian dari sejarah terbentuknya Kota Mataram dan menjadi tujuan wisata
budaya. Berdasarkan hasil temuan Ditya, et al. (2010), Kawasan Cakranegara masih
menunjukkan adanya pengaruh Hindu-Bali. Hal tersebut ditunjukan dengan pola jaringan
jalan dan keberadaan tiga pura utama dalam penerapan konsep tri hita karana. Selain itu
Kawasan Cakranegara (Pura Meru – Taman Mayura – Pura Dalem Karang Jangkong) sampai
sekarang masih dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan keagamaan oleh
masyarakat Hindu, terutama di Kota Mataram.
Dari permasalahan yang telah disebutkan, maka dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk melestarikan Kawasan Cakranegara dengan bentuk zonasi (zoning). Pada Undang-
undang No. 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis
untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya. Beberapa manfaat dari pelestarian (Budiharjo
dalam Antariksa, 2012), yaitu upaya-upaya untuk mempertahankan bagian kota yang
dibangun dengan skala akrab akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri, dan
suasana kontras; kota dan lingkungan lama adalah salah satu aset terbesar dalam industri
wisata internasional; dan upaya preservasi dan konservasi merupakan salah satu upaya untuk
melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang. Menurut
Rachman (2012), melestarikan merupakan cara untuk memperkuat citra budaya melalui

2
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

penanganan spasial dan sosial-budaya-ekonomi di kawasan bersejarah dengan bertumpu pada


pemberdayaan komunitas yang berbudaya. Upaya penataan untuk kawasan bersejarah
hendaknya berdasarkan karakter asli kawasan yang terbentuk sejak awal kemunculan
kota/kawasan tersebut. Konsep preservasi kawasan lama kota bertujuan untuk kepentingan
masa datang (Firzal, 2010). Menurut Ernawi (2009), melakukan revitalisasi dan/atau
konservasi dalam pengembangan dan pelestarian kearifan lokal kota melalui strategi
pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas, seperti ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga
mampu mengembalikan citra dan kualitas kawasan, serta menjadikan kawasan yang berperan
penting dan memiliki ekonomi tinggi dalam konteks nasional bahkan internasional.
Pengertian zonasi menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota, adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi
dan karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain. Peraturan
zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendaliannya (Roychansyah, 2009). Preservasi pada bidang zonasi bertujuan
untuk mengatur dan menentukan bagian kawasan kota, bangunan maupun ruang terbuka
untuk dilindungi atau ditingkatkan penggunaannya (Wikantiyoso, 2004). Penyusunan arahan
pelestarian bertujuan untuk mempertahankan ciri khas atau identitas awal Kawasan
Cakranegara, yaitu pola permukiman yang berbentuk grid dan penerapan konsep Hindu-Bali.
Pelestarian berdasarkan peraturan zonasi diharapkan tidak menghambat perkembangan
Kawasan Cakranegara sebagai pusat perdagangan dan jasa di Kota Mataram.

METODE
Metode yang digunakan adalah kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk
mengetahui bentuk perkembangan Kawasan Cakranegara berdasarkan sejarah pada awal
terbentuknya kawasan dan perkembangannya sampai sekarang. Metode analisis yang
digunakan untuk melihat perkembangan kawasan adalah analisis sinkronik-diakronik.
Menurut Suprijanto dalam Hardiyanti et al. (2005), sinkronik dan diakronik umumnya
digunakan dalam morfologi (dalam arsitektur dan kota) sebagai metode analisis. Menurut
Bayu, et al. (2010), analisis sinkronik dapat memberikan bentuk-bentuk perubahan yang
terjadi dari setiap periode atau tahapan perkembangan pola ruang perkotaan. Analisis
diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang menjadi bagian dari satu objek,
fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Selanjutnya adalah arahan pelestarian kawasan
dengan bentuk zonasi kawasan, yaitu pembagian blok-blok dengan arahan pengembangan

3
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

lahan berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik dan kebijakan pemerintah Kota Mataram
mengenai penataan ruang wilayah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Sejarah Terbentuknya Kawasan Cakranegara
Sejarah terbentuknya Kawasan Cakranegara memiliki sejarah yang panjang dan
bersumber dari beberapa versi. Menurut Zakaria (1998), terbentuknya permukiman
tradisional Bali di Pulau Lombok diawali oleh kedatangan para imigran dari Pulau Bali.
Pengaruh Hindu-Bali di Pulau Lombok paling banyak berada di kawasan Kota Mataram,
dimana sampai sekarang terdapat beberapa permukiman Hindu-Bali. Semasa
pemerintahan Kerajaan Karangasem di Pulau Lombok, muncul beberapa kerajaan-
kerajaan kecil Hindu-Bali, seperti Kerajaan Pagesangan, Kerajaan Pagutan, Kerajaan
Singasari, dan Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram merupakan kerajaan yang paling
besar pengaruhnya dan juga perkembangannya paling pesat dibandingkan kerajaan kecil
lainnya di Pulau Lombok.
Kerajaan Mataram yang maju pesat membangun ibu kota baru di kawasan yang sekarang
dikenal dengan Cakranegara. Namun, berdasarkan sejarah versi lainnya menyebutkan
bahwa sebelum Kerajaan Mataram menjadi kerajaan paling besar dan kuat di Pulau
Lombok, Cakranegara telah dibangun sebagai sebuah permukiman dan pusat
perkembangan Hindu-Bali yang bernama Karangasem Singasari. Permukiman tersebut
terbentuk bersamaan dengan kedatangan Raja Karangasem dengan para pengikutnya, dan
membangun permukiman yang berbentuk kotak-kotak atau pola grid yang disebut
karang. Penamaan karang-karang tersebut disesuaikan dengan nama daerah asli mereka
di Pulau Bali, seperti Karang Blumbang, Karang Bengkel, Karang Jasi, Karang
Sampalan, dan lain sebagainya. Penamaan karang tersebut dimaksudkan karena rajanya
yang berasal dari daerah Karang Asem Bali, sehingga tidak melupakan asal usul
masyarakat asli yang tinggal di permukiman Cakranegara.
Zakaria (1998) mengungkapkan, pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram, Kawasan
Cakranegara diarahkan untuk menjadi pusat pemerintahan negeri. Oleh karena itu, di
Cakranegara dibangun istana raja yang baru, lebih luas dan lebih indah, yaitu istana atau
Puri Ukir Kawi, pada tahun 1744, bersamaan dengan Taman Mayura. Pura Meru
dibangun lebih dahulu sekitar tahun 1720. Pembangunan Pura Meru bertujuan untuk
menjaga persatuan dan kesatuan di antara penguasa di masing-masing kerajaan kecil
yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan.

4
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Versi lain menyebutkan bahwa Cakranegara merupakan pusat pemerintahan dari


Kerajaan Karangasem Singasari. Puri atau istana raja (Puri Ukir Kawi) di Kawasan
Cakranegara dibangun tidak lama setelah pembangunan Pura Meru. Selain itu juga
dibangun sebuah pasar istana serta sebuah makam atau Pura Dalem di bagian barat
Kawasan Cakranegara (sekarang Pura Dalem Karang Jangkong). Pembangunan Puri
Ukir Kawi dan pasar istana, serta Pura Dalem dilakukan sekitar tahun 1740-an. Pada
tahun 1744 dibangun sebuah taman yang memiliki kolam yang indah (sekarang bernama
Taman Mayura).
Menurut Zakaria (1998) Kawasan Cakranegara memiliki tata ruang yang disesuaikan
pula dengan adat kebiasaan dan kepercayaan Hindu-Bali. Tata ruang kota terdiri dari
blok-blok kota yang peruntukannya jelas dan dihubungkan oleh jalur-jalur jalan yang
teratur dan rapi. Blok-blok kota yang teratur terbentuk dimungkinkan karena adanya
subkultur filsafat Asta Kosala Kosali yang diterapkan bagi setiap keluarga dalam
membangun tempat tinggalnya. Seluruh blok kota akan terpusat dan sekaligus berfungsi
melindungi kompleks istana (puri) dan para bangsawan. Setiap kepala keluarga memiliki
kapling tanah pekarangan (untuk rakyat kebanyakan minimal 600 m2) dengan bangunan
perumahannya masing-masing berdasarkan subkultur tersebut.
B. Perkembangan Kawasan Cakranegara
Bentuk perkembangan Kawasan Cakranegara dapat dilihat dari hasil analisis sinkronik-
diakronik dari tahun 1700 sampai sekarang. Masa perkembangan wilayah penelitian
dibagi menjadi lima masa, yaitu sebagai berikut (Gambar 1).
1. Masa pemerintahan Kerajaan Karangasem Singasari dan Kerajaan Mataram
(1700-1894).Tahun 1700-an merupakan awal terbentuknya Kawasan Cakranegara.
Bangunan pertama yang didirikan adalah Pura Meru tahun 1720, yang berfungsi
sebagai tempat peribadahan bagi masyarakat Hindu-Bali di Pulau Lombok.
Dikarenakan sebagian besar raja dari kerajaan-kerajaan kecil masih memiliki
hubungan kekeluargaan. Selain itu juga didirikan makam dan Pura Dalem di bagian
barat terluar dari Kawasan Cakranegara, yaitu di Kawasan Karang Jangkong.
Selanjutnya tahun 1940 didirikan istana raja bernama Puri Ukir Kawi dan pasar
istana di bagian selatan istana raja (sekarang dikenal sebagai Pasar Cakranegara).
Taman Klepug atau Taman Mayura didirikan pada tahun 1744, berfungsi sebagai
tempat peristirahatan raja. Taman Mayura berada di sebelah timur Puri Ukir Kawi
dan di bagian utara Pura Meru. Di bagian barat Puri Ukir Kawi terdapat lapangan.
Peletakan Puri Ukir Kawi, pasar istana, lapangan, dan Yasa Kambang membentuk
pola Parampatan Agung yang biasanya menjadi ciri khas pola permukiman di Pulau

5
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Bali. Permukiman dibangun dengan pola grid (kotak-kotak) yang memiliki ukuran
yang sama atau disebut Karang. Selain itu juga didirikan beberapa pura dengan
kepemilikan Karang. Permukiman mayoritas dihuni oleh masyarakat Hindu-Bali
yang berasal dari Daerah Karang Asem di Pulau Bali dan sebagian kecil masyarakat
asli Sasak-Lombok (Gambar 2).

Gambar 1 Perkembangan Kawasan Cakranegara

Puri Ukir Kawi

Taman Mayura

Pura Dalem
Karang Jangkong

Pura Meru

Gambar 2 Pola Kawasan Cakranegara tahun 1995


Sumber: Funo dalam Handinoto (2010).

2. Masa pemerintahan Belanda (1894-1942). Pada masa pemerintahan Belanda,


pusat pemerintahan dikembalikan ke Kota Mataram (Kompleks Kantor Gubernuran

6
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Provinsi NTB), sedangkan Kawasan Cakranegara diperintah oleh kaki tangan


Belanda, yaitu Patih Belanda dari Singaraja bernama I Gusti Jelantik Blambangan. I
Gusti Jelantik Blambangan berkuasa sebagai pemerintah tunggal dengan pengaruh
Hindu-Bali di Pulau Lombok, dengan pusat kerajaan di Cakranegara. Kawasan
Cakranegara tidak mengalami perubahan yang begitu besar. Pola permukiman dan
fungsinya tetap sebagai pusat pemerintahan dengan pengaruh Hindu-Bali di Pulau
Lombok. Perubahan yang terjadi hanya pertumbuhan sebuah Kampung Jawa di
bekas lapangan di bagian sebelah barat Puri Ukir Kawi. Kampung Jawa dihuni oleh
masyarakat etnis Jawa yang datang bersama dengan ekspansi Belanda ke Pulau
Lombok. Di lokasi Kampung Jawa didirikan sebuah masjid pada tahun 1916
berfungsi sebagai tempat peribadatan bagi masyarakat muslim dari Pulau Jawa
(Gambar 3). Di sebagian kawasan Kelurahan Cakranegara Selatan terdapat beberapa
blok permukiman yang dihuni oleh masyarakat asli Lombok yang mayoritas
beragama Islam, yaitu suku Sasak. Mereka merupakan golongan pengrajin senjata
dari logam dan pembuat makanan yang menunjang kebutuhan di lingkungan istana.
3. Masa pemerintahan Jepang dan awal kemerdekaan RI (1942-1970). Masa
pemerintahan Jepang tidak berlangsung lama. Setelah kekalahan Belanda melawan
Jepang, Wilayah Indonesia termasuk Pulau Lombok dikuasai oleh Jepang. Tahun
1942 berdasarkan hasil kesepakatan antara pemerintah Jepang dengan Anak Agung
Made Jelantik Barayangwangsa (keturunan Raja Karangasem), keluarga Raja
Karangasem yang menjadi tawanan Pemerintah Belanda dikembalikan ke Kawasan
Cakranegara. Sekembalinya dari Batavia, Anak Agung Made Jelantik
Barayangwangsa dan keluarganya membangun sebuah puri baru yang sampai
sekarang dikenal dengan nama Puri Pamotan (Gambar 3), karena lokasi puri berada
di Lingkungan Pamotan, Kelurahan Mayura. Puri Ukir Kawi mengalami
kehancuran. Di lokasi bekas Puri Ukir Kawi didirikan beberapa pertokoan dan
rumah-rumah tempat tinggal. Tahun 1969 Kawasan Cakranegara menjadi
Kecamatan Cakranegara setingkat dengan Kecamatan Mataram dan Kecamatan
Ampenan. Pembentukan kecamatan tersebut membuat peningkatan perkembangan
pada masing-masing kecamatan, termasuk Kecamatan Cakranegara. Tahun 1960-
1970 mulai didirikan beberapa toko di jalan utama, yaitu Jalan Pejanggik dan Jalan
AA. Gede Ngurah. Bangunan Pura Meru, Taman Mayura, dan Pura Dalem Karang
Jangkong tetap menjadi kawasan yang dilestarikan dan diperuntukan sebagai tempat
pelaksanaan kegiatan keagamaan bagi masyarakat Hindu-Bali. Selain itu juga,

7
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

bangunan-bangunan tersebut mulai menjadi tenggeran/landmark Kawasan


Cakranegara.
4. Masa Kota Administasi Mataram (1970-1999). Tahun 1978 berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 21 dibentuklah Kota Administratif Mataram dan pada
tahun 1993 diganti menjadi Kota Madya Mataram yang memiliki wilayah, meliputi
Kecamatan Mataram, Kecamatan Cakranegara, dan Kecamatan Ampenan. Dengan
terbentuknya Kota Madya Mataram, maka pemerintahan wilayah Kota Mataram
berpisah dengan pemerintahan Kabupaten Lombok Barat. Perkembangan Kota
Mataram, termasuk Kawasan Cakranegara meningkat dengan pesat. Kawasan
Cakranegara mulai dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan jasa, dimana
mulai banyak didirikan pertokoan di sekitar jalan utama, yaitu Jalan Pejanggik,
Jalan Selaparang, Jalan Sultan Hasanudin, dan Jalan AA. Gede Ngurah (Gambar 4).
Selain itu juga, tahun 1970-an didirikan sebuah terminal dibekas lapangan di
sebelah barat bekas lokasi Puri Ukir Kawi. Namun, terminal tersebut tidak bertahan
lama karena dipindahkan ke Kawasan Sweta yang terletak di bagian timur Kawasan
Cakranegara. Sarana lainnya yang mulai didirikan adalah bank, sekolah, dan
gudang. Terdapat sebuah lapangan di sebelah timur Pura Dalem Karang Jangkong
yang difungsikan sebagai lapangan pacuan kuda ataupun pasar malam. Di lokasi
pasar kerajaan baru didirikan bangunan permanen pada tahun 1987 dan sampai
sekarang dikenal sebagai Pasar Cakranegara (Pathiyah, 2012). Selain itu,
kedatangan para pedagang yang mayoritas beretnis Cina membawa pengaruh
terhadap perkembangan sosial budaya masyarakat di Kawasan Cakranegara.
Keberagaman masyarakat juga mempengaruhi perubahan fisik kawasan. Tahun
1990-an didirikan sarana peribadatan baru, seperti gereja untuk masyarakat
beragama Kristen, wihara untuk masyarakat beragama Budha, dan beberapa masjid
baru bagi komunitas Muslim (Gambar 3).

8
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Masjid Nurul Hidayah Puri Pamotan dibangun Monumen Van Ham dibangun
dibangun tahun1916. tahun 1950. tahun1894.

Bangunan peribadatan yang didirikan sekitar tahun 1990-an.


Gambar 3 Perkembangan bangunan dan lingkungan pada tahun 1900-an

5. Masa reformasi (1999-sekarang). Tahun 1999, Kota Madya Mataram dirubah


menjadi Kota Mataram. Pergantian kepemimpinan juga membawa pengaruh besar
dalam penataan wilayah Kota Mataram, termasuk Kawasan Cakranegara. Kawasan
Cakranegara semakin berkembang sebagai pusat perdagangan dan jasa terbesar di
Kota Mataram. Selain itu, perkembangan Pulau Lombok sebagai daerah tujuan
wisata serta Kawasan Cakranegara yang berdekatan dengan objek wisata Pantai
Senggigi menumbuhkan banyaknya bangunan pertokoan, hotel, gudang, dan
restoran (Gambar 4). Kawasan Cakranegara juga terkenal sebagai salah satu
kawasan bersejarah di Pulau Lombok yang memiliki beberapa bangunan cagar
budaya seperti Pura Meru, Taman Mayura, dan Monumen Van Ham (Gambar 3).
Pura Meru merupakan bangunan tertinggi di Kawasan Cakranegara, yaitu 18,26
meter (Ulva, 2012). Awalnya Taman Mayura adalah taman milik kerajaan, saat ini
berubah fungsi menjadi taman publik yang dikelola oleh pemerintah Kota Mataram.
Hal tersebut terkadang mengabaikan keberadaan Pura Klepug dan Pura Jagatnatha
di komplek Taman Mayura yang merupakan tempat suci bagi komunitas Hindu-Bali
di Kawasan Cakranegara (Nadi, 2012). Kawasan Cakranegara, terutama pada
wilayah Kelurahan Cakranegara Timur dan Kelurahan Mayura menjadi Pusat
Pelayanan Kota. Kedua kelurahan tersebut dilalui jalan utama, yaitu Jalan
Selaparang dan Jalan Pejanggik, sehingga perkembangan di kedua jalan utama
sangat pesat. Awal tahun 2000 didirikan Mataram Mall dibekas lapangan pacuan
kuda di sebelah timur Pura Dalem Karang Jangkong. Selain itu juga didirikan rumah
sakit tingkat pelayanan kota, sekolah, dan perkantoran (Gambar 4). Kawasan

9
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Cakranegara mulai memiliki percampuran di segi masyarakat. Awalnya masyarakat


yang tinggal di Kawasan Cakranegara mayoritas masyarakat Hindu-Bali.
Perkembangan sekarang mulai banyak masyarakat etnis asli Sasak-Lombok, Jawa,
dan Cina.

Sekolah Bank Rumah Sakit

Hotel Pasar Pertokoan di Jalan AA. Gede


Ngurah

Pertokoan di Jalan Selaparang Pertokoan di Jalan Pertokoan di Jalan Sultan


Pejanggik Hasanudin
Gambar 4 Perkembangan bangunan dan lingkungan di Kawasan Cakranegara

Di Kawasan Cakranegara, terdapat dua upacara keagamaan yang diadakan secara meriah
setiap tahunnya dan berpusat di Kawasan Cakranegara, yaitu Pawai Ogoh-ogoh dan
Piodalan Pura Meru. Hal tersebut dikarenakan awal mula perkembangan agama Hindu
adalah di Kawasan Cakranegara dan terdapat pura terbesar di Pulau Lombok (selain Pura
Lingsar dan Pura di Taman Narmada), yaitu Pura Meru yang berada di kawasan pusat
Kota Mataram. Kedua kegiatan keagamaan tersebut dilaksanakan sejak
terbentuknyaterbentuknya Parisada Hindu Dharma Indonesia. Pawai Ogoh-ogoh
dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Semua masyarakat Hindu di
Kota Mataram dan sekitarnya membuat Ogoh-ogoh atau patung Buta Kala dan
membawanya ke Kawasan Cakranegara. Pawai dimulai dari depan Pura Dalem Karang
Jangkong di Jalan Pejanggik. Ogoh-ogoh diarak oleh masing-masing kelompok sampai
ke depan Pura Meru di Jalan Selaparang. Ruang yang digunakan adalah Jalan Pejanggik

10
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

dan Jalan Selaparang dari depan Pura Dalem Karang Jangkong menuju ke arah Pura
Meru (Gambar 5).
Upacara Odalan Pura Meru yang biasanya dilaksanakan pada akhir bulan September
(tanggal 28, 29, dan 30) dan awal Bulan Oktober (tanggal 1 dan 2). Upacara Odalan atau
Piodalan merupakan upacara untuk memperingati berdirinya sebuah pura. Pelaksanaan
Piodalan Pura Meru dilaksanakan oleh semua masyarakat Hindu Cakranegara. Terdapat
29 Pura Pemaksan masing-masing mewakili wilayah yang terdapat di Kawasan
Cakranegara. Ruang-ruang yang digunakan pada upacara Piodalan Pura Meru adalah 29
Pura Pemaksan di masing-masing lingkungan; jalan-jalan yang menghubungkan Pura
Pemaksan dengan Pura Meru, terutama Jalan Pejanggik, Jalan Selaparang, Jalan Sultan
Hasanudin, dan Jalan AA. Gede Ngurah; dan kawasan Pura Meru (Gambar 6).

Gambar 5 Peta pergerakan Pawai Ogoh-ogoh di Kawasan Cakranegara

11
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Gambar 6 Peta pergerakan pada upacara Piodalan Pura Meru di Kawasan


Cakranegara

Selain kedua kegiatan keagamaan tersebut, terdapat beberapa kegiatan agama yang
dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Kota Mataram dan sekitarnya di Kawasan
Cakranegara.Kegiatan keagamaan seperti sembahyangan pada saat Hari Raya Galungan
dan Kuningan yang dilaksanakan di Taman Mayura, atau Upacara Ngaben yang
dilaksanakan di Pura Dalem Karang Jangkong, dan lain sebagainya (Gambar 7).

Hari Raya Galungan dan Kuningan Upacara Ngaben Masal


di Pura Melanting dan Taman Mayura di Pura Dalem Karang Jangkong
Gambar 7 Upacara keagamaan di Kawasan Cakranegara

C. Arahan Pengembangan Kawasan Cakranegara Berdasarkan RTRW Kota


Mataram Tahun 2011-2031
Kawasan Cakranegara secara umum sedang dikembangkan sebagai kawasan
perdagangan dan jasa skala internasional dan nasional. Berikut arahan penataan ruang
terkait dengan peruntukan lahan di Kawasan Cakranegara berdasarkan Perda Kota
Mataram No. 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram.

12
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

1. Pusat Pelayanan Kota (PPK) Cakranegara terletak di Kelurahan Cakranegara Timur,


Kelurahan Mayura, dan Kelurahan Mandalika. Berfungsi sebagai simpul kegiatan
perdagangan dan jasa berskala regional; pusat kegiatan industri dan jasa skala
regional; dan/atau simpul utama transportasi skala regional. Sistem prasarana
wilayah disesuaikan dengan standar pelayanan minimal, meliputi pelabuhan
dan/atau terminal penumpang tipe A, pasar induk antar wilayah, perbankan nasional
dan/atau internasional, rumah sakit umum tipe A, serta perguruan tinggi, SMA,
SMP.
2. Pusat Lingkungan E3 (PL) Cakranegara terletak di Pasar Cakranegara (Lingkungan
Ukir Kawi dan Lingkungan Klodan). Pusat Lingkungan E4 (PL) Sapta Marga
terletak di Depo Bangunan (Lingkungan Karang Blumbang, Lingkungan Panaraga
Utara, Lingkungan Karang Kelebut, dan Lingkungan Karang Kecicang). Berfungsi
sebagai simpul ketiga pelayanan yang mendukung Sub Pusat Pelayanan Kota
(SPPK); pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala lingkungan; dan/atau
simpul transportasi yang melayani skala lingkungan. Sistem prasarana wilayah
disesuaikan dengan standar pelayanan minimal, meliputi pasar skala kelurahan,
puskesmas atau puskesmas pembantu, serta SD dan TK.
3. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa skala internasional dan nasional
terletak di Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan Mayura, Kelurahan Cilinaya,
Kelurahan Cakranegara Timur, Kelurahan Mandalika, Kelurahan Bertais, Kelurahan
Pagesangan, Kelurahan Pagesangan Barat, Kelurahan Karang Pule, dan Kelurahan
Tanjung Karang.
4. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa skala regional dan lokal terletak di
Kelurahan Dayan Peken, Kelurahan Ampenan Tengah, Kelurahan Cakranegara
Selatan, Kelurahan Cakranegara Selatan Baru, Kelurahan Sapta Marga, Kelurahan
Abian Tubuh, dan Kelurahan Dasan Cermen.
5. Kawasan pusat perdagangan grosir dan pusat bisnis Cakranegara terletak di
Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan Cilinaya, Kelurahan Mayura, Kelurahan
Cakranegara Timur, dan Kelurahan Cakranegara Selatan.
6. Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa skala internasional dan nasional;
pengembangan kawasan perdagangan dan jasa skala regional dan lokal; dan
kawasan pusat perdagangan grosir dan pusat bisnis Cakranegara diarahkan dengan
pola superblok; memilik fungsi permukiman berkepadatan tinggi dan sedang
diizinkan, maksimum 10% dari total luas lantai; kawasan perdagangan dan jasa
regional diperuntukkan bagi kegiatan perdagangan besar dan eceran, jasa keuangan,

13
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

jasa perkantoran usaha dan profesional, jasa hiburan, dan rekreasi serta jasa
kemasyarakatan; serta kawasan perdagangan dan jasa lokal diperuntukkan bagi
kegiatan perdagangan eceran, jasa keuangan, jasa perkantoran usaha dan
profesional, jasa hiburan dan rekreasi, serta jasa kemasyarakatan dan perumahan
kepadatan menengah dan tinggi.
D. Arahan Pelestarian Kawasan Cakranegara
Pembangunan pusat kota tidak hanya penggunaan kembali dan konservasi kawasan lama,
tapi juga mencakup pembuatan desain baru dari bangunan dan lingkungan sekitarnya,
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan baru (Damayanti, et al., 2005). Pada penelitian
perkembangan dan pengembangan Kawasan Cakranegara ditentukan beberapa kawasan
dan bangunan untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Penentuan lokasi dan bentuk
arahan pelestariannya berdasarkan hasil analisis sinkronik-diakronik dan kebijakan
pemerintah. Berikut bentuk arahan pelestarian di Kawasan Cakranegara (Gambar 8).
1. Pelestarian bangunan kuno yang berumur lebih dari 50 tahun, kawasan tiga pura
utama (Pura Meru, Taman Mayura, dan Pura Dalem Karang Jangkong), Pura
Pemaksan. Pura Pemaksan di masing-masing lingkungan didirikan bersamaan
dengan Pura Meru pada masa pemerintahan Kerajaan Karangasem, dan sampai
sekarang masih digunakan untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan masyarakat
Hindu, terutama pada saat upacara Piodalan Pura Meru.
2. Kawasan dan bangunan yang termasuk dalam upaya pelestarian diarahkan untuk
tetap menjaga bentuk asli. Selain itu, pelestarian juga ditujukan bagi pekarangan
yang menerapkan konsep tri hita karana dan bangunan bergaya arsitektur
tradisional Bali. Jika ada penambahan bangunan baru di sekitar bangunan kuno,
harus mengikuti gaya bangunan kuno tersebut atau bergaya arsitektur tradisional
Bali. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga dan melestarikan ciri khas Kawasan
Cakranegara sebagai pusat perkembangan agama Hindu serta permukiman
tradisional Bali Cakranegara.
3. Bangunan rumah-rumah yang berada di jalan lingkungan diarahkan untuk
dipertahankan dengan fungsi permukiman dengan kegiatan perdagangan dan jasa,
serta industri dan pergudangan yang disesuaikan dengan kawasan permukiman
kepadatan sedang. Terutama di Kelurahan Cilinaya, Kelurahan Cakranegara Timur,
Kelurahan Sapta Marga, dan Kelurahan Cakranegara Selatan. Lokasi permukiman
yang diarahkan untuk dipertahankan, yaitu blok permukiman di antara Jalan Panca
Usaha dan Jalan Ismail Marzuki, Jalan Ismail Mazuki dan Jalan Sriwijaya, Jalan
Sriwijaya dan Jalan Songket, Jalan Selaparang dan Jalan Tumpang Sari, Jalan

14
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Tumpang Sari dan Jalan Chairil Anwar, Jalan Chairil Anwar dan Jalan Brawijaya,
serta Jalan Brawijaya dan Jalan Pertanian. Berdasarkan hasil analisis perkembangan
kawasan, lokasi-lokasi permukiman tersebut masih didominasi oleh bangunan
rumah dan terdapat beberapa pekarangan rumah dengan penerapan konsep tri hita
karana.
4. Pengembangan kawasan dengan fungsi perdagangan dan jasa diarahkan di
sepanjang Jalan Pejanggik, Jalan Selaparang, Jalan Sultan Hasanudin, Jalan AA.
Gede Ngurah, Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan Mayura, dan Kelurahan
Cilinaya (blok di antara Jalan Pejanggik dan Jalan Panca Usaha).
5. Pengembangan kawasan dengan fungsi perdagangan dan jasa serta industri dan
pergudangan diarahkan di sepanjang Jalan AA. Gede Ngurah, Jalan Sriwijaya, Jalan
Brawijaya, Kelurahan Sapta Marga, dan Kelurahan Cakranegara Selatan.

Gambar 8 Peta arahan zonasi Kawasan Cakranegara

SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan diperoleh arahan pelestarian Kawasan
Cakranegara dengan bentuk zonasi kawasan. Secara umum terdapat satu blok kawasan yang
dipertahankan dengan fungsi permukiman dan dua blok kawasan masing-masing dengan
pengembangan fungsi perdagangan dan jasa, serta industri dan pergudangan. Selain itu,
terdapat beberapa kawasan dan bangunan yang diarahkan untuk dipertahankan baik secara
fisik maupun fungsinya, terutama bangunan tiga pura utama dan Pura Pemaksan di masing-

15
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

masing lingkungan. Hal tersebut bertujuan untuk melestarikan tempat-tempat yang digunakan
dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan masyarakat Hindu yang berpusat di Kawasan
Cakranegara.
Saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya penelitian terkait sejarah dan
perkembangan kawasan, sosial budaya masyarakat, serta adat istiadat yang masih
dilaksanakan di Kawasan Cakranegara. Hal tersebut bertujuan agar kearifan lokal yang ada
dapat lebih dipahami dan dijaga kelestariannya. Selain itu dapat menambah pengetahuan
masyarakat dalam upaya pengembangan kawasan secara spasial tanpa menghilangkan
kearifan lokal yang terdapat di kawasan tersebut. Hasil dari penelitian tersebut juga dapat
dijadikan sebagai daya tarik wisata budaya yang mendukung pengembangan pariwisata di
Pulau Lombok.

DAFTAR PUSTAKA

Antariksa. 2012. Beberapa Teori Dalam Pelestarian Bangunan. (online).


(http://antariksaarticle.blogspot.com/2012/04/beberapa-teori-dalam-pelestarian.html,
diakses tanggal 13 Maret 2013).

Bayu, C. & Susanto A. (2010). Perubahan Pola Ruang Perkotaan Dalam Transformasi Sosial
Budaya Masyarakat Tepian Sungai Kapuas Di Pontianak – Kalimantan Barat.
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa (Edisi Januari 2010).

Damayanti, Rully & Handinoto. (2005). Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan
Sejarah Perkotaan Di Jawa. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur (Vol. 33 No. 1: 34-
42).

Ditya, Baiq D. D. A. 2010. Konservasi Kawasan Hindu Bali Di Cakranegara-Lombok


Berdasarkan Pergeseran Nilai Kosmologi Kawasan. Tesis tidak diterbitkan.
Program Magister Teknik Arsitektur ITS, Bidang Keahlian Perancangan Kota
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Ernawi, Imam S. 2009. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang”. Makalah dalam
Seminar Nasional Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan
Perancangan Lingkungan Binaan. Universitas Merdeka Malang. Malang: 7 Agustus
2009.

Firzal, Yohannes. (2010). Perkampungan Tua Di Tengah Kota, Upaya Mewujudkan Kawasan
Bantaran Sungai sebagai Kawasan Budaya Berjatidir. Local Wisdom-Jurnal Ilmiah
Online (Vol. 2 No. 2: 19-26).

Handinoto. 2010. Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

16
SOSHUMJURNAL SOSIAL DAN HUMANIORA, VOL. 3, NO.2, JULI 2013

Hardiyanti, N. S., Antariksa, & Hariyani, S. (2005). Studi Perkembangan dan Pelestarian
Kawasan Keraton Kasunan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur (Vol. 33
No. 1: 112-124).

Kementerian Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011


Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota. Jakarta

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 11


Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta.

Mulyadi. 2009. “Konsepsi Tri Hita Karana sebagai Unsur Kearifan Lokal dan
Implementasinya pada Pola Tata Ruang Kota Cakranegara Lombok NTB”. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam
Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Universitas Merdeka Malang.
Malang, 7 Agustus 2009.

Mulyadi. 2009a. Sejarah Kota Cakranegara Lombok. (online).


(http://sejarahcakranegaralombok-celadet.blogspot.com/2009/01/sejarah-kota-
cakranegara-lombok_17.html, diakses 7 Desember 2011).

Nadi, Wayan W. 2012. Sejarah dan Eksistensi Komunitas Hindu Bali Lombok di
Cakranegara. (online). (http://www.scribd.com/doc/98247159/Bab-IV-
Gambaran-Umum, diakses 16 Februari 2013).

Pathiyah, Baiq M. 2012. Laporan Kunjungan Pasar Cakranegara. (online).


(http://bqmiftahpathiyah.wordpress.com/2013/01/03/laporan-kunjungan-pasar-
cakranegara/, diakses 16 Februari 2013).

Pemerintah Kota Mataram. Peraturan Daerah Kota Mataram No. 12 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram. Mataram.

Rachman, Maman. (2012). Konservasi Nilai dan Warisan Budaya. Indonesian Journal of
Conservation (Vol. 1 No. 1: 30-39).

Roychansyah, M. S. 2009. “Alternatif Peraturan Zonasi Bagi Model Integrasi Ruang Kota
Melalui Kajian “Smartcode””. Makalah dalam Seminar Nasional Implikasi
Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 Terhadap Konsep
Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan. Universitas Brawijaya
Malang. Malang: 29 April 2009.

Ulva, Vha. 2012. Pura Meru Cakranegara. (online).


(http://vhaulva.blogspot.com/2012/03/pura-meru-cakranegara.html, diakses tanggal
13 Februari 2013).

Wikantiyoso, Respati. 2004. Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota. Malang:


Group Konservasi Arsitektur dan Kota.

Zakaria, F. (1998). Mozaik Budaya Orang Mataram. Mataram: Yayasan “Sumurmas Al


Hamidy”.

17

View publication stats

You might also like