You are on page 1of 13

PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….

(20) : 33 - 45

PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUTAN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG


BATUBARA BERBASIS STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL
The Planning of Forest Development On Ex Coal Mined Areas Based On
Social Forestry Strategy
Oleh/By
HAMDANI FAUZI1

ABSTRACT

There is the problems faced by the regional development system as effect of


activity of coal mining namely (a) the happening of environmental damage at protection
area and production area for the width of 1,071 ha; and ( b) potency of social jealousy
as effect of high earnings distribution and opportunity generalization work in coal
mining sector; and (c) inexistence of planning of forest development at the area. This
research aim to formulate the planning of forest development to follow to solve the
regional development problems because of coal mining by applying paradigm of social
foresrty through approach of Forest Resource Management and Forest Ecosystem
Management. This research is executed at 5 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP)
namely SWP I (Pantai Cabe Village), SWP II (Sidomukti, Binuang, Rantau Bujur
Village), SWP III (Tarungin Village), SWP IV (Bitahan Baru Village) and SWP V (Pulau
Pinang Village). The Method that used in research of pursuant within approach of
dynamic system analysis. Model the forest development recommended is the
importance of planning of area stabilization confessed by every stakeholders,
organizational planning of region managing and watching forest development by
entangling relevant stakeholders (Institution Bappeda, forestry, plantation, college,
NGO, mining company and community), land rehabilitation before of revegetation
through technical civil conservation, and strategy of plant development passing
applying of Management Regime (MR) V for the protection area with the pre-eminent
crop type of kemiri (Aleurites moluccana WILLD), MR I for the area of production forest
and people forest with the pre-eminent crop type of sungkai (Peronema canescens)
and gaharu (Aquilaria malacensis), and MR II for the agriculture area with the pre-
eminent crop type of rubber (Hevea brasiliensis) and banana (Mimosa spp).
Keywords : Forest planning development, Ex coal mined area, Social Forestry,
Management Regime

I. PENDAHULUAN
Kegiatan penambangan batubara selain memberikan dampak positif bagi
peningkatan pendapatan, juga berdampak negatif terhadap penurunan kualitas
lingkungan fisik, kimiawi, biologi dan sosial untuk sementara waktu atau berkelanjutan.
Potensi batubara di Kabupaten Tapin tercatat lebih dari 45.000 ha yang
tersebar di 4 kecamatan yaitu : Binuang, Tapin Selatan, Bungur dan Lok Paikat. Saat
ini lahan batubara yang sudah dieksploitasi seluas 1.071,71 ha oleh berbagai
perusahaan pertambangan, koperasi dan penambang penambang tanpa ijin. Lahan-
lahan tersebut sebagian besar cenderung dibiarkan terbuka tanpa ada upaya
reklamasi sehingga berimplikasi pada terjadinya degradasi lahan yang cenderung
berpengaruh kepada rusaknya keseimbangan ekosistem dan sosial ekonomi
masyarakat lokal dan regional di Kabupaten Tapin.

1) Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Unlam

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 33


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

Persoalan tersebut diduga disebabkan (1) rendahnya tingkat kesadaran


penambang batubara melakukan upaya reklamasi, bahkan ironisnya ada beberapa
perusahaan yang memindahkan dana pembiayaan reklamasi dialihkan menambah
pembelian alat-alat berat; (2) belum dikuasainya teknologi reklamasi lahan bekas
tambang batubara, sehingga kegiatan penanaman yang selama ini telah dilaksanakan
cenderung tidak berhasil; dan (3) perusahaan pertambangan belum mempunyai
perencanaan teknis kegiatan reklamasi yang akan dilaksanakan.
Persoalan sosial yang muncul sebagai akibat kegiatan pengusahaan
pertambangan batubara berupa terjadinya kecemburuan sosial dalam memperoleh
pekerjaan, pembebasan lahan dan terjadinya pemutusan hubungan kerja kalau
perusahaan/KUD sudah tidak beroperasi lagi. Penerimaan tenaga kerja lokal sering
terlebih dahulu dimulai dengan aksi tuntutan masyarakat dan akhirnya masyarakat
lokal diterima bekerja dengan menempati posisi rendahan seperti pejaga keamanan,
checker, tenaga survei dan sedikit sekali sebagai operator apalagi staf kantor dan
manajemen.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka perlu dilakukan langkah-
langkah strategis dalam upaya pemecahan problematika lingkungan dan sosial
kemasyarakatan. Sub sistem kehutanan sebagai bagian dari sistem pembangunan
wilayah dapat ikut membantu memberikan kontribusi yang nyata terutama dalam hal
perbaikan ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat. Untuk dapat berperan nyata,
maka perlu disusun suatu perencanaan pembangunan hutan sebagai bagian tak
terpisahkan dari pembangunan wilayah Kabupaten Tapin yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan melalui strategi kehutanan
sosial.
II. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini untuk :


1) Mengidentifikasi permasalahan sistem pembangunan wilayah sebagai akibat
kegiatan penambangan batubara yang dirumuskan dari hasil identifikasi masalah
setiap sub sistem yang terkait yaitu industri, kehutanan, pertanian dan sosial
ekonomi masyarakat
2) Merumuskan strategi perencanaan pembangunan hutan pada lahan bekas
tambang batubara di Kabupaten Tapin berbasis kelestarian ekosistem dan
kesejahteraan masyarakat.
III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September 2005 – Juni 2006 di wilayah
Kabupaten Tapin dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) aktivitas penambangan
batubara di wilayah ini berlangsung sangat intensif, namun meninggalkan lahan kritis
bekas tambang; dan (2) adanya kemauan baik pemerintah setempat yang akan
melakukan reklamasi lahan bekas tambang batubara, namun persoalannya terletak
pada rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi dalam melaksanakan upaya ini
termasuk dalam menyusun perencanaan yang terpadu dan berkelanjutan.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan menggunakan pendekaran survei,
wawancara dan studi pustaka. Teknik survei dilakukan melalui pengamatan dan
pencatatan secara sistematik terhadap elemen data yang diperlukan seperti: (a)
Luasan lahan bekas tambang yang akan direvegetasi menggunakan pengukuran GPS
dan dianalisis dengan program Arcview GIS 3.3 (Budiyanto, E., 2002); (b) Kesesuaian
lahan menurut Pedoman Survei Tanah (Departemen Pertanian, 1994) (c) Sifat fisik dan
kimia tanah menurut Pedoman Survei Tanah (Departemen Pertanian, 1994); (d) Jenis-
jenis vegetasi penyusun menurut analisis vegetasi (Indrawan dan Soerianegara, 1976);
(e) Pendugaan erosi menurut metode USLE (Sarif,S., 1983); (f) Cadangan karbon dan

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 34


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

kebutuhan oksigen menggunakan angka normatif (Dahlan, 1992 dan Widianto et.al.,
2003)
Teknik wawancara dilakukan dengan responden guna memperoleh data
pendapatan penduduk, persepsi tentang pertambangan batubara dan pembangunan
hutan, kebutuhan dasar, pemilihan jenis, upah kerja, produksi (pertanian, kehutanan
dan batubara. Jumlah responden sebagai sampel dalam penelitian ini sebesar 10 %
dari populasi di lokasi penelitian yang dibedakan atas reponden pekerja tambang dan
reponden non-pekerja tambang dengan komposisi sebagaimana berikut: Desa Pantai
Cabe sebanyak 18 orang (Satuan Wilayah Pengeloaan I), Desa Rantau Bujur,
Sidomukti dan Binuang sebanyak 52 orang (Satuan Wilayah Pengeloaan II), Desa
Tarungin sebanyak 16 orang (Satuan Wilayah Pengeloaan III), Desa Bitahan Baru
sebanyak 12 orang (Satuan Wilayah Pengeloaan IV), dan Desa Pulau Pinang
sebanyak 18 orang (Satuan Wilayah Pengeloaan V).
Pengumpulan data melalui studi pustaka bersumber dari buku, monografi dan
informasi yang terkait berupa data luas (lahan tambang, lahan bekas tambang, hutan
dan pertanian), produksi (kehutanan dan pertanian), iklim, dan penduduk (jumlah,
tenaga kerja, pengangguran, daya tampung sektor pertambangan, penambang rakyat,
pendapatan).
Analisis sistem dinamik dilakukan untuk menyusun perencanaan pembangunan
hutan pada lahan bekas tambang batubara. Hal ini dilakukan mengingat sub sistem
kehutanan dipandang sebagai bagian dari sistem pembangunan wilayah yang
mempunyai interaksi dengan berbagai sub sistem lainnya. Mekanisme yang dilakukan
dalam analisis sistem dinamik adalah identifikasi sub sistem, perumusan masalah,
perumusan tujuan pembangunan hutan, dan perumusan model pembangunan hutan
(Simon, 1994 ).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perumusan Masalah Setiap Sub-Sistem


1. Sub Sistem Kehutanan
a. Pengurangan Lahan Hutan
Kawasan hutan di Kabupaten Tapin seluas 63.806 ha terdiri dari hutan negara
seluas 57.645 ha (Hutan alam pegunungan Meratus 15.450 ha, HTI seluas 7.535 ha
dan hutan rawa seluas 34.660 ha) dan hutan yang dibebani hak seluas 6.161 ha
(Dishut Tapin, 2005).
Kawasan hutan yang mempunyai deposit batubara dan telah mendapat ijin
pinjam pakai untuk kegiatan pengusahaan pertambangan batubara merupakan areal
eks Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dulu dikelola oleh PT. Dwima Intiga seluas
7.535 ha dan kawasan hutan rakyat seluas 6.161 ha. Saat ini lahan hutan yang telah
ditambang seluas 358,73 ha (hutan negara 131,26 ha dan hutan rakyat 227,47 ha)
dan diperkirakan hingga tahun 2030 akan terjadi perubahaan luasan lahan berhutan
karena adanya ijin kegiatan pertambangan batubara seluas 21.746 ha.
b. Evaluasi Terhadap Kegiatan Revegetasi
Revegetasi yang telah dilakukan seluas 12,5 ha (1,17% dari lahan telah
ditambang) dengan jenis pohon yang ditanam adalah akasia (Acacia mangium).
Pemilihan jenis ditentukan tidak berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan,
melainkan langsung diputuskan oleh pihak pengelola.
Hasil pengamatan terhadap tanaman akasia memperlihatkan kondisi
pertumbuhan yang jelek yang ditandai oleh kemampuan hidup yang rendah
(prosentase hidup < 50%), pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 1 tahun cenderung
ekstrim (tinggi tanaman antara 28 – 195 cm), terjadinya kekurangan nitrogen yang

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 35


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

terlihat pada warna daun pucat kekuning-kuningan. Padahal nitrogen merupakan


unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan bagi tanaman
untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman (Hakim et.al.,
1996).
c. Berkurangnya Fungsi Hutan
Menurut Simon (2004), pada umumnya hutan berfungsi ekonomi dan fungsi
perlindungan lingkungan. Fungsi ekonomi diorientasikan untuk menghasilkan kayu
dan non kayu dan fungsi perlindungan lingkungan menitikberatkan untuk menjaga
kelestarian ekosistem.
1) Penurunan Produksi Kayu Pertukangan
Potensi kayu dari Hutan Tanaman Industri berupa tanaman sengon
(Paraserianthes falcataria) umur daur 8 tahun yang dulu dikelola PT. Dwima Intiga
seluas 7.535 ha dengan potensi sekitar 115,60 – 160,14 m3/ha (Dishut Tapin, 2004).
Kalau diasumsikan saat ini sudah dikonversi dan ditambang seluas 75,26 ha berarti
potensi kayu pertukangan yang telah ditebang sebanyak 10.398,67 m3 dan ini belum
termasuk kayu yang dipungut dari hutan lindung dan hutan rakyat.
2) Penurunan Cadangan Karbon
Ditinjau dari aspek fungsi hutan dalam perlindungan ekosistem berupa
penyimpan cadangan karbon di alam karena karbon disimpan dalam bentuk biomassa
vegetasinya. Alih guna lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi CO2 di atmosfer
yang berasal dari hasil pembakaran dan peningkatan mineralisasi bahan organik tanah
selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi sebagai Carbon-sink (Widianto
et.al., 2003). Berdasarkan hasil perhitungan, cadangan karbon yang berkurang akibat
konversi alih guna lahan berhutan menjadi lahan pertambangan batubara
menyebabkan penurunan cadangan karbon sebanyak 259,193 Mg/ha.
3) Penurunan Pasokan Oksigen
Selama berlangsungnya proses pertumbuhan, tanaman menyelenggarakan
fotosintesis yang memerlukan sinar matahari, karbondioksida dari udara, air dan hara
dari dalam tanah tanah. Pada tahap selanjutnya tumbuhan melakukan respirasi
dengan output berupa oksigen (O2) yang keberadaannya sangat diperlukan oleh
manusia, hewan, industri, kendaraan bermotor dan lain-lain. Dahlan, E.N.(1992)
menyebutkan bahwa rata-rata kebutuhan oksigen per orang sebesar 0,008 kg/jam,
mobil penumpang 0,363 kg/jam, mobil bus 0,477 kg/jam, truk 0,953 kg/jam dan sepeda
motor 0,006 kg/jam dengan asumsi pemakaian oksigen oleh penduduk dan kendaraan
bermotor per hari dianggap sama dan suplai oksigen hanya dilakukan oleh tanaman
pohon digunakan oleh penduduk dan kendaraan bermotor. Dengan demikian
kebutuhan oksigen di Kabupaten Tapin tahun 2005 bagi penduduk yang berjumlah
147.069 jiwa sebesar 1.176 kg/jam dan kendaraan bermotor sebesar 9.384 kg/jam.
Diperkirakan pada tahun 2030 di saat kegiatan pertambangan sudah berakhir dengan
angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,35 % dan prosentase peningkatan jumlah
kendaraan bermotor berkisar antara sebesar 2,3 – 8,6 % maka diperlukan oksigen
10.813.727,38 kg/jam atau setara dengan 540.686 ha hutan. Ini berarti lahan berhutan
yang ada di wilayah ini tidak akan mampu memasok kebutuhan oksigen bagi penduduk
dan kendaraan bermotor.

4) Penurunan Kesuburan Tanah


Kondisi tanah yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi
tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 36


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

hutan nantinya. Hasil yang diperoleh dari analisis laboratorium dan pengamatan di
lapangan mengenai beberapa sifat fisik dan kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Tanah di Lokasi Penelitian

Lokasi sesuai umur pasca tambang (tahun)


No Sifat Tanah
0–1 1–3 3–5 5–6 >6
A Fisik Tanah
1 Warna 7,5 YR 7,5 YR 7,5 YR 7,5 YR 7,5 YR 5/3
7/8 7/8 6/8 5/8
2 Tekstur Liat Liat Liat Lempung Lempung
Berpasir Berpasir Berpasir Berliat Berliat
B Kimia Tanah
1 Nitrogen total (%) 0,07 (SR) 0,08 (SR) 0,06 (SR) 0,02 (SR) 0,12 (R)
2 Fosfor tersedia 1,09 (SR) 16,39 15,30 12,02 (R) 13,2 (R)
(ppm) (SD) (SD)
3 Kalium tersedia 0,19 (R) 0,18 (R) 0,21 (R) 0,20 (R) 0,25 (R)
(me/100 gr)
4 Karbon-total (%) 0,59 (SR) 0,91 0,69 (SR) 0,80 (SR) 1,62 R
(SR)
5 pH (H2O) 4,43 (SM) 5,41 (M) 4,80 (M) 4,99 (M) 4,03 (M)
Sumber : Hasil analisis tanah (2005)
Keterangan :
7,5 YR 7/8 = Kuning kemerahan (reddish yellow) SR = Sangat Rendah
7,5 YR 6/8 = Kuning kemerahan (reddish yellow) SD = Sedang
7,5 YR 5/8 = Coklat tua (strong brown) R = Rendah
7,5 YR 5/3 = Coklat (brown) SM = Sangat masam

Perkembangan warna tanah sampai umur 5 tahun pasca tambang


menunjukkan tanah berwarna kuning kemerahan dan mengalami perubahan setelah
berumur lebih dari 5 tahun. Perubahan warna tanah dari kuning kemerahan menjadi
coklat merupakan salah satu indikator peningkatan kandungan bahan organik, karena
menurut Hardjowigeno (1992) dan Bale (1999) makin tinggi kandungan bahan organik,
warna tanah makin gelap.
Pada lahan bekas tambang batubara sampai berumur 5 tahun memiliki tekstur
liat berpasir. Kondisi tanah didominasi oleh fraksi liat, sehingga sering dijumpai
cekungan berisi air dan tanah disekitarnya masih lembek. Tanah yang mengandung
fraksi liat mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyimpan air, akan tetapi
peredaran udara dalam tanah tidak baik. Perkembangan tekstur tanah selanjutnya
berupa lempung berliat pada tanah yang berumur lebih dari 5 tahun setelah
penambangan. Tekstur tanah berlempung ini cenderung memiliki sifat yang sesuai
untuk budidaya berbagai jenis tanaman. Kemampuan menyimpan air dan tata udara
relatif lebih baik. Tanah mengandung cukup fraksi liat untuk menyimpan air dan hara
tanaman untuk pertumbuhan tanaman yang optimum.
Berdasarkan data yang diperoleh kandungan nitrogen, fosfor, kalium dan
karbon organik sampai umur 5 tahun tergolong sangat rendah sampai rendah. Hal ini
disebabkan rendahnya penutupan vegetasi sebagai sumber bahan organik yang akan
mengalami dekomposisi sebelum unsur hara tersedia bagi tanaman. Unsur hara mulai
meningkat seiring dengan peningkatan umur pasca tambang yang mulai ditumbuhi
vegetasi sebagai sumber bahan organik yang akan mengalami dekomposisi,
mineralisasi dan humifikasi.

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 37


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

5) Peningkatan Bahaya Erosi


Penggunaan tanah untuk usaha pertambangan tentunya akan berpengaruh
terhadap tanah. Pengaruh tersebut cepat atau lambat terlihat dan dirasakan dalam
berbagai bentuk yang cenderung negatif, seperti menipisnya lapisan tanah,
berkurangnya daya serap air, menurunnya produktivitas tanah dan peningkatan erosi
(Moehansyah dan Djunaid, 1983).
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap pendugaan erosi diketahui bahwa
tingkat bahaya erosi di lokasi penelitian tergolong sangat berat (rata-rata 787,84
ton/ha/th). Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kebun
campuran kerapatan sedang menjadi lahan terbuka dengan panjang dan kemiringan
lereng yang semakin besar, tidak adanya upaya pengendalian erosi dan penutupan
vegetasi pada lahan bekas tambang batubara.
2. Sub Sistem Pertanian/Perkebunan
Kegiatan penambangan batubara tentunya memerlukan lahan yang
sebelumnya mempunyai peruntukan lain seperti pertanian, perkebunan, kehutanan,
permukiman dan lain-lain sehingga terjadi alih fungsi lahan. Sampai tahun 2005 telah
terjadi penciutan lahan pada kawasan budidaya pertanian selama kurun waktu 1998 –
2004 sebesar 9.906 ha atau sekitar 18,27 % dengan perubahan terbesar pada
perkebunan pisang, padahal komoditi pisang dari Binuang cukup terkenal di wilayah
kalimantan bahkan banyak pula yang dikirim ke Pulau Jawa dan Sulawesi.
Sebagai akibat terjadinya pengurangan lahan pertanian karena dikonversi
untuk kegiatan pertambangan batubara tanpa ada upaya pencetakan lahan pertanian
yang baru, dan kondisi lahan yang semakin marjinal menyebabkan produksi hasil
pertanian mengalami penurunan. Selama periode 1998 – 2004, komoditi karet
berkurang sebesar 21,85%, pisang berkurang 34,83%, padi lading berkurang 23,39%
dan kacang tanah berkurang 30,96%.
3. Sub Sistem Sosial Ekonomi
Kegiatan pengusahaan pertambangan batubara telah membuka lapangan kerja
baru bagi masyarakat. Data berbagai perusahaan pertambangan batubara yang
beroperasi di Kabupaten Tapin menunjukkan 2.721 warga Tapin (termasuk 1.192
orang warga sekitar tambang) diserap secara formal bekerja pada 18 perusahaan yang
bergerak di sektor pertambangan batubara dan 930 orang berasal dari tenaga kerja
warga di luar Tapin dan Kalsel.
Terciptanya lapangan kerja tersebut menyebabkan penurunan angka
pengangguran di desa dan peningkatan pendapatan penduduk. Berdasarkan Tabel 2
diketahui bahwa jumlah tenaga kerja formal yang terserap di sektor pertambangan
berkisar antara 20,3 % - 37,6 % dari jumlah tenaga kerja produktif usia 15 tahun ke
atas dan di bawah 55 tahun. Sementara itu penduduk usia produktif yang tidak
bekerja (pengangguran) masih ada sekitar 19,8 % - 49,3 % dan mereka inilah yang
kemudian ditenggarai terlibat dalam kegiatan penambangan tanpa ijin.
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap di Sektor Pertambangan Batubara
Usia Bekerja di sektor
No Desa Produktif Tambang % Non - % Tidak %
(Jiwa) tambang Bekerja
1 Pantai Cabe 625 235 37,6 153 24,5 237 37,9
2 Rantau Bujur 789 164 20,8 280 35,5 345 43,7
3 Sidomukti 498 126 25,3 183 36,8 189 37,9
4 Binuang 837 175 20,9 496 59,3 166 19,8
Jumlah 4.371 1.192 1.511 1668

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 38


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

Beberapa responden mengemukakan bahwa aktivitas usaha pertambangan


batubara berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan penduduk lokal.
Pendapatan masyarakat setelah ada kegiatan pertambangan berkisar antara Rp
1.128.500,- sampai Rp. 2.689.000 /KK/bulan dan ini melebihi angka kebutuhan hidup
minimum (± Rp. 480.000).
Berdasarkan hasil perhitungan ketimpangan pendapatan melalui pendekatan
koefisien Gini nampak bahwa distribusi pendapatan sesudah adanya kegiatan
pertambangan batubara ternyata pada umumnya memiliki ketimpangan yang tinggi
(>0,5). Hal ini disebabkan penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertambangan
batubara memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang
bekerja di sektor pertanian dan buruh tani/perkebunan. Persoalan ini yang menjadi
salah satu pemicu kecemburuan sosial antara warga yang tidak bekerja di sektor
pertambangan dengan mereka yang bekerja di sektor ini.
B. Perumusan Tujuan Pembangunan Hutan
Berdasarkan perumusan permasalahan sub sistem pembangunan wilayah
sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara, maka tujuan pembangunan hutan
dirumuskan sebagai berikut:
1). Memperbaiki kualitas tanah dan air yang telah mengalami kerusakan sehinggga
produktivitasnya bisa meningkat dan kelestarian lingkungan menjadi lebih baik
2). Mendorong terciptanya lapangan kerja baru di bidang kehutanan dalam rangka
menampung sebagian tenaga kerja yang berasal dari eks industri tambang dan
penduduk yang belum bekerja.
C. Model Pemecahan Masalah
1. Perencanaan Pengelolaan Kawasan
Hutan bukan merupakan satu-satunya bentuk pengelolaan lahan. Di samping
kehutanan, bentuk pengelolaan lahan dapat berupa pertanian, peternakan, perikanan
dan perkebunan. Secara tradisional, antara berbagai macam bentuk pengelolaan
tersebut sering terjadi persaingan dalam memperoleh lahan. Karena ada persaingan
itu maka batas kawasan hutan sering mendapat gangguan atau bibrikan untuk
kepentingan yang lain tersebut. Oleh karena itu adanya batas kawasan hutan yang
tetap sangat penting, sebab kalau tidak demikian kegiatan membangun hutan akan
sangat terganggu karena masa berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan
pengelolaannya tidak dapat diatur untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu
singkat atau mendadak.
Perencanaan pembangunan hutan yang akan dilakukan pada kawasan bekas
tambang batubara sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
Tapin, sehingga dapat direncanakan kawasan yang akan dibangun hutannya
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 39


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

Tabel 3. Luas Fungsi Kawasan Lahan Bekas Tambang Batubara di Kab. Tapin yang
akan direvegetasi (ha)
Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Jumlah
No Fungsi Kawasan
I II III IV V (ha)
1. Kawasan Hutan 25,59 102,38 89,5 141,26 0 358,73
a. Lereng sangat curam 0 0 0 6,5 0 6,5
b. Sempadan sungai 0 0 0 8,5 0 8,5
c. Hutan Produksi 0 0 0 75,26 0 75,26
e. Hutan Lindung 0 0 0 51 0 51
f. Hutan Rakyat 25,59 102,38 89,5 0 0 227,47
3 Kawasan Pertanian 44,2 317,00 348,32 0 3,46 702,97
a. Lahan Kering 0 30 29 0 0 59
b. Perkebunan Karet 25 91,52 169,32 0 3,46 302,6
c. Perkebunan Pisang 0 130,33 100,25 0 0 267,58
d. Kebun Campuran 11,8 50,34 31 0 0 93,14
e. Sempadan Sungai 7,4 14,81 18,75 0 0 43,41
Jumlah 69,79 419,38 437,82 141,26 3,46 1.071,71

2. Perencanaan Pembangunan Tanaman


a. Rehabilitasi Lahan Sebelum Pembangunan Tanaman
1) Rencana Pengendalian Erosi
Pada dasarnya kondisi topografi sulit dikembalikan seperti semula. Untuk
upaya ini dokumentasi dan fotografi bentang alam (land form) sebelumnya diperlukan
dan disimpan dengan baik. Lahan yang sebelumnya dikuasai masyarakat setelah
dibebaskan oleh perusahaan akan dikembalikan sebagai asset negara setelah
sebelumnya kegiatan reklamasi telah dinyatakan berhasil.
Pengaturan bentuk lereng perlu dilakukan untuk mengurangi kecepatan aliran
permukaan (run off) sehingga laju erosi dan sedimentasi dapat dikurangi. Perlakuan
konservasi tanah yang akan diterapkan pada kelerengan 8 – 15 % berupa penanaman
tanaman penutup dan pembuatan saluran pembuangan air, kawasan dengan
kelerengan 15 – 40% berupa teknik konservasi sipil teknis dengan pembuatan teras
dan secara vegetatif melalui penanaman tanaman semusim dan tahunan.
2) Pengelolaan Lubang Bekas Tambang
Penambangan secara terbuka cenderung meningggalkan lubang atau
cekungan pada akhir penambangan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan
terdapat lubang bekas tambang yang sudah ditinggalkan penambang sebanyak 22 titik
lokasi dengan luas 37,11 ha kedalaman berkisar antara 8 – 25 meter.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keberadaan lubang-lubang bekas
galian antara lain dengan menutup lubang-lubang bekas galian tersebut dengan
sampah organik rumah tangga sehingga pada akhirnya dapat menjadi tempat
pembuatan kompos. Setelah kompos terbentuk, maka di samping komposnya dapat
diambil sebagai pupuk organik juga arealnya dapat ditanami kembali dengan tanaman.
3) Rekayasa Perbaikan Kualitas Tanah
Perbaikan kualitas tanah dilakukan dengan pengelolaan top soil, pemberan
kapur dan hidrogel. Pengelolaan top soil bertujuan untuk mengatur dan memisahkan
lapisan top soil dengan lapisan tanah lain. Hal ini dilakukan karena top soil merupakan

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 40


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

media tumbuh bagi tanaman yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan


tanaman pada kegiatan pembangunan hutan.
Pemberian kapur bertujuan untuk mengatasi faktor pembatas pH tanah dengan
harapan terjadi peningkatan nilai pH tanah. Derajat keasaman tanah (pH) merupakan
hal yang terpenting dalam suatu tanah, karena menentukan mudah tidaknya unsur
hara diserap tanaman, menentukan kemungkinan adanya unsur-unsur beracun seperti
adanya ion-ion Al pada tanah-tanah masam dan mempengaruhi perkembangan
mikroorganisme.
Hidrogel merupakan bahan kimia yang mampu menyerap air dalam jumlah
sangat besar yaitu sebesar 400 – 500 gr/gr bobot kering bahan (Peterson, 2003)
sehingga membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah dengan kandungan air
sangat rendah, berpotensi untuk menurunkan erosi dan sedimentasi, mampu
menyerap hara untuk kemudian dilepaskan secara bertahap, dan membantu
perkembangan inokulan hayati seperti mikoriza, bakteri penyemat nitrogen, dan
sebagainya.
b. Rekayasa Pembangunan Tanaman dengan Management Regime
Kondisi lahan pada setiap satuan wilayah pengelolaan (SWP) tentunya
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga pola pengelolaannya pun akan
berbeda pula. Berdasarkan ragam fisik wilayah dan kondisi aspek sosial ekonomi
masyarakat, Simon (1991) dalam disertasinya yang kemudian diujicobakan di Perum
Perhutani KPH Madiun Jawa Timur melakukan pola pengelolaan hutan dengan konsep
Management Regime.
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengadopsi pola pengelolaan yang
dilakukan oleh Simon (1991) yang tentunya disesuaikan dengan kondisi fisik dan sosek
masyarakat di wilayah studi, maka suatu SWP dapat ditentukan ragam fisik
pengelolaannya. Dalam penelitian ini pembagian management regime dibagi atas 3
Management Regime (MR) yakni :
1) MR I : menekankan pada fungsi produksi kehutanan diselingi hasil pertanian dan
tetap mempertahankan fungsi perlindungan lingkungan hidup, diterapkan pada
kawasan hutan produksi dan hutan rakyat
2) MR II : menekankan pada fungsi produksi pertanian yang diselingi dengan
penanaman tanaman kehutanan, diterapkan pada kawasan budidaya pertanian
3) MR V : bertujuan untuk memaksimumkan fungsi perlindungan pada kawasan
khusus seperti kawasan lindung (hutan lindung dan sempadan sungai) dan areal
kanan kiri jalan yang dilewati angkutan truk batubara.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dirumuskan ragam
pengelolaan sebagai berikut:
(a) Management Regime Pada Hutan Lindung
Rehabilitasi hutan lindung ditujukan untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan
yang rusak, sehingga dapat meningkatkan fungsi hutan sebagai perlindungan tata air,
pengawetan tanah terhadap bahaya erosi, sedimentasi, dan longsor.
Berdasarkan hal tersebut, maka kegiatan yang dirancang untuk rehabilitasi
hutan lindung seluas 51 ha adalah dengan pendekatan Forest Ecosystem
Management (FEM) melalui ragam pengelolaan MR-V dengan kegiatan konservasi
sipil teknis dan penanaman jenis pohon-pohonan yang berfungsi untuk perlindungan
yang dikombinasikan dengan jenis pohon serbaguna seperti kemiri, bambu, mangga
lokal dan cempedak. Pemililihan jenis pohon serbaguna di kawasan hutan lindung
didasarkan pertimbangan akses masyarakat ke daerah ini cukup baik sehingga
diharapkan masyarakat pada saatnya nanti tidak akan menebang pohon yang ada
melainkan mengambil manfaat lain dari pohon tersebut terutama buahnya dan

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 41


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

merasakan manfaat lingkungan seperti udara yang segar, tata air yang baik, habitat
binatang dan hasil hutan non kayu lainnya.
(b) Management Regime Pada Sempadan Sungai
Sempadan sungai merupakan areal yang berada di sepanjang kanan dan kiri
sungai. Sub DAS Tapin dan sub Das Binuang merupakan sungai utama yang melewati
areal lahan bekas tambang batubara dengan lebar < 30 m, sehingga areal sempadan
sungai adalah selebar 50 m kanan kiri sepanjang sungai tersebut dengan luas 51,91
ha.
Menurut Simon (1994) pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang
mempunyai keadaan yang khas seperti sempadan sungai maka pola pengelolaannya
menerapkan MR V yang digunakan pada kawasan dengan tujuan konservasi tanah
dan air (mengurangi erosi, meminimalkan terjadinya sedimentasi sungai) dan produksi
hasil hutan terutama non kayu, sehingga pada kawasan ini tidak dibenarkan pihak
manapun untuk menebang (zona steril), kecuali mengambil bagian tanaman (buah, biji,
umbi, getah, rebung). Pemilihan jenis yang direkomendasikan pada kawasan ini
adalah bambu, kemiri, gaharu, nangka dan cempedak.
(c) Management Regime Pada Kawasan Hutan
Kawasan hutan yang telah dikonversi menjadi areal pertambangan batubara
seluas 75,26 ha (eks HTI PT Dwima Intiga) dan 227,47 ha (Hutan Rakyat). Hampir
seluruh kawasan hutan yang telah ditambang menyisakan kondisi lingkungan yang
mengawatirkan tanpa ada upaya nyata dalam perbaikan lingkungan, sehingga untuk
memulihkan kembali fungsinya sebagai hutan perlu dilakukan pengelolaan yang tepat
sesuai dengan kondisi fisik dan sosek masyarakat.
Hasil penelitian merekomendasikan ragam pengelolaan MR-I pada kawasan
hutan produksi dan hutan rakyat, karena daerahnya berada dalam stratum A dan B,
topografi datar/landai dan kondisi tanah tidak subur (tidak sesuai sementara untuk jenis
tertentu) dengan tujuan menghasilkan produksi hasil hutan (kayu dan jasa lingkungan)
dan pertanian (pangan). Pemilihan jenis pada kawasan ini adalah gaharu, sungkai,
kemiri, sengon, kenanga, padi lahan kering dan kacang tanah.

(d) Management Regime Kawasan Budidaya Pertanian


Berdasarkan peta penutupan kawasan, dapat diketahui bahwa areal lahan
bekas tambang batubara ada yang terdapat pada kawasan budidaya pertanian berupa
pertanian ladang, perkebunan karet dan perkebunan pisang. Strategi yang akan
diterapkan untuk meningkatkan kualitas lahan adalah dengan mengembalikannya
kepada fungsi semula yang tentunya akan disesuaikan dengan kondisi fisik dan sosek
masyarakat.
Hasil analisis kesesuaian lahan, wawancara dengan responden serta
pengamatan vegetasi di areal pasca tambang dan keadaan sekitarnya maka diambil
kesimpulan bahwa masyarakat pada umumnya tertarik menanami kembali lahan pasca
tambang dengan tanaman yang dulu pernah ditanam seperti karet, pisang, padi lahan
kering yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dan palawija. Untuk itu
ragam pengelolaan yang akan diterapkan di kawasan ini adalah MR-II seluas 629,17
ha.

4) Rekayasa Sosial
Rekayasa sosial yang dirancang perlu memperhatikan beberapa permasalahan
sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hal
tersebut maka diusulkan suatu kegiatan rekayasa sosial sebagai berikut :

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 42


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

(a) Pelibatan Masyarakat Secara Aktif


Kegiatan yang akan dilaksanakan diupayakan bersifat padat karya dengan
keterlibatan masyarakat setempat seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan
keterampilan masing-masing. Pada umumnya dampak langsung yang diinginkan
masyarakat setempat dari kegiatan pembangunan hutan adalah adanya tambahan
pendapatan masyarakat. Pola yang perlu dilaksanakan dalam melibatkan masyarakat
setempat adalah berdasarkan pada penguasaan tanaman, dimana pihak yang
menanam maka dia yang akan memetik hasilnya. Pengaturannya akan dibuat dalam
perjanjian tertulis, sehingga masyarakat memiliki rasa tanggungjawab terhadap lahan
yang dikelolanya tanpa ada keinginan untuk memiliki lahan.
Mengacu kepada pedoman biaya satuan pembangunan HTI dan pedoman
reklamasi lahan bekas tambang yang dimodifikasi sesuai kondisi lokal maka kebutuhan
tenaga kerja (HOK) sebanyak sebanyak 108,98 HOK/ha dan ini belum termasuk
adanya manfaat hasil pertanian dan kehutanan yang akan diperoleh peserta sesuai
dengan prinsip Pola Bagi Hasil antara berbagai stakeholder terkait.
(b) Pendampingan Kelembagaan Masyarakat
Unit terkecil pelaksana kegiatan pembangunan hutan di lapangan adalah
kelompok tani pada masing-masing desa di setiap SWP. Pada saat pembentukan atau
pemantapan kelompok perlu adanya penjelasan terkait dengan rencana kegiatan yang
akan dilaksanakan. Dengan demikian semua pihak yang terlibat nantinya mempunyai
kesamaan persepsi, pemahaman jenis kegiatan dan tahapan pekerjaan yang akan
dilaksanakan.
Dalam implementasinya, keberadaan tenaga pendamping bertujuan untuk: (1)
memberikan kontribusi terhadap akses masyarakat dalam pelaksanaan program di
daerah yang telah ditentukan; (2) meningkatkan kemampuan fasilitasi pengembangan
struktur program di daerah; (3) memberikan kontribusi terhadap pengembangan
pendekatan strategis program multipihak menuju ke arah kebijakan yang lebih
berpihak pada masyarakat dan praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis
masyarakat dalam konteks desentralisasi; (4) memberikan dukungan terhadap
fasilitator dalam upaya meningkatkan layanannya kepada peserta program; dan (5)
menjamin agar kegiatan-kegiatan menuju pada upaya pembelajaran bersama, dialog
antar para pihak dan menjamin kelancaran dokumentasi dan arus informasi.
5) Rekayasa Perencanaan Organisasi Wilayah
Instansi yang menangani kegiatan pembangunan hutan pada lahan bekas
tambang batubara ini adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Tapin dengan melibatkan
instansi terkait di kabupaten seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), Dinas Perkebunan dan Dinas Koperasi. Keterlibatan pihak perkebunan
didasarkan pertimbangan bahwa jenis yang direkomendasikan merupakan komoditi
perkebunan seperti karet, pisang dan cempedak. Kerjasama dengan Dinas Koperasi
juga perlu dilakukan menyangkut pemasaran hasil panen mengingat permasalahaan
utama yang sering dihadapi petani adalah lemahnya pemasaran hasil panen dan
produk olahan lainnya. Bappeda Kabupaten Tapin mempunyai peran penting untuk
mengkoordinasikan dengan instansi terkait lainnya dalam pengembangan
pembangunan hutan.
Hubungan antar instansi sebagai gambaran adanya koordinasi antara instansi
pelaksana dengan instansi terkait dengan kegiatan pembangunan hutan diperlihatkan
pada Gambar 1.

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 43


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

Bappeda
Kab. Tapin

Dishut Kab.
Tapin
Diskop Kab.
Disperbun Tapin
Kab. Tapin
Lembaga
Pelaksana LSM/PT
PHLBTB

Gambar 1. Bagan Koordinasi Instansi Pelaksana dengan Instansi Terkait.


Keterangan :
PHLBTB = Pembangunan Hutan Lahan Bekas Tambang Batubara
Pemantauan dan pengawasan dilakukan secara internal dan eksternal dari luar
instansi seperti perguruan tinggi dan LSM yang dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan kegiatan pembangunan hutan. Pemantauan dan pengawasan secara
internal pada tingkat bawah dilakukan oleh mandor, yang merupakan pegawai Dinas
Kehutanan Kabupaten Tapin. Seorang mandor bertanggungjawab penuh terhadap
satu unit kegiatan pembangunan hutan yang membawahi pekerja tanam (P) dan
kepala kerja tanam (K) (1 KK menjadi pekerja tanam seluas 1 ha; kepala kerja tanam
membawahi 4 pekerja tanam). Mandor akan bertanggungjawab kepada pimpinan
pelaksana (PINLAK) dan 6 orang mandor (M) akan di bawahi oleh seorang PINLAK.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Permasalahan yang dihadapi sistem pembangunan wilayah sebagai akibat
kegiatan penambangan batubara adalah (a) terjadinya degradasi lahan pada
kawasan lindung dan kawasan produksi seluas 1.071 ha; dan (b) Potensi
terjadinya kecemburuan sosial karena tidak meratanya distribusi pendapatan dan
kesempatan kerja di sektor pertambangan batubara
2) Strategi perencanaan pembangunan hutan pada lahan bekas tambang batubara
adalah sebagai berikut :
a. Rencana pembangunan hutan pada lahan bekas tambang batubara
ditempatkan pada 5 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) yaitu SWP I seluas
69,79 ha, SWP II seluas 420,38 ha, SWP III seluas 436,82 ha, SWP IV seluas
141,26 ha dan SWP V seluas 3,46 ha
b. Sebelum dilakukan kegiatan revegetasi maka dilaksanakan pemantapan
kawasan yang akan direvegetasi dan rehabilitasi lahan sebelum penanaman
berupa penataan lahan, konservasi sipil teknis, pengembalian top soil,
penutupan lubang bekas tambang dan amandemen tanah

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 44


PERENCANAAN PEMBANGUNAN…….(20) : 33 - 45

c. Kegiatan pembangunan hutan yang dirancang untuk rehabilitasi hutan lindung


dan sempadan sungai melalui ragam pengelolaan manajemen rejim (MR) V;
lahan bekas tambang batubara yang berada dalam kawasan hutan produksi
dan hutan rakyat akan dikelola dengan ragam pengelolaan manajemen rejim
(MR) I; dan kawasan budidaya pertanian dikelola dengan manajemen rejim II.
d. Rekayasa sosial yang dirancang berupa perekrutan tenaga kerja setempat
sebanyak 60.980 HOK, pendampingan kelembagaan masyarakat dan
pemanenan berdasarkan pola bagi hasil
B. Saran
Sebagai langkah awal untuk melaksanakan pembangunan hutan pada lahan
bekas tambang batubara maka diperlukan political will pemerintah melakukan
kebijakan penertiban dan penataan ulang aktivitas pertambangan batubara sehingga
dapat dipetakan lahan bekas tambang batubara yang akan direvegetasi dan
pemerintah daerah dapat menata kembali pijakan dasar kebijakan dan orientasi
pertambangan batubara ke depan yang berpihak pada kepentingan lingkungan hidup,
penduduk lokal, bangsa dan kepentingan generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Tapin, 2005, Tapin dalam Angka, Pemerintah Kabupaten
Tapin, Rantau
Bale, A., 1999, Ilmu Tanah I, Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Bambang, W., 2003, Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di
Kabupaten Banjar, Balitbang Departemen Kehutanan, Jakarta
Budiyanto, E., 2002, Sistem Informasi Geografis menggunakan Arc View GIS, Penerbit
Andi, Yogyakarta
Departemen Pertambangan dan Energi, 2003, Pedoman Teknis Reklamasi Lahan
Bekas Tambang, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral
Deptamben, Jakarta
Departemen Pertanian. 1994. Pedoman Survei Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta
Peterson, D. 2003. Hydrophilic polymers – effects and uses in the landscape.
http://www.hort.agri.umn.edu/ h5015/peterson.htm, Diakses 23 April 2005
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sarif, S.E., 1983, Konservasi Tanah dan Air, CV. Pustaka Buana, Bandung
Simon, Hasanu. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi
Kehutanan Sosial, Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta
-------------. 2004. Perencanaan Pembangunan Hutan (Diktat Kuliah S-2). Fakultas
Kehutanan UGM. Yogyakarta
Sukandarrumidi. 2004. Batubara dan Gambut. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta

Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 20, Maret 2007 45

You might also like