You are on page 1of 10

45

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM


HUBUNGANNYA DENGAN MODEL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN
SISTEM TPTII DALAM KERANGKA REDD
Social Economic Dynamic of Community around Forest in Correlated with Forest Product Management
and TPTII System with REDD

Gusti Hardiansyah, Rizaldi Boer, Cecep Kusmana, dan Dudung Darusman

ABSTRACT

This study was conducted in the area of Intensive Silviculture/ TPTII of PT Sari Bumi Kusuma in Central
Kalimantan. Research purposes to analyze the impact and build social economic activities from TPTII
silvicultural systems in the scope of carbon trading. The results of the analysis showed that the increase of
TPTII activities lead to the increasing recognition of indigenous people and make condusive certainty of
the business. However, the employment negatively correlated to the size of planting area, the minimum
life needs are still at least low compared with the poverty standard of the World Bank. Based on the results
of the analysis and projections indicate that scenario increasing community development/ PMDH and
implementation of a continuous TPTII can press shifting cultivation growing rate of deforestation &
degradation in the year to 50, as compared to no guidance of other parties and TPTII activities. In term of
Carbon Conservation that community love to plant attractively is rubber, meranti and tengkawang.
Compensation value for carbon conservation feasible for the community of Rp. 380.000/month/family. To
involve the community directly in conservation activities in the carbon framework of REDD, then suggested
to the program within the community, increasing the number and skills of communities and local labor,
desimination activities of TPTII to the community, and providing a compensation fund can be derived from
the DR/Reforestation Fee or other source of funds.

Key words: Customary recognition, conflict, business certainty, carbon conservation, compensation

PENDAHULUAN negatif atau negative leakages dalam skala lokal


dan global dari kegiatan proyek konservasi karbon.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Untuk meningkatkan potensi sosial ekonomi
hutan PT SBK yang menerapkan sistem silvilkultur masyarakat dalam pengelolaan hutan secara
intensif merupakan salah satu unsur penting untuk berkelanjutan termasuk di dalamnya untuk tujuan
meningkatkan konservasi karbon dalam skala kegiatan konservasi karbon, telah ada beberapa
kawasan. Keberadaan masyarakat dapat kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan atau lembaga swadaya masyarakat untuk
konservasi karbon secara positif maupun negatif. melibatkan masyarakat (community forestry atau
Pengaruh positif seperti penyerapan tenaga kerja, social forestry). Salah satu kebijakan terbaru
kepastian usaha, dan meningkatnya pendapatan. adalah adaptasi penerapan REDD (Reduced
Pengaruh negatif dan berpotensi menimbulkan Emissions from Deforestation & Degradation)
konflik bagi perusahaan, seperti: tidak adanya dalam skema perdagangan karbon, dan salah satu
pengakuan masyarakat, perambahan, keamanan bentuknya adalah pelaksanaan TPTII di areal PT.
tanaman dan bentuk ketidaknyamanan lainnya. SBK. Permasalahan yang perlu dikaji dalam
Selain konflik, aktivitas masyarakat yang penelitian ini adalah: bagaimana dampak sistem
semakin ekstraktif membuka areal hutan untuk silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan Intensif) terhadap kondisi sosial ekonomi
perladangan berpindah, akan semakin besar masyarakat, dan bagaimana mengembangkan
pengaruhnya jika jumlah penduduk meningkat. kegiatan sosial ekonomi masyarakat pada sistem
Kondisi yang demikian dapat menyebabkan silvikultur TPTII dalam lingkup perdagangan
program konservasi karbon mengalami kebocoran karbon. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
dampak sosial ekonomi dan mengembangkan

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


46

kegiatan sosial ekonomi dari sistem silvikultur atau BKSDA (1 orang), dan Perguruan Tinggi
TPTII dalam lingkup perdagangan karbon. (1 orang). Pertimbangan sampel relatif homogen
dengan etnis dominan masyarakat Adat Dayak dan
BAHAN DAN METODE pola usaha pertanian yang hampir sama.

Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data

Penelitian dilaksanakan di areal HPH PT. Data primer diperoleh dengan metode
SBK Nanga Nuak Provinsi Kalimantan Tengah wawancara langsung menggunakan daftar
yang menerapkan Sistem Silvikultur TPTI Intensif pertanyaan, meliputi: (a) persepsi mengenai
pada bulan Maret 2007 – April 2008. pengakuan adat terhadap tanaman meranti yang
ditanam, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII,
Sampel Penelitian (b) hubungan luas areal tanaman meranti dengan
tingkat penyerapan tenaga kerja lokal, (c) persepsi
Sampel penelitian adalah masyarakat atau mengenai kepastian usaha bagi pengusaha,
penduduk di dalam dan sekitar kawasan areal HPH sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII, (d)
PT Sari Bumi Kusuma. Unit analisis adalah desa- tingkat kebutuhan hidup minimal masyarakat, dan
desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan (e) pilihan komoditas yang dinginkan oleh
dengan pendekatan purposive sampling. Sampel masyarakat jika akan terlibat dalam kegiatan
lokasi penelitian meliputi tiga desa sampel yaitu: mekanisme perdagangan karbon.
Tumbang Kaburai, Sungkup dan Tanjung Paku.
Pertimbangannya yaitu letak desa di dalam dan Analisis Data
sekitar kawasan hutan, pola perladangan dan
ketergantungan masyarakat terhadap hutan, dan Pengakuan Adat
dampak kegiatan TPTII bagi masyarakat. Untuk mengetahui tingkat pengakuan adat
Pengambilan sampel dengan metode dari responden, sebelum dan setelah pelaksanaan
stratified random sampling dengan responden TPTII terhadap kawasan tanaman meranti di areal
sebanyak 47 orang dari 349 kepala keluarga PT. SBK dapat dilihat pada Tabel 1. Metode
pada ketiga desa tersebut. Stratifikasi responden analisis menggunakan Uji Wilcoxon Matched Pairs.
menurut jenis pekerjaan yaitu: tokoh adat/tokoh Tahapan prosedur uji statistiknya dimulai dengan
masyarakat (5 orang), kepala desa (3 orang), formulasi hipotesis, menentukan taraf
petani/pekebun/peternak (20 orang), peladang/ kepercayaan, menentukan kriteria pengujian,
pengumpul hasil hutan/pedagang (11 orang), menentukan nilai uji statistik dan membuat
pegawai lokal HPH (4 orang), Manajer Camp dan kesimpulan (Sugiyono, 2007 dan Hasan, 2006).
kepala bidang PMDH (2 orang), Dinas Kehutanan

Table 1. Skala penilaian paramater pengakuan adat responden sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII
No Parameter Tingkat Pengakuan Adat Responden Skala Nilai
1 Klaim terhadap tanaman meranti sebelum dan 3 = Tidak ada klaim
setelah pelaksanaan TPTII 2 = sedikit klaim (kurang dari 1 unit lahan)
1 = Banyak klaim (> 1 unit lahan)
2 Jenis perjanjian yang disepakati antara masyarakat 3 = Ada perjanjian dan ditaati
hukum adat dengan PT. SBK terhadap tegakan 2 = Ada perjanjian tetapi tidak ditaati
meranti, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 1 = tidak ada perjanjian
3 Keterlibatan dalam proses pembuatan perjanjian 3 = terlibat langsung
hukum adat terhadap tegakan meranti, sebelum dan 2 = kurang dilibatkan
setelah pelaksanaan TPTII 1 = tidak dilibatkan
4 Pengetahuan batas kawasan tegakan meranti yang 3 = Tahu
dikelola PT SBK, sebelum dan setelah pelaksanaan 2 = kurang tahu
TPTII 1 = tidak tahu
5 Kegiatan perladangan dalam kawasan yang dikelola 3 = Tidak ada
PT SBK , sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 2 = Sedikit (kurang dari 1 ha)
1 = Banyak (lebih dari 1 ha)
6 Kegiatan pengambilan atau penebangan kayu dalam 3 = Tidak ada
kawasan yang dikelola PT SBK, sebelum dan 2 = Jarang (1 kali/tahun)
setelah pelaksanaan TPTII 1 = Sering (lebih dari 1 kali/tahun)

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


47

Penyerapan tenaga kerja ini dan yang akan datang, (b) ketersediaan lahan
usahatani (ladang atau tani menetap) saat ini dan
Penilaian manfaat penyerapan tenaga kerja
proyeksi yang akan datang, (c) jumlah penduduk
dilakukan dengan melihat hubungan antara jumlah
saat ini dan proyeksi penduduk. Pendapatan
penyerapan tenaga kerja lokal (Y) dengan luas
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
areal penanaman TPTI intensif (X) dalam 5 (lima)
tahun terakhir yaitu periode tahun 2002 - 2006.
Metode analisis yang digunakan untuk menguji
π =  ( Rij  Cij )
hipotesis yaitu menggunakan pendekatan analisis
di mana:
regresi.
π = total pendapatan masyarakat (Rp/bulan
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini
atau Rp/tahun)
adalah sebagai berikut:
Rij = penerimaan responden ke i dari setiap unit
Ho : TPTII tidak memberikan pengaruh terhadap
usaha j (Rp/usaha/waktu)
penyerapan tenaga kerja lokal
Cij = Biaya usaha responden ke i dari setiap unit
H1 : TPTII memberikan pengaruh terhadap
usaha j (Rp/usaha/waktu)
penyerapan tenaga kerja lokal
i = responden
j = jenis usaha atau mata pencaharian (ladang,
Kepastian usaha
berburu, dagang, dan lain-lain).
Skala penilaian dari masing-masing
parameter tingkat kepastian usaha berdasarkan Kebutuhan Hidup Minimal Masyarakat
informasi dari responden, baik sebelum dan
Pengukuran ketercukupan hidup minimal bagi
setelah pelaksanaan TPTII terhadap kawasan
masyarakat menggunakan parameter: (a) tingkat
tanaman meranti di areal PT. SBK dapat dilihat
pendapatan dan biaya hidup yang diperlukan saat
pada Tabel 2.
ini dan yang akan datang, (b) ketersediaan lahan
usahatani (ladang atau tani menetap) saat ini dan
Kebutuhan Hidup Minimal Masyarakat
proyeksi yang akan datang, (c) jumlah penduduk
Pengukuran ketercukupan hidup minimal bagi saat ini dan proyeksi penduduk. Pendapatan
masyarakat menggunakan parameter: (a) tingkat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
pendapatan dan biaya hidup yang diperlukan saat

Tabel 2. Skala penilaian paramater kepastian usaha, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII
No Parameter Tingkat Kepastian Usaha Menurut Responden Skala Nilai
1 Konflik terhadap kawasan hutan, sebelum dan setelah 3 = tidak ada konflik
pelaksanaan TPTII dengan tanaman meranti 2 = sedikit konflik ( < 1 kali / tahun)
1 = banyak konflik ( >1 kali/tahun)
2 Keamanan kawasan hutan dari perambahan (perladangan 3 = tidak pernah merambah
dan kebakaran), sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 2= jarang (perambahan dan kebakaran hutan
<1 kali /tahun)
1= sering (perambahan dan kebakaran hutan
>1 kali /tahun)
3 Letak kawasan pemukiman atau perladangan responden 3 = Jauh ( > 5 km)
atau masyarakat, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 2 = sedang ( 1- 5 km)
1 = dekat ( < 1 km)
4 Aksesibilitas responden atau masyarakat terhadap 3 = rendah
kawasan hutan yang dikelola PT SBK, sebelum dan 2 = sedang
setelah pelaksanaan TPTII 1 = tinggi
5 Tanggungjawab sosial perusahaan terhadap responden 3 = tinggi
dan masyarakat sekitar kawasan hutan yang dikelola PT 2 = sedang
SBK, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 1 = rendah atau tidak ada
6 Kebijakan pemerintah menurut persepsi repsonden yang 3 = mendukung
mendukung bagi pengusaha dalam pengelolaan kawasan 2 = kurang mendukung
hutan, sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 1 = tidak mendukung
7 Kepastian usaha masyarakat menurut persepsi repsonden, 3 = tinggi
sebelum dan setelah pelaksanaan TPTII 2 = sedang
1 = rendah

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


48

salah satu metode yang telah meluas


π =  ( Rij  Cij ) penggunaannya dalam analisis kebijakan
pemerintah. Dikembangkan oleh Thomas L Saaty
di mana: (1994) sebagai alat decision support system
π = total pendapatan masyarakat (Rp/bulan (DSS). Responden dalam penelitian ini
atau Rp/tahun) sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Rij = penerimaan responden ke i dari setiap unit
usaha j (Rp/usaha/waktu)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cij = biaya usaha responden ke i dari setiap unit
usaha j (Rp/usaha/waktu)
Keragaan Masyarakat Wilayah Penelitian
i = responden
j = jenis usaha atau mata pencaharian (ladang, Karakteristik Sosial Masyarakat
berburu, dagang dll)
Pengukuran kebutuhan biaya hidup atas Umur responden antara 23 – 70 tahun atau
dasar pengeluaran rumah tangga menggunakan rata-rata berumur 41 tahun dan sebanyak 86,05 %
pendapatan biaya hidup selama dalam satu bulan adalah usia produktif (23-60 tahun). Struktur umur
atau satu tahun, dengan persamaan yaitu: penduduk yang dominan dengan penduduk usia
produktif akan berimplikasi pada adanya
C =  (Cij ) pengangguran jika tidak tersedia lapangan kerja
bagi penduduk. Tingkat pendidikan masyarakat di
di mana: ketiga desa sampel didominasi oleh pendidikan SD
C = total biaya atau pengeluaran masyarakat (65,1 %). Pengalaman pendidikan formal yang
dalam satu bulan atau tahun (Rp/bulan atau sebagian besar SD disebabkan oleh beberapa
Rp/tahun) faktor, antara lain: biaya pendidikan yang semakin
Cij = pengeluaran rumah tangga ke i menurut mahal, aksesibilitas ke lokasi yang lebih tinggi
jenis pengeluaran dalam satu bulan atau relatif cukup jauh, dan adanya kecenderungan dari
satu tahun (Rp/bln/KK atau Rp/thn/KK) masyarakat pedalaman hanya sekedar bisa
i = rumah tangga atau responden “membaca dan menulis” akibat keterbatasan yang
j = jenis biaya rumah tangga (sandang, pangan, dimiliki oleh masyarakat setempat.
perumahan, pendidikan, dan kesehatan). Jumlah anggota keluarga didominasi oleh 5
orang/KK (25,5%) dengan lahan garapan sebagian
Pendugaan Kebutuhan Lahan Masyarakat besar berstatus sebagai lahan adat (67,4%) dan
sisanya sebagai lahan perorangan (32,6%). Rata-
Pendugaan kebutuhan lahan untuk hidup
rata penguasaan lahan adalah 2,1 ha/KK dengan
minimal berdasarkan pertumbuhan jumlah
rata-rata lama penguasaan lahan 16,6 tahun. Dari
penduduk didekati dengan mengadopsi persamaan
hasil penelitian diketahui bahwa penguasaan lahan
laju pertumbuhan Issard (1960) dalam Simon
dengan status tanah adat merupakan ciri utama
(2004) yang dimodifikasi sesuai kebutuhan
dari wilayah pedalaman terutama yang berdekatan
penelitian:
dengan kawasan hutan. Namun keberadaan lahan
Pt+o = Pt (1+r)o adat dan milik belum didukung adanya sertifikat
di mana: yang diakui oleh hukum negara, sehingga
Pt+o = jumlah penduduk dan jumlah lahan pada kadangkala posisi masyarakat lemah, khususnya
tahun proyeksi – ke t+o menyangkut land tenure.
Pt = jumlah penduduk dan lahan perladangan Jarak lahan dengan tempat tinggal rata-rata
yang dimiliki saat ini– tahun dasar 2006 1,3 km. Letak lahan yang relatif cukup jauh
r = laju pertumbuhan penduduk dan lahan memberikan implikasi bahwa tanah yang dapat
perladangan dalam 10 tahun terakhir dikelola di sekitar pemukiman penduduk semakin
o = proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan terbatas karena pengaruh status lahan dan juga
lahan pada 50 tahun ke depan disebabkan oleh pertambahan penduduk dengan
jenis pekerjaan yang sama (perladangan
Pemilihan Tanaman Unggulan sebagai Bentuk berpindah), sehingga wilayah yang ada di sekitar
Kompensasi pemukiman sudah tidak cukup menampung
kegiatan usaha masyarakat.
Analisis yang digunakan adalah analisis AHP.
AHP atau Analitycal Hierarchy Process adalah

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


49

Keragaan Ekonomi Masyarakat luas areal 2,1 ha/KK dan jumlah anggota keluarga
5 orang akan diperoleh pendapatan perkapita
Pekerjaan masyarakat pada sampel
perbulan sebesar Rp. 64.750/kapita/bulan. Nilai
penelitian di tiga desa didominasi petani
pendapatan ini lebih rendah jika dibanding dengan
tetap/pekebun dan peladang dan pengumpul hasil
standar kemiskin Bank Dunia yaitu sebesar 1
hutan sebesar 31% dan 23,8%. Karakter
US$/kapita/hari atau setara dengan ± Rp.
masyarakat peladang/tani sawah sangat
300.000/kapita/bulan.
tergantung terhadap keberadaan hutan sebagai
sumber lahan pertanian tradisional (berladang)
Pengakuan Adat
yang dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan
Hasil Uji Wilcoxon pada Tabel 3
pangan dan atau pendapatan ekonomi keluarga.
memperlihatkan bahwa dari enam faktor yang
Pemanfaatan lahan untuk budidaya
dapat berpengaruh terhadap adanya pengakuan
khususnya tanaman pertanian memberikan hasil
adat, terdapat tiga faktor yang secara nyata
produksi beragam. Rata-rata produksi padi adalah
memberikan pengaruh setelah pelaksanaan TPTII
1.416 kg/ha/tahun. Namun hasil produksi ini masih
jika dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan
lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi
TPTII, yaitu klaim masyarakat, kejelasan batas
yang seharusnya untuk tanaman padi ladang yaitu
kawasan, dan pengambilan kayu oleh masyarakat.
2 ton/ha/ton. Rendahnya produksi disebabkan
Faktor lain seperti jenis perjanjian, keterlibatan
pemeliharaan kurang dan kondisi lahan yang
masyarakat dan kegiatan peladangan, tidak
digunakan sudah tidak produktif, dan atau bekas
menunjukkan perbedaan yang nyata baik sebelum
perladangan dengan masa rotasi lahan yang
maupun setelah pelaksanaan TPTII.
pendek sehingga produksi menurun dan semakin
Dari hasil analisis menunjukan terjadi
berkurang.
penurunan yang signifikan mengenai klaim lahan
Pendapatan dari kegiatan berladang rata-rata
adat masyarakat, batas kawasan dan pengambilan
Rp 1,85 juta/ha/tahun, dengan frekuensi
kayu setelah pelaksanaan TPTII. Artinya bahwa
pembukaan lahan sebanyak 1 kali/tahun. Dari hasil
pelaksanaan TPTII semakin memperjelas hak dan
penelitian diketahui bahwa faktor-faktor yang
kewajiban antara masyarakat dan HPH. Menurut
mendorong terjadinya pembukaan lahan oleh
persepsi masyarakat, pada areal yang telah
responden yaitu didominasi (di atas 80%) oleh
ditanam oleh pihak lain, tidak akan dilakukan
pembukaan ladang karena merupakan lahan adat,
gangguan terhadap areal tersebut, hal ini
meningkatkan income dan status lahan tidak jelas,
merupakan wujud saling menghargai dan
dibanding faktor lain (kurang 80%) kebutuhan
mengakui aktivitas atau pekerjaan orang lain.
mempunyai lahan, aksesibilitas, dan kebiasaan.
Pengambilan kayu umumnya dilakukan pada areal
Dengan tingkat pendapatan Rp 1,85
yang belum dilakukan penanaman (penerapan
juta/ha/thn, maka dengan asumsi satu KK memiliki
TPTII).

Tabel 3. Uji Wilcoxon masing-masing faktor yang berpengaruh dalam menentukan besaran pengakuan
adat
Klaim Jenis Keterlibatan Batas Peladangan Pengambilan
masyarakat Perjanjian Sesudah Kawasan Sesudah Kayu sesudah
sesudah Sesudah TPTII - Sesudah TPTII - TPTII -
TPTII - Klaim TPTII - Jenis Keterlibatan TPTII - Batas Peladangan Pengambilan
masyarakat Perjanjian Sebelum Kawasan sebelum Kayu sebelum
sebelum sebelum TPTII Sebelum TPTII TPTII
TPTII TPTII TPTII
Z -2.449a .000a -1.890a -3.000a -.707a -3.819a
Asymp. Sig.
.014 1.000 .059 .003 .480 .000
(2-tailed)
Signifikansi ya Tidak tidak ya Tidak ya
a. Based on negative ranks.
b The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks.
c Wilcoxon Signed Ranks Test

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


50

Hubungan Linier Luas Penanam an & Penyerapan


Tenaga Kerja
1200
1000

Jumlah Tenaga
Kerja (Orang)
800
y = 3032.7-0.6883x
600 R2 = 0.8745
400
200
0
00

00

00

00

00

00

00
25

27

29

31

33

35

37
Realisasi Penanam an (ha)

Gambar 1. Hubungan Linier Luas Penanaman dan Penyerapan Tenaga Kerja Karyawan Harian
Pembinaan Hutan.

Penyerapan Tenaga Kerja /tahun (Rp. 351.174/bulan). Artinya keberadaan


kegiatan TPTII dapat meningkatkan pendapatan
Penyerapan tenaga kerja sesudah adanya TPTII bulanan/tahunan masyarakat secara nyata. Namun
berpengaruh signifikan yaitu rata-rata meningkat masih lebih rendah dibanding Upah Minimum
18 orang tenaga kerja/tahun, namun jumlah Regional di Provinsi Kalimantan Tengah tahun
totalnya semakin menurun dibanding laju kenaikan 2007 (Rp. 665.973/bulan).
areal penamaman TPTII. Luas penanaman
berkorelasi negatif dengan jumlah penyerapan Kepastian Usaha
tenaga kerja harian di unit Pembinaan Hutan PT
SBK (Gambar 1). Hubungan negatif ini Mengacu dari hasil analisis sosial sistem
menunjukkan bahwa meskipun luas penanaman TPTII cenderung memberikan kepastian usaha
dari tahun 2002 – 2006 ada kecenderungan bagi perusahaan, dengan indikator konflik lahan
meningkat tetapi penyerapan tenaga kerja semakin berkurang, keamanan meningkat (jumlah
cenderung menurun, hal ini dipengaruhi oleh perambah menurun), semakin sedikit lahan hutan
semakin efisiennya penggunaan tenaga kerja. yang menjadi ladang, tanggung jawab sosial
meningkat dan kepastian usaha masyarakat
Tingkat Pendapatan Masyarakat semakin meningkat (Tabel 4).
Persepsi responden terhadap konflik
Tingkat pendapatan masyarakat menunjuk- menurun yaitu sebelum TPTII sebesar 4,76%
kan perbedaan antara sebelum dan sesudah menjadi 2,38% sesudah TPTII. Keamanan
adanya TPTII. Hasil analisis tingkat pendapatan kawasan memperlihatkan bahwa persepsi
masyarakat meningkat secara signifikan (sangat masyarakat tidak merambah sebesar 40.5%
nyata) dimana nilai sebaran z sebesar - 3,771 sebelum TPTII dan menjadi 64,3% setelah TPTII
dimana nilai z ini berbasiskan rangking negatif atau kenaikan sebesar 23.8%. Hal ini lebih
sehingga nilai z hitung > z tabel. Secara deskriptif menunjukkan kenaikan kesadaran masyarakat
memperlihatkan bahwa nilai rata-rata pendapatan untuk tidak merambah ke hutan sehingga
sebesar Rp. 7.368.230,- tiap tahun atau keamanan kawasan meningkat. Jarak pemukiman/
Rp.614.019.- tiap bulan. Sementara pendapatan ladang semakin berkurang dari 46,5% sebelum
sebelum TPTII rata-rata sebesar Rp. 4.214.088

Tabel 4. Analisis Kepastian Usaha dari Kegiatan Silvikultur TPTII


No Indikator Nilai Z Kondisi Sosial Masyarakat Setelah Ada TPTII
1. Konflik -2.96** konflik berkurang setelah TPTII
2. Keamanan -3.41** Jumlah perambah hutan berkurang
3. Letak Ladang -3.22** Semakin menjauh dari hutan
4. Aksesibilitas -2.95** Akses ke hutan cenderung semakin sulit
5. Tanggungjawab sosial -2.81** Cenderung semakin baik
6. Kebijakan Pemerintah 0.00tn Tidak ada pengaruh
7. Kepastian Usaha Masyarakat -3.37** Cenderung semakin meningkat
Remarks: **sangat nyata, tn = tidak nyata

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


51

TPTII menjadi 31,0% setelah TPTII atau berkurang kegiatan pertanian dan pendapatan non pertanian.
15.5%. Aksesibilitas masyarakat terhadap areal Adapun pengeluaran masyarakat antara lain terdiri
TPTII dan HPH sebesar 60,5% sebelum TPTII atas pengeluaran untuk konsumsi makanan,
yang menurun menjadi 39.5% setelah TPTII atau konsumsi non makanan, transportasi.
menurun sebesar 21%, dengan semakin jauhnya Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata
letak TPTII dari aktivitas masyarakat maka pendapatan responden ± Rp 614.019/bulan atau
memperlihatkan bahwa pengakuan masyarakat setara dengan Rp 7.368.230/tahun atau setara
mengalami kenaikan. dengan Rp. 122.804/kapita/bulan, dengan asumsi
Persepsi responden terhadap konflik per KK 5 orang anggota kepala keluarga.
menurun yaitu sebelum TPTII sebesar 4,76% Termasuk kategori miskin jika dibanding dengan
menjadi 2,38% sesudah TPTII. Keamanan standar kemiskinan Bank Dunia (1USD/kapita/hari)
kawasan memperlihatkan bahwa persepsi atau setara Rp. 300.000/kapita/bulan. Pendekatan
masyarakat tidak merambah sebesar 40.5% pendapatan tersebut diduga kurang
sebelum TPTII dan menjadi 64,3% setelah TPTII menggambarkan kebutuhan nyata masyarakat,
atau kenaikan sebesar 23.8%. Hal ini lebih sehingga digunakan alternatif lain berdasarkan
menunjukkan kenaikan kesadaran masyarakat pendekatan pengeluaran rumah tangga. Dari
untuk tidak merambah ke hutan sehingga pendekatan pengeluaran diketahui sebagian besar
keamanan kawasan meningkat. Jarak digunakan untuk biaya makan (Rp
pemukiman/ladang semakin berkurang dari 46,5% 5.155.349/tahun) dan untuk non makanan (Rp
sebelum TPTII menjadi 31,0% setelah TPTII atau 3.960.251/tahun). Hasil analisis pengeluaran
berkurang 15.5%. Aksesibilitas masyarakat rumah tangga rata-rata Rp 9.115.600/tahun, atau
terhadap areal TPTII dan HPH sebesar 60,5% perbulannya Rp. 759.633 (Rp. 151.927
sebelum TPTII yang menurun menjadi 39.5% /kapita/bulan), masih termasuk kategori miskin.
setelah TPTII atau menurun sebesar 21%, dengan Namun, masih lebih besar jika dibandingkan
semakin jauhnya letak TPTII dari aktivitas pendekatan pendapatan, dengan selisih sebesar
masyarakat maka memperlihatkan bahwa Rp. 145.614/bulan/KK. Selisih pendapatan dan
pengakuan masyarakat mengalami kenaikan. pengeluaran yang tidak berimbang memberikan
Persepsi masyarkat terhadap nilai implikasi bahwa masyarakat belum bisa
tanggungjawab sosial perusahaan cukup tinggi dan menyatakan pendapatan yang sebenarnya atau
mengalami kenaikan dari 14,0% sebelum TPTII karena memang masyarakat selama ini hidup
menjadi 37,2% atau naik sebesar 23.2%. Kondisi dalam kondisi yang serba kekurangan sehingga
ini memang sejalan dengan persepsi yang untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan
dibangun bahwa semakin besar tanggungjawab dengan mengutang kepada tetangga dan
sosial maka akan semakin kecil terjadinya konflik kemudian akan dibayar kemudian jika hasil panen
dengan masyarakat sekitar hutan, selain itu juga berhasil.
perusahaan berkewajiban menjalankan CSR agar
kehidupan masyarakat sekitar terbantu. Dan hal Kebutuhan Lahan Masyarakat
ini didukung dengan kebijakan pemerintah, dimana
sebelum adanya TPTII menurut persepsi Kondisi saat ini (tahun 2006) luas areal
masyarakat mendukung 88,4% meningkat menjadi perladangan 1.501 ha dengan jumlah peladang
93,0% atau kenaikan sebesar 4.6%. Hal diatas 419 KK atau 35% dari total kepala keluarga (1.205
memperlihatkan bahwa masyarakat lokal KK), luas ladang 3,6 ha/KK, siklus ladang per 5
memandang bahwa pemerintah sangat tahun, dan laju pertumbuhan penduduk 4,59%.
mendukung adanya kegiatan TPTII sehingga Proyeksi kebutuhan lahan perladangan dengan
secara jangka panjang diharapkan kepastian empat skenario yaitu: (1) kondisi saat ini, (2) ada
usaha semakin meningkat. pembinaan namun tidak ada TPTII, (3) tidak ada
pembinaan dan tidak ada TPTII, (4) ada
Kebutuhan Hidup Minimum pembinaan dan TPTII ditingkatkan.
Proyeksi terhadap kondisi perladangan saat
Keadaan ekonomi keluarga menggambarkan ini (Gambar 2) menunjukan luas areal perladangan
pendapatan dan pengeluaran masyarakat dalam akan semakin meningkat sampai pada tahun ke 50
kegiatan setiap bulan atau satuan waktu. (71.600 ha), telah melewati ambang batas
Pendapatan masyarakat secara garis besar dibagi ketersediaan APL (25.600 ha) pada tahun ke 28,
menjadi dua kelompok, yaitu pendapatan dari sehingga berpotensi akan merambah ke areal lain

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


52

seperti eks tebangan atau areal lainnya di sekitar Sedang pada skenario keempat (ada
kawasan (86.000 ha). Sedang pada skenario pembinaan dan TPTII ditingkatkan), diasumsikan
kedua (ada pembinaan namun tidak ada TPTII), terjadi penurunan jumlah peladang (20% KK), luas
asumsinya jumlah peladang 50%KK dan faktor lain ladang 2 ha/KK dan rotasi ladang 3 tahun. Hasil
tetap menunjukkan bahwa proyeksi kebutuhan analisis proyeksi kebutuhan lahan sampai tahun ke
ladang sampai tahun ke 50 meningkat pesat 50 pertambahan perladangan dapat ditekan dan
102.285 ha, dan telah melewati ambang batas APL dikendalikan yaitu seluas 13.600 ha, sehingga
(tahun ke 20) dan melewati ambang batas masih tetap di bawah ambang batas APL maupun
ketersedian areal lainnya di sekitar kawasan TPTII ambang batas areal lainnya di luar areal TPTII
( APL+ eks tebangan) pada tahun ke 47. Sehingga (Gambar 5). Kondisi ini akan mendukung dalam
mulai tahun ke 47 areal perladangan berpotensi upaya mengurangi laju deforestasi dan degradasi
masuk ke dalam areal TPTII (Gambar 3). hutan serta akan meningkatkan keamanan
Pada skenario ketiga (tidak ada pembinaan kawasan TPTII dan areal hutan lainnya dari
dan tidak ada TPTII), diasumsikan terjadi perambahan kawasan. Oleh sebab itu, perlu
peningkatan peladang (75%KK) dan luas ladang (4 adanya peningkatan skala pembinaan kepada
ha/KK). Hasil proyeksi kebutuhan lahan masyarakat dan pelaksanaan TPTII yang
masyarakat untuk perladangan meningkat sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat,
pesat dibanding kondisi dua skenario sebelumnya. seperti: peningkatan alternatif mata pencaharian
Pada skenario ini luas ladang tahun ke 50 dan pendapatan, penyerapan tenaga kerja,
(170.475 ha), ketersediaan APL dan areal lainnya bantuan pendidikan dan kesehatan, insentif
hanya mampu menampung sampai tahun ke 7 dan pelibatan dalam kegiatan usaha kehutanan
tahun ke 34. Kondisi ini tentunya akan semakin berbasis rakyat dengan mengembangkan
mempercepat perambahan kawasan pada areal komoditas unggulan tanaman/pohon yang bernilai
hutan yang dikelola dengan sistem TPTII (Gambar ekonomi dalam kerangka konservasi karbon, dan
4). lain-lain.
100000 120000
Jumlah Total KK
Jumlah Total KK
100000
80000 Jumlah KK Peladang (35%) dari Total
KK Jumlah KK Peladang 50% dari
80000
Total KK
60000 Proyeksi Kebutuhan Lahan
Perladangan 35% KK, 3,6 Ha/KK, 60000 Proyeksi Kebutuhan Lahan
rotasi 5 tahun (ha) Perladangan 50% KK; 3,6 ha/KK;
Ketersediaan Lahan Ladang, 40000 rotasi 5 tahun (ha)
40000 Pemukiman, dan TPTI - Di Luar Areal Ketersediaan Lahan Ladang,
TPTII (ha) Pemukiman, dan TPTI - Di Luar
Ketersediaan Lahan Untuk Ladang 20000
Areal TPTII (ha)
20000 (APL)
Ketersediaan Lahan Untuk
0
Selisih (areal 86.000 ha - kebutuhan 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Ladang (APL)
lahan bagi 35% KK peladang)
0 -20000 Selisih (areal 86.000 ha -
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Selisih (areal 25.600 ha - kebutuhan kebutuhan lahan bagi 50% KK
lahan bagi 35% KK peladang) -40000 peladang)
-20000 Selisih (areal 25.600 ha -
-60000 kebutuhan lahan bagi 50% KK
peladang)
-40000 -80000

-100000
-60000

Tahun Ke- Tahun Ke -

Gambar 2. Proyeksi Luas Ladang (Skenario-1) Gambar 3. Proyeksi Luas Ladang (Skenario-2)

200000 100000

Jumlah Total KK Jumlah Total KK


90000
150000
Jumlah KK Peladang 75% dari 80000 Jumlah KK Peladang 20% dari Total
KK
100000 Total KK
70000
Proyeksi Kebutuhan Lahan
Proyeksi Kebutuhan Lahan Perladangan 20% KK; 2 ha/KK;
50000 Perladangan 75% KK; 4 ha/KK; 60000 rotasi 3 tahun (ha)
rotasi 5 tahun (ha) Ketersediaan Lahan Ladang,
Pemukiman, dll - di luar areal TPTII
Ketersediaan Lahan Ladang, 50000 (ha)
0 Pemukiman, dan TPTI - Di Luar
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Ketersediaan Lahan Untuk Ladang
Areal TPTII (ha) 30% dari luas 86.000 ha
40000
Ketersediaan Lahan Untuk
-50000 Selisih (areal - 20% KK peladang)
Ladang (APL)
30000 dari 86.000 ha

-100000 Selisih (areal 86.000 ha - Selisih (areal - 20% KK peladang)


kebutuhan lahan bagi 75% KK 20000 dari areal 25.800 ha
peladang)
-150000 Selisih (areal 25.600 ha - 10000
kebutuhan lahan bagi 75% KK
peladang) 0
-200000 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

Tahun Ke- Tahun Ke-

Gambar 4. Proyeksi Luas Ladang (Skenario-3) Gambar 5. Proyeksi Luas Ladang (Skenario-4)

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


53

Pemilihan Tanaman Unggulan sebagai Bentuk lahan perladangan dan atau kebun tradisional
Kompensasi yang Diberikan Kepada dengan penanaman kayu pada bekas areal
Masyarakat dalam Konteks Konservasi Karbon perladangan atau kebun masyarakat.

Pembobotan pada Tingkat Kriteria


KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil pembobotan AHP pada tingkat kriteria
berturut-turut dari yang terbesar adalah aspek Kesimpulan
pemasaran (25,2 %), aspek penerimaan
1. Pengakuan adat setelah pelaksanaan TPTII
masyarakat (24,8 %), aspek budidaya (12,0 %),
sangat dipengaruhi oleh klaim masyarakat,
aspek ekonomi (11,4 %), aspek lingkungan (10,2
kejelasan batas kawasan, dan pengambilan
%), aspek daur (9,1 %) serta aspek penyerapan
kayu oleh masyarakat. Sementara jenis
CO2 (7,4 %).
perjanjian, keterlibatan masyarakat, dan
Hasil pembobotan akhir yakni pembobotan
kegiatan peladangan tidak menunjukkan
yang telah mempertimbangkan ke-tujuh aspek
perbedaan yang nyata baik sebelum maupun
tersebut di atas menempatkan jenis pohon karet
setelah pelaksanaan TPTII.
sebagai prioritas utama dengan bobot 32,7 %,
2. Penyerapan tenaga kerja sesudah adanya
kemudian diikuti berturut-turut tengkawang (21,6
TPTII rata-rata meningkat sebesar 18 orang
%), meranti (17,6 %), gaharu (12,7 %), sengon (9,3
tenaga kerja tiap tahun. Namun hubungan
%) serta mahoni (6,0 %). Tingkat konsistensi pada
antara luas penanaman dengan penyerapan
pembobotan tingkat akhir atau alternatif ini sebesar
tenaga kerja berpengaruh negatif karena
0,04 yang berarti perbandingan antar jenis pohon
adanya efisiensi penggunaan tenaga kerja.
yang telah dilakukan oleh para responden
3. Faktor yang signifikan pengaruhnya terhadap
konsisten karena masih di bawah 0,10.
kepastian usaha TPTII yaitu konflik,
keamanan, letak ladang/pemukiman,
Aspek Sosial Ekonomi Lainnya dari Konservasi
aksesibilitas, tanggungjawab sosial dan
Karbon
kepastian usaha masyarakat.
Kesediaan masyarakat terlibat dalam 4. Kebutuhan Hidup Minimal masyarakat atas
konservasi karbon terlihat bahwa sebagian besar dasar tingkat pendapatan ± Rp 614.019/bulan
masyarakat sangat setuju untuk ikut dalam (Rp 7.368.230/KK/tahun) atau setara dengan
konservasi karbon sebesar 93% dan tidak setuju Rp. 122.804/kapita/bulan. Sedangkan
hanya 7% walaupun masyarakat belum mengerti pengeluaran rumah tangga sebesar Rp
dengan benar apa tujuan program tersebut. 9.115.600/tahun (Rp. 759.633/bulan/KK) atau
Keterlibatan kelembagaan bagi masyarakat dalam setara dengan Rp. 151.927 /kapita/bulan.
pelaksanaan REDD, masyarakat menginginkan Kedua nilai tersebut masih di bawah standar
adanya lembaga yang terlibat dalam tahapan kemiskinan Bank Dunia yaitu sebesar Rp.
perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan 300.000/kapita/bulan.
dengan besaran persetujuan sebesar 76,7%, 5. Proyeksi kebutuhan lahan perladangan
72,1%, dan 69,8%. Sedangkan untuk proses masyarakat dengan menggunakan skenario
pemantauan, masyarakat menolaknya yaitu peningkatan pembinaan dan pelaksanaan
sebesar 55,8%, dan setuju hanya 44,2%. TPTII dari kondisi saat ini diketahui mampu
Luas kesediaan menanam dalam rangkaian menekan laju degradasi lahan / pertambahan
konservasi karbon oleh masyarakat rata-rata ladang di bawah ambang batas ketersediaan
sebesar 3,1 ha, dengan kesediaan masyarakat APL dan areal lainnya dibanding jika tidak ada
menerima kompensasi dari konservasi karbon rata- pembinaan dan tidak ada kegiatan TPTII.
rata Rp. 607.352,-/ha/tahun atau Rp.50.612.- 6. Pemilihan tanaman unggulan sebagai
/ha/bulan. Nilai kompensasi diduga belum kompensasi kepada masyarakat dalam
menggambarkan keinginan masyarakat, jika konteks konservasi karbon bahwa masyarakat
dibandingkan dengan besarnya pengeluaran dan lebih memilih jenis tanaman Karet, Meranti,
atau pendapatan rumah tangga. Idealnya besarnya dan Tengkawang, dibanding tanaman gaharu,
kompensasi dari berladang ke usaha-usaha mahoni, dan sengon.
konservasi lingkungan minimal sebesar Rp. 7. Nilai kompensasi konservasi karbon dari
307.000/ha/bulan - Rp. 380.000/ha/bulan. Pada pendekatan pengeluaran masyarakat rata-rata
kondisi ini diharapkan petani akan mau mengganti Rp. Rp. 759.633 /bulan/KK dan dengan

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52


54

asumsi 50% dari pengeluaran bersumber dari setara dengan pendapatan yang diperoleh
pendapatan pertanian (ladang dan kebun), masyarakat dari kegiatan perladangan.
maka jumlah kompensasi yang paling layak 5. Untuk menekan laju peningkatan perambahan
untuk melibatkan masyarakat dalam kerangka kawasan dan kegiatan perladangan maka
konservasi karbon adalah sebesar Rp. pemerintah dan atau pengusaha perlu
380.000/bulan/KK. meningkatkan pembinaan kepada masyarakat
dan pelaksanaan TPTII melalui peningkatan
Saran alternatif matapencaharian dan pendapatan,
penyerapan tenaga kerja, pengembangan
1. Untuk memperkuat pengakuan adat terhadap
hutan rakyat atau HKM dengan basis
areal TPTII maka perusahaan perlu
komoditas unggulan sesuai keinginan
melakukan sosialisasi yang tepat sasaran
masyarakat dan konservasi karbon, bantuan
sehingga keterlibatan masyarakat dan jenis
usahatani menetap dan bantuan sosial
perjanjian meningkat dan kegiatan
ekonomi lainnya.
perladangan dalam areal dapat diminimalisasi.
2. Peningkatan penyerapan tenaga kerja dengan
melibatkan banyak tenaga kerja lokal DAFTAR PUSTAKA
sehingga lebih meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Hasan, I. 2006. Analisa Data Penelitian dengan
3. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan Statistik. Cetakan Kedua. Penerbit PT. Bumi
kepastian usaha perlu dibenahi terutama yang Aksara. Jakarta.
terkait dengan CSR maupun kegiatan Saaty, T.L. 1994. Fundamental of decision making
produksi. and priority theory with the analytical
4. Mengingat pemenuhan kebutuhan hidup hierarchy process. RWS Publication.
minimal masyarakat berbentuk ”utang ke Pitsburg . PA.
tetangga” maka disarankan untuk
mendiseminasi kegiatan TPTII kepada Simon, 2004. Membangun Desa Hutan Kasus
masyarakat dengan melibatkan HPH terdekat, Dusun Sambiroto. Gadjah Mada University
serta ditindaklanjuti dengan penerapan Press. Yogyakarta
mekanisme kompensasi konservasi karbon Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian.
yang sumbernya dapat berasal dari Dana DR Cetakan Kesepuluh. Penerbit CV. Alfabeta.
atau pihak lain. Besarnya kompensasi minimal Bandung.

Diterima : 18 September 2008

Gusti Hardiansyah
Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura
Pontianak, Indonesia

Rizaldi Boer, Cecep Kusmana, dan Dudung Darusman


Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Darmaga Bogor 16680

Jurnal Perennial, 5(1) : 45-52

You might also like